• Tidak ada hasil yang ditemukan

tesis tsabit azinar ahmad sejarah pps uns 2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "tesis tsabit azinar ahmad sejarah pps uns 2010"

Copied!
303
0
0

Teks penuh

(1)

ii TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh

Tsabit Azinar Ahmad S860209113

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

iii Disusun oleh

Tsabit Azinar Ahmad S860209113

Telah disetujui oleh tim pembimbing

Dewan Pembimbing

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Pembimbing I Dr. Warto, M.Hum ___________ _______ NIP 196109251986031001

Pembimbing II Dra. Sutiyah, M.Pd., M.Hum. ___________ _______ NIP 195907081986012001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret

(3)

iv Disusun oleh

Tsabit Azinar Ahmad S860209113

Telah disetujui oleh tim penguji

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Ketua Dr. Suyatno Kartodirdjo ___________ _______ Sekretaris Prof. Dr. Siswandari, M.Stat. ___________ _______ Anggota Penguji 1. Dr. Warto, M.Hum. ___________ _______ 2. Dra. Sutiyah, M.Pd., M.Hum. ___________ _______

Mengetahui

Ketua Prodi. Dr. Warto, M.Hum. ___________ _______ Pendidikan Sejarah NIP 196109251986031001

(4)

v NIM : S860209113

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul “Implementasi Critical Pedagogy dalam Pembelajaran Sejarah Kontroversial di SMA Negeri Kota

Semarang” adalah benar-benar karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.

Surakarta, 29 Juli 2010 Yang membuat pernyataan

(5)

vi  Belajar, Bergerak, Berkarya

(6)

vii

 Untuk kedua orang tuaku, adik-adikku (Diaz

Cagar Biru Langit & Kembang Gunung Rinjani), serta saudara-saudaraku atas segala limpahan cintanya

 Untuk Robiatul Adawiyyah, atas inspirasi yang

tak habis-habisnya

 Untuk guru-guruku yang telah memberi teladan

ilmu dan teladan laku

 Untuk sahabat-sahabatku yang bersama-sama

(7)

viii

rahmat-Nya tesis dengan judul “Implementasi Critical Pedagogy dalam Pembelajaran Sejarah Kontroversial di SMA Negeri Kota Semarang” telah diselesaikan. Disadari bahwa dalam penyusunan tesis ini, keberhasilan bukan semata-mata diraih oleh penulis, melainkan diraih berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini, penulis bermaksud menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam penyusunan penelitian ini. Dengan penuh kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada

1. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D. selaku Direktur PPs UNS yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk melaksanakan penelitian.

2. Dr. Warto, M.Hum., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah PPs UNS Surakarta sekaligus pembimbing I tesis yang dengan kesabaran senantiasa memberikan pengarahan, motivasi, dan masukan-masukan yang berharga dalam penelitian.

2. Dra. Sutiyah, M.Pd., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Pendidikan Sejarah PPs Surakarta, sekaligus pembimbing II tesis, atas masukan-masukan yang sangat berharga, koreksi-koreksi yang kritis, dan bimbingan dengan penuh kesabaran.

(8)

ix

6. Guru-Guru sejarah di SMA N 1 Semarang, SMA N 5 Semarang, dan SMA N 12 Semarang atas partisipasinya dalam penelitian ini.

7. Teman-teman pada Program Studi Pendidikan Sejarah PPs UNS, terutama angkatan 2009 dan 2010 (Atno and the gang) atas kekompakan dan nasihat-nasihatnya pada penulis.

8. Teman-teman di komunitas Taman Baca Ngudi Kawruh (Syaiful Amin, Ahmad Fauzan Mubarok), PMII Komisariat Al Ghozali Semarang, Patemon Syndicate (Taofiq, Saif, Vicki, Fatkhan), Kos Al Ikhlas Kentingan (Bambang,

Anjar, Agung, Ncep, Topan), teman-teman dan saudara di Solo (mba Cicun, Ivan, Ari) atas segala keceriaan dan kebersamaannya. Terima kasih juga pada sahabat Edi Subkhan atas referensi-referensi mutakhir tentang critical pedagogy, untuk Astria Ratna Wardhani atas koreksi Bahasa Inggrisnya.

9. Kedua orang tua (Abdul Aziz Baihaqi dan Diyah Lindiarti), adik-adik, Pak Dhe/Bu Dhe, Pak Lik/Bu Lik, dan semua saudara atas segenap limpahan cintanya. Spesial untuk Robiatul Adawiyyah (Dhay), terima kasih atas inspirasi-inspirasinya. Tesis ini spesial untuk kado ultahmu.

Pada penyusunannya, tesis ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran sangat dibutuhkan sebagai upaya perbaikan.

Surakarta, 29 Juli 2010

(9)

x

PENGESAHAN PEMBIMBING ……… PENGESAHAN PENGUJI TESIS ………. PERNYATAAN ……….. MOTO ………. PERSEMBAHAN ………... KATA PENGANTAR ………. DAFTAR ISI ……….. DAFTAR TABEL ………... DAFTAR GAMBAR ……….. DAFTAR LAMPIRAN ………... ABSTRAK ………... ABSTRACT ………

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………. B. Rumusan Masalah ……… C. Tujuan Penelitian ………. D. Manfaat Penelitian ………...

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Teori ……….

1. Critical Pedagogy ………. 2. Sejarah Kontroversial ……… 3. Pembelajaran Sejarah Kontroversial ……… B. Penelitian yang Relevan ……….. C. Kerangka Pikir ……….

(10)

xi

D. Teknik Pengumpulan Data ………. E. Teknik Cuplikan ……….. F. Validitas Data ……….. G. Teknik Analisis ………

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ……… 1. Deskripsi Latar ………..

2. Sajian Data ……….

B. Pokok-Pokok Temuan

1. Pemahaman Guru terhadap Critical Pedagogy sebagai Pendekatan Pembelajaran Sejarah Kontroversial ………. 2. Implementasi Critical Pedagogy dalam Pembelajaran Sejarah

Kontroversial ………. 3. Kendala Guru dalam Implementasi Critical Pedagogy dalam

Pmbelajaran Sejarah Kontroversial ……….. 4. Apresiasi Peserta Didik terhadap Implementasi Critical

pedagogy dalam Pembelajaran Sejarah Kontroversial ………

C. Pembahasan ……….

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A. Simpulan ………..

B. Implikasi ………..

C. Saran ………

(11)
(12)

xiii

1. Beberapa Aspek Perbedaan dalam Sejarah Kontroversial Nonkontemporer dan Kontemporer ……….. 2. Jadwal Pelaksanaan Penelitian ……… 3. Beberapa media dan sumber belajar tentang peristiwa Gerakan 30

September tahun 1965 ………. 4. Analisis Kendala-Kendala dalam Perencanaan Pembelajaran

Sejarah yang Bersifat Kontroversial ……… 5. Analisis Kendala-Kendala dalam Pelaksanaan Pembelajaran Sejarah yang Bersifat Kontroversial ………

38 69

237

241

(13)

xiv

1. Kerangka Pikir Penelitian ……… 2. Komponen-Komponen Analisis Data Model Interaktif………….. 3. Kemunculan Sejarah kontroversial dan macam pertentangan yang

terjadi di dalamnya ……….. 4. Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Pemahaman

Guru dalam Implementasi Critical Pedagogy pada Pembelajaran Sejarah Kontroversial ……….. 5. Fungsi Media Pembelajaran dalam Pembelajaran Sejarah

Kontroversial ……….. 6. Identifikasi Penyebab Permasalahan Pembelajaran Sejarah

Kontroversial ………... 7. Keterkaitan antara Pembelajaran, Historiografi, dan Masyarakat

dalam Pendidikan Sejarah dalam Perspektif Critical Pedagogy …. 8. Upaya Pemecahan Permasalahan Pembelajaran Sejarah

Kontroversial dalam Perspektif Critical Pedagogy ……….……... 9. Pola Hubungan Sinergis Enam Komponen Penopang Pendidikan

Sejarah ………...……….. 66 80

220

225

236

247

251

264

(14)

xv

1. Pedoman Wawancara, Observasi, dan Analisis Dokumen 2. Daftar Informan

3. Contoh Silabus, RPP, dan Materi Ajar 4. Dokumentasi Penelitian

5. Surat Izin Penelitian

(15)

xvi Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang (1) Pemahaman guru-guru sejarah terhadap critical pedagogy sebagai pendekatan dalam pembelajaran sejarah kontroversial; (2) Implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial; (3) Kendala yang ditemui guru dalam implementasi critical pedagogy pada pembelajaran sejarah kontroversial; (4) Pandangan dan apresiasi peserta didik terhadap implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan studi kasus terpancang (embedded research). Penelitian dilakukan di beberapa SMA Negeri se-Kota Semarang, yaitu di SMA N 1 Semarang, SMA N 5 Semarang, dan SMA N 12 Semarang. Sumber data terdiri atas informan (guru-guru sejarah dan peserta didik), dokumen (silabus, RPP), serta tempat dan peristiwa (kelas dan kegiatan pembelajaran). Teknik pengumpulan data menggunakan teknik wawancara mendalam, observasi, dan content analysis. Validitas data menggunakan trianggulasi data dan trianggulasi metode. Analisis data menggunakan analisis interaktif dengan tiga tahapan analisis, yakni reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan yang berinteraksi dengan pengumpulan data secara siklus.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Dalam praksis pendidikan di Indonesia, critical pedagogy hanya dipahami oleh kalangan terbatas dan belum diperkenalkan formal dan teknis karena rendahnya kemauan dan kemampuan guru serta adanya masalah historiografi, ideologi penguasa, dan kebijakan yang belum mendukung pelaksanaan critical pedagogy; (2) Pelaksanaan critical pedagogy masih berjalan setengah hati karena konsep yang dipegang oleh guru masih berada dalam tahap refleksi dan lemah dalam tahap aktualisasi, sehingga pembelajaran menjadi out of context; (3) Implementasi critical pedagogy masih mengalami kendala dalam pembelajaran sejarah kontroversial dalam hal perencanaan, pelaksanaan, dan faktor penunjang pembelajaran; (4) Pembelajaran sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy memiliki potensi untuk dapat menarik minat peserta didik dan melibatkan mereka aktif dalam menanggapi berbagai permasalahan.

(16)

xvii Graduate Program of Sebelas Maret University.

This research is aimed to describe (1) History teachers’ understanding about critical pedagogy as an approach to study controversial history; (2) the implementation of critical pedagogy in controversial history learning; (3) obstacles found when implementing critical pedagogy in controversial history learning; (4) students’ opinions and perceptions toward critical pedagogy implementation in controversial history learning.

This research used qualitative method with embedded research. This research was conducted in several public high schools in Semarang city namely: SMAN 1 Semarang, SMAN 5 Semarang, and SMAN 12 Semarang. The data source consists of informant (history teachers and the students), document (syllabus, RPP), place and event (classroom and learning activity). The data were collected through depth interview, observation, and content analysis. The data validity was achieved through data and method triangulation. This research uses interactive analysis to analyze the data. This analysis method consist of three steps; data reducing; data presenting; and conclusion drawing interacted with data collecting in a cyclic framework.

The research results show that: (1) in Indonesian educational praxis, critical pedagogy is only being understood by limited number of people and not being formally and technically introduced yet for some reason; less willingness and capability of the teachers; historiography; political reason (government); and unsupportive policy in implementing critical pedagogy: (2) the implementation of critical pedagogy can be considered stuck in halfway since the concepts held by the teachers are still in the stage of reflection and weak in the actualization stage so that the learning activity becomes out of context: (3) there are still some obstacles in implementing critical pedagogy in controversial history learning, especially in its plan, implementation, and supportive learning factor: (4) in the perspective of critical pedagogy, learning controversial history can potentially attract students’ interest in the class activity and involve them actively in responding varied issues.

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Pendidikan sejarah tidak pernah lepas dari unsur kepentingan politik. Di

dalam praksisnya, minimal ada dua jenis kepentingan dalam pendidikan sejarah.

Pertama, pendidikan sejarah dipandang sebagai alat untuk menumbuhkan

nasionalisme dan kesadaran kolektif tentang identitas kebangsaan. Kedua,

pendidikan sejarah dilihat sebagai alat legitimasi kekuasaan. Makna politis

pertama dikategorikan sebagai kepentingan yang bersifat afirmatif. Sementara itu,

makna kedua bersifat kompulsif dan manipulatif. Sifat kompulsif dan manipulatif

itu disebabkan adanya pemanfaatan sejarah untuk kepentingan salah satu pihak

dengan menonjolkan keunggulan-keunggulan penguasa dan mereduksi sejarah

yang tidak sesuai dengan “sejarah resmi”. Realisasi dalam pembelajaran sejarah di

sekolah kecenderungan kedua ini lebih menonjol daripada kecenderungan yang

pertama.

Pemanfaatan pendidikan sejarah sebagai alat kepentingan kekuasaan

pernah terjadi pada pemerintahan Orde Baru. Dwight Y King (dalam Arif

Rohman, 2009: 177) menjelaskan bahwa kekuasaan politik Orde Baru memiliki

karakter bureaucratic authoritarian yang ditandai dengan adanya dominasi peran

negara di segala bidang dan adanya penekanan terhadap kekuatan politik lain.

Dominasi itu terlihat dari pemberlakuan kurikulum nasional untuk seluruh

(18)

sekolah. Arif Rohman (2009: 13) menjelaskan bahwa “pemberlakukan kurikulum

nasional memiliki hidden goals berupa terwujudnya penyeragaman yang

memungkinkan negara mengatur materi dan isi kurikulum, serta adanya

marginalisasi dan kooptasi otonomi guru”.

Pada pemerintahan Orde Baru, pendidikan digunakan sebagai alat

kepentingan kekuasaan negara. Darmaningtyas dalam Media Indonesia (2005: 22)

menjelaskan bahwa pada masa pemerintahan Orde Baru, pendidikan merupakan

ajang indoktrinasi ideologi militeristik dan pemenangan partai tertentu dalam

pemilihan umum, sehingga menyebabkan terhambatnya kualitas pendidikan

nasional. Selanjutnya, Winarno Surakhmad dalam Suara Pembaruan (2008: 13)

menyatakan bahwa intervensi politis dalam bidang pendidikan menyebabkan

dunia pendidikan tergantung oleh proses politik penguasa dan hal ini merupakan

kesalahan terbesar pemerintah dalam hal pengembangan pendidikan.

Permasalahan-permasalahan di atas terjadi dalam pendidikan nasional secara

umum, termasuk dalam pendidikan sejarah. Materi-materi sejarah telah diatur

sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan tujuan penguasa. Pengaturan itu tampak

dengan adanya tulisan sejarah yang bersifat manipulatif. Oleh karena itu,

pendidikan nasional terutama pendidikan sejarah telah mengalami proses

eksploitasi menjadi instrumen untuk menanamkan watak loyal dan kepatuhan bagi

warga negara terhadap kekuasaan negara (Arif Rohman, 2009: 11).

Pada masa Orde Baru, pemerintah sedemikian rupa melakukan upaya

pembentukan pengetahuan sejarah (historical knowledge) yang seragam dan

(19)

menyebabkan tidak adanya apresiasi terhadap tulisan dan pemikiran sejarah yang

bersifat alternatif, serta memunculkan kecenderungan rekayasa sejarah untuk

kepentingan pihak-pihak tertentu. Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto,

dan Ratna Saptari (2008: 3) menyatakan “para sejarawan kritis telah menunjukkan

bahwa sejarah versi Orde Baru telah membungkam suara dari pihak-pihak yang

dianggap mengganggu dan mengancam pemerintahan militer yang berkuasa”.

Senada dengan hal di atas, Bambang Purwanto (2001a: 111) menjelaskan bahwa

“Indonesian history is considered primarily as a product of social and

political engineering of the New Order rather than an appropriate scholarly

apparatus”. Sejarah Indonesia ditetapkan sebagai hasil dari mesin sosial dan

politik dari Orde Baru daripada (hasil dari) pihak akademisi.

Dominasi penguasa terhadap pendidikan sejarah pada pemerintahan Orde

Baru memunculkan dampak yang negatif. Slamet Soetrisno (2006: 55)

menyebutnya sebagai “teror sejarah” yang ditandai dengan pergeseran sejarah ke

arah mitos dan penggunaan sejarah untuk kepentingan-kepentingan individual.

Pada masa pemerintahan Orde Baru kisah kepemimpinan Soeharto digeser ke arah

mitos sebagai godfather, penyelamat bangsa, pengaman Pancasila, sampai

kemudian mendapatkan gelar “Bapak Pembangunan” (Slamet Soetrisno, 2007:

55-56). Kecenderungan tersebut tampak pada penempatan sosok Soeharto sebagai

tokoh sentral sejarah Indonesia, terutama semenjak Serangan Umum 1 Maret

sampai memuncak pada peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965 dan

keluarnya Surat Perintah 11 Maret tahun 1966. Selain itu, tema sentral yang sering

(20)

Baru. Peristiwa-peristiwa inilah yang senantiasa ditampilkan secara berlebihan

dan tidak seimbang dalam pendidikan sejarah.

Kecenderungan mitologisasi dalam pendidikan sejarah memunculkan

dikotomi yang oleh Paulo Freire (2008: 12-24) disebut dengan kaum penindas dan

kaum tertindas. Penguasa Orde Baru bertindak sebagai kaum penindas. Sementara

itu, guru, murid, dan masyarakat termasuk dalam kelompok tertindas. Penindas

melakukan proses “penjinakan” melalui proses “pemolaan” dengan pemaksaan

pilihan dan mengembangkan kesadaran palsu (Freire, 2008: 16). Kenyataan ini

berkembang dalam proses pendidikan sejarah pada pemerintahan Orde Baru.

Pemanfaatan sejarah sebagai alat semakin terlihat dengan ditetapkannya

Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) pada kurikulum 1984 dan 1986.

Pelaksanaan PSPB didasarkan pada Ketetapan MPR No. II/MPR/1982 tentang

Garis-Garis Besar Haluan Negara. Di dalam PSPB terdapat tujuan instruksional

yang sangat bermakna politis untuk menonjolkan peran Orde Baru sebagai upaya

untuk mendapatkan legitimasi. Tujuan instruksional tersebut berbunyi “peserta

didik meyakini bahwa Orde Baru mengutamakan kepentingan negara dan

masyarakat” (Asvi Warman Adam, 2005: 96).

Kecenderungan pendidikan sejarah digunakan sebagai alat penguasa mulai

terkikis setelah reformasi. Kecenderungan tersebut tampak dari munculnya

tahapan baru dalam penulisan sejarah. Penulisan sejarah merupakan bagian yang

tidak dapat dilepaskan dari pendidikan sejarah karena menunjang pelaksanaan

pembelajaran sejarah. Kuntowijoyo seperti dikutip Asvi Warman Adam (2007a:

(21)

“gelombang ketiga historiografi Indonesia”. Gelombang ketiga dalam

historiografi Indonesia ditandai dengan adanya upaya pelurusan terhadap hal-hal

yang kontroversial dalam sejarah yang ditulis semasa Orde Baru.

Berkembangnya nuansa kebebasan dalam masyarakat dan munculnya

tahapan baru historiografi Indonesia telah memberikan pandangan baru bagi

masyarakat tentang pemikiran-pemikiran alternatif. Pada saat ini telah banyak

beredar buku-buku tentang peristiwa-peristiwa yang semasa Orde Baru dianggap

terlarang, seperti penulisan beberapa versi baru tentang Gerakan 30 September.

Selain itu, ada pula penerbitan-penerbitan sejarah akademis kritis berupa

karya-karya ilmiah yang berasal dari penelitian-penelitian baik disertasi, tesis, skripsi,

atau penelitian lainnya. Kemudian setelah reformasi muncul pula penerbitan

biografi tokoh-tokoh terbuang, seperti A.M. Hanafi, Sulami, Aidit dan

keluarganya, serta Tan Malaka. Beberapa hal tersebut menurut Asvi Warman

Adam (2007a: 9-14) menjadi ciri dalam tahapan ketiga historiografi Indonesia

yang di satu sisi memunculkan konsekuensi bahwa kontroversi sejarah tidak lagi

dianggap tabu dalam perbincangan umum. Namun demikian, di sisi lain dinamika

penulisan sejarah tidak sejalan dengan pelaksanaan pembelajaran sejarah di

sekolah.

Keterbukaan dalam pendidikan sejarah setelah reformasi yang ditandai

dengan dinamika penulisan sejarah, ternyata belum memberikan perubahan dalam

pembelajaran sejarah di sekolah. Praksis pembelajaran sejarah ternyata tidak

sejalan dengan perkembangan yang pesat dalam historiografi setelah reformasi.

(22)

dalam pembelajaran senada dengan pendapat bahwa pendidikan merupakan salah

satu kegiatan yang paling konservatif di dalam era refomasi dewasa ini (Tilaar,

2002: 101). Stagnasi dalam pembelajaran sejarah terlihat pada upaya penguasa

yang masih tetap melakukan campur tangan secara berlebihan dalam pendidikan

sejarah. Walaupun terjadi perubahan dalam kurikulum, mulai dari adanya

suplemen tahun 1999, Kurikulum 2004, sampai Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan, masih ada seperangkat kebijakan pemerintah yang masih belum

membuka peluang maksimal untuk pengembangan proses berpikir kritis peserta

didik.

Kecenderungan sikap pemerintah yang represif terutama tampak pada

pembelajaran sejarah kontroversial di sekolah. Pelaksanaan pembelajaran sejarah

kontroversial masih belum maksimal. Materi-materi yang diajarkan masih sebatas

pada materi-materi yang tidak memberikan pengaruh dan bersinggungan langsung

dengan masyarakat, seperti materi-materi dari sejarah yang peristiwanya jauh dari

masa sekarang. Sementara itu, materi-materi sejarah kontemporer yang bersifat

sensitif dan politis seperti Gerakan 30 September, Supersemar, dan Serangan

Umum 1 Maret 1949 belum sesuai dengan perkembangan historiografi setelah

reformasi. Hal ini tampak dari adanya intervensi yang berlebih dari pemerintah

dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 019/A/JA/03/2007

pada tanggal 5 Maret 2007 yang melarang buku-buku pelajaran sejarah yang tidak

membahas pemberontakan (PKI) tahun 1948 dan 1965 (Asvi Warman Adam,

2007a: xiv). Munculnya kenyataan seperti ini merupakan salah satu hal yang

(23)

alat indoktrinasi untuk menghasilkan pengikut yang penurut (Bambang Purwanto,

2006: 270).

Keadaan tersebut bertentangan dengan tahapan pengajaran sejarah yang

diungkapkan oleh Kuntowijoyo. Kuntowijoyo (1995: 3-4) menyatakan bahwa

pendekatan pengajaran sejarah pada jenjang pendidikan SMA, mestinya diajarkan

secara kritis. Melalui pendekatan itu diharapkan peserta didik “mampu berpikir

mengapa sesuatu terjadi, apa yang sebenarnya terjadi, serta ke mana arah

kejadian-kejadian itu”, sebab pada jenjang tersebut daya nalar peserta didik sudah

bisa diajak untuk berpikir secara kritis (Kuntowijoyo, 1995: 4).

Kenyataan itu membutuhkan satu pendekatan khusus dalam pelaksanaan

pendidikan sejarah, agar pembelajaran sejarah dapat sesuai dengan perkembangan

pemikiran anak yang telah mampu berpikir secara kritis. Di negara-negara maju

pada saat ini telah berkembang satu ideologi pendidikan yang berupaya

memberikan suatu kesadaran kritis bagi peserta didik, yakni dengan menerapkan

critical pedagogy sebagai pendekatan dalam pelaksanaan pendidikan dan

pembelajaran.

Critical pedagogy merupakan sebuah pendekatan pendidikan yang

memandang bahwa terdapat muatan-muatan politis dalam pendidikan. Critical

pedagogy bertujuan memberdayakan kaum tertindas dan mentransformasi

ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakat melalui media pendidikan (Agus

Nuryatno, 2008: 1-2). Pendidikan kritis memandang bahwa terdapat relasi antara

pengetahuan, kekuasaan, dan ideologi. Di dalam pendidikan kritis, dikenal adanya

(24)

menyingkap fenomena-fenomena tersembunyi atau melampaui asumsi-asumsi

yang hanya berdasarkan common sense (akal sehat). Oleh karena itu, pendidikan

kritis atau critical pedagogy sangat relevan sebagai pendekatan dalam pendidikan

sejarah. Terlebih lagi dalam pendidikan kritis landasan yang digunakan adalah

keadilan dan kesetaraan. Penerapan critical pedagogy dalam pendidikan sejarah

diharapkan mampu menjadikan pendidikan sebagai medium bagi kritik sosial

sekaligus mampu menawarkan kemungkinan-kemungkinan dikembangkannya

democratic public spheres melalui proses self empowerment (pemberdayaan diri)

dan self reflection (refleksi diri) sebagai titik tolak mewujudkan transformasi

sosial (Agus Nuryatno, 2008: 5).

Relevansi critical pedagogy dalam pendidikan sejarah, khususnya

pembelajaran sejarah disebabkan pula oleh adanya kesamaan-kesamaan

pandangan di antara keduanya. Persamaan pertama, keduanya memandang bahwa

ada keterkaitan antara pendidikan dengan politik, bahwa ada dalam pendidikan

terdapat kepentingan-kepentingan politik, begitu pula sebaliknya bahwa dalam

aktivitas politik terdapat muatan-muatan edukatif. Persamaan kedua adalah

keduanya tidak dapat melepaskan diri dari konteks yang melingkupinya.

Pendidikan sejarah maupun critical pedagogy memandang bahwa kondisi sekitar,

baik kondisi politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya sangat berpengaruh terhadap

pendidikan. Pendidikan senantiasa mengaitkan antara realitas dengan

konsep-konsep. Persamaan ketiga ditinjau dari tujuan yang dicapai, yakni terbangunnya

kesadaran kritis dari peserta didik atau masyarakat dalam melihat realitas yang

(25)

keduanya memiliki landasan yang sama, yakni keadilan dan kesetaraan. Keadilan

dan kesetaraan menjadi kata kunci yang penting dalam proses pemberdayaan

masyarakat dan refleksi diri guna mencapai transformasi sosial.

Dari pemikiran di atas, penelitian ini mencoba untuk menganalisis

pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial ditinjau dari perspektif critical

pedagogy, serta bagaimana pandangan dan apresiasi peserta didik terhadap

implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Secara

lebih spesifik, penelitian ini dilakukan di Kota Semarang karena berdasarkan data

awal yang diperoleh dari penelitian Abu Su’ud (2008a) terhadap guru-guru

sejarah di 16 Sekolah Menengah Atas Negeri ternyata kepedulian para pengajar

sejarah terhadap isu kontroversial yang berkembang cukup tinggi. Hal ini menjadi

modal awal dalam penerapan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah

kontroversial, sehingga sangat menarik untuk meneliti tentang pelaksanaan

critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial yang dilakukan oleh

guru-guru sejarah di Kota Semarang. Selain itu, Semarang termasuk kota yang

dinamis karena banyak terdapat informasi-informasi terbaru yang dapat diakses

dengan mudah.

Penelitian ini akan menganalisis pemahaman guru-guru terhadap

pelaksanaan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial,

bagaimana penerapannya, serta apa kendala-kendala yang ditemui. Selain itu,

diamati pula bagaimana pandangan dan apresiasi peserta didik dengan

implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial.

(26)

pelaksanaan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial,

sehingga dapat menghasilkan masukan-masukan baru dalam pendidikan sejarah

yang bertujuan untuk menumbuhkan pola pikir dan kesadaran kritis peserta didik.

B.Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, rumusan masalah yang diangkat dalam

penelitian ini adalah

1. Bagaimana pemahaman guru-guru sejarah terhadap critical pedagogy sebagai

pendekatan dalam pembelajaran sejarah kontroversial?

2. Bagaimana implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah

kontroversial?

3. Apa kendala yang ditemui guru dalam implementasi critical pedagogy pada

pembelajaran sejarah kontroversial?

4. Bagaimana pandangan dan apresiasi peserta didik terhadap implementasi

critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial?

C.Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah di atas, tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut,

1. Mengetahui pemahaman guru-guru sejarah terhadap critical pedagogy sebagai

(27)

2. Mendeskripsikan implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah

kontroversial.

3. Mendeskripsikan kendala yang ditemui guru dalam implementasi critical

pedagogy pada pembelajaran sejarah kontroversial.

4. Mengetahui pandangan dan apresiasi peserta didik terhadap implementasi

critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial.

D.Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis, penelitian ini memberikan satu kajian ilmiah tentang

pembelajaran sejarah kontroversial ditinjau dari perspektif critical pedagogy.

Kajian tentang pembelajaran sejarah kontroversial dalam perspektif critical

pedagogy di Indonesia masih sangat jarang, sehingga penelitian ini dapat

digunakan sebagai perbandingan dan acuan dalam penelitian selanjutnya

tentang penerapan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan masukan bagi guru tentang pendekatan dalam pembelajaran

sejarah kontroversial dengan penerapan critical pedagogy.

b. Bagi pihak sekolah dan pemerintah dapat digunakan sebagai salah satu

pertimbangan dalam menentukan kebijakan dalam pembelajaran sejarah,

(28)
(29)

BAB II

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

A.Kajian Teori

1. Critical Pedagogy

a. Konsep-Konsep Dasar Critical Pedagogy

Critical pedagogy merupakan pendekatan dalam pendidikan yang

menempatkan peserta didik untuk mampu menghadapi dominasi. Critical

pedagogy dalam diskursus pendidikan disebut juga “aliran kiri” karena

orientasi politiknya berlawanan dengan ideologi konservatif dan liberal

(Agus Nuryatno, 2008: 1). Jika dalam pandangan konservatif pendidikan

bertujuan untuk menjaga status quo, sementara bagi kaum liberal untuk

perubahan moderat dan cenderung bersifat mekanis, maka paradigma kritis

menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik

ekonomi masyarakat di mana pendidikan berada (Mansour Fakih, 2001:

xvi). Paulo Freire yang dikutip Monchinski (2008: 2) menjelaskan bahwa

“… make oppression and its causes objects of reflection by the opressed

with the hope that from that reflection will come liberation”. Pandangan

Paulo Freire melihat bahwa critical pedagogy pada dasarnya adalah

sebuah refleksi terhadap ketertidasan dan berbagai alasan yang

menyebabkannya, sehingga dengan refleksi itu diharapkan akan menuju

pada kebebasan.

(30)

Ira Shor

2009), seorang tokoh dalam pendidikan kritis, mendefinisikan critical

pedagogy sebagai

… habits of thought, reading, writing, and speaking … to understand the deep meaning, root causes, social context, ideology, and personal consequences of any action, event, object, process, organization, experience, text, subject matter, policy, mass media, or discourse.

Critical pedagogy merupakan kebiasaan berpikir, membaca,

menulis, dan mengungkapkan sesuatu untuk memahami makna yang

terdalam, memahami akar permasalahan berdasarkan konteks sosial,

ideologi, dan pemahaman personal atas segala macam kegiatan, peristiwa,

objek, proses, organisasi, pengalaman, teks, pokok bahasan, kebijakan,

media massa, maupun wacana.

Henry Giroux yang dikutip Monchinski (2008: 2) menyatakan

bahwa critical pedagogy sama dengan political pedagogy, artinya adalah

critical pedagogy menyatakan bahwa proses pendidikan pada dasarnya

bersifat politik, yang bertujuan untuk mewujudkan sebuah keterhubungan,

kesepahaman, dan keterpautan secara kritis dengan berbagai isu-isu sosial

dan bagaimana memaknainya. Dengan demikian, peserta didik tidak hanya

melakukan sebuah sikap yang kritis tetapi juga cukup tanggap untuk

“bertarung” dengan kondisi politik dan ekonomi sehingga mampu

mewujudkan sebuah demokratisasi.

Critical pedagogy merupakan pandangan yang bersifat

(31)

Marxisme, teori kritis Mazhab Frankfurt, feminisme, pascakolonialisme,

pascastrukturalisme, media studies, cultural studies, anti-racis studies, dan

pascamodernisme. Critical pedagogy dipengaruhi pula oleh pemikiran

Antonio Gramsci tentang pengetahuan dan hegemoni, serta Paulo Freire

tentang pendidikan kaum tertindas (Listyana, Lavandez, & Nelson, 2004:

9; Agus Nuryatno, 2008: 4). Sebagai pendekatan dalam pendidikan,

critical pedagogy telah mulai muncul pada tahun 1960-an dan berkembang

secara luas di Amerika Serikat sekitar 30 tahun yang lalu sebagai

pendekatan pembelajaran yang menyediakan inovasi pembelajaran untuk

pemberdayaan peserta didik. Pendekatan ini mulai dikenalkan oleh Paulo

Freire dan beberapa teoretisi pendidikan lain yang berpengaruh terhadap

pembelajaran dan aktivitas di akar rumput, dan banyak mengawali

transformasi pendidikan yang bertujuan untuk menghubungkan antara

teori dan praktik sebagai upaya pemberdayaan masyarakat (Ochoa &

Lassalle, 2008: 2).

Di dalam pemikirannya, critical pedagogy merupakan

pengembangan dari pemikiran-pemikiran Paulo Freire. H.A.R. Tilaar

(2002: 236) menjelaskan bahwa secara singkat filsafat pendidikan Paulo

Freire menekankan pada tiga hal, yaitu

(32)

Oleh karena itu, konsep-konsep yang dikembangkan dan tujuan

yang hendak dicapai dalam critical pedagogy pada dasarnya tidak jauh

berbeda dengan pemikiran Freire tersebut.

Peter Mc Laren (dalam Agus Nuryatno (2008: 1-2) menyatakan

walau pemikiran ini tidak merepresentasikan satu gagasan yang tunggal

dan homogen, terdapat satu tujuan yang sama dalam critical pedagogy.

Tujuan tersebut adalah memberdayakan kaum tertindas dan

mentransformasi ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakat melalui

media pendidikan. Transformasi tersebut dilakukan dengan melakukan

pemahaman terlebih dahulu terhadap konteks sosiopolitik dan melakukan

demokratisasi dalam konteks yang lebih luas (Fischman & Mc Laren,

2005: 425). Dengan demikian, tidak ada lagi ketimpangan, karena cita-cita

yang diinginkan adalah adanya kesetaraan dan keadilan.

Critical pedagogy memberikan titik kajian pada hubungan antara

pendidikan dan politik, relasi antara kehidupan sosial-politik dan praksis

pendidikan, antara reproduksi atas struktur hierarkis yang saling berkaitan,

antara kekuasaan dan keistimewaan dalam ranah yang terjadi dalam

kehidupan sosial keseharian dan dalam ruang kelas, serta institusi-institusi

pendidikan (Fischman & Mc Laren, 2005: 425). Pemikiran ini dilandasi

sebuah anggapan bahwa pendidikan tidaklah berada pada ruang hampa

yang menyebabkan pendidikan tidak dapat dipahami dalam bingkai

analisis ekonomi dan keadaan politik yang lebih luas (Listyana, Lavandez,

(33)

Atas dasar pandangannya yang bersifat menyeluruh, maka tidak

ada satu gagasan yang berifat tunggal dan homogen dalam critical

pedagogy. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pelaksanaan critical

pedagogy berbasis pada keadilan dan kesetaraan. Oleh karena itu,

pendidikan tidak hanya berkutat pada masalah sekolah, kurikulum, dan

kebijakan pendidikan, tetapi juga tentang keadilan sosial dan kesetaraan

(Agus Nuryatno, 2008: 3).

Ditinjau dari aspek kajiannya, critical pedagogy merupakan bagian

dari ideologi kritis dalam pendidikan. Pada ideologi kritis, urusan

pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap the dominant

ideology ke arah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah

menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur

ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem

sosial yang lebih adil. Mansour Fakih (2001: xvii) menjelaskan bahwa

tugas utama pendidikan adalah “memanusiakan” kembali manusia yang

mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil.

Pendekatan kritis berorientasi pada terwujudnya kesadaran kritis dari

peserta didik agar mampu mengidentifikasi ketidakadilan dalam sistem

dan struktur yang ada, kemampuan manganalisis bagaimana struktur dan

sistem itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya dalam

kehidupan bermasyarakat.

Hal penting yang dibangun dalam critical pedagogy adalah

(34)

kepentingan ideologis yang menyelimuti realitas (Agus Nuryatno, 2008:

2). Kesadaran kritis menurut Marthen Manggeng (2005: 43) ditandai

dengan “kedalaman menafsirkan masalah-masalah, percaya diri dalam

berdiskusi, mampu menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog.

Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan melihat hubungan sebab

akibat”. Seseorang dengan kesadaran kritis diharapkan mampu

menyingkap fenomena-fenomena tesembunyi yang melampaui

asumsi-asumsi yang hanya berdasarkan common sense (Agus Nuryatno, 2008:

2-3).

Paulo Freire (dalam Au, 2007: 3) menyatakan bahwa kesadaran itu

penting terhadap manusia karena manusia “are not only in the world, but

with the world and have the capacity to adapt… to reality plus the critical

capacity to make choices and transform that reality”. Artinya adalah

bahwa manusia tidak hanya di dunia, tetapi di dalam dunia dan memiliki

kapasitas untuk menyesuaikan diri terhadap realitas dan memiliki

kemampuan kritis untuk membuat pilihan dan mengubah realitas.

Untuk mencapai kesadaran dibutuhkan adanya proses yang disebut

penyadaran atau conscientization. Penyadaran diartikan sebagai belajar

memahami kontradiksi sosial, politik, dan ekonomi, serta mengambil

tindakan untuk melawan unsur-unsur yang menindas dari realitas tersebut

(Freire, 2008: 1). Senada dengan itu, Pepi Leistyana (2004: 17)

menjelaskan bahwa penyadaran adalah “ability to analize, problematize

(35)

realities that shape our lives”, yaitu kemampuan untuk menguraikan,

mempermasalahkan (menyikapi pertanyaan-pertanyaan), dan memberikan

suatu sentuhan perasaan terhadap keadaan sosiopolitik, ekonomi, dan

realitas kebudayaan yang melingkupi hidup kita. Proses penyadaran ini

menurut Paulo Freire (2008: 2-3) memungkinkan seseorang untuk

memasuki proses sejarah sebagai subjek-subjek yang bertanggung jawab,

dan mengantarkan mereka masuk ke dalam pencapaian afirmasi diri

sendiri sehingga menghindarkan fanatisme. Agus Nuryatno (2008: 9)

menjelaskan bahwa proses penyadaran menjadikan seseorang memiliki

critical awareness, sehingga mampu melihat secara kritis

kontradiksi-kontradiksi sosial yang ada di sekelilingnya dan mengubahnya.

Dalam critical pedagogy, satu kata kunci yang melingkupi

keseluruhan landasan, pelaksanaan, dan upaya pencapaian tujuannya

adalah adanya “kritik”. Kritik dalam konteks critical pedagogy berarti

“usaha-usaha untuk mengemansipasi diri dari penindasan dan alienasi

yang dihasilkan oleh hubungan-hubungan kekuasaan di dalam masyarakat,

sehingga mampu menyingkap kenyataan sejarah sekaligus hendak

membebaskan masyarakat (Agus Nuryatno, 2008: 28)”.

b. Critical Pedagogy dalam Konteks Indonesia

Critical pedagogy merupakan sebuah padangan yang lahir dan

berkembang di luar negeri, maka untuk penerapannya di Indonesia perlu

(36)

terhadap konteks Indonesia dibutuhkan karena pada dasarnya critical

pedagogy tidak dapat lepas dari konteks di mana ia diterapkan. Ini karena

critical pedagogy mencoba melakukan pemaknaan terhadap berbagai isu

sosial yang terjadi di masyarakat (Monchinski, 2008: 2).

Penyesuaian terhadap konteks lokalitas tertentu di mana critical

pedagogy tersebut diterapkan sesuai dengan padangan dari Giroux yang

dikutip Tilaar (2002: 249-253) bahwa ada beberapa prinsip yang mendasar

dalam critical pedagogy, yakni (1) Pendidikan bukan hanya terbatas

kepada menghasilkan ilmu pengetahuan, melainkan juga melahirkan

subjek politik, yakni masyarakat yang mempunyai dan mampu

memanfaatkan hak-hak politiknya; (2) Etika merupakan masalah sentral di

dalam masyarakat demokratis karena masyarakat tanpa etika tidak

mungkin melahirkan suatu masyarakat demoktastis secara substansial; (3)

Perlu lahir mekanisme pertukaran ide secara terbuka melalui proses yang

komunikatif dan dialogis; (4) Kebudayaan bukanlah suatu yang telah

ditetapkan melainkan suatu diskursus mengenai kekuasaan dan

ketidakadilan; (5) Mengedepankan isu mengenai ke-bhineka-an dalam

masyarakat yang menekankan pada pentingnya toleransi dengan win-win

solution; (6) Kebenaran yang berlaku di dalam suatu masyarakat

mempunyai akar di dalam sejarah dan merupakan konstruksi sosial; (7)

Mengembangkan sikap kritis yang ditindaklanjuti dengan mengungkapkan

adanya kemungkinan-kemungkinan yang tersedia; (8) Guru berperan

(37)

ada, melainkan juga membantu membuka cakrawala melalui

pemikiran-pemikiran kritis terhadap kehidupan ideologi dan sosial yang hidup di

masyarakat.

Dari prinsip-prinsip di atas, tampak bahwa konteks di mana critical

pedagogy diterapkan banyak memberikan pengaruh terhadap praksisnya

dalam pendidikan dan pembelajaran. Etika menjadi satu faktor yang

berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran. Berkait

dengan hal itu Antonio Gramsci yang dikutip Tilaar (2002: 254)

menyatakan bahwa “… etika merupakan jiwa dari pedagogik yang

membebaskan. Tanpa etika, pedagogik akan menjadi tumpul dan tidak

peka terhadap ketimpangan-ketimpangan yang ada di masyarakat.”

Dalam konteks Indonesia aspek yang diperhatikan dalam

penerapan critical pedagogy adalah bahwa dalam masyarakat berkembang

konsep pemikiran yang diidealkan, yakni nilai-nilai Pancasila. Tilaar

(2002: 199) menyebutkan ada beberapa nilai yang disandang oleh manusia

Indonesia berdasarkan Pancasila yakni (1) Manusia yang memiliki

landasan moral dan etika; (2) Mengapresiasi hak asasi manusia, toleransi

dan kerjasama global untuk kemakmuran dan perdamaian; (3) Saling

menghargai perbedaan, menjunjung persatuan, menghormati

simbol-simbol negara persatuan, serta bangga sebagai orang Indonesia; (4)

menjunjung nilai-nilai demokrasi, populis, serta penerapan teknologi

untuk kemakmuran rakyat, serta; (5) memiliki rasa solidaritas sosial

(38)

Oleh karena itu, penerapan critical pedagogy tidak boleh lepas dari

kerangka pemikiran bahwa manusia yang dididik adalah manusia

Indonesia yang telah berada pada satu konteks pemikiran sosiokultural

yang membingkai kehidupan dan keseharian masyarakat menuju manusia

Indonesia baru.

H.A.R. Tilaar (2002: 79) menyebutkan ada beberapa aspek yang

menjadi ciri dari manusia Indonesia baru. Konsep manusia Indonesia baru

ini merupakan sebuah gambaran ideal tentang konsep manusia yang

diharapkan dalam kondisi sosial yang senantiasa mengalami perubahan

melalui pendidikan dan pembelajaran. Dengan demikian, jika critical

pedagogy diterapkan di Indonesia maka diharapkan tidak terlepas dari

konteks manusia Indonesia baru tersebut, yakni

(1) Lahirnya masyarakat demoktaris dan terbuka serta toleran; (2) Manusia dan masyarakat yang cerdas; (3) Partisipasi masyarakat dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial; (4) Revitalisasi budaya lokal; (5) Lahirnya nasionalisme yang “genuine” dalam perkembangan kapital sosial; (6) Ekonomi berdasarkan ilmu pengetahuan dan sumber lokal; (7) Lahirnya masyarakat telematika; (8) Pelestarian dan pemanfaatan sumber daya alam daerah; (9) Sumber daya manusia berkualitas dan mampu bersaing dalam dunia regional dan global; (10) Anggota masyarakt global yang berbudaya. (Tilaar, 2002: 79)

Selain itu, penerapan critical pedagogy pada dasarnya tidak dapat

dilepaskan dari tujuan yang hendak dicapai dalam pendidikan nasional

seperti tercantum dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan

(39)

Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan

menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

c. Critical Pedagogy dan Praksis Pembelajaran Sejarah

Di dalam pendidikan sejarah, critical pedagogy memiliki fungsi

untuk mengubah ketidaksetaraan hubungan yang muncul akibat kekuasaan

di dalam kelas maupun dalam masyarakat. Dengan demikian, critical

pedagogy mencoba melakukan pendekatan yang lebih lentur untuk

mendekonstruksi struktur hierarkis yang melemahkan demokratisasi dalam

kelas, melakukan redefinisi atas pengetahuan, memahami bagaimana

pengetahuan itu dibuat, serta mengubah ketidakadilan (Ochoa & Lassale,

2008: 1).

Pada pendidikan sejarah, secara lebih operasional Kuntowijoyo

(1995: 2) menyatakan bahwa pendidikan sejarah yang diberikan secara

kritis pada dasarnya menyangkut tiga hal, yakni aspek (1) mengapa

sesuatu terjadi, (2) apa yang sebenarnya terjadi, serta (3) ke mana arah

kejadian-kejadian itu. Dari pemikiran tersebut, Tsabit Azinar Ahmad dkk.

(2008: 12) menyatakan bahwa kandungan yang harus terdapat dalam

critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah meliputi aspek (1)

kausalitas, (2) kronologis, (3) komprehensif, serta (4) kesinambungan.

Aspek kausalitas menggambarkan kondisi masyarakat dalam berbagai

aspek yang turut melatarbelakangi terjadinya suatu peristiwa. Aspek

(40)

yang dimaksud adalah bahwa dalam pembelajaran sejarah kontroversial,

berbagai pendapat yang menyatakan tentang peristiwa tersebut harus

disampaikan, sehingga pemikiran peserta didik terbuka terhadap suatu

peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial. Aspek keempat adalah aspek

kesinambungan atau keberlanjutan dan keterkaitan peristiwa tersebut

dengan peristiwa lainnya. Hal ini disebabkan peristiwa sejarah memiliki

keterkaitan dengan berbagai peristiwa yang terjadi sebelum dan

setelahnya.

Critical pedagogy di dalam praksisnya menekankan pembelajaran

sebagai proses bagaimana memahami, mengkritik, memproduksi, dan

menggunakan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk memahami realitas dan

mengubahnya. Metode yang dipakai adalah kodifikasi dan dekodifikasi.

Kodifikasi merupakan proses merepresentasikan fakta yang diambil dari

kehidupan peserta didik dan kemudian mempermasalahkannya

(problematizing) dan dekodifikasi adalah proses pembacaan atas

fakta-fakta melalui dua metode, yakni deskriptif dan analitis (Agus Nuryatno,

2008: 6). Metode deskriptif mencoba untuk memahami surface sctucture,

sedangkan analitis digunakan untuk memahami deep structure, sebagai

upaya memahami relasi antarkategori dalam membentuk realitas (Agus

Nuryatno, 2008: 6).

Proses yang ditekankan dalam critical pedagogy adalah self

reflection dan self actualization (Listyana, Lavandez, & Nelson, 2004: 10).

(41)

sementara tahap aktualisasi yang merupakan proses kontekstualisasi

menekankan pada pertanyaan “bagaimana keterkaitan dengan kehidupan

di sekitar saya?”, “bagaimana harus menyikapi permasalahan tersebut?”.

Oleh karena penekanannya pada aspek pengembangan peserta

didik, pembelajaran berada pada pertanyaan how to think bukan what to

think. Aspek what to think lebih menekankan pada aspek materi.

Sementara itu, how to think lebih menekankan pada proses atau

metodologi pada aktivitas pembelajaran daripada aspek materi. Dengan

demikian, proses berpikir, berdebat, berargumentasi, mengapresiasi

pendapat, menjadi lebih penting daripada materi pelajaran itu sendiri. Hal

ini disebabkan dalam proses tersebut akan terjadi kritisisme, sharing ideas,

saling menghargai dan assesment terhadap pengetahuan (Agus Nuryatno,

2008: 8).

Guru dalam critical pedagogy tidak dianggap sebagai pusat

segalanya. Ia bukan satu-satunya sumber pemilih otoritas kebenaran dan

pengetahuan dan penguasa tunggal atas kelas. Guru dan murid sama-sama

learner, subjek yang belajar bersama. Isi atau materi pelajaran dalam

critical pedagogy tidak semata-mata hak prerogatif guru, kepala sekolah,

atau para ahli tanpa melibatkan peserta didik. Pendekatan bottom up lebih

dipilih dalam mengkonstruksi isi pembelajaran. Hal ini bertujuan agar

pendidikan lebih bermakna dan agar peserta didik paham dengan realitas

(42)

Posisi guru dalam critical pedagogy harus mampu mengarahkan

peserta didik untuk memahami keterkaitan antara teori dan praktik atau

antara refleksi dan aksi. Konsep ini dalam critical pedagogy dikenal

dengan istilah “praxis” (Listyana, Lavandez, & Nelson, 2004: 7). Program

yang dirancang oleh guru harus mampu mengembangkan critical

languages untuk menjelaskan dunia yang melingkupi kehidupan

keseharian masyarakat, tentang mengapa dan bagaimana sesuatu hal

terjadi dalam kehidupan masyarakat. Di dalam pelaksanaannya, ada

pertanyaan yang harus dipahami oleh guru, seperti “apa kacamata

ideologis yang digunakan untuk melihat realitas sosial yang terjadi?”,

“bagaimana cara kita merasakan aspek sosial, politik, ekonomi, dan

institusional yang melingkupi kehidupan kita?”, bagaimana kita dapat

mengenali dan melihat hubungan dan penyalahgunaan power dan berapa

besar tingkat signifikansinya dalam dunia pendidikan dan dalam

kehidupan masyarakat?” (Listyana, Lavandez, & Nelson, 2004: 8).

Sejarah dalam perspektif critical pedagogy tidak bersifat

unidimensional (Carr, 2008: 86). Guru dan peserta didik harus memahami

bahwa sejarah adalah multidimensional, sehingga dibutuhkan padangan

yang multiperspektif bahwa sejarah adalah dilingkupi, didefinisikan,

ditampilkan, dan dihubungkan dengan konteks pada saat ini. Artinya

terdapat aspek kesinambungan dalam sejarah dan adanya sifat sejarah yang

(43)

guru harus memiliki perhatian terhadap konstruksi dan interpretasi yang

beragam dari sejarah (Carr, 2008: 86).

Penerapan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah dilakukan

dengan mengutamakan proses dialogis dan bersifat kontekstual. Konsep

pedagogis yang digunakan terutama mengacu pada konsep yang

dikembangakan oleh Paulo Freire. Paulo Freire (2008: 51) mengecam

adanya konsep pendidikan “gaya bank” yang menganggap peserta didik

sebagai tempat penyimpanan pengetahuan belaka. Pendidikan “gaya bank”

merupakan proses belajar mengajar ketika guru tidak memberikan

pengertian kepada peserta didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau

rumusan kepada peserta didik untuk disimpan yang kemudian akan

dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Peserta didik adalah

pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya

mereka itu sendiri yang “disimpan” sebab miskinnya daya cipta. Oleh

karena itu, pendidikan “gaya bank” menguntungkan kaum penindas dalam

melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia (Marthen

Manggeng, 2005: 42). Model pendidikan “gaya bank” kemudian

melahirkan kebudayaan bisu sebagai dampak dari berhentinya proses

berpikir kritis akibat pendidikan yang satu arah dan tidak dialogis. Hal ini

bertentangan pula dengan konsep masyarakat ideal model J. Habermas

yang menghendaki terwujudnya masyarakat yang rasional.

Proses pendidikan yang dilakukan dalam pembelajaran sejarah

(44)

“hadap masalah” seperti yang diterapkan oleh Paulo Freire (2008: 64).

Pendidikan yang membebaskan dengan konsep “hadap masalah” bukan

berisi pengalihan-pengalihan informasi (transfers of knowledge),

melainkan berisi laku-laku pemahaman (acts of cognition). Konsep

berpikir tersebut sesuai dengan konsep pembelajaran kontekstual.

Pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning

merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi

yang diajarkan dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong

peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya

dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga

dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih

bermakna bagi peserta didik. Oleh karena itu, pendidikan sejarah

senantiasa diajarkan dengan model kontekstual.

Pendidikan “hadap-masalah” sebagai pendidikan alternatif yang

ditawarkan oleh Freire lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia

sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan

hadap-masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan

realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas

dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada naradidik supaya ada

kesadaran akan realitas itu. Konsep pedagogis yang demikian didasarkan

pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi

dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya,

(45)

Utomo Dananjaya (2005: 57) menjelaskan bahwa pendidikan

“gaya bank” adalah metode pendidikan yang tidak dialektis atau searah.

Paulo Freire (2008: 63) menawarkan metode pendidikan dengan

mengembangkan kesadaran ke arah keterbukaan, yaitu proses pendidikan

terdiri atas guru yang murid, dan murid yang guru serta realitas dunia.

Pendidikan yang benar adalah pendidikan yang harus menjadi kekuatan

penyadaran dengan pembebasan, yaitu pendidikan “hadap masalah”.

Pendidikan “hadap masalah” adalah proses kodifikasi dan dokumentasi,

diskusi kultural, dan aksi kultural. Dengan pendekatan semacam itu, guru

dan murid dibawa kepada dedikasi yang sesungguhnya, yaitu kemampuan

untuk mengerti secara kritis mengenai dirinya sendiri dan dunianya

(Utomo Dananjaya, 2005: 58).

d. Implementasi Critical Pedagogy dalam Pembelajaran Sejarah

Implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah dapat

ditinjau dari beberapa aspek. Aspek tersebut dilihat dari unsur-unsur dalam

pembelajaran meliputi (1) tujuan, (2) subjek belajar, (3) materi pelajaran,

(4) strategi pembelajaran, (5) media pembelajaran, (6) evaluasi, dan (7)

penunjang (Ahmad Sugandi dkk., 2004: 28-30). Ditinjau dari aspek tujuan,

implementasi dilakukan dengan menyusun tujuan pembelajaran yang

sesuai dengan critical pedagogy, yakni dengan menerapkan aspek

kesetaraan dan keadilan. Tujuan-tujuan yang disusun dalam pembelajaran

(46)

kesetaraan. Artinya tujuan pembelajaran sejarah dengan pendekatan

critical pedagogy diarahkan pada terbentuknya kesadaran kritis peserta

didik dan demokratisasi. Oleh karena itu, prinsip keterbukaan, keterkaitan

dengan realitas yang terjadi di lingkungan sekitar, dan berbagai

permasalahan masyarakat menjadi hal yang diangkat dalam tujuan

pembelajaran sejarah.

Aspek selanjutnya dalam implementasi critical pedagogy dalam

pembelajaran sejarah dilihat dari aspek subjek belajar, yakni guru dan

peserta didik. Dalam perspektif critical pedagogy posisi antara guru dan

peserta didik sama-sama sebagai learner, artinya tidak ada dominasi peran

antara guru dan peserta didik. Dalam membangun komunikasi di antara

keduanya, harus terjadi proses yang dialogis, sehingga terjadi proses yang

saling mengisi. Guru tidak lagi berperan sebagai satu-satunya sumber

dalam pembelajaran.

Ditinjau dari aspek materi, terutama pada pembelajaran sejarah

kontroversal, S.K. Kochhar (2008: 454-455) memberikan beberapa

batasan pemilihan, yakni (1) topik yang diangkat berada dalam batas

kompetensi kelompok, artinya disesuaikan dengan kemampuan guru dan

peserta didik, (2) topik yang diminati dan penting bagi kelas, (3) isu yang

tidak terlalu “panas” pada saat ini, karena ada kekhawatiran munculnya

pretensi, dan justifikasi, (4) isu yang pembahasannya tidak memakan

(47)

Strategi yang diterapkan dalam pembelajaran sejarah dengan

pendekatan critical pedagogy pada dasarnya bersifat fleksibel. Namun

demikian, ada dua hal yang diperhatikan, yakni model pembelajaran harus

bersifat dialogis dan kontekstual (Freire, 2008: 51). Pada pelaksanaan

critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah, konstruktivisme dapat

dijadikan salah satu landasan dalam pelaksanaan pembelajaran. Agar

pembelajaran menjadi bermakna, pembelajaran harus berpusat pada

peserta didik (student centered) artinya adalah guru memberikan peluang

dari siswa untuk berapresiasi, bisa dalam bentuk kegiatan diskusi, debat,

tugas mandiri, dan sebagainya. Kemudian, penggunaan variasi model dan

media juga menjadi hal yang diperhatikan dalam pembelajaran agar

peserta didik mudah dalam melakukan visualisasi, interpretasi, dan

generalisasi (Tsabit Azinar Ahmad dkk., 2008: 25).

Implementasi critical pedagogy dalam aspek evaluasi pada

prinsipnya menekankan bahwa evaluasi tidak hanya diberikan pada akhir

pembelajaran, tetapi juga pada saat pembelajaran (evaluasi proses), berupa

menilai keaktifan siswa dalam mengikuti pembelajaran seperti keaktifan

dalam bertanya, menanggapi pertanyaan, menanggapi pernyataan,

mengerjakan tugas, serta keaktifan dalam diskusi (Tsabit Azinar Ahmad

dkk., 2008: 29). Penyusunan alat evaluasi tidak hanya sebatas soal ujian,

tetapi juga bisa berupa penugasan-penugasan yang bertujuan untuk

mengembangkan kreasi dari peserta didik melalui pendekatan inquiry,

(48)

30 September kemudian siswa ditugaskan untuk mengulas isi dan

memberikan pendapatnya tentang berita tersebut. Artinya peserta didik

diberikan peluang untuk melakukan suatu proses penemuan terhadap

berbagai data dan fakta tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Penugasan diberikan bisa dalam bentuk karya tulis sederhana tentang

berbagai pendapat tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965 (Tsabit

Azinar Ahmad, 2008: 29).

Aspek penunjang dalam pembelajaran meliputi fasilitas-fasilitas

pembelajaran. Implementasi critical pedagogy pada aspek penunjang

dapat dilakukan dengan adanya pemanfaatan fasilitas-fasilitas secara

maskimal oleh guru. Selain itu, guru juga harus mampu memanfaatkan

lingkungan sekitar sebagai salah satu sumber belajar.

2. Sejarah Kontroversial

Sejarah didefinisikan sebagai rekonstruksi masa lalu (Kuntowijoyo,

1995: 17). Sejarah yang dimaksud dalam penelitian ini mencakup pengertian

sejarah sebagai kisah, yakni catatan dari kejadian yang dilakukan oleh

manusia pada masa lampau. Sementara itu, yang dimaksud dengan

kontroversial adalah “perbedaan pendapat; pertentangan karena berbeda

pendapat atau penilaian” (Badudu dan Sutan Muhammad Zein, 2001: 715).

Dengan demikian, sejarah kontroversial dapat diartikan sebagai sejarah yang

dalam penulisannya terdapat beberapa pendapat yang berbeda, yang pada

(49)

sejarah kontroversial, antara pendapat satu dengan pedapat lain

masing-masing memiliki landasan yang menurut penulisnya adalah kuat. Sebuah isu

dapat menjadi kontroversial karena memberi dampak politik, sosial, maupun

personal serta membangkitkan perasaan karena berkaitan dengan hal yang

mempertanyakan kepercayaan dan nilai yang dianut (Global Citizenship

Guides, 2006: 2). Permasalahan tresebut dapat menjadi lebih rumit apabila

sulit untuk dijelaskan dan disebabkan adanya perbedaan yang kuat dalam cara

pandang terhadap perbedaan karena masalah pengalaman, minat, dan

nilai-nilai tertentu.

Wellington yang dikutip Cavet (2007: 2) menyatakan bahwa “a

controversial issue must: involve value judgements, so that the issues cannot

be settled by facts, evidence or experiment alone; be considered important by

an appreciable number of people” (masalah kontroversial harus: melibatkan

penilaian, sehingga masalah tidak dapat diselesaikan oleh fakta, bukti atau

percobaan sendiri; dianggap penting oleh jumlah orang yang cukup banyak).

Cavet (2007: 2) mengutip The report Teaching controversial issues: A

European perspective from the Children's Identity & Citizenship in Europe

programme menyatakan bahwa “a controversial issue is one in which: there

are competing values and interests; there is political sensitivity; emotions

become strongly aroused; the subject/area is complex; the subject/area is of

topical interest”. (masalah kontroversial adalah satu di mana: ada bersaing

(50)

terangsang; subjek/area adalah kompleks; subjek/kawasan adalah kepentingan

topikal )

Sifat kontroversial hampir selalu ada dalam sejarah. Hal ini karena

sejarah senantiasa berproses dan bukan sebagai suatu hal yang sudah selesai,

sehingga ada kecenderungan munculnya fakta-fakta dan

interpretasi-interpretasi baru terhadap suatu peristiwa sejarah (Kochhar, 2008: 453).

Dengan demikian, terdapat beberapa pendapat yang berbeda tentang suatu

peristiwa sejarah, yang pada akhirnya memunculkan beberapa versi. Sejarah

kontroversial senantiasa muncul akibat perbedaan pandangan tentang suatu

peristiwa di kalangan sejarawan atau masyarakat yang dilandasi perbedaan

perolehan sumber sampai dengan masalah interpretasi yang berbeda.

Ada beberapa sejarah kontroversial yang disampaikan dalam kelas.

Jika ditinjau dari pengaruhnya terhadap masyarakat pada masa sekarang, ada

dua jenis sejarah kontroversial. Kategori pertama sejarah kontroversial adalah

kontroversi terhadap sejarah yang terjadinya pada kurun waktu yang lama dari

sekarang atau disebut juga sejarah nonkontemporer. Kategori kedua adalah

sejarah kontroversial yang terjadinya pada masa kontemporer (Tsabit Azinar

Ahmad, 2008: 119).

Sejarah kontroversial kategori pertama menjadi bersifat kontroversial

karena adanya perbedaan pendapat, teori, atau pendekatan yang dilakukan

sejarawan dalam melakukan penulisan sejarah. Secara umum, adanya

perbedaan pandangan itu menurut tipologi Asvi Warman Adam (2007 b: 4)

(51)

interpretasi yang dilakukan, dan biasanya ketidaktepatan itu muncul setelah

ada beberpa sejarawan yang mengungkapkan ketidaktepatan itu menurut versi

sejarawan itu. Artinya sifat kontroversial ini sangat tergantung dari sejarawan.

Hal ini karena pada kategori ini tidak terdapat sumber primer berupa pelaku

atau saksi sejarah, sehingga sejarawan memainkan peranan penuh dalam

menuliskan suatu peristiwa sejarah.

Beberapa sejarah kontroversial untuk kategori pertama antara lain

perbedaan pendapat tentang masuknya pengaruh Hindu Budha di Nusantara,

perdebatan antara Poerbatjaraka dan F.D.K. Bosch tentang dinasti yang

terdapat di kerajaan Mataram lama, pendapat tentang masuknya Islam di

Nusantara, sampai pada mitos tentang penjajahan nusantara selama 350 tahun.

Kategori pertama ini tidak terlalu menyebabkan adanya perdebatan dalam

masyarakat.

Sejarah kontroversial kategori kedua adalah sejarah yang biasanya

dimasukkan ke dalam kategori sejarah kontemporer. Sejarah kontemporer

merupakan satu istilah untuk menyebutkan satu pembabakan dalam sejarah

yang rentang waktu terjadinya tidak terlalu lama dengan masa sekarang, atau

masa ketika sejarah itu menjadi satu kajian dalam ilmu sejarah (Nugroho

Notosusanto, 1978). Batasan kontemporer ini belum jelas, akan tetapi bila

ditinjau dari saat ini peristiwa sejarah kontemporer adalah mulai tahun

1940-an.

Sejarah kontemporer cenderung bersifat kontroversial karena kadar

(52)

masa-masa sebelumnya. Hal ini karena pelaku atau saksi sejarahnya masih ada

dan masih memiliki satu implikasi yang dirasakan oleh sebagian masyarakat

pada masa ini (Tsabit Azinar Ahmad, 2007: 3).

Hal lain yang menyebabkan kontroversial adalah bahwa peristiwa

sejarah kotemporer masih belum selesai sepenuhnya, tetapi senantiasa

berproses. Lebih lanjut lagi dinyatakan bahwa masih banyak terjadi perbedaan

pandangan para pelaku sejarah berkaitan dengan satu peristiwa sejarah, dan

ada pula perbedaan pandangan antara temuan berupa fakta-fakta baru dengan

pemahaman masyarakat yang berkembang selama ini. Merujuk tipologi Asvi

Warman Adam (2007 b: 4), sejarah kontroversial yang termasuk ke dalam

sejarah kontemporer disebabkan oleh tiga faktor sekaligus, yakni adanya

ketidaktepatan, ketidaklengkapan, dan ketidakjelasan dari fakta dan

interpretasi yang dilakukan dalam penyusunan suatu tulisan sejarah.

Ditinjau dari aspek pengaruhnya terhadap masyarakat, sejarah

kontroversial kategori kedua memberikan dampak yang lebih dirasakan oleh

masyarakat. Hal ini karena peristiwa yang terjadi pada kurun sejarah

kontemporer secara teoretis menjadi kajian yang lebih membuka peluang bagi

masyarakat luas untuk mengulas dan memperoleh sumber-sumber berkaitan

dengan masa tersebut secara lebih mudah. Ketersediaan sumber primer berupa

pelaku atau saksi sejarah juga masih ada. Selain itu memori kolektif

masyarakat tentang satu peristwa tersebut juga masih sangat kuat.

Permasalahan lainnya adalah adanya kemungkinan terbentuknya satu

(53)

sejarah, walaupun belum tentu pemahaman yang selama ini diyakini adalah

benar adanya (Tsabit Azinar Ahmad, 2007: 5). Adanya hal ini telah

menyebabkan adanya satu hal yang memacu terjadinya pertentangan terhadap

satu peristiwa sejarah ketika pada satu saat ditemukan fakta baru yang bertolak

belakang dari pemahaman masyarakat selama ini diyakini.

Selain permasalahan yang berkaitan dengan permasalahan

metodologis, satu hal yang menyebabkan sejarah kontemporer itu cenderung

bersifat kontroversial adalah adanya unsur kepentingan lain yang bermain di

dalam sejarah. Kepentingan itu bisa datang dari pihak-pihak yang terlibat

dalam satu peristiwa sejarah atau dari pihak-pihak yang ingin memanfaatkan

satu peristiwa sejarah untuk tujuan-tujuan tertentu (Tsabit Azinar Ahmad,

2007: 6). Kepentingan yang datang dari pihak pelaku sejarah ataupun

keturunannya karena pelaku sejarah merasa dirugikan dengan adanya

penulisan sejarah dari pihak tertentu.

Beberapa peristiwa sejarah yang dapat diklasifikasikan masih bersifat

kontroversial antara lain Gerakan 30 September, peristiwa seputar Surat

Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Serangan Umum 1 Maret 1949, lahirnya

Pancasila, lahirnya Orde Baru, dan Integrasi Timor-Timur. Berkaitan dengan

sejarah yang bersifat kontroversial, Bambang Purwanto (2001a: 112)

menjelaskan bahwa

(54)

Dari tulisan Purwanto (2005), yang menarik adalah tentang kontroversi

keempat, yakni social-political role of Indonesia armed forces (peran

sosial-politik kepemimpinan Angkatan Darat di Indonesia). Kontroversi tersebut

terletak pada tindakan militer pada saat revolusi dan penumpasan pergerakan

lokal, konflik ideologi internal pada tahun 1950-an, keterlibatan pemimpin

tentara dalam kegiatan ekonomi dan politik pada masa demokrasi terpimpin,

serta kepemimpinan militer yang dominan pada pemerintahan Orde Baru

(Purwanto, 2001:116).

Beberapa peristiwa sejarah kontemporer yang termasuk dalam sejarah

kontroversial yang dapat dijadikan materi pembelajaran di kelas sejarah antara

lain kontroversi tentang penetapan tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan

Nasional, peristiwa Madiun 1948, peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di

Yogyakarta, peristiwa 17 Oktober 1952, Gerakan 30 September, perdebatan

seputar Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), peristiwa Malari 1974,

permasalahan Timor-Timur, sampai dengan peristiwa seputar reformasi dan

jatuhnya Soeharto pada 1998. Akan tetapi, yang paling banyak diperdebatkan

di masyarakat adalah Gerakan 30 September, Supersemar, dan Serangan

(55)
[image:55.595.128.521.152.673.2]

Tabel 1 Beberapa Aspek Perbedaan dalam Sejarah Kontroversial Nonkontemporer dan Kontemporer

Aspek Perbedaan

Kategorisasi Sejarah Kontroversial Sejarah Kontroversial

Nonkontemporer

Sejarah Kontroversial Kontemporer

Aspek temporal Rentang waktu terjadinya

lama dari masa sekarang / pada saat dilakukan kajian

Terjadi pada kurun waktu yang tidak terlalu lama dari sekarang

Ketersediaan sumber primer

Sumber primer hanya berupa peninggalan atau bukti berupa benda

Masih terdapat pelaku dan saksi sejarah

Alasan kontroversial

o adanya perbedaan

pendapat, teori, atau pendekatan yang dilakukan sejarawan dalam melakukan penulisan sejarah

o subjektivitas yang lebih besar

o ada perbedaan padangan

dari pelaku sejarah

o adanya unsur kepentingan lain di dalam sejarah

Penyebab o ketidaktepatan dan

ketidaklengkapan fakta dan interpretasi yang dilakukan

o adanya ketidaktepatan, ketidaklengkapan, dan ketidakjelasan dari fakta dan interpretasi yang dilakukan

Sifat Sejarawan memegang

peranan penting

Terbuka bagi masyarakat untuk mencari

Gambar

Tabel 1 Beberapa Aspek Perbedaan dalam Sejarah Kontroversial
Gambar 1. Kerangka pikir penelitian tentang implementasi  critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial
Tabel 2. Waktu Penelitian
Gambar 2. Komponen-Komponen Analisis Data Model Interaktif (Miles dan Huberman, 1992:20)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini akan membahas secara mendetail tentang tata letak sea chest yang efektif agar sistem di kapal yang membutuhkan air laut mendapatkan

Kantor Kecamatan Pangkalan Lada Kabupaten Kotawaringin Barat belum melaksanakan telaahan Kebijkan Nasional yang tertuang di Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Puji Syukur atas berkat dan rahmat yang dikaruniakan Tuhan Yang Maha Esa Aktivitas Antiangiogenesis Kombinasi 5-Fluorouracil dan Celecoxib Terhadap Heterofil dan

Dengan semua informasi yang telah dikumpulkan, manajemen akan dapat membuat suatu keputusan yang akurat dan mengambil tindakan untuk meningkatkan produktifitas dan

Selain itu, pada tahun 2021 pemerintah menyiapkan anggaran sebesar Rp12 triliun untuk Bantuan Sosial Tunai (BST) bagi 10 juta keluarga penerima manfaat. Namun program BST ini

Program Aplikasi data arsitek ini jika dijalankan akan memberikan Informasi yang membahas simbol untuk gambar bangunan dan satuan SI, dalam pengoperasiannya program ini

Sehubungan dengan telah dilakukannya evaluasi administrasi, teknis dan kewajaran harga serta formulir isian Dokumen Kualifikasi untuk penawaran paket pekerjaan tersebut diatas,

Berdasarkan data pengukuran lapangan dan simulasi telah dapat ditunjukkan bahwa penggunaan beban non- linier yang berupa VSD pada unit AHU di industri farmasi