• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSPEKTIF, 11(2) (2022): , DOI: /perspektif.v11i PERSPEKTIF. Available online

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERSPEKTIF, 11(2) (2022): , DOI: /perspektif.v11i PERSPEKTIF. Available online"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PERSPEKTIF

Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/perspektif

Komunikasi Publik Pemerintah Republik Indonesia Terkait Pandemi Covid-19 di Indonesia

The Public Communication of the Government of the Republic of Indonesia Related to Covid-19 Pandemic in

Indonesia

Rudi Sukandar*, Lestari Nurhajati, Rani Chandra Oktaviani &

Xenia Angelica Wijayanto

Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi, Fakultas Komunikasi, Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR, Indonesia

Diterima: 09 Desember 2021; Direview: 03 Januari 2022; Disetujui: 17 Februari 2022 Abstrak

Penelitian ini berusaha mengevaluasi komunikasi publik Pemerintah Republik Indonesia terkait pandemi Covid-19 di Indonesia dari perspektif para jurnalis sebagai mitra pemerintah dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat. Dengan menggunakan teori sistem dan excellence theory Grunig sebagai kerangka teoretis, penelitian ini mencoba memahami bagaimana pemerintah sebagai organisme hidup berinteraksi dengan lingkungannya dan mengidentifikasi strategi kehumasan yang dipakai dalam berkomunikasi kepada para pemangku kepentingan terkait pandemi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan memakai focus group discussion (FGD) dan big data analysis (BDA) sebagai teknik pengumpulan data. Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan dalam pola komunikasi krisis pemerintah. Hal ini didorong oleh adanya perubahan kepemimpinan di lembaga terkait dan pergeseran pola komunikasi yang awalnya bersifat militeristik menjadi nonmiliteristik.

Namun demikian, beberapa masalah masih didapati dalam komunikasi pemerintah tersebut, di antaranya, masih ditemukannya ego sektoral, inkonsistensi pesan yang dikirimkan oleh lembaga- lembaga pemerintah, penggunaan symbol rujukan yang tidak universal, banyaknya aspek seremonial yang tidak perlu, dan kesenjangan antara perumusan dan realisasi ide serta pelibatan para pemangku kepentingan dalam semangat volunterisme.

Kata Kunci: Komunikasi Publik Pemerintah; Pandemi; Teori Sistem; Kehumasan Abstract

This study sought to evaluate the public communication of the Government of the Republic of Indonesia regarding the Covid-19 pandemic in Indonesia from the perspective of journalists as government partners in conveying messages to the public. Using systems theory and Grunig's excellence theory as theoretical frameworks, this study attempted to understand how the government as a living organisme interacts with its environment and identifies the public relations strategy used in communicating with stakeholders regarding the pandemic. This study employed a qualitative approach using focus group discussions (FGD) and big data analysis (BDA) as data collection techniques. The results showed a change in the government's crisis communication pattern. This was driven by a change in leadership in related institutions and a shift in communication patterns from militaristic to non-militaristic. However, several problems were still found in the government's communication, including silo mentality, inconsistency of messages sent by government institutions, the use of non-universal reference symbols, many unnecessary ceremonial aspects, and the gap between formulation and realization of ideas and involvement of stakeholders in the spirit of voluntarism.

Keywords: Government public communication; pandemic; systems theory; public relations

How to Cite: Sukandar, R., Nurhajati, L., Oktaviani, R. C., & Wijayanto, X. A. (2022). Komunikasi Publik Pemerintah Republik Indonesia Terkait Pandemi Covid-19 di Indonesia. PERSPEKTIF, 11 (2): 771-778

*Corresponding author:

E-mail: rudi.s@lspr.edu ISSN 2085-0328 (Print)

ISSN 2541-5913 (online)

(2)

PENDAHULUAN

Pandemi Covid-19 telah berjalan lebih dari dua tahun sejak mulai ramainya isu tersebut didiskusikan pemerintah dan publik secara terbuka bulan Maret 2020. Pada tataran global sendiri diskusi dan penyebaran informasi tentang Covid-19 terjadi secara masif, termasuk penyebaran informasi dan berita yang bersifat hoaks sehingga World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa dunia tidak hanya mengalami pandemik tetapi juga infodemik (Thomas, 2020). Di Indonesia respons awal publik tentang pandemi beragam dan memiliki sentimen positif, negatif, dan netral (Nurhajati, Sukandar, Oktaviani, & Wijayanto, 2020). Hal ini mengilustrasikan bahwa publik memerlukan kepastian informasi dari pemerintah. Ketika informasi dan berita positif dan berisi optimisme, sentimen yang bernada positif akan muncul di media sosial dan situs-situs portal berita (Sukandar, Nurhajati, Oktaviani, &

Wijayanto, 2021).

Secara umum, para pejabat pemerintah Indonesia, baik Presiden Jokowi, pejabat penanganan Covid 19, maupun para gubernur dianggap telah melakukan komunikasi dan koordinasi di media sosial Twitter untuk membahas penanganan Covid 19 (Salahudin, Nurmandi, Sulistyaningsih, Lutfi, & Sihidi, 2020). Lebih lanjut, dengan menggunakan akun Twitter Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Anies Baswedan, komunikasi pemerintah dengan menggunakan media sosial dianggap lebih efektif dalam pandemi dalam meredakan kepanikan masyarakat dan memperluas kepercayaan publik kepada Pemerintah (Qodir, Az-Zahra, Nurmandi, Jubba,

& Hidayati, 2020).

Namun demikian, kinerja komunikasi pemerintah dalam mengatasi pandemi juga banyak mendapat sorotan. Banyak kritik dikeluarkan atas tidak efektifnya pemerintah berkomunikasi kepada publik Indonesia dan dunia (lihat antara lain, Aldana, 2020; Arifana, 2021; Tawai et al., 2021). Mengingat pentingnya upaya mengevaluasi kinerja komunikasi pemerintah, penelitian ini berfokus pada pola komunikasi publik pemerintah terkait penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia kepada masyarakat Indonesia dan internasional. Di samping itu, penelitian ini juga berupaya untuk mengungkapkan evaluasi terhadap kinerja komunikasi pemerintah

terkait pandemi dari perspektif media sebagai kekuatan keempat (the fourth estate) dalam kapasitasnya mengadvokasi dan membingkai isu-isu politik.

Penelitian ini menggunakan beberapa teori sebagai landasan. Pertama, teori sistem untuk mengevaluasi komunikasi pemerintah selama pandemi COVID-19 sehingga dapat menjadi rujukan dalam strategi komunikasi risiko kesehatan pemerintah yang efektif untuk pandemi di masa depan. Diperkenalkan oleh Bertalanffy tahun 1940, konsep organisme sebagai sistem terbuka ini menyatakan bahwa organisme memelihara dirinya sendiri dalam keadaan tetap tanpa keseimbangan melalui interaksi terus menerus dengan lingkungannya (Hammond, 2010). Dengan perkataan lain, teori sistem menganggap organisasi adalah organisme hidup yang terus menerus berinteraksi dengan lingkungannya sehingga terbentuk interdependensi, swaregulasi, dan control (Littlejohn & Foss, 2008).

Dalam hal pandemi, komunikasi merupakan proses yang penting dalam mencegah, mempersiapkan diri, dan menanggap darurat kesehatan (Kreps, Alibek, Neuhauser, Rowan, & Sparks, 2005). Lebih lanjut Kreps et al. menggarisbawahi pentingnya komunikasi dalam berkoordinasi dengan pihak-pihak yang terkait, persiapan tingkat tinggi, pemutakhiran informasi yang akurat dan kontinu selama krisis, dan penggunaan kanal- kanal komunikasi manusia dan yang termediasi. Di samping itu, audiens harus dianalisis secara hati-hati dan pesan yang disampaikan harus dirancang dengan baik, serta kanal harus dipilih secara tepat sesuai target audiens. Yang tidak kalah penting juga adalah pemilihan juru bicara dan kerja sama dengan perwakilan media dalam penyampaian pesan (Kreps et al.). Kemudian, Hyland-Wood, Gardner, Leask, dan Ecker (2021) menggarisbawahi elemen lain selain pentingnya pengorganisasi pengiriman pesan, yaitu bagaimana proses interaktif terus berjalan antara, individu, kelompok, dan lembaga, terutama dalam urusan tukar menukar informasi dalam sistem komunikasi yang ada. Hal ini memerlukan adanya transformasi sistem yang meliputi (1) masukan sistem, (2) proses sistem, dan (3) luaran sistem yang memerlukan pemahaman yang komprehensif agar dapat secara tepat

(3)

menanggapi situasi yang sedang dihadapi (Weick, 1979).

Kedua, hubungan dengan lingkungan internal dan eksternal memerlukan pendekatan dari sisi strategi kehumasan. Model klasik Grunig (1993) tentang public relations dan komunikasi: public information, the press agentry, two-way asymmetrical, dan two-way symmetrical models perlu juga dijadikan rujukan dalam melihat kinerja komunikasi publik pemerintah. Penting juga untuk mengevaluasi apakah pemerintah Indonesia mengikuti kecenderungan strategi kehumasan pemerintah yang lebih menggunakan public information dalam komunikasi mereka kepada publik (Grunig, J. & Grunig, L., 1992; Grunig &

Jaatinen, 1999)

Mengingat pesan komunikasi di era siber juga dilakukan dengan kanal termediasi, maka strategi hubungan masyarakat, menurut Holtz (2002), perlu memerhatikan beberapa aspek kehumasan siber, yaitu (1) strategis, dimana kegiatan kehumasan harus berfokus pada upaya memengaruhi hasil yang ingin dicapai organisasi; (2) terintegrasi dimana kegiatan kehumasan organisasi harus menggunakan internet dalam penyusunan program komunikasi yang lebih luas; (3) focus pada target, dimana kegiatan kehumasan memprioritaskan penggunaan internet daripada media lain dalam mencapai target publiknya; dan (4) terukur, dimana perencanaan dan kegiatan kehumasan harus dapat diukur.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan dua teknik dalam pengumpulan data, yaitu focus group discussion (FGD) dan big data analysis (BDA).

FGD merupakan wawancara terbuka dengan sekelompok informan (berjumlah lima sampai delapan orang). Para informan tersebut memberikan masukan dan pendapat mereka atas permasalahan terfokus yang disampaikan oleh peneliti (Patton, 2002). Selain itu, FGD juga bertujuan untuk memberikan penilaian atas sebuah isu baru sekaligus memberikan kesempatan kepada para informan memberikan masukan atas upaya mereka memonitor dan mengevaluasi, serta menginterpretasi data tersedia (Kumar, 1987).

Sementara itu, BDA dilakukan mengingat besarnya keragaman, kecepatan, dan volume data berkenaan dengan sebuah isu yang

beredar di dunia maya. Menurut Vanani dan Majidian (2019), BDA banyak dilakukan untuk tujuan eksperimentasi, simulasi, analisis data, dan monitoring.

Karena pembatasan pertemuan langsung, FGD dalam penelitian ini diadakan secara daring dengan narasumber berjumlah lima orang dari media nasional dan internasional yang beroperasi di Indonesia. Isi diskusi ditranskripsi menggunakan fasilitas yang disediakan oleh https://speechnotes.co.

Sedangkan BDA berfokus pada data percakapan tentang pemerintah dan Corona/Covid-19 di Twitter 1 Maret–30 April 2021 satu tahun setelah Covid-19 mulai mendapat perhatian di Indonesia. Data analisis menggunakan fasilitas yang disediakan oleh Drone Emprit yang berhasil mengumpulkan 148.601 tweet yang berhubungan dengan kata kunci “pemerintah” “Corona,” dan “Covid-19.”

Teknik analisis data mengaplikasikan model interaktif Miles Huberman (1994).

Model ini meliputi tiga tahapan kegiatan, yaitu mereduksi data, menampilkan data, dan mengambil kesimpulan/verifikasi. Untuk proses verifikasi hasil analisis, proses triangulasi dilakukan. Dari empat jenis triangulasi hasil penelitian yang ada (Denzin, 1978), penelitian ini mengimplementasikan triangulasi data.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kinerja Komunikasi Pemerintah kepada Publik Terkait Pandemi.

Menurut narasumber 1, pemerintah sering sekali menyampaikan isi pesan yang conflicting saat berkomunikasi kepada publik.

Misalnya, pesan dilarang mudik yang bertentangan dengan pesan untuk mengunjungi tempat wisata oleh lembaga pemerintah lain. Selain itu narasumber 2 menganggap pemerintah gagap dalam mengelola komunikasi krisis. Hal ini jelas terlihat di awal-awal tanggap darurat tahun 2020. Narasumber 4 menambahkan bahwa disamping pesan yang conflicting dan kegagapan tersebut, komunikasi bersifat satu arah dan menutup adanya dialog. Ciri khas komunikasi satu arah ini sangat menjadi perhatian dari para narasumber. Berbeda dengan yang lain, narasumber 5 justru menganggap pemerintah gagal dalam komunikasi krisisnya. Hal ini menurutnya terlihat sekali dengan tingginya ego sektoral

(4)

dalam merespons isu pandemi dan upaya yang kasat mata dalam mencari credit point di depan Presiden. Misalnya, menurut narasumber 1, dalam ekspose atas penanganan pandemic:

“Seperti diary-nya Pak Doni. Saya sih mengerti bahwa kegiatan BNPB itu ada Pak Doni. Ya dia pasti disebut, tapi tinggal angle-nya itu beda dengan penekanannya. Angle kegiatan itu sendiri atau konten dari instansi tersebut lebih menekankan kepada apa yang dilakukan Pak Doni. Kita bisa melihat perbedaannya bahwa [laporan-laporan] ini lebih menekankan pada Pak Doninya, bukan kegiatannya”.

Sementara itu, para narasumber tidak cukup memiliki data tentang tanggapan publik terhadap upaya komunikasi yang dilakukan pemerintah. Narasumber 4 menyatakan tidak dapat memastikan apakah masyarakat perduli atau tidak. Namun demikian, narasumber 2 menyatakan bahwa perlu ada analisis lanjutan tentang hal tersebut karena masih adanya residu dari pemilihan presiden dan pemilihan gubernur DKI Jakarta. Pendapat narasumber 2 didukung oleh tanggapan pro dan kontra atas kebijakan yang diambil dari para pendukung dan penentang pemerintah meskipun pihak yang menjadi kontestan pemilihan sudah berada dalam satu kubu.

Perubahan Pola Komunikasi Pemerintah Selama Dua Tahun Pandemik

Setahun setelah pandemi, tercatat ada 148.601 tweet, terdiri dari 42.739 mention (28,76%), 14.552 reply (9,79), dan 91.310 retweet (61,45%) dengan interaction rate sebesar 2,48. Dari sisi publik sendiri, berdasarkan BDA, satu tahun setelah pandemi terjadi, publik telah memberikan lebih banyak sentimen positif berdasarkan share of voice dengan perincian 93.575 positif (63%), 51.729 negatif (35%), dan 3.297 netral (2%).

Sementara itu, di sisi jumlah total mentions, tweet lebih didominasi oleh sentimen positif (93.600 mention) dibandingkan dengan yang negatif (51.700 mention) dan netral (3.300 mention).

Hal ini cukup berbeda dari laporan yang disampaikan Lestari et al. (2020) dimana sentimen positif, netral, dan negatif berfluktuasi berdasarkan kanal dan sumber berita. Perubahan komunikasi pemerintah juga dilihat oleh narasumber 5 yang menyampaikan bahwa di masa awal pandemi pemerintah terkesan meremehkan masalah Covid-19.

Menurutnya, sikap meremehkan tersebut dapat terjadi terjadi karena dua hal: pemerintah sendiri juga panik tetapi menyembunyikannya dengan bersikap tenang atau pemerintah memang tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Lebih lanjut narasumber 5 menyatakan pentingnya kredibilitas pemerintah sebagai pembuat pesan di masa krisis.

Perubahan lain dalam komunikasi krisis pemerintah menurut narasumber 1 cuma pada cara penyampaiannya sementara esensinya tidak berubah. Masih terdapatnya pesan-pesan yang saling bertentangan dari lembaga- lembaga pemerintahan, seperti antara himbauan BNPB, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Dalam negeri, dan Kepolisian. Kemudian juga, pesan yang dianggap tidak masuk akal seperti larangan mudik. Narasumber 5, misalnya, pempertanyakan ketidakmampuan pemerintah dalam meyakinkan masyarakat untuk tidak mudik. Menurut narasumber 5, pemerintah perlu perlu mencontoh WHO.

Meskipun kerap dikecam, WHO tetap dianggap kredibel sebagai sumber informasi karena juru bicara berbicara atas nama lembaga. Tidak seperti di Indonesia di mana berkomunikasi kepada public menjadi ajang untuk mencari credit point pribadi. Di samping itu, adanya mentalitas aparatur yang memperlakukan keadaan tidak normal dengan tetap birokrasi di masa normal. Terakhir, perekrutan influencer juga dianggap sebagai tindakan yang tidak tepat karena mengesankan pemerintah tidak mampu mengelola komunikasi krisisnya.

Berbeda dengan narasumber 5, narasumber 3 menyatakan ada perubahan dalam dua tahun terakhir terutama ketika terjadi pergantian pucuk kepemimpinan di Kementerian Kesehatan. Menurut narasumber 3, Kementerian Kesehatan jauh lebih komunikatif dibanding di masa kepemimpinan dr. Terawan. Hal ini dapat dilihat dari pemilihan diksi, penampilan, kesiapan juru bicara, dan kemudahan menghubungi para juru bicara.

Di samping itu, menurut narasumber 2, konsep komunikasi juga mengalami perubahan dari komunikasi berciri militeristik ke nonmiliteristik. Penggunaan ciri komunikasi militeristik yang cenderung menggunakan kata-kata, singkatan, atau istilah yang jamak dipakai dalam dunia militer sangat kental di awal-awal pandemic. Hal ini terjadi karena

(5)

Menteri dan Kepala BNPB memiliki latar belakang militer.

Penggunaan Simbol Rujukan dan Jargon untuk Audiens Target.

Simbol-simbol rujukan dan jargon untuk audiens target juga menjadi perhatian para narasumber. Secara spesifik, narasumber 3 memberikan contoh sebagai berikut:

“Kawan-kawan, dulu ingat nggak waktu pemilu demokrasi pertama? Kan ada iklan masyarakat yang legend gitu: “inga, inga.” … Secara komunikasi kan bagus banget walaupun kita caci maki karena dia norak banget sih. Tapi itu menempel di masyarakat… Nggak ada simbol-simbol yang kayak gitu ya”.

Lebih lanjut, menurut narasumber 1, meskipun media-media secara konsisten menyampaikan pesan itu, dampak dari pesan tersebut kurang. Kemudian keterlibatan para buzzer atau reaksi dari media sosial sepertinya didasarkan pada ketakutan akan kehilangan popularitas. Menurutnya,

“Ingat pesan Ibu” menurut saya juga itu kayaknya nggak selalu bikin gitu. Mereka seharusnya bisa [menciptakan] beberapa pesan yang berbeda walaupun intinya sama. Jangan jadikan “Ingat pesan ibu” sebagai yang paling tepat ketika harus disebarkan ke semua orang.

Karena sepertinya tidak mempertimbangkan faktor bahwa iya kalau siibunya itu memang percaya sama Covid atau ibunya itu percaya sama pakai masker itu adalah baik itu bagus.

Tetapi [bagaimana] kalau ibunya sendiri tidak punya pemahaman seperti itu? Jadi pesan ibunya nggak usah pakai masker, lalu dia percaya sama ibunya, nggak salah dong. Jangan sampai pesannya itu hanya dirancang kepada satu pesan yang sama [interpretasinya].

Pendapat ini juga didukung oleh pernyataan narasumber 1. Menurutnya, pesan yang dirancang seharusnya sesuai dengan peer group-nya supaya pesan lebih relevan. Di samping itu, mengadopsi cara komunikasi tiap kelompok umur bisa jadi membuat pesan yang disampaikan bisa lebih mengena ke masing- masing audiens target.

Sikap Kritis Media terhadap Program Vaksinasi dan Aspek Seremonial yang Tidak Perlu.

Dalam beberapa hal, media dianggap tidak cukup kritis terhadap komunikasi krisis pemerintah, terutama berkenaan dengan program vaksinasi. Menurut narasumber 2,

ketidakkritisan jurnalis terhadap vaksin ini karena kehati-hatian dan keterbatasan informasi. Di samping itu, narasumber ahli di bidangnya itu sulit untuk dimintai keterangan dalam menyampaikan informasi ke publik.

Di samping itu, salah satu hal yang menjadi sorotan para narasumber adalah aspek seremonial yang sebenarnya tidak perlu, namun masih saja dilakukan oleh para pejabat negara. Menurut narasumber 5,

“Saya pernah ditanya sama teman-teman dari luar. Mereka heran dengan aspek seremonial di Indonesia yang lebih kental daripada kegiatan sebenarnya. Tentara dan polisi turun dengan senjata lengkap. “Kalian sedang menghadapi Perang apa?” Sebetulnya di negara yang punya tradisi perang luar biasa di Korea Selatan pun juga nggak seperti itu juga, kan?”

Penekanan pada aspek seremonial ini, menurut narasumber 5, berujung pada munculnya masalah keterpaduan informasi, misalnya siapa yang menjadi pengendali operasi. Sementara itu, yang terjadi adalah masing-masing pejabat dan lembaga terkesan bertindak sendiri-sendiri dalam silo seperti disampaikan oleh narasumber lain. Untuk itu istilah-istilah, seperti serbuan vaksin, tidak perlu menggunakan gimmick tertentu karena cukup ditulis apa adanya. Akibatnya, menurut narasumber 5, negara menjadi bahan candaan padahal sebetulnya upaya vaksinasi di Indonesia sudah bagus apabila dilihat dari tantangan geografisnya.

Hal lain yang mendapat perhatian para narasumber adalah kesulitan mengkonfirmasi informasi dari sumber resmi. Narasumber 3 menceritakan kesulitannya mendapat informasi dari sumber resmi pemerintah dan malah mendapatkannya dari platform media sosial Facebook. Kesulitan konfirmasi pada pihak berwenang ini merupakan salah satu isu yang masih menjadi perhatian besar para jurnalis dalam upaya mereka menyajikan informasi yang akurat kepada publik.

Kesenjangan antara Perumusan dan Realisasi Ide serta Pelibatan Para pemangku Kepentingan dalam Semangat Volunterisme.

Menurut narasumber 1, sudah ada jurnalis yang terlibat dalam perumusan komunikasi krisis di awal pandemi, seperti jurnalis senior Suryo Pratomo. Namun, dia

(6)

berspekulasi bahwa ide yang disampaikan oleh Suryo Pratomo sebagai praktisi komunikasi dan praktisi media bisa jadi bagus tetapi menemui masalah pada saat dieksekusi.

Menurut narasumber 5, hal ini ada hubungannya dengan kepentingan tiap- tiaporang yang ada di lembaga penanganan pandemik.

Di sisi lain, sebagian narasumber menyayangkan ketidaksigapan pemerintah dalam mengidentifikasi dan merekrut pihak- pihak yang dengan sukarela berusaha membantu komunikasi krisis pemerintah di masa pandemi dengan semangat volunterisme.

Menurut narasumber 3, hal ini memberikan kesan bahwa Indonesia tidak mempunyai orang-orang terbaik untuk mengurusi negaranya, padahal ada banyak pihak yang bersedia membantu dan pemerintah hanya tinggal menghubungi mereka saja.

Pendapat ini didukung oleh narasumber 4 yang menyatakan bahwa ada banyak pihak yang bersedia bekerja membantu pemerintah tanpa minta imbalan karena keinginan mereka adalah untuk membantu masyarakat kembali sehat. Apalagi menurut narasumber 5, seharusnya dengan kecanggihan teknologi dan kemelekan teknologi, ada banyak anak muda yang bersedia diajak berpartisipasi sehingga seharusnya komunikasi berbasis teknologi bisa lebih mudah dilakukan.

Pembahasan

Temuan di atas semakin menguatkan posisi yang dipegang oleh Hyland-Wood et al.

(2021) bahwa komunikasi yang efektif selama krisis kesehatan masyarakat bukan hanya tentang pesan, tetapi juga proses interaktif pertukaran informasi dan pendapat antara individu, kelompok, dan lembaga. Dalam beberapa kesempatan proses interaktif ini belum terlalu terlihat dalam upaya komunikasi pemerintah kepada publik sehingga sinyalemen Grunig, J. dan Grunig, L. (1992) dan Grunig dan Jaatinen (1999) bahwa pemerintah lebih banyak menggunakan strategi public information yang bersifat satu arah juga dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.

Transformasi telah terjadi ketika selama dua tahun komunikasi publik dilakukan oleh pemerintah dalam mencegah, mempersiapkan diri, dan menanggap darurat kesehatan. Namun demikian, peringatan Kreps et al. (2005) tentang pentingnya komunikasi dalam

berkoordinasi dengan pihak-pihak yang terkait masih menjadi pekerjaaan rumah bagi pemerintah karena masih terjadi kegagapan di sana-sini. Dari sisi persiapan, pemutakhiran informasi yang akurat dan kontinu selama krisis, dan penggunaan kanal-kanal komunikasi manusia, pemerintah dianggap lebih maju dari masa awal pandemi. Akan tetapi, keterbukaan pemerintah atas data dan kredibilitasnya masih menjadi perhatian beberapa pihak.

Dalam berinteraksi dengan publik, pemerintah juga melakukan beberapa perubahan dari gaya komunikasi yang militeristik ke nonmiliteristik. Selain itu, dengan merujuk pada pernyataan Kreps et al.

(2005), pemilihan juru bicara juga telah dilakukan dengan lebih baik meskipun aspek kerja sama dengan perwakilan media dalam penyampaian pesan masih belum sepenuhnya efektif. Selain itu, perubahan yang terjadi di aspek kepemimpinan lembaga terkait penanganan pandemi juga menyumbang terhadap proses transformasi proses komunikasi pemerintah. Hal ini sesuai dengan pendapat Hyland-Wood et al. (2021) yang menyatakan bahwa komunikasi dan kepemimpinan yang efektif sangat penting dalam pengelolaan pandemi karena kondisi sosial dan ekonomi yang selalu dengan cepat berubah. Selanjutnya, Hyland-Wood et al. juga menyatakan bahwa strategi komunikasi yang dilakukan dengan baik oleh lembaga akan dapat memfasilitasi kepercayaan publik, kepercayaan diri, dan, yang terpenting, kepatuhan terhadap perilaku yang diperlukan dari individu, komunitas, organisasi, dan negara dalam menanggap pandemik.

Dalam interaksinya dengan lingkungan, terutama para pemangku kepentingan, pemerintah masih harus lebih sensitif lagi untuk merancang pesan yang akan disampaikan kepada publik. Hal ini menjadi penting karena, menurut Hyland-Wood et al.

(2021), strategi komunikasi kesehatan masyarakat yang efektif harus melibatkan dukungan dan partisipasi masyarakat secara maksimal dan harus peka terhadap perhatian dan nilai-nilai masyarakat yang beragam.

Penggunaan istilah “3M” dan “5M” yang sebelumnya memiliki definisi yang berbeda di masa nonpandemik perlu dicari alternatifnya untuk menghindari kebingungan masyarakat.

Di samping itu, frase “Ingat Pesan Ibu” juga tidak peka terhadap sekelompok anggota

(7)

masyarakat yang memiliki pengalaman dan hubungan tidak baik dengan ibunya. Akibatnya, pesan tersebut tidak cukup impactful dan mungkin menghidupkan kembali trauma masa lalu bagi mereka yang memiliki pengalaman traumatis di masa lalu. Dalam hal ini, kepekaan terhadap dinamika yang ada dalam lingkup para pemangku kepentingan menjadi salah satu pekerjaan rumah terbesar yang harus mendapat perhatian pemerintah.

Dari sisi komunikasi daring, pemerintah sudah mengikuti beberapa aspek kehumasan yang disampaikan oleh Holtz (2002), terutama aspek strategis dan terukur. Namun demikian, aspek terintegrasi dimana kegiatan kehumasan organisasi harus menggunakan internet dalam penyusunan program komunikasi yang lebih luas perlu mendapat perhatian lebih. Di samping itu, aspek fokus pada target juga perlu diperhatikan terutama untuk memastikan target publik yang ingin dicapai dapat diraih.

Terakhir, prinsip-prinsip teori sistem, terutama keterbukaan, saling ketergantungan, dan keseimbangan (Kreps et al., 2005) masih perlu diperhatikan dan ditingkatkan oleh pemerintah. Adanya keinginan para pemangku kepentingan untuk turut serta dalam upaya penanganan pandemi perlu diakomodir oleh pemerintah, terutama mereka yang datang dengan semangat volunterisme. Apabila mereka dapat diikutkan dalam proses perencanaan komunikasi penanganan pandemi, maka pemerintah akan dapat menjadi sebuah sistem yang benar-benar terbuka yang selalu bersikap dinamis dalam berinteraksi dengan lingkungannya atas dasar kepercayaan dan kerelaan.

SIMPULAN

Penelitian ini menunjukkan bahwa pola komunikasi publik pemerintah tentang pandemi mengalami perubahan dalam setahun terakhir. Meskipun belum memuaskan secara keseluruhan, beberapa aspek dari teori sistem telah diimplementasikan oleh pemerintah.

Pemerintah perlu terus menerus melakukan evaluasi atas upaya komunikasi krisisnya, terutama dengan mengikutsertakan para pemangku kepentingan yang berpotensi memberikan kontribusi besar dan signifikan dalam upaya komunikasi penanganan pandemi.

DAFTAR PUSTAKA

Aldana, A. (2020). Melawan Pandemi dengan

Komunikasi. Diunduh di

https://news.detik.com/kolom/d- 5200262/melawan-pandemi-dengan- komunikasi tanggal 7 September 2021 Arifana, D. (2021). Optimalisasi Komunikasi

Penanganan Pandemi. Diunduh di https://news.detik.com/kolom/d-

5660109/optimalisasi-komunikasi-

penanganan-pandemi tanggal 7 September 2021

Denzin, N. K. (1978). The Research Act: A Theoretical Introduction to Sociological Methods (2nd Ed.).

New York, NY: McGraw-Hill

Grunig, J. E. (1993). Public Relations and International Affairs: Effects, Ethics, and Responsibility. Journal of International Affairs, 47(1): 137-162.

Grunig, J. E., & Grunig, L. A. (1992). Excellence Theory in Public Relations: Past, Present, and Future. Public Relations Research: 327-347.

Grunig, J. E., & Miia Jaatinen, M. (1999). Strategic, Symmetrical Public Relations in Government:

From Pluralism to Societal Corporatism.

Journal of Communication Management, 3(1):

218-234.

Hammond, D. (2010). The Science of Synthesis:

Exploring the Social Implications of General Systems Theory. Boulder, CO: University Press of Colorado.

Holtz, S. (2002). Public Relations on the Net: Winning Strategies to Inform, and Influence the Media, the Investment Community, the Government, the Public, and More (2nd Ed.). New York, NY:

AMACOM.

Hyland-Wood, B., Gardner, J., Leask, J., & Ecker, U. K.

H. (2021). Toward Effective Government Communication Strategies in the Era of COVID-19. Humanities & Social Sciences Communications, 8: 30.

Kreps, G. L., Alibek, K., Neuhauser, L., Rowan, K. E., &

Sparks, L. Emergency/Risk Communication to Promote Public Health and Respond to Biological Threats. dalam: M. Haider (Ed.).

(2005). Global Public Health Communications:

Challenges, Perspectives, and Strategies.

Sudbury, MA: Jones & Bartlett.

Kumar, K. (1989). R-10: Conducting Key Informant Interviews in Developing Countries (A.I.D.

Program Design and Evaluation Methodology Report No. 8). Washington, DC: U.S. Agency for International Development.

Littlejohn, S. W., & Foss, K. A. (2008). Theories of Human Communication (9th Ed.). Belmont, CA:

Thompson Wadsworth.

Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1994). Qualitative Data Analysis: An Expanded Sourcebook (2nd Ed.). Thousand Oaks, CA: Sage

(8)

Nurhajati, L., Sukandar, R., Oktaviani, R. C., &

Wijayanto, X. A., (2020). Perbincangan Isu Corona Covid-19 pada Media Daring dan Media Sosial di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penelitian, Publikasi, dan Pengabdian Masyarakat LSPR.

Patton, M. Q. (2002). Qualitative Research and Evaluation Methods (3rd Ed.). Thousand Oaks, CA: Sage.

Qodir, Z., Az-Zahra, A., Nurmandi, A., Jubba, J., &

Hidayati, M. (2020). The Role of the Leader in a Pandemic: Government Communication to Induce a Positive Perspective among the Public Concerning the COVID-19 Outbreak.

Journal of Critical Reviews, 7(15): 27-35.

Salahudin, Nurmandi, A., Sulistyaningsih, T., Lutfi, M., & Sihidi, I. T. (2020). Analysis of Government Official Twitters during Covid- 19 Crisis in Indonesia. Journal of Talent Development and Excellence, 12(1): 3899- 3915.

Sukandar, R., Nurhajati, L., Oktaviani, R. C., &

Wijayanto, X. A. (2021). Public Initial

Response to Indonesian Government’s Handling and Communicating of COVID-19 Pandemic. Prosiding the 4th International Conference on Communication and Business (ICCB), 9-10 Maret 2021, Jakarta, Indonesia.

Tawai, A., Suharyanto, A., Putranto, T. D., de Guzman, B. M., & Prastowo, A. A. (2021). Indonesian covid-19 issue on media: review on spiral of silence application theory. Jurnal Studi Komunikasi, 5(2), 286-301.

Thomas, Z. (2020). WHO Says Fake Coronavirus Claims Causing 'Infodemic.' Diunduh di https://www.bbc.com/news/technology- 51497800 tanggal 7 September 2021

Vanani, I. R., & Majidian, S. (2019). Literature Review on Big Data Analytics Methods. Diunduh di https://www.intechopen.com/books/social- media-and-machine-learning/literature- review-on-big-data-analytics-methods tanggal 7 September 2021

Weick, K. E. (1979). The Social Psychology of Organizing (2nd Ed.) Reading, MA: Addison- Wesley

Referensi

Dokumen terkait

calon yang akan diusung oleh partai dalam Pemilukada. Kandidat Hasil Seleksi, Dalam rangka memperoleh calon kandidat terbaik yang hendak diusung dan/atau didukung

Tujuan dari penelitian ini yaitu apakah program rumah pintar pemilu mempunyai pengaruh terhadap partisipasi politik masyarakat (studi kasus pada kantor komisi pemilihan umum

Banyak terjadi perceraian di pengadilan- pengadilan agama yang disebabkan dengan berbagai alasan, diantaranya karena faktor ekonomi, karena Kekerasan Dalam Rumah

Secara umum, terlepas dari peran dan tugas relawan demokrasi dalam kegiatan sosialisasi, Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Pidie juga menggunakan kegiatan

Ini berarti responden yang berumur 20-24 tahun saat melahirkan pertama kali akan cenderung memiliki lebih dari 2 anak lahir hidup daripada tidak memilki anak lahir

Untuk mempermudah dalam membaca hasil penelitian maka tingkat partisipasi masyarakat terhadap kebersihan lingkungan di Kelurahan Sei Kera Hilir II berdasarkan 5

Berdasarkan wawancara dengan Kepala Biro Analisis Dan Kajian Strategi Badan Pendidikan Dan Pelatihan Pusat DPP PDI Perjuangan, Utomo (2021), partai dalam

Adanya kendala tersebut di atas harus benar-benar menjadi fokus pelayanan DPMPTSP Kota Medan dalam memberikan pelayanan Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP) serta