• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH pH YANG BERBEDA TERHADAP PERKEMBANGAN EMBRIO DAN LARVA IKAN BAUNG (Mystus nemurus)

SKRIPSI

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Oleh :

IGA PUSPA WARDANI NIM. 135080501111070

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG 2017

(2)

PENGARUH pH YANG BERBEDA TERHADAP PERKEMBANGAN EMBRIO DAN LARVA IKAN BAUNG (Mystus nemurus)

SKRIPSI

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Universitas Brawijaya

Oleh :

IGA PUSPA WARDANI NIM. 135080501111070

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG 2017

(3)
(4)

JUDUL : PENGARUH pH YANG BERBEDA TERHADAP PERKEMBANGAN EMBRIO DAN LARVA IKAN BAUNG (Mystus nemurus)

NAMA MAHASISWA : IGA PUSPA WARDANI NIM : 135080501111070 PROGRAM STUDI : BUDIDAYA PERAIRAN

PENGUJI PEMBIMBING

PEMBIMBING 1 : Dr. Ir. Maheno Sri Widodo, MS PEMBIMBING 2 : Dr. Ir. Agoes Soeprijanto, MS

PENGUJI BUKAN PEMBIMBING

PENGUJI 1 : Prof. Ir. Marsoedi, Ph.D PENGUJI 2 : Soko Nuswantoro, S.Pi., M.Si

TANGGAL UJIAN : 13 NOVEMBER 2017

(5)

PERNYATAAN ORISINALITAS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Skripsi ini hasil penjiplakan (plagiasi), maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.

Malang, November 2017 Mahasiswa,

IGA PUSPA WARDANI

(6)

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas dari dukungan moril dan materil dari semua pihak. Melalui kesempatan ini, dengan kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih kepada :

 Tuhan Yang Maha Esa karena kasih karunia-Nya, sehingga terlaksana

penelitian dan penyusunan skripsi ini.

 Bapak Dr. Ir. Maheno Sri Widodo, MS dan Dr. Ir. Agoes Soeprijanto, MS selaku

dosen pembimbing yang telah sabar dan banyak memberikan masukan, bimbingan, serta saran yang membangun kepada penulis.

 Bapak Prof. Ir. Marsoedi, Ph.D dan Bapak Soko Nuswantoro, S.Pi., M.Si. selaku

dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menguji, memberi saran dan masukan kepada penulis.

 Bapak Fidil Rakhmat dan Tim di Balai BBI Sawangan, serta Arman dan Samsir

yang telah sabar memberikan arahan dan ilmu selama melakukan penelitian.

 Bapak Didik Puji W. dan Ibu Marhaeni, serta kakak Fonda Daniswara, S.Pi dan

Rizki Rachmaddianto, S.AP serta seluruh keluarga yang telah mendukung, mendo’akan dan mendampingi penulis sampai sekarang.

 Teman seperjuangan “Tim Bafin” Yeni Angela Silalahi, Debora P. Sinaga, Ilen

Inalya, Jhon Purba, Andi Kacaribu, A.Alya Yusriyyah, Annisa Nurvitasari dan Vida Kurnia yang telah menjadi partner terbaik, memberikan motivasi, berbagi ilmu serta mendampingi penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi.

 Teman – teman AQUA-GT 2013 Universitas Brawijaya dan seluruh pihak yang

turut membantu penelitian dan penyusunan skripsi ini.

Malang, November 2017

Iga Puspa Wardani

(7)

RINGKASAN

IGA PUSPA WARDANI. Pengaruh pH yang Berbeda terhadap Perkembangan Embrio dan Larva Ikan Baung (Mystus nemurus) di bawah bimbingan Dr. Ir.

Maheno Sri Widodo, MS dan Dr. Ir. Agoes Soeprijanto, MS

Produksi ikan baung (Mystus nemurus) dalam memenuhi permintaan pasar dan konsumen sampai dengan saat ini diperoleh dari hasil tangkapan di alam, baik untuk ukuran benih maupun ikan ukuran konsumsi. Hasil tangkapan sangat tergantung oleh beberapa faktor seperti kondisi perairan dan persediaan stok yang ada di alam. Semakin intensifnya penangkapan ikan di perairan umum akan berdampak pada penurunan hasil perikanan tangkap sehingga dapat mengganggu keadaan persediaan dan populasi ikan. Usaha budidaya merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan produksi ikan baung. Keberhasilan budidaya ditentukan oleh tersedianya benih, baik dalam jumlah maupun mutu.

Khususnya dalam pembenihan tentunya selalu memperhatikan proses penetasan telur dimana mulai dari telur hingga menetas. Dalam pembenihan perlu diperhatikan kualitas air yang cocok untuk perkembangan telur, perbedaan kondisi lingkungan tiap daerah berbeda-beda. Untuk perkembangan telur dalam berbagai keadaan kualitas air terutama pada pH tertentu perlu diperhatikan agar dapat diketahui pada pH terbaik untuk perkembangan embrio ikan baung. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pH yang berbeda terhadap embriologi dan larva ikan baung. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pH yang berbeda terhadap perkembangan embrio dan larva ikan baung. Selain itu untuk mengetahui larva normal dan abnormal serta kelangsungan hidup larva ikan baung.

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorim UPT Balai Benih Ikan Sawangan, Magelang, Jawa Tengah pada tanggal 3 Juli sampai 3 Agusutus 2017.

Metode penelitian yang digunakan Rancangan Acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan pH (6,7,8,9) dan 3 kali ulangan. Data hasil penelitian dilakukan uji normalitas data, kemudian dihitung analisa disik ragam, dilanjutkan uji BNT dan terakhir uji polynomial orthogonal. Parameter utama penelitian ini adalah perkembangan embrio, kecepatan menetas, daya tetas telur, abnormalitas serta kelangsungan hidup larva ikan baung.

Parameter penunjang yaitu pengamatan kualitas air yaitu suhu dan oksigen terlarut.

Pengamatan embriogenesis ikan baung dilakukan selama ±24 jam atau 1 hari setelah pembuahan sampai telur menetas. Pada hasil kecepatan menetas dengan nilai rata rata waktu tercepat pada perlakuan C (pH 8) dengan durasi 29 jam 47 menit, selanjutnya pada perlakuan D (pH 9) dengan durasi 30 jam 38 menit, perlakuan B (pH 7) dengan durasi 30 jam 44 menit, selanjutnya pada perlakuan A (pH 6) dengan durasi 31 jam 22 menit. Sehingga didapatkan perlakuan terbaik yaitu pada perlakuan C (pH 8) dengan persamaan y = 56,268 – 6,698x + 0,4233x2 dengan koefisien determinasi sebesar R² = 0,8515 dan x maksimum 7,9 serta y maksimum sebesar 29,77 yaitu 29 jam 47 menit

Hasil rerata nilai daya tetas telur ikan baung yaitu untuk perlakuan A sebesar 62,96%, perlakuan B sebesar 75,55%, perlakuan C sebesar 81,48% dan perlakuan D sebesar 82,22%. Perlakuan D menghasilkan nilai daya tetas telur ikan baung tertinggi. Dengan persamaan y = 27,782 + 6,3697x dan koefisien determinasi sebesar R2 = 0,8004 Nilai koefisien determinasi R2 sebesar 0,8004 yang berarti bahwa perlakuan pH yang berbeda mampu memberikan pengaruh

(8)

terhadap persentase daya tetas telur sebesar 80,04% dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain. Adapun hasil rerata abnormalitas larva ikan baung yaitu untuk perlakuan A sebesar 9,37%, perlakuan B sebesar 6,84%, perlakuan C sebesar 6,35% dan perlakuan D nilai abnormalitas terendah sebesar 4,48%.

Hasil rerata nilai kelangsungan hidup larva ikan baung tertinggi diperoleh pada perlakuan D yaitu sebesar 79,36%, sedngkan pada perlakuan A sebesar 58,54%, pada perlakuan B sebesar 69,64%, dan pada perlakuan C sebesar 78,12%. Dengan persamaan sebesar nilai y = 18,202 + 7,0953x dan nilai koefisiensi determinasi (R2) sebesar 0,7604. Nilai koefisien determinasi R2 sebesar 0,7604 yang berarti bahwa perlakuan pH yang berbeda mampu memberikan pengaruh terhadap persentase kelangsungan hidup larva sebesar 76,04% dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain. Hasil pengamatan kualitas air selama penelitian yaitu suhu berkisar antara 24oC – 25,5oC dan oksigen terlarut berkisar antara 6,3 – 7,0 ppm.

Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini yaitu bahwa pH yang berbeda memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kecepatan menetas telur, daya tetas telur serta kelangsungan hidup larva. Serta berpengaruh berbeda nyata terhadap abnormalitas. Waktu penetasan telur tercepat diperoleh pada pH 8 dengan waktu penetasan 29 jam 47 menit. Persentase daya tetas tertinggi diperoleh pada pH 9 sebesar 82,22% dan nilai abnormalitas larva terendah diperoleh pada pH 9 sebesar 4,48%, sedangkan persentase kelangsungan hidup tertinggi pada pH 9 sebesar 79,36%.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas kasih karunia-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan Skripsi yang berjudul

“Pengaruh pH yang Berbeda terhadap Perkembangan Embrio dan Larva Ikan Baung (Mystus nemurus)”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya Malang.

Penulis menyadari pada penulisan skripsi masih banyak kekurangan dan keterbatasan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan agar tulisan ini bisa lebih bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Malang, November 2017

Penulis

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

IDENTITAS TIM PENGUJI ... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

UCAPAN TERIMAKASIH ... iv

RINGKASAN ... v

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Kegunaan ... 3

1.5 Tempat dan Waktu Penelitian ... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Biologi Ikan Baung (Mystus nemurus) ... 4

2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi ... 4

2.1.2 Habitat ... 5

2.1.3 Kebiasaan Makan ... 6

2.1.4 Reproduksi ... 7

2.1.5 Pemijhan Buatan ... 8

2.2 Fertilisasi ... 9

2.3 Perkembangan Telur Ikan ... 10

2.4 Embriogenesis ... 11

2.4.1 Cleavage ... 12

2.4.2 Stadia Morula ... 13

2.4.3 Stadia Blastula ... 14

2.4.4 Stadia Gastrula... 15

2.4.5 Organogenesis ... 16

2.5 Penetasan Telur ... 17

2.6 Pengaruh pH terhadap Perkembangan ... 18

2.7 Kualitas Air ... 20

(11)

3. MATERI DAN METODE ... 21

3.1 Materi Penelitian ... 21

3.1.1 Ikan Uji ... 21

3.1.2 Alat – Alat Penelitian ... 21

3.1.3 Bahan – Bahan Penelitian ... 22

3.2 Rancangan Penelitian ... 22

3.3 Metode Kerja ... 24

3.3.1 Alur Penilitian ... 24

3.3.2 Kegunaan ... 24

3.3.3 Seleksi Induk ... 26

3.3.4 Pemijahan ... 27

3.3.4 Penetasan Telur dan Perlakuan ... 28

3.4 Parameter Uji ... 28

3.4.1 Parameter Utama ... 28

3.4.2 Parameter Penunjang... 30

3.5 Analisa Data... 31

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

4.1 Perkembangan Embrio ... 32

4.1.1 Telur Fertil ... 33

4.1.2 Pembelahan Pertama (2 Sel) ... 33

4.1.3 Pembelahan Kedua (4 Sel) ... 34

4.1.4 Pembelahan Ketiga (8 Sel) ... 35

4.1.5 Pembelahan Keempat (16 Sel) ... 36

4.1.6 Pembelahan Kelima (32 Sel) ... 35

4.1.7 Morula ... 37

4.1.8 Blastula ... 38

4.1.9 Gastrula ... 38

4.1.10 Organogenesis ... 39

4.1.11 Menetas ... 40

4.2 Hubungan pH dengan Perkembangan Embrio ... 41

4.3 Hubungan pH dengan Kecepatan Menetas ... 44

4.4 Hubungan pH dengan Daya Tetas Telur ... 47

4.5 Hubungan pH dengan Abnormalitas Larva ... 50

4.6 Hubungan pH dengan Kelangsungan Hidup Larva... 53

4.7 Kualitas Air ... 56

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 58

5.1 Kesimpulan ... 58

5.2 Saran ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 59

LAMPIRAN ... 62

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Ikan Baung (Mystus nemurus) ... 4

2. (a) Telur Fertil, (b) Pembelahan I, (c) Pembelahan II, (d) Pembelahan III, (e) Pembelahan IV. ... 13

3. Fase morula ... 14

4. Fase blastula ... 15

5. Fase gastrula ... 16

6. Fase Organogenesis ... 17

7. Denah Percobaan ... 23

8. Alur Penelitian... 24

9. Telur Fertil ... 33

10. Pembelahan 2 sel ... 34

11. Pembelahan 4 Sel ... 35

12. Pembelahan 4 Sel ... 35

13. Pembelahan 16 Sel... 36

14. Pembelahan 32 sel ... 37

15. Stadia Morula... 37

16. Stadia Blastula ... 38

17. Stadia Gastrula ... 39

18. Stadia Organogenesis ... 40

19. Larva Ikan Baung. ... 41

20. Hubungan Antara pH Media Penetasan dengan Perkembangan Embrio Telur Ikan Baung ... 42

21. Rata-Rata Kecepatan Menetas Telur Ikan Baung ... 44

22. Grafik Regresi Kecepatan Menetas Telur Ikan Baung ... 46

23. Rata-Rata Daya Tetas Telur Ikan Baung ... 48

(13)

24. Grafik Regresi Nilai Daya Tetas Telur (HR) Ikan Baung ... 50

25. Rata-Rata Abnormalitas Telur Ikan Baung ... 51

26. Grafik Regresi Abnormalitas Ikan Baung ... 53

27. Rata-Rata Kelangsungan Hidup Larva Ikan Baung. ... 54

28. Grafik Regresi Nilai Kelangsungan Hidup Larva ... 56

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Waktu Perkembangan Embrio Ikan Baung pada Perlakuan pH 6, pH 7,

pH 8 dan pH 9. ... 32

2. Data Pengamatan Hubungan pH dengan Perkembangan Embrio ... 42

3. Rerata Kecepatan Menetas Telur Ikan Baung ... 44

4. Sidik Ragam Kecepatan Menetas Telur Ikan Baung. ... 45

5. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) Kecepatan Menetas Telur Ikan Baung .... 45

6. Rerata Nilai Perhitungan Daya Tetas Telur Ikan Baung. ... 47

7. Sidik Ragam Daya Tetas Telur Ikan Baung ... 49

8. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) Daya Tetas Telur Ikan Baung ... 49

10. Sidik Ragam Abnormalitas Larva Ikan Baung ... 52

11. Uji Beda Nyata Terkecil Abnormalitas Ikan Baung. ... 52

12. Rerata Nilai Perhitungan Kelangsungan Hidup Larva Ikan Baung ... 54

13. Sidik Ragam Kelangsungan Hidup Larva Ikan Baung. ... 55

14. Uji Beda Nyata Terkecil Kelangsungan Hidup Ikan Baung. ... 55

15. Parameter Kualitas Air ... 57

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Glosarium ... 62

2. Penyuntikan Ikan Baung ... 65

3. Pengamatan Embriogenesis Telur Ikan Baung ... 66

4. Data Pengamatan Hubungan pH dengan Perkembangan Embrio ... 67

5. Dosis Pemberian Hormon (Ovaprim) Perhitungan Fekunditas, Fertilization Rate (FR) dan Hatching Rate (HR) ... 68

6. Proses Perkembangan Embriogenesis Telur Ikan Baung. Error! Bookmark not defined.69 7. Perhitungan Kecepatan Menetas ... 72

8. Perhitungan Uji BNT Hatching Rate ... 79

9. Perhitungan Uji BNT Survival Rate ... 84 10. Perhitungan Uji BNT Abnormalitas ...Error! Bookmark not defined.

11. Alat dan Bahan Penelitian……….….

89 94

(16)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang mempunyai pontensi perikanan yang cukup luas baik laut maupun tawar. Pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan harus mengacu pada prinsip pembangunan berkelanjutan guna meningkatkan daya dukung lingkungan dan kelestarian sumberdaya secara seimbang. Salah satu komoditas andalan lokal yang menjadi target peningkatan produksi adalah ikan baung (Huwoyon et al., 2011).

Masyarakat Indonesia cukup gemar mengkonsumsi ikan baik dari hasil tangkap maupun hasil budidaya. Namun jika para masyarakat hanya mengandalkan ikan hasil tangkapan dari ikan muara atau sungai, tidak dapat dipastikan untuk penghasilan yang tetap. Hal ini sesuai oleh Muflikah et al.(2006), bahwa produksi ikan baung (Mystus nemurus) dalam memenuhi permintaan pasar dan konsumen sampai dengan saat ini diperoleh dari hasil tangkapan di alam, baik untuk ukuran benih maupun ikan ukuran konsumsi. Hasil tangkapan sangat tergantung oleh beberapa faktor seperti kondisi perairan dan persediaan stok yang ada di alam. Selain itu, adanya kemungkinan perubahan lingkungan perairan sebagai akibat aktivitas manusia di sepanjang daerah aliran sungai seperti pemukiman, pertanian, transportasi, perindustrian, pembangkit tenaga listrik, dan rekreasi akan dapat mempengaruhi keberadaan, pola tingkah laku dan struktur populasi ikan. Oleh sebab itu diperlukan budidaya untuk memperoleh hasil yang lebih baik.

Penyebaran ikan baung di Indonesia meliputi pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Ikan baung merupakan ikan yang dikenal masyarakat karena memiliki daging yang putih, tebal tanpa duri halus di dalam dagingnya. Semakin intensifnya penangkapan ikan di perairan umum akan berdampak pada penurunan

(17)

persediaan dan populasi ikan baung. Ikan baung cukup memiliki prospek untuk kedepannya (Hadid et al., 2014).

Ikan baung merupakan salah satu komoditas perairan umum yang mempunyai prospek untuk dibudidayakan baik di kolam maupun keramba jaring apung dan jenis ikan ini dapat cepat menyesuaikan diri terhadap pakan buatan. Di Jawa Barat, ikan baung digemari masyarakat dan harganya tinggi dibandingkan dengan harga ikan mas. Untuk memperoleh ikan baung sendiri masih mengandalkan sumberdaya dari alam (Huwoyon et al., 2011).

Dalam pembenihan kualitas air yang dapat mempengaruhi penetasan telur antara lain faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam adalah hormon dan volume kuning telur. Hormon yang dihasilkan oleh hipofisa dan tyroid berperan dalam proses metamorfosa, dan volume kuning telur berhubungan dengan perkembangan embrio sedangkan faktor luar yang mempengaruhi penetasan adalah suhu, pH, salinitas. Jika faktor luar kurang mendukung atau kualitas air dalam kondisi ekstrem maka dapat menghambat penetasan telur bahkan dapat terjadi kematian pada larva ikan (Hadid et al., 2014).

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan dalam budidaya ikan baung saat ini ialah dalam pembenihan. Mengingat dalam penetasan ikan baung memiliki nilai SR yang rendah. Khususnya dalam pembenihan tentunya selalu memperhatikan proses penetasan telur dimana mulai dari telur sampai dengan penetasan. Dalam pembenihan tentunya diperhatikan kualitas air yang cocok untuk perkembangan telur, perbedaan kondisi lingkungan tiap daerah berbeda-beda. Untuk perkembangan telur dalam berbagai keadaan kualitas air terutama pada pH tertentu perlu diperhatikan agar dapat diketahui pada pH terbaik untuk perkembangan embrio ikan baung. Menurut Susanto (2015), menyatakan bahwa

(18)

dalam pembenihan ikan harus memperhatikan beberapa metode maupun faktor - faktor yang dapat mempengaruhi penetasan salah satunya ialah kualitas air.

Kualitas air untuk kegiatan pembenihan ikan baung berperan penting agar perkembangan telur tidak terganggu, kualitas air yang baik dengan suhu berkisar 24 - 29 oC , dengan pH berkisar 6,5 – 8 serta kelarutan oksigen 4 ppm.

Dari rumusan masalah yang telah dipaparkan dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh pH yang berbeda terhadap perkembangan embrio pada ikan baung?

2. Bagaimana larva normal dan abnormal serta kelangsungan hidup pada larva ikan baung dengan media pH yang berbeda?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui perkembangan embrio pada ikan baung pada pengaruh pH yang berbeda.

2. Mengetahui larva normal dan abnormal serta kelangsungan hidup larva ikan baung pada pH yang berbeda.

1.4 Kegunaan

Dari penelitian ini diharapkan mampu mengetahui pada pH perairan yang optimal untuk perkembangan embrio dan penetasan telur pada ikan baung sehingga dapat diterapkan kepada masyarakat yang membudidayakan ikan baung.

1.5 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 3 Juli sampai 3 Agusutus 2017, di Laboratorim UPT Balai Benih Ikan Sawangan, Magelang, Jawa Tengah.

(19)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Ikan Baung (Mystus nemurus) 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi

Menurut Muflikhah et al. (2006), klasifikasi ikan baung adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Ordo : Siluriformes

Famili : Bagridae

Genus : Mystus

Species : Mystus nemurus

Nama lokal : Ikan Baung

Nama umum : Baung Putih, Baung Sungai, Baung Tikus, Baung Murai

Gambar 1. Ikan Baung (Mystus nemurus)

Ikan ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut, bentuk badan panjang dan tidak bersisik, pada sirip dada terdapat tulang yang tajam dan bersengat, memiliki sirip lemak yang panjangnya kira-kira sama dengan panjang sirip dubur. Panjang total 5 x tinggi atau 3 sampai dengan 3,5 kali panjang kepala. Selain sirip dada, sirip

(20)

punggung berjari-jari keras dan berbisa, tulang rahang atas bergigi, warna bagian punggung agak kehitaman dan bagian dada putih. Ciri khas pada spesies ini adalah panjang dasar sirip lemak sama dengan panjang dasar sirip dubur, sungut hidung mencapai mata dan sungut rahang atas yang panjangnya mencapai sirip dubur (Muflikah et al., 2006).

Mystus nemurus memiliki nama lokal ikan Baung dan bentuk tubuhnya

kombinasi dengan letak mulut subterminal. Ikan ini memiliki empat pasang sungut, panjang sungut rahang atas mencapai belakang sirip perut, sedangkan panjang sungut hidung mencapai mata, garis rusuk lurus, sirip lemak berukuran sama panjang dengan sirip dubur dan ujung sirip lemak berwarna hitam, jari - jari terakhir pada sirip punggung dan sirip dada bergerigi dan pada bagian atas kepala kasar, bentuk sirip ekor bercagak (Bhagawati et al., 2013).

2.1.2 Habitat

Ikan baung hidup di perairan yang memiliki tekstur pasir. Hubungan parameter fisika kimia berupa jenis terkstur substrat dasar pada setiap stasiun penelitian dapat dikaitkan dengan ikan dan makrozobenthos yang didapat sebagai pakan alami untuk ikan baung. Ikan baung yang hidup didasar perairan menyukai tekstur substrat yang berpasir, ini diduga mempermudah ikan baung untuk membuat liang untuk bersembunyi dalam menangkap mangsanya. Terkstur pada setiap stasiun cocok untuk spesies tersebut karena spesies tersebut memiliki cangkang yang tebal akan tahan pada presentase pasir yang cukup tinggi. Hal ini sesuai dengan kelimpahan benthos yang cukup tinggi karena sesuai dengan tekstur yang berpasir sebagai substrat dasar hidup molluska (Windy et al.,2014).

Ikan baung banyak ditemukan pada perairan sungai atau danau namun habitat untuk ikan baung dapat dikatakan luas yang meliputi sungai-sungai besar, anak sungai, lubuk-lubuk sungai sampai dengan ke danau, terutama danau yang berada di dataran rendah, danau oxbow seperti danau teluk di Jambi, danau-

(21)

danau rawa, rawa lebak (flood plain), hutan rawa, dan lain-lain. Pada musim hujan penyebaran ikan sampai dengan ke rawa lebak yang berhubungan langsung dengan sungai, sehingga kualitas air di lebak atau rawa kurang lebih sama dengan kualitas air sungai. pH air lebak atau rawa berkisar 5 sampai dengan 5,5, sedangkan pH air sungai berkisar 5,5 sampai dengan 6,5. Di musim hujan hutan rawa banyak ditemukan mulai dari tingkat benih sampai dengan baung dewasa yang sudah matang gonad, karena di tempat ini banyak didapat mikroorganisme dan makroorganisme lain yang menjadi pakan alami bagi ikan baung. Pakan alami tersebut dapat membantu kematangan gonad dengan cepat (Muflikah et al., 2006).

Menurut Kordi (2009), menyebutkan bahwa habitat ikan baung diantaranya ialah sungai, muara, danau, serta terdapat di perairan payau muara sungai dan biasanya dapat ditemukan di daerah yang terkena banjir. Di Jawa Barat ikan baung dapat ditemukan di sungai Cidurian dan Jasinga Bogor yang airnya cukup dangkal dengan kedalaman kurang lebih 45 cm dengan kecerahan 100%. Baung suka bergerombol dan hidup di perairan tenang. Merupakan hewan nokturnal, menyukai lokasi lokasi yang tersembunyi, setelah gelap ikan baung akan cepat keluar untuk mencari mangsa setelah itu cepat kembali ke sarangnya.

2.1.3 Kebiasaan Makan

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa ikan baung tergolong karnivor dengan susunan makanan terdiri atas ikan, insekta, udang, annelida, nematode, detritus, sisa tumbuhan atau organik lainya. Perbedaan informasi yang didapat disebabkan oleh lingkungan yang berbeda, namun dari informasi yang didapat dapat diketahui ikan baung tergolong ikan omnivora dengan kencederungan sebagai karnivora. Ikan baung mencari mangsa pada malam hari atau disebut nokturnal. Untuk mangsa ikan baung kebanyakan memiliki kecenderungan yang dapat diketahui dengan kandungan makanan yang mempunyai kadar protein cukup tinggi (Kordi, 2009).

(22)

Hasil penelitian di India makanan marga Mystus pada umumnya terdiri atas ikan krustacea, insekta, sisa-sisa tumbuhan, dan detritus. Terdapat susunan makanan anak ikan baung berbeda dengan ikan baung dewasa. Kelompok insekta merupakan bagian utama bagi anak ikan. Tetapi di bulan Januari ikan betina dan jantan dewasa mengalami perubahan susunan makanan yaitu ikan betina dewasa bagian terbesar pakan utama adalah ikan, sedangkan ikan jantan dewasa pakan utamanya kelompok insekta. Ketika udang banyak ditemukan yaitu pada bulan Oktober udang merupakan pakan utama, tetapi di bulan berikutnya sejalan dengan menurunnya populasi udang, maka ikan baung kembali ke pakan utamanya yaitu ikan atau insekta (Muflikah et al., 2006).

2.1.4 Reproduksi

Ikan baung mulai mengalami perkembangan gonad ketika sudah berukuran 200 mm dengan berat 90 g sehingga pada 100 g ikan baung tersebut sudah matang gonad. Di danau Sipin dan Kenali, baung betina dengan tingkat kematangan gonad IV (matang) didapat bulan pada Oktober – Maret sedangkan untuk ikan baung jantan dengan tingkat kematangan gonad IV hanya didapat pada bulan Oktober – Desember. Ikan baung yang ditemukan di Waduk Juanda diketahui dengan tingkat kematangan gonad IV yang ditemukan pada bulan Oktober – Maret (Kordi, 2009).

Di alam ikan baung memijah pada awal musim penghujan. Ukuran ikan baung jantan yang mulai matang kelamin adalah berkisar dari panjang 25 sampai dengan 30 cm dengan bobot antara 200 sampai dengan 250 g. Sperma ikan baung berbentuk rumbai - rumbai. Menurut pengalaman dan pengamatan, sperma ikan baung yang matang kelamin (dengan melihat papillanya yang merah) yang berasal dari daerah aliran Sungai Musi ketika dibedah hanya 1/3 sampai dengan 1/2 bagian yang matang, ini nampak jelas dari warnanya yang berbeda yaitu, bagian yang mengarah ke saluran sperma berwarna putih susu, sedangkan bagian yang

(23)

lain berwarna bening dan jernih. Berbeda dengan ikan baung yang diperoleh dari daerah aliran Sungai Batanghari, Jambi yaitu di Muara Bungo. Induk jantan dengan penampakan yang sama papillanya setelah dibedah nampak sperma ikan baung secara keseluruhan semua berwarna putih susu tidak ada yang berwarna bening atau jernih. Pemijahan di alam terjadi pada saat air meluap, ikan bermigrasi dari sungai ke genangan-genangan baru, di mana di lahan tersebut banyak persediaan pakan alami baik untuk larva, benih sampai dengan ke induk, terutama di hutan rawa, banyak ditemukan larva benih bahkan ikan remaja dan induk ikan baung dengan segala ukuran (Muflikah et al., 2006).

2.1.5 Pemijahan Buatan

Percobaan pemijahan secara buatan telah dilakukan dengan teknik pemberian rangsangan dengan suntik hormon. Dapat juga dengan menggunakan ovaprim dosis 0,5 cc per kg induk. Pembuahan dilakukan dalam baskom dengan menampung telur hasil stripping induk betina dan mencampur dengan sperma dari induk jantan, kemudian telur yang telah dibuahi di inkubasi dalam hapa yang diletakkan dalam bak fiber atau bak kayu yang dilapisi plastik, air yang digunakan adalah air perusahaan air minum yang telah diinapkan dan diaerasi. Penetasan telur terjadi 32 sampai dengan 36 jam kemudian, dan telur yang menetas mencapai 90% (Muflikhah et al., 2006).

Induk ikan yang disuntik dengan ovaprim dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi hormon gonadotropin didalam darah sehingga dapat merangsang perkembangan telur dan mempercepat proses pemijahan. Sedangkan induk ikan yang tidak diberikan dosis ovaprim akan terjadi kelambatan dalam proses pemijahan, hal ini dikarenakan kandungan gonadotropin dalam tubuh belum cukup untuk terjadinya ovulasi, dan tidak adanya rangsangan hormonal dari luar yang dapat meningkatkan kandungan gonadotropin dalam tubuh ikan yang dapat mengakibatkan ikan sulit untuk memijah secara alami (Manatung et al., 2013).

(24)

Adapun tahap dalam proses pemijahan mulai dari pemeliharaan induk, setelah induk dalam pemeliharaan, dilakukan penimbangan induk untuk menentukan dosis ovaprim. Penyuntikkan dilakukan secara intramuscular sebanyak satu kali dengan dosis 0,5 ml/kg bobot tubuh induk betina. Pembuahan dilakukan dengan cara mencampurkan telur dengan sperma yang telah diencerkan pada masing-masing wadah pengencer sperma, kemudian diaduk menggunakan bulu ayam selama 2 menit sampai tercampur merata. Selanjutnya, larutan pengenceran sperma dibuang sampai tersisa telur saja, lalu telur-telur dibilas dengan air bersih. Selanjutnya telur-telur tersebut dituangkan kedalam ayakan yang terendam air di dalam loyang yang telah diberi aerasi untuk dilakukan pengamatan selanjutnya. Selanjutnya larva yang menetas dipelihara dalam loyang yang sudah dibersikan (Mambrasar et al., 2015).

2.2 Fertilisasi

Telur-telur hasil pemijahan yang dibuahi selanjutnya berkembang menjadi embrio dan akhirnya menetas menjadi larva, sedangkan telur yang tidak dibuahi akan mati dan membusuk. Lama waktu perkembangan hingga telur menetas menjadi larva tergantung pada spesies ikan dan kualitas air. Untuk keperluan perkembangan digunakan energi yang berasal dari kuning telur dan butiran minyak. Oleh karena itu, kuning telur terus menyusut sejalan dengan perkembangan embrio, energi yang terdapat dalam kuning telur berpindah ke organ tubuh embrio. Embrio terus berkembang dan membesar sehingga rongga telur menjadi penuh dan tidak sanggup untuk mewadahinya, maka dengan kekuatan pukulan dari dalam oleh sirip pangkal ekor, cangkang telur pecah dan embrio lepas dari kungkungan menjadi larva, pada saat itulah telur menetas menjadi larva. Telur membutuhkan oksigen untuk kelangsungan hidupnya.

Oksigen masuk kedalam telur secara difusi melalui lapisan permukaan cangkang

(25)

telur, oleh karena itu media penetasan telur harus memiliki kandungan oksigen yang melimpah yaitu > 5 mg/ liter (Manatung et al., 2013).

Pembuahan atau disebut juga dengan fertilisasi adalah proses bergabungnya inti sperma dengan inti sel telur dalam sitoplasma sehingga membentuk zigot. Pada dasarnya fertilisasi adalah penyatuan atau fusi sel gamet jantan dan sel gamet betina untuk membentuk satu sel (zigot). Dalam proses pembuahan, spermatozoa masuk ke dalam telur melalui lubang micropyle yang terdapat pada chorion. Tiap spermatozoa mempunyai kesempatan yang sama untuk membuahi satu telur. Akan tetapi karena ruang tempat terjadinya pembuahan yaitu pertemuan telur dengan spermatozoa pada ikan ovipar sangat besar, maka kesempatan spermatozoa itu untuk bertemu dengan telur sebenarnya sangat kecil (Setyono, 2009).

2.3 Perkembangan Telur Ikan

Secara umum pada perkembangan telur ikan di dalam ovarium meliputi empat tahap diantaranya ialah awal pertumbuhan, tahap pembentukan kantung kuning telur, tahap vitelogenesis dan tahap pematangan. Setelah itu telur terjadi ovulasi dan dipijahkan. Kuning telur yang dibentuk didalam sel telur bertujuan sebagai makanan – makanan bagi embrio ikan, kemudian saat kuning telur pada larva tersebut sudah habis maka perlu ditambahkan makanan tambahan dari luar.

Makanan tambahan dari luar tersebut dapat berupa makanan alami yang memiliki kandungan gizi yang tercukupi. Makanan alami dapat digantikan dengan plankton atau cacing sutera (Fujaya, 2008).

Dalam tahap awal dari daur hidup ikan terutama dalam stadia larva terdapat masa kritis yang terletak pada saat sebelum dan sesudah penghisapan kuning telur dan masa transisi mulai mengambil makanan dari luar. Sehubungan dengan hal ini, pergerakan larva atau tingkah laku larva untuk mendapatkan

(26)

makanan, juga kepadatan persediaan makanan yang baik merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan hidup. Pada saat kuning telur belum habis dihisap larva melakukan pergerakan yang memerlukan energi (Setyono, 2009).

Selama pemeliharaan larva tidak diberi pakan karena kuning telur masih ada. Telur yang tidak menetas dibuang dengan menggunakan pipet tetes agar kualitas air tetap baik. Perkembangan telur yang tidak sempurna dapat menghasilkan larva yang abnormal dengan ciri-ciri terjadi pembengkokan pada tulang ekor, tubuhnya kerdil, ukuran kuning telur terlalu besar dibandingkan larva lain, dan gerakannya selalu berputar. Larva ikan baung yang baru menetas tampak transparan, sirip dada dan sirip ekor sudah ada tetapi hanya berbentuk tonjolan dan belum memiliki jari-jari, mata sudah berpigmen, sungut mulai terbentuk meskipun belum jelas betul bentuknya dan panjang larva yang baru menetas berkisar antara 5,79-6,20 mm (Hadid et al., 2014).

2.4 Embriogenesis

Pembuahan merupakan bersatunya oosit (telur) dengan sperma yang membentuk zigot. Menurut Yulianti et al.(2012), menyatakan bahwa telur umumnya mengalami proses embriogenesis, yaitu proses perkembangan telur hingga menjadi larva, embriogenesis akan berlangsung pada saat inkubasi dimulai dari proses pembelahan sel telur (cleavage), morulasi, blastulasi, gastrulasi, dan dilanjutkan dengan organogenesis yang selanjutnya menetas. Telur mengalami balstulasi dimana proses perkembangan embrio yang menghasilkan pembentukan blastula. Setelah itu fase gastrula dimana terjadi perkembangan sel bakal organ yang telah terbentuk pada fase blastula. Kemudian sel telur akan mengalami perkembangan fase organogenesis, dimana proses pembentukan organ tubuh, pembentukan organ tubuh ini meliputi otak, mata, bagian alat pencernaan makanan dan kelenjarnya, dan sebagian kelenjar endokrin.

(27)

2.4.1 Cleavage

Pada pembelahan pertama merupakan tahap perkembangan 2 sel, yang ditandai dengan terjadinya pembelahan mitosis sel tunggal menghasilkan dua buah sel yang berukuran lebih kecil dan sama. Pembelahan selanjutnya adalah tahap perkembangan 4 sel, ditandai dengan terjadinya pembelahan mitosis dari kedua sel menghasilkan empat buah sel. Tahap 8 sel ditandai dengan terjadinya pembelahan keempat sel menghasilkan delapan buah sel. Tahap-tahap perkembangan selanjutnya terjadi pembelahan-pembelahan sel secara mitosis menghasilkan sel-sel (blastomer) dengan jumlah dua kali lipat (duplikasi), sehingga terbentuk banyak sel berukuran kecil-kecil dan dalam bentuk susunan yang bergerombol (morula) yang tampak lebih padat dibandingkan pada bagian kuning telur (Iswanto dan Tahapari, 2011).

Pada saat pembelahan I terjadi, lapisan korion mengeras yang berfungsi untuk melindungi proses pembelahan sel selanjutnya agar tidak rusak.

Pembelahan II diawali dengan dua buah blastomer yang membelah tegak lurus dan menghasilkan terbentuknya empat sel atau blastomer turunan kedua dengan bentuk dan ukuran yang sama besar, tetapi ukurannya lebih kecil dari blastomer turunan pertama. Pembelahan III menghasilkan delapan blastomer turunan ketiga yang berukuran sama besar, namun ukurannya lebih kecil dari blastomer turunan kedua. Pembelahan menjadi delapan sel adalah akibat pembelahan empat sel atau blastomer menjadi delapan blastomer yang tersusun dalam dua baris yang sejajar, dimana setiap baris terdiri dari empat blstomer yang berukuran sama besar. Pembelahan ke IV menghasilkan 16 blastomer. Pada pembelahan V, blastomer yang terbentuk sama besar dan ukurannya lebih kecil dari pembelahan IV, blastomer-blastomer yang terbentuk susunannya sudah tidak beraturan lagi dan membentuk seperti bola kecil. Selain itu, pada ruang perivetilin sudah tidak terlihat lagi (Pattipeilohy, 2013).

(28)

(a) (b) (c)

(d) (e)

Gambar 2. (a) Telur Fertil, (b) Pembelahan I, (c) Pembelahan II, (d) Pembelahan III, (e) Pembelahan IV (Kimmel et al., 1995).

2.4.2 Stadia Morula

Perkembangan selanjutnya adalah tahap-tahap pembelahan sel (morulasi). Tahap-tahap perkembangan selanjutnya terjadi pembelahan- pembelahan sel secara mitosis menghasilkan sel-sel (blastomer) dengan jumlah dua kali lipat (duplikasi), sehingga terbentuk banyak sel berukuran kecil-kecil dan dalam bentuk susunan yang bergerombol (morula) yang tampak lebih padat dibandingkan pada bagian kuning telur (Iswanto dan Tahapari, 2011).

Menurut Renita et al.(2016), menyatakan bahwa fase morula dimulai ketika telah mencapai 32 sel. Sel membelah secara melintang dan mulai terbentuk formasi lapisan kedua secara samar pada kutub anima. Fase morula berakhir apabila pembelahan sel sudah menghasilkan blastomer yang ukuran sama tetapi lebih kecil. Kemudian sel tersebut memadat untuk menjadi blastodisk kecil membentuk dua lapis sel.

(29)

Gambar 3. Fase Morula (Kimmel et al., 1995) 2.4.3 Stadia Blastula

Stadia blastula terbentuk setelah stadia morula berakhir, dimana pada stadia blastula, blastomer membelah beberapa kali membentuk blastomer- blastomer dengan ukuran yang makin kecil, sehingga tempat pada stadia morula blastomer semula padat akan terbentuk ruangan kosong yang disebut blastosul yang ditutupi oleh blastoderm dan pada sisi luar terdapat epiblast. Antara blastosul dan blastoderm dipisahkan oleh hypoblast primer (Pattipeilohy, 2013).

Fase blastula awal merupakan stadia blastula dimana sel-selnya terus mengadakan pembelahan dengan aktif sehingga ukuran sel selnya semakin kecil.

Pada stadia blastula terdapat dua macam sel yakni sel formatif dan non formatif.

Sel formatif termasuk ke dalam komposisi tubuh embrionik sedangkan sel nonformatif sebagai tropoblast yang ada hubungannya dengan nutrisi embrio.

Pada stadia blastula ini terdapat daerah sel yang dapat diperkirakan menjadi 3 lapisan yakni ektoderm, entoderm dan mesoderm (Effendie, 2002).

Telur selanjutnya akan mengalami blastulasi, blastulasi ialah proses perkembangan embrio yang menghasilkan pembentukan blastula. Setelah itu sel mengalami proses gastrula. Saat telur berada pada fase gastrula, terjadi perkembangan sel bakal organ yang telah terbentuk pada fase blastula. Setelah fase blastula kemudian sel telur akan mengalami perkembangan fase organogenesis, organogenesis merupakan proses pembentukan organ tubuh,

Blastomer

Kuning Telur

(30)

pembentukan organ tubuh ini meliputi otak, mata, bagian alat pencernaan makanan dan kelenjarnya, dan sebagian kelenjar endokrin (Yulianti et al., 2012).

Gambar 4. Fase Blastula (Kimmel et al., 1995) 2.4.4 Stadia Gastrula

Pada stadia gastrula ialah proses kelanjutan dari staium blastula yang lapisannya berkembang dari satu menjadi dua lapis sel. Awal dari gastrula ini terjadi begitu proses pada stadia blastula selesai. Proses pembelahan sel dengan pergerakkannya berjalan lebih cepat dari pada dalam stadia blastula. Proses pergerakkan sel dalam stadia grastula pada telur ada dua yakni epiboly dan emboly (Effendie, 2002).

Pada stadia gastrula, perkembangan telur ikan ditandai dengan terjadinya proses perluasan dan penutupan kuning telur oleh blastoderm ke arah blastopora (blastopore closure, epiboly) hingga seluruh bagian kuning telur telah tertutupi oleh blastoderm yang pada telur ikan biasanya terjadi dalam periode 210 - 420 menit setelah proses fertilisasi (Iswanto dan Tahapari, 2011).

Setelah fase blastula berakhir, dilanjutkan dengan fase gastrula dimana blastomer menunjukan gerakan invaginasi dan membentuk rongga yang dinamakan gastrocoel. Blastomer kemudian menutupi 50% dari kuning telur yang menunjukkan berlangsungnya perisai embrio. Gastrula akhir nampak apabila epiboly telah menutupi 80–90% dari kuning telur (Cindelaras et al., 2015).

Blastoderm

Kuning Telur Periblast

(31)

Berdasarkan pengamatan secara deskriptif, perkembangan embrio ikan baung sampai menetas memerlukan waktu antara 25-26 jam. Morula merupakan perkembangan embrio yang dimulai sejak pembelahan mencapai 32 sel, dan pada stadia ini ukuran sel mulai beragam. Stadia blastula dicirikan dengan terbentuknya blastocoel dan blastodisk berada di lubang vegetal berpindah menutupi sebagian besar kuning telur. Dalam proses embriogenesis perkembangan embrio merupakan suatu proses yang berlangsung secara terus-menerus sehingga embrio selalu mengalami perubahan dari menit ke menit atau dari jam ke jam di mana perkembangan antara satu fase dengan fase lainnya hampir tidak jelas (Suhenda et al., 2009).

Gambar 5. Fase Gastrula (Kimmel et al., 1995).

2.4.5 Organogenesis

Pada fase organogenesis mengalami proses pembentukan organ tubuh hampir sempurna ketika telur akan menetas. Dalam stadia organogenesis larva sudah mulai aktif bergerak. Pergerakan embrio ini diakibatkan oleh bertambah panjangnya bagian ekor embrio dan mulai terlepas dari kuning telurnya serta terdeteksi jantung sudah mulai aktif. Notokorda dan somit makin jelas serta lekukan pada kepala sudah mulai nampak. Selama pembentukan organ yaitu semenjak telur terbuahi chorion (cangkang telur) mengalami pengerasan. Hal ini bertujuan agar terjaga dari gangguan luar selama proses pembentukan organ- organ sedang berjalan (Effendie, 2002).

Epiboly Kuning Telur Blastoderm

(32)

Pada tahap akhir, kantung kuning telur, mulut dan usus dibentuk. Mata menjadi berpigmen dan organ utama penting untuk menangkap mangsa, menjadi fungsional. Pada telur ikan baung ukuran diameter telur yang lebih besar dan tersimpannya nutrisi pada kuning telur dalam jumlah yeng lebih banyak maka akan tersedia energi yang lebih tinggi untuk awal kehidupan embrio, sehingga akan menghasilkan derajat penetasan dan sintasan larva yang lebih tinggi. Pada saat larva masih belum mendapatkan pakan dari luar, larva masih mengandalkan kandungan kuning telur (terutama lemak) sebagai sumber energinya, sehingga keberadaan lemak di dalam telur penting untuk perkembangan selanjutnya.

Penyebab kematian larva yang tinggi pada awal pemeliharaan adalah masa kritis yang terjadi pada saat kuning telur habis dan larva harus mengambil makanan dari luar (Suhenda et al., 2009).

Gambar 6. Fase Organogenesis (Kimmel et al., 1995).

2.5 Penetasan Telur

Penetasan merupakann tahap terakhir pada masa pengeraman sebagai hasil beberapa proses sehingga embrio keluar dari cangkangnya. Penetasan terjadi karena kerja mekanik dan kerja enzimatik. Kerja mekanik, diakibatkan karena embrio sering mengubah posisinya karena kekurangan ruang dalam cangkangnya, atau karena embrio telah lebih panjang dari lingkungan dalam cangkangnya. Dengan pergerakan - pergerakan tersebut bagian telur lembek dan tipis akan pecah sehingga embrio akan keluar dari cangkangnya. Sedangkan kerja

Kuning Telur

Notokorda

Somit

Perpanjangan Kuning Telur Kepala

Mata

Ekor

(33)

enzimatik, yaitu enzim dan zat kimia lainnya yang dikeluarkan oleh kelenjar endodermal di daerah pharink embrio. Enzim ini disebut chorionase yang kerjanya bersifat mereduksi chorion yang terdiri dari pseudokeratine menjadi lembek.

Sehingga pada bagian cangkang yang tipis dan terkena chorionase akan retak dan pecah dan ekor embrio dapat keluar dari cangkang kemudian diikuti tubuh dan kepalanya (Gusrina, 2008).

Menurut Diana et al.(2010), menyatakan bahwa daya tetas telur selain dipengaruhi oleh faktor dalam antara lain hormon dan volume kuning telur juga dapat dipengaruhi oleh faktor luar yaitu kualitas air. Kualitas air yang dapat mempengaruhi antara lain salinitas, suhu, pH, oksigen terlarut dan intensitas cahaya. Kualitas air dalam media penetasan. Kualitas air yang terukur untuk penetasan telur yaitu suhu air yang berkisar antara 27- 31ºC, oksigen terlarut optimal minimal 3 mg/l dan pH optimal berkisar antara 6-9.

2.6 Pengaruh pH terhadap Perkembangan Embrio

Derajat keasaman (pH) dalam suatu perairan merupakan salah satu parameter kimia yang sangat penting dalam memantau kestabilan suatu perairan.

Perubahan pH dapat mempengaruhi struktur insang serta aktifitas enzim pada organ insang sehingga dapat mempengaruhi tingkat konsumsi oksigen.

Perubahan struktur insang ikan membuat sistem osmoregulasi dan ekskresi pada tubuh akan terganggu yang dapat membuat tekanan osmotik cairan tubuh tidak ideal dan akan menyebabkan laju biosintesis akan terhambat dan akhirnya akan mengganggu tingkatsintasan dan pertumbuhan ikan. Sintasan adalah persentasi ikan yang hidup diakhir pemeliharaan (Suhenda et al., 2009).

Perlakuan tingkat derajat pH yang berbeda pada media dapat memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap panjang, sintasan serta peyerapan kuning telur dan perkembangan mulut ikan. pH dalam perairan untuk penetasan telur

(34)

jangan sampai terlalu asam atau terlalu basa. Pada saat perairan memiliki pH yang tidak cocok untuk perkembangan telur dan penetasan telur, hal ini dapat menghambat penetasan sehingga mengakibatkan larva tidak dapat beradaptasi dengan baik dengan lingkungan perairan itu sendiri dan dapat mempengaruhi laju pertumbuhannya. Kandungan pH yang kurang dari batas optimum akan menyebabkan ikan stress dan mengalami gangguan fisiologis bahkan dapat menyebabkan kematian (Surbakti, 2015).

Kualitas air pada penetasan telur dapat mempengaruhi keadaan larva nantinya. Dalam pemeliharaan larva ikan baung tentunya diperhatikan kualitas air terutama pH, untuk larva ikan baung pH air 7 - 8,5. Untuk mencegah terjadinya penurunan kualitas air maka memasuki hari ke 7 selama proses penetasan perlu dilakukan pergantian air sebanyak 10 – 20 %, dan ditingkatkan pada minggu ke tiga sebanyak 20 – 30 %. Dikarenakan jika pada pH yang tidak sesuai, telur tidak akan menetas dengan sempurna (Kordi, 2008).

Berdasarkan nilai pH perairan yang didapat selama penelitian pada perairan sungai Bingai, Sumatera Utara masih dinyatakan mendukung untuk kehidupan ikan baung dengan nilai pH perairan sungai berkisar antara 6,5 sampai 7,4. Adanya penurunan populasi ikan baung di perairan daerah sungai tersebut dapat dipengaruhi dengan perubahan kualitas air di kawasan aliran Sungai Bingai yang dapat diakibatkan oleh adanya limbah yang memenuhi badan sungai sehingga habitat ikan dapat terganggu. Dari kondisi perairan Sungai Bingai sendiri, dapat diketahui bahwa perairan tersebut sesuai dengan habitat ikan baung yang hidup diperairan berarus lambat dengan kisaran kualitas air yang masih dapat ditolerir oleh ikan baung (Manurung et al.,2013).

2.7 Kualitas Air

Kualitas air yang diukur adalah oksigen terlarut (DO), pH dan amoniak.

Pengukuran pH, oksigen terlarut dan amonia dilakukan setiap hari. Secara umum

(35)

kisaran kualitas air masih dalam kisaran toleransi untuk penetasan telur dan pemeliharaan larva ikan baung. Nilai suhu berkisar antara 27,5 oC - 28 oC, dimana kisaran ini merupakan kisaran optimal untuk penetasan telur, perawatan larva dan pertumbuhan ikan baung. Nilai pH berkisar antara 7,00 - 7,12, dimana kisaran ini masih dalam batas toleransi untuk penetasan dan pemeliharaan larva ikan baung.

Kandungan oksigen terlarut berkisar antara 6,0 - 6,5 mg/l, dalam hal ini kadar osigen kisaran 6,0 - 6,5 mg/l mendukung perkembangan embrio dan pemeliharaan larva (Hadid et al., 2008).

Ikan baung merupakan ikan air tawar yang tidak menyukai air deras. Ikan baung biasanya hidup di perairan yang tenang oleh karenanya banyak ditemukan didaerah air tenang diantaranya sungai dengan arus yang tenang, danau atau waduk. Ikan baung memerlukan oksigen terlarut untuk kehidupannya. Ikan baung dapat hidup pada ketinggian air sampai 1.000m dpl. Dengan suhu 24 - 29 oC , dengan pH 6,5 – 8 serta kelarutan oksigen 4 ppm (Susanto, 2015).

(36)

3. MATERI DAN METODE

3.1 Materi Penelitian 3.1.1 Ikan Uji

Ikan uji yang digunakan adalah induk ikan baung (Mystus nemurus) jantan dan betina yang telah matang gonad untuk mendapatkan telur.

3.1.2 Alat-Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

a) Akuarium sebagai wadah penetasan telur dan larva ikan baung berukuran 60 cm x 60 cm x 40 cm

b) Perlengkapan aerasi (aerator, selang aerasi dan batu aerasi) untuk penyediaan aerasi selama perlakuan.

c) Seser untuk memindahkan ikan

d) Pipet untuk mengambil telur pada saat pemanenan telur.

e) Baskom untuk wadah telur yang telah distriping

f) Mikroskop untuk mengamati perkembangan embrio ikan baung selama perlakuan.

g) Kateter sebagai alat untuk melihat tingkat kematangan gonad induk betina h) Bulu ayam sebagai alat untuk mengaduk telur dan sperma pada saat

fertilisasi.

i) Objek glass sebagai alas telur saat mengamati telur di bawah mikroskop.

j) Termometer untuk mengukur suhu air.

k) pH pen untuk mengukur pH air.

l) DO meter untuk mengukur oksigen terlarut dalam air.

m) Kamera Digital untuk mendokumentasikan kegiatan selama penelitian.

n) Timbangan analitik untuk menimbang berat induk ikan.

(37)

o) Lap basah untuk mengkondisikan ikan agar tidak stress saat penyuntikan p) Waring sebagai substrat untuk menempelnya telur ikan baung

3.1.3 Bahan-Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

a) Telur ikan baung sebagai objek yang diamati embrionya.

b) Ovaprim sebagai ovaprim untuk mempercepat ovulasi.

c) Spuit sebagai alat bantu menyuntikkan ovaprim ke induk ikan baung.

d) Na-Fis sebagai bahan pengencer saat penyuntikan.

e) Air sebagai media penetasan telur ikan baung.

f) Kertas label untuk memberi tanda pada akuarium.

g) Tisu untuk membersihkan alat-alat.

h) Kuning telur sebagai pakan larva ikan baung.

i) Cacing sutra (Tubifex sp.) sebagai pakan larva ikan baung.

j) Larutan KOH untuk menaikkan pH air.

k) Larutan Asam Sitrat untuk menurunkan pH air.

l) Aquades sebagai pelarut

m) Sabun untuk membersihkan akuarium

3.2 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan masing-masing 3 ulangan. Menurut Renita et al. (2016), model rancangan acak lengkap (RAL) yang dipergunakan yaitu dengan rumus:

Keterangan:

Yij : nilai pengamatan dari perlakuanke-i dan ulangan ke-j Μ : nilai rata-rata harapan

Τi : pengaruh perlakuanke-i

Εij : pengaruh galat dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j Yij = μ + τi + εij

(38)

Ikan baung dapat ditemukan diperairan yang tenang dengan kadar kualitas air yang baik. Ikan baung juga memerlukan kadar oksigen yang tinggi diperairan.

Hal ini sesuai dengan Susanto (2015), meyatakan bahwa ikan baung merupakan ikan air tawar yang tidak menyukai air deras. Ikan baung biasanya dapat hidup di perairan yang tenang oleh karenanya banyak ditemukan didaerah air tenang dengan nilai pH berkisar 6,5 – 8. Menurut Kordi (2008), menyatakan bahwa dalam penetasan telur dan pemeliharaan larva ikan baung kualitas air terutama pada pH diketahui 7 – 8,5. Sehingga pada penelitian ini dilakukan dengan perlakuan pH pada masing-masing akuarium adalah :

A = Penetasan telur pada pH 6 B = Penetasan telur pada pH 7 C = Penetasan telur pada pH 8 D = Penetasan telur pada pH 9

Dalam penelitian ini masing-masing perlakuan diberi ulangan sebanyak 3 kali yang ditempatkan secara acak. Dengan membutuhkan akuarium sebanyak 12 akuarium dengan peralatan yang dipasang lengkap meliputi selang aerasi, aerator, blower dan batu aerasi dengan akuarium yang dipasang rapi menggunakan rak dengan sebaris rak diisi dengan akuarium berukuran 60 cm x 40 cm x 40 cm.

Denah percobaan dapat dilihat pada Gambar 7:

Gambar 1. Denah Percobaan Keterangan:

A, B, C, D : Perlakuan 1,2,3 : Ulangan

B1 D1 A2 C2

C3 A1 B2 D3

D2 B3 C1 A3

(39)

3.3 Metode Kerja 3.3.1 Alur Penelitian

Alur yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 2. Alur Penelitian 3.3.2 Persiapan Alat dan Media Penetasan

Sebelum penelitian disiapkan terlebih dahulu akuarium, heater, termometer dan peralatan aerasi. Akuarium dibersihkan dan dibilas sampai bersih dan diisi air. Air yang digunakan untuk penetasan telur adalah air tawar dari air sumber Sawangan. Dua belas buah akuarium untuk perlakuan pH dan diletakkan di dalam ruangan. pH diperoleh dengan cara mencampurkan asam sitrat untuk

Persiapan Alat dan Bahan

Persiapan induk dan adaptasi Akuarium

Seleksi Induk

Pemberian perlakuan (asam sitrat dan KOH) pada masing

masing akuarium

Pemijahan Buatan

Penebaran Telur

Perhitungan Hatching Rate

Pengamatan Embriogenesis pada mikroskop

Perhitungan Survival Rate

Pengamatan Kualitas air

(40)

menurunkan pH dan KOH untuk menaikkan pH ke dalam akuarium hingga didapat pH yang diinginkan, kemudian dipasang heater, termometer dan aerasi.

Penyesuaian perlakuan pH pada media dengan dilakukan melarutkan 2 gram asam sitrat dengan 100 ml aquades kemudian di tambahkan pada media sampai penyesuaian pH yang diingikan tercapai. Untuk menaikkan pH sesuai yang diinginkan menambahkan larutan KOH dengan cara mencampurkan 2 gram KOH dengan 100 ml aquades kemudian ditambahkan pada akuarium sedikit demi sedikit, hal ini dilakukan sampai pH yang diinginkan tercapai.

Menurut Purba (2006), menyatakan bahwa asam merupakan zat yang dalam air melepaskan ion H+. Dengan kata lain, pembawa sifat asam adalah ion H+. Asam Arrhenius dapat dirumuskan sebagai HxZ dan dalam air mengalami ionisasi sebagai berikut:

HxZ(aq)x H+(aq) + Zx-(aq)

Basa merupakan senyawa dalam air dapat menghasilkan ion hidroksida (OH-). Basa Arrhenius merupakan hidroksida logam, dapat dirumuskan sebagai M(OH)x, dan dalam air mengion sebgai berikut:

M(OH)x(aq) → Mx+ (aq) + xOH-(aq)

Konsep pH untuk menyatakan konsentrasi ion H+, yaitu sama dengan negative logaritma konsentrasi ion H+. secara metematika diungkapkan dengan persamaan sebagai berikut:

Jika [H+] = 1 x 10-n, maka pH = n

Jika [H+] = a x 10-n, maka pH = a – log a Sebaliknya jika pH = n, maka [H+] = 10-n pH = - log [H+]

pOH = - log [OH-] pH = pKw – pOH pH = 14 - pOH

(41)

Sehingga dapat diasumsikan bahwa suatu larutan KOH pada 100 ml aquades dengan 0,01M diperoleh pH:

[OH-] = 0,01

= 10-2 M pOH = 2

pH = 14 - pOH = 14 – 2 = 12

Jadi, dapat diketahui pH larutan KOH memiliki pH 12, kemudian larutan tersebut di teteskan pada masing masing perlakuan sampai pH yang diinginkan tercapai.

3.3.3 Seleksi Induk

Seleksi induk dilakukan pada sore hari dilakukan penjaringan di kolam induk kemudian setelah diseleksi ditampung terlebih dahuli di kolam penampungan induk. Induk betina ditandai dengan perutnya yang buncit dan lembut, bila diurut telur ynag keluar bentuknya bulat utuh berwarna kecoklatan, tubuhnya agak kusam gerakan lambat. Induk jantan ditandai dengan warna tubuh dan alat kelaminnya agak kemerahan, gerakan licah. Setelah induk diseleksi diletakkan di bak penampungan kemudian dipuasakan selama 24 jam. Bobot induk ikan baung yang sudah dapat dipijahkan berkisar 0,8 kg sampai 1 kg.

Menurut Kordi (2008), menyatakan bahwa calon induk ikan baung pada induk betina dan janta memiliki berat minimial 300 gram, umur induk minimal 1 tahun, kondisi sehat dan tidak cacat. Induk betina saat matang telur perut bagian belakang mengembung dan permukaan kulit sangat lembut, jika perut dipijat mengeluarkan telur berwarna kecoklatan, gerakan lambat, alat genital bulat dan kemerahan. Sedangkan pada induk jantan lubang genital memanjang dan

(42)

meruncing kearah caudal dan bagian ujungnya berwarna merah, bentuk badan agak langsing, induk menjadi galak dan lincah.

3.3.4 Pemijahan

Percobaan pemijahan secara buatan telah dilakukan dengan teknik pemberian rangsangan dengan suntik hormon. Induk betina disuntik dengan ovaprim sebanyak 0,6 ml/kg dan jantan dengan ovaprim 0,5 ml/kg. Penyuntikan pada ikan betina dilakukan dua kali dengan selang waktu 6 jam dengan perbandingan 60% dan 40%. Penyuntikan dilakukan pada bagian punggung dan induk ditutup lap basah.

Setelah penyuntikan dilakukan, untuk pengurutan akan dilakukan 6 s/d 8 jam setelah penyuntikan kedua. Langkah pertama adalah menyiapkan sperma : ambil kantong sperma dari induk jantan dengan membedah bagian perutnya, gunting kantong sperma dan keluarkan. Cairan sperma ditampung dalam mangkok dicampur Nafis secukupnya. Aduk hingga rata. Bila terlalu pekat, tambahkan larutan pengencer sampai larutan berwarna putih susu agak encer.

Selanjutnya, induk betina yang dikeluarkan telurnya. Pijit bagian perut kearah lubang kelamin sampai telurnya keluar. Telur ditampung dalam mangkok plastik yang bersih dan kering. Masukkan larutan sperma sedikit demi sedikit dan aduk sampai merata. Agar terjadi pembuahan, tambahkan air bersih dan aduklah sampai merata sehingga pembuahan dapat berlangsung dengan baik, untuk mencuci telur dari darah dan kotoran lainnya, tambahkan lagi air bersih kemudian dibuang. Lakukan pembilasan 2 s/d 3 kali agar bersih. Ditebar kedalam hapa yang sudah disediakan waring untuk perlakuan hingga permukaan sampai merata dan digunting sesuai ukuran dan segera dipindahkan ke akuarium perlakuan.

Selanjutnya melakukan pengamatan dibawah mikroskop perbesaran 400x pengamatan dilakukan dengan waktu yang telah ditentukan mengacu pada literatur hingga telur menetas dan menjadi larva. Setelah berumur dua hari, larva

(43)

diberi makan kuning telur dan sehari kemudian diberi cacing sutra (Tubifex) yang telah dicincang sampai larva berukuran 2 minggu.

3.3.5 Penetasan Telur dan Perlakuan

Telur ditebar ke dalam akuarium yang telah disiapkan, pada sebelumnya telur yang sudah distripping dan sperma yang sudah disiapkan diaduk dengan bulu ayam. Selama proses penetasan, telur ditebar di dalam akuarium berukuran 40 cm x 60 cm x 40 cmdan dilengkapi dengan sistem aerasi. Telur dimasukkan ke dalam akuarium pada masing – masing perlakuan sebanyak 45 butir. Telur yang telah mati dibuang dengan cara diambil menggunakan pipet tetes.

Menurut Hadit et al.(2014), menyatakan bahwa penetasan ikan baung berkisar 29 jam sampai 32 jam. Pada perkembangan telur diamati dengan menggunakan mikroskop mikroskop mulai dari perkembangan embrio telur ikan hingga menetas. Frekuensi pengamatan yang pertama dilakukan yaitu 15 menit sekali, kemudian 30 menit selama 3 jam setelah selesai pengamatan telur segera dimasukkan ke dalam akuarium. Setelah itu, pengamatan dilakukan 60 menit sekali. Pengamatan semua perlakuan dilakukan secara bersamaan pada waktu yang sudah ditentukan. Waktu perubahan tiap fase perkembangan embrio dicatat dan didokumentasikan. Pengamatan embrio pada telur mengacu pada literatur yang sudah ada sebelumnya. Setiap 30 menit juga dilakukan pengecekan telur dan mengambil telur yang mati pada akuarium agar tidak merusak telur lain yang masih hidup.

3.4 Parameter Uji 3.4.1 Parameter Utama

Parameter utama dalam penelitian ini adalah perkembangan embrio pada ikan baung, Hatching rate daya tetas, abnormalitas dan kelangsungan hidup larva.

Selama perkembangan embrio, dilakukan pengamatan pada perlakuan yang

(44)

sudah ditentukan secara bersama dan didokumentasikan. Dilakukan pencatatan waktu pada setiap perkembangan berlangsung.

a) Perkembangan Embrio

Perkembangan embrio pada ikan baung dimulai setelah telur dibuahi oleh inti spermatozoon yang semua haploid, menjadi inti zigot yang diploid. Zigot inilah yang mempunyai kemampuan untuk melakukan pembelahan segmentasi melalui proses mitosis yang cepat. Zigot yang tersegmen - segmen menjadi bagian yang kecil (cleavage), bermula dari satu sel kemudian membelah menjadi 2 sel, 4 sel, 8 sel, 16 sel, hingga 32 sel yang disebut fase morula. Kemudian berkembang menjadi blastula dan seterusnya sampai menetas. Perkembangan embrio pada awal diamati dengan mikroskop dimulai dari telur terbuahi sampai menetas.

b) Hatching Rate

Menurut Marbun et al.(2013), menyatakan bahwa hatching rate (daya tetas) adalah daya tetas telur atau jumlah telur yang menetas menjadi larva dari telur yang telah dibuahi. Pada pH yang berbeda, daya tetas telur dapat dilakukan perhitungan seluruh telur yang menetas setelah dibuahi dalam bentuk persentase.

HR dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Menurut Wahyuningtias (2016), menyatakan bahwa pengamatan abnormalitas pada penelitian meliputi bentuk tubuh dan bentuk ekor dan pada perhitungan dalam penelitian untuk mengetahui besar nilai abnormalitas seperti berikut:

𝑎𝑏𝑛𝑜𝑟𝑚𝑎𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 = Jumlah larva abnormal

Jumlahlarva normal X 100%

(45)

Menurut Kordi (2008), menyatakan bahwa waktu penetasan telur diketahui dengan cara mencatat waktu telur menetas menjadi larva paling awal hingga telur menetas seluruhnya. Telur ikan baung akan menetas selama selama 30 – 36 jam setelah ovulasi. Setelah menetas, kuning telur ikan baung akan habis setelah 2 – 3 hari. Larva dipelihara 4 – 7 hari dalam akuarium.

c) Survival Rate (SR)

Survival rate merupakan indeks tingkat kelangsungan hidup suatu jenis

ikan dalam suatu proses budidaya dari mulai awal ikan ditebar hingga ikan di panen. Menurut Rudiyanti dan Ekasari (2009), bahwa nilai SR dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

SR = Kelangsungan hidup hewan Uji (%).

Nt = Jumlah ikan uji pada akhir penelitian (ekor).

No = Jumlah ikan uji pada awal penelitian (ekor).

Telur yang menetas menjadi larva selanjutnya dipelihara selama 10 hari.

Selama pemeliharaan, kualitas air dan pakan harus diperhatikan untuk menjaga kehidupan larva. Setelah memasuki masa pemeliharaan 10 hari, dilakukan perhitungan jumlah larva yang masih hidup.

3.4.2 Parameter Penunjang

Parameter penunjang dalam penelitian ini adalah kualitas air pada akuarium yang berisi telur. Pengukuran kualitas air yang dilakukan ialah suhu dan DO (Dissolved Oksygen )

a) Suhu

Pengontrolan Suhu air tetap dilakukan selama penetasan telur sampai menjadi larva. Suhu pada akuarium diukur pada pukul 04.00 WIB, 08.00 WIB, 12.00 WIB dan 16.00 WIB, 19.00 WIB.

(46)

b) Dissolved Oksygen (DO)

Pengontrolan DO dilakukan selama penetasan telur sampai menjadi larva.

DO pada akuarium diukur pada pukul 04.00 WIB, 08.00 WIB, 12.00 WIB dan 16.00 WIB dan 19.00 WIB.

3.5 Analisa Data

Data hasil penelitian yang diperoleh untuk daya tetas telur dianalisis secara manual dengan menggunakan analisis keragaman sesuai dengan rancangan yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 kali ulangan untuk masing-masing perlakuan. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan digunakan analisis keragaman atau uji F, apabila nilai F terjadi berbeda nyata atau berbeda sangat nyata maka dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) untuk menentukan perlakuan yang memberi respon terbaik. Dari uji ini dilanjutkan dengan analisis regresi.

(47)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Perkembangan Embrio

Telur umumnya mengalami proses embriogenesis, yaitu proses perkembangan telur hingga menjadi larva, embriogenesis akan berlangsung pada saat inkubasi dimulai dari proses pembelahan sel telur (cleavage), morulasi, blastulasi, gastrulasi, dan dilanjutkan dengan organogenesis yang selanjutnya menetas Pengamatan perkembangan telur dilakukan dengan menggunakan mikroskop dengan mengamati setiap fase perkembangan embrio mulai dari fertilisasi hingga menetas (Yuliyanti, 2016). Lama waktu yang dibutuhkan untuk setiap tahap perkembangan pada ikan baung yang dipelihara dalam media pH yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Waktu Perkembangan Embrio Ikan Baung pada Perlakuan pH 6, pH 7, pH 8 dan pH 9.

Embriogenesis

pH 6,0 pH 7,0 pH 8,0 pH 9,0

Jam Menit Jam Menit Jam Menit Jam Menit

Telur Fertil 0 0 0 0 0 0 0 0

Cleavage 3 32 3 29 3 29 3 30

Morula 3 34 3 32 3 31 3 32

Blastula 5 59 5 55 5 43 5 48

Gastrula 9 03 8 59 8 52 9 00

Organogenesis 19 20 19 15 19 0 19 07

Menetas 31 22 30 44 29 47 30 38

Perkembangan embrio ikan baung ini diawali dengan telur fertil dimana telah terjadi pembuahan setelah proses stripping atau pemijahan buatan terjadi.

Pembuahan telur ini terjadi saat sel telur dibuahi sel sperma yang membentuk zigot. Telur ikan baung memilika sifat adhesive dan transparan yang biasanya melekat pada subtrat.

(48)

4.1.1 Telur Fertil

Hasil pengamatan menunjukan proses awal perkembangan embrio ikan baung yang dimulai saat terjadinya pembuahan (fertilisasi) pada saat sel telur dan sel sperma yang membentuk zigot. Proses pemijahan ini dilakukan saat pagi hari dan dilanjutkan perkembangan embrio ikan baung terjadi pada pagi hari. Menurut Putri et al.(2013), menyatakan bahwa ikan memijah setelah penyuntikan kedua.

Telur yang terbuahi akan berwarna transparan, jika berwarna putih susu berarti telur tidak dibuahi dan harus segera dipisahkan agar air tidak keruh atau berbau.

(a) (b)

Gambar 9. Telur Fertil (a) Gambar Literatur (Kimmel et al., 1995) dan (b) Gambar Pengamatan (Perbesaran 400x).

4.1.2 Pembelahan Pertama (2 Sel)

Fase pembelahan dimulai pada saat blastodisk telah terbentuk dan membelah menjadi dua sampai sekitar 32–64 sel. Pada fase pembelahan, blastodisk membelah sesuai bidang pembelahan dan membelah menjadi dua dengan bentuk yang sama, proses tersebut berlanjut seterusnya sampai dengan fase morula (Cindelaras et al., 2015).

Pada proses tahapan pembelahan pertama atau dapat dikenal dengan tahap perkembangan 2 sel, ditandai dengan terjadinya pembelahan mitosis sel tunggal yang menghasilkan dua buah sel yang berukuran lebih kecil dan bentuknya yang sama. Proses pembelahan pertama terjadi setelah telur Korion

Referensi

Dokumen terkait

Hasil perhitungan kepuasan pelanggan dengan menggunakan perhitungan membandingkan antara nilai kinerja dengan nilai maksimal pada atribut informasi harga secara rata-rata

Para siswa TK dapat membelanjakan uang mainan yang dibagikan secara rata kepada setiap anak untuk membeli makanan yang diinginkan dengan membayar sebesar harga

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pemberian tepung Indigofera hingga level 16% sebagai substitusi konsentrat komersial tidak berbeda nyata terhadap produksi

apalan, saengga proses pasinaon kurang narik kawigaten siswa. Mula saka iku, dibutuhake anane pamilihan modhel pasinaon kang trep kanggo ngundhakake kawasisan siswa

Selain dari hasil gambar, beberapa proses kreasi komunikasi luar yang terjadi di lingkungan kelas dianalisis karena memiliki kemungkinan pengaruh pada gambar anak

Maakuntaohjelmien arviointi tarvitsee tuekseen vaikuttavuusmallin, jossa esitettäisiin koko prosessin vaiheet maakuntasuunnitelmasta hankkeiden konkreettiseen toteutukseen

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas berkat hidayah dan kesempatan yang diberikanNYA, maka laporan Inisialisasi Kerjasama Fakultas Teknik Unila dengan Fakultas

Penelitian ini merupakan studi ekologi atau studi korelasi populasi tentang hubungan unsur iklim (suhu udara rata-rata, kelembaban nisbi, indeks curah hujan, kecepatan