ii TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Sejarah
Oleh
Tsabit Azinar Ahmad S860209113
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
iii Disusun oleh
Tsabit Azinar Ahmad S860209113
Telah disetujui oleh tim pembimbing
Dewan Pembimbing
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Pembimbing I Dr. Warto, M.Hum ___________ _______ NIP 196109251986031001
Pembimbing II Dra. Sutiyah, M.Pd., M.Hum. ___________ _______ NIP 195907081986012001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
iv Disusun oleh
Tsabit Azinar Ahmad S860209113
Telah disetujui oleh tim penguji
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Ketua Dr. Suyatno Kartodirdjo ___________ _______ Sekretaris Prof. Dr. Siswandari, M.Stat. ___________ _______ Anggota Penguji 1. Dr. Warto, M.Hum. ___________ _______ 2. Dra. Sutiyah, M.Pd., M.Hum. ___________ _______
Mengetahui
Ketua Prodi. Dr. Warto, M.Hum. ___________ _______ Pendidikan Sejarah NIP 196109251986031001
v NIM : S860209113
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul “Implementasi Critical Pedagogy dalam Pembelajaran Sejarah Kontroversial di SMA Negeri Kota
Semarang” adalah benar-benar karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, 29 Juli 2010 Yang membuat pernyataan
vi Belajar, Bergerak, Berkarya
vii
Untuk kedua orang tuaku, adik-adikku (Diaz
Cagar Biru Langit & Kembang Gunung Rinjani), serta saudara-saudaraku atas segala limpahan cintanya
Untuk Robiatul Adawiyyah, atas inspirasi yang
tak habis-habisnya
Untuk guru-guruku yang telah memberi teladan
ilmu dan teladan laku
Untuk sahabat-sahabatku yang bersama-sama
viii
rahmat-Nya tesis dengan judul “Implementasi Critical Pedagogy dalam Pembelajaran Sejarah Kontroversial di SMA Negeri Kota Semarang” telah diselesaikan. Disadari bahwa dalam penyusunan tesis ini, keberhasilan bukan semata-mata diraih oleh penulis, melainkan diraih berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini, penulis bermaksud menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam penyusunan penelitian ini. Dengan penuh kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada
1. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D. selaku Direktur PPs UNS yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk melaksanakan penelitian.
2. Dr. Warto, M.Hum., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah PPs UNS Surakarta sekaligus pembimbing I tesis yang dengan kesabaran senantiasa memberikan pengarahan, motivasi, dan masukan-masukan yang berharga dalam penelitian.
2. Dra. Sutiyah, M.Pd., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Pendidikan Sejarah PPs Surakarta, sekaligus pembimbing II tesis, atas masukan-masukan yang sangat berharga, koreksi-koreksi yang kritis, dan bimbingan dengan penuh kesabaran.
ix
6. Guru-Guru sejarah di SMA N 1 Semarang, SMA N 5 Semarang, dan SMA N 12 Semarang atas partisipasinya dalam penelitian ini.
7. Teman-teman pada Program Studi Pendidikan Sejarah PPs UNS, terutama angkatan 2009 dan 2010 (Atno and the gang) atas kekompakan dan nasihat-nasihatnya pada penulis.
8. Teman-teman di komunitas Taman Baca Ngudi Kawruh (Syaiful Amin, Ahmad Fauzan Mubarok), PMII Komisariat Al Ghozali Semarang, Patemon Syndicate (Taofiq, Saif, Vicki, Fatkhan), Kos Al Ikhlas Kentingan (Bambang,
Anjar, Agung, Ncep, Topan), teman-teman dan saudara di Solo (mba Cicun, Ivan, Ari) atas segala keceriaan dan kebersamaannya. Terima kasih juga pada sahabat Edi Subkhan atas referensi-referensi mutakhir tentang critical pedagogy, untuk Astria Ratna Wardhani atas koreksi Bahasa Inggrisnya.
9. Kedua orang tua (Abdul Aziz Baihaqi dan Diyah Lindiarti), adik-adik, Pak Dhe/Bu Dhe, Pak Lik/Bu Lik, dan semua saudara atas segenap limpahan cintanya. Spesial untuk Robiatul Adawiyyah (Dhay), terima kasih atas inspirasi-inspirasinya. Tesis ini spesial untuk kado ultahmu.
Pada penyusunannya, tesis ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran sangat dibutuhkan sebagai upaya perbaikan.
Surakarta, 29 Juli 2010
x
PENGESAHAN PEMBIMBING ……… PENGESAHAN PENGUJI TESIS ………. PERNYATAAN ……….. MOTO ………. PERSEMBAHAN ………... KATA PENGANTAR ………. DAFTAR ISI ……….. DAFTAR TABEL ………... DAFTAR GAMBAR ……….. DAFTAR LAMPIRAN ………... ABSTRAK ………... ABSTRACT ………
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………. B. Rumusan Masalah ……… C. Tujuan Penelitian ………. D. Manfaat Penelitian ………...
BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Teori ……….
1. Critical Pedagogy ………. 2. Sejarah Kontroversial ……… 3. Pembelajaran Sejarah Kontroversial ……… B. Penelitian yang Relevan ……….. C. Kerangka Pikir ……….
xi
D. Teknik Pengumpulan Data ………. E. Teknik Cuplikan ……….. F. Validitas Data ……….. G. Teknik Analisis ………
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ……… 1. Deskripsi Latar ………..
2. Sajian Data ……….
B. Pokok-Pokok Temuan
1. Pemahaman Guru terhadap Critical Pedagogy sebagai Pendekatan Pembelajaran Sejarah Kontroversial ………. 2. Implementasi Critical Pedagogy dalam Pembelajaran Sejarah
Kontroversial ………. 3. Kendala Guru dalam Implementasi Critical Pedagogy dalam
Pmbelajaran Sejarah Kontroversial ……….. 4. Apresiasi Peserta Didik terhadap Implementasi Critical
pedagogy dalam Pembelajaran Sejarah Kontroversial ………
C. Pembahasan ……….
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan ………..
B. Implikasi ………..
C. Saran ………
xiii
1. Beberapa Aspek Perbedaan dalam Sejarah Kontroversial Nonkontemporer dan Kontemporer ……….. 2. Jadwal Pelaksanaan Penelitian ……… 3. Beberapa media dan sumber belajar tentang peristiwa Gerakan 30
September tahun 1965 ………. 4. Analisis Kendala-Kendala dalam Perencanaan Pembelajaran
Sejarah yang Bersifat Kontroversial ……… 5. Analisis Kendala-Kendala dalam Pelaksanaan Pembelajaran Sejarah yang Bersifat Kontroversial ………
38 69
237
241
xiv
1. Kerangka Pikir Penelitian ……… 2. Komponen-Komponen Analisis Data Model Interaktif………….. 3. Kemunculan Sejarah kontroversial dan macam pertentangan yang
terjadi di dalamnya ……….. 4. Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Pemahaman
Guru dalam Implementasi Critical Pedagogy pada Pembelajaran Sejarah Kontroversial ……….. 5. Fungsi Media Pembelajaran dalam Pembelajaran Sejarah
Kontroversial ……….. 6. Identifikasi Penyebab Permasalahan Pembelajaran Sejarah
Kontroversial ………... 7. Keterkaitan antara Pembelajaran, Historiografi, dan Masyarakat
dalam Pendidikan Sejarah dalam Perspektif Critical Pedagogy …. 8. Upaya Pemecahan Permasalahan Pembelajaran Sejarah
Kontroversial dalam Perspektif Critical Pedagogy ……….……... 9. Pola Hubungan Sinergis Enam Komponen Penopang Pendidikan
Sejarah ………...……….. 66 80
220
225
236
247
251
264
xv
1. Pedoman Wawancara, Observasi, dan Analisis Dokumen 2. Daftar Informan
3. Contoh Silabus, RPP, dan Materi Ajar 4. Dokumentasi Penelitian
5. Surat Izin Penelitian
xvi Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang (1) Pemahaman guru-guru sejarah terhadap critical pedagogy sebagai pendekatan dalam pembelajaran sejarah kontroversial; (2) Implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial; (3) Kendala yang ditemui guru dalam implementasi critical pedagogy pada pembelajaran sejarah kontroversial; (4) Pandangan dan apresiasi peserta didik terhadap implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan studi kasus terpancang (embedded research). Penelitian dilakukan di beberapa SMA Negeri se-Kota Semarang, yaitu di SMA N 1 Semarang, SMA N 5 Semarang, dan SMA N 12 Semarang. Sumber data terdiri atas informan (guru-guru sejarah dan peserta didik), dokumen (silabus, RPP), serta tempat dan peristiwa (kelas dan kegiatan pembelajaran). Teknik pengumpulan data menggunakan teknik wawancara mendalam, observasi, dan content analysis. Validitas data menggunakan trianggulasi data dan trianggulasi metode. Analisis data menggunakan analisis interaktif dengan tiga tahapan analisis, yakni reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan yang berinteraksi dengan pengumpulan data secara siklus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Dalam praksis pendidikan di Indonesia, critical pedagogy hanya dipahami oleh kalangan terbatas dan belum diperkenalkan formal dan teknis karena rendahnya kemauan dan kemampuan guru serta adanya masalah historiografi, ideologi penguasa, dan kebijakan yang belum mendukung pelaksanaan critical pedagogy; (2) Pelaksanaan critical pedagogy masih berjalan setengah hati karena konsep yang dipegang oleh guru masih berada dalam tahap refleksi dan lemah dalam tahap aktualisasi, sehingga pembelajaran menjadi out of context; (3) Implementasi critical pedagogy masih mengalami kendala dalam pembelajaran sejarah kontroversial dalam hal perencanaan, pelaksanaan, dan faktor penunjang pembelajaran; (4) Pembelajaran sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy memiliki potensi untuk dapat menarik minat peserta didik dan melibatkan mereka aktif dalam menanggapi berbagai permasalahan.
xvii Graduate Program of Sebelas Maret University.
This research is aimed to describe (1) History teachers’ understanding about critical pedagogy as an approach to study controversial history; (2) the implementation of critical pedagogy in controversial history learning; (3) obstacles found when implementing critical pedagogy in controversial history learning; (4) students’ opinions and perceptions toward critical pedagogy implementation in controversial history learning.
This research used qualitative method with embedded research. This research was conducted in several public high schools in Semarang city namely: SMAN 1 Semarang, SMAN 5 Semarang, and SMAN 12 Semarang. The data source consists of informant (history teachers and the students), document (syllabus, RPP), place and event (classroom and learning activity). The data were collected through depth interview, observation, and content analysis. The data validity was achieved through data and method triangulation. This research uses interactive analysis to analyze the data. This analysis method consist of three steps; data reducing; data presenting; and conclusion drawing interacted with data collecting in a cyclic framework.
The research results show that: (1) in Indonesian educational praxis, critical pedagogy is only being understood by limited number of people and not being formally and technically introduced yet for some reason; less willingness and capability of the teachers; historiography; political reason (government); and unsupportive policy in implementing critical pedagogy: (2) the implementation of critical pedagogy can be considered stuck in halfway since the concepts held by the teachers are still in the stage of reflection and weak in the actualization stage so that the learning activity becomes out of context: (3) there are still some obstacles in implementing critical pedagogy in controversial history learning, especially in its plan, implementation, and supportive learning factor: (4) in the perspective of critical pedagogy, learning controversial history can potentially attract students’ interest in the class activity and involve them actively in responding varied issues.
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Pendidikan sejarah tidak pernah lepas dari unsur kepentingan politik. Di
dalam praksisnya, minimal ada dua jenis kepentingan dalam pendidikan sejarah.
Pertama, pendidikan sejarah dipandang sebagai alat untuk menumbuhkan
nasionalisme dan kesadaran kolektif tentang identitas kebangsaan. Kedua,
pendidikan sejarah dilihat sebagai alat legitimasi kekuasaan. Makna politis
pertama dikategorikan sebagai kepentingan yang bersifat afirmatif. Sementara itu,
makna kedua bersifat kompulsif dan manipulatif. Sifat kompulsif dan manipulatif
itu disebabkan adanya pemanfaatan sejarah untuk kepentingan salah satu pihak
dengan menonjolkan keunggulan-keunggulan penguasa dan mereduksi sejarah
yang tidak sesuai dengan “sejarah resmi”. Realisasi dalam pembelajaran sejarah di
sekolah kecenderungan kedua ini lebih menonjol daripada kecenderungan yang
pertama.
Pemanfaatan pendidikan sejarah sebagai alat kepentingan kekuasaan
pernah terjadi pada pemerintahan Orde Baru. Dwight Y King (dalam Arif
Rohman, 2009: 177) menjelaskan bahwa kekuasaan politik Orde Baru memiliki
karakter bureaucratic authoritarian yang ditandai dengan adanya dominasi peran
negara di segala bidang dan adanya penekanan terhadap kekuatan politik lain.
Dominasi itu terlihat dari pemberlakuan kurikulum nasional untuk seluruh
sekolah. Arif Rohman (2009: 13) menjelaskan bahwa “pemberlakukan kurikulum
nasional memiliki hidden goals berupa terwujudnya penyeragaman yang
memungkinkan negara mengatur materi dan isi kurikulum, serta adanya
marginalisasi dan kooptasi otonomi guru”.
Pada pemerintahan Orde Baru, pendidikan digunakan sebagai alat
kepentingan kekuasaan negara. Darmaningtyas dalam Media Indonesia (2005: 22)
menjelaskan bahwa pada masa pemerintahan Orde Baru, pendidikan merupakan
ajang indoktrinasi ideologi militeristik dan pemenangan partai tertentu dalam
pemilihan umum, sehingga menyebabkan terhambatnya kualitas pendidikan
nasional. Selanjutnya, Winarno Surakhmad dalam Suara Pembaruan (2008: 13)
menyatakan bahwa intervensi politis dalam bidang pendidikan menyebabkan
dunia pendidikan tergantung oleh proses politik penguasa dan hal ini merupakan
kesalahan terbesar pemerintah dalam hal pengembangan pendidikan.
Permasalahan-permasalahan di atas terjadi dalam pendidikan nasional secara
umum, termasuk dalam pendidikan sejarah. Materi-materi sejarah telah diatur
sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan tujuan penguasa. Pengaturan itu tampak
dengan adanya tulisan sejarah yang bersifat manipulatif. Oleh karena itu,
pendidikan nasional terutama pendidikan sejarah telah mengalami proses
eksploitasi menjadi instrumen untuk menanamkan watak loyal dan kepatuhan bagi
warga negara terhadap kekuasaan negara (Arif Rohman, 2009: 11).
Pada masa Orde Baru, pemerintah sedemikian rupa melakukan upaya
pembentukan pengetahuan sejarah (historical knowledge) yang seragam dan
menyebabkan tidak adanya apresiasi terhadap tulisan dan pemikiran sejarah yang
bersifat alternatif, serta memunculkan kecenderungan rekayasa sejarah untuk
kepentingan pihak-pihak tertentu. Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto,
dan Ratna Saptari (2008: 3) menyatakan “para sejarawan kritis telah menunjukkan
bahwa sejarah versi Orde Baru telah membungkam suara dari pihak-pihak yang
dianggap mengganggu dan mengancam pemerintahan militer yang berkuasa”.
Senada dengan hal di atas, Bambang Purwanto (2001a: 111) menjelaskan bahwa
“Indonesian history is considered primarily as a product of social and
political engineering of the New Order rather than an appropriate scholarly
apparatus”. Sejarah Indonesia ditetapkan sebagai hasil dari mesin sosial dan
politik dari Orde Baru daripada (hasil dari) pihak akademisi.
Dominasi penguasa terhadap pendidikan sejarah pada pemerintahan Orde
Baru memunculkan dampak yang negatif. Slamet Soetrisno (2006: 55)
menyebutnya sebagai “teror sejarah” yang ditandai dengan pergeseran sejarah ke
arah mitos dan penggunaan sejarah untuk kepentingan-kepentingan individual.
Pada masa pemerintahan Orde Baru kisah kepemimpinan Soeharto digeser ke arah
mitos sebagai godfather, penyelamat bangsa, pengaman Pancasila, sampai
kemudian mendapatkan gelar “Bapak Pembangunan” (Slamet Soetrisno, 2007:
55-56). Kecenderungan tersebut tampak pada penempatan sosok Soeharto sebagai
tokoh sentral sejarah Indonesia, terutama semenjak Serangan Umum 1 Maret
sampai memuncak pada peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965 dan
keluarnya Surat Perintah 11 Maret tahun 1966. Selain itu, tema sentral yang sering
Baru. Peristiwa-peristiwa inilah yang senantiasa ditampilkan secara berlebihan
dan tidak seimbang dalam pendidikan sejarah.
Kecenderungan mitologisasi dalam pendidikan sejarah memunculkan
dikotomi yang oleh Paulo Freire (2008: 12-24) disebut dengan kaum penindas dan
kaum tertindas. Penguasa Orde Baru bertindak sebagai kaum penindas. Sementara
itu, guru, murid, dan masyarakat termasuk dalam kelompok tertindas. Penindas
melakukan proses “penjinakan” melalui proses “pemolaan” dengan pemaksaan
pilihan dan mengembangkan kesadaran palsu (Freire, 2008: 16). Kenyataan ini
berkembang dalam proses pendidikan sejarah pada pemerintahan Orde Baru.
Pemanfaatan sejarah sebagai alat semakin terlihat dengan ditetapkannya
Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) pada kurikulum 1984 dan 1986.
Pelaksanaan PSPB didasarkan pada Ketetapan MPR No. II/MPR/1982 tentang
Garis-Garis Besar Haluan Negara. Di dalam PSPB terdapat tujuan instruksional
yang sangat bermakna politis untuk menonjolkan peran Orde Baru sebagai upaya
untuk mendapatkan legitimasi. Tujuan instruksional tersebut berbunyi “peserta
didik meyakini bahwa Orde Baru mengutamakan kepentingan negara dan
masyarakat” (Asvi Warman Adam, 2005: 96).
Kecenderungan pendidikan sejarah digunakan sebagai alat penguasa mulai
terkikis setelah reformasi. Kecenderungan tersebut tampak dari munculnya
tahapan baru dalam penulisan sejarah. Penulisan sejarah merupakan bagian yang
tidak dapat dilepaskan dari pendidikan sejarah karena menunjang pelaksanaan
pembelajaran sejarah. Kuntowijoyo seperti dikutip Asvi Warman Adam (2007a:
“gelombang ketiga historiografi Indonesia”. Gelombang ketiga dalam
historiografi Indonesia ditandai dengan adanya upaya pelurusan terhadap hal-hal
yang kontroversial dalam sejarah yang ditulis semasa Orde Baru.
Berkembangnya nuansa kebebasan dalam masyarakat dan munculnya
tahapan baru historiografi Indonesia telah memberikan pandangan baru bagi
masyarakat tentang pemikiran-pemikiran alternatif. Pada saat ini telah banyak
beredar buku-buku tentang peristiwa-peristiwa yang semasa Orde Baru dianggap
terlarang, seperti penulisan beberapa versi baru tentang Gerakan 30 September.
Selain itu, ada pula penerbitan-penerbitan sejarah akademis kritis berupa
karya-karya ilmiah yang berasal dari penelitian-penelitian baik disertasi, tesis, skripsi,
atau penelitian lainnya. Kemudian setelah reformasi muncul pula penerbitan
biografi tokoh-tokoh terbuang, seperti A.M. Hanafi, Sulami, Aidit dan
keluarganya, serta Tan Malaka. Beberapa hal tersebut menurut Asvi Warman
Adam (2007a: 9-14) menjadi ciri dalam tahapan ketiga historiografi Indonesia
yang di satu sisi memunculkan konsekuensi bahwa kontroversi sejarah tidak lagi
dianggap tabu dalam perbincangan umum. Namun demikian, di sisi lain dinamika
penulisan sejarah tidak sejalan dengan pelaksanaan pembelajaran sejarah di
sekolah.
Keterbukaan dalam pendidikan sejarah setelah reformasi yang ditandai
dengan dinamika penulisan sejarah, ternyata belum memberikan perubahan dalam
pembelajaran sejarah di sekolah. Praksis pembelajaran sejarah ternyata tidak
sejalan dengan perkembangan yang pesat dalam historiografi setelah reformasi.
dalam pembelajaran senada dengan pendapat bahwa pendidikan merupakan salah
satu kegiatan yang paling konservatif di dalam era refomasi dewasa ini (Tilaar,
2002: 101). Stagnasi dalam pembelajaran sejarah terlihat pada upaya penguasa
yang masih tetap melakukan campur tangan secara berlebihan dalam pendidikan
sejarah. Walaupun terjadi perubahan dalam kurikulum, mulai dari adanya
suplemen tahun 1999, Kurikulum 2004, sampai Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan, masih ada seperangkat kebijakan pemerintah yang masih belum
membuka peluang maksimal untuk pengembangan proses berpikir kritis peserta
didik.
Kecenderungan sikap pemerintah yang represif terutama tampak pada
pembelajaran sejarah kontroversial di sekolah. Pelaksanaan pembelajaran sejarah
kontroversial masih belum maksimal. Materi-materi yang diajarkan masih sebatas
pada materi-materi yang tidak memberikan pengaruh dan bersinggungan langsung
dengan masyarakat, seperti materi-materi dari sejarah yang peristiwanya jauh dari
masa sekarang. Sementara itu, materi-materi sejarah kontemporer yang bersifat
sensitif dan politis seperti Gerakan 30 September, Supersemar, dan Serangan
Umum 1 Maret 1949 belum sesuai dengan perkembangan historiografi setelah
reformasi. Hal ini tampak dari adanya intervensi yang berlebih dari pemerintah
dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 019/A/JA/03/2007
pada tanggal 5 Maret 2007 yang melarang buku-buku pelajaran sejarah yang tidak
membahas pemberontakan (PKI) tahun 1948 dan 1965 (Asvi Warman Adam,
2007a: xiv). Munculnya kenyataan seperti ini merupakan salah satu hal yang
alat indoktrinasi untuk menghasilkan pengikut yang penurut (Bambang Purwanto,
2006: 270).
Keadaan tersebut bertentangan dengan tahapan pengajaran sejarah yang
diungkapkan oleh Kuntowijoyo. Kuntowijoyo (1995: 3-4) menyatakan bahwa
pendekatan pengajaran sejarah pada jenjang pendidikan SMA, mestinya diajarkan
secara kritis. Melalui pendekatan itu diharapkan peserta didik “mampu berpikir
mengapa sesuatu terjadi, apa yang sebenarnya terjadi, serta ke mana arah
kejadian-kejadian itu”, sebab pada jenjang tersebut daya nalar peserta didik sudah
bisa diajak untuk berpikir secara kritis (Kuntowijoyo, 1995: 4).
Kenyataan itu membutuhkan satu pendekatan khusus dalam pelaksanaan
pendidikan sejarah, agar pembelajaran sejarah dapat sesuai dengan perkembangan
pemikiran anak yang telah mampu berpikir secara kritis. Di negara-negara maju
pada saat ini telah berkembang satu ideologi pendidikan yang berupaya
memberikan suatu kesadaran kritis bagi peserta didik, yakni dengan menerapkan
critical pedagogy sebagai pendekatan dalam pelaksanaan pendidikan dan
pembelajaran.
Critical pedagogy merupakan sebuah pendekatan pendidikan yang
memandang bahwa terdapat muatan-muatan politis dalam pendidikan. Critical
pedagogy bertujuan memberdayakan kaum tertindas dan mentransformasi
ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakat melalui media pendidikan (Agus
Nuryatno, 2008: 1-2). Pendidikan kritis memandang bahwa terdapat relasi antara
pengetahuan, kekuasaan, dan ideologi. Di dalam pendidikan kritis, dikenal adanya
menyingkap fenomena-fenomena tersembunyi atau melampaui asumsi-asumsi
yang hanya berdasarkan common sense (akal sehat). Oleh karena itu, pendidikan
kritis atau critical pedagogy sangat relevan sebagai pendekatan dalam pendidikan
sejarah. Terlebih lagi dalam pendidikan kritis landasan yang digunakan adalah
keadilan dan kesetaraan. Penerapan critical pedagogy dalam pendidikan sejarah
diharapkan mampu menjadikan pendidikan sebagai medium bagi kritik sosial
sekaligus mampu menawarkan kemungkinan-kemungkinan dikembangkannya
democratic public spheres melalui proses self empowerment (pemberdayaan diri)
dan self reflection (refleksi diri) sebagai titik tolak mewujudkan transformasi
sosial (Agus Nuryatno, 2008: 5).
Relevansi critical pedagogy dalam pendidikan sejarah, khususnya
pembelajaran sejarah disebabkan pula oleh adanya kesamaan-kesamaan
pandangan di antara keduanya. Persamaan pertama, keduanya memandang bahwa
ada keterkaitan antara pendidikan dengan politik, bahwa ada dalam pendidikan
terdapat kepentingan-kepentingan politik, begitu pula sebaliknya bahwa dalam
aktivitas politik terdapat muatan-muatan edukatif. Persamaan kedua adalah
keduanya tidak dapat melepaskan diri dari konteks yang melingkupinya.
Pendidikan sejarah maupun critical pedagogy memandang bahwa kondisi sekitar,
baik kondisi politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya sangat berpengaruh terhadap
pendidikan. Pendidikan senantiasa mengaitkan antara realitas dengan
konsep-konsep. Persamaan ketiga ditinjau dari tujuan yang dicapai, yakni terbangunnya
kesadaran kritis dari peserta didik atau masyarakat dalam melihat realitas yang
keduanya memiliki landasan yang sama, yakni keadilan dan kesetaraan. Keadilan
dan kesetaraan menjadi kata kunci yang penting dalam proses pemberdayaan
masyarakat dan refleksi diri guna mencapai transformasi sosial.
Dari pemikiran di atas, penelitian ini mencoba untuk menganalisis
pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial ditinjau dari perspektif critical
pedagogy, serta bagaimana pandangan dan apresiasi peserta didik terhadap
implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Secara
lebih spesifik, penelitian ini dilakukan di Kota Semarang karena berdasarkan data
awal yang diperoleh dari penelitian Abu Su’ud (2008a) terhadap guru-guru
sejarah di 16 Sekolah Menengah Atas Negeri ternyata kepedulian para pengajar
sejarah terhadap isu kontroversial yang berkembang cukup tinggi. Hal ini menjadi
modal awal dalam penerapan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah
kontroversial, sehingga sangat menarik untuk meneliti tentang pelaksanaan
critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial yang dilakukan oleh
guru-guru sejarah di Kota Semarang. Selain itu, Semarang termasuk kota yang
dinamis karena banyak terdapat informasi-informasi terbaru yang dapat diakses
dengan mudah.
Penelitian ini akan menganalisis pemahaman guru-guru terhadap
pelaksanaan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial,
bagaimana penerapannya, serta apa kendala-kendala yang ditemui. Selain itu,
diamati pula bagaimana pandangan dan apresiasi peserta didik dengan
implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial.
pelaksanaan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial,
sehingga dapat menghasilkan masukan-masukan baru dalam pendidikan sejarah
yang bertujuan untuk menumbuhkan pola pikir dan kesadaran kritis peserta didik.
B.Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, rumusan masalah yang diangkat dalam
penelitian ini adalah
1. Bagaimana pemahaman guru-guru sejarah terhadap critical pedagogy sebagai
pendekatan dalam pembelajaran sejarah kontroversial?
2. Bagaimana implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah
kontroversial?
3. Apa kendala yang ditemui guru dalam implementasi critical pedagogy pada
pembelajaran sejarah kontroversial?
4. Bagaimana pandangan dan apresiasi peserta didik terhadap implementasi
critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial?
C.Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas, tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut,
1. Mengetahui pemahaman guru-guru sejarah terhadap critical pedagogy sebagai
2. Mendeskripsikan implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah
kontroversial.
3. Mendeskripsikan kendala yang ditemui guru dalam implementasi critical
pedagogy pada pembelajaran sejarah kontroversial.
4. Mengetahui pandangan dan apresiasi peserta didik terhadap implementasi
critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial.
D.Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini memberikan satu kajian ilmiah tentang
pembelajaran sejarah kontroversial ditinjau dari perspektif critical pedagogy.
Kajian tentang pembelajaran sejarah kontroversial dalam perspektif critical
pedagogy di Indonesia masih sangat jarang, sehingga penelitian ini dapat
digunakan sebagai perbandingan dan acuan dalam penelitian selanjutnya
tentang penerapan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan masukan bagi guru tentang pendekatan dalam pembelajaran
sejarah kontroversial dengan penerapan critical pedagogy.
b. Bagi pihak sekolah dan pemerintah dapat digunakan sebagai salah satu
pertimbangan dalam menentukan kebijakan dalam pembelajaran sejarah,
BAB II
KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR
A.Kajian Teori
1. Critical Pedagogy
a. Konsep-Konsep Dasar Critical Pedagogy
Critical pedagogy merupakan pendekatan dalam pendidikan yang
menempatkan peserta didik untuk mampu menghadapi dominasi. Critical
pedagogy dalam diskursus pendidikan disebut juga “aliran kiri” karena
orientasi politiknya berlawanan dengan ideologi konservatif dan liberal
(Agus Nuryatno, 2008: 1). Jika dalam pandangan konservatif pendidikan
bertujuan untuk menjaga status quo, sementara bagi kaum liberal untuk
perubahan moderat dan cenderung bersifat mekanis, maka paradigma kritis
menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik
ekonomi masyarakat di mana pendidikan berada (Mansour Fakih, 2001:
xvi). Paulo Freire yang dikutip Monchinski (2008: 2) menjelaskan bahwa
“… make oppression and its causes objects of reflection by the opressed
with the hope that from that reflection will come liberation”. Pandangan
Paulo Freire melihat bahwa critical pedagogy pada dasarnya adalah
sebuah refleksi terhadap ketertidasan dan berbagai alasan yang
menyebabkannya, sehingga dengan refleksi itu diharapkan akan menuju
pada kebebasan.
Ira Shor
2009), seorang tokoh dalam pendidikan kritis, mendefinisikan critical
pedagogy sebagai
… habits of thought, reading, writing, and speaking … to understand the deep meaning, root causes, social context, ideology, and personal consequences of any action, event, object, process, organization, experience, text, subject matter, policy, mass media, or discourse.
Critical pedagogy merupakan kebiasaan berpikir, membaca,
menulis, dan mengungkapkan sesuatu untuk memahami makna yang
terdalam, memahami akar permasalahan berdasarkan konteks sosial,
ideologi, dan pemahaman personal atas segala macam kegiatan, peristiwa,
objek, proses, organisasi, pengalaman, teks, pokok bahasan, kebijakan,
media massa, maupun wacana.
Henry Giroux yang dikutip Monchinski (2008: 2) menyatakan
bahwa critical pedagogy sama dengan political pedagogy, artinya adalah
critical pedagogy menyatakan bahwa proses pendidikan pada dasarnya
bersifat politik, yang bertujuan untuk mewujudkan sebuah keterhubungan,
kesepahaman, dan keterpautan secara kritis dengan berbagai isu-isu sosial
dan bagaimana memaknainya. Dengan demikian, peserta didik tidak hanya
melakukan sebuah sikap yang kritis tetapi juga cukup tanggap untuk
“bertarung” dengan kondisi politik dan ekonomi sehingga mampu
mewujudkan sebuah demokratisasi.
Critical pedagogy merupakan pandangan yang bersifat
Marxisme, teori kritis Mazhab Frankfurt, feminisme, pascakolonialisme,
pascastrukturalisme, media studies, cultural studies, anti-racis studies, dan
pascamodernisme. Critical pedagogy dipengaruhi pula oleh pemikiran
Antonio Gramsci tentang pengetahuan dan hegemoni, serta Paulo Freire
tentang pendidikan kaum tertindas (Listyana, Lavandez, & Nelson, 2004:
9; Agus Nuryatno, 2008: 4). Sebagai pendekatan dalam pendidikan,
critical pedagogy telah mulai muncul pada tahun 1960-an dan berkembang
secara luas di Amerika Serikat sekitar 30 tahun yang lalu sebagai
pendekatan pembelajaran yang menyediakan inovasi pembelajaran untuk
pemberdayaan peserta didik. Pendekatan ini mulai dikenalkan oleh Paulo
Freire dan beberapa teoretisi pendidikan lain yang berpengaruh terhadap
pembelajaran dan aktivitas di akar rumput, dan banyak mengawali
transformasi pendidikan yang bertujuan untuk menghubungkan antara
teori dan praktik sebagai upaya pemberdayaan masyarakat (Ochoa &
Lassalle, 2008: 2).
Di dalam pemikirannya, critical pedagogy merupakan
pengembangan dari pemikiran-pemikiran Paulo Freire. H.A.R. Tilaar
(2002: 236) menjelaskan bahwa secara singkat filsafat pendidikan Paulo
Freire menekankan pada tiga hal, yaitu
Oleh karena itu, konsep-konsep yang dikembangkan dan tujuan
yang hendak dicapai dalam critical pedagogy pada dasarnya tidak jauh
berbeda dengan pemikiran Freire tersebut.
Peter Mc Laren (dalam Agus Nuryatno (2008: 1-2) menyatakan
walau pemikiran ini tidak merepresentasikan satu gagasan yang tunggal
dan homogen, terdapat satu tujuan yang sama dalam critical pedagogy.
Tujuan tersebut adalah memberdayakan kaum tertindas dan
mentransformasi ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakat melalui
media pendidikan. Transformasi tersebut dilakukan dengan melakukan
pemahaman terlebih dahulu terhadap konteks sosiopolitik dan melakukan
demokratisasi dalam konteks yang lebih luas (Fischman & Mc Laren,
2005: 425). Dengan demikian, tidak ada lagi ketimpangan, karena cita-cita
yang diinginkan adalah adanya kesetaraan dan keadilan.
Critical pedagogy memberikan titik kajian pada hubungan antara
pendidikan dan politik, relasi antara kehidupan sosial-politik dan praksis
pendidikan, antara reproduksi atas struktur hierarkis yang saling berkaitan,
antara kekuasaan dan keistimewaan dalam ranah yang terjadi dalam
kehidupan sosial keseharian dan dalam ruang kelas, serta institusi-institusi
pendidikan (Fischman & Mc Laren, 2005: 425). Pemikiran ini dilandasi
sebuah anggapan bahwa pendidikan tidaklah berada pada ruang hampa
yang menyebabkan pendidikan tidak dapat dipahami dalam bingkai
analisis ekonomi dan keadaan politik yang lebih luas (Listyana, Lavandez,
Atas dasar pandangannya yang bersifat menyeluruh, maka tidak
ada satu gagasan yang berifat tunggal dan homogen dalam critical
pedagogy. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pelaksanaan critical
pedagogy berbasis pada keadilan dan kesetaraan. Oleh karena itu,
pendidikan tidak hanya berkutat pada masalah sekolah, kurikulum, dan
kebijakan pendidikan, tetapi juga tentang keadilan sosial dan kesetaraan
(Agus Nuryatno, 2008: 3).
Ditinjau dari aspek kajiannya, critical pedagogy merupakan bagian
dari ideologi kritis dalam pendidikan. Pada ideologi kritis, urusan
pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap the dominant
ideology ke arah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah
menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur
ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem
sosial yang lebih adil. Mansour Fakih (2001: xvii) menjelaskan bahwa
tugas utama pendidikan adalah “memanusiakan” kembali manusia yang
mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil.
Pendekatan kritis berorientasi pada terwujudnya kesadaran kritis dari
peserta didik agar mampu mengidentifikasi ketidakadilan dalam sistem
dan struktur yang ada, kemampuan manganalisis bagaimana struktur dan
sistem itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya dalam
kehidupan bermasyarakat.
Hal penting yang dibangun dalam critical pedagogy adalah
kepentingan ideologis yang menyelimuti realitas (Agus Nuryatno, 2008:
2). Kesadaran kritis menurut Marthen Manggeng (2005: 43) ditandai
dengan “kedalaman menafsirkan masalah-masalah, percaya diri dalam
berdiskusi, mampu menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog.
Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan melihat hubungan sebab
akibat”. Seseorang dengan kesadaran kritis diharapkan mampu
menyingkap fenomena-fenomena tesembunyi yang melampaui
asumsi-asumsi yang hanya berdasarkan common sense (Agus Nuryatno, 2008:
2-3).
Paulo Freire (dalam Au, 2007: 3) menyatakan bahwa kesadaran itu
penting terhadap manusia karena manusia “are not only in the world, but
with the world and have the capacity to adapt… to reality plus the critical
capacity to make choices and transform that reality”. Artinya adalah
bahwa manusia tidak hanya di dunia, tetapi di dalam dunia dan memiliki
kapasitas untuk menyesuaikan diri terhadap realitas dan memiliki
kemampuan kritis untuk membuat pilihan dan mengubah realitas.
Untuk mencapai kesadaran dibutuhkan adanya proses yang disebut
penyadaran atau conscientization. Penyadaran diartikan sebagai belajar
memahami kontradiksi sosial, politik, dan ekonomi, serta mengambil
tindakan untuk melawan unsur-unsur yang menindas dari realitas tersebut
(Freire, 2008: 1). Senada dengan itu, Pepi Leistyana (2004: 17)
menjelaskan bahwa penyadaran adalah “ability to analize, problematize
realities that shape our lives”, yaitu kemampuan untuk menguraikan,
mempermasalahkan (menyikapi pertanyaan-pertanyaan), dan memberikan
suatu sentuhan perasaan terhadap keadaan sosiopolitik, ekonomi, dan
realitas kebudayaan yang melingkupi hidup kita. Proses penyadaran ini
menurut Paulo Freire (2008: 2-3) memungkinkan seseorang untuk
memasuki proses sejarah sebagai subjek-subjek yang bertanggung jawab,
dan mengantarkan mereka masuk ke dalam pencapaian afirmasi diri
sendiri sehingga menghindarkan fanatisme. Agus Nuryatno (2008: 9)
menjelaskan bahwa proses penyadaran menjadikan seseorang memiliki
critical awareness, sehingga mampu melihat secara kritis
kontradiksi-kontradiksi sosial yang ada di sekelilingnya dan mengubahnya.
Dalam critical pedagogy, satu kata kunci yang melingkupi
keseluruhan landasan, pelaksanaan, dan upaya pencapaian tujuannya
adalah adanya “kritik”. Kritik dalam konteks critical pedagogy berarti
“usaha-usaha untuk mengemansipasi diri dari penindasan dan alienasi
yang dihasilkan oleh hubungan-hubungan kekuasaan di dalam masyarakat,
sehingga mampu menyingkap kenyataan sejarah sekaligus hendak
membebaskan masyarakat (Agus Nuryatno, 2008: 28)”.
b. Critical Pedagogy dalam Konteks Indonesia
Critical pedagogy merupakan sebuah padangan yang lahir dan
berkembang di luar negeri, maka untuk penerapannya di Indonesia perlu
terhadap konteks Indonesia dibutuhkan karena pada dasarnya critical
pedagogy tidak dapat lepas dari konteks di mana ia diterapkan. Ini karena
critical pedagogy mencoba melakukan pemaknaan terhadap berbagai isu
sosial yang terjadi di masyarakat (Monchinski, 2008: 2).
Penyesuaian terhadap konteks lokalitas tertentu di mana critical
pedagogy tersebut diterapkan sesuai dengan padangan dari Giroux yang
dikutip Tilaar (2002: 249-253) bahwa ada beberapa prinsip yang mendasar
dalam critical pedagogy, yakni (1) Pendidikan bukan hanya terbatas
kepada menghasilkan ilmu pengetahuan, melainkan juga melahirkan
subjek politik, yakni masyarakat yang mempunyai dan mampu
memanfaatkan hak-hak politiknya; (2) Etika merupakan masalah sentral di
dalam masyarakat demokratis karena masyarakat tanpa etika tidak
mungkin melahirkan suatu masyarakat demoktastis secara substansial; (3)
Perlu lahir mekanisme pertukaran ide secara terbuka melalui proses yang
komunikatif dan dialogis; (4) Kebudayaan bukanlah suatu yang telah
ditetapkan melainkan suatu diskursus mengenai kekuasaan dan
ketidakadilan; (5) Mengedepankan isu mengenai ke-bhineka-an dalam
masyarakat yang menekankan pada pentingnya toleransi dengan win-win
solution; (6) Kebenaran yang berlaku di dalam suatu masyarakat
mempunyai akar di dalam sejarah dan merupakan konstruksi sosial; (7)
Mengembangkan sikap kritis yang ditindaklanjuti dengan mengungkapkan
adanya kemungkinan-kemungkinan yang tersedia; (8) Guru berperan
ada, melainkan juga membantu membuka cakrawala melalui
pemikiran-pemikiran kritis terhadap kehidupan ideologi dan sosial yang hidup di
masyarakat.
Dari prinsip-prinsip di atas, tampak bahwa konteks di mana critical
pedagogy diterapkan banyak memberikan pengaruh terhadap praksisnya
dalam pendidikan dan pembelajaran. Etika menjadi satu faktor yang
berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran. Berkait
dengan hal itu Antonio Gramsci yang dikutip Tilaar (2002: 254)
menyatakan bahwa “… etika merupakan jiwa dari pedagogik yang
membebaskan. Tanpa etika, pedagogik akan menjadi tumpul dan tidak
peka terhadap ketimpangan-ketimpangan yang ada di masyarakat.”
Dalam konteks Indonesia aspek yang diperhatikan dalam
penerapan critical pedagogy adalah bahwa dalam masyarakat berkembang
konsep pemikiran yang diidealkan, yakni nilai-nilai Pancasila. Tilaar
(2002: 199) menyebutkan ada beberapa nilai yang disandang oleh manusia
Indonesia berdasarkan Pancasila yakni (1) Manusia yang memiliki
landasan moral dan etika; (2) Mengapresiasi hak asasi manusia, toleransi
dan kerjasama global untuk kemakmuran dan perdamaian; (3) Saling
menghargai perbedaan, menjunjung persatuan, menghormati
simbol-simbol negara persatuan, serta bangga sebagai orang Indonesia; (4)
menjunjung nilai-nilai demokrasi, populis, serta penerapan teknologi
untuk kemakmuran rakyat, serta; (5) memiliki rasa solidaritas sosial
Oleh karena itu, penerapan critical pedagogy tidak boleh lepas dari
kerangka pemikiran bahwa manusia yang dididik adalah manusia
Indonesia yang telah berada pada satu konteks pemikiran sosiokultural
yang membingkai kehidupan dan keseharian masyarakat menuju manusia
Indonesia baru.
H.A.R. Tilaar (2002: 79) menyebutkan ada beberapa aspek yang
menjadi ciri dari manusia Indonesia baru. Konsep manusia Indonesia baru
ini merupakan sebuah gambaran ideal tentang konsep manusia yang
diharapkan dalam kondisi sosial yang senantiasa mengalami perubahan
melalui pendidikan dan pembelajaran. Dengan demikian, jika critical
pedagogy diterapkan di Indonesia maka diharapkan tidak terlepas dari
konteks manusia Indonesia baru tersebut, yakni
(1) Lahirnya masyarakat demoktaris dan terbuka serta toleran; (2) Manusia dan masyarakat yang cerdas; (3) Partisipasi masyarakat dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial; (4) Revitalisasi budaya lokal; (5) Lahirnya nasionalisme yang “genuine” dalam perkembangan kapital sosial; (6) Ekonomi berdasarkan ilmu pengetahuan dan sumber lokal; (7) Lahirnya masyarakat telematika; (8) Pelestarian dan pemanfaatan sumber daya alam daerah; (9) Sumber daya manusia berkualitas dan mampu bersaing dalam dunia regional dan global; (10) Anggota masyarakt global yang berbudaya. (Tilaar, 2002: 79)
Selain itu, penerapan critical pedagogy pada dasarnya tidak dapat
dilepaskan dari tujuan yang hendak dicapai dalam pendidikan nasional
seperti tercantum dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
c. Critical Pedagogy dan Praksis Pembelajaran Sejarah
Di dalam pendidikan sejarah, critical pedagogy memiliki fungsi
untuk mengubah ketidaksetaraan hubungan yang muncul akibat kekuasaan
di dalam kelas maupun dalam masyarakat. Dengan demikian, critical
pedagogy mencoba melakukan pendekatan yang lebih lentur untuk
mendekonstruksi struktur hierarkis yang melemahkan demokratisasi dalam
kelas, melakukan redefinisi atas pengetahuan, memahami bagaimana
pengetahuan itu dibuat, serta mengubah ketidakadilan (Ochoa & Lassale,
2008: 1).
Pada pendidikan sejarah, secara lebih operasional Kuntowijoyo
(1995: 2) menyatakan bahwa pendidikan sejarah yang diberikan secara
kritis pada dasarnya menyangkut tiga hal, yakni aspek (1) mengapa
sesuatu terjadi, (2) apa yang sebenarnya terjadi, serta (3) ke mana arah
kejadian-kejadian itu. Dari pemikiran tersebut, Tsabit Azinar Ahmad dkk.
(2008: 12) menyatakan bahwa kandungan yang harus terdapat dalam
critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah meliputi aspek (1)
kausalitas, (2) kronologis, (3) komprehensif, serta (4) kesinambungan.
Aspek kausalitas menggambarkan kondisi masyarakat dalam berbagai
aspek yang turut melatarbelakangi terjadinya suatu peristiwa. Aspek
yang dimaksud adalah bahwa dalam pembelajaran sejarah kontroversial,
berbagai pendapat yang menyatakan tentang peristiwa tersebut harus
disampaikan, sehingga pemikiran peserta didik terbuka terhadap suatu
peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial. Aspek keempat adalah aspek
kesinambungan atau keberlanjutan dan keterkaitan peristiwa tersebut
dengan peristiwa lainnya. Hal ini disebabkan peristiwa sejarah memiliki
keterkaitan dengan berbagai peristiwa yang terjadi sebelum dan
setelahnya.
Critical pedagogy di dalam praksisnya menekankan pembelajaran
sebagai proses bagaimana memahami, mengkritik, memproduksi, dan
menggunakan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk memahami realitas dan
mengubahnya. Metode yang dipakai adalah kodifikasi dan dekodifikasi.
Kodifikasi merupakan proses merepresentasikan fakta yang diambil dari
kehidupan peserta didik dan kemudian mempermasalahkannya
(problematizing) dan dekodifikasi adalah proses pembacaan atas
fakta-fakta melalui dua metode, yakni deskriptif dan analitis (Agus Nuryatno,
2008: 6). Metode deskriptif mencoba untuk memahami surface sctucture,
sedangkan analitis digunakan untuk memahami deep structure, sebagai
upaya memahami relasi antarkategori dalam membentuk realitas (Agus
Nuryatno, 2008: 6).
Proses yang ditekankan dalam critical pedagogy adalah self
reflection dan self actualization (Listyana, Lavandez, & Nelson, 2004: 10).
sementara tahap aktualisasi yang merupakan proses kontekstualisasi
menekankan pada pertanyaan “bagaimana keterkaitan dengan kehidupan
di sekitar saya?”, “bagaimana harus menyikapi permasalahan tersebut?”.
Oleh karena penekanannya pada aspek pengembangan peserta
didik, pembelajaran berada pada pertanyaan how to think bukan what to
think. Aspek what to think lebih menekankan pada aspek materi.
Sementara itu, how to think lebih menekankan pada proses atau
metodologi pada aktivitas pembelajaran daripada aspek materi. Dengan
demikian, proses berpikir, berdebat, berargumentasi, mengapresiasi
pendapat, menjadi lebih penting daripada materi pelajaran itu sendiri. Hal
ini disebabkan dalam proses tersebut akan terjadi kritisisme, sharing ideas,
saling menghargai dan assesment terhadap pengetahuan (Agus Nuryatno,
2008: 8).
Guru dalam critical pedagogy tidak dianggap sebagai pusat
segalanya. Ia bukan satu-satunya sumber pemilih otoritas kebenaran dan
pengetahuan dan penguasa tunggal atas kelas. Guru dan murid sama-sama
learner, subjek yang belajar bersama. Isi atau materi pelajaran dalam
critical pedagogy tidak semata-mata hak prerogatif guru, kepala sekolah,
atau para ahli tanpa melibatkan peserta didik. Pendekatan bottom up lebih
dipilih dalam mengkonstruksi isi pembelajaran. Hal ini bertujuan agar
pendidikan lebih bermakna dan agar peserta didik paham dengan realitas
Posisi guru dalam critical pedagogy harus mampu mengarahkan
peserta didik untuk memahami keterkaitan antara teori dan praktik atau
antara refleksi dan aksi. Konsep ini dalam critical pedagogy dikenal
dengan istilah “praxis” (Listyana, Lavandez, & Nelson, 2004: 7). Program
yang dirancang oleh guru harus mampu mengembangkan critical
languages untuk menjelaskan dunia yang melingkupi kehidupan
keseharian masyarakat, tentang mengapa dan bagaimana sesuatu hal
terjadi dalam kehidupan masyarakat. Di dalam pelaksanaannya, ada
pertanyaan yang harus dipahami oleh guru, seperti “apa kacamata
ideologis yang digunakan untuk melihat realitas sosial yang terjadi?”,
“bagaimana cara kita merasakan aspek sosial, politik, ekonomi, dan
institusional yang melingkupi kehidupan kita?”, bagaimana kita dapat
mengenali dan melihat hubungan dan penyalahgunaan power dan berapa
besar tingkat signifikansinya dalam dunia pendidikan dan dalam
kehidupan masyarakat?” (Listyana, Lavandez, & Nelson, 2004: 8).
Sejarah dalam perspektif critical pedagogy tidak bersifat
unidimensional (Carr, 2008: 86). Guru dan peserta didik harus memahami
bahwa sejarah adalah multidimensional, sehingga dibutuhkan padangan
yang multiperspektif bahwa sejarah adalah dilingkupi, didefinisikan,
ditampilkan, dan dihubungkan dengan konteks pada saat ini. Artinya
terdapat aspek kesinambungan dalam sejarah dan adanya sifat sejarah yang
guru harus memiliki perhatian terhadap konstruksi dan interpretasi yang
beragam dari sejarah (Carr, 2008: 86).
Penerapan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah dilakukan
dengan mengutamakan proses dialogis dan bersifat kontekstual. Konsep
pedagogis yang digunakan terutama mengacu pada konsep yang
dikembangakan oleh Paulo Freire. Paulo Freire (2008: 51) mengecam
adanya konsep pendidikan “gaya bank” yang menganggap peserta didik
sebagai tempat penyimpanan pengetahuan belaka. Pendidikan “gaya bank”
merupakan proses belajar mengajar ketika guru tidak memberikan
pengertian kepada peserta didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau
rumusan kepada peserta didik untuk disimpan yang kemudian akan
dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Peserta didik adalah
pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya
mereka itu sendiri yang “disimpan” sebab miskinnya daya cipta. Oleh
karena itu, pendidikan “gaya bank” menguntungkan kaum penindas dalam
melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia (Marthen
Manggeng, 2005: 42). Model pendidikan “gaya bank” kemudian
melahirkan kebudayaan bisu sebagai dampak dari berhentinya proses
berpikir kritis akibat pendidikan yang satu arah dan tidak dialogis. Hal ini
bertentangan pula dengan konsep masyarakat ideal model J. Habermas
yang menghendaki terwujudnya masyarakat yang rasional.
Proses pendidikan yang dilakukan dalam pembelajaran sejarah
“hadap masalah” seperti yang diterapkan oleh Paulo Freire (2008: 64).
Pendidikan yang membebaskan dengan konsep “hadap masalah” bukan
berisi pengalihan-pengalihan informasi (transfers of knowledge),
melainkan berisi laku-laku pemahaman (acts of cognition). Konsep
berpikir tersebut sesuai dengan konsep pembelajaran kontekstual.
Pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning
merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi
yang diajarkan dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong
peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga
dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih
bermakna bagi peserta didik. Oleh karena itu, pendidikan sejarah
senantiasa diajarkan dengan model kontekstual.
Pendidikan “hadap-masalah” sebagai pendidikan alternatif yang
ditawarkan oleh Freire lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia
sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan
hadap-masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan
realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas
dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada naradidik supaya ada
kesadaran akan realitas itu. Konsep pedagogis yang demikian didasarkan
pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi
dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya,
Utomo Dananjaya (2005: 57) menjelaskan bahwa pendidikan
“gaya bank” adalah metode pendidikan yang tidak dialektis atau searah.
Paulo Freire (2008: 63) menawarkan metode pendidikan dengan
mengembangkan kesadaran ke arah keterbukaan, yaitu proses pendidikan
terdiri atas guru yang murid, dan murid yang guru serta realitas dunia.
Pendidikan yang benar adalah pendidikan yang harus menjadi kekuatan
penyadaran dengan pembebasan, yaitu pendidikan “hadap masalah”.
Pendidikan “hadap masalah” adalah proses kodifikasi dan dokumentasi,
diskusi kultural, dan aksi kultural. Dengan pendekatan semacam itu, guru
dan murid dibawa kepada dedikasi yang sesungguhnya, yaitu kemampuan
untuk mengerti secara kritis mengenai dirinya sendiri dan dunianya
(Utomo Dananjaya, 2005: 58).
d. Implementasi Critical Pedagogy dalam Pembelajaran Sejarah
Implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah dapat
ditinjau dari beberapa aspek. Aspek tersebut dilihat dari unsur-unsur dalam
pembelajaran meliputi (1) tujuan, (2) subjek belajar, (3) materi pelajaran,
(4) strategi pembelajaran, (5) media pembelajaran, (6) evaluasi, dan (7)
penunjang (Ahmad Sugandi dkk., 2004: 28-30). Ditinjau dari aspek tujuan,
implementasi dilakukan dengan menyusun tujuan pembelajaran yang
sesuai dengan critical pedagogy, yakni dengan menerapkan aspek
kesetaraan dan keadilan. Tujuan-tujuan yang disusun dalam pembelajaran
kesetaraan. Artinya tujuan pembelajaran sejarah dengan pendekatan
critical pedagogy diarahkan pada terbentuknya kesadaran kritis peserta
didik dan demokratisasi. Oleh karena itu, prinsip keterbukaan, keterkaitan
dengan realitas yang terjadi di lingkungan sekitar, dan berbagai
permasalahan masyarakat menjadi hal yang diangkat dalam tujuan
pembelajaran sejarah.
Aspek selanjutnya dalam implementasi critical pedagogy dalam
pembelajaran sejarah dilihat dari aspek subjek belajar, yakni guru dan
peserta didik. Dalam perspektif critical pedagogy posisi antara guru dan
peserta didik sama-sama sebagai learner, artinya tidak ada dominasi peran
antara guru dan peserta didik. Dalam membangun komunikasi di antara
keduanya, harus terjadi proses yang dialogis, sehingga terjadi proses yang
saling mengisi. Guru tidak lagi berperan sebagai satu-satunya sumber
dalam pembelajaran.
Ditinjau dari aspek materi, terutama pada pembelajaran sejarah
kontroversal, S.K. Kochhar (2008: 454-455) memberikan beberapa
batasan pemilihan, yakni (1) topik yang diangkat berada dalam batas
kompetensi kelompok, artinya disesuaikan dengan kemampuan guru dan
peserta didik, (2) topik yang diminati dan penting bagi kelas, (3) isu yang
tidak terlalu “panas” pada saat ini, karena ada kekhawatiran munculnya
pretensi, dan justifikasi, (4) isu yang pembahasannya tidak memakan
Strategi yang diterapkan dalam pembelajaran sejarah dengan
pendekatan critical pedagogy pada dasarnya bersifat fleksibel. Namun
demikian, ada dua hal yang diperhatikan, yakni model pembelajaran harus
bersifat dialogis dan kontekstual (Freire, 2008: 51). Pada pelaksanaan
critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah, konstruktivisme dapat
dijadikan salah satu landasan dalam pelaksanaan pembelajaran. Agar
pembelajaran menjadi bermakna, pembelajaran harus berpusat pada
peserta didik (student centered) artinya adalah guru memberikan peluang
dari siswa untuk berapresiasi, bisa dalam bentuk kegiatan diskusi, debat,
tugas mandiri, dan sebagainya. Kemudian, penggunaan variasi model dan
media juga menjadi hal yang diperhatikan dalam pembelajaran agar
peserta didik mudah dalam melakukan visualisasi, interpretasi, dan
generalisasi (Tsabit Azinar Ahmad dkk., 2008: 25).
Implementasi critical pedagogy dalam aspek evaluasi pada
prinsipnya menekankan bahwa evaluasi tidak hanya diberikan pada akhir
pembelajaran, tetapi juga pada saat pembelajaran (evaluasi proses), berupa
menilai keaktifan siswa dalam mengikuti pembelajaran seperti keaktifan
dalam bertanya, menanggapi pertanyaan, menanggapi pernyataan,
mengerjakan tugas, serta keaktifan dalam diskusi (Tsabit Azinar Ahmad
dkk., 2008: 29). Penyusunan alat evaluasi tidak hanya sebatas soal ujian,
tetapi juga bisa berupa penugasan-penugasan yang bertujuan untuk
mengembangkan kreasi dari peserta didik melalui pendekatan inquiry,
30 September kemudian siswa ditugaskan untuk mengulas isi dan
memberikan pendapatnya tentang berita tersebut. Artinya peserta didik
diberikan peluang untuk melakukan suatu proses penemuan terhadap
berbagai data dan fakta tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Penugasan diberikan bisa dalam bentuk karya tulis sederhana tentang
berbagai pendapat tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965 (Tsabit
Azinar Ahmad, 2008: 29).
Aspek penunjang dalam pembelajaran meliputi fasilitas-fasilitas
pembelajaran. Implementasi critical pedagogy pada aspek penunjang
dapat dilakukan dengan adanya pemanfaatan fasilitas-fasilitas secara
maskimal oleh guru. Selain itu, guru juga harus mampu memanfaatkan
lingkungan sekitar sebagai salah satu sumber belajar.
2. Sejarah Kontroversial
Sejarah didefinisikan sebagai rekonstruksi masa lalu (Kuntowijoyo,
1995: 17). Sejarah yang dimaksud dalam penelitian ini mencakup pengertian
sejarah sebagai kisah, yakni catatan dari kejadian yang dilakukan oleh
manusia pada masa lampau. Sementara itu, yang dimaksud dengan
kontroversial adalah “perbedaan pendapat; pertentangan karena berbeda
pendapat atau penilaian” (Badudu dan Sutan Muhammad Zein, 2001: 715).
Dengan demikian, sejarah kontroversial dapat diartikan sebagai sejarah yang
dalam penulisannya terdapat beberapa pendapat yang berbeda, yang pada
sejarah kontroversial, antara pendapat satu dengan pedapat lain
masing-masing memiliki landasan yang menurut penulisnya adalah kuat. Sebuah isu
dapat menjadi kontroversial karena memberi dampak politik, sosial, maupun
personal serta membangkitkan perasaan karena berkaitan dengan hal yang
mempertanyakan kepercayaan dan nilai yang dianut (Global Citizenship
Guides, 2006: 2). Permasalahan tresebut dapat menjadi lebih rumit apabila
sulit untuk dijelaskan dan disebabkan adanya perbedaan yang kuat dalam cara
pandang terhadap perbedaan karena masalah pengalaman, minat, dan
nilai-nilai tertentu.
Wellington yang dikutip Cavet (2007: 2) menyatakan bahwa “a
controversial issue must: involve value judgements, so that the issues cannot
be settled by facts, evidence or experiment alone; be considered important by
an appreciable number of people” (masalah kontroversial harus: melibatkan
penilaian, sehingga masalah tidak dapat diselesaikan oleh fakta, bukti atau
percobaan sendiri; dianggap penting oleh jumlah orang yang cukup banyak).
Cavet (2007: 2) mengutip The report Teaching controversial issues: A
European perspective from the Children's Identity & Citizenship in Europe
programme menyatakan bahwa “a controversial issue is one in which: there
are competing values and interests; there is political sensitivity; emotions
become strongly aroused; the subject/area is complex; the subject/area is of
topical interest”. (masalah kontroversial adalah satu di mana: ada bersaing
terangsang; subjek/area adalah kompleks; subjek/kawasan adalah kepentingan
topikal )
Sifat kontroversial hampir selalu ada dalam sejarah. Hal ini karena
sejarah senantiasa berproses dan bukan sebagai suatu hal yang sudah selesai,
sehingga ada kecenderungan munculnya fakta-fakta dan
interpretasi-interpretasi baru terhadap suatu peristiwa sejarah (Kochhar, 2008: 453).
Dengan demikian, terdapat beberapa pendapat yang berbeda tentang suatu
peristiwa sejarah, yang pada akhirnya memunculkan beberapa versi. Sejarah
kontroversial senantiasa muncul akibat perbedaan pandangan tentang suatu
peristiwa di kalangan sejarawan atau masyarakat yang dilandasi perbedaan
perolehan sumber sampai dengan masalah interpretasi yang berbeda.
Ada beberapa sejarah kontroversial yang disampaikan dalam kelas.
Jika ditinjau dari pengaruhnya terhadap masyarakat pada masa sekarang, ada
dua jenis sejarah kontroversial. Kategori pertama sejarah kontroversial adalah
kontroversi terhadap sejarah yang terjadinya pada kurun waktu yang lama dari
sekarang atau disebut juga sejarah nonkontemporer. Kategori kedua adalah
sejarah kontroversial yang terjadinya pada masa kontemporer (Tsabit Azinar
Ahmad, 2008: 119).
Sejarah kontroversial kategori pertama menjadi bersifat kontroversial
karena adanya perbedaan pendapat, teori, atau pendekatan yang dilakukan
sejarawan dalam melakukan penulisan sejarah. Secara umum, adanya
perbedaan pandangan itu menurut tipologi Asvi Warman Adam (2007 b: 4)
interpretasi yang dilakukan, dan biasanya ketidaktepatan itu muncul setelah
ada beberpa sejarawan yang mengungkapkan ketidaktepatan itu menurut versi
sejarawan itu. Artinya sifat kontroversial ini sangat tergantung dari sejarawan.
Hal ini karena pada kategori ini tidak terdapat sumber primer berupa pelaku
atau saksi sejarah, sehingga sejarawan memainkan peranan penuh dalam
menuliskan suatu peristiwa sejarah.
Beberapa sejarah kontroversial untuk kategori pertama antara lain
perbedaan pendapat tentang masuknya pengaruh Hindu Budha di Nusantara,
perdebatan antara Poerbatjaraka dan F.D.K. Bosch tentang dinasti yang
terdapat di kerajaan Mataram lama, pendapat tentang masuknya Islam di
Nusantara, sampai pada mitos tentang penjajahan nusantara selama 350 tahun.
Kategori pertama ini tidak terlalu menyebabkan adanya perdebatan dalam
masyarakat.
Sejarah kontroversial kategori kedua adalah sejarah yang biasanya
dimasukkan ke dalam kategori sejarah kontemporer. Sejarah kontemporer
merupakan satu istilah untuk menyebutkan satu pembabakan dalam sejarah
yang rentang waktu terjadinya tidak terlalu lama dengan masa sekarang, atau
masa ketika sejarah itu menjadi satu kajian dalam ilmu sejarah (Nugroho
Notosusanto, 1978). Batasan kontemporer ini belum jelas, akan tetapi bila
ditinjau dari saat ini peristiwa sejarah kontemporer adalah mulai tahun
1940-an.
Sejarah kontemporer cenderung bersifat kontroversial karena kadar
masa-masa sebelumnya. Hal ini karena pelaku atau saksi sejarahnya masih ada
dan masih memiliki satu implikasi yang dirasakan oleh sebagian masyarakat
pada masa ini (Tsabit Azinar Ahmad, 2007: 3).
Hal lain yang menyebabkan kontroversial adalah bahwa peristiwa
sejarah kotemporer masih belum selesai sepenuhnya, tetapi senantiasa
berproses. Lebih lanjut lagi dinyatakan bahwa masih banyak terjadi perbedaan
pandangan para pelaku sejarah berkaitan dengan satu peristiwa sejarah, dan
ada pula perbedaan pandangan antara temuan berupa fakta-fakta baru dengan
pemahaman masyarakat yang berkembang selama ini. Merujuk tipologi Asvi
Warman Adam (2007 b: 4), sejarah kontroversial yang termasuk ke dalam
sejarah kontemporer disebabkan oleh tiga faktor sekaligus, yakni adanya
ketidaktepatan, ketidaklengkapan, dan ketidakjelasan dari fakta dan
interpretasi yang dilakukan dalam penyusunan suatu tulisan sejarah.
Ditinjau dari aspek pengaruhnya terhadap masyarakat, sejarah
kontroversial kategori kedua memberikan dampak yang lebih dirasakan oleh
masyarakat. Hal ini karena peristiwa yang terjadi pada kurun sejarah
kontemporer secara teoretis menjadi kajian yang lebih membuka peluang bagi
masyarakat luas untuk mengulas dan memperoleh sumber-sumber berkaitan
dengan masa tersebut secara lebih mudah. Ketersediaan sumber primer berupa
pelaku atau saksi sejarah juga masih ada. Selain itu memori kolektif
masyarakat tentang satu peristwa tersebut juga masih sangat kuat.
Permasalahan lainnya adalah adanya kemungkinan terbentuknya satu
sejarah, walaupun belum tentu pemahaman yang selama ini diyakini adalah
benar adanya (Tsabit Azinar Ahmad, 2007: 5). Adanya hal ini telah
menyebabkan adanya satu hal yang memacu terjadinya pertentangan terhadap
satu peristiwa sejarah ketika pada satu saat ditemukan fakta baru yang bertolak
belakang dari pemahaman masyarakat selama ini diyakini.
Selain permasalahan yang berkaitan dengan permasalahan
metodologis, satu hal yang menyebabkan sejarah kontemporer itu cenderung
bersifat kontroversial adalah adanya unsur kepentingan lain yang bermain di
dalam sejarah. Kepentingan itu bisa datang dari pihak-pihak yang terlibat
dalam satu peristiwa sejarah atau dari pihak-pihak yang ingin memanfaatkan
satu peristiwa sejarah untuk tujuan-tujuan tertentu (Tsabit Azinar Ahmad,
2007: 6). Kepentingan yang datang dari pihak pelaku sejarah ataupun
keturunannya karena pelaku sejarah merasa dirugikan dengan adanya
penulisan sejarah dari pihak tertentu.
Beberapa peristiwa sejarah yang dapat diklasifikasikan masih bersifat
kontroversial antara lain Gerakan 30 September, peristiwa seputar Surat
Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Serangan Umum 1 Maret 1949, lahirnya
Pancasila, lahirnya Orde Baru, dan Integrasi Timor-Timur. Berkaitan dengan
sejarah yang bersifat kontroversial, Bambang Purwanto (2001a: 112)
menjelaskan bahwa
Dari tulisan Purwanto (2005), yang menarik adalah tentang kontroversi
keempat, yakni social-political role of Indonesia armed forces (peran
sosial-politik kepemimpinan Angkatan Darat di Indonesia). Kontroversi tersebut
terletak pada tindakan militer pada saat revolusi dan penumpasan pergerakan
lokal, konflik ideologi internal pada tahun 1950-an, keterlibatan pemimpin
tentara dalam kegiatan ekonomi dan politik pada masa demokrasi terpimpin,
serta kepemimpinan militer yang dominan pada pemerintahan Orde Baru
(Purwanto, 2001:116).
Beberapa peristiwa sejarah kontemporer yang termasuk dalam sejarah
kontroversial yang dapat dijadikan materi pembelajaran di kelas sejarah antara
lain kontroversi tentang penetapan tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan
Nasional, peristiwa Madiun 1948, peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di
Yogyakarta, peristiwa 17 Oktober 1952, Gerakan 30 September, perdebatan
seputar Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), peristiwa Malari 1974,
permasalahan Timor-Timur, sampai dengan peristiwa seputar reformasi dan
jatuhnya Soeharto pada 1998. Akan tetapi, yang paling banyak diperdebatkan
di masyarakat adalah Gerakan 30 September, Supersemar, dan Serangan
Tabel 1 Beberapa Aspek Perbedaan dalam Sejarah Kontroversial Nonkontemporer dan Kontemporer
Aspek Perbedaan
Kategorisasi Sejarah Kontroversial Sejarah Kontroversial
Nonkontemporer
Sejarah Kontroversial Kontemporer
Aspek temporal Rentang waktu terjadinya
lama dari masa sekarang / pada saat dilakukan kajian
Terjadi pada kurun waktu yang tidak terlalu lama dari sekarang
Ketersediaan sumber primer
Sumber primer hanya berupa peninggalan atau bukti berupa benda
Masih terdapat pelaku dan saksi sejarah
Alasan kontroversial
o adanya perbedaan
pendapat, teori, atau pendekatan yang dilakukan sejarawan dalam melakukan penulisan sejarah
o subjektivitas yang lebih besar
o ada perbedaan padangan
dari pelaku sejarah
o adanya unsur kepentingan lain di dalam sejarah
Penyebab o ketidaktepatan dan
ketidaklengkapan fakta dan interpretasi yang dilakukan
o adanya ketidaktepatan, ketidaklengkapan, dan ketidakjelasan dari fakta dan interpretasi yang dilakukan
Sifat Sejarawan memegang
peranan penting
Terbuka bagi masyarakat untuk mencari