• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepemimpinan Militeristik Otoritarian : Perbandingan Gaya Kepemimpinan Saloth Sar di Kamboja (1975-1979) dan Soeharto di Indonesia (Periode 1965-1970) Chapter III IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kepemimpinan Militeristik Otoritarian : Perbandingan Gaya Kepemimpinan Saloth Sar di Kamboja (1975-1979) dan Soeharto di Indonesia (Periode 1965-1970) Chapter III IV"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PERBANDINGANGAYAKEPEMIMPINAN SALOTH SAR DI KAMBOJA

(1975-1979) DAN SOEHARTO DI INDONESIA (PERIODE 1965-1970)

3.1. Makna Kepemimpinan

Istilah kepemimpinan tidak dapat terlepas dari kata "memimpin" yang memiliki beberapa arti yaitu: memegang tangan seseorang sambil berjalan (untuk menuntun atau menunjukkan jalan), mengetahui atau mengepalai (dalam rapat atau perkumpulan), memandu, melatih (mendidik, mengajari). Juga ada kata "terpimpin" yang berarti dapat dipimpin atau terkendali, serta ada pula kata "pemimpin" yang memiliki dua arti: orang yang memimpin dan petunjuk, buku petunjuk (pedoman).81

Secara etimologi pemimpin adalah orang yang mampu mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar melakukan tindakan pencapaian tujuan bersama, sehingga dengan demikian yang bersangkutan menjadi awal struktur dan pusat proses kelompok. Kemudian secara terminologis banyak ditemukan definisi tentang pemimpin. Para pakar manajemen biasanya mendefinisikan pemimpin menurut pandangan pribadi mereka, dan aspek-aspek fenomena dari kepentingan yang paling baik bagi pakar yang bersangkutan.82

Menurut Burns bahwa kepemimpinan merupakan proses hubungan timbal balik pemimpin dan pengikut dalam memobilisasi berbagai sumberdaya ekonomi politik dan sumber daya lainnya untuk mencapai tujuan

81

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Cet. 10. Jakarta : Balai Pustaka. 1999.hal. 769.

82

(2)

yang ditetapkan. Selanjutnya, Gardner berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan suatu atau sekumpulan aktivitas yang teramati oleh pihak lain, berlangsung dalam kelompok, organisasi atau lembaga, dan melibatkan pemimpin dan pengikut yang bekerjasama untuk mewujudkan tujuan umum yang direncanakan. Sedangkan Hary S. Truman mengartikan kepemimpinan sebagai kemampuan untuk memperoleh orang-orang agar mengabaikan apa yang tidak disukai dan melaksanakan apa yang disukai.83

Pengertian Kepemimpinan diartikan sebagai proses mempengaruhi dan mengarahkan berbagai tugas yang berhubungan dengan aktivitas anggota kelompok. Kepemimpinan juga diartikan sebagai kemampuan mempengaruhi berbagai strategi dan tujuan bersama dan kemampuan mempengaruhi kelompok agar mengidentifikasi, memelihara dan mengembangkan budaya organisasi.84

Menurut Sedarmayanti, kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain melalui dirinya sendiri dengan cara tertentu sehingga perilaku orang lain berubah/tetap menjadi integratif.85 Alfan Alfian mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu proses dimana seseorang punya pengaruh dalam satu kelompok (organisasi) untuk menggerakkan individu lain meraih tujuan bersama.86

83

Miftah Thoha. Kepemimpinan dalam Manajemen, Suatu Pendekatan Perilaku. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1995. hal. 63.

84

Winardi. Op.Cit., hal. 47. 85

Sedarmayanti.Reformasi Administrasi Public, Reformasi Birokrasi dan Kepemimpinan Masa Depan. Bandung : Rafika Aditama. 2009. hal. 121.

86

Alfan Alfian. Menjadi Pemimpin Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2009. hal. 65.

(3)

Tabel 2.1

5 Perspektif Kepemimpinan

Perspektif Pengertian Kepemimpinan

Focus of group

processes

Pemimpin merupakan pusat segala aktivitas dan perubahan kelompok. Kepemimpinan adalah pusat kehendan yang menggerakkan aneka aktivitas, perubahan, dan perkembangan kelompok(organisasi).

Personality

Perspective

Pemimpin merupakan perpaduan antara bakatkhusus (special traits) dan karakteristikindividu, yang memiliki kemampuan untukmendelegasikan tugas pada orang lain secarasempurna.

Act or

Behaviour

Kepemimpinan merupakan seperangkattindakan dan perilaku tertentu yang mampumenggerakkan perubahan dalam organisasi

Power

relationship

(4)

Instrument of

goal

Achievement

Kepemimpinan adalah upaya membimbinganggota mencapai tujuan bersama.

Skills

Perspective

Kepemimpinan adalah kapabilitas yangmembuatnya bekerja secara efektif.

Sumber : Alfan Alfian. Menjadi Pemimpin Politik.Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2009.

Dari pengertian para ilmuwan ini dapat ditarik pemahaman bahwa kepemimpinan adalah berhubungan dengan proses mempengaruhi dari seseorang pemimpin kepada pengikutnya atau anggotanya guna mencapai tujuan organisasi dimana terdapat seni mengatur, mengelola dan mengarahkan orang dengan kepatuhan, kepercayaan, kehormatan, kerjasama, semangat, dan potensi-potensi yang ada guna mencapai tujuan yang di cita-citakan.

3.1.1. Kepemimpinan Politik

(5)

atau administratif, dengan kepemimpinan yang lebih mengarah pada kepemimpinan politik. Oleh Karena itu perlu ditegaskan kembali dalam penelitian ini bahwa selain harus memahami pengertian tentang kepemimpinan, harus dipahami pula pengertian tentang kepemimpinan politik.

Pada dasarnya kepemimpinan menjadi bagian dari kekuasaan, tetapi tidak sebaliknya, mirip dengan kekuasaan, kepemimpinan merupakan suatu hubungan antara pihak yang memiliki pengaruh dan orang yang dipengaruhi, dan juga merupakan kemampuan menggunakan sumber pengaruh secara efektif. Berbeda dengan kekuasaan yang terdiri atas banyak jenis sumber pengaruh, kepemimpinan lebih menekankan pada kemampuan menggunakan persuasi untuk mempengaruhi pengikut. Selain itu, tidak seperti kekuasaan yang belum tentu menggunakan pengaruh untuk kepentingan bersama pemimpin maupun para pengikutnya.

Oleh karena itu, kepemimpinan politik juga berbeda dengan elit politik, karena seperti yang dikemukakan oleh Pareto,87

87

Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. Jakarta : Grasindo. 1990. hal. 134.

(6)

Sebutan politik dalam kepemimpinan politik menunjukkan kepemimpinan berlangsung dalam suprastruktur politik (lembaga-lembaga pemerintahan), dan yang berlangsung dalam infrastruktur politik (partai politik dan organisasi kemasyrakatan). Oleh karena itu, pemimpin politik juga berbeda dengan kepala suatu instansi pemerintahan karena yang terakhir ini lebih menggunakan kewenangan dalam mempengaruhi bawahannya. Tidak seperti kepala suatu instansi yang cenderung menggunakan hubungan-hubungan formal dan impersonal dalam menggerakkan bawahannya, pemimpin politik lebih menggunakan hubungan-hubungan informal dan personal dalam menggerakkan pengikutnya untuk mencapai tujuan tertentu.88

Kepemimimpinan politik dituntut untuk mampu mempertahankan konstituen politik dengan baik, bahkan mampu memunculkan

dukungan-Akan tetapi, orang yang secara formal menjadi elit politik atau kepala suatu instansi dapat saja memainkan peranan sebagai pemimpin politik kalau memenuhi karakteristik kepemimpinan tersebut. Penyelenggara politik dan pemerintahan yang sukses biasanya orang yang dapat menggunakan berbagai tipe penggunaan sumber pengaruh sesuai dengan konteks dan jenis permasalahan.

Selain itu, kepemimpinan politik juga dapat dipahami dalam tiga perspektif: 1) kepemimpinan sebagai pola perilaku. 2) kepemimpinan sebagai kualitas personal. 3) kepemimpinan sebagai nilai politik. Sebagai pola perilaku, kepemimpinan terkait sekali dengan kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dalam mengupayakan tujuan yang diharapkan.

88

(7)

dukungan politik yang signifikan, mampu mengelola potensi konflik yang ada dengan baik dan efektif, mampu memotivasi anak buah dan konstituennya dengan baik, sehingga senantiasa optimis dan mampu bangkit dari keterpurukan. Di samping itu, ia juga dituntut untuk mampu bersosialisasi dan berkomunikasi dengan segmen manapun, mampu memberi contoh danmendorong suatu proses pendidikan dan pencerahan politik, mampu menghadirkan proses sirkulasi elit di dalam organisasi secara sehat, dan mampu mendudukkan orang-orangnya di posisi-posisi strategis di lembaga-lembaga politik kenegaraan yang ada. kepemimpinan politik juga harus selaras dengan nilai-nilai demokrasi yang substansial. Seorang pemimpin politik harus paham benar etika politik, sehingga proses dan dinamika politik berjalan secara beradab.89

Militerisme adalah suatu pemerintahan yang didasarkan pada jaminan keamanannya terletak pada kekuatan militernya dan mengklaim bahwa perkembangan dan pemeliharaan militernya untuk menjamin kemampuan itu adalah tujuan terpenting dari masyarakat. Sistem ini memberikan kedudukan yang lebih utama kepada pertimbangan-pertimbangan militer dalam kebijakannya daripada kekuatan-kekuatan politik lainnya. Mereka yang terlibat dalam dinas militer pun mendapatkan perlakuan-perlakuan istimewa. Kebijakan tersebut menyebabkan

3.2. Militerisme dan Otoritarianisme

3.2.1. Militerisme

89

(8)

militerisasi di dalam masyarakat. Pengaruh dan kekuatan militer sangat diperhitungkan di dalam pengambilan-pengambilan keputusan dalam bidang sipil sekalipun.90

Dengan pembenaran terhadap penerapan kekerasan, militerisme menekankan bahwa penduduk sipil tergantung - dan karenanya berada dalam posisi yang lebih rendah - pada kebutuhan dan tujuan-tujuan militernya. Doktrin yang umumnya dikembangkan adalah perdamaian melalui kekuatan. Hal ini dianggap sebagai metode yang tepat untuk mengamankan kepentingan-kepentingan masyarakat. Doktrin ini diwujudkan sebagai doktrin yang lebih unggul daripada semua pemikiran lainnya, termasuk pengutamaan hubungan-hubungan diplomatik dan masalah-masalah yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial. Militerisme kadang-kadang dikontraskan dengan konsep mengenai kekuatan nasional yang komprehensif dan kekuatan lembut (soft power) dan kekuatan keras (hard power).

Secara ideologis militerisme terdiri atas supremasi, loyalisme, ekstremisme, proteksionisme-darurat, dan nasionalisme atau bentuknya yang lebih sempit yaitu patriotisme.

91

90

Terjemahan. Militaristic - definition of militaristic by The Free Dictionary. Dikutip melalui

3.2.2. Otoritarianisme

91

Militerisme. Dikutip melalu

(9)

Otoritarianisme adalah bentuk organisasi sosial yang ditandai dengan penyerahan kekuasaan. Dalam politik, suatu pemerintahan otoriter adalah satu di mana kekuasaan politik terkonsentrasi pada suatu pemimpin.Otoritarianisme biasa disebut juga sebagai paham politik otoriter, yaitu bentuk pemerintahan yang bercirikan penekanan kekuasaan hanya pada negara atau pribadi tertentu, tanpa melihat derajat kebebasan individu.92

Istilah otoritarianisme berasal dari bahasa Inggris,

authoritarian.Kata authoritarian sendiri berasal dari bahasa Inggris

authority, yang sebetulnya merupakan turunan dari kata Latin

auctoritas.Kata ini berarti pengaruh, kuasa, wibawa, otoritas.Oleh otoritas

itu, orang dapat memengaruhi pendapat, pemikiran, gagasan, dan perilaku orang, baik secara perorangan maupun kelompok.Otoritarianisme adalah paham atau pendirian yang berpegang pada otoritas, kekuasaan dan kewibawaan, yang meliputi cara hidup dan bertindak.

Sistem ini biasanya menentang demokrasi, sehingga pada umumnya kuasa pemerintahan diperoleh tanpa melalui sistem demokrasi (pemilihan umum).

93

Penganut otoritarianisme akan berpegang pada kekuasaan sebagai acuan hidup. Ia akan menggunakan wewenang sebagai dasar berpikir. Ketika berhadapan dengan orang lain dan menanggapi masalahnya, mereka akan menanyakan kedudukannya dalam lembaga dan organisasi. Dalam membahas masalah itu, dia tidak akan mempersoalkan hakikat dan

92

Baskara T. Wardaya. Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. 2007. hal. 3.

93

(10)

kepentingannya, tetapi berhak ikut campur dan mengurus perkara yang dipersoalkannya. Namun, hal ini hanya berlaku untuk dirinya. Untuk orang lain, orang yang otoritarian akan membatasi pekerjaan seseorang, yaitu agar orang tersebut bekerja menurut prosedur dan aturan yang ada. Jika orang itu tidak mengerti dan tidak menjalankan tugasnya dengan baik, ia akan dianggap salah.94

Penganut otoritarian hanya mengenal satu macam komunikasi, yaitu satu arah. Komunikasi dua arah, saling diskusi dan menanggapi, dan model demokratis dengan kemungkinan perbedaan dan pertentangan pendapat secara verbal atau secara konseptual akan dimengerti, tetapi sulit untuk dihayati. Komunikasi yang bebas dan terbuka, berasal dari berbagai arah dan tertuju ke segala penjuru akan asing baginya, karena gaya komunikasi tersebut tidak masuk dan klop dalam kerangka berpikirnya. Oleh karena itu, komunikasi satu arah menjadi andalan bagi orang ini dalam menjalankan tugasnya. Dalam menjalankan tugasnya baik dalam menyampaikan gagasan, pemikiran, dan pesan, orang otoritarian hanya mengenal satu bentuk komunikasi, yaitu instruksi. Istilah yang dikenalnya terbatas pada pengarahan, petunjuk, wejangan, perintah, pembinaan, sehingga bentuk komunikasi yang sifatnya sekadar memberitahu perkaranya (informatif) dianggap sudah mencukupi. Bentuk komunikasi yang persuasif untuk meyakinkan, dinilai menghabiskan waktu dan tidak efisien.95

94

Ibid., hal. 175. 95

(11)

Jika dalam komunikasi penganut otoritarianisme hanya mengenal komunikasi dalam bentuk instruksi, dalam bertindak mereka suka “main kuasa”. Yang dimaksud dengan “main kuasa” adalah pemaksaan kuasa dengan melumpuhkan orang, menggunakan ancaman, dan menyepelekan perkara. Orang yang otoritarian juga akan mempermainkan perasaan bawahannya dengan sengaja membuat mereka salah dan malu. Dengan kata lain, daripada bertitik tolak dari hakikat dan kepentingan perkara, keadaan dan kemampuan orang, serta situasi dan kondisi yang ada, dalam bertindak penganut otoritarianisme akan berkutat pada kekuasaan yang dimilikinya.96

Saloth Sar sebagai pemimpin Kamboja yang baru setelah masa pemerintahan Lon Nol yang berakhir pada tahun 1975, merubah semua kebijakan yang telah ada sebelumnya. Saloth Sar menerapkan gaya kepemimpinan yang sangat otoriter dan militeristik di Kamboja pada waktu itu. Rezim Saloth Sar terkenal sebagai rezim yang kaku, keras, brutal, dan banyak memusuhi rakyatnya sendiri.

3.3. Perbandingan Gaya Kepemimpinan Kedua Tokoh

3.3.1. Gaya Kepemimpinan Saloth Sar di Kamboja (1975-1970)

97

96

Ibid., hal. 177. 97

Sardiman A. M. Analisis Kemenangan Komunis Vietnam dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Politik di Asia Tenggara. Yogyakarta: Liberty. 1983. hal. 67.

(12)

1. Bidang Sosial

Kebijakan dalam bidang sosial yang dilaksanakan pemerintahan Saloth Sar di Kamboja antara lain:

a. Evakuasi penduduk kota ke pedesaan

Pemindahan penduduk kota ke pedesaan atau pedalaman merupakan bagian dari revolusi yang dilaksanakan Saloth Sar. Saloth Sar ingin mengubah Kamboja menjadi negara agraris dengan mempekerjakan semua penduduk sebagai petani dari berbagai golongan. Dengan mempekerjakan seluruh penduduk sebagai petani diharapkan kebutuhan pangan dapat terpenuhi sehingga Kamboja tidak perlu melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Evakuasi itu juga diharapkan mampu memecah stratifikasi sosial yang mengakar dan untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas di Kamboja yang dicita-citakan oleh Saloth Sar waktu itu.98

Evakuasi dari kota ke pedesaan yang dilakukan pemerintah secara tidak langsung menghapus kota yang telah ada. Pemerintah tidak menghendaki adanya perkembangan di daerah perkotaan. Bahkan dalam propaganda mereka, pemerintah menyebut Phnom Penh sebagai

The great prostitute on Mekong.99

98

David Chandler. A History of Cambodia. Chiang Mai : Silkworm Books. 1998. hal. 210. 99

Nazaruddin Nasution. Pasang Surut Hubungan Diplomatik Indonesia Kamboja. Jakarta : Metro Pos. 2002. hal. 75.

(13)

b. Penghapusan Pendidikan

Untuk melanggengkan pemerintahan, rezim Saloth Sar juga meniadakan pendidikan formal. Penduduk Kamboja tidak boleh mendapatkan pendidikan kecuali untuk kebutuhan propaganda.100

Komunis merupakan ideologi yang tidak percaya akan adanya Tuhan. Hal itu juga yang diberlakukan di Kamboja saat Saloth Sar berkuasa. Saloth Sar melarang agama dan menghancurkan tempat-tempat ibadah yang ada di Kamboja.

Jangankan menempuh pendidikan, buku juga tidak boleh beredar di masyarakat. Penghapusan pendidikan dilakukan agar masyarakat tidak dapat mengakses informasi yang dapat membuat mereka melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Pelarangan pendidikan formal lazim dilakukan oleh penjajah didaerah jajahannya. Agar mereka tetap patuh dan tunduk terhadap pemerintahan yang berlaku.

c. Penghapusan Agama

101

Masyarakat Kamboja merupakan masyarakat yang menganut agama Budha. Seperti yang kita tahu bahwa agama Budha sarat akan upacara adat dalam kehidupan sehari-harinya. Pada masa pemerintahan Saloth Sar segala bentuk upacara keagamaan dihapuskan. Masyarakat

Biksu-biksu yang tadinya sangat dihormati oleh masyarakat Kamboja dan memilikikedudukan penting dalam upacara keagamaan dijadikan masyarakat biasa. Mereka juga harus bekerja seperti penduduk lainnya.

100

Allen and Unwin. Focus on Southeast Asia. Singapore : KHL Printing Co Pte Ltd. 1995. hal. 26. 101

(14)

tidak boleh memeluk agama apapun, hal itu merupakan bagian dari revolusi yang telah direncanakan. Sehingga pada masa itu agama di Kamboja tidak mengalami perkembangan bahkan dapat dikatakan bahwa kegiatan keagamaan mengalami kemunduran.

2. Bidang Ekonomi

Rezim Saloth Sar merubah tatanan perekonomian di Kamboja seperti zaman pra modern. Saloth Sar melakukan kebijakan yang membuat rakyatnya menderitadan banyak yang tewas akibat kebijakan yang tidak masuk akal itu. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain:

a. Menciptakan masyarakat tanpa uang

Sejalan dengan kebijakan evakuasi penduduk kota ke pedesaan dan isolasi bagi dunia luar. Rezim Saloth Sar mengeluarkan kebijakan masyarakat tanpa uang. Sejalan dengan kebijakan tersebut, pemerintah melakukan penghapusan terhadap pasar, perdagangan swasta, kepemilikan pribadi, dan pelayanan publik.102

102

Afred Suci. Op.Cit., hal. 127-128.

(15)

b. Melakukan kerja paksa

Kerja paksa biasanya terjadi ketika suatu negara dikuasai oleh negara lain atau terjajah. Keadaan itu tidak berlaku untuk negara Kamboja saat itu. Di bawah pemerintahan anak negeri sendiri, Kamboja mengalami masa kelam yang tidak dapat terlupakan. Masyarakat Kamboja harus mengalami kerja paksa untuk dapat bertahan hidup. Seluruh penduduk diwajibkan melakukan kerja paksa di pedesaan. Mereka bekerja untuk menggarap sawah, menggali saluran air, membuat bendungan, dan melakukan segala kegiatan yang berhubungan dengan pertanian.103

Penduduk sangat menderita dengan sistem ini, bagaimana tidak mereka diharuskan bekerja selama empat belas jam sehari, dua puluh tujuh hari dalam sebulan.

Pekerjaan itu dilakukan oleh perempuan maupun laki-laki yang selalu dalam pengawasan serdadu Khmer Merah.

104

Mereka tidak mendapatkan upah dalam pekerjaan ini karena adanya sistem penghapusan mata uang yang dilakukan oleh pemerintah. Sebagai imbalandari pekerjaan itu, mereka hanya mendapatkan jatah makan, tempat tinggal, dan pakaian seadanya.

103

David Chandler. The Emergene of Modern Southeast Asia A New History. Singapore: Singapore University Press. 2005. hal. 483.

104

(16)

3. Bidang Politik

Saloth Sar sebagai pemimpin baru Kamboja menerapkan kebijakan di bidang politik yang dapat melanggengkan kekuasaannya. Kebijakan itu antara lain:

a. Melakukan pembunuhan massal atau genoside

Kebijakan yang membuat Kamboja terkenal dan menjadi masalah internasional adalah pembunuhan massal yang dilakukan rezim Saloth Sar. Dibuktikan dengan ditemukannya lebih kurang 343 ladang pembantaian.105

Tidak ada yang tahu dengan pasti berapa jumlah penduduk yang tewas akibat pembunuhan itu. Banyak orang yang memperkirakan Banyak ditemukan tulang belulang manusia yang tewas akibat kekejaman rezim Saloth Sar di ladang-ladang tersebut. Pembunuhan itu dilaksanakan setelah rezim Saloth Sar berkuasa di Kamboja pada 17 April 1975. Sejak saat itu penduduk Kamboja banyak yang menghilang tanpa ada penjelasan dari pemerintah.

Pembunuhan massal dimulai ketika Phnom Penh jatuh ke tangan pasukan Khmer Merah. Mereka menembak semua tentara yang berseragam pasukan Lon Nol. Rezim Saloth Sar melakukan pembunuhan tanpa proses peradilan, tidak peduli mereka bersalah atau tidak semua orang yang berhubungan dengan rezim Lon Nol akan disingkirkan. Ini merupakan program dari revolusi untuk menghilangkan kekuatan yang telah ada sebelumnya.

105

(17)

antara 1,7 juta sampai 2 juta orang tewas dalam kurun waktu 1975-1979.Saloth Sar sendiri tidak dapat memastikan berapa banyak orang yang tewas saat ia memerintah Kamboja.106

Ada tiga faktor penyebab tewasnya jutaan penduduk Kamboja, pertama pembunuhan terhadap bekas pendukung Lon Nol, kedua pembersihan partai, dan yang ketiga pembunuhan terhadap orang-orang yang disinyalir tidak mendukung pemerintahan Saloth Sar. Pemerintah melakukan program itu untuk tetap melanggengkan kekuasaan dan memaksa penduduk untuk tetap tunduk dan patuh. Mereka akan takut karena Khmer Merah tidak akan segan untuk melakukan pembunuhan terhadap mereka yang dianggap bersalah.

Berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan, jutaan penduduk tewas saat Saloth Sar memerintah Kamboja.

107

Tewasnya jutaan penduduk Kamboja tidak hanya karena penyiksaan namun pemindahan penduduk dari kota ke pedesaan dan tanam paksa yang dicanangkan rezim Saloth Sar. Penduduk kota yang tidak mengerti tentang pertanian, dipaksa mengolah tanah, menanam padi, menggali saluran air dan pekerjaan lainnya yang tidak pernah mereka kerjakan. Akibatnya banyak dari mereka yang tewas karena kekurangan gizi dan kelelahan. Selain itu, banyak penduduk yang tewas karena penyakit yang tidak mendapatkan perawatan medis.Para pekerja tidak mendapatkan makanan yang memadai dan istirahat yang cukup

106

Syamdani. Kisah Diktator-Diktator Psikopat. Yogyakarta : Narasi. 2009. hal. 178. 107

(18)

karena mereka harus bekerja sepanjang waktu untuk mengolah lahan pertanian. Mereka selalu dalam penjagaan serdadu Khmer Merah sehingga hanya dapat melakukan pekerjaan yang diperintahkan. Kekejaman serdadu Khmer Merah sangat kontras dengan ikrar setia yang selalu mereka ucapkan setiap pagi, yaitu:

1. Cintai dan hormatilah kaum pekerja dan petani, serta berbaktilah kepada mereka;

2. Berbaktilah kepada rakyat ke manapun kita pergi dengan sepenuh hati dan pikiran;

3. Hargailah rakyat tanpa merugikan kepentingan mereka, tanpa menyentuh barang-barang atau tanaman mereka, dan jangan mencuri bahkan sebutirmerica pun, dan jaga diri jangan sampai terlontar sepatah kata pun yang bernada kasar terhadap mereka;

4. Minta maaflah jika melakukan kekeliruan. Jika ada kepentingan rakyat yang dilanggar, maka kerugian yang terjadi harus diganti;

5. Dst.108

Ikrar yang selalu mereka ucapkan sebelum beraktifitas berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan. Para serdadu bertindak sangat kasar dan tidak mempedulikan nasib para pekerja. Mereka hanya menghendaki para pekerja bekerja sesuai dengan arahan

108

(19)

mereka dan pekerjaan selesai tepat pada waktunya sehingga tujuan revolusi dapat tercapai.

b. Kamboja tertutup bagi dunia luar

Kamboja jatuh ke tangan pemerintahan Saloth Sar pada bulan April 1975. Saloth Sar melakukan berbagai kebijakan yang sangat mengejutkan, baik bagi Kamboja sendiri maupun dunia internasional. Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa Saloth Sar menganut ideologi komunis, ia melakukan revolusi secara radikal dan berbeda dengan revolusi yang terjadi di zaman modern sebelumnya. Salah satu kebijakannya adalah menutup Kamboja bagi dunia luar. Saloth Sar tidak menghendaki hubungan dengan dunia internasional kecuali beberapa negara yang menjadi sekutunya.

Kebijakan itu direalisasikan dengan melakukan deportasi terhadap seluruh warga negara asing yang berada di Kamboja. Tidak menunggu lama, setelah Kamboja jatuh ke tangan rezim Saloth Sar, seluruh warga negara asing dipulangkan ke negaranya masing-masing. Hal ini untuk mendukung kebijakan isolasi yang dilakukan rezim Saloth Sar, dimana hampir tidak ada hubungan diplomatik yang dilakukan Kamboja dengan negara lain. Pemerintahan Saloth Sar memutus hampir semua hubungan kerja sama dengan negara-negara di dunia, kecuali negara-negara yang berhaluan komunis.109

109

(20)

Kebijakan-kebijakan yang diterapkan pada masa kepemimpinan Saloth Sar saat itu membuat rakyat Kamboja menderita. Kebijakan itu tidak terlepas dari paham komunis yang dianut oleh rezim Saloth Sar. Kebijakan yang radikal dan brutal itu membuat Kamboja menjadi sorotan dunia internasional. Akibat dari kebijakan-kebijakan brutal itu, membuat rakyat Kamboja memiliki ketakutan yang tidak wajar sehingga menimbulkan trauma psikologi bagi mereka yang hidup pada masa kepemimpinanSaloth Sar yang sangat kejam dan otoriter tersebut.

3.3.2. Gaya Kepemimpinan Soeharto di Indonesia (Periode 1975-1970)

Tahun-tahun pemerintahan Soeharto diwarnai dengan praktik militeristik dan juga otoritarian di mana tentara memiliki peran yang dominan di dalamnya, khususnya pada awal masa kepemimpinan Soeharto di Indonesia. Kebijakan dwifungsi ABRI memberikan kesempatan kepada militer untuk berperan dalam bidang politik di samping perannya sebagai alat pertahanan negara. Demokrasi telah ditindas selama hampir lebih dari 30 tahun dengan mengatasnamakan kepentingan keamanan dalam negeri dengan cara pembatasan jumlah partai politik, penerapan sensor dan penahanan lawan-lawan politik. Sejumlah besar kursi pada dua lembaga perwakilan rakyat di Indonesia diberikan kepada militer, dan semua tentara serta pegawai negeri hanya dapat memberikan suara kepada satu partai penguasa yaitu Golkar.110

110

Warisan Soeharto. Dikutip melalu

(21)

Penulisakan menjabarkan tentang bagaimana gaya kepemimpinan otoriter dan militeristik yang diterapkan oleh Soeharto di Indonesia, secara khusus pada masa periode transisi dari Orde Lama ke Orde Baru tahun 1965-1970 yang merupakan awal dimulainya masa pemerintahanSoeharto pasca tragedi Gerakan 30 September / PKI 1965 dan dikeluarkannya Supersemar. Gaya kepemimpinan Soeharto saat itu dapat dilihat dari sejumlah kebijakan yang diterapkan oleh Soeharto dalam kurun waktu tersebut. Kebijakan-kebijakannya tersebut antara lain :

1. Bidang Sosial

Kebijakan dalam bidang sosial yang diterapkan oleh Soeharto saat itu antara lain :

a. Persekusi

Sebelum pengesahannya selaku Presiden Republik Indonesia pada tanggal 27 Maret 1968, kewenangan yang dimiliki Soeharto telah memungkinkannya untuk mengesahkan sejumlah peraturan/perundangan yang amat penting. Kesemuanya ini memberikan legitimasi baginya untuk naik ke panggung kekuasaan, memfasilitasi proses persekusi dan diskriminasi terhadap para anggota PKI dan orang-orang yang dituduh bersimpati dengan organisasi tersebut.111

111

(22)

b. Perampasan Pekerjaan dan Tanah, Kerja Paksa dan Stigmatisasi

Selama proses ini semua sekolah, tempat usaha dan perkebunan yang sebelumnya merupakan milik PKI ataupun simpatisannya ditutup, dan bangunannya secara fisik diambil alih oleh militer. Banyak dari hak milik ini yang kini merepresentasikan aspek bisnis Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang kontroversial. Banyak dari tahanan yang kemudian dikaryakan menjadi pekerja paksa untuk menggarap tanah yang sebenarnya adalah milik mereka sendiri yang telah dirampas. Beberapa di antara mereka ada juga yang diberikan upah sangat kecil, sedangkan selebihnya tidak menerima apa pun. Para tahanan biasa dipekerjakan untuk membangun proyek-proyek infrastruktur, seperti jalan raya, jembatan, waduk dan kanal.112

Proses terjadinya Stigmatisasi terhadap anggota keluarga dari para Tahanan Politik juga sangat dramatis. Stigmatisasi tersebut terus berlangsung sampai pembebasan para Tahanan Politik tersebut pada 1971. Stigmatisasi tersebut bahkan terus berlangsung pada generasi berikutnya dengan penolakan terhadap anak-anak mereka, ketika mendaftar ke Akademi Kepolisian setelah pihak Akademi mengetahui catatan penahanan ayahnya.113

Stigmatisasi terhadap korban 1965 dilestarikan melalui propaganda budaya populer lewat berbagai cara, seperti pertunjukan

112

John Rossa, Ayu Ratih dan Hilmar Farif (ed). Tahun yang Tak Pernah Berakhir; Memahami Pengalaman Korban ‘65. Jakarta : Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM). 2004. Hal. 141.

113

(23)

wayang dan pemutaran film “Pengkhianatan G30S/PKI”. Film yang diproduksi tahun 1984 dan disutradari oleh Arifin C. Noer itu ditayangkan secara rutin di televisi, dan dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah. Ada pula pembangunanmonumen dan pelaksanaan upacara, seperti monumen “Lubang Buaya” di Jakarta yang berfungsi untuk “mengingatkan” tindakan kejam yang dilakukan oleh Komunis. Semua proses ini melanjutkan stigma terhadap para korban 1965.114

Setelah peristiwa 30 September 1965, Soeharto dan kekuasaan de factonya atas TNI melancarkan tindak kekerasan masif hampir di seluruh Nusantara yang terus berkelanjutan sampai Maret 1966. Target pembunuhan dan penahanan paksa tersebut adalah semua orang yang dituduh sebagai anggota PKI, ataupun memiliki keterkaitan tidak langsung dengan organisasi-organisasi bawahannya PKI. Pembunuhan massal terjadi sebagian besar disebabkan karena kekuasaan dan kewenangan absolut yang disandang Soeharto untuk “mengambil segala langkah yang dianggap perlu” guna untuk menghancurkan PKI.

2. Bidang Politik

Kebijakan dalam bidang politik yang diterapkan pada masa kepemimpinan Soeharto saat itu antara lain :

a. Pembunuhan Massal dan Penangkapan Paksa

114

(24)

Banyak di antara orang-orang yang dibunuh, ditangkap dan juga ditahan, memiliki kaitan yang amat minim atau bahkan tidak ada hubungannya sama sekali dengan PKI. Di banyak wilayah, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, anggota-anggota Angkatan Bersenjata Indonesia di bawah naungan komando tertinggi Soeharto menjadi pelaku dari rangkaian tindak kekerasan tersebut. Lebih jauh lagi, militer memobilisasi laskar-laskar sipil, seperti organisasi pemuda, mahasiswa ataupun organisasi-organisasi massa berlatarkan keagamaan.115

“Kami memutuskan untuk mendorong kaum sipil anti-Komunis untuk membantu pekerjaan ini… Kami melatih mereka dua atau tiga hari, lalu mengirim mereka untuk membunuh orang Komunis.”

Di seluruh negeri, mayoritas pembunuhan massal dan penahanan paksa terjadi setelah kedatangan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie Wibowo menyatakan;

116

Pihak berwenang melancarkan pembunuhan dan penyiksaan, serta penahanan paksa terhadap orang-orang yang dituduh sebagai Komunis. Mayoritas pembunuhan dan penahanan paksa terjadi antara bulan September 1965 hingga Maret 1966. Jumlah persis orang yang dibunuh dan dihilangkan selama periode ini masih menjadi perdebatan sengit sampai kini. Disebutkan 800.000 jiwa

115

John Rossa, Ayu Ratih dan Hilmar Farif (ed).Op.Cit., hal. 29. 116

(25)

terbunuh di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan masing – masing 100.000 di Bali dan Sumatera.117Versi resmi memberikan gambaran berbeda-beda mulai dari 70.000, sampai dengan “sesumbar” yang diucapkan oleh Kolonel Sarwo Edhie misalnya, yang mengklaim bahwa tiga juta orang telah dibunuh.118Jumlah tersebut belum termasuk korban penangkapan, penahanan, penyiksaan, pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya, pengusiran, pemecatan, pengambilalihan properti, kerja paksa dan lain-lain. Berbagai organisasi korban dan Organisasi Non-Pemerintah, baik di Indonesia maupun di luar negeri, kerap merujuk angka sampai dengan satu juta orang yang terbunuh.119 Beberapa perkiraan yang “konservatif” menyatakan bahwa jumlah korban hanya mencapai level ratusan ribu jiwa.120

Pada dekade 1970-an, sejumlah prosedur dan peraturan baru ditetapkan, sehingga orang-orang yang hendak bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil harus menunjukkan sertifikat tanda ketidakterlibatan mereka di dalam peristiwa 30 September 1965. Rincian tentang kapan sertifikat tersebut dibutuhkan dan kepada b. “Pembersihan” Besar-Besaran, Penyaringan Ideologi, dan Pencabutan

Hak Suara

117 E. Alkhattab dan N. Rusli, Robert Cribb (ed). Pembantaian PKI Di Jawa dan Bali 1965-1966. Yogyakarta: Mata Bangsa. 2003. Hal. 15.

118

Manai Sophian.Kehormatan Bagi Yang Berhak : Bung Karno Tidak Terlibat G30S/PKI. Jakarta : Yayasan Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. 1994. hal. 344.

119

Human Rights Watch. Academic Freedom in Indonesia: Dismantling Soeharto-Era Barriers (Aug. 1, 1998) Bab III.

120

(26)

siapa saja itu berlaku, tercantum di dalam Instruksi Kopkamtib.121 Pimpinan Kopkamtib juga menetapkan satuan tugas untuk melakukan screening (penyaringan) ideologi.122 Lebih dari itu, beberapa panduan peraturan lainnya menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk golongan A, B, atau C tidak dapat berpartisipasi di dalam dinas kemiliteran, jika mereka tetap bekerjasebagai pegawai negeri sipil, maka mereka tidak berhak untuk mendapatkan promosi.123

Di sisi lain, korban 1965 tidak boleh berpartisipasi di dalam Pemilu, ataupun ikut berkampanye memperebutkan posisi legislatif, termasuk lokal, regional, ataupun pemilihan yang bersifat nasional.124 Pada tahun 1996, Direktur Jenderal Urusan Sosial Politik Soetoyo, menyatakan bahwa pada Pemilu 1971 sekitar 1,7 juta “mantan Komunis” dilarang untuk berpartisipasi. UU No. 4/1975 dan UU No. 1/1985 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang No 4 Tahun 1975 dan Undang-Undang No 2 Tahun 1980 memperbolehkan beberapa korban 1965 untuk berpartisipasi, tetapi hanya dengan izin dari pemerintah.125

121

Instruksi Kopkamtib No. KEP-06/KOPKAM/XI/1975 sesuai dengan“Perbaikan atas Prosedur untuk Mengeluarkan Surat Keterangan Bebas G-30-S/PKI”.

122

Ibid., sesuai dengan“Penetapan Satuan Tugas Screening Ideologi” (17 Desember 1975). 123

Surat Edaran BAKN No. 01/SE/1976 dengan acuan kepada Surat Keterangan Bebas G30S/PKI yang diwajibkan untuk promosi Pegawai Negeri.

124

Undang-Undang No. 15/1969 mengenai Pemilihan Anggota Badan Permusyawaratan Dewan Perwakilan Rakyat.

125

(27)

Melalui beberapa kebijakan Soeharto yang telah dipaparkan sebelumnya sangat jelas sekali terlihat gaya kepemimpinan otoriter dan berciri khas militeristik yang diterapkan oleh Soeharto saat itu, dimana ia menerapkan regulasi atau peraturan-peraturan yang sangat keras terhadap orang-orang yang waktu itu dianggap sebagai bagian dari PKI. Bahkan orang-orang yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan PKI waktu itu pun ikut menjadi “korban” dari kekejaman Soeharto saat itu.

3.4. Persamaan Dan Perbedaan

3.4.1. Persamaan

Terdapat beberapa persamaan yang dapat dijabarkan dari kepemimpinan yang diterapkan oleh Saloth Sar di Kamboja pada tahun 1975 sampai 1979 dan Soeharto di Indonesia pada tahun 1965 sampai 1970.

Pertama, Saloth Sar dan Soeharto menerapkan gaya kepemimpinan yang otoriter di negara mereka masing-masing.Keduanya sama sama menerapkan kebijakan yang sangat keras terhadap rezim sebelumnya di negara mereka masing-masing. Dimana “kebebasan” di masa pemerintahan mereka adalah sebuah hal yang langka, dikarenakan peraturan-peraturan yang Saloth Sar dan Soeharto terapkan di masing-masing negara sangat ketat dan mengikat. Kekuasaan mereka juga sangat absolut di negaranya, tidak ada yang boleh untuk mengkritisi kebijakan atau peraturan yang mereka buat di negaranya masing-masing.

(28)

tentara Khmer Merah nya dan Soeharto dengan TNI AD nya. Hal ini juga yang membuat gaya kepemimpinan Otoriter Saloth Sar dan Soeharto sangat militeristik, karena keduanya sama sama menerapkan peraturan di negara mereka dengan sistem komando dan sifatnya vertikal (dari atas ke bawah). Tentara Khmer Merah dan TNI AD memiliki peranan yang besar dalam penerapan peraturan yang dibuat oleh Saloth Sar di Kamboja dan Soeharto di Indonesia disaat mereka memimpin. Dalam karir militer, Saloth Sar dan Soeharto juga sama-sama berpangkat Jenderal.

Ketiga,Saloth Sar dan Soeharto juga sama-sama melakukan pembunuhan massal di negara mereka masing-masing. Pembunuhan massal ini bertujuan untuk menyingkirkan lawan politik dari rezim sebelum Saloth Sar dan Soeharto memimpin. Untuk di kamboja, orang-orang yang tergabung dalam rezim sebelum Saloth Sar memimpin, yaitu rezim Lon Nol pada tahun 1970, baik yang duduk di dalam pemerintahan maupun pendukung dari rezim Lon Nol, semuanya dieksekusi oleh Saloth Sar (selain rakyat Kamboja itu sendiri). Begitu pula dengan Soeharto yang memerintahkan “pembantaian” terhadap orang-orang yang tergabung dalam Partai Komunis Indonesia, baik anggota maupun simpatisannya, pada tahun 1965 sampai 1966.

3.4.2. Perbedaan

(29)

Komunisdengan perpaduan konsep Stalinis dan Maois.126 Sedangkan Soeharto adalah seorang Nasionalis yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai pancasila. Berbanding terbalik dengan Saloth Sar, Soeharto adalah orang yang sangat anti-komunis. Ini yang menjadikan kedua tokoh ini unik, dikarenakan Saloth Sar dan Soeharto memiliki ideologi yang sangat kontras dan berlawanan, namun dalam segi kepemimpinannya mereka memiliki gaya kepemimpinan yang sama.

126

(30)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang dilakukan penulis mengenai Perbandingan Gaya Kepemimpinan Saloth Sar Di Kamboja (1975-1979) Dan Soeharto Di Indonesia (Periode 1965-1970), maka penulis mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Kepemimpinan adalah berhubungan dengan proses mempengaruhi dari seseorang pemimpin kepada pengikutnya atau anggotanya guna mencapai tujuan organisasi dimana terdapat seni mengatur, mengelola dan mengarahkan orang dengan kepatuhan, kepercayaan, kehormatan, kerjasama, semangat, dan potensi-potensi yang ada guna mencapai tujuan yang di cita-citakan. Sedangkan Kepemimpinan Politik menunjukkan kepemimpinan berlangsung dalam suprastruktur politik (lembaga-lembaga pemerintahan), dan yang berlangsung dalam infrastruktur politik (partai politik dan organisasi kemasyarakatan).

(31)

lainnya.Sedangkan Otoritarianisme adalah bentuk organisasi sosial yang ditandai dengan penyerahan kekuasaan. Dalam politik, suatu pemerintahan otoriter adalah satu di mana kekuasaan politik terkonsentrasi pada suatu pemimpin.Otoritarianisme ini juga biasa disebut juga sebagai paham politik otoriter, yaitu bentuk pemerintahan yang bercirikan penekanan kekuasaan hanya pada negara atau pribadi tertentu, tanpa melihat derajat kebebasan individu.

(32)

4.2. Saran

Berdasarkan penelitian yang penulis telah lakukan, Penulis juga mengemukakan beberapa saran atas pembahasan mengenaiPerbandingan Gaya Kepemimpinan Saloth Sar Di Kamboja (1975-1979) Dan Soeharto Di Indonesia (Periode 1965-1970), yaitu sebagai berikut:

1. Sebaiknya gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh pemimpin sebuah negara atau organisasi janganlah bersifat kaku dan otoriter serta berorientasi pada pemikiran sendiri, namun tetap harus mempertimbangkan saran atau gagasan yang dikemukakan oleh masing-masing orang yang turut ambil bagian di dalam pemerintahan ataupun organisasi, karena mereka yang turut mengambil bagian di dalam pemerintahan suatu negara ataupun organisasi pastilah mempunyai ide atau gagasan yang dapat berkontribusi untuk dapat memajukan negara ataupun organisasi tersebut.

Gambar

Tabel 2.1

Referensi

Dokumen terkait

Dalam perspektip sosiologis, desa digambarkan sebagai bentuk kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan yang saling

Apakah tetangga di sekitar rumah anda memiliki profesi yang sama dengan profesi

Berangkat dari temuan tersebut, karena pentingnya pendidikan anak dalam lingkungan keluarga maka dilakukan penelitian dengan judul penelitian :“Analisis Pola Asuh Orang

Selain itu, dampak adanya perkebunan- perkebunan besar karet dan sentra-sentra pembibitan bibit unggul yang terdapat di wilayah Kabupaten Banyuasin juga telah

Berdasarkan hasil uji t disimpulkan bahwa kinerja keuangan perusahaan 1 tahun sebelum dengan 1 tahun sesudah go public pada rasio CR, DAR, DER, NPM, dan ROE menunjukkan tidak

Search engine atau mesin pencari adalah sebuah sistem perangkat lunak ( software ) yang didesain untuk melakukan pencarian tentang suatu informasi pada World Wide Web.. Hasil

Berdasarkan deskripsi hasil analisis data dan pengujian hipotesis penelitian yang telah dilakukan, maka dapat dijelaskan hubungan antara panjang tungkai, kecepatan

Laporan skripsi dengan judul “ Sistem Sertifikasi Laik Sehat pada Depot Air Minum di Dinas Kesehatan Kabupaten Kudus Berbasis Web ” telah dilaksanakan dengan