BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Frekuensi terjadinya fraktur terbuka berbeda di setiap wilayah. Hal ini tergantung dari faktor geografik dan sosial ekonomi, jumlah populasi dan fasilitas kesehatan. Berdasarkan analisis epidemiologi 40% fraktur terbuka terjadi pada ekstremitas bawah yaitu pada diafisis tibia dan femur. Angka kejadian fraktur terbuka di Edinburgh Orthopaedic Trauma Unit Scotlandia sejak Januari 1988 sampai dengan maret 1994 sebanyak 1000 kasus dengan frekuensi 21,3 kejadian per 100.000 per tahun. Tulang yang paling banyak terkena adalah tibia (21,6%), femur (12,1 %), radius dan ulna (9,3%), dan humerus (5,7 %).(1)
Komplikasi yang paling sering terjadi pada fraktur terbuka adalah infeksi. Insidensi terjadinya infeksi pada luka fraktur terbuka bervariasi. Dilaporkan
jumlah infeksi pada fraktur terbuka di Rumah Sakit Kanton Hospital .Departemen of surgery of Basel University, dari 214 kasus fraktur terbuka maka grade I 41% ,
grade II 11% dan grade III 15%. Pada kasus ini, 65 % adalah fraktur pada daerah ekstremitas bawah, setelah dilakukan pemeriksaan didapat angka infeksi superfisial 4,5%, infeksi jaringan bagian dalam 3 % , sedangkan osteomyelitis didapat 7 %.(2)
Berdasarkan penelitian yag dilakukan Rochanan di RS.Dr.Kariadi Semarang, periode Mei 2002 sampai April 2003 terdapat 102 penderita patah tulang terbuka dengan kejadian infeksi 29,4 %. Persentase infeksi pada tipe I sebesar 3,9 %, tipe II sebesar 8,8%, dan tipe III sebesar 16, 7 %.(3)
secara klinis diantaranya adalah demam, takikardi, dan peningkatan jumlah leukosit dan eritrocyte sedimentation rate (ESR). Pemeriksaan laboratorium lainnya yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan C–reactive protein (CRP). C– reactive protein (CRP) merupakan fase akut protein yang bereaksi secara cepat
sehingga berguna untuk mendeteksi awal terjadinya infeksi. Peningkatan CRP lebih jelas terlihat pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri, dimana peningkatan
ini lebih spesifik dari pada gejala klinis.(4)
White dkk membandingkan kadar CRP setelah dilakukan operasi total hip repleacement (THR) dan total knee repleacement (TKR). Mereka menemukan
bahwa kadar CRP meningkat mencapai puncaknya 48 jam setelah operasi, dan kadar CRP paska TKR lebih besar bila dibandingkan dengan paska THR. Selain itu White juga menyatakan bahwa hasil penelitiannya mendukung CRP sebagai indikator awal untuk mendeteksi adanya infeksi.(5)
Pada penelitian yang dilakukan oleh Douraiswami dkk di Departement of Orthopaedics and Microbiology, Jawaharlal Institute of Post Graduate Medical Education and Research (JIPMER) India, dari 30 pasien yang mengalami fraktur terbuka 11 diantaranya mengalami infeksi, kadar CRP hari ke dua mengalami peningkatan pada 27 pasien dan mengalami penurunan kembali secara nyata pada hari ke 4, namun pada pasien yang mengalami infeksi kadar CRP tidak mengalami penurunan.(4)
I.2. Rumusan Masalah
I.3. Hipotesis
“Terdapat perbedaan kadar C-reaktive protein antara pasien yang tidak mengalami infeksi dengan pasien yang mengalami infeksi pada fraktur terbuka“
I.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pemeriksaan kadar CRP dapat digunakan sebagai deteksi awal terhadap infeksi paska fraktur terbuka di RSUP H. Adam Malik Medan.
1.4.2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui perbedaan kadar CRP antara pasien yang tidak mengalami infeksi dan pasien yang mengalami infeksi paska fraktur terbuka sebelum tanda klinis infeksi timbul.
I.5. Manfaat Penelitian
I.5.1. Manfaat teoritik
I.5.2. Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat di terapkan kepada pasien-pasien dengan fraktur terbuka khususnya di RSUP H. Adam malik Medan, sehingga