• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertimbangan Hukum Kekerasan dalam Rumah Tangga Dijadikan Dasar Perceraian (Studi Putusan Pengadilan Agama Medan NO. 1572 PDT.G 2011 PA.MDN) Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertimbangan Hukum Kekerasan dalam Rumah Tangga Dijadikan Dasar Perceraian (Studi Putusan Pengadilan Agama Medan NO. 1572 PDT.G 2011 PA.MDN) Chapter III V"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

A. Pengaruh Perceraian Terhadap Anak

Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang.101 Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dikatakan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan (Pasal 38). Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. 102Jadi, putusnya perkawinan karena perceraian tidak dapat dilakukan hanya atas dasar kesepakatan suami istri melainkan harus melalui suatu proses yakni dilakukan di depan sidang pengadilan yang berwenang dan sebelum diambil keputusan, hakim diwajibkan untuk mendamaikan suami istri yang akan bercerai. Apabila usaha hakim untuk mendamaikan suami istri tidak tercapai maka proses perceraian tetap dilanjutkan sampai memiliki kekuatan hukum.

Selanjutnya, menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan apabila putus perkawinan karena perceraian mempunyai akibat hukum terhadap anak, bekas suami/istri dan harta bersama. Akibat hukum

101

Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilawati Mahdi, Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat, (Cetakan I; Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hal.135.

102

(2)

terhadap anak ialah, apabila terjadi perceraian, maka baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberikan keputusannya.103

1. Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak

Anak merupakan sumber daya manusia yang memiliki banyak potensi, pengelompokan pengertian anak memiliki aspek yang sangat luas sehingga berbagai makna atau pengertian terhadap anak dapat diterjemahkan secara benar menurut sistem kepentingan agama, hukum, sosial dari masing-masing bidang.104

Sehubungan dengan batasan umur mengenai anak atau dalam KUHPerdata mengenai batasan umur mengenai anak ini diistilahkan belum dewasa. Berdasarkan Pasal 330 KUHPerdata yang menegaskan bahwa belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

103

Ibid., hal.176.

104

(3)

Selanjutnya, Pasal 98 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan bahwa batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacad fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Menurut Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menegaskan bahwa:105

Ayat 1 : Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

Ayat 2 : Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.

Selanjutnya, Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menegaskan bahwa:106

Ayat 1 : Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.

Ayat 2 : Perwakilan itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.

Menurut ketentuan di atas, batasan umur anak yang dianggap belum dewasa baik dalam KUHPerdata maupun Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, KHI dan Undang-Undang Perkawinan belum ada persamaan batasan umur. Namun, dengan sejak berlakunya Undang-Undang Perkawinan maka segala ketentuan yang mengatur permasalahan perkawinan dan perceraian serta akibat hukumnya mengikuti aturan yang berlaku dalam Undang-Undang Perkawinan ini.

105

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

(4)

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Undang-Undang Perkawinan bahwa anak yang masih dibawah umur, berada dalam kekuasaan orang tuanya. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua sebagaimana dimaksud Pasal 47 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berlaku sampai anak tersebut melangsungkan perkawinan atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlangsung terus meskipun perkawinan orang tuanya telah putus karena perceraian. Bila perkawinan orang tuanya telah putus maka kedudukan orang tua terhadap anak-anaknya tersebut bukan menjadi kekuasaan orang tua melainkan menjadi wali terhadap anak-anaknya berdasarkan putusan pengadilan.

Sedangkan ketentuan Pasal 26 Ayat 1 dan Ayat 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang menegaskan bahwa:

a. Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: 1) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;

2) menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;

3) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak; dan

4) memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.

(5)

ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan maupun Undang-Undang Perlindungan Anak bahwa suami istri selaku orang tua dari anak-anak mereka berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak mereka yang masih dibawah umur sampai mereka dewasa atau telah berkeluarga. Namun karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, kewajiban dan tanggung jawab dapat beralih kepada keluarga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Hak Dan Kewajiban Anak Mendapat Perlindungan Hukum

Peristiwa perceraian, apapun alasannya, merupakan malapetaka bagi anak, anak tidak akan dapat lagi menikmati kasih sayang orang tua secara bersamaan yang sangat penting bagi pertumbuhan mentalnya, tidak jarang pecahnya rumah tangga mengakibatkan terlantarnya pengasuhan anak. Itulah sebabnya dalam ajaran Islam perceraian harus dihindarkan sedapat mungkin bahkan merupakan perbuatan yang paling dibenci Allah. Bagi anak-anak yang dilahirkan, perceraian orang tuanya merupakan hal yang akan mengguncang kehidupannya dan akan berdampak buruk bagi pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga biasanya anak-anak adalah pihak yang paling menderita dengan terjadinya perceraian orang tuanya.107 Dengan demikian, anak mempunyai hak tertentu yang harus dipenuhi orang tua, sebaliknya orang tua juga memiliki hak yang harus dipenuhi anaknya.

107

(6)

Hak anak untuk mendapatkan penghidupan yang layak meliputi sandang, pangan, pendidikan dan kesehatan merupakan nafkah anak (alimentasi) yang harus dipenuhi orang tua, terutama ayah, baik dalam masa perkawinan atau pun setelah terjadi perceraian.

Sehubungan dengan hak anak untuk mendapatkan penghidupan yang layak dari orang tuanya, Pasal 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak merumuskan hak-hak anak sebagai berikut:108

a. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar;

b. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kepribadian bangsa dan untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna;

c. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar.

Selain itu, dalam ketentuan Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, maka hak-hak anak menurut undang-undang ini, sebagai berikut:109

a. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat 108

Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hal.17.

109

(7)

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4);

b. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (Pasal 5);

c. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua atau wali (Pasal 6);

d. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri dan dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 7);

e. Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial (Pasal 8); f. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka

pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat (Pasal 9 Ayat 1);

g. Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain (Pasal 9 Ayat 1a); h. Selain mendapatkan hak anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

ayat (1a), anak penyandang disabilitas berhak memperoleh pendidikan luar biasa dan anak yang memiliki keunggulan berhak mendapatkan pendidikan khusus (Pasal 9 Ayat 2);

i. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan (Pasal 10);

j. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri (Pasal 11);

k. Setiap anak penyandang disabilitas berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial (Pasal 12); l. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain

mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya (Pasal 13 Ayat 1);

m. Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman (Pasal 13 Ayat 2);

(8)

pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir (Pasal 14 Ayat 1);

o. Dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anak tetap berhak bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua orang tuanya, mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua orang tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya, memperoleh pembiayaan hidup dari kedua orang tuanya dan memperoleh hak hnak lainnya (Pasal 14 Ayat 2);

p. Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, pelibatan dalam peperangan dan kejahatan seksual (Pasal 15);

q. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi (Pasal 16 Ayat 1);

r. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum (Pasal 16 Ayat 2);

s. Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir (Pasal 16 Ayat 3);

t. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa, memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku dan membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum (Pasal 17 Ayat 1);

u. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan (Pasal 17 Ayat 2);

v. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya (Pasal 18).

Sehubungan dengan kewajiban anak, ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa setiap anak berkewajiban untuk:110

a. menghormati orang tua, wali, dan guru;

b. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;

(9)

c. mencintai tanah air, bangsa, dan negara;

d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan e. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

Sedangkan ketentuan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menegaskan tentang kewajiban anak, yaitu:

a. Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik;

b. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka itu memerlukan bantuannya.

Selain itu, hukum Islam mengatur kewajiban anak terhadap orang tua sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Luqman ayat 14, yang artinya:

“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya: ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.”

Selanjutnya, Al-Qur’an surat Luqman ayat 15, yang artinya:

‘Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Ku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu, maka kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”

(10)

memperlakukan kedua orang tuanya dengan cara yang baik walaupun mereka memaksanya berbuat kufur kepada Allah. Dan jangan mengikuti atau melakukan perbuatan yang dilarang Allah walaupun kedua orang tuanya memaksanya untuk melakukan perbuatan tersebut.

Hak-hak dan kewajiban anak yang disebutkan di atas pada hakikatnya adalah merupakan hak dan kewajiban yang seharusnya diberikan oleh orang tua baik pasca perceraiaan maupun setelah perceraian orang tuanya dan segala aspek tersebut dilindungi oleh negara serta merupakan bagian dari kegiatan pembangunan khusus di dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.

B. Hak Pemeliharaan Dan Pengasuhan Anak Akibat Perceraian Orang Tuanya Di Persidangan Pengadilan Agama

1. Menurut Hukum Islam

Sebelumnya, perhatikan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 233 yang artinya:111

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.

111

(11)

Berdasarkan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 233 tersebut di atas bahwa ikatan lahir dan bathin seorang ibu dengan anaknya begitu dekat dan tidak dapat terpisahkan karena sejak ibu melahirkan dan menyusukan anaknya sewaktu masih bayi serta merawatnya. Hal ini menunjukkan begitu besar perjuangan seorang ibu terhadap anaknya dibandingkan dengan bapaknya.

Jika terjadi perceraian antara kedua orang tuanya, dengan melihat pernyataan Abu bakar Siddiq bahwa “ ibu lebih cenderung (sabar) kepada anak, lebih halus, lebih pemurah, lebih penyantun dan lebih penyayang. Ia lebih berhak atas anaknya.”. Dengan demikian jelaslah jika terjadi perceraian, maka yang berhak memelihara anak yang belum mumayyiz tersebut adalah dari pihak istri. Alasannya seperti yang telah diungkap dalam pernyataan Abu Bakar, maka Masdar F. Mas’udi menyimpulkan sebagai berikut:112

a. Pertama, sebagai ibu ikatan batin dan kasih sayang dengan anak cenderung selalu melebihi kasih sayang sang ayah;

b. Kedua, derita keterpisahan seorang ibu dengan anaknya akan terasa lebih berat dibanding derita keterpisahan dengan seorang ayah;

c. Ketiga, sentuhan tangan keibuan yang lazimnya dimiliki oleh ibu akan lebih menjamin pertumbuhan mentalitas anak secara lebih sehat. Berkaitan dengan hak pemeliharaan dan pengasuhan anak ini, para ahli hukum Islam sepakat bahwa hukum hadlanah adalah wajib merujuk pada hadis Rasulullah dimana diriwayatkan dari Abdullah bin Amr Radhiyallah Anhu, di

112

(12)

mana ada seorang wanita yang mengadukan permasalahannya (menemui Rasulullah dan bertanya), ya Rasulullah, ini adalah anakku, perutku yang mengandungnya, susuku yang memberi minumnya, pangkuankulah yang memangkunya. Sesungguhnya bapaknya telah menceraikan aku dan dia hendak merampasnya dariku. Rasulullah bersabda “Engkaulah yang berhak ke atasnya sebagaimana engkau belum berkahwin”.113

Sehingga, apabila dua orang suami istri bercerai sedangkan keduanya mempunyai anak yang belum mumayiz (belum mengerti kemaslahatan dirinya), maka istrilah yang lebih berhak untuk mendidik dan merawat anak itu hingga ia mengerti akan kemaslahatan dirinya.114 Hal ini dijadikan sebagai dalil bahwa ibu lebih berhak dari ayah atashadlanah(memelihara dan mengasuh) si anak jika ada sengketa tentang hak tersebut. Hal ini justru karena Nabi melihat kemaslahatan si anak. Kalau kemaslahatan anak terganggu karena ibunya bersuamikan orang lain maka ayahnya lebih patut memelihara anak itu. Jadi ibu lebih berhak memelihara anak selama hakim masih memandang belum ada sebab yang menyebabkan si ayah lebih patut memelihara dan mengasuh anak itu. Walaupun anak itu dipelihara dan diasuh oleh ibunya, biaya pemeliharaan dan pendidikan menjadi tanggungan ayahnya. Semua ulama sepakat bahwa nafkah, kiswah (pakaian) untuk seseorang anak dari lahir hingga sampai umur ditanggung oleh ayahnya.115

Selanjutnya, ibu atau penggantinya yang dinyatakan lebih berhak mengasuh anak itu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:116

a. Berakal sehat; 113

Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, terjemahan M.Abdul Ghoffur, (Cetakan I; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hal.160-164.

114

Sulaiman Rasjid,Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006), hal.426.

115

H.M. Djamil Latif,Op. Cit., hal.82.

116

(13)

b. Baligh

c. Mampu mendidik;

d. Dapat dipercaya dan berakhlak mulia; e. Beragama Islam;

f. Belum kawin dengan laki-laki lain.

Atas syarat terakhir yaitu belum kawin dengan laki-laki lain ini, hak mengasuh anak terlepas dari ibu, dipindahkan kepada ayah atau lainnya yang lebih mampu mendidik anak yang bersangkutan. Tetapi inipun tidak mutlak, mungkin juga suami yang baru, ayah tiri anak justru menunjukkan perhatiannya yang amat besar untuk suksesnya pendidikan anak. Apabila ini terjadi, maka hak ibu mengasuh anak tetap ada.117

Hadlanah merupakan suatu kewenangan untuk merawat dan mendidik

orang yang belum mumayyiz atau orang yang dewasa tetapi kehilangan akal dan kecerdasan berpikirnya. Atau dengan perkataan lain, hadlanah ialah penguasaan, pemeliharaan, perawatan dan pendidikan anak yang di bawah umur, dimana hal tersebut dapat dilakukan oleh bapak atau ibu, berlangsungnya sampai anak itu

mumayyiz (dapat membedakan baik-buruk).118 Orang tua wajib memelihara,

mendidik dan mengasuh anak mereka sebaik-baiknya sampai anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri (dewasa). Kewajiban orang tua ini berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua putus karena perceraian.

Ketentuan Al-Qur’an, hadis Rasulullah dan pendapat para ahli hukum Islam (Fiqih Islam) ini menegaskan bahwa orang tua yang memelihara dan

117 Ibid.

118

(14)

mengasuh anaknya. Dan persoalan muncul ketika kedua orang tua anaknya bercerai. Berdasarkan penjelasan di atas, maka para ahli hukum Islam sepakat bahwa ibu adalah orang yang paling berhak melakukan hadlanah sampai anak tersebut dapat mengatur dirinya sendiri. Akan tetapi, hak melakukan hadlanah

atas anak oleh ibu ini tidak mutlak karena harus juga memenuhi syarat-syarat tertentu agar kehidupan dan pendidikan anak akibat perceraian orang tuanya dapat dipenuhi atau dilaksanakan terhadap anaknya. Bila hak hadlanahtersebut berada dalam pihak ibu bukan berarti seorang ayah lepas tanggung-jawabnya dalam penafkahan anak. Seorang ayah tetap diwajibkan memberi nafkah si anak sesuai dengan kemampuannya.

2. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam

Sebenarnya putusnya perkawinan ini adalah merupakan suatu hal yang wajar, karena makna dasar dari suatu akad nikah adalah ikatan atau dapat dikatakan juga perkawinan pada dasarnya adalah kontrak. Konsekwensinya perkawinan tersebut dapat terputus, yang kemudian dapat disebut dengan thalaq. Makna dasar dari thalaq itu adalah melepaskan ikatan atau melepaskan perjanjian.119 Sudah menjadi ketentuan syara’ bahwa thalaq itu adalah hak laki-laki atau suami dan hanya suami saja yang boleh menthalaq istrinya, orang lain walaupun familinya tidak berhak kalau tidak sebagai wakil yang sah dari suami tersebut. Islam menjadikan thalaq hak laki-laki atau suami adalah karena laki-laki atau suamilah yang dibebani kewajiban perbelanjaan rumah tangga, nafkah istri,

119

(15)

anak-anak dan kewajiban lain.120 Dengan demikian, dalam hukum Islam ditegaskan bahwa thalaq merupakan hak suami terhadap istrinya untuk memutuskan ikatan perkawinan antara suami istri tersebut. Sedangkan hak istri untuk melakukan perceraian terhadap suaminya melalui proses gugatan cerai. Putusnya suatu perkawinan baik melalui thalaq atau gugatan cerai tersebut merupakan solusi terakhir bila usaha perdamaian yang dilakukan oleh pihak keluarga terhadap suami istri tidak tercapai.

Terjadinya perceraian mempunyai akibat terhadap anak dari perkawinan bekas suami istri tersebut, menurut Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusan;

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut;

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

120

(16)

Selanjutnya Pasal 45 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan bahwa:

a. Kedua orang tua wajib memelihara dan menddidik anak-anak mereka sebaik-baiknya;

b. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Selain itu, kekuasaan orang tua dapat dicabut terhadap anak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 49 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu:

a. Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :

1) Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; 2) Ia berkelakuan buruk sekali.

(17)

dari mereka, tidak berarti bahwa pihak lainnya terlepas dari tanggung jawab terhadap pemeliharaan tersebut.121

Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan ini, bila terjadi perceraian antara suami istri maka hakhadlanah (memelihara dan mengasuh) anak diserahkan atas kesepakatan dari mantan suami istri tersebut untuk melaksanakan hak tersebut. Sehingga dalam hal ini, baik mantan suami maupun istri diberi kesempatan yang sama untuk mendapatkan hak hadlanah (memelihara dan mengasuh) anak serta kewajiban bapaknya (mantan suami) atas semua biaya pemeliharaan tersebut sampai anak tersebut dewasa. Bila terjadi perselisihan atas hak hadlanah

(memelihara dan mengasuh) anak ini maka hakim akan memberikan putusannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu.

Sedangkan dalam Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:

a. memberikan mut`ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul;

b. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telahdi jatuhi talak bain atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil;

c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul;

d. memberikan biaya hadlanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

121

(18)

Selanjutnya ketentuan Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

a. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadlanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:

1) wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; 2) ayah;

3) wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; 4) saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

5) wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu; 6) wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah. b. anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan

hadlanahdari ayah atau ibunya;

c. apabila pemegang hadlanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan

hadlanah telah dicukupi, maka atas permintaann kerabat yang

bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadlanah

kepada kerabat lain yang mempunyai hakhadlanahpula;

(19)

e. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadlanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a),(b), dan (d);

f. pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), mengenai hakhadlanah

(memelihara dan mengasuh) anak ini tidak dijelaskan siapa yang lebih berhak di antara mantan suami istri tersebut. KHI hanya menjelaskan bahwa ayah diberi tanggung jawab untuk memberikan biaya hadlanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun (belum dewasa) berdasarkan kemampuannya. Bila terjadi perselisihan atas hak hadlanah (memelihara dan mengasuh) anak ini maka hakim akan memberikan putusannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu.

3. Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

(20)

ketentuan pidana minimal bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak, serta diperkenalkannya sistem hukum baru yakni adanya hak restitusi.122

Selain undang-undang ini memberikan kewajiban dan tanggung jawab kepada negara, pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat, undang-undang ini juga memberikan kewajiban dan tanggung jawab kepada orang tua dalam hal perlindungan kepada anak, mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak, menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya, mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak dan memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak. Karena pada kenyataannya orang tualah yang paling dekat dengan sang anak dalam kesehariannya yang secara langsung memantau pertumbuhan fisik dan psikis sang anak dan memantau pergaulan keseharian sang anak.123

Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan komprehensif, undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut: (a) nondiskriminasi; (b) kepentingan yang terbaik bagi anak, (c) hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, (d) penghargaan terhadap pendapat anak.124

Ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

122

Muliyawan,Paradigma Baru Hukum Perlindungan Anak Pasca Perubahan Undang-Undang Perlindungan Anak, http://www.pn-palopo.go.id/index.php/berita/artikel/164-paradigma-baru-hukum-perlindungan-anak-pasca-perubahan-undang-undang-perlindungan-anak, diakses selasa, tanggal 31 Mei 2016.

123 Ibid.

124

(21)

Anak bahwa negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua atau wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak. Dan dalam Pasal 23 Undang-Undang Perlindungan Anak ini ditegaskan bahwa negara, pemerintah, dan pemerintah daerah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak dan negara, pemerintah, dan pemerintah daerah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.125

Bila diperhatikan materi dari Undng-Undang Perlindungan Anak ini, Undang-Undang tersebut tidak ada membahas secara khusus mengenai hak

hadlanah (memelihara dan mengasuh) anak akibat perceraian orang tuanya dan

pembebanan tanggung jawab terhadap anak akibat perceraian oleh ibu atau bapaknya. Undang-Undang Perlindungan Anak ini hanya menjelaskan secara umum atas jaminan perlindungan anak baik orang tuanya belum ataupun sudah bercerai sehingga pembebanan tanggung jawab diserahkan kepada kedua orang tuanya. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak ini maka kewajiban dan tanggung-jawab dalam memberikan perlindungan terhadap anak menjadi tugas dan beban dari negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua atau wali anak tersebut. Tujuan dibentuknya Undang-Undang Perlindungan Anak ini untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak yang dilakukan oleh orang tua maupun walinya dan tugas negara, pemerintah,

125

(22)

pemerintah daerah dan masyarakat mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak ini.

Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-undang ini, melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut dan tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.126

Terkait pemeliharaan dan pengurusan anak yang merupakan kewajiban dan tanggung-jawab orang tua, Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur mengenai larangan perlakuan terhadap anak. Dalam Pasal 76A Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa setiap orang dilarang memperlakukan anak secara diskriminatif yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau memperlakukan anak penyandang disabilitas secara diskriminatif. Selanjutnya, Pasal 76B Undang-Undang Perlindungan Anak ini juga menegaskan bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran.

(23)

Pelanggaran atas larangan ini, Undang-Undang Perlindungan Anak menetapkan sanksi yang diatur dalam Pasal 77B yang menetapkan bahwa “setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76A dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), dan Pasal 76B menetapkan bahwa “setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76B, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(24)

BAB IV

PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM PENGADILAN AGAMA DALAM MEMUTUSKAN PERKARA NOMOR 1572/Pdt.G/2011/PA Mdn

A. Analisa Putusan Hakim Pengadilan Agama Medan Atas Putusan Pengadilan Agama Nomor 1572/Pdt.G/2011/PA Mdn

1. Pokok perkara perceraian dalam Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 1572/Pdt.G/2011/PA Mdn

Dalam tesis ini, penulis melakukan studi kasus Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 1572/Pdt.G/2011/PA-Mdn. Awal perkara ini, terjadi peristiwa kekerasan dalam rumah tangga pada hari Minggu tanggal 16 Oktober 2011, sekitar pukul 22.30 WIB di Jalan Letda Sujono Gang Kurnia Nomor 7 Kelurahan Bandar Selamat, Kecamatan Medan Tembung, Sumatera Utara. Dalam hal ini pelapor bernama Mariani Br Brutu (istri) telah dicekik leher dan dipukul matanya oleh terlapor bernama Syofian Hadi (suami) akibat terjadinya perselisihan antara suami istri sehingga pelapor mengalami gangguan pada matanya (mata merah) dan leher sakit. Atas peristiwa ini, pelapor melaporkan kejadian tersebut ke Kantor Polisi Sektor Percut Sei Tuan pada hari rabu tanggal 26 Oktober 2011, pukul 11.00 WIB berdasarkan Surat Tanda Penerimaan Laporan Nomor STPL/2669/X/2011/Percut atas kasus Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), selanjutnya akan diproses lebih lanjut kasus tindak pidana ini ke Pengadilan Negeri Medan.

(25)

membaca surat gugatan penggugat tertanggal 28 Nopember 2011 yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama dengan register nomor 1572/Pdt.G/2011/PA-Mdn.

Guna memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara nomor 1572/Pdt.G/2011/PA-Mdn, maka perlu ditunjuk dan menetapkan kembali Majelis Hakim, dengan memperhatikan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama juncto Pasal 11 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman serta ketentuan-ketentuan hukum lain yang bersangkutan, di mana susunannya sebagai berikut:

(26)

dengan dasar pertimbangan memperhatikan unsur gugatan perceraian atas ketentuan dalam Pasal 38 dan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan juncto Pasal 113 sampai dengan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam yaitu adanya kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga yang didasarkan pada status perkawinan penggugat (surat nikah) untuk membuktikan bahwa penggugat menganut agama Islam, bukti laporan penggugat tanggal 26 Oktober 2011 berupa Surat Tanda Penerimaan Laporan Nomor STPL/2669/X/2011/Percut atas kasus Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan suaminya (tergugat) dan bukti berupa photo gambar yang menunjukkan penggugat mengalami kekerasan fisik.

Sebagaimana juga dijelaskan di atas, wakil ketua Pengadilan Agama Medan dalam menentukan dan menetapkan majelis hakim, melaksanakan prosedur sebagaimana terdapat dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa ” pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dengan susunan majelis sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain dan susunan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari seorang hakim ketua dan dua orang hakim anggota”.127Selanjutnya atas ketentuan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama bahwa ”Ketua pengadilan membagikan semua berkas perkara dan atau

127

(27)

surat-surat lain yang berhubungan dengan perkara yang diajukan ke pengadilan kepada Majelis Hakim untuk diselesaikan”.128

Dalam kasus persidangan di Pengadilan Agama Kelas IA ini, pihak-pihak yang berperkara adalah suami istri yaitu perkara cerai gugat yang diajukan:

Mariani Br Brutu binti Biner Brutu, umur 36 Tahun, agama Islam, warga negara Indonesia, pekerjaan ibu rumah tangga, berkediaman di Jalan Pertiwi No.54, Kelurahan Bantan, Kecamatan Medan Tembung, Kota Medan, selanjutnya disebut Penggugat.

Melawan

Syofian Hadi bin Kusmiadi, umur 36 Tahun, agama Islam, warga negara Indonesia, pekerjaan wiraswasta, berkediaman di Jalan Letda Sujono No.7, Kelurahan Bandar Selamat, Kecamatan Medan Tembung, Kota Medan, selanjutnya disebut Tergugat.

Sebelumnya penggugat telah mengajukan gugatan dengan surat tanggal 28 Nopember 2011 yang didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Medan pada tanggal 28 Nopember 2011 dengan Register Nomor 1572/Pdt.G/2011/PA-Mdn yang pokok permasalahan dalam perkara mengajukan dalil-dalilnya sebagai berikut:129

a. Bahwa penggugat adalah istri sah tergugat yang menikah pada tanggal 01 April 1996, sesuai dengan bukti Kutipan Akta Nikah Nomor

128

Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

129

(28)

12/12/IV/96 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Medan Tembung, Kota Medan.

b. Bahwa setelah menikah penggugat dan tergugat telah menjalin hubungan rumah tangga sebagaimana layaknya suami istri dan telah dikaruniai dua orang anak yang bernama Suri Andriyani, perempuan, umur 15 Tahun dan Rizky Ariandy, laki-laki, umur 11 Tahun.

c. Bahwa tempat tinggal bersama terakhir penggugat dan tergugat di rumah orang tua tergugat di alamat tergugat tersebut di atas.

d. Bahwa penggugat sebagai alasan utama menggugat cerai dari tergugat adalah mengenai masalah hubungan penggugat dengan tergugat sebagai suami istri terhitung sejak tahun 2000 yang lalu telah berada dalam kondisi berselisih secara terus menerus sampai dengan saat ini disebabkan:

1) Tergugat sering bersikap kasar dan suka memarah-marahi penggugat dan bahkan memukul, mencekik bahkan mengancam penggugat setiap kali ada perselisihan pendapat yang terjadi antara penggugat dan tergugat.

(29)

3) Tergugat sering pulang larut malam bahkan sering tidak pulang namun setiap ditanyakan tergugat marah-marah dan mencaci maki penggugat, akibat dari perilaku-perilaku tergugat tersebut membuat penggugat sangat tertekan dan tidak ingin hidup bersama tergugat. e. Bahwa puncak pertengkaran antara penggugat dengan tergugat

tersebut terjadi pada bulan Oktober 2011, pada saat itu tergugat kembali menyakiti penggugat dengan cara memukul, mencekik leher dan bahkan sempat mengancam penggugat dengan sebilah keris, akibat hal ini penggugat menjadi trauma ketakutan, akhirnya penggugat lari ke rumah keluarga penggugat baru kemudian pada tanggal 26 Oktober 2011 penggugat pun melaporkan perbuatan tergugat tersebut ke aparat Kepolisisan, sehingga sejak itu tergugat tidak pernah kembali dan tidak pernah hidup bersama penggugat lagi sampai saat ini.

f. Bahwa pihak keluarga telah berupaya untuk menasehati dan mendamaikan penggugat dengan tergugat akan tetapi tidak berhasil juga, karena sikap-sikap tergugat tetap tidak mau berubah.

g. Bahwa dengan keadaan yang demikian, penggugat merasa sudah tidak mungkin lagi untuk mempertahankan rumah tangga bersama tergugat, oleh karena itu penggugat berkesimpulan dan berketetapan hati untuk menceraikan tergugat.

(30)

Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini untuk dapat menentukan suatu hari persidangan, kemudian memanggil penggugat dan tergugat untuk diperiksa dan diadili, selanjutnya memberikan putusan yang amarnya sebagai berikut:

Primair:

1) Mengabulkan gugatan penggugat;

2) Menjatuhkan talak satu bain sughro tergugat terhadap penggugat; 3) Membebankan kepada penggugat untuk membayar biaya perkara

sesuai ketentuan yang berlaku. Subsidair:

Apabila Pengadilan berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya.

(31)

Tentang Perkawinan juncto Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam mengenai alasan-alasan perceraian.

Penjelasan di atas didasarkan bahwa penggugat selaku istri sering diperlakukan kasar oleh tergugat (suami) berupa kekerasan fisik berupa pemukulan yang mengakibatkan luka pada bagian mata yang diperkuat dengan bukti dan laporan visum dari kepolisian serta kekerasan psikis berupa mengancam penggugat, penelantaran keluarga yaitu kurang peduli terhadap kebutuhan hidup penggugat dan anak-anaknya serta melakukan perbuatan tidak baik lainnya. Ketentuan aturan dalam yang dijadikan penggugat sebagai alasan gugatan perceraian terutama mengenai kekerasan yang dilakukan tergugat terhadap penggugat yang menimbulkan luka fisik dan psikis sebagaimana berdasarkan Surat Tanda Penerimaan Laporan Nomor STPL/2669/X/2011/Percut tanggal 26 Oktober 2011 yang dikeluarkan Polsek Percut Sei Tuan atas kasus Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) .

(32)

mengajukan gugatan perceraian yang bertujuan demi kebaikan dan keselamatan penggugat dan anak-anaknya.

Selanjutnya, Peradilan Agama dalam persidangan tidak ada kewenangan memasukkan kekerasan dalam rumah tangga karena bukan kompetensi Peradilan Agama, alasannya bahwa ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini merupakan domain Peradilan Umum yang mengatur permasalahan pidana dan Peradilan Agama tidak mempunyai kompetensi apapun apabila terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang ini. Namun hakim Peradilan Agama hanya menjadikan UUPKDRT ini sebagai pedoman bentuk kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga yang dilarang oleh Undang-Undang dan menghubungkannya dengan alasan perceraian yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan maupun KHI.

Selanjutnya, untuk mendukung alasan-alasan atau dalil-dalil yang diajukan dalam gugatan perceraian ini, penggugat mengajukan bukti-bukti kepada Pengadilan Agama Medan. Sebagaimana yang ditetapan dalam Pasal 1865 KUHPerdata bahwa “setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Kemudian, Pasal 1866 KUHPerdata menegaskan bahwa alat-alat bukti terdiri atas: a. Bukti Tulisan;

(33)

e. Sumpah.

Dalam perkara ini, penggugat telah menyampaikan bukti-bukti kepada Majelis Hakim Pengadilan Agama Medan berupa:

a. Foto copy Kutipan Nikah Nomor 12/12/IV/96 tanggal 01 April 1996 yang dikeluarkan Kantor Urusan Agama Kecamatan Medan Tembung yang telah dibubuhi materai cukup dan diperlihatkan aslinya selanjutnya diberi tanda: P1.

b. Foto copy dari photo-photo penggugat tentang akibat pemukulan yang telah dibubuhi materai cukup dan diperlihatkan aslinya, kemudian diberi tanda: P2.

c. Foto copy Surat Tanda Penerimaan Laporan Nomor STPL/2669/X/2011/Percut tanggal 26 Oktober 2011 yang dikeluarkan Polsek Percut Sei Tuan dan telah dibubuhi materai cukup serta diperlihatkan aslinya, selanjutnya diberi tanda: P3.

Kemudian penggugat juga telah mengajukan saksi-saksi sebagai berikut:

a. Harianto bin Abd.Syarif, bahwa saksi kenal dengan penggugat dan tergugat karena penggugat keponakan saksi dan mengetahui peristiwa kekerasan dalam rumah tangga penggugat;

(34)

Selain itu, Majelis juga telah mendengarkan keterangan saksi tergugat sebagai berikut:

a. Linda Batubara binti Burhanuddin Batubara, bahwa saksi kenal dengan penggugat dan tergugat karena saksi pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga penggugat dan tergugat.

b. Rika Ariska binti Winarno, bahwa saksi kenal dengan penggugat dan tergugat karena tergugat saudara sepupu saksi.

Peran seorang hakim sangat krusial dan kritis dalam mengadili suatu perkara, sehingga dia harus menjalankan tugas yang berat untuk memisahkan yang benar dan salah, baik masalah kriminal maupun perdata. Sebagai hasil dari pemeriksaannya, dia harus memberikan hukuman kepada seseorang tirani dan membebaskan orang yang tertindas. Selain memeriksa perkara dari pihak yang bertikai seorang hakim juga mengevaluasi bukti-bukti, untuk keperluan membuat putusan yang akurat. Tugas-tugas tersebut menuntut seorang hakim untuk selalu membebaskan diri dari ketegangan, kekhawatiran dan tekanan. Untuk menjamin suksesnya penegakan keadilan, penting bagi seorang hakim untuk menghindari subjektivitas terhadap pengaruh dan campur tangan pihak lain.130 Sehingga, sebelum suatu perkara diputuskan, hakim Pengadilan Agama Medan dalam menangani perkara gugatan perceraian nomor 1572/Pdt.G/2011/PA-Mdn, melakukan pemeriksaan terhadap alasan-alasan penggugat, bukti-bukti yang disampaikannya dan keterangan saksi baik

130

(35)

dari pihak penggugat maupun pihak tergugat agar keputusan yang diputusnya memberikan nilai keadilan bagi para pihak yang berperkara. Namun dalam perkara ini, penggugat tidak melampirkan hasil visum akibat kekerasan (pemukulan) yang dilakukan tergugat (suami) dari pihak dokter kepolisian. Seharusnya hakim Pengadilan Agama yang menangani perkara ini juga meminta bukti hasil visum dari kedokteran untuk memperkuat putusan hakim tersebut dalam persidangan.

Dalam persidangan tersebut, penggugat telah menyampaikan kesimpulan langsung yang intinya minta gugatannya segera diputus dan dikabulkan, demikian pula tergugat telah menyampaikan kesimpulan langsung yang intinya tidak ingin bercerai dengan penggugat.

2. Pelaksanaan Prosedur Mediasi (Perdamaian) Dalam Persidangan Di Pengadilan Agama

Pengertian perdamaian menurut Pasal 1851 KUHPerdata adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikam atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. Kemudian, perjanjian ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara tertulis.131 Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 Angka 1 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Peraturan Prosedur Mediasi Di Pengadilan bahwa “Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator”.

131

(36)

Berdasarkan Pasal 1 Angka 2 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan bahwa “Mediator adalah hakim atau pihak lain yang memiliki Sertifikat Mediator sebagai pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.

Bahwa di dalam suatu persidangan perkara perdata, hakim berkewajiban untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa. Kelalaian hakim yang tidak menempuh prosedur mediasi dapat mengakibatkan pemeriksaan perkara tersebut menjadi cacat formil dan putusannya menjadi batal demi hukum (null and void). Perdamaian atau mediasi memiliki pengertian yaitu “suatu persetujuan yang berisi bahwa dengan menyerahkan, menjanjikan/menahan suatu barang, kedua belah pihak mengakhiri suatu perkara yang sedang diperiksa pengadilan ataupun mencegah timbulnya suatu perkara bila dibuat secara tertulis (vide Pasal 1851 KUHPerdata)”. Atau dengan kata lain mediasi adalah “cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator”.132

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan bahwa “Ketentuan mengenai prosedur mediasi dalam Peraturan Mahkamah Agung ini berlaku dalam proses berperkara di Pengadilan baik dalam lingkungan peradilan umum maupun

132

(37)

peradilan agama dan pengadilan di luar lingkungan peradilan umum dan peradilan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menerapkan mediasi berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung ini sepanjang dimungkinkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, Pasal 4 Ayat 1 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan bahwa “Semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan termasuk perkara perlawanan (verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak berperkara (partij verzet) maupun pihak ketiga (derden verzet) terhadap pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui mediasi, kecuali ditentukan lain berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung ini”.133

Perdamaian menurut Pasal 39 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo Pasal 31 Ayat 2 dan Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dapat dilakukan oleh hakim pada setiap sidang pemeriksaan. Karena itu usaha untuk mendamaikan suami istri yang sedang dalam pemeriksaan perkara gugatan untuk mengadakan perceraian tidak terbatas pada sidang pertama sebagaimana lazimnya dalam perkara perdata, melainkan pada setiap saat sepanjang perkara itu belum diputuskan oleh hakim. Dan dalam mendamaikan kedua belah pihak ini pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang atau badan lain yang dianggap perlu. Jadi usaha untuk mendamaikan suami

133

(38)

istri dilakukan sewaktu perkaranya disidangkan, bukan sebelum perkaranya disidangkan (diperiksa).134

Apabila perdamaian antara suami istri berhasil maka menurut Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, gugatan perceraian baru, tidak dapat diajukan berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh tergugat pada waktu dicapainya perdamaian itu. Apabila perdamaian suami istri tidak berhasil maka menurut Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup. Pemeriksaan dalam sidang tertutup ini, menurut penjelasan pasal ini, berlaku juga untuk pemeriksaan saksi-saksi. Dan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan terdapat alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar perceraian, hakim mengabulkan kehendak suami atau istri untuk melakukan perceraian.135

Sehubungan dengan mediasi ini, untuk putusan Pengadilan Agama Medan dengan perkara nomor 1572/Pdt.G/2011/PA-Mdn, bahwa atas panggilan Majelis maka penggugat dan tergugat telah hadir langsung di persidangan Pengadilan Agama Medan, selanjutnya Majelis telah bersungguh-sungguh berupaya mendamaikan penggugat dan tergugat tetapi tidak berhasil dirukunkan kemudian terhadap penggugat dan tergugat telah dilakukan mediasi dengan mediator Drs.H.Abd.Hamid Ritonga MA, upaya mana juga gagal untuk merukunkan

134

H.M. Djamil Latif,Op. Cit., hal.111.

(39)

penggugat dan tergugat, lalu persidangan dilanjutkan dengan membaca surat gugatan penggugat a quo yang dalil-dalilnya tetap dipertahankan oleh penggugat.136

Dalam persidangan di Pengadilan Agama Medan ini, sebelum menjatuhkan putusannya, hakim Pengadilan Agama Medan telah memeriksa dan menilai berdasarkan bukti-bukti yang akurat dan keterangan saksi-saksi bahwa sebelum persidangan terhadap para pihak bertikai telah diadakan upaya perdamaian yang dilakukan oleh pihak keluarga dari istri maupun suami, namun usaha perdamaian ini tidak berhasil. Begitu juga di persidangan, hakim juga mengadakan upaya mediasi (perdamaian) antara penggugat dan tergugat tetapi proses mediasi ini tidak berhasil untuk mendamaikan kedua belah pihak yang bertikai.

Proses mediasi (perdamaian) dalam perkara ini sejalan dengan teoritahkim

yaitu memisahkan pertikaian antara pihak yang bertikai atau lebih dengan hukum Allah atau menyatakan dan menetapkan hukum syara’ terhadap suatu peristiwa yang wajib dilaksanakannya. Dan menurut teori tahkim ini bila terjadi persengketaan suami istri maka selesaikanlah persengketaan itu melalui seorang

hakam (juru damai) dari pihak keluarga laki-laki dan keluarga perempuan. Jika

dianalisa, dalam ajaran agama Islam, mediasi diharuskan untuk menyelesaikan persengketaan antara suami istri untuk mengadakan perbaikan dan hakam (juru damai) tersebut haruslah pihak yang netral baik dari pihak keluarga laki-laki

136

(40)

maupun perempuan. Sehingga ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai mediasi ini sesuai dengan ajaran agama Islam.

B. Pertimbangan Hukum Hakim Terkait Putusan Pengadilan Agama Nomor 1572/Pdt.G/2011/PA Mdn

1. Dasar pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan perkara Nomor 1572/Pdt.G/2011/PA Mdn

Sehubungan dengan jalannya pemeriksaan selengkapnya telah dicatat di dalam Berita Acara Persidangan, maka hakim Pengadilan Agama Medan dalam memutus perkara nomor 1572/Pdt.G/2011/PA-Mdn di persidangan sesuai maksud dan tujuan gugatan penggugat dengan pokok perkara adalah penggugat cerai dari tergugat, hakim mengambil dasar pertimbangan hukum sebagai berikut:137

a. Telah terjadi perselisihan dan pertengkaran yang sulit untuk diperbaiki sehingga tidak ada harapan akan dapat hidup rukun lagi dengan dalil dan alasan yang tertera dalam surat gugatan;

b. Sesuai dengan bukti surat P.1 maka penggugat terbukti istri tergugat, dengan demikian penggugat merupakan persona standi in judicio yang patut untuk mengajukan gugatan ini;

c. Sesuai ketentuan Pasal 82 Ayat (1) dan (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008 maka Majelis telah berupaya mendamaikan penggugat dan tergugat, kemudian terhadap penggugat dan tergugat telah dilakukan mediasi, namun tidak berhasil merukunkan penggugat dan tergugat;

(41)

d. Atas pengajuan gugatan yang dilakukan penggugat telah sesuai dengan ketentuan Pasal 73 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, oleh karenanya Majelis akan mengadili gugatan penggugat a quo sebagaimana mestinya;

e. Berdasarkan alasan-alasan yang telah dikemukakan penggugat di persidangan (telah terjadinya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus hingga saat ini karena tergugat suka marah, berlaku kasar, memukul dan bahkan mengancam penggugat) dan alasan-alasan mana secara tegas telah dibantah oleh tergugat, maka untuk membuktikan Majelis membebankannya kepada penggugat (vide Pasal 283 Rbg);

f. Berdasarkan bukti surat P.2 membuktikan adanya bekas luka pada bagian mata penggugat dan bukti P.3 membuktikan penggugat telah melaporkan tergugat kepada pihak kepolisian dengan dugaan adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan tergugat terhadap penggugat pada hari Minggu tanggal 16 Oktober 2011 di Jalan Letda Sujono Gang Kurnia Nomor 7 Medan;

(42)

para saksi penggugat dan tergugat yang saling berhubungan satu dengan yang lain, maka Majelis telah menemukan fakta sebagai berikut:

1) Penggugat dengan tergugat sepakat telah memilih tempat kediaman bersama di rumah orang tua tergugat di Jalan Letda Sujono Gang Kurnia Nomor 7 Medan;

2) Semula rumah tangga penggugat dengan tergugat rukun damai;

3) Sejak tahun 2000 antara penggugat dengan tergugat mulai terjadi perselisihan dan pertengkaran yang berkelanjutan yang puncaknya terjadi pada bulan Oktober 2011 mengakibatkan penggugat pergi dari tempat kediaman bersama sampai dengan saat ini tidak pernah hidup bersama tergugat lagi;

4) Bukti laporan polisi tanggal 26 Oktober 2011, penggugat melaporkan tergugat kepada polisi karena telah melakukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap penggugat pada hari Minggu tanggal 16 Oktober 2011 di rumah tempat tinggal penggugat dengan tergugat di Jalan Letda Sujono Gang Kurnia Nomor 7 Medan;

5) Terhadap penggugat dan tergugat telah sering dinasehati supaya rukun damai dalam rumah tangga, tetapi tidak berhasil.

(43)

kepada Polisi), dan tidak berhasilnya berbagai upaya untuk merukunkan penggugat dengan tergugat, fakta ini meyakinkan Majelis bahwa rumah tangga penggugat dengan tergugat telah pecah sehingga mengakibatkan tidak tercapainya tujuan perkawinan (Ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam);

i. Sesuai ketentuan Pasal 22 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maka Majelis telah mendengarkan keterangan saksi dari kalangan keluarga penggugat dan tergugat, sehingga Majelis menemukan fakta bahwa telah sering dilakukan upaya merukunkan penggugat dengan tergugat namun masih tetap tidak berhasil, fakta mana mayakinkan Majelis bahwa perselisihan dan pertengkaran antara penggugat dengan tergugat telah sampai pada kondisi yang sukar diperbaiki dan tidak ada harapan akan dapat hidup rukun lagi antara penggugat dengan terguggat sebagaimana dimaksud Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam;

(44)

penggugat dengan tergugat benar telah terjadi ketidak harmonisan dalam kehidupan rumah tangganya;

k. Dalam kehidupan rumah tangga yang harmonis, adalah tidak lazim seorang istri (i.c. penggugat) melaporkan suaminya (i.c. tergugat) kepada polis, sehingga meyakinkan Majelis bahwa rumah tangga penggugat dengan tergugat benar-benar telah tidak harmonis;

l. Sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas maka Majelis berkesimpulan bahwa gugatan penggugat benar-benar telah berdasar hukum sehingga karenanya patut untuk dikabulkan.

Ketentuan Pasal 60A Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama bahwa dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim harus bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya serta penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.138

Peran hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan itu adalah menafsirkan undang-undang secara aktual, dengan tetap beranjak dari landasan cita-cita bangsa yang bersifat umum (common basic idie) yang terdapat dalam falsafah bangsa, yaitu Pancasila dan tujuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Dengan demikian, para hakim itu tidak reaktif terhadap pembaruan dan perkembangan tata kemaslahatan.139

138

Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

139

(45)

Selain itu, hakim Peradilan Agama harus berani menciptakan hukum baru, yang disesuaikan dengan kesadaran dan perkembangan kebutuhan masyarakat dari senyalemen ini hakim Peradilan Agama diharapkan menemukan dasar atau asas-asas hukum baru. Peran hakim Peradilan Agama yang lain dalam menegakkan hukum dan keadilan adalah berani berperan melakukan contra

legem, menyingkirkan pasal-pasal undang-undang jika dianggap oleh hakim itu

bertentangan dengan ketertiban, kepentingan, dan kemaslahatan umum tanpa melepaskan diri dari common basic idie.140 Seorang hakim, khususnya hakim Pengadilan Agama dalam memutus perkara yang diajukan kepadanya, selain memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perkara tersebut, juga harus berperan aktif dalam menemukan hukum agar tidak terjadi kekosongan hukum dengan tetap memperhatikan dasar falsafah bangsa dan tujuan hukum yang menciptakan kepastian, keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat dan negara.

Peran dan sikap hakim dalam mengambil keputusan di persidangan bertujuan menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini sejalan dengan teori keadilan dalam ajaran Islam, sebagaimana Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat

Al-Maidah: 8 yang memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk

menegakkan kebenaran dan berlaku adil karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang dikerjakan oleh seseorang. Seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara harus

(46)

menjunjung tinggi hukum dan nilai keadilan karena pertanggungjawabannya kepada Allah SWT dan peraturan perundang-undangan.

Hakim dalam memutuskan perkara yang diajukan kepadanya tidak lepas dari seperangkat nilai-nilai yang dianut dan diyakini kebenarannya, yang ada dalam benak kepala hakim tersebut yang itu pula mempengaruhi sikap dan perilakunya untuk menentukan salah tidaknya seseorang (terdakwa/tergugat), dan menentukan pula sanksi yang layak dijatuhkan jika ia divonis bersalah. Pilihan terhadap nilai-nilai itu pula yang sangat menentukan kualitas dari putusan hakim itu dianggap benar, adil dan bermanfaat. Pengetahuan, nilai-nilai, sikap dan keyakinan hakim akan menentukan putusan yang akan dibuat apakah akan membebaskan atau menjatuhkan sanksi yang ringan atau berat.141

Bertolak dari konsep ini, maka hakim yang bekerja memutus perkara dengan paradigma positivisme akan cenderung memutus berdasarkan bunyi teks dan lebih menekankan pada nilai kepastian undang-undang. Selain itu, hakim yang berparadigma nonpositivisme maka akan memutuskan perkara tidak hanya berdasarkan pada bunyi teks undang-undang, akan tetapi juga memperhatikan nilai-nilai etik moral yang melandasi putusan tersebut untuk mencari dan menemukan nilai keadilan dan kemanfaatan hukum yang menjadi inti substansi tujuan hukum yang sesungguhnya.142

Berdasarkan pertimbangan hakim Pengadilan Agama Medan di atas dalam menjatuhkan putusan atas perkara Nomor 1572/Pdt.G/2011/PA-Mdn maka hakim ini berparadigma nonpositivisme yang memutus perkara tidak hanya berdasarkan

141

M. Syamsudin,Op.Cit.,hal.35.

(47)

bunyi teks undang-undang melainkan juga memperhatikan nilai-nilai etik moral yang melandasi putusan tersebut untuk mencari dan menemukan nilai keadilan maupun kemanfaatan hukum sesuai dengan tujuan hukum.

Namun dalam hal ini, hakim pengadilan Agama Medan dalam memutus perkara kekerasan dalam rumah tangga yang menyebabkan perceraian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkawinan maupun KHI, seharusnya berpedoman juga kepada ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga karena dalam Undang-undang Perkawinan maupun KHI tidak dijelaskan kriteria kekerasan yang dapat dijadikan alasan perceraian. Hakim pengadilan Agama Medan hanya berpedoman kepada bukti laporan dari kepolisian bahwa telah terjadi tindak kekerasan dalam rumah tangga, gugatan penggugat, photo berupa gambar akibat kekerasan yang tidak didukung dengan hasil visum dari dokter kepolisian, keterangan tergugat maupun saksi-saksi dan bukti-bukti lainnya yang tertera di atas.

2. Putusan hukum hakim Pengadilan Agama Medan atas perkara Nomor 1572/Pdt.G/2011/PA Mdn

Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, maka hakim Pengadilan Agama Medan dalam memutus perkara Nomor 1572/Pdt.G/2011/PA-Mdn menjatuhkan putusannya di Medan pada hari Kamis tanggal 09 Februari 2012 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, menetapkan putusan sebagai berikut:

a. Mengabulkan gugatan penggugat.

(48)

c. Membebankan kepada penggugat untuk membayar semua biaya perkara sebesar Rp.391.000,- (tiga ratus sembilan puluh satu ribu rupiah).

Ketentuan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menegaskan bahwa:143

Ayat 1 : Sidang pemeriksaan Pengadilan terbuka untuk umum, kecuali apabila undang-undang menentukan lain atau jika hakim dengan alasan-alasan penting yang dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan sidang tertutup.

Ayat 2 : Tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan seluruh pemeriksaan beserta penetapan atau putusannya batal menurut hukum.

Ayat 3 : Rapat permusyawaratan Hakim bersifat rahasia.

Putusan merupakan hasil akhir dari sengketa. Putusan secara pengertian umum merupakan pernyataan hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu sengketa antara para pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan hakim di depan pesidangan.144 Selanjutnya, ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menegaskan bahwa “Penetapan dan putusan pengadilan hanya sah dan

143

Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

144

(49)

mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”.145

Pada dasarnya putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, karena dalam putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap telah terkandung wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang berperkara. Hal ini disebabkan hubungan hukum antara pihak yang berperkara sudah tetap dan pasti yaitu, hubungan hukum itu harus ditaati dan dipenuhi oleh pihak yang dihukum (pihak tergugat) baik secara sukarela maupun secara paksa dengan bantuan kekuatan umum.146

Bila dianalisa perkara gugatan perceraian ini masuk dalam kewenangan Pengadilan Agama karena tindak kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi dapat dijadikan dasar atau alasan perceraian sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perkawinan, KHI dan ajaran agama Islam. Keputusan yang ditetapkan hakim Pengadilan Agama Kelas I Medan atas perkara Nomor 1572/Pdt.G/2011/PA-Mdn mempunyai kekuatan hukum mengikat karena memperhatikan dan menilai berdasarkan bukti-bukti yang ada, keterangan saksi yang telah disumpah sebelumnya, menyelenggarakan proses mediasi (perdamaian) baik sebelum maupun dalam persidangan. Namun dalam putusannya, hakim Pengadilan Agama Medan tidak menyebutkan mengenai tanggung jawab pengurusan dan pemeliharaan anak akibat putusan cerai dalam perkara ini. Putusan Pengadilan Agama Medan ini tentunya akan menimbulkan

145

Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

146

(50)

persoalan baru dan membutuhkan waktu atau proses persidangan lagi bila terjadi permasalahan mengenai tanggung jawab pengurusan dan pemeliharaan anak akibat perceraian mantan suami istri tersebut.

(51)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Secara umum kekerasan merupakan perilaku agresif yang dilakukan dengan sengaja oleh pelakunya dapat saja dilakukan oleh seorang pria maupun wanita terhadap orang lain sehingga menyebabkan korbannya mengalami penderitaan fisik maupun psikis. Kekerasan yang dapat menimbulkan gangguan fisik maupun psikis ini merupakan perbuatan pidana. Perbuatan ini diatur dalam KUHP maupun Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Rumah Tangga yang mengatur secara khusus mengenai perbuatan pidana berupa kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Begitu juga bahwa tindakan kekerasan fisik yang dilakukan seseorang (suami) yang menyebabkan korbannya (istri) luka-luka bahkan cidera dan cacat apalagi meninggal dunia tidak dibenarkan ajaran Islam. Sehingga, tindak kekerasan dalam rumah tangga ini dapat menimbulkan akibat penderitaan fisik maupun psikis dapat dijadikan dasar atau alasan perceraian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam.

2. Hadlanah merupakan suatu kewenangan untuk merawat dan mendidik orang

(52)

a. Menurut hukum Islam, ibu lebih berhak dari ayah atas hadlanah

(memelihara dan mengasuh) anak itu hingga ia mengerti akan kemaslahatan dirinya (dapat mengatur dirinya sendiri), akan tetapi tidak mutlak karena harus memenuhi syarat-syarat tertentu.

b. Menurut Undang-Undang Perkawinan menjelaskan bahwa hak hadlanah

anak diserahkan atas kesepakatan dari mantan suami istri tersebut. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) hanya menjelaskan bahwa ayah diberi tanggung jawab untuk memberikan biaya hadlanah

untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun berdasarkan kemampuannya. Bila terjadi perselisihan atas hak hadlanah ini maka hakim akan memberikan putusannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum tertentu.

c. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 20 menjelaskan bahwa negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua atau wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak. Undang-Undang tersebut tidak ada membahas secara khusus mengenai hak

hadlanahanak akibat perceraian orang tuanya.

(53)

nikah untuk membuktikan bahwa penggugat beragama Islam, dan bukti photo berupa gambar yang menunjukkan penggugat mengalami kekerasan fisik. Selanjutnya, dalam putusan atas perkara Nomor 1572/Pdt.G/2011/PA-Mdn, hakim Pengadilan Agama Medan mengabulkan gugatan penggugat atas dasar terjadi kekerasan dalam rumah tangga atas dasar bukti berupa surat tanda pelaporan dan photo berupa gambar akibat kekerasan yang diperoleh dari kepolisian, keterangan tergugat maupun saksi-saksi, bukti-bukti lainnya dan berdasarkan bukti-bukti tersebut telah terpenuhinya unsur alasan perceraian yang diatur dalam ajaran Islam, aturan Pasal 38 dan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan juncto Pasal 113 sampai dengan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam.

B. Saran

(54)

2. Sebaiknya dibuat batasan pengaturan mengenai aturan hukum hak hadlanah

anak akibat perceraian orang tua maupun perlindungan anak sehingga tidak membingungkan hakim dalam menjatuhkan putusannya dan mewujudkan kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat. Karena masih biasnya pengaturan mengenai aturan hukum tersebut, hal ini terlihat dalam aturan hukum yang berlaku dimana masih terdapat perbedaan pandangan baik secara hukum Islam, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kompilasi maupun 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.

Referensi

Dokumen terkait

(3) Pemberian Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan peninjauan desain dan pemantauan pelaksanaan pembangunannya agar tetap sesuai dengan rencana teknis

sangat ketat, perusahaan harus mampu memberikan harga dan kualitas produk yang berkualitas terhadap pembelinya karena perusahaan dikatakan berhasil mencapai

Padahal jika dilihat dari potensi konsumen baik dari RTP dan maupun konsumen untuk usaha skala kecil (homestay) maka pengembangan energi terbarukan layak dilakukan, misalnya

Estimasi penelitian diformulasikan dalam bentuk persamaan tunggal ( single equation ), dengan variabel dependen adalah permintaan pariwisata yang diproksi dengan jumlah

experiential marketing terhadap customer satisfaction, fokus kepada pengalaman pelanggan juga akan memberikan dampak yang positif. pada

berdasarkan hasil penelitian dalam hal penyampaian/transmisi dilakukan oleh dinas sosial kepada pihak puskesmas yaitu dengan cara seminar atau juga bimbingan teknik oleh

Penelitian ini bertujuan untuk meneliti unsur struktural dan konflik sosial yang terdapat pada video wayang orang Balai Sigala-gala serta mencari tahu apakah relevan

Deteksi tepi merupakan salah satu hal yang paling penting dalam pengolahan citra. Deteksi tepi canny merupakan salah satu operator deteksi tepi yang paling