• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF."

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

MODEL KONSELING KELOMPOK

DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN

UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL

ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM

DI SEKOLAH DASAR INKLUSIF

DISERT

ASI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Doktor Pendidikan Bidang Bimbingan dan Konseling

Diajukan oleh:

Agus Irawan Sensus NIM. 0807929

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

(2)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

ABSTRACT

Agus Irawan Sensus, 2014. Group Counseling Model with Role-Playing Technique to Develop the Social Skills of Children with High Functioning Autism in Inclusive Primary Schools. Dissertation. Supervised by: Prof. H. Furqon, Ph.D. (Promoter); Prof. Dr. H. A. Juntika Nurihsan, M.Pd. (Co-promoter); and Dr. H. Zaenal Alimin, M.Ed. (Member). Guidance and Counseling Study Program, School of Postgraduate Studies, Indonesia University of Education, Bandung.

The difficulty of children with high functioning autism (HFA) in interacting with their environment will hinder their other activities. To solve this problem, an environmental intervention based on empirical and conceptual analysis is needed. The research is aimed to formulate an effective group counseling model with role playing to develop the social skills of children with HFA in inclusive primary schools in Bandung City. Research method employed research and development with exploratory mixed-method design. The subjects of this qualitative research were teachers, principals, and parents of children with HFA, and four children with HFA. The group counseling model with role playing technique is effective to develop the social skills of children with HFA in inclusive primary schools. The analysis of the effectiveness of this group counseling model with role-playing technique used A-B-A design. The conclusion of this research has limitations to be generalized in a broader research context and setting. It is recommended that PPPPTK TK and PLB (Center for Development and Empowerment of Teachers and Education Personnel of Kindergarten and Special Needs Education) can use the structure of education and training program for inclusive primary school teachers. Inclusive schools and teachers are suggested to implement an effective group counseling model with role-playing technique by referencing the guidance resulted in this research. In addition, future researchers can research other aspects related to group counseling with other research methods and approaches and data analysis techniques.

(3)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

Agus Irawan Sensus, 2014. Model Konseling Kelompok dengan Teknik Bermain Peran untuk Mengembangkan Keterampilan Sosial Anak dengan high functioning autism di Sekolah Dasar Inklusif. Disertasi. Dibimbing oleh: Prof. H. Furqon, Ph.D. (Promotor); Prof. Dr. H. A. Juntika Nurihsan, M.Pd. (Ko-promotor); dan Dr. H. Zaenal Alimin, M.Ed. (Anggota). Program Studi Bimbingan dan Konseling, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Kesulitan anak dengan high functioning autism (HFA) berinteraksi dengan lingkungan akan menghambat aktivitias lainnya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan intervensi lingkungan yang berbasis pada analisis empirik dan konseptual. Penelitian ini ditujukan merumuskan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran yang efektif untuk mengembangkan keterampilan sosial pada anak dengan HFA di sekolah dasar inklusif Kota Bandung. Metode penelitian menggunakan penelitian dan pengembangan dengan desain exploratory mixed method. Subyek dalam penelitian kualitatif ini adalah guru, kepala sekolah, dan orang tua dari anak dengan HFA, dan 4 orang anak dengan HFA. Model konseling kelompok dengan teknik bermain peran ini efektif untuk mengembangkan keterampilan sosial pada anak HFA di sekolah dasar inklusif. Analisis efektivitas model konseling kelompok dengan teknik bermain peran yang efektif ini menggunakan desain A-B-A. Kesimpulan penelitian ini memiliki keterbatasan untuk digeneralisasikan dalam konteks dan seting penelitian yang lebih luas. Direkomendasikan kepada PPPPTK TK dan PLB, dapat menggunakan struktur program diklat bagi guru sekolah dasar inklusif. Kepada pihak sekolah inklusif dan guru untuk melaksanakan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran yang efektif dengan panduan yang dihasilkan dalam penelitian ini. Untuk peneliti selanjutnya dapat meneliti aspek lain yang berkaitan dengan konseling kelompok dengan pendekatan dan metode penelitian serta teknik analisis data yang lainnya. Kata Kunci: Model Konseling Kelompok dengan Teknik Bermain Peran,

(4)

Agus Irawan Sensus, 2014.

(5)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

Hal

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRACT... i

ABSTRAK ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 11

C. Pertanyaan Penelitian ... 13

D. Tujuan Penelitian ... 15

E. Manfaat Penelitian ... 16

F. Definisi Operasional Variabel ... 17

G. Asumsi Penelitian ... 21

H. Hipotesis Penelitian ... 22

BAB II KERANGKA KONSEPTUAL MODEL KONSELING A. Kerangka Umum Pengembangan Keterampilan Sosial Anak Anak dengan high functioning autism dengan Menggunakan Konseling Kelompok dengan Teknik Bermain Peran ... 23

B. Konsep Dasar Konseling Kelompok dengan Teknik Bermain Peran ... 25

C. Keterampilan Sosial pada Anak dengan High Functioning Autism ... 50 D. Konsep Dasar Pendidikan Inklusif ... 74

E. Analisis Konseptual dan Hasil Penelitian dalam Bidang Konseling Kelompok dengan Teknik Bermain Peran untuk Mengembangkan Keterampilan Sosial Anak dengan High Functioning Autism di Sekolah inklusif ... 84

BAB III METODE PENELITIAN ... 89

A. Lokasi dan Subyek Penelitian ... 89

(6)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

D. Strategi Pengumpulan Data ... 107

E. Subyek Penelitian ... 112

F. Analisis Data Penelitian ... 116

G. Langkah-langkah Penelitian ... 120

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 122

A. Hasil Penelitian ... 122

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 137

C. Perumusan Model Konseling Kelompok dengan Teknik Bermain Peran yang Efektif ... 159 D. Implementasi Model Konseling Kelompok dengan Teknik Bermain Peran yang Efektif... ... 170 E. Keterbatasan Hasil Penelitian ... 202

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 203

A. Kesimpulan ... 203

B. Rekomendasi ... 205

DAFTAR PUSTAKA ... 208

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 216

(7)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

No.Tabel Hal

3.1. Kisi-kisi Instrumen pada Penelitian Tahap Pertama dengan

Menggunakan Penelitian Kualitatif ... 96 3.2. Kisi-kisi Instrumen pada Penelitian Kuantitatif (Keterampilan

Sosial pada Anak dengan high functioning autism dengan

Menggunakan Recording Sheet for Rate Data) ... 103 3.3. Subyek Penelitian dalam Penelitian Kualitatif ... 113 3.4. Subyek Penelitian dalam Penelitian Kuantitatif ... 115 4.1. Rangkuman Profil Keterampilan Sosial Anak dengan High

Functioning Autism di Sekolah Dasar Inklusi dan Implikasinya

terhadap Pengembangan Model ... 145 4.2. Aspek-aspek yang Difahami Guru dan Kepala Sekolah tentang

Konsep Anak dengan high functioning autism dan Implikasinya

terhadap Pengembangan Model ... 150 4.3. Aspek-aspek yang Difahami Guru dan Kepala Sekolah tentang

Konsep Anak dengan high functioning autism dan Implikasinya

terhadap Pengembangan Model ... 155 4.4. Dukungan Orang Tua dalam Mengembangkan Keterampilan Sosial

Pada Anak dengan high functioning autism dan Implikasinya

(8)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

No. Grafik Hal

4.1. Pemahaman Konsep Anak dengan high functioning autism... 126 4.2. Pemahaman tentang Konsep Keterampilan Sosial pada Anak

dengan high functioning autism ... 128 4.3. Pengetahuan Guru tentang Perencanaan Kegiatan Teknik Bermain Peran Untuk Mengembangkan Keterampilan Sosial pada Anak

dengan high functioning autism ... 130 4.4. Pengetahuan Guru tentang Pelaksanaan Kegiatan Teknik Bermain

Peran Untuk Mengembangkan Keterampilan Sosial pada Anak dengan

high functioning autism ... 132 4.5. Pengetahuan Guru tentang Penutupan Kegiatan Teknik Bermain Peran

Untuk Mengembangkan Keterampilan Sosial pada Anak dengan

high functioning autism ... 134 4.6. Skor Rata-rata Perilaku Peer Acceptance

pada Subjek Agresif dan Subjek Menyendiri ... 172 4.7. Skor Rata-rata Perilaku Keterampilan

Berkomunikasi pada Subjek Agresif dan Subyek Menyendiri ... 173 4.8 Skor Rata-rata Perilaku Interpersonal pada

Subjek Agresif dan Subjek Menyendiri ... 173 4.9 Skor Rata-rata Perilaku Personal pada

Subjek Agresif dan Subjek Menyendiri ... 174 4.10. Skor Rata-rata Perilaku Interpersonal pada

Subjek Agresif dan Subjek Menyendiri ... 175 4.11. Skor Rata-rata Perilaku Peer Acceptance

pada Subjek Kelas Tinggi dan Kelas Rendah ... 176 4.12. Skor Rata-rata Keterampilan Berkomunikasi

pada Subjek Kelas Tinggi dan Kelas Rendah ... 177 4.13. Skor Rata-rata Perilaku Interpersonal

(9)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

4.14. Skor Rata-rata Perilaku Personal

pada Subjek Kelas Tinggi dan Kelas Rendah ... 179 4.15. Skor Rata-rata Perilaku berkaitan dengan Tugas-tugas

Akademik pada Subjek Kelas Tinggi dan Kelas Rendah ... 179 4.16. Perilaku Peer Acceptance pada Subjek dengan Dukungan

Orang Tua Memadai dan Dukungan Orang Tua Kurang Memadai ... 180 4.17. Skor Rata-rata Perilaku Keterampilan

Berkomunikasi pada Subjek dengan Dukungan Orang Tua

Memadai dan Dukungan Orang Tua Kurang Memadai ... 181 4.18. Skor Rata-rata Perilaku Interpersonal pada

Subjek dengan Dukungan Orang Tua Memadai dan dengan

Dukungan Orang Tua Kurang Memadai ... 182 4.19. Skor Rata-rata Perilaku Personal pada

Subjek Dukungan Orang Tua Memadai dan Dukungan

Orang Tua Kurang Memadai ... 183 4.20. Skor Rata-rata Perilaku berkaitan dengan

Tugas Akademik pada Subjek dengan Dukungan Orang Tua

Memadai dan Dukungan Orang Tua Kurang Memadai ... 184 4.21. Skor Pasca Basline-2 Kemauan dan Kemampuan untuk Memberikan

Salam dan Menyapa (Peer Acceptance) ……….

185

4.22. Skor Pasca Basline-2 Keterampilan Berkomunikasi ……….. 186 4.23. Skor Pasca Basline-2 Kemauan untuk Memberikan Bantuan ………… 186 4.24. Skor Pasca Baseline-2 Kemauan dan Kemampuan Mengatasi Kendala.. 187 4.25. Skor Pasca Baseline-2 Kemauan dan Kemampuan Mendengarkan

Materi Pelajaran ………... 187

4.26. Skor Pasca Basline-2 Kemauan dan Kemampuan untuk Memberikan

(10)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

4.30. Skor Pasca Baseline-2 Kemauan dan Kemampuan Mendengarkan

Materi Pelajaran ………... 190

4.31. Skor Pasca Basline-2 Kemauan dan Kemampuan untuk Memberikan Salam dan Menyapa (Peer Acceptance) ……….

190 4.32. Skor Pasca Basline-2 Keterampilan Berkomunikasi ……….. 191 4.33. Skor Pasca Basline-2 Kemauan untuk Memberikan Bantuan ………… 191 4.34. Skor Pasca Baseline-2 Kemauan dan Kemampuan Mengatasi Kendala.. 192 4.35. Skor Pasca Baseline-2 Kemauan dan Kemampuan Mendengarkan

Materi Pelajaran ………... 192 4.36. Skor Pasca Basline-2 Kemauan dan Kemampuan untuk Memberikan

Salam dan Menyapa (Peer Acceptance) ………. 193 4.37. Skor Pasca Basline-2 Keterampilan Berkomunikasi ……….. 193 4.38. Skor Pasca Basline-2 Kemauan untuk Memberikan Bantuan ………… 194 4.39. Skor Pasca Baseline-2 Kemauan dan Kemampuan Mengatasi Kendala.. 194 4.40. Skor Pasca Baseline-2 Kemauan dan Kemampuan Mendengarkan

(11)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

No. Gambar Hal

2.1. Kerangka Konseptual Konseling Kelompok dengan Teknik Bermain

Peran yang Digunakan dalam Penelitian ... 51 2.2. Kerangka Analisis Konsep Model Bermain Peran untuk

Mengembangkan Keterampilan Sosial Anak dengan High Functioning

Autism di Sekolah Dasar Inklusif ... 88 3.1. Exploratory Mixed Methods Research Design (diadaptasikan

dari Creswell, 2008) ...

(12)

Agus Irawan Sensus, 2014.

(13)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Jumlah anak autis pada beberapa institusi pendidikan, termasuk di sekolah inklusif cukup banyak perkembangan populasinya. Data dari Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung menunjukkan pada setiap sekolah inklusif terdapat tiga sampai empat orang anak autis dalam satu kelas (Tim Pengembang Pendidikan inklusi, 2007: 6). Dalam skala nasional, perkembangan jumlah anak autis menunjukkan perbandingan dengan keseluruhan anak yang lain adalah 5:10.000 dan perbandingan anak autis ini diprediksi akan terus meningkat, seiring dengan beberapa faktor, seperti pola hidup orang tua, pola stimulasi perkembangan anak, tingkat stress orang tua dan anak, dan pola konsumsi makanan (Maulana, 2007: 1). Departemen Pendidikan Nasional menegaskan, anak autis termasuk fenomena baru yang berkembang dalam lapangan pendidikan luar biasa, terutama populasinya berkembang dalam institusi sekolah inklusif, sehingga anak autis, diklasiifikan ke dalam salah satu jenis anak berkebutuhan khusus (Depdiknas, 2005: 12).

(14)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

meningkat sangat pesat, diprediksi 1 diantara 10 anak menderita autisma (Maulana, 2007: 2). Di Indonesia, pada tahun 2010, jumlah penderita autisme diperkirakan mencapai 2,4 juta orang. Hal itu berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik. Pada tahun tersebut jumlah penduduk Indonesia mencapai 237,5 juta orang dengan laju pertumbuhan 1,14 persen. Jumlah penderita autisme di Indonesia diperkirakan mengalami penambahan sekitar 500 orang setiap tahun (BPS, 2012: 8). Merujuk pada data BPS tersebut dengan memperhatikan perkembangan anak autis yang terus meningkat, maka dapat diperkirakan jumlah autis di Indonesia pada tahun 2012, berkisar 2.1.400 orang. Dilihat dari jenis kelamin, pada dasarnya jumlah penderita autisme dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibanding perempuan, dengan perbandingan 4,3:1. Namun sebenarnya penyakit autisme sama sekali tidak membedakan penyandangnya berdasarkan latar belakang sosial. Autisme bisa saja diderita orang golongan orang kaya atau miskin, berpendidikan tinggi ataupun rendah.

Istilah autisme berasal dari kata "autos" yang berarti diri sendiri "isme" yang berarti suatu aliran. Dengan menggunakan pendekatan terminologi, autis dapat diartikan suatu paham yang tertarik hanya pada dunianya sendiri. Autistik adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya mulai tampak sebelum anak berusia 3 tahun. Bahkan pada autistik infantil gejalanya sudah ada sejak lahir.

Mengamati perilaku anak autis tidak dapat dilakukan sepintas dan juga sulit untuk dibuat generalisasi dari kasus satu anak autis dengan kasus anak autis lainnya. Manoj dalam Lee & June (2002: 167) memberikan makna atas kata autism, dalam istilah (always, unique, totally, intriguing, sometime, mysterius), yang dapat dipahami bahwa sosok setiap individu anak autis itu

(15)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

masih perlu diteliti lebih mendalam. Ciri-ciri perilaku anak autis merentang dalam tiga simptom dengan sejumlah ciri-ciri berperilaku, yaitu (1) rentang perhatian yang kurang (gerakan yang kacau; cepat lupa; mudah bingung; kesulitan dalam mencurahkan perhatian terhadap tugas-tugas atau kegiatan bermain; (2) impulsivitas yang berlebihan; dan (3) adanya hiperaktivitas (emosi gelisah; mengalami kesulitan bermain dengan tenang; mengganggu anak lain; dan selalu bergerak) (Baihaqi & Sugiarmin, 2006: 8). Dengan demikian, gejala autisme tersebut, berimplikasi terhadap masalah perilaku sosial anak di sekolah yang menunjukkan anak autis akan menyebabkan mengalami kesulitan belajar, kesulitan berperilaku, kesulitan sosial, dan kesulitan-kesulitan lain yang saling berkaitan.

Memahami sosok anak autis memerlukan upaya yang serius dengan memperhatikan aspek-aspek perkembangannya. Hasil pengamatan sesaat belumlah dapat disimpulkan sebagai hasil mutlak dari kemampuan dan perilaku seorang anak dikatakan sebagai autis. Masukan dari orang tua mengenai kronologi perkembangan anak adalah hal terpenting dalam menentukan keakuratan hasil diagnosa. Secara sekilas penyandang autis dapat terlihat seperti anak dengan keterbelakangan mental, kelainan perilaku, gangguan pendengaran atau bahkan berperilaku aneh dan unik. Yang lebih menyulitkan lagi adalah semua gejala tersebut di atas dapat timbul secara bersamaan. Karenanya sangatlah penting untuk membedakan antara autisme dengan yang lainnya sehingga diagnosa yang akurat dan penanganan sedini mungkin dapat dilakukan untuk menentukan intervensi yang tepat.

(16)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

For All (EFA) yang direkomendasikan UNESCO sebagai kesepakatan global

hasil World Education Forum di Dakkar, Sinegal Tahun 2000 penuntasan EFA diharapkan tercapai pada Tahun 2015 (Depdiknas, 2005: 4). Sejalan dengan nilai-nilai universal tersebut, dalam Pasal 31 UUD 1945 tentang hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan dan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 32 secara eksplisit terkandung layanan pendidikan mengenai pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus.

Pemerataan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus dilandasi pernyataan Salamanca Tahun 1994. Pernyataan Salamanca ini merupakan perluasan tujuan Education For All dengan mempertimbangkan pergeseran kebijakan mendasar yang diperlukan untuk mengimplementasikan pendekatan pendidikan inklusif. Melalui pendidikan inklusif ini diharapkan sekolah-sekolah reguler dapat melayani semua anak, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus. Di Indonesia melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 002/U/1986 telah dirintis pengembangan sekolah penyelenggaraan pendidikan inklusi yang melayani penuntasan wajib belajar bagi peserta didik yang berkebutuhan khusus.

Operasionalisasi dari kebijakan tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, telah merumuskan tiga pilar pembangunan pendidikan nasional, yang salah satunya berkaitan dengan implementasi pendidikan inklusi, adalah pilar pertama, yaitu “pemerataan dan peningkatan aksesibilitas pendidikan”. Pilar inilah yang menggambarkan adanya jaminan pemerataan dan kesempatan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, termasuk di dalamnya anak autis.

(17)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

Pendidikan Provinsi dan Kota/Kabupaten, dan Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Taman Kanak-Kanak dan Pendidikan Luar Biasa (PPPPTK TK dan PLB), sedang mengembangkan sekolah inklusif, sebagai salah satu bentuk lembaga pendidikan yang menyertakan anak berkebutuhan khusus—termasuk di dalamnya anak autis dengan anak-anak reguler).

Situasi pembelajaran di sekolah inklusif memiliki potensi untuk digunakan sebagai situasi untuk mengembangkan keterampilan sosial bagi anak autis. Pengembangan keterampilan sosial bagi anak autis merupakan hal yang harus mendapatkan perhatian guru di sekolah inklusif. Oleh karena itu, anak autis sangat membutuhkan intervensi pendidikan dalam upaya mengembangkan keterampilan sosial. Jennifer dalam Bauminger, et al (2003: 15) mengemukakan bahwa pengembangan keterampilan sosial pada anak autis dapat dipahami sebagai pintu pertama dan utama untuk membantu anak autis memasuki lingkungan yang lebih luas. Selanjutnya, Suryo (2012: 8) mengemukakan bahwa untuk mengembangkan keterampilan sosial pada anak autis, guru dapat menggunakan berbagai teknik, di antaranya teknik bermain dalam kegiatan kelompok.

(18)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

program layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus—termasuk di dalamnya anak autis—di sekolah inklusif.

Seiring dengan arti penting layanan bimbingan dan konseling, nyatanya ada permasalahan yang dihadapi oleh anak autis yang tidak dapat diatasi dengan menggunakan pendekatan pembelajaran (instructional approach), akan tetapi memerlukan layanan pendidikan yang berbasis pada pendekatan psikologi pendidikan (psychoeducation approach), yang dalam praktik di sekolah dilaksanakan dalam bentuk layanan bimbingan dan konseling.

Layanan bimbingan dan konseling dalam memfasilitasi perkembangan optimal peserta didik, memiliki peranan strategis sebagaimana dikemukakan oleh banyak ahli di bidang pendidikan, khususnya di bidang bimbingan dan konseling. Menurut Hallen (2005: 53) tujuan bimbingan dan konseling yaitu: (a) agar peserta didik mengenal kekuatan dan kelemahan dirinya sendiri serta menerima secara positif dan dinamis sebagai modal pengembangan diri lebih lanjut, (b) agar peserta didik mengenal lingkungannya secara obyektif baik lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya yang sarat dengan nilai-nilai dan norma-norma, maupun lingkungan fisik dan menerima kondisi lingkungan secara positif, (c) agar pesrta didik mampu mempertimbangkan dan mengambil putusan tentang masa depan dirinya, baik yang menyangkut bidang pendidikan, bidang karier, maupun bidang budaya, keluarga, dan masyarakat. Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa bimbingan dan konseling mempunyai tujuan untuk membantu siswa, agar dapat mencapai tujuan-tujuan perkembangannya dan menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur.

(19)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

(g) asas kedinamisan, (h) asas keterpaduan, (i) asas kenormatifan, (j) asas keahlian, (k) asas alih tangan, dan (l) asas tutwuri handayani.

Salah satu jenis dalam layanan bimbingan dan konseling adalah konseling kelompok. Natawidjaja (2008: 12) menjelaskan pengertian konseling kelompok sebagai “upaya bantuan kepada individu dalam suasana kelompok, bersifat pencegahan, penyembuhan, dan pengembangan”, serta memberi kemudahan

perkembangan dan pertumbuhan”. Definisi lainnya dikemukakan oleh

Pietrosfesa et al yang dikutip Natawidjaja (2009: 6) yang menyatakan, bahwa “Group counseling .... is a problem-oriented and largely remedial process that accelerates individual problem resulation in a group setting.” Batasan ini

menjelaskan bahwa konseling kelompok cocok diterapkan bagi orang-orang yang mengalami beberapa kesulitan, ketidakpuasan, atau yang terlibat dalam perilaku yang bersifat menghambat perkembangan diri (self-defeating). Dari batasan tersebut, dapat dipahami bahwa melalui kegiatan konseling kelompok tersebut, konselor dapat memfasilitasi pemecahan permasalahan yang dihadapi individu dan sekaligus mengembangkan potensi individu melalui penciptaan suasana kelompok yang relevan, kondusif, dan diperlukan serta dipahami oleh anggota dalam kelompok.

Konseling kelompok sebagai salah satu jenis layanan dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling, secara konseptual memiliki relevansi dengan upaya pengembangan keterampilan sosial pada anak autis. Melalui konseling kelompok dimaksud, persoalan-persoalan individu pada anak autis, dapat diatasi dalam situasi kelompok. Natawidjaja (2008: 13) mengemukakan tujuan dari konseling kelompok, sebagai berikut:

1. membantu menemukan masalah bersama;

2. menyediakan informasi yang berguna untuk memecahkan masalah penyesuaian diri;

3. menyediakan peluang untuk berfikir dalam suasana kelompok;

4. menyediakan peluang untuk mendapatkan pengalaman yang dapat meningkatkan pemahaman diri;

(20)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa persoalan pokok yang dihadapi anak autis adalah menyangkut kesulitan dalam mengembangkan perilaku yang dapat diterima oleh lingkungan, dan hal ini terkait dengan rendahnya keterampilan sosial yang dimiliki oleh anak autis. Dengan demikian, intervensi terhadap anak autis, akan menekankan pada pembentukkan perilaku yang dapat diterima oleh lingkungan. Dalam perspektif konseling kelompok, upaya ke arah pemecahan masalah perilaku konseli, secara konseptual relevan dengan menggunakan pendekatan behavioristik. Hal ini sejalan dengan pendapat Krumboltz & Thoresen yang dikutip Natawidjaja (2009: 259) yang mengatakan bahwa:

Konseling kelompok dengan pendekatan perilaku (behavioristik) menekankan pada upaya melatih atau mengajar konseli tentang keterampilan pengelolaan diri yang dapat digunakannya untuk mengendalikan kehidupannya, untuk menangani masalah masa kini dan masa datang, dan untuk mampu berfungsi dengan memadai tanpa terapi terus menerus.

Lee & June (2002: 165) mengemukakan konsep Triad Impairment yang menjadi gejala umum keterbatasan anak autis, yaitu: “(1) social interaction; (2)

social communication; and (3) imagination”. Ketiga permasalahan ini

(21)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

berkembang menjadi gangguan perilaku yang tetap (Campbell, Coie & Reid, dalam Bennett, Brown, Lipman, Racine, Boyle & Offord) dalam Suryo (2012: 21). Fenomena seperti ini umum terjadi di banyak negara. Penelitian epidemiologi di beberapa negara seperti di Kanada, Queensland, dan Selandia Baru menunjukkan sekitar 5 – 7 % anak-anak mengalami gangguan perilaku (Krasny, 2003: 3).

Kondisi yang sama dialami oleh anak autis yang memiliki permasalahan dalam mengembangkan perilaku adaptif. Hal ini karena memang secara potensial, anak autis mengalami hambatan dalam hal keterampilan sosial. Pengembangan keterampilan sosial pada anak autis dapat dilakukan dengan menciptakan kondisi lingkungan yang memungkinkan anak autis untuk mengembangkan keterampilan sosialnya. Hasil studi awal yang dilakukan pada tiga Sekolah dasar inklusif di Kota Bandung, yakni SDN Puteraco, SD Dewi Sartika, dan SD Tunas Harapan, mengemuka beberapa permasalahan yang dihadapi oleh anak autis di sekolah inklusif. Hasil penelitian Sensus, dkk, di SDN Puteraco Kota Bandung (2008: 87) menujukkan bahwa perilaku anak autis sebagai berikut: (1) memiliki permasalahan dalam melakukan komunikasi dengan teman sebaya, guru, dan orang yang baru dikenalinya; (2) kurang memiliki inisiatif dalam memulai kontak sosial dengan lingkungan sekitar, seperti dengan teman sebaya dan guru; (3) kalaupun ada anak autis yang menunjukkan minat dalam berkomunikasi, namun arah komunikasinya tidak terfokus dan kontekstual dengan tema yang dibicarakan; dan (4) lebih asyik dengan kegiatan sendiri dan kurang menunjukkan minat untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar.

(22)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

diagnosis medis dan psikologis (Sensus, dkk, 2008: 90). Di samping hasil penelitian di atas, dari observasi ke SD Dewi Sartika yang dilakukan pada tahun 2009 menunjukkan adanya gejala yang sama pada perilaku anak autis, seperti kurang berminat berinteraksi sosial, perilaku impulsif dan agresif.

Pengembangan keterampilan sosial pada anak autis, sesungguhnya tidak hanya dalam setting sesama anak autis, akan tetapi harus lebih luas dikembangkan dalam setting anak-anak reguler pada umumnya. Dalam konteks ini, guru harus memiliki kompetensi dalam menciptakan lingkungan kondusif yang mampu memfasilitasi pengembangan keterampilan sosial anak autis. Keterampilan sosial pada anak autis yang menjadi target utama dalam model konseling kelompok dengan teknik bermain peran dalam penelitian ini, adalah hal yang sangat diperlukan untuk dimiliki oleh anak autis. Apalagi dalam konteks keterampilan sosial anak autis di sekolah inklusif, yang mendorong terjadinya interaksi sosial antara anak autis dengan anak reguler secara wajar. Keterampilan sosial yang dimiliki oleh anak autis sesungguhnya akan menjadi modal sosial bagi anak autis dalam mengatasi persoalan perilaku maladapted, seperti: perilaku yang asik dengan diri sendiri, kebingungan dalam memulai interaksi, keengganan dalam melakukan komunikasi sosial dengan lingkungan sekitar, dan bentuk perilaku sosial lainnya.

(23)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

memiliki 13 teknik konseling kelompok, yang salah satunya adalah teknik bermain peran.

Berdasarkan kerangka teoretis dan analisis kontekstual permasalahan yang dihadapi oleh anak autis di sekolah dasar inklusif sebagaimana dipaparkan di atas, perumusan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran memiliki kaitan konseptual-kontekstual dengan upaya ke arah pengembangan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Layanan pendidikan bagi anak autis di sekolah inklusif dihadapkan pada persoalan bagaimana guru mampu merencanakan dan melaksanakan layanan pendidikan yang mengintegrasikan interaksi anak autis dengan anak-anak reguler lainnya. Upaya untuk mengembangkan keterampilan sosial pada anak autis di sekolah inklusif memerlukan kecermatan dari guru untuk mendesain jenis layanan seperti apa yang relevan dengan karakteristik autisme dan target yang hendak dicapai dari tujuan layanan pembelajaran. Untuk mencapai tujuan pengembangan keterampilan sosial pada anak autis, guru harus menciptakan suasana kelompok yang memungkinkan anak autis dan anak-anak reguler lainnya untuk berinterkasi sosial, sehingga pada akhirnya keterampilan sosial pada anak autis dapat ditingkatkan.

(24)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

Kenyataan ini mendorong intervensi bagi anak autis identik dengan intervensi psikologi, pedagogik, dan medis, sementara layanan bimbingan dan konseling belum banyak dilakukan di sekolah inklusif.

Kenyataan ini memberikan landasan empirik-konseptual akan pentingnya merumuskan dan melaksanakan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran untuk mengembangkan keterampilan sosial anak autis di sekolah dasar inklusif. Model konseling kelompok dalam penelitian ini berbasis pada pendekatan behavioral dengan teknik bermain peran dan hasil analisis empirik-kontekstual tentang perilaku anak autis di sekolah dasar inklusif.

Mencermati sifat dari konseling kelompok, maka secara konseptual upaya ke arah mengembangkan keterampilan sosial pada anak autis, memiliki peluang untuk dilakukan. Selanjutnya penerapan konseling kelompok dengan teknik bermain peran memerlukan kemampuan dasar pada konseli dan anggota kelompok untuk memiliki minat untuk berinteraksi, dan memiliki kemampuan dasar dalam memahami perintah atau instruksi verbal. Sementara di sisi lainnya, permasalahan pada anak autis merentang dari yang ringan sampai ke permasalahan yang bersifat kompleks. Gejala autisme sebagai sebuah spektrum, merentang dari kategori low function menuju high function, dari kategori hyposensitive menuju hypersensitive. Mencermati persyaratan dasar dari penggunaan konseling kelompok dengan teknik bermain peran, maka subyek dari penelitian ini adalah anak dengan High Functioning Autism (HFA).

Kelle et al (2009: 1) mengemukakan bahwa High Functioning Autism (HFA) adalah kelompok anak autis yang memiliki kemampuan untuk

(25)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

luasnya setting penelitian yakni sekolah penyelenggara pendidikan inklusi yang ada di Kota Bandung, maka fokus penelitian ini dibatasi pada SDN Puteraco.

Berangkat dari kondisi empirik-konseptual sebagaimana dipaparkan di atas, fokus penelitian ini adalah untuk merumuskan dan mengimplementasikan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran yang efektif untuk mengembangkan keterampilan sosial pada anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif Kota Bandung”.

C. Pertanyaan Penelitian

Sebagaimana dinyatakan dalam rumusan masalah, bahwa penelitian ini akan merumuskan dan mengimplementasikan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran yang efektif untuk mengembangkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif Kota Bandung. Operasionalisasi dari rumusan penelitian dimaksud, dilaksanakan dalam dua tahapan penelitian, yakni penelitian tahap kesatu dengan fokus untuk merumuskan model konseling kelompok dengan teknik teknik bermain peran yang efektif untuk mengembangkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif Kota Bandung, dan

penelitian tahap kedua dengan fokus untuk mengimplementasikan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran yang efektif yang dihasilkan dalam penelitian ini untuk mengembangkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif Kota Bandung.

Dalam penelitian tahap kesatu ini, fokus penelitian adalah untuk merumuskan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran yang efektif untuk mengembangkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif Kota Bandung. Untuk

(26)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

Terkait dengan tujuan penelitian tahap kesatu sebagaimana dipaparkan di atas, berikut dirumuskan pertanyaan penelitian yang memfokuskan pada kondisi obyek keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism: 1. Hambatan dan kemampuan apa saja yang dialami oleh anak dengan High

Functioning Autism dalam mengembangkan keterampilan sosial dengan

anak-anak reguler di sekolah dasar inklusif?

2. Aspek-aspek apa saja yang difahami guru tentang keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif?

3. Bagaimana pengetahuan guru dalam melaksanakan konseling kelompok dengan teknik bermain peran untuk mengembangkan keterampilan sosial pada anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif? 4. Dukungan apa saja yang diberikan orang tua siswa dalam mengembangkan

keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif?

5. Seperti apakah model konseling kelompok dengan teknik bermain peran untuk mengembangkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif?

Dalam penelitian tahap kedua, rumusan masalah penelitian adalah “bagaimana implementasi model konseling kelompok dengan teknik bermain peran untuk mengembangkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif?” Terkait dengan rumusan

masalah dalam penelitian tahap kedua ini, dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah penerapan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran dapat meningkatkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism yang berperilaku agresif dan menyendiri di sekolah

dasar inklusif Kota Bandung?

(27)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

Functioning Autism kelas rendah dan kelas tinggi di sekolah dasar inklusif

Kota Bandung?

3. Apakah penerapan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran dapat meningkatkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism yang berasal dari keluarga yang memiliki dukungan

memadai dan kurang memadai di sekolah dasar inklusif Kota Bandung?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan dan mengimplementasikan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran untuk mengembangkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif Kota Bandung. Mencermati tujuan penelitian dimaksud, maka penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahapan kegiatan penelitian.

Tujuan penelitian dalam penelitian tahap kesatu, adalah merumuskan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran untuk mengembangkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif Kota Bandung. Untuk merumuskan tujuan penelitian tersebut diperlukan data lapangan sebagai berikut:

1. Hambatan dan kemampuan yang dialami oleh anak dengan High Functioning Autism dalam mengembangkan keterampilan sosial dengan

anak-anak reguler di sekolah dasar inklusif Kota Bandung.

2. Aspek-aspek yang difahami guru tentang keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif Kota Bandung.

3. Kompetensi guru di sekolah dasar inklusif dalam melaksanakan model bermain peran dengan teknik bermain peran untuk mengembangkan keterampilan sosial pada anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif Kota Bandung.

(28)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

Tujuan penelitian dalam tahap kedua, adalah untuk mengimplementasikan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran yang telah dirumuskan untuk mengembangkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif Kota Bandung. Dalam mengimplementasikan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran ini, dikelompokan berdasarkan kriteria sebagai berikut:

1. Penerapan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran untuk meningkatkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism yang berperilaku agresif dan menyendiri di sekolah dasar inklusif Kota Bandung.

2. Penerapan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran untuk meningkatkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism kelas rendah dan kelas tinggi di sekolah dasar inklusif Kota Bandung. 3. Penerapan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran untuk

meningkatkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Auti yang berasal dari keluarga yang memiliki dukungan memadai dan kurang memadai di sekolah dasar inklusif Kota Bandung.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

(29)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

mengembangkan keterkaitan atau lintasan teori pendidikan khusus, termasuk di dalamnya kajian anak autis dengan kerangka konseling kelompok di sekolah inklusif. Kajian ini juga dapat bermanfaat mengingat dewasa ini terjadi kecenderungan untuk mengembangkan layanan bimbingan konseling dalam berbagai setting, termasuk di dalamnya dalam setting layanan bimbingan konseling bagi anak autis.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendatangkan manfaat praktis, di antaranya sebagai berikut:

a. Sebagai bahan masukkan bagi pihak-pihak terkait di sekolah dasar inklusif, seperti kepala sekolah, guru mata pelajaran dan khususnya guru BK tentang taraf keterampilan sosial anak autis dan upaya pengembangannya;

b. Sebagai bahan pertimbangan bagi guru kelas dan guru BK di sekolah inklusif dalam melaksanakan layanan bimbingan dan konseling, khususnya dengan konseling kelompok dengan teknik bermain peran pada anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif;

c. Bagi peneliti selanjutnya, dapat dijadikan bahan kajian untuk mendalami variabel atau lingkup penelitian lebih lanjut misalnya tentang faktor-faktor kontekstual yang mempengaruhi perkembangan anak autis secara komprehensif.

F. Definisi Operasional Variabel

Untuk memberikan arah atau batasan yang jelas tentang aspek-aspek yang akan diungkap dalam penelitian ini, perlu dijelaskan beberapa batasan sebagai berikut:

1. Model Konseling Kelompok dengan Teknik Bermain Peran

(30)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

nampak dalam definisi deskriptif tentang konseling kelompok sebagaimana dikemukakan oleh Shertzer & Stone (1980: 46) sebagai berikut: “konseling kelompok adalah suatu proses pemberian bantuan kepada individu melalui suasana kelompok yang memungkinkan individu dapat mengembangkan wawasan dan pemahaman yang diperlukan tentang suatu masalah tertentu, mengeksplorasi dan menentukan alternatif terbaik untuk memecahkan masalah atau dalam upaya mengembangkan pribadinya.

Secara konseptual konseling kelompok adalah “upaya bantuan kepada individu dalam suasana kelompok, bersifat pencegahan, penyembuhan, dan pengembangan”, serta memberi kemudahan perkembangan dan pertumbuhan”. Dari batasan tersebut, dapat dipahami bahwa melalui kegiatan konseling kelompok tersebut, konselor dapat memfasilitasi pengembangan potensi individu melalui penciptaan suasana kelompok yang relevan, kondusif, dan diperlukan serta dipahami oleh anggota dalam kelompok.

Konseling kelompok dengan pendekatan behavioral dalam perkembangannya terdiri dari berbagai teknik. Salah satu teknik yang populer dalam konseling kelompok adalah teknik bermain peran. Konseling kelompok dengan dengan teknik bermain peran ini menekankan pada upaya melatih atau mengajar konseli tentang keterampilan mengelola diri yang dapat digunakannya untuk mengendalikan kehidupannya, untuk menangani masalah masa kini dan masa datang, dan untuk mampu berfungsi dengan memadai tanpa terapi yang terus menerus (Krumboltz & Thoresen, 1976, dalam Natawidjaja (2009: 259). Para ahli dalam pendekatan behavioristik banyak menekankan pendapatnya tentang upaya membantu manusia ke arah pembentukan “perilaku pengarahan diri” (self-directed behavior) dan “gaya hidup yang dikelola diri sendiri” (self-managed live style) (Natawidjaja, 2009: 259).

(31)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

inklusif dan kerangka konseptual konseling kelompok dengan teknik bermain peran. Dengan demikian, maka dapat dirumuskan bahwa model konseling kelompok dengan teknik bermain peran dalam penelitian ini adalah sebuah model konseling kelompok yang dirumuskan berdasarkan analisis empirik perilaku sosial anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif dan analisis konseptual tentang konseling kelompok dengan teknik bermain peran yang ditujukan untuk mengembangkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif Kota Bandung.

Implementasi dari model konseling kelompok dengan teknik bermain peran yang efektif ini, dilaksanakan dalam 3 tahapan utama, yaitu:

a. Tahapan Permulaan; yaitu suatu tahapan sebelum terbentuknya kelompok konseling dan pertemuan-pertemuan pertama dari keseluruhan rencana konseling. Dalam tahapan permulaan pada konseling kelompok dengan teknik bermain peran ini, peneliti menentukan jumlah anggota dalam konseling kelompok—berapa orang anak dengan High Functioning Autism dan anak reguler dalam kelompok konseling, dan target perilaku (target behavior) yang hendak dicapai dalam proses konseling kelompok.

b. Tahapan Pelaksanaan; yaitu tahapan dimana peneliti (konselor) merumuskan rancangan perilaku bantuan dan penerapan teknik bermain peran.

(32)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

2. Keterampilan Sosial Anak dengan High Functioning Autism

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism. Sebelum merumuskan batasan operasional keterampilan sosial pada anak dengan High Functioning Autism, perlu dikupas dulu batasan konseptual tentang keterampilan sosial.

Menurut Scheneider, et al (dalam Fajar.multifly.com) agar seseorang berhasil dalam interaksi sosial, maka secara umum dibutuhkan beberapa keterampilan sosial yang terdiri dari pikiran, pengaturan emosi, dan perilaku yang tampak. Anak yang memiliki keterampilan sosial dapat diketahui dari bagaimana cara berinteraksi dan berperilaku yang tepat sesuai dengan tuntutan lingkungan. Dalam kaitannya dengan keterampilan anak dengan High Functioning Autism, dapat dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan dengan

keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism, adalah kemampuan dalam berinteraksi dengan teman sebaya, seperti peer acceptance, keterampilan berkomunikasi, perilaku interpersonal, perilaku personal, dan kemampuan menyelesaikan tugas-tugas akademis.

Secara terstruktur, Elksnin & Elksnin (dalam Fajar.multifly.com) mengidentifikasi keterampilan sosial dengan beberapa ciri sebagai berikut:

1) Peer acceptance

Perilaku yang berhubungan dengan kemampuan dalam memposisikan dirinya sebagai bagian dari lingkungan atau teman sebaya. Data yang diungkap memfokuskan pada target behaviour, yakni meningkatnya kemauan dan kemampuan untuk memberi salam atau menyapa.

2) Keterampilan Komunikasi

(33)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

3) Perilaku Interpersonal

Merupakan perilaku menyangkut keterampilan yang dipergunakan selama melakukan interaksi sosial. Analisis data dalam dimensi ini memfokuskan pada tercapainya perilaku yang dikehendaki (target behaviour) yaitu meningkatnya kemauan untuk memberikan bantuan.

4) Perilaku Personal

Merupakan keterampilan untuk mengatur diri sendiri dalam situasi sosial. Dalam penelitian ini, data tentang perilaku interpersonal memfokuskan pada pada target behaviour, yakni meningkatnya kemauan dan kemampuan untuk menghadapi kendala/kesulitan.

5) Perilaku yang berhubungan dengan kesuksesan akademis

Merupakan perilaku atau keterampilan sosial yang dapat mendukung prestasi belajar di sekolah. Dalam data ini memfokuskan pada target behaviour, yakni meningkatnya kemauan dan kemampuan untuk

mendengarkan penjelasan materi pelajaran.

G. Asumsi Penelitian

1. Layanan program bimbingan dan penyuluhan merupakan bagian integral dari sistem pendidikan anak luar biasa, termasuk di dalamnya bagi anak autis. (Moerdiani, 1987: 12).

2. Program bimbingan dan konseling harus fleksibel, disesuaikan dengan kebutuhan individu, masyarakat, dan kondisi lembaga (Depdikbud, 1994).

3. Semua anak memerlukan pendidikan yang membantu mereka berkembang untuk hidup dalam masyarakat yang normal (Sunanto, 2000: 4).

(34)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

H. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan analisis teori tentang rancang bangun konseling kelompok dengan teknik bermain peran dan karakrteristik perilaku anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif, maka dapat dirumuskan hipotesis

penelitian sebagai berikut:

1. Penerapan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran dapat meningkatkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism yang berperilaku agresif dan menyendiri di sekolah dasar inklusif Kota Bandung.

2. Penerapan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran dapat meningkatkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism kelas rendah dan kelas tinggi di sekolah dasar inklusif Kota Bandung. 3. Penerapan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran yang

efektif dapat meningkatkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism yang berasal dari keluarga yang memiliki dukungan

(35)

Agus Irawan Sensus, 2014.

(36)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Subyek Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SDN Puteraco Kota Bandung dengan alasan supaya data-data yang diperlukan dalam penelitian ini dapat dipenuhi secara memadai. Dijadikanya sekolah ini sebagai lokasi penelitian didasarkan pada hasil studi awal yang menunjukan dua fakta empirik sebagai berikut: (1) sekolah ini memiliki pengalaman yang cukup lama sebagai sekolah dasar yang menyelenggarakan pendidikan inklusi di Kota Bandung, dan pernah ditunjuk sebagai sekolah inklusi rintisan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat; dan (2) di sekolah ini terdapat anak dengan High Functioning Autism yang menjadi fokus atau subyek penelitian ini.

SDN Puteraco sebagai sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di Kota Bandung dimulai sejak tahun 2005 yang difasilitasi oleh dana piloting penyelenggaraan sekolah inklusi di Provinsi Jawa Barat. Semenjak tahun 2006, SDN Puteraco sudah tidak lagi mendapatkan bantuan dana dan teknik penyelenggaraan pendidikan inklusif dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Namun demikian, SDN Puteraco secara mandiri terus menyelenggarakan pendidikan inklusif dengan jumlah dan ragam anak berkebutuhan khusus yang terus bertambah—termasuk anak dengan High Functioning Autism. Semenjak tahun 2010 SDN Puteraco ini mendapatkan

fasilitasi dalam hal teknis penyelenggaraan pendidikan inklusif dan pengembangan kompetensi SDM guru.

Dalam menentukan subyek penelitian ini, peneliti menggunakan teknik purpossive sampling. Penentuan teknik penentuan sampel penelitian ini,

(37)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

reguler. Kondisi ini mendukung dan relevan untuk menggali data lapangan tentang keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism dan juga upaya menerapkan model bermain peran. Kedua, penggunaan model bermain peran relevan dengan usia peserta didik di jenjang sekolah dasar, dimana masih kuat nuansa aktivitas bermain sebagai media pembelajaran. Ketiga, penentuan anak dengan High Functioning Autism sebagai subyek penelitian didasarkan pada pertimbangan kontekstual dan konseptual, dimana masalah utama yang dihadapi oleh anak autis adalah masalah keterampilan sosial, dan ketika model bermain peran digunakan pada anak dengan High Functioning Autism akan relevan dengan kemampuan dasar anak dengan High Functioning Autism yang memiliki kemampuan dasar dalam mengikuti perintah verbal meskipun dengan taraf yang terbatas.

B. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah pendekatan Research and Development (R&D) dengan exploratory mixed method research design. Data

yang diperoleh dari penelitian ini adalah dua jenis data, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif, maka metode penelitian ini tidak dapat menggunakan satu metode penelitian, tetapi harus menggunakan desain yang mengkombinasikan kedua metode tersebut. Metode penelitian yang mengkombinasikan pendekatan penelitian kualitatif dengan penelitian kuantitatif disebut dengan mixed methods research design. Craswell (2008: 20) menyebutkan bahwa mixed

methods research design adalah suatu prosedur untuk mengumpulkan,

menganalisis, dan menggabungkan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif dalam satu kajian untuk memahami sebuah masalah penelitian.

Ada dua alasan yang memperkuat penggunaan desain penelitian ini. Pertama, sebuah penelitian dilaksanakan menggunakan mixed methods apabila

(38)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

suatu desain yang baik digunakan jika peneliti ingin memanfaatkan kelebihan dari data kualitatif maupun data kuantitatif tersebut. Data kuantitatif antara lain skor yang diperoleh dari penggunaan instrumen, menghasilkan angka-angka yang spesifik yang dapat dianalisis secara statistik, dapat memberikan informasi yang bermanfaat jika peneliti perlu mendeskripsikan kecenderungan tentang sejumlah besar orang. Di pihak lain, data kualitatif, seperti wawancara mendalam yang menghasilkan kata-kata yang sesungguhnya diucapkan oleh partisipan dalam penelitian, menawarkan bermacam-macam perspektif tentang topik penelitian dan memberikan gambaran yang kompleks tentang situasi yang diteliti. Dengan demikian, upaya untuk menggabungkan kedua metode penelitian kuantitatif dengan metode kualitatif akan memiliki kekuatan dalam menghasilkan data secara terpadu dan komprehensif. Hal ini sejalan dengan pendapat Miles & Huberman dalam Cresswell (2008: 45) yang menyatakan

bahwa “apabila kita mengkombinasikan data kuantitatif dan kualitatif, kita

mempunyai suatu kombinasi yang sangat kuat. Misalnya, dengan mengukur outcome suatu kajian (kuantitatif) maupun prosesnya (kualitatif), kita dapat

membangun suatu gambaran tentang suatu fenomena sosial yang kompleks (Greene & Caracelli dalam Creswell, 2008: 46).

(39)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

tua siswa dalam mengembangkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif?; dan (e) seperti apakah model

bermain peran untuk mengembangkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif?

Pertanyaan penelitian gugus kedua, yakni: (a) apakah penerapan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran dapat meningkatkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism yang berperilaku agresif dan pendiam di sekolah dasar inklusif?; (b) apakah penerapan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran dapat meningkatkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism di kelas rendah dan kelas tinggi di sekolah dasar inklusif?; dan (c) apakah penerapan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran dapat meningkatkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism dari orang tua yang memberikan dukungan memadai dan kurang memadai di sekolah dasar inklusif?. Pertanyaan penelitian ini hanya dapat dijawab dengan metode kuantitatif. Oleh karena itu, penggunaan kombinasi metode kualitatif dan metode kuantitatif dalam penelitian ini merupakan suatu keharusan.

Desain mix method dalam penelitian ini dilakukan dengan pola sebagai berikut:

1. Peneliti mengumpulkan data kualitatif terlebih dahulu, dilanjutkan mengumpulkan data kuantitatif, dan pengumpulan data dilakukan dalam dua fase yang terpisah.

2. Kegiatan pengumpulan data, peneliti lebih banyak mengumpulakn data kualitatif (QUAL) daripada data kuantitatif (quan). Pemberian prioritas ini didasarkan pada arah pertanyaan penelitian yang lebih banyak mengungkap data-data kualitatif, dan membahas hasil data kualitatif secara lebih rinci daripada hasil data kuantitatif.

(40)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

Memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka desain penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah exploratory mixed methods research design. Pada umumnya desain ini diaplikasikan untuk mengeksplorasi suatu fenomena, mengidentifikasi tema-tema, merancang suatu instrumen, dan selanjutnya mengujinya.

Secara visual, alur atau bagan dari desain penelitian ini dijelaskan dalam gambar berikut.

QUAL (Data dan

Hasil)

Membangun quan

(Data dan Hasil)

Gambar 3.1

Exploratory Mixed Methods Research Design

(diadaptasikan dari Creswell, J.W. 2008)

Keterangan:

Tanda panah menunjukkan urutan pengumpulan data. Pengumpulan data kuantitatif dilakukan setelah diperoleh data kualitatif.

Huruf kapital menunjukkan prioritas data. QUAL menunjukkan bahwa data kualitatif lebih diprioritaskan daripada data kuantitatif (quan).

Dalam penelitian kuantitatif dari penelitian ini adalah metode eksperimen dengan subyek penelitian tunggal (Single Subject Research). Metode ini digunakan karena ini meneliti suatu peristiwa atau perubahan yang muncul secermat mungkin, sehingga dapat diketahui hubungan sebab akibat munculnya gejala tersebut. Hal ini seperti yang dijelaskan Tawney dan

(41)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

strategy developed to document changes in the behavior of individual subject”.

Metode eksperimen ini digunakan karena sesuai dengan tujuan penelitian tahap kedua, yaitu untuk memperoleh gambaran langsung pengaruh penerapan model bermain peran terhadap keterampilan sosial pada anak dengan High Functioning Autism di SDN Puteraco Kota Bandung.

Desain penelitian menggunakan desain A-B-A. Desain A-B-A merupakan penelitian yang pengolahan datanya dipergunakan untuk menganalisis terjadinya perubahan perilaku, dalam hal ini adalah keterampilan sosial sebagai akibat dari perlakuan dengan subyek penelitian tunggal (Sunanto, 2005: 13). Desain A-B-A memiliki tiga tahap, yaitu: A-1 (baseline-1), B (intervensi), A-2 (baseline-2). Berikut digambarkan desain A-B-A pada gambar 3.1.

0 10 20 30

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Gambar 3.2 Desain A-B-A

Keterangan:

A-1 = Baseline-1

Adalah kondisi keterampilan sosial pada subjek penelitian sebelum memperoleh intervensi (pra-intervensi).

B = Intervensi

Adalah kondisi intervensi keterampilan sosial dengan model bermain peran pada subjek penelitian selama memperoleh intervensi.

A-2 = Baseline-2

Adalah kondisi keterampilan sosial pada subjek penelitian setelah intervensi (post-intervensi).

A-1 B A-2

Ra

t

e

(42)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

Dalam penelitian subyek tunggal, perlu dirumuskan dahulu target behavior, yang merupakan tingkah laku yang diharapkan meningkat dalam suatu penelitian. Target behavior dalam penelitian ini adalah keterampilan sosial yang meliputi: peer acceptance, keterampilan berkomunikasi, perilaku interpersonal, perilaku personal, perilaku yang berhubungan dengan kesuksesan akademis,.

Produk akhir dari penelitian ini adalah dirumuskannya model bermain peran untuk mengembangkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif Kota Bandung. Model konseling

kelompok dengan teknik bermain peran yang dihasilkan dalam penelitian ini dirancang melalui analisis konseptual, analisis empiris, yang kemudian dikembangkan menjadi model akhir bermain peran untuk mengembangkan keterampilan sosial pada anak dengan High Functioning Autism.

C. Pengembangan Instrumen Penelitian

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa penelitian ini menggunakan Exploratory Mixed Methods Research Design, sehingga dalam pelaksanaan

penelitiannya mengharuskan menggunakan instrumen penelitian yang berbeda sesuai dengan sifat dari pendekatan penelitian yang digunakan. Berikut dijelaskan kisi-kisi dan pengembangan instrumen penelitian untuk penelitian tahap pertama dengan menggunakan penelitian kualitatif dan penelitian tahap kedua dengan menggunakan penelitian kuantitatif.

1. Pengembangan Instrumen Pengumpulan Data Kualitatif

a. Kisi-kisi Instrumen

(43)

Agus Irawan Sensus, 2014.

MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu

Tabel 3.1

Kisi-kisi Instrumen pada Penelitian Tahap Pertama dengan Menggunakan Penelitian Kualitatif

No .

Aspek yang Diungkap

Indikator Sub Indikator Alat

Gambar

gambar berikut.
Tabel 3.1 Kisi-kisi Instrumen pada Penelitian Tahap Pertama dengan
Tabel 3.2. Kisi-kisi Instrumen pada Penelitian Kuantitatif
Tabel 3.3 Subyek Penelitian dalam Penelitian Kualitatif
+3

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pengujian ketiga , Pengujian terhadap citra uji dengan objek karakter ukuran kecil dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan efisiensi pengenalan jika objek yang

Anda selalu berusaha memperbaiki kesalahan yang pernah anda lakukan dalam melaksanakan

PEDOMAN TEKNIS PENCEGAHAN PENYAKIT IKAN EKSOTIK KE DALAM WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA.4.

Penggunaan Repirocal Teaching dalam Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Prestasi Belajar Siswa Sekolah Dasar. Tesis,

* Format laporan untuk pemilik Instalasi Karantina Ikan **) Nomor HC dari Negara asal.. REKAMAN TINDAKAN PEMERIKSAAN MEDIA PEMBAWA IKAN HIDUP SELAMA MASA KARANTINA PADA IKI*.

Pengaruh Persepsi Kemanfaatan, Kemudahan Penggunaan, Risiko dan Kesesuaian Terhadap Minat Menggunakan Mobile Banking (Studi Pada PT. Bank Rakyat Indonesia Cabang Brigjend

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses dimana seorang individu berusaha untuk menerima suatu keadaan yang tidak