• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Supervisi Kepala Ruangan Terhadap Kepuasan Kerja Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Imelda Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Supervisi Kepala Ruangan Terhadap Kepuasan Kerja Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Imelda Medan"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

2.1.1. Definisi supervisi

Supervisi merupakan bagian fungsi pengarahan yang mempunyai peran

untuk mempertahankan agar segala kegiatan yang telah terprogram dapat

dilaksanakan dengan baik dan lancar. Supervisi dalam keperawatan bukan hanya

sekedar kontrol, tetapi lebih dari itu, kegiatan supervisi mencakup penentuan

kondisi-kondisi atau syarat-syarat personal maupun material yang diperlukan

untuk tercapainya suatu tujuan asuhan keperawatan secara efektif dan efisien

(Marquis & Huston, 2010).

Salah satu model supervisi keperawatan yaitu model academic. Model academic bertujuan untuk membagi pengalaman supervisor kepada para perawat sehingga ada proses pengembangan kemampuan profesional. Farington (1995)

yang memperkenalkan tiga kegiatan yang dilakukan oleh supervisor pada supervisi dengan model academic, yaitu educative, supportive, dan managerial. Pemahaman dan implementasi supervisi model academic dapat dilakukan melalui

pelatihan. Kepala ruangan perlu melakukan peningkatan pengetahuan,

keterampilan, dan kemampuan karena selalu ada cara yang lebih baik untuk

meningkatkan produktivitas kerja yang bermuara pada peningkatan produktivitas

(2)

Kegiatan educative adalah kegiatan pembelajaran secara tutorial antara supervisor dengan perawat pelaksana. Supervisor mengajarkan pengetahuan dan keterampilan serta membangun pemahaman tentang reaksi dan refleksi dari setiap

intervensi keperawatan. Penerapan kegiatan educative dapat dilakukan secara tutorial, yaitu supervisor memberikan bimbingan dan arahan kepada perawat pelaksana pada saat melakukan tindakan keperawatan serta memberikan umpan

balik. Kegiatan ini dilakukan secara berkelanjutan untuk mengawal pelaksanaan

pelayanan keperawatan yang aman dan profesional. Hasil yang diharapkan dari

kegiatan ini adalah: perawat selalu mendapat pengetahuan yang baru, terjadi

peningkatan pemahaman, peningkatan kompetensi, peningkatan keterampilan

berkomunikasi, dan peningkatan rasa percaya diri (Barkauskas, 2000).

Kegiatan supportive adalah kegiatan pembelajaran yang bertujuan untuk mengidentifikasi solusi dari suatu permasalahan yang ditemui dalam pemberian

asuhan keperawatan baik yang terjadi diantara sesama perawat maupun dengan

pasien. Supervisor melatih perawat menggali ”emosi” ketika bekerja, contoh: meredam konflik antar perawat dan bersikap profesional dalam bertugas. Kegiatan

supportive dirancang untuk memberikan dukungan kepada perawat agar dapat

memiliki sikap yang saling mendukung di antara perawat sebagai rekan kerja

profesional sehingga memberikan jaminan kenyamanan dan validasi. Penerapan

kegiatan supportive dapat dilakukan dengan cara mengadakan case conference untuk mendiskusikan suatu kasus atau konflik tertentu. Hasil yang diharapkan dari

kegiatan ini antara lain adalah mengurangi konflik, kenyamanan bekerja, dan

(3)

Penelitian Brunero dan Parbury (2005) tentang efektifitas supervisi dengan

melakukan studi literatur terhadap 22 artikel menunjukkan bahwa fungsi

educative yang dilakukan supervisor akan meningkatkan pengetahuan dan rasa percaya diri pada perawat. Fungsi supportive yang dilakukan supervisor akan meningkatkan kemampuan perawat dalam mengatasi konflik baik dengan rekan

kerja maupun dengan pasien. Fungsi managerial akan meningkatkan rasa tanggung jawab perawat pada praktik keperawatan profesional. Dilihat dari

prosesnya model academic merupakan proses formal dari perawat profesional untuk support dan learning sehingga pengetahuan dan kompetensi perawat dapat

dipertanggungjawabkan sehingga pasien mendapatkan perlindungan dan merasa

aman selama menjalani perawatan.

Pemahaman dan implementasi supervisi model academic dapat dilakukan melalui pelatihan. Pelatihan adalah suatu proses pendidikan jangka pendek yang

menggunakan prosedur sistematis dan terorganisir dimana staf mempelajari

pengetahuan dan keterampilan teknis dalam tujuan yang terbatas (Mangkunegara,

2005). Pelatihan adalah proses membantu pegawai untuk memperoleh efektifitas

dalam pekerjaan mereka yang sekarang atau yang akan datang, melalui

pengembangan pikiran dan tindakan, kecakapan, pengetahuan, dan sikap. Kepala

ruangan perlu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan karena

selalu ada cara yang lebih baik untuk meningkatkan produktivitas kerja yang

bermuara pada peningkatan produktivitas organisasi secara keseluruhan. Efek

(4)

Supervisi adalah suatu proses fasilitasi sumber-sumber yang diperlukan

staf, dilaksanakan dangan cara perencanaan, pengarahan, bimbingan, motivasi,

evaluasi, dan perbaikan agar staf dapat melaksanakan tugasnya secara optimal

(Mangkunegara, 2005). Supervisi merupakan aspek khusus administrasi

organisasi. Ketika sejumlah orang secara bersama diberikan peralatan dan fasilitas

yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan tertentu, perlu ada koordinasi yang

sistematis dari usaha jika tujuan kelompok harus dicapai secara efisien (Kadushin

& Harkness, 2002). Gillies (1994) menyatakan supervisi meliputi memeriksa

pekerjaan orang lain, mengevaluasi pelaksanaan pekerjaannya, dan menyetujui

atau memperbaiki pelaksanaan kerjanya. Tugas supervisi yang benar termasuk

dalam pengawasan yang tepat, intervensi, evaluasi, dan umpan balik seperti

dianggap suatu kebutuhan (Huber, 2006).

Penelitian Joan (2004) di Amerika ditemukan dukungan sosial dari

supervisor kepala perawat. Dukungan rekan kerja yang baik akan mengurangi stres perawat sehingga secara tidak langsung akan meningkatkan kinerja perawat.

Cotter Mena, Kristin Marguerite (2000), meneliti di Negara bagian India

mengatakan kualitas pengawasan berhubungan dengan kepuasan kerja,

pengawasan dari atasan akan mempengaruhi kepuasan kerja dan tingkat

kejenuhan. Sejalan dengan penelitian Manavanicharoen & Vidhaya 2000 di

Thailand menemukan ada hubungan keterlibatan pengawas terhadap kepuasan

kerja. Studi ini menunjukkan bahwa manajemen partisipatif memiliki potensi luar

(5)

2.1.2. Unsur-unsur pokok supervisi 1. Pelaksana

Pelaksana atau yang bertanggung jawab melaksanakan supervisi adalah

atasan, yakni mereka yang memiliki kelebihan dalam organisasi. Kelebihan yang

dimaksud sering dikaitkan dengan status yang lebih tinggi (supervisor) dan karena

itu fungsi supervisi lebih dimiliki oleh atasan, namun keberhasilan supervisi, yang

lebih diutamakan adalah kelebihan pengetahuan atau keterampilan (Nursalam,

2012). Pelaksana supervisi meliputi: 1) Kepala ruang: bertanggung jawab dalam

supervisi pelayanan keperawatan pada klien di ruang perawatan, merupakan ujung

tombak tercapai atau tidaknya tujuan pelayanan kesehatan di rumah sakit, dan

mengawasi perawat pelaksana dalam melaksanakan praktik keperawatan di ruang

perawatan sesuai dengan yang didelegasikan, 2) Pengawas keperawatan:

bertanggung jawab dalam mensupervisi pelayanan kepada kepala ruangan yang

ada di instalasinya, 3) Kepala bidang keperawatan sebagai top manager dalam keperawatan, kepala bidang keperawatan bertanggung jawab untuk melakukan

supervisi baik secara langsung atau tidak langsung melalui para pengawas

perawatan (Mangkunegara, 2005, Nursalam, 2012, Suyanto, 2009).

Pelaksanaan supervisi bukan hanya ditujukan untuk mengawasi apakah

seluruh staf keperawatan menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya, sesuai

dengan instruksi atau ketentuan yang telah digariskan, tetapi juga bagaimana

memperbaiki proses keperawatan yang sedang berlangsung, jadi, dalam kegiatan

supervisi seluruh staf keperawatan bukan sebagai obyek tetapi juga sebagai

(6)

Perawat diposisikan sebagai mitra kerja yang memiliki ide-ide, pendapat

dan pengalaman yang perlu didengar, dihargai dan diikutsertakan dalam

melakukan asuhan keperawatan (Suyanto, 2008). Menurut Suarli dan Bahtiar

(2009) pelaksana supervisi atau supervisor memiliki karakteristik atau syarat yaitu: 1) Sebaiknya atasan langsung dari yang disupervisi atau apabila hal ini

tidak memungkinkan dapat ditunjuk staf khusus dengan batas-batas kewenangan

dan tanggung jawab yang jelas, 2) Pelaksana supervisi harus memiliki

pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk jenis pekerjaan yang disupervisi,

3) Pelaksana supervisi harus memiliki keterampilan melakukan supervisi, artinya

memahami prinsip-prinsip pokok serta tehnik supervisi, 4) Pelaksana supervisi

harus memiliki sifat educative dan supportive, bukan otoriter, dan 5) Pelaksana supervisi harus mempunyai waktu yang cukup, sabar, dan selalu berupaya

meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku bawahan yang disupervisi.

2. Sasaran

Sasaran atau objek dari supervisi adalah pekerjaan yang dilakukan oleh

bawahan yang melakukan pekerjaan. Sasaran pekerjaan yang dilakukan oleh

bawahan, disebut sasaran langsung dalam rangka meningkatkan penampilan

kinerja yang dilakukan oleh bawahan (Azwar, 2010).

3. Frekuensi

Frekuensi dari sesi supervisi sesuai dengan kebutuhan spesifik dari

kelompok. Kelompok supervisi harus diadakan setidaknya sekali dalam sebulan,

(7)

4. Tujuan

Tujuan supervisi adalah mengorganisasikan staf dan pelaksanan

keperawatan, melatih staf dan pelaksana keperawatan, memberikan arahan dalam

pelaksanaan tugasnya agar menyadari dan mengerti terhadap peran, fungsi sebagai

staf dan pelaksana asuhan keperawatan dan memberikan layanan kemampuan staf

dan pelaksana keperawatan sehingga bawahan memiliki bekal yang cukup untuk

dapat melaksanakan tugas atau pekerjaan dengan hasil yang baik (Nursalam,

2010).

Swansburg (1999) menyatakan bahwa tujuan supervisi keperawatan

antaralain: 1) Memperhatikan anggota unit organisasi disamping itu area kerja dan

pekerjaan itu sendiri, 2) Memperhatikan rencana, kegiatan dan evaluasi dari

pekerjaannya, dan 3) Meningkatkan kemampuan pekerjaan melalui orientasi,

latihan dan bimbingan individu sesuai kebutuhannya serta mengarahkan kepada

kemampuan ketrampilan keperawatan.

5. Cara Supervisi

Secara teknis supervisi dapat dilakukan secara langsung dan tidak

langsun,. dalam penerapannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta tujuan

supervisi. Bila ditujukan untuk bimbingan dan arahan serta mencegah dan

memperbaiki kesalahan yang terjadi, maka supervisi langsung lebih tepat

(8)

1. Supervisi langsung

Supervisi dilakukan langsung, diharapkan supervisor terlibat dalam kegiatan agar pengarahan dan pemberan petunjuk tidak dirasakan sebaga perintah.

Adapun teknik memberikan pengarahan yang efektif adalah: 1)

Pengarahan harus lengkap. 2) Mudah dipahami, 3) Menggunakan kata-kata yang

tepat, 4) Berbicara dengan jelas dan lambat, 5) Memberikan arahan yang logis, 6)

Menghindari memberikan banyak arahan pada satu waktu, 7) Memastikan bahwa

arahan dipahami, 8) Meyakinkan bahwa arahan supervisor dilaksanakan sehingga

perlu kegiatan tindak lanjut.

Hasil penelitian Muhasidah, (2002) menunjukkan teknik supervisi yang

baik adalah supervisi secara langsung dan bila dilakukan secara terus menerus dan

terprogram dapat memastikan pelaksanaan asuhan keperawatan sesuai dengan

standar praktik keperawatan (Depkes, 1994, Azwar, 1996).

2. Supervisi tidak langsung

Ditujukan untuk memantau proses pelaksanaan tugas keperawatan yang

telah dijalankan secara global maka lebih tepat dilakukan supervisi tidak

langsung. Supervisi dilakukan melalui laporan tertulis seperti laporan klien dan

catatan asuhan keperawatan pada setiap shift pagi, sore dan malam, dapat juga dilakukan dengan menggunakan laporan lisan seperti pada saat timbang terima

shift, ronde keperawatan maupun rapat dan jika memungkinkan memanggil secara khusus para ketua tim dan kepala ruangan. Supervisor tidak melihat secara

langsung kejadian dilapangan sehingga mungkin terjadi kesenjangan fakta, oleh

karena itu klarifikasi dan umpan balik diberikan agar tidak terjadi salah persepsi

(9)

2.1.3. Model supervisi 1. Model Academic

Model ini diperkenalkan oleh Farington di Royal College of Nursing UK

tahun 1995. Farington menyebutkan bahwa supervisi dilakukan untuk

membagi pengalaman supervisor kepada para perawat sehingga ada proses pengembangan kemampuan professional yang berkelanjutan (CPD, continuing professional development). Dilihat dari prosesnya, supervisi merupakan proses formal dari perawat professional (RN‟s) untuk support and learning sehingga

pengetahuan dan kompetensi perawat dapat dipertanggungjawabkan sehingga

pasien mendapatkan perlindungan dan merasa aman selama menjalani perawatan.

Dalam model academic proses supervisi meliputi tiga kegiatan, yaitu, educative, supportive, managerial.

Kegiatan educative dilakukan dengan: mengajarkan ketrampilan dan kemampuan (contoh: perawat diajarkan cara membaca hasil EKG). membangun

pemahaman tentang reaksi dan refleksi dari setiap intervensi keperawatan (contoh:

supervisor mengajarkan perawat dan melibatkan pasien DM dalam demontrasi injeksi SC). Supervisor melatih perawat untuk mengexplore strategi, teknik-teknik

lain dalam bekerja (contoh: supervisor mengajarkan merawat luka dekubitus dengan obat-obat jenis baru yang lebih baik).

(10)

Kegiatan managerial dilakukan dengan: melibatkan perawat dalam peningkatkan standar (contoh: SOP yang sudah ada dikaji bersama kemudian

diperbaiki hal-hal yang perlu).

2. Model eksperiental

Model ini diperkenalkan oleh Milne dan James di Newcastle University

tahun 2005 yang merupakan adopsi penelitian Milne, Aylott dan Fitzpatrick.

Model ini menyebutkan bahwa kegiatan supervisi keperawatan meliputi training dan mentoring. Dalam kegiatan training, supervisor mengajarkan teknik-teknik keperawatan tertentu yang belum dipahami perawat pelaksana (contoh:

pemasangan infus pada bayi, melakukan vena sectie, teknik advance life support dan sebagainya). Training biasanya dilakukan secara berjenjang kepada setiap perawat, misalnya training pada perawat pemula (beginner), perawat pemula-lanjut (advance). Dalam kegiatan monitoring, supervisor lebih mirip seorang penasihat dimana ia bertugas memberikan nasihat berkaitan dengan

masalah-masalah rutin sehari.

3. Model developmental

Model ini diperkenalkan oleh Dixon tahun 1998. Model ini dikembangkan

dalam rumah sakit mental yang bertujuan agar pasien yang dirawat mengalami

proses developmental yang lebih baik. Supervisor diberikan kewenangan untuk membimbing perawat dengan tiga cara, yaitu change agent, counselor, dan teacher. Kegiatan change agent bertujuan agar supervisor membimbing perawat menjadi agen perubahan; kegiatan tersebut nantinya ditransfer kepada pasien

(11)

Kegiatan counselor dilakukan supervisor dengan tujuan membina, membimbing, mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan tugas rutin perawat

(contoh: supervisor membimbing perawat melakukan pengkajian fisik).

Kegiatan teaching bertujuan mengenalkan dan mempraktikkan ‘nursing practice’ yang sesuai dengan tugas perawat (contoh: supervisor di ICU

mengajarkan teknik pengambilan darah arteri, analisa gas darah dan sebagainya).

4. Model 4S

Model ini diperkenalkan oleh Page dan Wosket dari hasil penelitian

(1995). Model supervisor ini dikembangkan dengan empat (4) strategi, yaitu structure, skills, support dan sustainability. Kegiatan struktur dilakukan oleh perawat RN‟s dalam melakukan pengkajian dan asuhan pasien dimana perawat

yang dibina sekitar 6-8 orang. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengembangkan

pengalaman perawat dalam hal konsultasi, fasilitasi dan assisting. Kegiatan skills dilakukan supervisor untuk meningkatkan keterampilan praktis (contoh: menjahit luka, interpretasi EKG, pasang CAPD dsb).

Kegiatan support dilakukan dengan tujuan untuk will keep practice fresh, sharing, kebutuhan-kebutuhan training tertentu yang bernilai kebaruan (contoh: pelatihan emergency pada keadaan bencana). Kegiatan sustainability bertujuan untuk tetap mempertahankan pengalaman, ketrampilan, nilai-nilai yang telah

dianut perawat. Kegiatan ini dilakukan secara kontinu dengan cara mentransfer

pengalaman supervisor kepada perawat pelaksana (contoh: supervisor membuat modul tentang berbagai keterampilan teknik yang dibagikan kepada semua

(12)

2.2.Kepuasan Kerja

2.2.1. Definisi kepuasan kerja

Secara umum kepuasan kerja menyangkut sikap seseorang mengenai

pekerjaannya. Kepuasan itu tidak tampak secara nyata, tetapi dapat diwujudkan

dalam suatu hasil pekerjaan. Kepuasan kerja bersifat individual dimana setiap

individu memiliki tingkat kepuasan berbeda-beda sesuai sistem nilai yang berlaku

pada dirinya. Kepuasan kerja yang tinggi mencerminkan pengelolaan perusahaan

yang baik dan merupakan hasil manajemen yang efektif (Danim, 2004).

Kepuasan kerja mencerminkan sikap dan bukan perilaku. Gibson (2000)

menyatakan kepuasan kerja adalah sikap yang dimiliki pekerja tentang pekerjaan

mereka. Sikap tersebut menunjukkan perbedaan antara jumlah penghargaan yang

diterima dengan jumlah yang pekerja yakini seharusnya mereka terima (Robbins,

2006; Rosidah, 2009) dan penilaian sejauh mana lingkungan pekerjaan memenuhi

kebutuhan pekerja (Alam & Fakir, 2010). Sikap yang dideskripsikan dapat

bersifat positif atau negatif (Greenberg & Baron, 2003) terhadap kondisi fisik dan

sosial lingkungan kerjanya (Schermerhorn, Hunt & Osborn, 2002).

Kepuasan kerja merupakan respons affective atau emosional terhadap berbagai segi pekerjaan seseorang (Kreitner & Kinicki, 2001). Definisi ini

menunjukkan bahwa job satisfaction bukan merupakan konsep tunggal. Seseorang

dapat relatif puas dengan salah satu aspek pekerjaan dan tidak puas dengan satu

atau lebih aspek lainnya. Pekerjaan memerlukan interaksi dengan rekan kerja dan

atasan, mengikuti peraturan dan kebijakan organisasi, memenuhi standar kinerja,

(13)

2.2.2. Teori kepuasan kerja 1. Teori Robbins

Teori kepuasan kerja mengungkapkan apa yang membuat sebagian orang

lebih puas terhadap pekerjaannya daripada beberapa lainnya. Teori ini juga

mencari landasan tentang proses perasaan orang terhadap kepuasan kerja dalam

penelitian ini kepuasan kerja mengunakan teori Robbins.

Robbins (1996) menyatakan bahwa istilah kepuasan kerja merujuk kepada

sikap umum seorang individu kepada pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat

kepuasan tinggi menunjukkan sikap positif terhadap kerjanya: sementara

seseorang yang tidak puas menunjukkan sikap negatif terhadap kerjanya. Dengan

mengetahui kepuasan kerja karyawan, melalui bagaimana karyawan tersebut

merespon terhadap berbagai program atau rencana yang telah ditetapkan oleh

perusahaan, hal ini dapat menjadi umpan balik yang sangat berharga bagi

perusahaan tersebut. Kepuasan kerja adalah sikap umum seseorang terhadap

pekerjaannya (Robbins, 2003).

Robbins menyebutkan bahwa komponen komponen yang menentukan

kepuasan kerja adalah: 1) Kerja yang secara mental menantang akan membuat

karyawan lebih menyukai pekerjaan yang dapat memberikan mereka kesempatan

untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka serta menawarkan

beragam tugas, kebebasan dan umpan balik. 2) Ganjaran yang pantas dalam hal

ini yang dimaksud adalah karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan

promosi yang mereka persepsikan sebagai adil dan sesuai dengan harapan mereka.

Promosi merupakan perpindahan dari suatu jabatan ke jabatan yang lain

(14)

Hal ini memberikan nilai tersendiri bagi karyawan, karena merupakan bukti

pengakuan terhadap prestasi kerja yang telah dicapai oleh karyawan. Promosi juga

memberikan kesempatan untuk pertumbuhan pribadi, untuk lebih bertanggung

jawab dan meningkatkan status sosial (Robbins, 2003). Oleh karena itu salah satu

kepuasan terhadap pekerjaan dapat dirasakan melalui ketetapan dan kesempatan

promosi yang diberikan oleh perusahaan. 3) Kondisi kerja yang mendukung

mempunyai arti karyawan yang peduli dengan lingkungan kerja, baik untuk

kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan dalam melakukan pekerjaan

yang baik. Rekan kerja yang mendukung apabila karyawan mendapatkan lebih

daripada sekedar uang atau prestasi dalam pekerjaannya. Bagi kebanyakan

karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. 4) Kesesuaian

kepribadian dengan pekerjaan, Pada hakikatnya karyawan dengan tipe kepribadian

kongruen (sama dan sebangun) dengan pekerjaan yang mereka pilih seharusnya

akan menemukan bakat dan kemampuan yang tepat untuk memenuhi tuntutan dari

pekerjaan mereka. Berikut akan diuraikan beberapa teori kepuasan kerja

2. Teori dua faktor dari Herzberg

Prinsip teori ini mengemukakan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan

terhadap pekerjaan bukan merupakan variabel kontinu tetapi dapat berubah sesuai

pencapaian harapannya. Pada umumnya orang mengharapkan bahwa faktor

tertentu memberikan kepuasan apabila tersedia dan memberikan ketidakpuasan.

Pada teori ini, ketidakpuasan dihubungkan dengan kondisi di sekitar

pekerjaan seperti kondisi kerja, pengupahan, keamanan, kualitas pengawasan, dan

(15)

ini mencegah reaksi negatif karenanya dinamakan sebagai hygiene atau maintenance factors.

Sebaliknya, kepuasan ditarik dari faktor yang terkait dengan pekerjaan itu

sendiri atau hasil langsung daripadanya, seperti sifat pekerjaan, prestasi dalam

pekerjaan, peluang promosi dan kesempatan untuk pengembangan diri, dan

pengakuan. Faktor ini berkaitan dengan tingkat kepuasan kerja tinggi karenanya

dinamakan motivatoris.

Menurut teori dua faktor, seorang supervisor keperawatan dalam berbagai

peran, kegiatan dan kompetensi yang dimilikinya harus dapat memberikan

kepuasan kerja kepada perawat pelaksana dengan cara memperhatikan aspek

pekerjaan perawat. Aspek yang diperhatikan meliputi: memberikan otonomi

dalam bekerja, memberikan tugas yang bervariasi, membuat staf merasa penting

dalam pekerjaan, dan memberikan umpan balik terhadap pekerjaan yang

dilakukannya.

Sebaliknya supervisor juga harus menghilangkan faktor-faktor yang dapat menyebabkan ketidakpuasan, seperti kondisi kerja yang tidak mendukung,

hubungan dengan rekan kerja yang kurang baik, dan pengawasan yang terlalu

ketat. Teori ini sangat tepat digunakan dalam proses supervisi untuk mencari

aspek-aspek pekerjaan yang merupakan sumber kepuasan kerja perawat dan

ketidakpuasan di rumah sakit.

Oleh karena itu dalam rancang bangun pekerjaan perlu memperhatikan hal

sebagai berikut: Otonomi dalam pelaksanaan pekerjaan. Otonomi adalah

pemupukan rasa tanggung jawab atas pekerjaan seseorang beserta hasilnya.

(16)

pelaksanaan tugasnya berdasarkan uraian dan spesifikasi pekerjaan yang

dibebankan kepadanya. Banyak organisasi telah membuktikan bahwa apabila

kepada para pekerja diberikan kebebasan memutuskan sendiri cara penyelesaian

pekerjaannya, rasa tanggung jawab dan tingkat kepuasannya menjadi lebih besar.

Sebaliknya dengan pengendalian terus menerus oleh supervisor dan dibarengi dengan pengawasan ketat, dapat berakibat pada sikap apatis dan prestasi kerja

yang rendah. Kepuasan kerja merupakan perasaan yang dialami oleh perawat

terhadap profesi yang dijalaninya yang didukung dengan sikap supervisor yang memberikan kebebasan atau otonomi untuk bekerja sesuai kewenangan dan

tanggung jawab serta kompetensi yang dimilikinya.

Pemusatan pada satu tugas tertentu dapat mengarah kepada tingkat

keahlian dan efisiensi tinggi akan tetapi sangat membosankan. Kebosanan dalam

pekerjaan mempunyai dampak negatif yang sering menampakkan diri dalam

keletihan, kesalahan dalam pelaksanaan tugas, dan kecelakaan. Seorang

supervisor keperawatan dapat mengatasi kebosanan dengan variasi dalam memberi tugas pada perawat pelaksana bila metode yang digunakan dalam

pemberian asuhan keperawatan adalah metode fungsional dan variasi tingkat

ketergantungan pasien bila metode yang digunakan adalah metode tim atau kasus.

Dengan cara ini perawat akan lebih tertantang untuk meningkatkan

kemampuan dan ketrampilannya. Penerapan supervisi melalui kegiatan educative akan memampukan supervisor untuk membagi tugas dengan baik.

Identitas tugas. Para pekerja akan merasa bangga apabila mereka dapat

menunjukkan secara kongkret hasil pekerjaannya. Jika hasil pekerjaan tidak

(17)

pemberian asuhan keperawatan merupakan hasil dari sekelompok perawat, namun

seorang supervisor harus dapat meyakinkan bahwa setiap perawat turut memberikan kontribusi kongkret dalam hasil asuhan keperawatan yang diberikan.

Supervisor harus mampu mendorong perkembangan pribadi perawat baik perasaan, harapan maupun segi intelektual, disamping kebutuhan akan tata

hubungan yang serasi baik dengan pasien maupun rekan kerja. Penerapan

supervisi melalui kegiatan educative dan supportive akan memampukan supervisor untuk memberikan dukungan yang positif bagi setiap perawat pelaksana dalam melaksanakan asuhan keperawatan.

Pentingnya pekerjaan seseorang. Hal ini berkaitan erat dengan identitas

tugas. Seorang pekerja akan merasa bangga, mempunyai komitmen organisasional

yang besar, memiliki motivasi yang tinggi serta kepuasan kerja yang besar jika ia

mengetahui bahwa apa yang dilakukannya itu dianggap penting oleh orang lain.

Apalagi bergantung orang lain dalam penyelesaian tugas tersebut.

Setiap perawat pelaksana akan bekerja keras dan berusaha mencapai tujuan

dengan cepat, jika dalam diri perawat tidak ada hambatan psikologis.

Penerapan supervisi melalui kegiatan supportive akan memampukan supervisor untuk memberi dukungan positif pada setiap prestasi yang dicapai. Umpan balik. Umpan balik tentang cara seseorang menyelesaikan pekerjaannya

mempunyai arti yang sangat penting bagi pekerja yang bersangkutan. Apabila

seseorang tidak memperoleh umpan balik tentang berbagai aspek penyelesaian

tugasnya, baginya tidak terdapat petunjuk atau motivasi kuat untuk berprestasi

(18)

kriteria dan standar pekerjaan dibandingkan dengan hasil nyata yang dicapai

perawat. Umpan balik dapat juga dilakukan dengan membandingkan pekerjaan

sejenis di antara beberapa perawat sehingga dapat tumbuh persaingan yang sehat

untuk berlomba menunjukkan prestasi kerja yang setinggi mungkin. Penerapan

supervisi melalui kegiatan educative, supportive dan mnagerial akan memampukan supervisor untuk memberikan umpan balik yang tepat.

Faktor lainnya yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah :

1. Usia. Beberapa hasil penelitian menyimpulkan tentang hubungan positif

antara usia dengan kepuasan kerja. Kepuasan kerja rendah terjadi ketika

seseorang berusia antara 20 - 30 tahun.

Semakin tua umur karyawan, semakin lebih terpuaskan dengan pekerjaannya

karena mereka mempunyai pengharapan lebih sedikit, lebih adaptif terhadap

lingkungan kerjanya dan lebih berpengalaman (Swortzel & Taylor, 2005).

Menurut Mangkunegara (2005) ada kecenderungan pegawai yang lebih tua

lebih merasa puas daripada pegawai yang lebih muda.

Beberapa hasil riset menunjukkan bahwa pegawai muda biasanya memiliki

harapan yang ideal dengan pekerjaannya, sehingga apabila harapan dan realita

kerja ada kesenjangan akan menyebabkan ketidakpuasan, lebih sedikit

mendapatkan income, kesempatan meningkatkan karir dan pendidikan dan kontrol

kerja yang lebih ketat (Lee & Wilbur, 1985 dalam Barry & Houston, 1998).

Berbeda dengan pendapat Atliselli & Brown dalam As‟ad (2003) yang

mengatakan bahwa umur 25 - 30 tahun dan 45 - 54 tahun merupakan masa kurang

(19)

hubungan yang signifikan antara usia dengan kepuasan kerja. Dengan demikian

hubungan usia dengan kepuasan kerja bervariasi.

2. Lama kerja. Lama kerja mempunyai korelasi dengan kepuasan kerja.

Menurut Herzberg, Mausner, Peterson, dan Capwell (1957, dalam Scott,

Swortzel & Taylor, 2005), pada awal bekerja karyawan mempunyai moral

dan kepuasan kerja tinggi dan setelah tahun pertama moral dan kepuasan

kerja mulai turun dan menetap pada tingkatan yang rendah dalam beberapa

tahun, dan kemudian meningkat kembali kepuasan kerjanya seiring dengan

kemajuan karirnya. Robbins (2006), kepuasan kerja relatif meningkat pada

awal kerja, menurun berangsur-angsur selama 5-8 tahun kemudian meningkat

perlahan-lahan dan mencapai puncaknya setelah 20 tahun kerja. Menurut

Purnomowati (1983, dalam As‟ad, 2003) ada hubungan positif masa kerja

dengan kepuasan kerja. Karyawan yang telah lama bekerja memiliki

kepuasan kerja yang tinggi dan cenderung tidak akan berhenti dari

pekerjaannya (Purani & Sadewa, 2007 dikutip Alam & Fakir, 2010).

Berbeda dengan hasil riset Wahap (2001), Syafdewayani (2002), dan Hasniati

(2002) membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara lama kerja dan

kepuasan kerja. Robbins (2006) mengemukakan tidak ada alasan yang

meyakinkan bahwa karyawan yang sudah lama bekerja akan lebih produktif

dan memiliki motivasi tinggi. Jadi hubungan antara lama kerja dan kepuasan

kerja bervariasi.

3. Status kepegawaian. Menurut As‟ad (2003) kepuasan kerja dapat dipengaruhi oleh kedudukan dalam organisasi, pangkat/golongan, jaminan finansial

(20)

memiliki status pangkat dan golongan yang jelas dalam institusi rumah sakit,

memiliki jaminan sosial berupa asuransi kesehatan serta tunjangan lain diluar

gaji pokok sehingga kesejahteraan terjamin. Hal ini berdampak pada

kepuasan kerja.

3. Teori keadilan (Eqnity)

Davis Werther (1989) dalam Siagian (2009) menyatakan bahwa kepuasan

kerja adalah perasaan menyenangkan dan tidak menyenangkan menurut

pandangan para karyawan terhadap pekerjaannya. Inti teori ini terletak pada

pandangan bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan kesenjangan antara

usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi dan imbalan yang diterima.

Kepuasan merupakan hasil dari persepsi tentang seberapa adil individu

diperlakukan di tempat kerja. Menurut teori ini, seorang supervisor keperawatan harus selalu waspada jangan sampai persepsi ketidakadilan timbul di kalangan

para perawat.

Apabila sampai terjadi dapat timbul dampak negatif seperti ketidakpuasan,

kelalaian dalam penyelesaian tugas, kesalahan dalam melakukan pekerjaan,

(21)

4. Teori harapan

Victor H. Vroon (1964) seperti yang dikutip oleh Siagian (2009)

mengemukakan apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu dan harapan

untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat

terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya. Sebaliknya, jika harapan

memperoleh hal yang diinginkannya kecil, motivasinya pun untuk berupaya akan

menjadi rendah. Teori ini mengatakan bahwa kepuasan kerja terjadi pada

tingkatan dimana hasil pekerjaan diterima individu seperti yang diharapkan.

Menurut teori ini, seorang supervisor keperawatan harus menaruh perhatian pada aspek pekerjaan yang perlu dirubah untuk mendapatkan kepuasan

kerja pada perawat pelaksana. Supervisor dalam peran, kegiatan, dan kompetensi

yang dimilikinya dapat membantu perawat pelaksana dalam menentukan hal-hal

yang diinginkannya serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk

mewujudkannya. Penekanan ini penting karena para perawat tidak selalu

mengetahui secara pasti apa yang diinginkannya, apalagi cara untuk

memperolehnya. Penerapan supervisi melalui kegiatan supportive diharapkan dapat memenuhi kebutuhan perawat.

Pendapat lain dikemukakan oleh (Wood, Chonko, dan Hunt 1986; Purani

& Sahadev ,2007 dalam Alam & Fakir, 2010), kepuasan kerja memiliki enam

(22)

1. Kepuasan dengan supervisor. Kepuasan kerja ditentukan oleh persepsi karyawan tentang seberapa banyak informasi dan bimbingan yang

diberikan oleh atasan untuk melaksanakan pekerjaan. Hasil riset yang

dilakukan oleh Sigit (2009) menemukan supervisi yang dilakukan secara

konsisten akan berpeluang meningkatkan kepuasan kerja sebesar 67,40%.

2. Kepuasan dengan keragaman tugas. Kepuasan yang dirasakan dengan

memiliki berbagai tugas yang menantang dan tidak rutinitas. Hal ini akan

membantu karyawan untuk melihat bahwa ada banyak peluang yang

tersedia untuk tumbuh dalam organisasi.

3. Kepuasan dengan otonomi dalam pekerjaan. Kepuasan yang dirasakan

dengan memiliki kebebasan dalam menyelesaikan pekerjaan dari awal

sampai akhir.

4. Kepuasan kompensasi. Kepuasan yang dirasakan berdasarkan imbalan

yang diterima oleh karyawan. Temuan riset yang dilakukan oleh Curtis

(2007), menunjukkan kecilnya korelasi antara gaji dan kepuasan kerja.

Curtis mengatakan bahwa motivasi untuk bekerja bukanlah semata-mata

karena uang, namun yang paling penting adalah bagaimana rumah sakit

memenuhi kebutuhan karyawan, memperlakukan karyawan dengan baik,

menerapkan manajemen yang fleksibel dan komunikator, serta melibatkan

karyawan dalam pengambilan keputusan (Barry & Huston, 1998).

5. Kepuasan dengan rekan kerja. Kepuasan yang dirasakan karena adanya

kehadiran dan dukungan dari rekan kerja. Penelitian terbaru

mengidentifikasi bahwa rekan kerja yang menjadi tim kuat atau efektif

(23)

6. Kepuasan dengan manajemen dan kebijakan sumber daya manusia.

Kepuasan yang berhubungan dengan kebijakan organisasi. Hasil riset

ditemukan bahwa salah satu sumber utama ketidakpuasan kerja perawat

adalah manajemen keperawatan yang tidak efektif (Kapella, 2002 dalam

Papathanassoglou, 2007), rendahnya keterlibatan dalam pengambilan

keputusan, hubungan yang buruk dengan manajemen, kurangnya

pengakuan, dan kurangnya fleksibilitas dalam penjadwalan (Albaugh,

2003 dalam Alam & Fakir, 2010).

2.2.3. Pengukuran kepuasan kerja

Terdapat tiga cara untuk melakukan pengukuran kepuasan kerja

(Greenberg dan Baron, 2003 dalam Wibowo, 2008), yaitu:

1. Rating scales dan kuesioner merupakan pendekatan pengukuran kepuasan kerja yang paling umum dipakai dengan menggunakan kuesioner di mana

rating scale secara khusus disiapkan. Dengan menggunakan metode ini, orang menjawab pertanyaan yang memungkinkan mereka melaporkan

reaksi mereka pada pekerjaan. Critical incidents. Individu menjelaskan kejadian yang menghubungkan pekerjaan yang mereka rasakan terutama

memuaskan atau tidak memuaskan. Jawaban mereka dipelajari untuk

mengungkap tema yang mendasari.

2. Interviews merupakan prosedur pengukuran kepuasan kerja dengan melakukan wawancara tatap muka dengan pekerja untuk secara langsung

(24)

2.3.Landasan Teori

Teori keperawatan yang digunakan adalah teori King (1981) diawali

dengan Dynamic interacting systems yang memiliki tiga konsep yaitu sistem personal, sistem interpersonal, dan sistem sosial. Perkembangan profesi

keperawatan secara global merupakan hasil yang sangat penting bagi dunia

kesehatan.

Pada masa lalu, keperawatan dibidang pendidikan maupun di tatanan praktek

keperawatan dilakukan lebih berdasarkan intuisi dan tradisi sehingga keperawatan

dianggap hanya sebagai kiat tanpa komponen ilmiah dan landasan keilmuan yang

kokoh. Dalam pelaksanaan supervisi keperawatan diperlukan suatu teori model

yang dapat membantu supervisor dalam melaksanakan supervisi dan menjelaskan

tentang tugas perawat di ruangan.

Penelitian ini mengunakan model konsep dan teori Imogene King yang

menggunakan pendekatan terbuka meliputi: 1) Personal system, merupakan sistem terbuka yang meliputi persepsi diri (self), pertumbuhan dan perkembangan

(growth and development), citra diri (space), dan waktu , 2). Interpersonal system

merupakan suatu hubungan antara perawat dan atasan yang meliputi interaksi,

komunikasi, transaksi, peran dan stress, dan 3) Social system yang berarti bahwa sistem pembatas peran organisasi sosial, perilaku, dan praktik yang dikembangkan

untuk memelihara nilai-nilai dan mekanisme pengaturan antara praktik dan aturan.

Melalui dasar sistem tersebut, maka King menganggap manusia merupakan

(25)

Gambar 2.1 Model Konsep King

Fokus landasan teori adalah interaksi individu dengan orang lain dalam

berbagai sistem. Teori King (1981) dapat digambarkan pada penelitian efektifitas

supervisi terhadap perubahan iklim organisasi melalui interaksi yang terjadi pada

sistem personal, sistem interpersonal, dan sistem sosial di rumah sakit.

Penelitian yang menggunakan teori keperawatan King dapat dilihat dari: 1)

Walborn, Karen Ann (1996) menggambarkan dan menganalisis hubungan antara

prestasi kerja dan kepuasan kerja. 2) Kennedy., Lingard, Ross Baker, Kitchen, dan

Glenn Regehr (2006) menggambarkan kegiatan Pengawasan rutin perawatan

pasien yang dilakukan oleh supervisor untuk memastikan kualitas dari pelayanan.

3) Mena (2000) penelitian ini mengeksplorasi hubungan antara kualitas hubungan

pengawasan, dengan kepuasan kerja dan kelelahan. 4) Bernreuter dan Maxine

(1998) menguji dampak metode supervisi, kepuasan kerja, dan niat untuk

meninggalkan pekerjaan.

5) Amy (2006), pengaruh gaya seorang supervisor dengan melibatkan humor

dapat meningkatkan kepuasan kerja. Penelitian lain yang dilakukan Al-Aemeri

(2000), mengenai hubungan kepuasan kerja perawat dengan komitmen terhadap Personal system

Interpersonal systen

(26)

organisasi pada 290 perawat menunjukkan ada korelasi yang positif antara

kepuasan kerja dengan supervisi. Perawat yang puas memiliki tingkat komitmen

yang lebih tinggi. Beberapa penelitian di atas, menyimpulkan salah satu variabel

yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah supervisi. Penerapan supervisi yang

tepat akan menyebabkan perawat pelaksana merasa diterima, dihargai, dan

dilibatkan, sehingga timbul komitmen yang tinggi untuk memajukan pelayanan

keperawatan.

Teori kepuasan kerja yang ada dalam penelitian ini ada beberapa teori

diantaranya Herzberg (1959), Davis (1989), Victor (1964), dan Robbins (1996).

Namun yang digunakan dalam penelitian ini adalah menurut Robin (1996) istilah

kepuasan kerja merujuk kepada sikap umum seorang individu kepada

pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan tinggi menunjukkan sikap

positif terhadap kerjanya: sementara seseorang yang tidak puas menunjukkan

sikap negatif terhadap kerjanya. Robin (1996) membagi kepuasan kerja menjadi

empat yaitu: 1) Kerja yang secara mental menantang akan membuat karyawan

lebih menyukai pekerjaan yang dapat memberikan mereka kesempatan untuk

menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka serta menawarkan beragam

tugas, kebebasan dan umpan balik. 2) Ganjaran yang pantas dalam hal ini yang

dimaksud adalah karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi

yang mereka persepsikan sebagai adil dan sesuai dengan harapan mereka.

3) Kondisi kerja yang mendukung mempunyai arti karyawan yang peduli dengan

lingkungan kerja, baik untuk kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan

dalam melakukan pekerjaan yang baik. Rekan kerja yang mendukung apabila

(27)

pekerjaannya. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan akan

interaksi sosial. 4) Kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan, Pada hakikatnya

karyawan dengan tipe kepribadian kongruen (sama dan sebangun) dengan

pekerjaan yang mereka pilih seharusnya akan menemukan bakat dan kemampuan

yang tepat untuk memenuhi tuntutan dari pekerjaan mereka. Berikut akan

(28)

Gambar 2.2 Kerangka Teori KEPUASAN:

1. Pekerjaan yang menantang 2. Ganjaran

3. Kondisi kerja

4. Kesesuain pribadi dengan pekerjaan

Faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja:

(29)

2.4.Kerangka Konsep

Penelitian ini menggunakan supervisi model academik yangdiper kenalkan

oleh Farington di Royal College of Nursing UK tahun 1995. Farington

menyebutkan bahwa supervisi dilakukan untuk membagi pengalaman supervisor kepada para perawat sehingga ada proses pengembangan kemampuan professional

yang berkelanjutan (CPD; continuing professional development). Dilihat dari prosesnya, supervisi merupakan proses formal dari perawat professional (RN‟s) untuk support dan learning sehingga pengetahuan dan kompetensi perawat dapat

dipertanggungjawabkan sehingga pasien mendapatkan perlindungan dan merasa

aman selama menjalani perawatan. Berdasarkan tinjauan pustaka maka supervisi

academik yaitu 1) Suportif, 2) Edukatif, 3) Manejerial.

Teori kepuasan kerja yang digunakan adalah menurut Robbins (1996).

Robbins menyatakan bahwa istilah kepuasan kerja merujuk kepada sikap umum

seorang individu kepada pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan tinggi

menunjukkan sikap positif terhadap kerjanya: sementara seseorang yang tidak

puas menunjukkan sikap negatif terhadap kerjanya. Dengan mengetahui kepuasan

kerja karyawan, melalui bagaimana karyawan tersebut merespon terhadap

berbagai program atau rencana yang telah ditetapkan oleh perusahaan, hal ini

dapat menjadi umpan balik yang sangat berharga bagi perusahaan tersebut.

Kepuasan kerja menurut Robin yaitu: 1) kerja yang Menantang, 2) Ganjaran, 3)

(30)

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Supervisi Academik

1. Edukatif 2. Suportif 3. Manejerial

(Farington, 1995)

Kepuasan kerja 1. Pekerjaan yang

menantang 2. Ganjaran 3. Kondisi kerja

Gambar

Gambar 2.1 Model Konsep King
Gambar 2.2 Kerangka Teori
Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Adversity Quotient (AQ) terhadap hasil belajar matematika siswa yaitu 53% termasuk. kedalam

Berdasarkan Indikator Kinerja Utama Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian pada tahun 2016, sasaran Program Peningkatan Diversifikasi dan Ketahanan Pangan

fisika kimia di perairan Desa Tanjung Tiram masih belum diketahui, sehingga perlu dilakukan penelitian di lokasi tersebut.. Tujuan dari penelitian ini adalah

Berdasarkan hasil penelitian, masalah penting yang dikritik dalam novel Merajut Harkat Karya Putu Oka Sukanta adalah agama, budaya, kemanusiaan, politik

Kegiatan yang dilaksanakan setelah pertemuan pada Siklus II Adalah dimulai dari mempersiapkan siswa untuk belajar, memotivasi siswa, menyampaikan tujuan diajarkan,

Tantangan untuk menghadapi masa depan dalam pendidikan desain terletak pada persiapan para mahasiswa desain untuk hidup berkarir profesional dalam dunia yang penuh dengan

In Chaer and Agustina (2010:70) Language based on level of formality, Martin Joos (1967) in his book The Five Clock distinguish language variety based on five style, those are