i RELEVANSI PENGGUNAAN ANCAMAN PIDANA DALAM REGULASI
PENCEGAHAN DAN PENANGULANGAN PANDEMI COVID-19 (Studi pada Ancaman Sanksi Bagi Masyarakat yang Menolak Vaksinasi Covid-19)
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Derajat Gelar S-2 Program Studi Magister Hukum
Disusun oleh:
RIFALDI
NIM: 201910380211017
DIREKTORAT PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
JANUARI 2022
RELEVANSI PENGGUNAAN ANCAMAN PIDANA DALAM REGULASI PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PANDEMI COVID-19 (Studi pada Ancaman Sanksi Bagi Masayarakat yang Menolak Vaksinasi Covid-19)
RIFALDI 201910380211017
Telah disetujui
Pada hari/tanggal, Jum’at / 14 Januari 2022
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping
Mokh. Najih, Ph.D Dr. Surya Anoraga
Direktur Ketua Program Studi
Program Pascasarjana Magister Hukum
Prof. Akhsanul In’am, Ph.D Dr. Herwastoeti
T E S I S
RIFALDI
201910380211017
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada hari/tanggal, Jum’at / 14 Januari 2022 dan dinyatakan memenuhi syarat sebagai kelengkapan memperoleh gelar Magister/Profesi di Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Malang
SUSUNAN DEWAN PENGUJI
Ketua / Penguji : Mokh. Najih, Ph.D Sekretaris / Penguji : Dr. Surya Anoraga Penguji : Dr. Haris Tofly Penguji : Dr. Herwastoeti
iv
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :
Nama : RIFALDI
NIM : 201910380211017
Program Studi : Magister Hukum
Dengan ini menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa :
1. TESIS dengan judul : RELEVANSI PENGGUNAAN ANCAMAN PIDANA DALAM REGULASI PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PANDEMI COVID-19 (Studi pada Ancaman Sanksi Bagi Masyarakat yang Menolak Vaksinasi Covid-19) adalah karya saya dan dalam naskah Tesis ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, baik sebagian maupun keseluruhan, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dalam daftar pustaka.
2. Apabila ternyata dalam naskah Tesis ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur PLAGIASI, saya bersedia Tesis ini DIGUGURKAN dan GELAR AKADEMIK YANG TELAH SAYA PEROLEH DIBATALKAN, serta diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
3. Tesis ini dapat dijadikan sumber pustaka yang merupakan HAK BEBAS ROYALTY NON EKSKLUSIF.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Malang, 14 Januari 2022 Yang menyatakan,
RIFALDI
v KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan puja hanya untuk Dia Djat maha tinggi dan maha besar sumber dari energi dan kekuatan alam semesta. Dengan kekuatan dari-Nya pula penulis dapat menyelesaikan tugas akhir untuk jenjang S-2 Magister Ilmu Hukum dengan judul
“Relevansi Penggunaan Ancaman Pidana Dalam Regulasi Pencegahan Dan Penanggulangan Pandemi Covid-19 (studi pada ancaman sanksi bagi masyarakat yang menolak vaksinasi covid-19)”.
Tidak lupa pula penulis haturkan salam dan sholawat kepada baginda besar Nabi Muhammad, sang Nabi penutup sekaligus rahmat bagi alam semesta sebagai role model pada jalan menuju keselamatan dunia maupun akhirat. Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan terima kasih satu per-satu kepada:
1. Kepada kedua orang tua tercinta Ayahanda Abdul Mana dan Ibunda Rohana. Dengan kesabaran dan kerja keras beliau berdua telah membesarkan sekaligus guru pertama dalam lingkungan keluarga hingga mengantarkan penulis sampai di titik ini.
2. Kepada Bapak Prof. Aksanul In’am, selaku Direktur program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang
3. Kepada Ibu Dr. Herwastoeti. M.Hum, Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. Beliau telah banyak membantu dengan penuh kesabaran yang ikhlas urusan administrasi sekaligus Dosen Penguji II.
4. Kepada Bapak Mokh. Najih. Ph.D. Dosen Pembimbing I penulis yang telah banyak memberi arahan dan kemudahan bagi penulis menyelesaikan tugas akhir ini. Semoga beliau diberikan kekuatan dan kesabaran dalam menjalankan amanah sebagai Ketua Ombudsman RI.
5. Kepada Bapak Dr. Surya Anoraga. S.H., M.H. Selaku Dosen Pembimbing II, beliau sangat-sangat banyak memberikan masukan dan arahan yang bermanfaat dalam tulisan ini.
6. Kepada Bapak Dr. Haris Tofly S.H., M.Hum. Selaku Dosen Penguji I, beliau telah menguji Tesis ini dengan penuh Profesionalisme dengan kritikan dan saran yang sangat bermanfaat.
vi 7. Terakhir kepada keluarga besar, sahabat, serta rekan-rekan seperjuangan yang telah
memberi spirit positif kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
Malang, 14 Januari 2022
RIFALDI
vii DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN... ii
SURAT PERNYATAAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... viii
Abstrak ... ix
Abstract ... x
PENDAHULUAN ... 1
RUMUSAN MASALAH ... 5
TINJAUAN PUSTAKA ... 5
Vaksinasi ... 5
Jenis Vaksin Covid-19 di Indonesia Serta Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) ... 6
Asas Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan ... 6
Sejarah Pemidanaan di Indonesia ... 9
Teori Pemidanaan ... 10
Indikator Berat dan Ringan Sanksi Pidana Pada Suatu Rancangan Peraturan Pidana12 Jenis Sanksi Hukum di Indonesia ... 13
Hukum Dalam Keadaan Darurat di Indonesia ... 15
METODE PENELITIAN ... 16
Tipe Penelitian ... 16
Pendekatan Penelitian ... 17
Jenis Bahan Hukum ... 18
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 18
Analisis Bahan Hukum ... 19
PEMBAHASAN ... 19
Regulasi Ancaman Hukuman Penolakkan Vaksinasi... 19
Relevansi Pendekatan Sanksi Pidana dalam Regulasi Vaksinasi Covid-19 ... 26
Regulasi Ancaman Sanksi Yang Relevan Dalam Masa Pandemi ... 34
PENUTUP ... 36
Kesimpulan ... 36
Saran ... 37
DAFTAR PUSTAKA ... 38
viii DAFTAR TABEL
Tabel 1: Peraturan serta sanksi mengenai regulasi vaksinasi Covid-19 ... 22 Tabel 2: Perbandingan regulasi sanksi vaksinasi covid-19 ... 32
ix RELEVANSI PENGGUNAAN ANCAMAN PIDANA DALAM REGULASI
PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PANDEMI COVID-19 (Studi Pada Ancaman Sanksi Bagi Masyarakat Yang Menolak Vaksinasi Covid-19)
RIFALDI [email protected]
Mokh. Najih, Ph.D (NIDN. 0017056501) Dr. Surya Anoraga, S.H., M.H. (0013126302)
Magister Hukum
Direktorat Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang Abstrak
Covid-19 teridentifikasi pertama kali pada akhir tahun 2019 di pasar ikan kota Wuhan, China. Tidak menunggu waktu yang lama virus ini menyebar ke seluruh negara-negara lain. Dampak yang disebabkan oleh Covid-19 begitu besar pada skala global karena hampir semua aspek lumpuh. Negara Indonesia tidak luput dari akibat yang disebabkan oleh Covid-19 seperti kondisi negara-negara lain pada umumnya.
Salah satu upaya pencegahan Covid-19 adalah dengan upaya vaksinasi, agar masyarakat mematuhi kebijakan vaksinasi pemerintah memberi ancaman beberapa sanksi yang tersebar dalam beberapa peraturan termasuk didalamnya ancaman sanksi pidana. Dalam tulisan ini penulis menganalisis apakah sanksi pidana tepat dalam pendekatan kebijakan vaksinasi Covid-19. Dalam Penelitian ini metode yang digunakan adalah yuridis normatif. Metode penelitian ini juga disebut dengan penelitian doktrinal (doctrinal research). Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan komparatif. Covid-19 negara Indonesia dengan negara lain yang berhasil dalam kebijakan vaksinasi Covid-19.
Penggunaan ancaman pidana dalam regulasi tentang penolakan vaksin Covid-19 tidak tepat. Adapun beberapa alasan mengapa penggunaaan ancaman pidana kurang tepat yaitu, (1) Tidak efektif karena tidak bisa diterapkan, (2) Tidak efisien karena sanksi pidana banyak melibatkan sumber daya penegak hukum, (3) Bertentangan dengan hak asasi manusia karena sifat sanksi pidana yang memberi penderitaan, (4) Negara lain yang berhasil dalam program vaksinasi mayoritas tidak menggunakan pendekatan sanksi pidana dan WHO tidak menyarankan upaya pemaksaan dalam kebijakan vaksin.
Kata Kunci: Sanksi Pidana, Covid-19, Vaksinasi.
x RELEVANCE OF THE USE OF CRIMINAL THREATS IN THE REGULATION OF
PREVENTION AND COUNTERMEASURES OF THE COVID-19 PANDEMIC (study on the threat of sanctions to rejected communities covid-19 vaccination)
RIFALDI [email protected]
Mokh. Najih, Ph.D (NIDN. 0017056501) Dr. Surya Anoraga, S.H., M.H. (0013126302)
Masters of Law
Directorate Postgraduate Program University of Muhammadiyah Malang
Abstract
Covid-19 was first identified in late 2019 at a fish market in Wuhan, China. It didn't take long for the virus to spread to other countries. The impact caused by Covid-19 is so great on a global scale that almost all aspects are paralyzed. The state of Indonesia is not spared from the consequences caused by Covid-19 as the condition of other countries in general. One of the efforts to prevent Covid-19 is by vaccination efforts, so that the public to comply with the government's vaccination policy to threaten several sanctions spread in several regulations including the threat of criminal sanctions. In this paper the authors analyze whether criminal sanctions are appropriate in the approach of the Covid-19 vaccination policy. In this research the method used is normative juridical. This method of research is also called doctrinal research. The approach used is a statutory approach and a comparative approach.
Covid-19 countries indonesia with other countries that succeed in the Covid-19 vaccination policy. The use of criminal threats in regulations on the rejection of the Covid-19 vaccine is not appropriate. As for some of the reasons why the use of criminal threats is not appropriate, namely, (1) Ineffective because it cannot be applied, (2) Inefficient because criminal sanctions involve many law enforcement resources, (3) Contrary to human rights due to the nature of criminal sanctions that give suffering, (4) Other countries that succeed in vaccination programs majority do not use criminal sanctions approach and WHO does not recommend coercive efforts in vaccine policy.
Keywords: Criminal Sanctions, Covid-19, Vaccination.
1 PENDAHULUAN
Coronavirus disease 2019 atau Covid-19 dan di Indonesia lazim disebut virus corona adalah permasalahan global yang dihadapi oleh hampir semua negara. Virus corona pertama kali ditemukan pada 18 Desember 2019 di pasar ikan kota Wuhan Tiongkok. Tak butuh waktu lama penyebaran virus corona merambat ke hampir semua negara didunia pada awal Tahun 2020.(Susilo et al., 2020)
Sampai pada saat tulisan ini dibuat, dikutip dari situs worldometers dengan data real time jumlah kasus virus corona global mencapai 110.877.097 (seratus sepuluh juta delapan ratus tujuh puluh tujuh ribu sembilan puluh tujuh) kasus, dengan jumlah kematian sebanyak 2.453.575 (dua juta empat ratus lima puluh tiga ribu lima ratus tujuh puluh lima) kasus, dan jumlah angka yang sembuh mencapai 85.824.898 (delapan puluh lima juta delapan ratus dua puluh empat ribu delapan ratus sembilan puluh delapan) kasus. Data ini cenderung mengalami tren naik.(Worldometer, 2021)
Sementara itu dari situs yang sama, Indonesia berada di urutan yang 19 global jumlah kasus virus corona. Dengan jumlah total penularan sebanyak 1.252.685 (satu juta dua ratus lima puluh dua ribu enam ratus delapan puluh lima) kasus, dengan jumlah angka kematian sebanyak 33.969 (tiga puluh tiga ribu sembilan ratus enam puluh sembilan) kasus, dan angka kesembuhan 1.058.222 (satu juta lima puluh delapan ribu dua ratus dua puluh dua) kasus.(Worldometer, 2021)
Karena sifat dari virus corona yang dapat menular dari manusia ke manusia lainnya dalam jarak yang dekat, banyak negara di dunia mengeluarkan kebijakan social distancing (pembatasan sosial), stay at home (tetap di rumah), serta work from home (kerja dari rumah). Akibat dari situasi ini perekonomian global sangat terpuruk pada tahun 2020, terlebih pada sektor jasa travel, pariwisata, dan olah raga.(Ozili &
Arun, 2020)
Tidak jauh berbeda dengan kondisi global pada umumnya, keadaan di Indonesia akibat dari virus corona juga memprihatinkan. Hampir semua aspek terkena dampak, akibat dari kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan Normal Baru (New Normal), mengharuskan setiap orang membiasakan
2 beraktifitas dari rumah mulai dari beribadah, bekerja hingga sekolah. Hal ini membuat membuat pertumbuhan ekonomi menurun karena pasar-pasar dan pusat perbelanjaan menjadi sepi, tempat pariwisata ditutup karena perjalanan dipersulit dengan kebijakan rapid test sebelum pembelian tiket dan tempat hiburan ditutup hingga keadaan membaik.(Muhyddin, 2020)
Untuk mengantisipasi krisis bertambah parah akibat virus korona, Pemerintah mengeluarkan beberapa jenis bantuan untuk masyarakat, dikutip dari Kompas.com.
Jenis-jenis bantuan itu diantaranya, bantuan sembako, bantuan sosial tunai, BLT dana desa, listrik gratis, kartu prakerja, subsidi gaji karyawan dan BLT usaha mikro kecil. Total anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk semua jenis bantuan ini mencapai angka puluhan triliun rupiah.(Ihsannudin, 2020)
Upaya untuk menghentikkan pandemi virus corona, Pemerintah mengadakan program vaksinasi gratis pada tahun 2021 kepada seluruh masyarakat Indonesia dengan total anggaran menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani sebesar 73 triliun rupiah yang dikutip dari www.cnbcindonesia.com.(Putri, 2021) Kelompok prioritas program vaksinasi menurut Pasal 8 angka ayat (4) Permenkes No.84 Tahun 2020 adalah: Pertama Tenaga kesehatan, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian, aparat hukum, dan petugas pelayanan publik. Kedua tokoh masyarakat dan agama, pelaku perekonomian strategis dan pejabat daerah. Ketiga tenaga pendidik. Ke empat aparatur kementrian, perangkat daerah dan anggota legislatif. Ke lima Masyarakat rentan sosial dan ekonomi. Terakhir masyarakat pada umumnya.(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020)
Karena sifat virus corona yang dampaknya besar bagi kesejahteraan masyarakat, ekonomi, serta stabilitas negara. Maka pemerintah memberi sanksi pidana bagi pihak yang menolak untuk mengikuti program vaksinasi. Aturan mengenai hal ini terdapat dalam Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan:
“Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana
3 penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)".(Republik Indonesia, 2018)
Selain Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018, ancaman pidana terkait penolakan kebijakan program vaksinasi juga terdapat dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Corona Virus Disease 2019 Pasal 30:
“Setiap orang yang dengan sengaja menolak untuk dilakukan pengobatan dan/atau vaksinasi Covid-19, dipidana dengan pidana denda paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah)”.(Gubernur Provinsi DKI Jakarta, 2020)
Peraturan terbaru yang memuat sanksi terhadap penolakan vaksinasi dikeluarkan oleh Presiden lewat Peratauran Presiden Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 Tentang Pengadaan Vaksin Dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019. Ketentuan sanksi dalam Perpres No. 14 Tahun 2021 berbeda dengan kedua peraturan sebelumnya. Jika kedua peraturan sebelumnya memuat sanksi pidana sebagai hukuman bagi yang menolak vaksin, akan tetapi Perpres No.
14 Tahun 2021 menggunakan sanksi administrasi sebagai ancaman bagi pihak yang menolak vaksin. Ketentuan itu dimuat dalam Pasal 13A ayat (4) yang berbunyi:
“Setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin COVID- 19 sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif berupa:
a. penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial;
b. penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan; dan/atau c. denda.”(Peraturan Presiden, 2021)
Usaha pemerintah untuk mensukseskan program vaksinasi tidak berhenti pada pembuatan peraturan beserta sanksinya. Pemerintah juga menggunakan pendekatan persuasif untuk menghindari penolakkan program vaksinasi dan isu hoaks yang beredar di masyarakat, pemerintah melakukan program vaksinasi pertama kali yang diikuti oleh sejumlah pejabat negara dan publik figur pada 13 Januari 2021. Adapun peserta yang divaksin untuk pertama kalinya itu di antaranya Presiden RI Joko Widodo, Panglima TNI Hadi Tjahjanto, Kapolri Idham azis, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Ketua Ikatan Dokter Indonesia Daeng
4 Mohammad Faqih dll. Dari perwakilan milenial dan publik figur diwakili oleh Raffi Ahmad. Hal ini dilakukan pemerintah agar masyarakat percaya terhadap vaksin yang akan diberikan pada mereka aman dan tidak berbahaya.(Idhom, 2021)
Akan tetapi meskipun begitu penolakan terhadap program vaksinasi covid-19 masih ada, yang paling terkenal dan viral adalah penolakan yang dilakukan oleh anggota DPR RI Komisi IX dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Ribka Tjiptaning. Penolakkan itu dilakukan pada saat rapat kerja yang dihadiri langsung oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Ribka Tjibtaning beralasan bahwa ada beberapa kasus vaksinasi yang berujung penderitaan yang dirasakan oleh masyarakat di beberapa daerah seperti polio dan kaki gajah, ia juga beralasan bahwa menolak vaksin adalah bagian dari Hak Asasi Manusia. Bahkan ia bersedia membayar denda karena telah menolak program vaksinasi.(Fauzi, 2021)
Penolakkan yang dilakukan oleh Ribka Tjibtaning tidak sepenuhnya salah juga tidak sepenuhnya benar. Tidak benar karena telah mempengaruhi masyarakat luas untuk tidak mengikuti progran vaksinasi yang dimana vaksin adalah salah satu solusi utama yang dapat menghentikan Pandemi yang telah menghancurkan segala aspek kehidupan hampir satu tahun lebih. Tidak salah karena dari sini pemerintah harus memikirkan pertanggung jawaban pada masyarakat apabila di kemudian hari terdapat akibat tidak diinginkan menimpa masyarakat yang disebabkan program vaksinasi ini.
Memang sejauh ini tidak ada kasus berujung pemidanaan bagi yang menolak vaksinasi, akan tetapi sudah ada 34 kasus di seluruh Indoesia yang sedang ditangani oleh Kepolisian Republik Indonesia terkait pelanggaran protokol kesehatan dalam penanggulangan covid-19. Artinya kedepan peluang diprosesnya terhadap pelaku penolakkan vaksinasi covid-19 juga sangat besar, dengan alasan penanggulangan covid-19.(Yahya & Meiliana, 2020)
Dari fenomena hukum pengaturan tentang sanksi penolakkan terhadap vaksinasi diatas, tentunya penulis menemukan beberapa permasalahan hukum yang perlu dikaji lebih serius dan mendalam. Jika sudah dikaji dengan jelas permasalahannya penulis mencoba menawarkan solusinya.
5 Permasalahan yang ditemui, adalah apakah sanksi pidana dalam penolakan program vaksinasi diperlukan, selain itu masalah kepastian hukum, bicara kepastian hukum adalah berbicara mengenai hukum yang konsisten dan berkepastian baik hukum materiil maupun hukum formilnya. Masalah yang dihadapi adalah ketidakpastian hukum materiil yang mengatur tentang sanksi penolakkan vaksin yang tersebar dalam lebih dari satu peraturan berbeda. Hal ini jika dibiarkan akan menimbulkan kebingungan pada penegakkan hukum formilnya, yang lebih berbahaya adalah jika penguasa menyalahgunakan keadaan ini untuk bersikap otoriter.
Dari pendahuluan diatas adapun penelitian ini berjudul RELEVANSI PENGGUNAAN ANCAMAN PIDANA DALAM REGULASI PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PANDEMI COVID-19 (Studi Pada Ancaman Sanksi Bagi Masyarakat Yang Menolak Vaksinasi Covid-19)
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sanksi dalam regulasi/pengaturan pencegahan dan penanggulangan pandemi Covid-19?
2. Apakah diperlukan ancaman sanksi pidana dalam regulasi pencegahan pandemi Covid-19 bagi masyarakat yang menolak vaksinasi?
3. Bagaimana pengaturan ancaman sanksi yang relevan dan sesuai dengan situasi kedaruratan pandemi?
TINJAUAN PUSTAKA Vaksinasi
Vaksinasi merupakan suatu usaha pencegahan penyakit bersifat utama yang dapat diandalkan. Vaksinasi diilakukan dengan cara pemberian vaksin (antigen) pada penerima vaksin dengan tujuan terbentuknya sistem imun dalam tubuh agar terbentuknya imunitas (antibodi). Prinsip dasar dari diberikan vaksin adalah dengan tujuan membuat tubuh memiliki kekebalan untuk melawan masuknya mikroorganisme dan bibit penyakit ke dalam tubuh.(Maddeppungeng, 2018)
Pemberian vaksin di Indonesia telah dimulai dari tahun 1956, dengan pemberian vaksin cacar di pulau jawa. Hari ini vaksin yang masuk dalam program
6 rutin pemerintah ada 5 vaksin yaitu: Vaksin BCG (bacillus calmette guerin), Vaksin Hepatitis B, Vaksin Polio Oral, Vaksin DPT (difetri) dan Vaksin Campak.(Departemen Kesehatan RI, 2009)
Jenis Vaksin Covid-19 di Indonesia Serta Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)
Adapun jenis vaksin untuk program vaksinasi covid-19 di Indonesia sudah ditentukan oleh pemerintah melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/12758/2020. Dalam surat keputusan tersebut vaksin covid-19 yang digunakan adalah: AstraZeneca, China National Pharmaceutical Group Corporation (Sinopharm), Moderna, Novavax Inc, Pfizer Inc. and BioNTech, dan sinovac Life Science Co., Ltd. Semua vaksin tersebut diproduksi oleh PT Bio Farma (Persero).(Kepmenkes, 2020)
Hal yang umum terjadi setelah dilakukannya vaksinasi, penerima vaksin akan merasakan efek samping dari vaksin atau yang sering disebut KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi). KIPI terbagi dalam dua kategori. Pertama KIPI dengan reaksi ringan, ini pada umumnya yang sering dan lazim terjadi dan adapun gejalanya: bengkak pada sektir area tempat suntikan, Irritability atau sifat lekas marah dan malaise atau kelelahan. Kedua KIPI dengan reaksi berat, jarang terjadi dan adapun gejalanya: kejang, trombositopenia (rendahnya kadar trombosit), episode hipotonik hiporesponsif (kesadaran berkurang, serta pucat, diikuti kulit kebiruan dan otot miskin), persistent inconsolable screaming (menangis keras dan biasanya berlangsung dalam kurun waktu 3 jam).(Koesnoe, 2021)
Walaupun penjelasan medis tak menjelaskan KIPI yang berpeluang akan sampai merenggut nyawa atau menyebabkan meninggal. Akan tetapi kenyataannya, pada tanggal 17 mei 2021 dilansir dari Kompas 2 orang warga Provinsi DKI Jakarta meninggal setelah menerima vaksin AstraZeneca. Masing-masing berumur 22 tahun dan 61 tahun.(Zuhad, 2021)
Asas Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan
Paul Scholten dalam Charlie Rudyat mengatakan asas hukum adalah suatu sifat-sifat umum yang dijadikan sebagai pandangan kesusialaan pada pembentukan
7 hukum dengan kecendrungan-kecendrungannya. Sedangkan Van Eikama Hommes berpendapat asas hukum sebagai dasar dan petunjuk pada pembentukkan hukum positif.(Rudyat, 2013)
Senada dengan yang diucapkan oleh Van Eikama Hommes, walaupun tidak tergolng ke dalam norma hukum akan tetapi menurut Satjipto Raharjo asas hukum merupakan jantung dari hukum yang menjadi dasar berlakunya suatu peraturan hukum. Asas hukum merupakan pemberi nilai yusridis serta etis agar suatu norma hukum memiliki kekuatan berlaku dan mengikat dalam masyarakat.(R. E. & A. Ali, 1993)
Dalam Pasal 5 dan 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus berdasarkan dan mencerminkan asas keadilan, asas kepastian hukum dan kedayagunaan dan kehasilgunaan atau asas kemanfaatan.(Republik Indonesia, 2011)
Pertama asas keadilan, asas ini adalah hal yang selalu berdampingan ketika berbicara hukum. Menurut Thomas Aquinas penganut aliran hukum alam, keadilan adalah jika pembentuk undang-undang tunduk kepada kebaikan yang bersifat umum, melaksanakan kewajibannya secara jujur serta takut terhadap Tuhan dan tidak berlebihan terhadap kekuasaan yang dimilikinya.(Atmadja, 2013)
Dalam teori hukum murni (the pure theory of law) Hans Kelsen menjelaskan antara hukum dan keadilan. Menurut Kelsen antara hukum dan keadilan adalah dua hal berbeda. Sebab pertanyaan standar keadilan itu apa? adalah sesuatu yang sulit dijawab, kalaupun dapat dijawab itu hanyalah justifikasi dari ideologi yang dianut oleh masyarakat tertentu. Karena masyarakat penganut sosialis menginginkan persamaan atau kesetaraan berbeda dengan masyarakat liberalis yang menginginkan kebebasan, ditambah dalam masyarakat yang besar tidak hanya terdapat dua kecenderungan ideologi tersebut. Kelsen juga mengatakan keadilan yang paling besar akhirnya diukur dengan kebahagiaan yang dirasakan oleh sebagian besar masyarakat kelompok itupun merupakan suatu justifikasi nilai (a judgment of value).
Namun demikian pun begitu Hans Kelsen tetap menuntukan keadilan dalam bentuk legalitas, yaitu keadilan adalah suatu aturan akan diterapkan pada semua kasus yang
8 diaturnya tidak melihat kasus itu menimpa siapa masyarakat ataupun pejabat, miskin ataupun kaya.(Asshiddiqie & Safa’at, 2006)
Kedua asas kepastian hukum, seringkali dalam realitas ketika membahas kepastian hukum selalu identik dengan hukum formal atau prosedural penegakannya, contohnya bagaimana kepastian hukum terhadap penijauan kembali yang bisa diulang lebih dari satu kali. Namun yang tak kalah penting adalah membahas bagaimana masalah kepastian dalam hukum materil. Karena begitu banyak peraturan di Indonesia yang tumpang tindih dan tidak tersinkronisasi, akibatnya adalah kebingungan bagi penegak hukum dalam menentukan peraturan mana yang harus dipakai sebagai dasar dalam menjatuhkan putusan bagi hakim dan ini menjadi sebab dari munculnya disparitas putusan.
Arti dari kata “kepastian” sendiri dalam KBBI adalah perihal mengenai (keadaan) pasti, ketentuan, dan ketetapan. Sedangkan antonimnya adalah keraguan dan kesangsian. Sedangkan arti kepastian hukum sendiri menurut Utrecht berkaitan erat dengan asas legalitas yaitu masyarakat dapat mengetahui perbuatan mana yang dapat dilakukan dan yang tak dapat dilakukan dengan ukuran peraturan dari pemerintah. Ini tentunya akan menjadi rumit jika terdapat peraturan dari pemerintah yang berbeda dan tumpang tindih mengatur perbuatan yang sama. Menurut Peter Mahmud untuk menjaga kepastian hukum pemerintah tidak boleh menerbitkan aturan teknis yang tidak diatur maupun yang bertentangan dengan undang- undang.(Marzuki, 2013)
Terakhir adalah asas kemanfaatan, asas ini dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentan Pembentukkan paertauran Perundang-Undangan disebut dengan asas kedayagunaan dan kehasil gunaan. Penjelasan dari asas ini menurut undang- undang tersebut adalah pembuatan peraturan dapat dikatakan memiliki kedayagunaan dan kehasilgunaan apabila benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara.(Republik Indonesia, 2011)
Asas kemanfaatan juga merupakan asas yang menjadi penyempurna dari asas keadilan dan asas kepastian. Dalam melaksanakan dan menjatuhkan purusan pidana asas kemanfaatan sebaiknya diperhatikan, artinya pembuat dan penegak hukum
9 harus memperhatikan apakah peraturan yang dibuat dan dilaksanakan. Misalnya pelaksanaan hukuman mati, apakah bermanfaat dari sisi masyarkat umum juga dilihat dari sisi terdakwa.(Khisni, 2017)
Sejarah Pemidanaan di Indonesia
Alur sejarah pemidanaan di indonesia dibagi dengan 3 masa yaitu: masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan masa kemerdekaan sampai sekarang. Pertama masa penjajahan Belanda, pada awal penjajahan Belanda belum diterapkan atau dibuat sistem hukuman pidana berupa penjara. Para pelanggar peraturan dihukum dengan kerja paksa diluar pulau atau daerah domisili terpidana, mereka yang hukumannya diatas 5 tahun dirantai dan yang dibawah 5 tahun tidak dirantai. Dimulai lahirnya cikal bakal dari KUHP (wetboek van Straftrecht voor Nederlandsch Indie) Kitab Undang-Undang Pidana Belanda, ditetapkan melalui Koninklijk Besluit tanggal 15 Oktober 1915 berlaku pada tahun 1918 pidana kerja paksa dihapuskan lalu diganti dengan pidana dengan hilangnya kemerdekaan atau sistem penjara, dan tak ada lagi perbedaan antara peribumi, timur asing dan orang- orang eropa.(Hatta, 2016)
Kedua pada masa penjajahan Jepang, pada masa ini penderitaan yang dirasakan oleh peribumi yang melanggar aturan lebih parah dibanding masa penjajahan Belanda. Penjara seakan-akan menjadi sarana pembantaian manusia, para tahanan dipersiapkan untuk kepentingan perang dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan perang seperti logistik makanan dan amunisi perang.
Terakhir adalah masa kemerdekaan sampai sekarang, setelah dijajah dalam waktu yang cukup lama yakni 350 tahun akhirnya bangsa Indonesia merdeka. Pada masa ini sistem pemidanaan sudah mempertimbangkan kemanusiaan, hal pertama yang dilakukan adalah para tahanan diperhatikan masalah kesehatan karena banyak yang sakit dan kelaparan pada masa penjajahan Jepang. Selain masalah jasmani yang diperhatikan juga masalah rohani seiring konsep penjara diubah ke konsep pemasyarakatan.(Hatta, 2016)
10 Teori Pemidanaan
Secara umum teori pemidanaan terbagi dalam 3 teori, yaitu teori absolut atau pembalasan, teori relatif atau tujuan, dan teori gabungan.
1. Teori absolut atau pembalasan
Teori ini adalah teori kuno atau yang tertua dari teori lainnya. Teori ini juga sebagai dasar pembenaran bagi negara untuk menghukum dan melakukan pembalasan terhadap pelaku kejahatan yang melanggar peraturan dan telah mengakibatkan penderitaan bagi korban serta keresahan dan ketakutan bagi masyarakat luas.(Ruba’i, 1994)
Teori absolut atau pembalasan tidak memikirkan dampak ataupun masa depan bagi pelaku ataupun masyarakat. Prinsipnya tidak ada kejahatan yang tidak mendapatkan balasan ataupun hukuman, adapun hukuman atas kejahatan yang didapatkan adalah setimpal dengan penderitaan yang dilakukan oleh korban. Pelaku kejahatan harus mendapat penderitaan secara fisik maupun psikis karena perbuatannnya. Hal ini dilakukan agar ada kepuasan atas dendam karena penderitaan yang dirasakan oleh korban kejahatan juga rasa aman bagi masyarakat. Teori absolut tergolong teori yang praktis.(Chazawi, 2010)
Beberapa tokoh besar menjadi pendukung teori ini seperti Immanuel Kant dan Hegel. Kant sangat tegas dalam berpendapat mengenai teori pembalasan ini, menurutnya dalam pemidanaan terhadap perbuatan jahat tidak ada tujuan baik atau lainnya melainkan semata-mata untuk mewujudkan keadilan dengan membalas kejahatan dengan hukuman pidana. Bahkan jika sistem masyarakat berada diujung kehancuran (bubar/berakhirnya suatu masyarakat) orang terakhir dalam penjara pelaku pembunuhan harus dibunuh. Hal ini dilakukan agar masyarakat lainnya tak memiliki rasa bersalah karena memiliki andil dalam melakukan pembunuhan terhadap korban apabila tidak membunuh pelaku kejahatan tersebut. Menurut Kant juga pidana bukanlah alat mencapai
11 tujuan akan tetapi sarana sebagai penegakkan keadilan.( muladi dan barda Nawawi, 2010)
Hegel berpendapat pidana merupakan suatu akibat yang masuk akal atau logis atas pelanggaran suatu peraturan yang dibuat oleh negara. Hegel juga merupakan tokoh pencetus sistem terkenal yang dinamakan dialektika yang terdiri dari tesis, anti tesis dan sintesis. Ia menganalogikan peraturan adalah tesis, pelanggaran terhadap aturan adalah anti tesis, sedangkan hukuman atas pelanggaran adalah sintesis.(Chazawi, 2010)
2. Teori relatif atau tujuan
Berbeda dari teori absolut yang menekankan pada pembalasan, teori relatif lebih mengedepankan pada tujuan diberikannya pidana pada pelaku kejahatan yaitu untuk menciptakan ketertiban serta kesejahteraan di masyarakat.
Pemberian pidana diharapkan dapat mengurung niat masyarakat lainnya untuk melakukan kejahatan yang sama. Teori ini dapatkan lebih maju dari teori karena sifatnya yang lebih ke mencegah dari pada mengobati, artinya penjatuhan pidana sebisa mungkin dapat mengatur tingkah laku masyarakat. Tidak sampai pada ketertiban namun ada yang lebih tinggi yang dicita-citakan teori ini yaitu kesejahteraan dalam hidup masyarakat.(Ruba’i, 1994)
3. Teori Gabungan
Teori ini adalah gabungan darai kedua teori sebelumnya yaitu teori absolut dan teori relatif. Menurut teori ini pidana adalah pemberian pembalasan sekaligus dengan tujuan untuk menciptakan ketertiban pada masyarakat. Dalam teori ini terbagi dalam dua aliran. Pertama adalah sliran yang menitik beratkan pada pembalasan atas sebuah perbuatan pidana, namun pembalasan itu tak boleh dilebih-lebihkan karena tujuan dari pemberian pidana adalah untuk tata tertib dalam masyarakat. Kedua adalah aliran yang menitik beratkan pada tujuan pemberian pidana yaitu untuk ketertiban dan kesejahteraan masyarakat, pemberian pidana hanya sarana yang tidak boleh lebih berat dari perbuatan jahat yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana.(Chazawi, 2010)
12 Indikator Berat dan Ringan Sanksi Pidana Pada Suatu Rancangan Peraturan Pidana
Sebelum dapat menentukan kelayakan sanksi pidana yang ditetapkan pada suatu peraturan perundang-undangan, ada permasalahan cukup substansial yang terlebih dulu dibahas yaitu mengenai perbedaan pelanggaran dan kejahatan. Karena apabila suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran ataupun kejahatan, maka tugas untuk menentukkan ukuran serta prosedur sanksi yang akan dikenakan akan sedikit lebih mudah.
Sebab apabila suatu peraturan perundang-undangan mengatur ataupun tidak mengenai kualifikasi antara pelanggaran dan kejahatan akan memiliki konsekuensi yuridis yang berbeda dalam menentukan prosedur pemidanaannya. Apabila suatu peraturan perundang-undangan diluar KUHP mengatur secara tegas mengenai pembedaan kualifikasi antara pelanggaran dan kejahatan maka konsekuensi yuridisnya akan terikat dengan aturan umum yang terdapat dalam KUHP sepanjang tidak ditentukan secara lain oleh undang-undang terkait.(M. dan B. Nawawi, 2010)
Adapun ukuran penentuan berat atau ringannya pengaturan hukuman suatu perbuatan pidana, biasanya para legislator mengukurnya sejauh mana perbuatan itu memberikan dampak pada rasa aman, kerugian yang diderita dan ketertiban dalam masyarakat. terdapat 5 kategori ukuran berat ringannya suatu tindak pidana yang terdapat pada RUU KUHP Versi 1 (1981/1982-1992/1993) yaitu: sangat ringan, ringan, biasa, berat dan sangat berat. Berikut masing-masing hukumannya: Adapun politik dari perumusan penggunaan sanksi pidana memperhatikan beberapa hal yang dijadikan sebagai patokan dan ukuran yaitu:
1. Harus mengetahui informasi perilaku orang yang bersangkutan dan dampak akibatnya terhadap ancaman di masyarakat.
2. Sifat ilegalitas harus dapat ditentukan dan masuk akal terhadap keriugian yang diakibatkan.
3. Bersifat deskriptif, terdapat alasan, standar apa yang dituju, perbuatan seperti apa, dan kesalahan macam apa.
4. Reaksi terhadap sanksi sebisa mungkin dapat ditentukan.
13 5. Menentukan bahwa masih perlunya sanksi asas subsidiaritas.
6. Asesmen absolut dan relatif asas porsionalitas.
7. Asesmen hasil dari sanksi.
8. Memberi tahu pada target delik serta meyakinkan dan dilakukan edukasi.
9. Sanksi peraturan harus diukur dampak atas penggunaannya.
10. Apabila diperluakan maka harus dilakukan re-evalusai terhadap sanksi.
11. Apabila diperlukan maka harus dilakukan pula re-evaluasi terhadap peraturan.(Mudjakir & Tim Kerja, 2012)
Jenis Sanksi Hukum di Indonesia
Secara umum dalam hukum yang berlaku di negara Indonesia dikenal ada 3 macam sanksi yang berlaku, yaitu: sanksi pidana, sanksi perdata, sanksi administrasi. Ketiga sanksi ini memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
1. Sanksi Pidana
Jika dibandingkan dengan kedua jenis saksi lainnya yakni sanksi perdata dan sanksi administrasi, sejatinya sanksi pidana lebih efektif dalam penegakkan hukum dalam masyarakat karena mampu memberikan penderitaan secara fisik maupun psikis dan dirampasnya kemerdekaan terhadap pelaku pelanggaran. Akan lebih bijak pemerintah dengan mempertimbangkan Hak Asasi Manusia apabila sanksi pidana dijadikan pilihan terakhir (ultimum remidium) bukan sebagai pilihan pertama (primum remedium) dalam menegakkan hukum.(Anindyajati, Rachman, & Onita, 2016)
Adapun macam dari sanksi pidana terdapat dalam Pasal 10 KUHP dibagi menjadi 2 yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.
a. Pidana pokok:
1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. kurungan;
4. denda;
b. Pidana tambahan:
14 1. pencabutan hak-hak tertentu,
2. perambasan barang-barang tertentu,
3. pengumuman putusan hakim.(Lembaran-Negara Tahun 1958 Nomor 127, 1946)
Tujuan dari pemidanaan (sanksi pidana) pada umumnya ada 2 yaitu, alat untuk perlindungan masyarakat dari kejahatan yang telah dilarang dalam peraturan (asas legalitas) dan perlindungan serta pembinaan individu pada pelaku tindak pidana.(Barda Nawawi Arief, 2005)
2. Sanksi Perdata
Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara individu dan badan hukum yang bersifat perdata dalam masyrakat. Adapun hubungan hukum yang diatur oleh hukum perdata seperti masalah: perkawinan, waris, jual beli, aktifitas usaha, dewasa atau tidaknya seseorang dll. Bentuk dari sanksi perdata umumnya kewajiban agar memenuhi sebuah prestasi (prestasi), menghilangkan keadaan hukum, dan dan menciptakan suatu kedaan hukum baru.
Hakim mebuat putusan dengan sifat:
a. Putusan declatoir, bersifat pernyataan penegasan suatu keadaan mislanya:
suatu perkawinan sah dan suatu jual beli sah;
b. Putusan constittutief, bersifat memastikan suatu keadaan hukum artinya dapat meniadakan keadaan hukum dan menimbulkan suatu keadaan hukum baru, contohnya putusan perceraian yang meniadakan keadaan hukum sekaligus menimbulkan keadaan hukum baru;
c. Putusan condemnatoir, adalah putusan yang berisi tentang amar putusan dan biasanya berisi hukuman pada salah satu pihak yang berperkara, contohnya menyuruh memenuhi suatu prestasi (kewajiban) ataupun mengganti rugi.
Karena sifatnya yang mengatur hubungan prifat antara orang dan badan hukum, maka tujuan dari adanya sanksi perdata adalah agar para pihak yang melakukan hubungan atau ikatan hukum adalah untuk memenuhi kewajibannya atau dalam hukum perikatan adalah prestasinya.(Harahap, 2016)
3. Sanksi Administrasi
15 Dalam beberapa keadaan terkadang pemberian sanksi administrasi jauh lebih efektif dibandingkan dengan pemberian sanksi pidana. Misalnya saja dalam pengaturan tentang korporasi dan perizinan tentu sanksi administrasi lebih tepat karena berkaitan langsung dengan sah dan tidaknya atau legal dan ilegalnya suatu perusahaan, karena salah satu sanksi administari adalah dicabutnya suatu izin.
Secara umum dirangkum dari berbagai peraturan ada beberapa sanksi administrasi yaitu: Peringatan/teguran secara lisan, peringatan/teguran secara tertulis, tindakan paksa pemerintah, penarikan kembali keputusan yang menguntungkan, denda administratif, pengenaan uang paksa.(Setiadi, 2009)
Tujuan dari sanksi hukum administrasi adalah untuk memepertahankan norma hukum administrasi dengan penegakkannya yang tanpa melalui pihak ketiga (pengadilan). Selain itu untuk mencegah tindakan impunitas (pembiaran) untuk perbuatan tertentu yang dianggap gangguan dengan menghindari penerapan hukum pidana yang bersifat ultimum remedium serta destruktif.(Susanto, 2019) Hukum Dalam Keadaan Darurat di Indonesia
Untuk menetapkan keadaan darurat di Indonesia setidaknya ada 3 pertauran yang dijadikan acuan atau perlu diperhatikan. Adapun ketiga perturan tersebut adalah UUD 1945 Pasal 12, Perppu No. 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan UU No.74 Tahun 1957 dan Penetapan Keadaan Bahaya, dan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Dasar hukum sebagai acuan pertama yang juga sebagai landasan konstitusional ditetapkannya keadaan bahaya adalah Pasal 12 UUD 1945, dengan bunyi:
“Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”(Pemerintah Republik Indonesia, 1954)
Dari bunyi Pasal 12 UUD 1945 ini, pemerintah menindaklanjuti dengan membuat UU No. 74 tentang Penetapan Keadaan Bahaya, lalu UU tersebut dicabut dengan terbitnya Perppu No. 23 Tahun 1959.
Dasar hukum yang kedua adalah Perppu No.23 Tahun 1959 tentang Pencabutan UU No.74 Tahun 1957 dan Penetapan Keadaan Bahaya. Perppu ini
16 dibentuk akibat dari dekrit Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali pada UUD 1945. Perppu ini mendefinisikan keadaan darurat dibagi menjadi 2 kategori yaitu, darurat sipil dan darurat militer. Sebagaimana penjelasannya dalam Pasal 1 ayat (1):
1. Keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat- alat perlengkapan secara biasa;
2. Timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;
3. Hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaankeadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejalagejala yang dapat membahayakan hidup Negara.(Republik Indonesia, 1959)
Terakhir adalah UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, berdasarkan UU ini pula dibentuknya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dalam Pasal 1 UU No. 24 Tahun 2007 ini membagi bencana menjadi 3 kategori yaitu:
1. Bencana alam berupa tanah longsor, tsunami, banjir, kekeringan, gempa bumi, angin topan, dan gunung meletus;
2. Bencana nonalam berupa wabah penyakit, epidemi, gagal teknologi, dan gagal modernisasi;
3. Bencana sosial berupa teror dan konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas.(Republik Indonesia, 2007)
METODE PENELITIAN Tipe Penelitian
Dalam penulisan ini metode yang digunakan oleh penulis dalam melakukan penelitian adalah metode penelitian yuridis normatif yang sering juga disebut penelitian doktrinal. Penelitian yuridis normatif memiliki ciri dan karakteristik menganalisis hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun hukum dalam bentuk putusan hakim di pengadilan.(Nasution, 2003) Hal-hal yang diteliti
17 dalam penelitian yuridis normatif ini adalah, penelitian pada asas-asas hukum, memperhatikan sistemaika hukum, selanjutnya melihat sejauh mana sinkronisasi dari peraturan-peraturan yang ada. (Z. Ali, 2013)
Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah pendekatan terhadap asas-asas hukum. Pendekatan ini berupaya menemukan asas- asas hukum positif yang sedang berlaku dengan bertolak pada premis berupa norma hukum yang ada dan berakhir pada penemuan asas hukum yang tepat. Dalam penelitian asas hukum dapat digunakan metode historis, deskriptif dan eksperimental. Dengan proses mempelajari tentang masa lampau, lalu dibandingkan dengan keadaan sekarang, serta prediksi seperti apa keadaan masa akan datang.(Z.
Ali, 2013) Ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach), yaitu menelaah serta menganalisis peraturan-peraturan yang terkait dengan kebijakan vaksinasi Covid- 19.
2. Pendekatan konseptual (conceptual approach), yaitu pendekatan dengan menggunakan doktrin serta pandangan dalam ilmu hukum untuk menganalisis isu hukum yang diangkat oleh penulis.
3. Pendekatan komparatif (comparative approach), yaitu pendekatan yang membandingkan peraturan atau kebijakan dengan lain mengenai isu hukum yang diangkat. Pendekatan ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan serta kesamaan tentang peraturan antar negara mengenai regulasi Covid-19. Dalam pendekatan ini penulis mengomparasikan regulasi vaksinasi di Indonesia dengan 4 negara, yaitu: Uni Emirat Arab, Spanyol, Singapura dan Kanada. Penulis mengambil 4 negara tersebut sebagai bahan perbandingan karena negara-negara tersebut adalah negara yang masuk dalam 10 besar secara global negara yang berhasil memvaksinasi warganya. Penulis membandingkan bagaimana pendekatan sanksi mengenai penolakkan vaksin antara Indonseia dengan ke 4 negara-negara tersebut.
18 Jenis Bahan Hukum
Penelitian ini bersumber pada bahan hukum primer, sekundar dan tersier.
Adapun bahan hukum yang digunakan untuk menulis penelitian ini terdiri dari:
peraturan terkait buku, artikael-artikel, dan naskah-naskah yang resmi serta relevan.
Adapun peraturan terkait yang dijadikan bahan hukum primer adalah:
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
b. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
c. Peratauran Presiden Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin Dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019.
d. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Corona Virus Disease 2019
e. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/12758/2020 tentang Penetapan Jenis Vaksin Untuk Pelaksanaan Vaksinasi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Semua bahan hukum disatukan melalui teknik pengumpulan data bersifat kepustakaan. Selanjutnya menggunakan teknik analisis hukum yang bersifat kualitatif. Teknik dari metode ini berupa studi kepustakaan dan studi dokumen yang terkait dengan sistematis lalu dianalis secara kualitatif, lalu digunakan pola pikir deduktif untuk penelitian ini.(Benuf & Azhar, 2019)
Adapun yang dimaksud dengan studi kepustakaan adalah upaya pengumpulan dan pengkajian bahan dan informasi hukum tertulis yang dipublikasikan secara luas. Contohnya diantaranya: buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, artikel-artikel hukum dll. Studi pustaka ini didapatkan melalui katalog perpustakaan atau pun dari sumbernya secara langsung.(Muhaimin, 2020)
Sedangkan yang dimaksud dari studi dokumen adalah pengumpulan dan pengkajian informasi dan bahan hukum yang tidak dipublikasikan secara umum.
Sumber dokumen hukum diantaranya: (pembuat) peraturan perundang-undangan,
19 (hakim) pengadilan, pihak yang berkepentingan, peneliti hukum dan ahli hukum.(Muhaimin, 2020)
Analisis Bahan Hukum
Data yang didapatkan dengan melalui studi kepustakaan selanjutnya dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif, yaitu:
a. Berusaha mendapatkan konsep-konsep yang ada dalam bahan hukum (konseptualisasi) hal ini ditempuh dengan upaya memberi interpretasi terhadap bahan hukum yang telah ada;
b. Pengelompokkan konsep serta aturan yang memiliki korelasi satu sama lain.
Adapun kategori dalam tulisan ini adalah terkait aturan pemberian sanksi terhadap penolakan program vaksinasi covid-19;
c. Upaya menemukan korelasi antara kategori atau regulasi dengan asas-asas hukum lalu kemudian diolah, dengan menggunakan penafsiran hokum
1. Penafsiran sistematis yaitu, penafsiran hukum yang membandingkan antara pasal dalam peraturan terkait isu yang diangkat
2. Penafsiran sosiologis yaitu, penafsiran hukum yaitu penafsiran hukum yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat, untuk melihat sejauh mana ketepatan atau efektifitas peraturan dalam masyarakat
3. Penafsiran perbandingan, dalam penelitian ini penafsiran perbandingan yang dimaksud adalah membandingkan dengan negara lain terkait peraturan mengenai isu hukum yang sedang dibahas;(Soeroso, 2018)
d. Terakhir adalah menjelaskan serta memberi uraian korelasi antara peraturan- peraturan terkait dengan asas-asas hukum lalu dibenturkan dengan permasalahan yang diangkat. Lalu dianalisis secara deskriptif kualitatif, dengan harapan dapat mengungkapkan hasil berupa kesimpulan dari permasalahan yang diangkat.
PEMBAHASAN
Regulasi Ancaman Hukuman Penolakkan Vaksinasi
Pemerintah Indonesia tidak hanya melakukaan pendekatan persuasif untuk mengajak masyarakat agar mau mengikuti program vaksinasi, seperti dengan melibatkan publik figur (kalangan artis) dan para pejabat tinggi negara. Hal ini
20 dilakukan untuk meyakinkan masyarakat luas bahwa vaksin yang digunakan oleh para pejabat tinggi negara dengan mereka adalah vaksin yang sama dan tentunya aman.(Idhom, 2021)
Sebagai langkah terakhir pemerintah menggunakan peraturan perundang- undangan serta sanksi didalamnya, sebagai daya paksa agar masyarakat patuh untuk mengikuti program vaksinasi serta takut dengan ancaman apabila tidak mengikutinya. Tidak tanggung-tanggung, ada 3 peraturan perundang-undangan yang memuat sanksi terhadap pelaku yang dengan sengaja tidak mau mengikuti program vaksinasi yang diadakan pemerintah. Adapun jenis peraturan yang mengatur sanksi tersebut adalah: Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Kekarantinaan Kesehatan.
Peratauran Presiden Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 Tentang Pengadaan Vaksin Dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019, dan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Corona Virus Disease. Jadi pemerintah menggunakan peraturan dari jenis Undang-Undang, Peraturan Presidan dan Peraturan Daerah untuk mengancam masyarakat yang menolak program vaksinasi.
Dari ke 3 peraturan tersebut masing-masing memiliki sanksi yang berbeda dan salah satunya memuat sanksi administrasi yaitu PP No.14 Tahun 2021 sedangkan 2 peraturan memuat sanksi pidana yaitu UU Kekarantinaan Kesehatan No.6 Tahun 2018 dan Perda DKI Jakarta No.2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Covid-19. Peraturan yang memuat sanksi pidana adalah Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan:
“Pasal 9:
(1) Setiap orang wajib memenuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan (2) Setiap Orang berkewajiban ikut serta dalam penyelenggaraan
Kekarantinaan Kesehatan”.(Republik Indonesia, 2018)
“Pasal 93
Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”(Republik Indonesia, 2018)
21 Memang secara tersurat ketentuan peraturan Pasal 9 jo. Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan di atas tidak mengatur atau menyebut mengenai vaksinasi.
Akan tetapi jika memperhatikan makna Kekarantinaan Kesehatan pada Pasal 1 Poin 1 UU Kekarantinaan Kesehatan yang berbunyi:
“Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat”.(Republik Indonesia, 2018)
Dalam ilmu hukum dikenal berbagai macam model penafsiran, dalam hal ini penafsiran yang dilakukan oleh penulis adalah penafsiran sistematis yaitu menghubungkan antara pasal yang satu dengan yang lain.(Soeroso, 2018) Jadi bisa diambil kesimpulan bahwa vaksinasi adalah sebagai salah satu upaya dalam pencegahan atau penangkalan penyakit (Covid-19) yang mana secara tidak langsung diperintah oleh UU Kekarantinaan Kesehatan. Maka bagi penolaknya dapat dikenakan hukuman penjara 1 (satu) tahun dan/atau denda Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 Pasal 30 dengan ancaman pidana denda Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah).:
“Setiap orang yang dengan sengaja menolak untuk dilakukan pengobatan dan/atau vaksinasi Covid-19, dipidana dengan pidana denda paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah)”.(Gubernur Provinsi DKI Jakarta, 2020)
Berbeda dengan dua peraturan sebelumnya sanksi yang dimuat dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021 adalah sanksi administrasi yang hukuman bagi pelanggarnya adalah tidak mendapatkan jaminan serta bantuan sosial, tidak dilayani urusan administrasinya yang berhubungan dengan pelayanan dari pemerintah serta denda. Ketentuan itu dimuat dalam Pasal 13A ayat (4) yang berbunyi:
“Setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin COVID-19 sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif berupa:
a. penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial;
b. penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan; dan/atau
22 c. denda.”(Peraturan Presiden, 2021)
Peraturan paling aktual berkaitan dengan konsekuensi apabila seseorang belum divaksin adalah pembatasan ruang gerak atau akses gerak. Kebijakan ini diterapkan ketika pemerintah menerapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat (PPKM Darurat), yang dimulai tanggal 03 sampai 20 Juli 2021 dan terus diperpanjang hingga keadaan membaik. Adapun dasar dari kebijakan ini adalah pada poin F angka 3 (tiga) huruf b dan c mengenai protokol pada Surat Edaran Satgas Penangangan Covid-19 Nomor 16 Tahun 2021:
“…b. Pelaku perjalanan jarak jauh dengan moda transportasi udara dari dan ke Pulau Jawa dan Pulau Bali, serta daerah yang ditetapkan melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri sebagai daerah dengan kategori PPKM Level 4 dan PPKM Level 3 wajib menggunakan kartu vaksin (minimal dosis pertama) dan surat keterangan hasil negatif tes RT-PCR yang sampelnya diambil dalam kurun waktu maksimal 2x24 jam sebelum keberangkatan sebagai persyaratan perjalanan;
c. Pelaku perjalanan dengan moda transportasi laut, darat menggunakan kendaraan pribadi atau umum, penyeberangan dan kereta api antarkota dari dan ke daerah yang ditetapkan melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri sebagai daerah dengan kategori PPKM Level 4 dan PPKM Level 3 wajib menunjukkan kartu vaksin (minimal dosis pertama) dan surat keterangan hasil negatif tes RT-PCR yang sampelnya diambil dalam kurun waktu maksimal 2x24 jam atau hasil negatif rapid test antigen yang sampelnya diambil dalam kurun waktu maksimal 2x24 jam sebelum keberangkatan sebagai persyaratan perjalanan...”
Dalam kebijakan terbaru ini sanksi yang digunakan masuk dalam kategori sanksi administrasi.(Satuan Tugas Penanganan Covid-19, 2021b)
Ada satu peraturan terkait relevan ketika membahas Pandemi Covid-19, yaitu UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Sama dengan UU Kekarantinaan Kesehatan, UU Wabah Penyakit Menular juga menggunakan pendekatan sanksi pidana. Pasal 6 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular memerintahkan agar masyarakat secara aktif ikut ambil bagian dalam penanggulangan penyakit berikut bunyinya:
“Upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (1) dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat secara aktif”(Republik Indonesia, 1984)
23 Adapun sanksi dalam UU ini bagi masyarakat yang melanggarnya terdapat dalam Pasal 14 ayat (1) sebagai berikut:
“Barang siapa yang menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000 (satu juta rupiah)”(Republik Indonesia, 1984)
UU No.4 Tahun 1984 ini dapat relevan apabila UU Kekarantinaan Kesehatan masih diperdebatkan dalam pemidanaan terhadap penolakkan vaksinasi karena sifat UU Wabah adalah pencegahan penyakit dan upaya vaksinasi adalah sebalagai salah satu upaya pencegahan.
Dari uraian di atas penulis sajikan dalam bentuk tabel di bawah ini:
Tabel 1. Peraturan serta sanksi mengenai regulasi vaksinasi Covid-19
No. Peraturan Sanksi Jenis Sanksi
1 Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 93 UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
1 (satu) tahun penjara dan atau denda 100 juta rupiah
Pidana
2 Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 14 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
1 (satu) tahun penjara dan atau denda 1 juta rupiah
Pidana
3 Pasal 13A ayat (4) Perpres No.14 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Perpres No. 99 Tahun 2020 Tentang Pengadaan Vaksin Dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19
Tidak mendapatkan jaminan serta bantuan sosial, tidak dilayani urusan administrasinya yang berhubungan dengan pelayanan dari pemerintah serta denda
Administrasi
4 Pasal 30 Perda DKI Jakarta No.2
Tahun 2020 tentang
Penanggulangan Covid-19
Denda 5 juta rupiah Pidana
5 poin F angka 3 (tiga) huruf b dan c Surat Edaran Satgas Penangangan Covid-19 No. 16 Tahun 2021
Larangan bepergian Administrasi
Sumber: Peraturan terkait dan data diolah oleh penulis.
Dari semua regulasi yang berhubungan dengan vaksinasi diatas, tentunya timbul pertanyaan penting dalam masalah penegakannya. Peraturan manakah yang betul-betul sesuai kaidah asas-asas perundang-undangan yang bisa dijadikan dasar hukum untuk menghukum bagi penolak vaksinasi.
24 Tentu sebelum menjawab pertanyaan tersebut terlebih dahulu kita harus memaklumi realitas yang ada cara negara berhukum dalam masa-masa darurat (Pandemi Covid-19) karena hampir dari kita semua panik. Bagaimana tidak, dengan dikelaurkannya berbagai macam produk hukum yang mengatur hal yang sama (vaksinasi) tentu akan menimbulkan tumpang-tindih dalam penegakannya.
Pertama UU Kekarantinaan Kesehatan No.6 Tahun 2018 Pasal 9 ayat (1) jo.
Pasal 93. Undang-undang ini dalam ketentuannya memang tidak mengatur secara langsung tentang vaksinasi akan tetapi sifat UU Kekarantinaan Kesehatan mengatur tentang masalah kesehatan secara umum seperti yang tercantum dalam Pasal 1 Poin 1 menjelaskan pengertian dari Kekarantinaan Kesahatan berupa upaya penangkalan dan pencegahan keluar atau masuknya sebuah penyakit yang dapat mengakibatkan kedaruratan kesehatan. Upaya vaksinasi adalah salah satu faktor utama dalam pencegahan penularan Covid-19, maka apabila menolak vaksinasi berarti melawan ketentuan Kekarantinaan Kesehatan karena berpotensi menimbulkan kedaruratan Kesehatan dan dapat dihukum menggunakan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan.
Kedua UU tentang Wabah Penyakit Menular No.4 Tahun 1984, memang dalam UU ini tidak menyebutkan masalah istilah Pandemi akan tetapi sifat Covid-19 yang menular bisa jadi relevan apabila masalah vaksinasi dapat diancam dengan UU ini apabila ada penolakan. Secara istilah Wabah adalah suatu penyakit menular dengan penyebaran dari yang diduga sebelumnya dan terjadi dalam waktu relatif lama hingga tahunan, sedangkan bedanya dengan Pandemi adalah pada skala geografis penularan penyakit. Wabah meliputi geografis pada suatu daerah sedangkan Pandemi meliputi skala global. Jadi pada dasarnya Pandemi adalah Wabah yang menimpa tempat yang luas. Jadi UU Wabah bisa dijerat pada penolak vaksinasi Covid-19 apabila UU Kekarantinaan Kesehatan tidak memenuhi unsur dalam pemidanaan penolakan vaksinasi.
Ketiga adalah Perpres No.14 Tahun 2021 yang memuat sanksi administrasi berupa tidak dilayaninya secara administrasi yang berhubungan dengan pelayanan . pemerintah dan denda. Dalam ilmu perundang-undangan ketentuan sanksi diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 dan hanya mengatur mengenai ketentuan sanksi pidana, bahwa jenis peraturan yang dapat memuat ketentuan pidana
25 hanya ada 3 yaitu Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi Kabupaten dan Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota. Sedangkan ketentuan muatan sanksi administrasi sama sekali tidak diatur, artinya semua jenis peraturan boleh memuat sanksi administrasi sepanjang sesuai dengan level aturannya dan tidak bertentang dengan peraturan yang ada diatasnya. Jika mengikuti alur berpikir ini bahwa sanksi administrasi yang ada dalam Perpres No.14 Tahun 2021 tidak memiliki masalah secara ilmu perundang-undangan. Asas lex superior derogat legi inferior ataupun asas lex specialis derogat legi generalis tidak dapat digunakan dalam membenturkan UU Kekarantinaan Kesehatan dengan Perpres No.14 Tahun 2021 karena perbedaan jenis sanksi dalam kedua peraturan tersebut, artinya ke 2 sanksi pada 2 peraturan itu sama-sama bisa digunakan dalam penolakkan vaksin tanpa harus mengenyampingkan satu sama lain.
Ketiga Perda Provinsi DKI Jakarta No.2 Tahun 2020, dalam ketentuan Pasal 30 menyebutkan sanksi pidana denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Sifat sebuah Perda hanya mengikat bagi penduduk wilayah sebuah Provinsi apabila itu Perda Provinsi, begitupun dengan Perda Kabupaten atau Kota hanya terbatas pada wilayah Kabupaten atau Kota. Ada 2 hal yang membuat kurang tepatnya pengaturan tentang kewajiban vaksin pada sebuah Perda. Pertama Wilayah berlaku yang terbatas sedangkan vaksinasi adalah program Nasional, kedua sudah diatur dalam UU Kekarantinaan kesehatan meskipun secara tidak langsung mengenai vaksinasi. Tentu untuk alasan yang kedua tidak dapat digunakan asas lex specialis derogat legi generalis sebagai alasan dapat digunakannya Perda dalam menegakkan vaksinasi karena didahulukan dulu asas lex suprior derogat lex generalis. Secara hierarki UU lebih tinggi posisinya dibandingkan dengann Perda, jadi secara ilmu perundang-undangan ketentuan pidana dalam UU Kekarantinaan Kesehatan yang lebih tepat digunakan dibandingkan Perda Provinsi DKI No.2 Tahun 2020 dalam penegakan kewajiban vaksinasi.
Ke-empat adalah Surat Edaran Satgas Penangan Covid-19 No.16 Tahun 2021, yang sifat sanksinya administratif berupa pembatasan pergerakan orang yang belum divaksin. Seperti ketentuan pada Perpres No.14 Tahun 2021, meskipun secara hirarki perautaran perundang-undangan sebuah surat edaran sangat rendah akan
26 tetapi sanksi administratif yang terdapat dalam ketentuannya masih absah karena tidak ada ketentuan mengenai aturan yang boleh menggunakan sanksi administratif, semua jenis peraturan dapat memuat sanksi administratif berbeda halnya dengan ketentuan pidana yang hanya dapat dimuat dalam UU, Perda Provinsi dan Perda Kabupaten atau Kota. Jadi dari semua peraturan diatas pemerintah dapat menggunakan 2 jenis sanksi sekaligus dalam masalah penolakkan vaksinasi yaitu pidana dan administras.
Relevansi Pendekatan Sanksi Pidana dalam Regulasi Vaksinasi Covid-19
Ada beberapa alasan yang bisa kita dapatkan mengapa pemerintah menyertakan ancaman sanksi pidana dalam regulasi tentang vaksinasi Covid-19.
Seperti yang tertera dalam Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 93 UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dengan ancaman pidana penjara 1 (satu) tahun dan atau denda 100 juta rupiah adalah:
1. Urgensi Vaksinasi Covid-19
Seperti yang telah dijelaskan dalam tinjauan pustaka sebelumnya bahwa secara umum vaksinasi adalah memasukkan vaksin (antigen) ke dalam tubuh dengan tujuan untuk membentuk imunitas tubuh (antibodi) terhadap serangan dari virus. Vaksinasi adalah salah satu cara pencegahan terhadap penyebaran Covid- 19 selain memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak.(Maddeppungeng, 2018)
Untuk kembali dalam kehidupan normal lagi dan membentuk herd immunity (kekebalan kelompok) kuota vaksinasi yang harus dipenuhi kurang lebih 60% sampai 70% dari total jumlah penduduk.(Marwan, 2021)
2. Dampak Covid-19 di Indonesia
Tentunya hampir semua manusia yang ada di bumi mengetahui dan merasakan akibat dari keberadaan virus covid-19 dengan tak perlu melihat referensi. Karena WHO telah menetapkannya sebagai pandemi yang artinya
27 wabah yang telah meluas. Covid-19 telah merubah hampir semua aspek secara global mulai dari budaya, sosial, ekonomi, hingga politik dalam waktu yang relatif singkat. Agar membatasi isi tulisan penulis hanya memaparkan 3 aspek terdampak yang penting menurut penulis yaitu sosial budaya, ekonomi dan pendidikan.
Mengenai hubungan individu satu dengan yang lain didalam masyarakat.
Indonesia masih dikenal sebagai negara dengan gaya hidup komunal artinya hubungan antara satu orang dengan yang lainnya masih terjalin secara intim berbeda dengan negara barat yang lebih bersifat individual. Karena covid-19 yang sifatnya menular dari satu orang ke orang lainnya dalam jarak yang relatif dekat, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan jaga jarak (social distancing) dan menghindari kerumunan. Tidak hanya itu beberapa kegiatan yang dianggap telah menjadi kebiasaan dan budayapun dilarang dikarenakan pandemi covid-19 contohnya: mudik lebaran, acara pernikahan, syukuran dan silaturahmi. Ini bisa dikatakan covid-19 merubah perilaku sosial dan budaya masyarakat Indonesia.(Satuan Tugas Penanganan Covid-19, 2021a)
Kedua dampak ekonomi, sektor ekonomi menjadi sektor yang paling terpukul yang diakibatkan oleh covid-19. Hal ini bisa dilihat dari pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi (pertumbuhan ke bawah) -2,07% (minus dua koma nol tujuh persen). Hal ini disebabkan oleh daya beli masyarakat menurun, pasar-pasar sepi pembeli, sektor transportasi sepi, pariwisata sepi pengunjung dll.(Badan Pusat Statistik, 2021a) Untuk mengantisipasi makin buruknya keadaan, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Dengan isntrumen Perppu tersebut pemerintah melakukan diantaranya memberikan sumbangan bantuan sosial pada masyarakat agar naiknya daya beli serta kesejahteraan masyarakat dapat tertolong.(Republik Indonesia, 2020)