• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Pada bab ini dibahas mengenai teori yang akan digunakan penulis dalam penelitian “Perilaku Adat Masyarakat Minangkabau pada Novel Anak Rantau Karya Ahmad Fuadi: Kajian Antropologi Sastra”. Kajian teori yang dibahas pada bab ini mengenai novel sebagai cerminan budaya masyarakat, kehidupan masyarakat Minangkabau, perilaku sosial masyarakat Minangkabau, perilaku adat masyarakat Minangkabau, unsur pembangun novel, kajian antropologi sastra, dan kerangka berpikir penelitian. Kajian teori ini berguna sebagai alat untuk melakukan penelitian.

2.1 Unsur Pembagun Novel

Sebagai karya sastra yang paling popular di dunia, hadirnya novel di kalangan masyarakat diharapan dapat memberikan keindahan, hiburan, serta kenikmatan bagi khalayak. Keindahan yang terdapat di dalam novel tercipta dari unsur-unsur yang membangun novel tersebut. Menurut Nurgiantoro (2010:23) unsur-unsur pembangun novel terbagi menjadi dua yakni, unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Pada penelitian ini hanya akan dibahas mengenai unsur intrinsik dari suatu novel.

Intrinsik merupakan unsur yang membangun karya sastra secara langsung. Unsur intrinsik sebuah novel terdiri dari tema, alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat. Namun, pada penelitian ini akan dibahas mengenai beberapa unsur pembangun saja sesuai kebutuhan dari peneliti.

Adapun penjelasanya sebagai berikut ini.

(2)

2.1.1 Tokoh dan Penokohan

Tokoh adalah para pelaku yang terdapat dalam cerita fiksi dan memiliki waktak atau karakter. Nurgiyantoro (2010:65) mengemukakan bahwa tokoh adalah pelaku cerita, sedangkan watak dan katakter merupakan sifat dan sikap yang ditafsirkan para pembaca atau penikmat cerita.

Penokohan adalah sifat, sikap, dan watak atau karakter yang melengkapi tokoh dalam cerita. Penokohan adalah pelukisan gambaran watak atau karakter dengan jelas tentang seseorang tokoh yang ada dalam sebuah cerita (Nurgiyanto, 2010:165).

2.1.2 Latar atau Setting

Latar atau setting adalah tempat atau waktu kejadian dalam cerita.

Pendapat ini senada dengan Aminuddin (2004:68) yang menyatakan bahwa latar atau setting terbagi menjadi dua jenis, yakni latar fisik dan latar psikologis. Latar fisik berhubungan dengan tempat dan waktu kejadian. Sedangkan latar psikologis adalah lingkungan atau benda-benda dalam kejadian yang dapat menarik emosi pembaca. Setting fisikal hanya terbatas pada suatu yang bersifat fisik atau dapat dilihat, sedangkan psokologis dapat berupa suasana maupun sikap yang hanya bisa dirasakan.

2.2 Novel Sebagai Cerminan Budaya Masyarakat

Karya sastra merupakan refleksi dari sebuah realitas kehidupan masyarakat. Sebuah karya sastra dapat dikatakan baik apabila memiliki sifat-sifat yang abadi dengan memuat kebenaran hakiki yang ada selama

(3)

manusia juga ada (Sumardi dan Saini, 1991:9). Selanjutnya dikemukakan oleh Taine (dalam Endraswara, 2008:17) sastra tidak hanya sebagai karya yang bersifat imajinatif pengarang, akan tetapi merupakan refleksi atau rekaman budaya, suatu perwujudan pemikiran tertentu pada saat karya itu diciptakan. Penjelasan ini menunjukan bahwa karya sastra tidak tercipta begitu saja, masih ada unsur yang mendorong terciptanya karya sastra tersebut. Dalam hal ini proses kreatif pengarang dalam membawa realitas kehidupan ke dalam karya sastra sangat diperlukan agar karya sastra yang tercipta dapat menggambarkan nilai-nilai didaktis dengan kreasi yang menghibur.

Novel merupakan salah satu bentuk jenis karya sastra. Novel dapat diartikan sebagai salah satu hasil dari kegiatan seni kreatif yang merefleksikan kehidupan nyata ke dalam sebuah karya sastra. Eliastuti (2017:40) mengemukakan bahwa karya sastra merupakan struktur komplek yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat. Sastra juga dianggap sebagai suatu seni kreatif yang melibatkan bahasa sebagai mediumnya. Wellek dan Austin (2014:3) mengatakan bahwa sastra adalah suatu kegiatan karya seni yang kreatif.

Menurut Semi (1989:56), terdapat hubungan yang erat antara sastra dan kebudayaan hal ini disebabkan karena fungsi sosial sastra adalah bagaimana ia memposisikan atau melibatkan dirinya ditengah-tengah kehidupan masyarakat.

Melalui sastra, pola pikir seseorang atau kelompok masyarakat dapat terpengaruh.

Karena sastra merupakan salah satu kebudayaan, sedangkan salah satu unsur kebudayaan adalah sebagai sistem nilai. Oleh karena itu di dalam sebuah karya sastra tertentu akan terdapat gambaran-gambaran yang merupakan sistem nilai.

(4)

Nilai-nilai yang ada itu kemudian dianggap sebagai kaidah yang dipercaya kebenarannya, sehingga pola pikir masyarakat dapat terbentuk melalui karya sastra.

Hubungan karya sastra khususnya novel dengan kebudayaan sangat dekat. Seperti yang diuraikan oleh Ratna (2011:174) cara mengetahui suatu masyarakat adalah dengan memahami melalui karya sastra dari masyarakat itu sendiri. Cerita yang terdapat dalam novel dapat dikaitkan dengan kebudayaan masyarakat dimana novel itu diciptakan, sehingga terciptalah sebuah karya sastra yang menggambarkan sebuah ciri khas suatu daerah. Kehadiran kebudayaan dalam karya sastra perlu dilestarikan dan dijaga karena kebudayaan adalah suatu yang sangat penting dan berpengaruh sehingga sering dijadikan sebagai pedoman bagi masyarakat. Sejalan dengan itu, Koentjaraningrat (2009:9) menyatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan untuk dipelajari. Jadi, kebudayaan merupakan suatu karya atau hasil pemikiran yang telah menjadi kebiasaan dan sangat berpengaruh besar dalam kehidupan bermasyarakat.

Pada dasarnya, karya sastra (novel) merupakan kristalisasi nilai-nilai dari suatu masyarakat. Meskipun karya sastra yang baik pada umumnya tidak langsung mengrefleksikan nilai-nilai tertentu, akan tetapi aspirasi masyarakat mau tidak mau tercermin dalam karya tersebut. Oleh karena itu, karya sastra tidak lepas dari sosial- budaya dan kehidupan masyarakat yang direfleksikannya. Novel diciptakan oleh pengarang bukan hanya untuk dibaca sendiri, melaikan ada ide, gagasan, pengalaman, dan pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca atau penikmatnya.

Dengan harapan, para pembaca atau penikmat dapat mengambil kesimpulan dan menginterprestasikannya sebagai suatu yang bermanfaat bagi dirinya kedepan.

(5)

2.3 Kehidupan Masyarakat Minangkabau

Masyarakat Minangkabau memandang ‘alam’ buka hanya sebagai tempat hidup dan mati, melaikan lebih dari itu, kata ‘alam’ bagi mereka memiliki makna filosofis, seperti yang diugkapkan dalam mamanganya Alam takambang jadi guru (Navis, 1986:59). Alam takambang jadi guru artinya alam terkembang jadi

guru. Mereka beranggapan bahwa segala unsur alam itu saling berhubungan namun tidak saling terikat, saling berbenturan namun tidak saling melenyapkan.

Falsafah alam Minangkabau meletakkan kedudukan manusia sebagai unsur yang statusnya sama dengan unsur yang lain. Unsur lainnya seperti tanah, rumah, suku, dan nagari (Navis, 1986:60). Persamaan status ini dilihat dari kepentingan manusia itu sendiri. Masyarakat Minagkabau memandang bahwa setiap manusia baik secara bersama atau sendiri selalu memerlukan unsur-unsur seperti di atas, sebagaimana mereka memerlukan manusia lainnya bagi kepentingan jiwa dan raganya. Oleh karena itu, mereka beranggapan bahwa sangat tidak mungkin jika suatu individu tidak memiliki kepentingan tersebut.

Menurut Koentjaraningrat (2009:165) unsur kebudayaan itu terdiri dari sistem religi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem, mata pencarian hidup dan sistem peralatan hidup dan teknologi. Ketujuh unsur kebudayaan itu mencakup seluruh kebudayaan masyarakat di mana pun, karena kombinasi dari ketujuh unsur inilah yang menentukan nilai-nilai kehidupan dalam suatu masyarakat. Menurut Amir (2011:125) dari ketujuh unsur kebudayaan di atas adat Minangkabau dapat dipastikan nyaris memenuhi ketujuh unsur kebudayaan, kecuali satu yaitu sistem religi.

(6)

Sistem masyarakat soko ibu (matrilineal) yang pilih nenek moyang orang Minang, kendati langkah namun nyaris sempurna dan jarang tandingannya di dunia.

Sistem pengetahuan yang bertumpu pada ajaran “alam takambang jadi guru”, telah menjadi alasan bagi pendidikan yang logis dan rasional, serta mendorong kearah kehidupan yang serasi secara alami dan sadar lingkungan.

Masyarakat Minang memiliki bahasa sendiri, yang dijadikan alat komunikasi yang sangat efektif di antara nagari-nagari di Minangkabau (Amir, 2011:125). Hadirnya bahasa Minang dijadikan sebagai alat pemersatu orang Minang dalam berkomunikasi antar nagari walaupun sedikit berbeda dialeknya.

Kesatuan bahasa ini memungkinkan adanya perpindahan antara penduduk antar satu nagari dengan nagari lain, sehingga mudah terciptanya kerukunan dan tali persaudaraan antar orang Minang. Dialog antara awak samo awak menjadi sarana yang sangat ampuh dalam menciptakan kedamai dan kerukunan dalam masyarakat Minang.

Orang Minang kaya akan aneka jenis kesenian. Kesenian itu mulai dari seni suara seperti saluang, rebab, pupuik, seni pentas seperti randai, seni ukir seperti rumah gadang, seni bela diri seperti silat, pencak, seni lukis, seni rupa, dan lain- lainnya (Amir, 2011:125).

Mengenai mata pencarian, adat Minang dengan jelas mengarahkan orang-orang Minang untuk hidup bertani, berladang, bertukang, nelayan, berdagang (Amir, 2011:125). Selain itu orang Minang bahkan ada yang menjadi guru agama.

Sistem teknologi peralatan orang Minang sejak dahulu kala sudah mampu memproduksi sendiri, alat-alat pertanian seperti pacul dan tembilang, alat- alat pertenunan, alat-alat pertukangan, bahkan alat-alat pembangunan kapal.

(7)

Nagari-nagari seperti Sungai Pua terkenal sebagai produsen alat-alat pertanian sampai sekarang (Amir, 2011:126).

Dengan demikian, dari ketujuh unsur budaya yang dikemukakan oleh Koenjaraningrat hanya satu yang belum dimiliki sendiri oleh adat Minang, yaitu sistem religi atau agama (Amir, 2011:126). Dengan menyimak penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa sebelum ajaran agama Islam masuk ke Minangkabau, orang Minang belum pernah dipengaruhi oleh ajaran agama lainnya.

2.4 Perilaku Sosial Masyarakat Minangkabau

Dalam perilaku sehari-hari masyarakat Minangkabau memiliki keunikan yang membedakannya dengan masyarakat lainnya. Keunikan itu dapat dilihat dari lingkungan pergaulan masyarakat Minang yang berladaskan pada rasa kebersamaan, kesetiakawanan, dan tenggang rasa (Amir, 2011:89). Hal ini menunjukan bahwa adat Minang tidak menyukai penonjolan pribadi atau individu.

Sebaliknya adat Minang mendorong solidaritas dan memperhatikan perasaan orang lain dalam pergaulan sehari-hari. Ketiga unsur di atas diyakini akan mendorong terciptanya keserasian dalam pergaulan sehari-hari dalam masyarakat Minang.

2.4.1 Rasa Aman dan Damai

Menurut Amir (2011:126) adat Minang menuntut ke arah masyarakat yang aman dan damai, seperti diidamkan oleh ajaran Islam yaitu suatu “Baldatun Taiyibatun wa Robbun Gafuur”, suatu masyarakat yang aman, damai, dan selalu dalam pengampunan Tuhan. Terciptanya kerukunan dan kedamaian dalam lingkungan kekerabatan, barulah bisa diupayakan kehidupan yang lebih makmur.

(8)

2.4.2 Ketegaran Diri

Orang Minang dikenal sebagai orang yang kukuh mempertahankan harga diri dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Navis (1986: 74), masyarakat Minangkabau memiliki motivasi yang kuat, yakni memelihara harga diri yang tidak terkalahkan agar tidak memalukan. Navis juga mengemukakan bahwa kedudukan orang Minangkabau agar menjadi berarti setidak-tidaknya sama dengan orang lain ditunjang ego manusia itu sendiri. Ego ini didorong oleh motivasi melawan dunia urang (melawan dunia orang). Motivasi ini memiliki makna untuk hidup bersaing terus-menerus hingga mencapai kemuliaan, keberhasilan, dan kekayaan seperti yang dimiliki orang lainnya. Hal ini juga seperti yang dikatakan mamangan dan pituah yang berbunyi Baa di urang, baa di awak (bagaimana orang, demikian kita). Artinya ketika orang mampu dalam melakukan sesuatu maka kenapa kita tidak mampu, dan sebaliknya ketika kita mampu melakukan maka orang lain tentu mampu.

2.4.3 Perilaku Masyarakat nan “Sakato”

Kalau tujuan yang akan dicapai sudah jelas, yaitu masyarakat yang aman, damai, makmur, dan berkah, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut Amir (2011:117) ada empat unsur yang harus dipatuhi oleh setiap masyarakat untuk dapat membentuk masyarakat sekata, sependapat, dan semufakat. Keempat unsur itu adalah sebagai berikut.

(9)

a. Saiyo Sakato

Menghadapi suatu permasalah dalam pekerjaan, akan selalu ada perbedaan cara pandang dan pendirian antar orang satu dengan yang lainnya.

Perbedaan pandangan seperti ini sangat sering terjadi dan sangat demokratis dilingkungan kehidupan. Namun kalau dibiarkan begitu saja akan terus berlanjut dan pada akhirnya permasalahan itu takkan pernah terselesaikan.

Oleh karena itu, harus ada jalan keluar dari permasalah itu. Jalan keluar yang ditunjukkan adat Minang yaitu dengan melaksanakan musyawarah untuk mufakat, bukan musyawarah untuk melanjutkan pertengkaran (Amir, 2011:118).

Hasil keputusan boleh bulat (aklamasi), boleh juga gepeng atau picak (melalui voting). Adat Minang tidak mengenal istilah “sepakat untuk tidak semufakat”. Bagaimanapun proses pengambilan keputusan, jika telah mendapatkan kata mufakat, maka keputusan itu harus dilaksanakan oleh semua pihak. Keluar kita akan tetap utuh dan tetap satu. Dengan demikian, adat Minang mendorong orang Minang lebih mengutamakan “kebersamaan”

kendatipun menyangkut urusan pribadi.

b. Sahino Samalu

Kehidupan kelompok sesuku sangat erat. Hubungan antar sesama anggota suku sangat dekat. Mereka bagaikan suatu kesatuan yang tunggal bulat. Jarak antara “kau dan aku” menjadi hampir tidak ada. Istilah “awak”

menggambarkan kedekatan ini. Kalau urusan yang rumit diselesaikan dengan cara “awak samo awak”, semua akan menjadi mudah (Amir, 2011:120).

(10)

Kedekatan hubungan dalam kelompok suku menjadikan harga diri individu melebur menjadi satu harga diri kelompok suku. Kalau ada anggota kelompok suku yang remehkan dalam pergaulan, tentu anggota lainnya merasa tersinggung. Begitu juga bila suatu suku dipermalukan, maka seluruh anggota suku akan bersama-sama membela nama baik sukunya. Hal ini membuktikan rasa solidaritas antar anggota kelompok suku sangat tinggi.

c. Anggo Tanggo

Unsur ketiga yang dapat membentuk masyarakat sekata, sependapat, dan semufakat adalah dapat diciptakannya pergaulan yang tertib serta disiplin dalam masyarakat. Hal ini berarti bahwa setiap anggota masyarakat dituntut untuk menaati peraturan dan undang-undang serta mengidahkan pedoman dan petunjuk yang diberikan penguasa adat. Dalam pergaulan hidup akan selalu ada kesalahan dan kekhilafan itu harus diselesaikan sesuai aturan. Dengan demikian, tetertiban dan ketentraman akan selalu terjaga.

d. Sapikue Sajinjiang

Dalam masyarakat yang komunal, semua tugas menjadi tanggung jawab bersama. Sifat gotong royong menjadi keharusan. Saling membantu dan menunjang merupakan kewajiban. Yang berat sama dipikul dan yang ringan sama dijinjing. Kehidupan antar anggota haruslah saling bantu- membantu, serta saling dukung-mendukung.

(11)

Keempat unsur di atas, adat Minang yakin akan dapat menciptakan suatu masyarakat sekata, sependapat, dan semufakat. Dengan masyarakat ini diharapkan akan dapat dicapai tujuan hidup dan kehidupan orang Minang, sesuai konsep yang diciptakan nenek moyang orang Minang.

2.5 Perilaku Masyarakat Adat Minangkabau

Dalam perilaku berbudaya masyarakat Minangkabau memiliki keunikan yang membedakannya dengan masyarakat lainnya. Adapun perilaku budaya Minangkabau yang unik yakni tampak pada budaya tinggal di surau, gelar, hukum perkawinan, dan budaya rantau.

2.5.1 Budaya Tinggal di Surau

Dalam khasanah filosofi kebudayaan Minangkabau, surau memiliki peran yang sangat penting dalam struktur sosial masyarakat. Surau tidak hanya dianggap sebagai sebuah lembaga keagamaan, tetapi memiliki fungsi sebagai tranformasi nilai-nilai budaya dan agama dalam masyarakat Minangkabau. Hal ini sejalan dengan pendapat Arifan dkk. (2017: 3) yang menyatakan bahwa surau merupakan salah satu institusi yang berperan penting dalam pengembangan nilai moral agama dan adat-istiadat Minangkabau. Wujud fungsi surau tersebut terlihat dari kurikulum yang diajarkannya. Di Surau tidak hanya mengaji-mengaji saja, tetapi juga memiliki kurikulum bersilat, berpidato adat, berceramah agama dan lainnya.

Sistem pendidikan surau ini mempunyai karakteristik, setidaknya dari rumusan isi terlihat mengajarkan tiga bidang keilmuan yakni (1) agama, (2) adat dan (3) silat. Setidaknya ada tiga hal yang bisa dikembangkan dari karakter surau

(12)

ini. Pertama, pendidikan ilmu agama. Pendidikan agama yang diajarkan di surau mulai pokok-pokok akidah (tauhid), akhlak mulia serta penerapannya dalam kehidupan diikuti dengan pengajaran agama Islam yang mudah dipahami dan diamalkan. Dimulai dengan pendidikan Al-Quran, yang terdiri dari pengenalan huruf hijaiyah, tajwid, tafsir Al-Quran, seni membaca Al-Quran, bahkan di surau- surau tertentu menganjarkan tasauf, mantik, syaraf dan lainnya.

Kedua, pendidikan adat di surau. Selain pembelajaran agama di surau juga belajar adat istidat yang berisi tentang akhlak bertutur (berbicara), bertingkah laku, dan bersopan santun dalam masyarakat. Amir (2011:106) menyatakan bahwa adat Minang sangat mengutamakan sopan santun dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh karena itu dalam pembelajaran ini anak diajarkan tentang tata krama bertutur kata. Sehingga seorang anak di Minangkabau tahu adat berbicara dengan orang lain, baik dengan orang yang sama besar atau kecil, berbicara dengan sumando atau yang lebih besar.

Ketiga, pembelajaran silat atau beladiri. Selain kegiatan pendidikan agama dan adat-istiadat, di surau juga diajarkan ilmu beladiri atau silat.

Pembelajaran silat sangatlah penting guna mempersiapkan mereka bekal untuk merantau. Ini terlihat dari petatah petitih orang Minang karakau madang kahulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, dikampung paguno balun.

Artinya pemuda harus keluar dari daerah kampungnya maka dibekali dengan ilmu bela diri yang dikenal dengan silek (Dona, 2018).

(13)

2.5.2 Gelar Adat

Navis (1986:132) mengemukakan bahwa orang Minangkabau kecil bernama, besar bergelar, artinya orang Minangkabau pada masa kecil diberi nama dan setelah besar atau setelah menikah mereka diberi gelar. Hal ini berarti bahwa setiap laki-laki Minangkabau setelah menikah akan memperolah gelar. Navis juga menjelaskan bahwa adanya gelar ini menjadikan nama pemberian dari lahir menjadi tiada. Jadi ketika laki-laki telah memiliki gelar, maka gelar inilah yang dipanggil dalam kehidupan sehari-hari. Memanggil nama kecil berarti penghinaan bagi orang Minangkabau. Orang Minangkabau juga akan diberikan gelar setelah mereka menjadi gadang, maka penghulu yang menjadi orang gadang basa batuah (maha besar bertuah) akan diberikan gelar panggilan Datuk.

Datuk Marajo (atau nama tunggal lainnya, seperti sinaro, indomo, malano, sati, tumanggung, perpatih, dan pamuncak) adalah gelar penghulu andiko yang merupakan pembangun nagari tempat tinggalnya (Navis, 1986:134). Gelar Datuk bukan monopoli orang yang berjabatan penghulu saja, melaikan dipakai orang sebagai penghormatan atas jabatannya dan sebagai sebagai calon pengganti penghulu.

2.5.3 Hukum Perkawinan

Perkawinan, menurut pandangan masyarakat Minangkabau bukan hanya sekedar membentuk rumah tangga, melaikan menempatkan perkawinan sebagai persoalan dan urusan kaum kerabat. Sesuai dengan falsafah Minangkabau yang menjadikan semua orang hidup bersama, sehingga segala persoalan baik pribadi maupun kelompok adalah persoalan bersama (Navis, 1986:193). Persoalan

(14)

perkawinan Navis menjelaskan bahwa perkawinan yang ideal menurut masyarakat Minangkabau adalah perkawinan awak dengan awak.

Namun dalam hal perkawinan, ada hal-hal yang menjadi pantang, pantang maksudnya adalah tidak dapat dilakukan. Menurut Navis (1986:196), pantangan perkawinan ialah perkawinan yang akan merusak sistem adat, perkawinan setali darah, sekaum, dan sesuku. Maksudnya adalah perkawinan akan menjadi terlarang jika misalnya, orang Caniago dengan Caniago. Jika hal ini terjadi maka akan terjadi pertentangan antarkaum dalam suatu nagari.

2.5.4 Budaya Merantau

Rantau merupakan produk kebudayaan Minangkabau (Navis, 1986:108).

Masyarakat Minangkabau terkenal dengan etnis yang berpendidikan atau terpelajar, maka sebab itu banyak dari mereka yang pergi ke seluruh pelosok negeri untuk merantau. Keberhasil masyarakat Minangkabau ditentukan dari keberhasilan merantau mereka (Malik, 2016:21).

Faktor yang mempengaruhi sesesorang untuk merantau yakni status sosial mereka dalam lingkungan masyarakat. Dalam masyarakat Minangkabau laki- laki yang belum menikah dianggap rendah. Tempat tinggalnya ialah di surau dan tugas dari laki-laki tersebut ialah sebagai pesuruh dalam keluarganya. Hal ini menjadikan salah satu alasan mengapa orang Minangkabau banyak yang menjadi perantau dikarenakan ingin membebaskan diri dari tanggungan tersebut.

(15)

2.6 Kajian Antropologi Sastra

Menurut koentjaraningrat (dalam Ratna, 2011:52) mengatakan antropologi merupakan kajian ilmu yang sangat luas, luas maksudnya adalah antropologi dapat meneliti manusia dengan segala aktivitasnya. Oleh karena itu, antropologi dibagi menjadi dua, yakni a) antropologi fisik dan b) antropologi nonfisik. Antropologi fisik berkaitan dengan jasmani manusia sedangkan nonfisik berkaitan dengan luar jasmani.

Salah satu kajian antropologi adalah mengkaji tentang aspek kebudayaan. Pada kajian ini akan mempelajari aspek kebudayaan yang direfleksikan pengarang dalam kehidupan sehari-hari tokoh dalam sebuah karya sastra. Meskipun direfleksikan dalam sebuah karya, kehidupan manusia dalam sebuah karya merupakan cerminan dari kehidupan nyata manusia karena penciptaan sebuah karya sastra tak luput dari latar belakang kehidupan pengarangnya.

Antropologi sastra merupakan disiplin ilmu yang mengkaji relavansi karya sastra dengan kebudayaan. Kedua ilmu ini merupakan dua disiplin ilmu yang berbeda namun sama-sama membahas mengenai seluruh aktivitas manusia. Tidak hanya itu baik sastra maupun antopologi sama-sama mempermasalahkan hubungan manusia dengan budaya. Dalam kajian ilmu antropologi sastra, lebih memfokuskan pada antropologi dalam kaitannya dengan sebuah karya sastra (Ratna, 2011:29).

Karya sastra yang memuat kearifan lokal sebenarnya lebih cocok diteliti dari sisi antropologi sastra. Endraswara (2013:24), mengemukakan bahwa tulisan karya-karya yang memuat kearifan lokal pada umumnya tidak berbeda jauh dengan sebuah etnografi. Ciri-ciri tulisan etnografi dan karya pengarang tidak jauh berbeda, yaitu (1) memuat seluk beluk aktivitas manusia, (2) memuat hal-hal kemanusiaan.

(16)

Kedua hal di atas membutuhkan penjelasan yang jitu. Oleh karena itu penelitian antropologi sastra perlu selektif, maksudnya adalah peneliti harus dapat menyeleksi keberagaman dan lokalitas sebuah karya sastra. Tulisan antropologi tidak jauh berbeda dengan karya sastra seperti yang dikemukakan Endraswara (2013:24-25), (1) untuk memahami kehidupan, (2) untuk memberikan suara kepada orang banyak, (3) untuk menyadarkan pikiran orang-orang.

Hal yang paling penting, ketika hendak mengkaji karya sastra adalah menyeleksi terlebih dahulu. Penyeleksi bahan analisis menurut Endraswara (2013:24), (1) memilih karya yang memuat kearifan lokal, sederhana, tetapi memiliki pemikiran cerdas; (2) memilih karya yang penuh tantangan. Karya-karya sastra yang memuat lokalitas lebih menarik dikaji secara antropologi sastra.

Endraswara (2008:107), menyatakan bahwa penelitian antropologi sastra lebih memfokuskan pada dua hal. Pertama, meneliti tulisan-tulisan etnografi yang berbau sastra untuk melihat keindahannya. Kedua, meneliti karya sastra untuk melihat aspek-aspek budaya masyarakat. Jadi, fokus penelitian antropologi sastra adalah mengkaji aspek kebudayaan masyarakat dalam karya sastra.

Kedudukan kajian antopologi sastra menurut Ratna (2011:68), Pertama, antropologi sastra berfungsi sebagai pelengkapi analisis ekstrinsik di samping pendekatan sosiologi sastra dan psikologi sastra. Kedua, antropologi sastra berfungsi untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan baru dari karya sastra, seperti munculnya kearifan lokal yang dikemukakan oleh karya sastra itu sendiri.

Dari pemaparan di atas diketahui bahwa antropologi sastra lebih berpusat pada kajian unsur ekstrinsik dan mengakomodasi adanya kearifan lokal yang termuat dalam karya sastra.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam rangka pemenuhan kebutuhan Pemerintah terkait belanja yang bersifat wajib dan mengikat diantaranya belanja gaji dan tunjangan pegawai serta Pemberian Tambahan

Pola (patterning) adalah menyusun rangkaian warna, bagian-bagian, benda- benda, suara-suara dan gerakan-gerakan yang dapat diulang. Pola berpikir anak usia dini masih

peserta harus sesuai dengan persyaratan dan standarnya, jadi tidak sembarangan dan benar- benar orang yang terpilih. Adapun cadangan peserta itu juga sudah diuji, soalnya

Bahwa berdasarkan uraian tersebut, maka menurut Para Pemohon ketentuan norma penjelasan Pasal 106 ayat (1) terhadap frasa menggunakan telepon serta Pasal 283

Memasuki hari ke-2 pelaksanaan Kejuaraan Nasional Bridge antar Provinsi ke-54 dikota “sebiduk semare” LubukLinggau, kelas B sudah mnyelesaikan babak penyisihan Tim

Jawaban : Karena kadar air dari daun mimba segar (basah) adalah 57%, maka dalam penelitian ini digunakan daun mimba kering dengan tujuan agar jumlah daun yang

Teori yang terakhir yang dapat diterima pada abad ke XX yaitu teori yang diungkapkan oleh Alhazan (965-1038 SM) seorang Mesir di Iskandria yang berpendapat bahwa benda di sekitar

Selain itu, hasil studi menunjukkan bahwa efektivitas berbasis komputer sistem informasi akuntansi dapat direpresentasikan dalam keberhasilan penggunaan sistem ini dengan cara