• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isolasi, pengklonan dan analisis ekspresi gen penyandi heat shock proteins (HSPs) dari ulat sutera Bombyx mori L. (Lepidoptera: Bombycidae) C301

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Isolasi, pengklonan dan analisis ekspresi gen penyandi heat shock proteins (HSPs) dari ulat sutera Bombyx mori L. (Lepidoptera: Bombycidae) C301"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi ulat sutera Bombyx mori L. (Lepidoptera: Bombycidae)

Ulat sutera termasuk kelompok serangga holometabola, yaitu hewan yang

mengalami metamorfosis sempurna. Hal ini berarti bahwa setiap generasi

me-lewati 4 stadia yaitu telur, larva, pupa dan imago. Selama metamorfosis, stadia

ulat adalah masa ulat makan. Masa ini merupakan masa yang sangat penting untuk

sintesis protein sutera dan pembentukan telur (Atmosoedarjo et al. 2000). Ulat

sutera mempunyai lebih dari 4000 strain. Ulat sutera B. mori berasal dari tetua B.

mandarina yang ditemukan di pohon murbei Cina, Jepang dan negara lain di Asia

Timur (Jingade et al. 2011).

Ulat sutera didomestikasi sudah cukup lama, menyebabkan kehilangan

ke-mampuan untuk hidup mandiri di alam bebas. Indra penciuman sudah sangat

ti-dak berfungsi, titi-dak mengenal lagi tanaman murbei dalam jarak beberapa

senti-meter, dan tidak dapat bergerak dari batang ke batang lain untuk mendapatkan

daun, karena kemampuan mobilitasnya sudah lemah. Daya pegangnya juga sangat

lemah, sehingga tidak mampu mempertahankan diri dari goncangan batang oleh

angin, atau oleh sebab-sebab lain. Ulat sutera sudah tidak dapat lagi melindungi

diri dari musuh dan tidak bisa bergerak cepat. Ngengatnya tidak bisa terbang

untuk berkopulasi dan sulit bertelur di daun murbei (Atmosoedarjo et al. 2000).

Setelah dipelihara selama beberapa ribu tahun di berbagai negara, maka ulat

sutera mempunyai banyak varietas yang diklasifikasikan berdasarkan sifat, yang

berhubungan erat dengan ekonomi dan teknik pemeliharaan sebagai berikut (1)

klasifikasi berdasarkan negara asal yaitu ras Cina, Jepang, Eropa, dan Tropis, (2)

(2)

polivoltin, dan (3) klasifikasi berdasarkan frekuensi ganti kutikula, yaitu three

moulter, four moulter, dan five moulter (Guntoro 1994).

2.1.1 Morfologi ulat sutera

Bentuk tubuh ulat terbagi menjadi 3 bagian utama, yaitu kepala, toraks, dan

abdomen (Gambar 2.1). Ulat sutera yang biasa dipelihara mempunyai bintik hitam

kecoklatan yang disebut bintik mata.

Gambar 2.1 Ulat sutera (Bombyx mori) instar V; A. thorax, B. segmen abdomen C. Crescent, D. Eye spots (mata), E. head, F. caudal, G. thorax legs, H. spiracles, I. stars spots, J. abdominal legs dan K. caudal legs

(Komoeniczak 2010)

a. Kepala

Kepala ulat sutera meskipun kecil memiliki struktur yang kompleks. Di

bagian kepala terdapat sepasang antena berfungsi sebagai alat indera. Antena

terdiri dari 3 ruas pendek. Di pangkal antena terdapat sepasang mandibula

(ra-hang) bersebelahan yang bergerak ke sisi untuk mengigit dan mengunyah daun

murbei. Daun yang digigit masuk melalui bagian mulut. Satu lingkaran kecil di

tengah di bawah mulut terdapat spinneret (Gambar 2.2). Spineret adalah saluran

tempat keluarnya filamen sutera. Filamen sutera keluar dari lubang yang ada di

(3)

tampak seperti antena kecil disebut maksila yaitu indera perasa yang berfungsi

untuk mengidentifikasi pakan. Disisi yang lain di dasar antena, terdapat 6 pasang

lingkaran kecil berbentuk setengah bulatan, yaitu oseli atau mata tunggal. Oseli

atau mata tunggal, tidak mengenal bentuk dari objek yang nampak, tetapi hanya

bisa melihat antara terang dan gelap. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada

Gambar 2.2 di bawah ini:

Gambar 2.2 Kepala ulat sutera dilihat dari depan (Omura 1980)

Ulat makan terus menerus apabila terdapat komponen gula (glukosida) pada

daun murbei (Nayar dan Fraenkel 1962). Respon makan dipengaruhi oleh jumlah

atau rasio dari stimulan makan. Interaksi sinergis maupun antagonis dari

campur-an rcampur-angscampur-angcampur-an kimia merupakcampur-an penentu ycampur-ang scampur-angat mempengaruhi palatabilitas

atau respon palatum terhadap pakan (Ishikawa et al. 1969).

Daun murbei hibrida untuk pakan tidak berpengaruh secara nyata terhadap

persentase kematian larva instar I-V, berat kokon, berat kulit kokon, persentase

kulit kokon, panjang filamen, berat filamen, persentase filament dan daya gulung

tetapi nyata berpengaruh terhadap rendemen pemeliharaan. Secara umum semua

jenis murbei dapat digunakan untuk pakan ulat sutera (Pudjiono dan Na’iem

2007). Pada saluran pencernaan B. mori terdapat senyawa bersifat alkalin dan

(4)

Jumlah bakteri selulolitik dalam saluran pencernaan meningkat pada setiap instar

(Anand et al. 2009).

b. Toraks dan abdomen

Tubuh ulat sutera terdiri dari 13 segmen yang terdiri dari satu segmen pada

kepala, tiga segmen toraks dan sembilan segmen abdomen (Gambar 2.3). Pada

bagian paling depan, kepala dibungkus kulit keras yang berwarna hitam

kecok-latan. Selanjutnya ada 3 segmen tersusun berurutan yaitu protoraks, mesotoraks,

dan metatoraks. Sembilan segmen terakhir disebut abdomen. Segmen ke 3,4,5,6

dan segmen terakhir masing-masing mempunyai sepasang kaki, yang disebut kaki

abdomen.

Gambar 2.3 Toraks dan abdomen ulat sutera (Omura 1980)

Kaki abdomen terakhir yang paling besar disebut kaki kaudal. Kaki

abdo-men tidak mempunyai segabdo-men dan disebut proleg, sedangkan tanduk yang ada

pa-da segmen ke-8 disebut tanduk kaupa-dal.

2.1.2 Perbedaan antara ulat jantan dan betina

Pada Gambar 2.4 terlihat perbedaan ulat jantan dan betina. Pada ulat jantan

terdapat satu titik dari kelenjar Herold pada abdomen berbatasan antara segmen

abdomen ke-8 dan 9, sedangkan ulat betina sepasang bintik kecil pada bagian

(5)

dan belakang. Waktu yang paling tepat untuk membedakan kedua jenis kelamin

adalah pada awal instar V, tepat setelah molting yang ke-4. Karakteristik ini sulit

dilihat dengan mata biasa, tetapi dapat dibantu dengan menggunakan kaca

pembe-sar atau hanya dapat dilakukan oleh para ahli.

Gambar 2.4 Perbedaan ulat jantan dan betina bagian perut segmen belakang (Omura 1980)

Siklus hidup ulat sutera antara 50 hingga 60 hari termasuk periode

inku-basi, tahapan ulat, pupa, dan imago serta akan berakhir saat setelah imago kawin.

Telur ulat sutera berbentuk kecil, rata, dan elips, dilapisi dengan lapisan keras

(kulit telur). Bentuk dan ukurannya sangat kecil. Ukuran telur berdiameter 1 mm

(Lamarque dan Gros 1945). Pada ujung telur terdapat micropyle yaitu tempat

sperma memasuki sel telur. Telur yang baru menetas berwarna putih susu atau

ku-ning keruh yang terdiri dari warna chorion (kulit telur), serosa dan kuning telur

(komponen dalam isi telur). Setelah hari ke-2 atau ke-3, warna telur mulai

beru-bah, hari ke-6 dan ke-7, warna telur berubah menjadi abu-abu sampai ungu gelap

(Sinchaisri 1993).

Ulat yang baru menetas mempunyai panjang 3 mm, diselimuti oleh

rambut-rambut tipis dan berwarna hitam. Selama stadia ulat mengalami pergantian

kuti-kula sebanyak empat kali. Selama masa pergantian kutikuti-kula, ulat mengalami masa

(6)

(moulting). Selama pergantian kutikulapertama, ulat sutera memproduksi kutikula

baru untuk menggantikan kutikula lamanya. Setelah itu ulat kembali makan,

tum-buh dan memasuki instar selanjutnya. Instar I sampai instar III disebut ulat kecil,

sedangkan instar IV dan V disebut ulat besar. Total periode ulat dari penetasan

hingga membentuk kokon yaitu 25 hingga 30 hari (Sinchaisri 1993).

Pergantian kutikula adalah suatu proses yang kompleks dan dikendalikan

oleh hormon-hormon tertentu dalam tubuh. Molting meliputi lapisan kutikula

din-ding tubuh, lapisan kutikula trakea, saluran pencernaan depan dan belakang, serta

struktur endoskeleton. Proses pergantian kutikula serangga dipengaruhi oleh

hor-mon. Hormon merupakan sinyal kimia (chemical signals) atau pembawa pesan

ki-mia (chemical messenger) yang dikirim dari sel dalam bagian tubuh tertentu ke

sel-sel dalam bagian tubuh lainnya pada individu organisme yang sama. Moulting

pada serangga diatur oleh hormon 20-hydroxyecdysone steroids (ecdysterone atau

ecdysteroids, 20HE), JH-sesqui terpenoid, hormon eclosion, dan hormon bursicon

(Klowden 2007).

Proses moulting terdiri dari tiga tahap, yaitu apolysis, ecdysis, dan

skleroti-nisasi. Ketiga tahap tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Apolysis yaitu pelepasan kutikula lama. Pada tahap ini, hormon moulting

dile-paskan ke dalam hemolimf dan kutikula lama terpisah dari sel epidermis yang

berada di bawahnya. Ukuran epidermis akan meningkat karena mitosis dan

kemudian kutikula baru dihasilkan. Enzim yang disekresikan oleh sel

epider-mis mencerna endokutikula lama.

b. Ecdysis yaitu pembentukan kutikula baru. Tahap ini dimulai dengan pemisahan

kutikula lama, biasanya dimulai pada garis tengah sisi dorsal toraks. Pemisahan

(7)

oleh kontraksi otot abdomen yang disebabkan karena serangga menerima udara

atau air. Setelah ini, serangga akan keluar dari kutikula lama.

c. Sklerotinisasi yaitu pengerasan kutikula baru. Kutikula baru yang baru

terben-tuk sangat lembut dan pucat sehingga ini merupakan saat yang sangat rentan

bagi serangga. Dengan demikian, serangga harus melakukan pengerasan (

har-dening) terhadap kutikula baru tersebut. Sklerotinisasi terjadi setelah satu atau

dua jam, dimana eksokutikula akan mengeras dan menjadi gelap. Pada

serang-ga dewasa, sayap akan berkembang karena kekuatan hemolimf yang masuk

melalui vena sayap (Klowden 2007).

Pertumbuhan dan perkembangan serangga diselingi oleh periode moulting

yang diatur oleh steroid 20-hydroxyecdysone (20-HE, hormon moulting,

ecdyste-rone) dan JH sesquiterpenoid (Klowden 2007). Pada tahap dewasa, kedua

hor-mon ini juga terlibat dalam pengaturan pematangan reproduksi (Dhadialla et al.

1997).

Proses pembentukan eksoskeleton yang baru, diawali dengan adanya input

sensorik dari tubuh serangga mengaktifkan sel-sel saraf (neurosecretory cells)

tertentu dalam otak. Sel saraf ini menanggapinya dengan mengeluarkan hormon

otak yang memicu corpora cardiaca untuk melepaskan prothoracicotropic

hor-mone (PTTH) ke dalam sistem peredaran darah. PTTH selanjutnya merangsang

kelenjar prothoracic (prothoracic glands) untuk mengeluarkan hormon moulting,

yaitu ecdysteroids atau 20-hydroxyecdysone steroids (Meyer 2005). Dari sinilah

proses moulting mulai berlangsung, diawali dengan peningkatan titer 20HE dan

diakhiri dengan penurunan titer 20HE dan pelepasan hormon eclosion (Klowden

2007). Peningkatan titer 20HE mengakibatkan epidermis terpisah dari kutikula

(8)

eksu-vial), selanjutnya ruang eksuvial diisi oleh cairan molting yang mengandung

en-zim inaktif, chitinolytic (chitinase dan protease) yang mampu mencerna kutikula

lama begitu teraktivasi (Klowden 2007). Sementara itu, sel-sel epidermis

teror-ganisir kembali untuk sintesis sejumlah besar protein serta sekresi epikutikula dan

kutikula baru. Setelah titer 20HE mulai menurun, enzim dalam cairan moulting

di-aktifkan untuk memulai proses pencernaan prokutikula (endokutikula yang tidak

tersklerotisasi). Setelah proses ini selesai, cairan moulting diserap kembali dan

terjadi pengerasan preecdysial kutikula baru (Reynolds 1987).

Apabila titer 20HE menurun ke tingkat basal, kutikula lama terlepas (

ec-dysis) dengan diawali pelepasan crustaceancardioaktive peptide (CCAP), hormon

eclosion, dan ecdysis-triggering hormone, yang bersama-sama bekerja pada

se-jumlah target yang memastikan selesainya proses moulting. Hormon Eclosion

(EH) memulai pelepasan CCAP dari sel-sel ventral ganglion yang menonaktifkan

perilaku preecdysis dan bersama-sama dengan EH mengaktifkan perilaku

ecdy-sis. CCAP bertanggung jawab sebagai motor pemicu dalam menyelesaikan

ecdy-sis. EH juga terlibat bersama hormone bursicon untuk pengerasan kutikula.

Pertumbuhan dan perkembangan serangga diatur oleh 20HE, JH, EH, dan

neuro-hormon lainnya (Klowden 2007).

Perubahan morfologi dan ultra-struktural yang terjadi pada epidermis

se-lama pertumbuhan dan perkembangan serangga tergantung pada pengaturan

eks-presi gen dengan titer yang berbeda dari 20HE dengan ada atau tanpa JH

(Rid-diford 1996). Setiap gangguan dalam homeostasis dari satu atau lebih hormon ini

dengan sumber eksogen dari hormon atau dengan analog sintetis (agonis atau

antagonis) akan mengakibatkan gangguan atau pertumbuhan dan perkembangan

(9)

hor-mon-hormon yang terlibat dalam sintesis dan reabsorbsi kutikula akan merugikan

kelangsungan hidup pada tahap perkembangan (Dhadialla et al. 1997).

Saluran pencernaan tengah atau mesenteron adalah bagian utama untuk

pen-cernaan makanan, penyerapan nutrisi dan penyedia substansi barrier. Pada ulat

instar V sangat penting untuk pertumbuhan, perkembangan dan produksi sutera.

Pada mesenteron ditemukan 96 jenis protein dan memproduksi 10 kDa protein

dan prekusor hormon diapause (Zhang et al. 2011).

2.1.3 Tahapan pupa

Sekitar lima atau enam hari ulat mulai membentuk kokon. Ulat sutera

ber-ubah bentuk di dalam kokon menjadi pupa (Gambar 2.5).

Gambar 2.5 Perkembangan proses pembentukan pupa ulat sutera (Atmosoedarjo

et al. 2000)

Pupa berwarna kuning keputihan dan lembek namun secara bertahap akan

mengeras. Periode pupa selama 11 hingga 12 hari (Sinchaisri 1993). Struktur

da-lam dari pupa berbeda dengan ulat atau imago, akan tetapi lebih mendekati imago.

Tubuh pupa histolisis dari organ ulat dan histogenesis dari organ imaginal. Organ

ulat yang mengalami histolisis adalah kelenjar sutera, kaki abdomen, oseli,

ke-lenjar ganti kulit dan tanduk kaudal. Bagian mulut, kaki toraks, organ

pen-cernaan, tubula malpigi, otot dan badan lemak mengalami perubahan besar

(10)

di stadia pupa, dan pada stadia ini dapat dibedakan antara jantan dan betina

(Gambar 2.6).

Gambar 2.6 Organ seksual dari pupa (Shimizu dan Tajima 1972)

2.1.4 Tahapan imago

Waktu keluarnya ngengat biasanya terjadi di pagi hari. Ngengat membasahi

kulit kokon dengan sekresi alkalin dan merusak kokon, mendorong kokon hingga

dapat keluar. Ngengat kemudian melebarkan sayap dan mengeringkannya.

Nge-ngat betina kemudian akan membiarkan kelenjar seksual mengembung untuk

me-mikat ngengat jantan (Sinchaisri 1993).

2.2 Ras ulat sutera

Ras ulat sutera unggul memiliki produksi kokon yang tinggi dan dapat

menghasilkan benang sutera dengan kualitas yang baik. Ras ulat sutera yang

se-ring dilakukan budidaya adalah ras Cina, Jepang, Eropa dan Tropika.

Masing-masing ras memiliki keunggulan dan kelemahan yang berbeda. Di Indonesia yang

telah banyak dikembangkan adalah ulat sutera ras Cina, Jepang, dan hasil

persi-langan dari ras Jepang dengan Cina. Ras Cina dan Jepang ini disamping memiliki

keunggulan juga memiliki beberapa kelemahan, seperti kokon yang tipis, tidak

rentan terhadap penyakit dan umur produksi yang panjang. Tetapi dengan

menyi-langkan kedua ras tersebut kelemahan-kelemahannya dapat dikurangi dan sifat

(11)

ras dapat dilihat pada Tabel 2.1. Kombinasi kemampuan ras ulat sutera B. morí

seperti ras KA, CC1, CA2, NB4D2 dan NB18 telah disilangkan dan dianalisis.

Analisis karakter kualitas benang masing-masing ras menunjukkan hasil yang

berbeda (Bhargava et al. 1995).

Tabel 2.1 Ciri-ciri dan karakteristik ras ulat sutera

No. Jenis Ras Ciri-ciri dan Karakteristik

1 Ras

Jepang

Imago bertelur banyak, siklus hidup panjang, bentuk ulat kecil, kokon berwarna kuning atau hijau berlekuk di tengahnya, tebal seperti kacang tanah sehingga produksi kokon lebih tinggi, umur produksinya relatif lebih panjang atau lama, varietas univoltin dan bivoltin. Ras ini memiliki kecepatan tumbuh yang medium.

2 Ras Cina Imago peka terhadap kelembaban yang tinggi, lebih lemah sehingga lebih rentan terhadap serangan penyakit, kokonya berbentuk jorong berwarna putih, kuning emas, kehijauan dan merah jambu. Bentuk kokon bulat, lapisan kokon tipis sehingga produksi serat suteranya lebih rendah dibandingkan ulat sutera ras Jepang, serat suteranya halus dan mudah di pintal, umur produksinya lebih pendek atau cepat, univoltin dan bivoltin serta memiliki kecepatan tumbuh yang cepat.

3 Ras

Eropa

Telur dan ulatnya berukuran besar dengan siklus hidup yang panjang, kokonnya berukuran besar dengan sedikit lekuk di tengahnya, warna kokon putih atau kemerahan, serat suteranya panjang, imago tidak tahan hidup di daerah panas, jenis univoltin, tumbuh lambat dan tidak kuat, sehingga hanya dapat dipelihara di musim semi yang hangat di daerah subtropis saja.

4 Ras

Tropis

Ngengat hidup di daerah tropis, tahan terhadap suhu panas, dan kokon berukuran kecil, polivoltin, mempunyai telur kecil dan ringan, ulat kecil tetapi kuat dan tumbuh sangat cepat, bentuk kokon seperti kumparan, mempunyai banyak serabut (floss) dan kulit kokon tipis, sehingga produksinya rendah.

2.3 Genetika dan pemuliaan ulat sutera

Ulat sutera merupakan hewan penelitian yang ideal sehingga mendapat

per-hatian besar dari para ahli genetika di seluruh dunia. Hal ini dapat dilihat dari

ban-yaknya sifat yang diturunkan, baik pada telur, larva, pupa, maupun imago. Ulat

(12)

gene-rasi pertahun. Ulat sutera mempunyai sifat kualitatif dan kuantitatif, dengan

jum-lah kromosom 56 buah yang terdiri dari 27 pasang kromosom tubuh dan 1 pasang

kromosom seks. Kromosom seks betina adalah heterogamet dengan formula

kro-mosom ZW, sedangkan yang jantan homogamet dengan formula ZZ. Krokro-mosom

yang menentukan jenis kelamin betina adalah kromosom W (Atmosoedarjo et al.

2000).

Menurut Brasla dan Matei (1997) tujuan dan sasaran pemuliaan ulat sutera

adalah untuk meningkatkan hasil kokon dan benang sutera serta untuk

menda-patkan jenis ulat sutera yang sesuai dengan masing-masing kondisi lingkungan.

Peningkatan kualitas bibit ulat sutera perlu dilaksanakan di Indonesia, karena bibit

yang digunakan berasal dari daerah sub-tropis, yang biasa dipelihara pada kondisi

optimum. Untuk kondisi tropis seperti Indonesia yang agroklimatnya berfluktuasi,

kualitas pakan rendah dan kemampuan para pemelihara ulat terbatas, diperlukan

jenis ulat yang lebih kuat. Untuk meningkatkan kualitas bibit ulat sutera ada

bebe-rapa cara yang sudah dikenal yaitu seleksi, persilangan, gabungan antara

persi-langan dan seleksi, serta rekayasa genetika (Atmosoedarjo et al. 2000).

2.3.1 Seleksi

Dipandang dari segi genetik, seleksi diartikan sebagai suatu tindakan untuk

membiarkan ternak tertentu bereproduksi, sedangkan ternak lainnya tidak diberi

kesempatan bereproduksi. Seleksi dapat dibagi menjadi dua, yaitu seleksi alam

dan seleksi buatan. Seleksi alam meliputi kekuatan-kekuatan alam yang

menentu-kan ternak-ternak amenentu-kan bereproduksi dan menghasilmenentu-kan keturunan untuk

melanjut-kan proses reproduksi. Ternak yang dapat beradaptasi dengan lingkungannya dan

(13)

bereproduksi. Kemampuan ternak untuk bertahan hidup dipengaruhi oleh faktor

genetik.

Pada ulat sutera, seleksi dilakukan bertahap pada galur induk, dimulai dari

telur, ulat, kokon, pupa, dan imago, sehingga hanya individu yang baik saja yang

terpilih untuk bibit. Tujuan seleksi pada setiap stadia berlainan. Pada stadia telur,

bertujuan untuk mendapatkan jumlah telur per induk yang tinggi, penetasan yang

seragam dan persentase penetasan yang baik. Seleksi ulat bertujuan untuk

men-dapatkan keseragaman pertumbuhan, umur ulat yang pendek, dan rendemen

pe-meliharaan yang tinggi. Dalam seleksi harus diperhatikan, bahwa sifat yang

pen-ting secara ekonomi dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Oleh karena

itu, dalam pemeliharaan untuk galur terseleksi, efek lingkungan harus diusahakan

sekecil mungkin, sedang variasi genetik harus dianalisis dan dievaluasi dalam

memilih galur yang spesifik secara efisien, ketika didapatkan telur dari induk

unggul, kokon galur induk berbentuk kacang dan oval disilangkan untuk menguji

sifat dari hibrid, karena meskipun galur murninya unggul tidak selalu

menghasil-kan hibrid yang berkualitas baik (Atmosoedarjo et al. 2000).

2.3.2 Persilangan

Pendekatan yang digunakan untuk memperbaiki kualitas genetik hewan atau

ternak, yaitu dengan sistem persilangan. Persilangan adalah perkawinan antar

in-dividu, yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dalam populasi. Persilangan

biasanya berdampak pada peningkatan daya hidup. Persilangan memiliki tingkat

kesuburan, daya tumbuh dan daya tahan yang lebih tinggi. Gejala ini disebut

(14)

Pada ulat sutera, persilangan dilakukan antar galur yang berasal dari daerah

yang berbeda agar sifat-sifat unggul atau karakteristik yang dimiliki

masing-masing galur dapat bergabung pada hibridnya. Persilangan digunakan secara luas

dalam rangka memperbaiki kualitas jenis ulat dengan mengeksploitasi gen-gen

unggul (Atmosoedarjo et al. 2000).

Menurut Razdan et al. (1994) yang paling penting diperhatikan dalam

per-silangan untuk membentuk galur baru maupun hibrid baru adalah karakter spesifik

dari masing-masing ras. Hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam persilangan

adalah sifat yang dipilih, sistem persilangan, induk yang digunakan, lingkungan

dan seleksi. Untuk mendapatkan galur unggul terdapat masalah dalam pemilihan

induk untuk persilangan, mengingat daya gabung tergantung dari interaksi yang

kompleksitas dari gen-gen yang tidak dapat ditentukan hanya dari penampilan

induk-induknya. Oleh karena itu perlu dicoba sebanyak mungkin persilangan,

sebelum hasil terbaik dapat ditentukan.

2.3.3 Efek heterosis dan maternal

Silang luar berpengaruh dalam meningkatkan proporsi gen-gen yang

hetero-zigot dan menurunkan proporsi gen yang homohetero-zigot namun tidak mempengaruhi

frekuensi genotip. Perubahan derajat heterozigositas tergantung dari hubungan

kerabatan ternak yang disilangkan. Jika ternak yang tidak memiliki hubungan

ke-luarga disilangkan, maka keturunannya cenderung menampilkan performa yang

lebih baik dari rataan performa tetuanya untuk sifat-sifat tertentu. Fenomena ini

disebut hibrid vigor yang nilainya dapat diukur. Pengukuran kuantitatif hibrid

vigor disebut heterosis. Heterosis didefinisikan sebagai persentase peningkatan

(15)

dikatakan ada jika rataan performa ternak hasil persilangan melebihi rataan tetua.

Laju peningkatan heterozigositas akibat silang luar tergantung pada perbedaan

genetik dari tetuanya. Makin jauh hubungan kekerabatannya antara kedua ternak

tersebut maka makin sedikit kesamaan gen-gennya dan makin besar pula tingkat

heterozigositasnya (Noor 2005). Nilai heterosis untuk setiap sifat berbeda dan

tingkat heterosis bagi masing-masing sifat pun ternyata tidak konsisten atau

bervariasi, karena susunan genetik dari induk yang terlibat dalam persilangan

berlainan (Atmosoedarjo et al. 2000). Pewarisan maternal terdapat apabila faktor

yang menentukan sifat keturunan terdapat di luar inti nukleus dan pemindahan

faktor itu hanya berlangsung melalui sitoplasma. Pengaruh maternal ada apabila

genotip diwariskan dari induk betina menentukan fenotip dari keturunan.

Faktor-faktor keturunan berupa gen-gen yang berasal dari inti dipindahkan oleh kedua

jenis kelamin, dan dalam persilangan-persilangan tertentu sifat-sifat keturunan itu

mengalami segregasi mengikuti pola Mendel. Pengaruh maternal berasal dari

sito-plasma sel telur yang telah dimodifikasi oleh gen-gen yang dipindahkan secara

kromosomal (Suryo 1995).

Cara untuk mengetahui adanya pengaruh maternal, biasanya para pemulia

ulat sutera melakukan perkawinan secara resiprokal untuk menghasilkan

persi-langan yang paling baik. Menurut Welsh (1991) persipersi-langan resiprokal adalah

per-silangan antara dua induk, dimana kedua induk berperan sebagai pejantan dalam

suatu persilangan, dan sebagai betina dalam persilangan yang lain. Seleksi

ber-ulang resiprokal memperbaiki kemampuan berkombinasi spesifik maupun umum.

Cara yang ditempuh adalah dengan melakukan seleksi terhadap dua populasi

da-lam waktu yang bersamaan. Bukti-bukti adanya fenomena pewarisan terpaut

(16)

Tazima (1964) terhadap galur yang menghasilkan bobot kulit kokon. Persilangan

resiprokal menghasilkan bobot kulit kokon berbeda pada keturunan pertama dan

kedua pada masing-masing kelamin. Pengaruh gen terpaut kelamin diindikasikan

bervariasi tinggi terhadap bobot kulit kokon pada kedua jenis kelamin

keturu-nannya. Penyebabnya adalah adanya gen utama yang mengontrol sifat-sifat

dewasa terpaut pada kromosom Z yang mempengaruhi ekspresi karakter

kuan-titatif dan aksinya dimodifikasi oleh gen autosomal (Tazima 1964).

Salah satu faktor yang mengakibatkan pewarisan maternal adalah

keberada-an mitokondria pada sel telur. Mitokondria memiliki perkeberada-angkat genetik sendiri

yaitu DNA mitokondria atau sering disingkat mtDNA. mtDNA ini mempunyai

karakteristik yang khas dan diwariskan secara maternal atau pola pewarisannya

hanya melalui garis ibu. Hal ini disebabkan karena sel telur memiliki jumlah

mito-kondria yang lebih banyak dibandingkan sel sperma. Mitomito-kondria dalam sel

sper-ma banyak terkandung di bagian ekor karena bagian ini sangat aktif bergerak

se-hingga membutuhkan banyak ATP. Pada saat terjadi pembuahan sel telur, bagian

ekor sperma dilepaskan sehingga hanya sedikit atau hampir tidak ada mtDNA

yang masuk ke dalam sel telur. Selain itu, dalam proses pertumbuhan sel jumlah

mtDNA secara paternal semakin berkurang. Oleh karena itu dapat dianggap tidak

terjadi rekombinasi sehingga dapat dikatakan bahwa mtDNA bersifat haploid, dan

diturunkan dari ibu ke seluruh keturunannya (Wallace et al. 1996).

2.4 Fenomena heat shock

Heat shock adalah proses cedera termal yang disebabkan oleh peningkatan

suhu secara mendadak dalam molekul biologis seperti DNA, RNA, lipid, dan

(17)

ke-lainan pada tingkat sel. Pola yang normal menghentikan sintesis protein. RNA

transfer dan RNA ribosomal memiliki konformasi yang longgar sehingga

menye-babkan degradasi. DNA mengalami kehilangan kemampuan untuk berfungsi

dengan baik. Ada agregasi protein berfilamen pada inti membentuk sitoskeleton

dan pada saat yang sama pH cairan tubuh turun. Kenaikan suhu menyebabkan

pe-ningkatan energi kinetik dari makromolekul, penurunan ikatan ion, ikatan

hidro-gen, Van-der-Wals dan meningkatkan interaksi hidrofobik. Protein mengalami

denaturasi dan membatasi akses enzimatik DNA menyebabkan skala besar

keru-sakan DNA. Stres panas akhirnya menyebabkan kematian sel. Efek lain yang

pa-ling penting dari pengaruh suhu atau stres dalam bentuk apapun adalah pada

protein seluler. Protein seluler biasanya berfungsi dalam sel pada 1) sintesis de

novo dari polipeptida dan perakitan protein, 2) transportasi intra seluler dan

organel, 3) selama atau setelah terpapar stres protein mengalami denaturasi. Pada

perakitan protein dapat mengalami interaksi yang tidak pantas satu sama lain atau

dengan komponen seluler lainnya. Interaksi tersebut dapat menghasilkan agregat

protein dan mengurangi protein fungsional dan akibat terburuk adalah sitotoksik

(Feder 1996).

Paparan singkat pada sel dengan suhu tinggi diharapkan akan memberikan

perlindungan kepada organisme dari paparan suhu berikutnya yang lebih parah.

Kejut panas yang diberikan pada Drosophila subobscura yang bertujuan untuk

mengadaptasikan perubahan suhu pemeliharaan. Selanjutnya dinyatakan bahwa

pemberian kejut panas secara bertahap menunjukkan kelangsungan hidup dan

aklimatisasi serangga pada suhu yang lebih tinggi (Dingley dan Smith 1968).

Ritossa (1962) melaporkan bahwa panas dapat meningkatkan metabolisme

(18)

Hal ini diamati ketika larva Drosophila pada suhu 27oC-37oC muncul kromosom

politen. Penemuan ini mengawali diidentifikasinya heat-shock protein (Hsp). Pada

pertengahan tahun 1980-an, peneliti mengakui bahwa Hsp berfungsi sebagai

mo-lekul chaperone. Molekul chaperone adalah jenis protein yang memungkinkan sel

untuk mengatasi masalah protein setelah stres. Protein heat shock melakukan

peran ini dengan membentuk polipeptida baru atau protein yang terungkap selama

proses seluler normal, sedangkan yang diinduksi Hsp berfungsi dalam

menang-gapi denaturasi protein akibat stres. Menurut Kregel (2002), faktor kejut panas

(Hsfs) terdapat dalam sitosol, terikat oleh protein heat shock (Hsp) dalam keadaan

tidak aktif. Sebuah rangsangan fisiologis (stres) diperkirakan dapat mengaktifkan

Hsfs, untuk memisahkan diri dari Hsp. Hsfs terfosforilasi oleh protein kinase dan

membentuk trimer di sitosol. Hsf trimer kompleks memasuki inti dan

memanas-kan elemen kejut panas (Hse) di wilayah promotor dari gen Hsp, mRNA Hsp

di-transkripsi dan meninggalkan inti menuju sitosol, kemudian Hsp baru disintesis.

Induksi gen Hsp dapat dilakukan dengan memberikan rangsang berupa etanol,

logam berat, hipoksia, hiperoksia, perubahan pH, radikal bebas, berbagai racun

dan toksin, iskemia, kejutan osmotik, radiasi pengion dan faktor lingkungan

lainnya (Feder 1996).

2.4.1 Jenis dan fungsi heat shock proteins (Hsp)

Heat-shock proteins diklasifikasikan berdasarkan urutan homologi dan berat

molekul terdiri atas : Hsp110, Hsp100, Hsp90, Hsp70, Hsp40, Hsp10 dan

kelom-pok protein heat-shock kecil. Suhu ambang batas untuk induksi Hsp berkorelasi

dengan suhu yang khas di mana spesies hidup. Spesies termofilik memiliki batas

(19)

pola karakteristik dan ekspresi Hsp khas (atau non ekspresi) selama berbagai

ta-hap perkembangan, termasuk gametogenesis, embriogenesis dan metamorfosis.

Studi ekstensif telah dilakukan pada respon heat shock oleh banyak peneliti pada

berbagai spesies serangga seperti Drosophila sp. (Tissiers et al. 1974; Lindquist

1980; Gilchrist dan Huey 1999; Karunanidhi et al. 1999), Locusta migratoria

(Whyard et al. 1986), Anopheles stephensi (Nath dan Lakhotia 1989), Manduca

hornworm-Sexta (Fittinghoff dan Riddiford, 1990), Sarcophaga crassipalpis

(Joplin dan Denlinger 1990) dan Lymantria dispar (Denlinger et al. 1992).

Studi ekspresi Hsp di alam dan respons terhadap rangsangan laboratorium

masih sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa pola ekspresi gen Hsp berkorelasikan

dengan lingkungan alam spesies tersebut (Lindquist 1980; Huey dan Bennet 1990;

Sarge et al. 1995; Somero 1995). Sejumlah peneliti menyatakan bahwa Hsp

bertanggungjawab pada proses thermotolerance (Morimoto et al. 1994).

Per-cobaan yang dilakukan dengan cara menghilangkan gen Hsp atau menghambat

ekspresi menunjukkan penurunan thermotolerance (Sanchez dan Lindquist 1990;

Craig dan Jacobsen 1984; Johnston dan Kucey, 1988). Demikian juga penyisipan

gen Hsp-70 meningkatkan thermotolerance pada sel (Li et al. 1991; Solomon et

al. 1991; Li dan Duncan 1995) dan organisme (Welte et al. 1993; Feder et al.

1996).

2.4.2 Bibit larva toleran terhadap panas.

Banyak faktor dikaitkan dengan kinerja yang buruk dari jenis ulat bivoltin

pada kondisi tropis. Aspek utama adalah banyak karakter kuantitatif menurun

ta-jam ketika suhu lebih tinggi dari 28oC. Risiko hibridisasi polivoltin ke bivoltin

(20)

mendapatkan hibrida yang produktif sejauh ini belum ditemukan hasil yang

me-muaskan. Pemeliharaan ulat pada suhu tinggi menurunkan kualitas kepompong

(Tazima dan Ohuma 1995). Satu-satunya cara adalah mengembangkan keturunan

bivoltin dengan teknik gen ketahanan serta mengubah masa pemeliharaan pada

kondisi suhu tinggi.

Evegnev et al. (1987) mempelajari respon panas dalam sel B. mori dan

me-nemukan bahwa peningkatan suhu dapat mengaktifkan transkripsi mRNA heat

shock dalam sel yang terpapar, tetapi pada tingkat translasi heat shock gagal

menginduksi sintesis Hsp dan tidak mampu menghambat produksi polyhedrin

da-lam sel tersebut. Joy dan Gopinathan pada tahun 1995 melaporkan munculnya pita

protein pada 93, 70, 46 dan 28 kDa untuk paparan suhu tinggi pada B. mori strain

bivoltin dan multivoltin, tetapi dengan kinetika yang bervariasi. Pada sel hemosit

dari ras multivoltin terdapat induksi protein 70 kDa. Lee et al. (2003) menyatakan

bahwa kloning fragmen DNA mengandung daerah promotor untuk gen

pengko-dean homolog Hsc70-4 dari urutan cDNA parsial yang terdaftar di basis data EST

Bombyx mori. Urutan asam amino 649 pb adalah 89% sampai 96% identik dengan

yang berasal dari Drosphilla melanogaster Hsc-4 dan Meduca sexta Hsc70-4.

Analisis ekspresi menunjukkan bahwa transkripsi mRNA terjadi di semua

jaring-an yjaring-ang diperiksa djaring-an tidak dirjaring-angsjaring-ang oleh heat shock. Jadi Hsc70-4 adalah

mo-lekul chaperon yang terdapat di setiap jaringan B. mori. Dalam penelitian terbaru

Vasudha et al. (2006) menyatakan ekspresi diferensial dari Hsps pada larva

dengan ukuran 90 kDa pada instar pertama, kedua dan ke-tiga, 84 kDa pada instar

keempat dan 84, 62, 60, 47 kDa dan 33 kDa pada instar V. Untuk mencapai

keberhasilan dibutuhkan (1) pemahaman mekanisme toleransi suhu pada ulat, (2)

(21)

menginduksi ekspresi, (3) memahami pola diferensial ekspresi Hsp berbagai

bivoltin dan ras polivoltin dan (4) menemukan gen Hsp yang bertanggung jawab

Gambar

Gambar 2.1  Ulat sutera (Bombyx mori)  instar V; A. thorax, B. segmen abdomen   C. Crescent, D
Gambar 2.2 di bawah ini:
Gambar  2.3 Toraks dan abdomen ulat sutera (Omura 1980)
Gambar 2.4 Perbedaan ulat jantan dan betina bagian perut segmen belakang     (Omura 1980)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Reason for change:  A GML 3.2 binding of the O&M schemas is required for applications that wish to use the current version of GML 3.2. It is also necessary to underpin an orderly

or linally, the elects ol literature upon its readers (Wellek and Wamen.. tightened their sense ot reality, sharpened their powers of observation or allowed them la into

Dari dalam kotak diambil 3bola sekaligus secara acak, peluang terambil 2 bola merah dan 1 bola biru adalah …a. Dalam suatu populasi keluarga dengan tiga orang anak, peluang

The properties of crystals are different in various crystallographic directions, which is associated with an ordered arrangement of atoms (ions, molecules) in space.. The phenomenon

As in natural growth, the individual is powerless (cf. The only way out of this theoretical labyrinth seems to be the one suggested by Keller, that is, to treat language as

dijelaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk.. anak yang masih didalam

Menu yang harus dipilih untuk1 proses pemotongan adal Proses Cutting dengan memilih Cutting. Proses akan b¢rjalan untuk menghasilkan kombinasi pola

Ada briefing antara GM dengan semua manajer setiap pukul 10.00 Data valid, hasil pengamatan sudah sesuai dengan hasil wawancara Pelaksanaan kegiatan operasional/pe