• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGHITUNG INDEKS ENSO DAN KORELASINYA D (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MENGHITUNG INDEKS ENSO DAN KORELASINYA D (1)"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

1 Nama : Aji Permana

NIM : G2410002

MENGHITUNG INDEKS ENSO DAN KORELASINYA DENGAN KONDISI CURAH HUJAN DI INDONESIA

Pendahuluan

El Nino-Southern Oscillation (ENSO) merupakan salah satu bentuk penyimpangan iklim di Samudera Pasifik yang ditandai dengan kenaikan suhu permukaan laut (SPL) di daerah katulistiwa bagian Tengah dan Timur (Kailaku 2009). Fenomena tersebut memainkan peranan penting terhadap variasi iklim tahunan. Pengaruh ENSO sangat terasa di beberapa wilayah Indonesia yang ditandai dengan jumlah curah hujan lebih kecil dalam tahun ENSO dibandingkan dengan pra dan pasca ENSO, sehingga dapat menyebabkan musim kemarau lebih panjang. Selain dapat mempengaruhi tingginya curah hujan, kejadian El-Nino juga berpengaruh terhadap masuknya musim kemarau. El-Nino biasanya diikuti dengan penurunan curah hujan dan peningkatan suhu udara, sedangkan kejadian La-Nina merangsang kenaikan curah hujan di atas curah hujan normal (Irawan 2006). Pernyataan tersebut diperkuat dengan pendapat menurut Fox (2000) bahwa El Nino dan La Nina merupakan anomali iklim global.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi antara Suhu Permukaan Laut (SPL) atau yang sering dikenal dengan Sea Surface Level (SST) dengan curah hujan. Menurut Boer, et al (1999) anomali suhu permukaan laut di wilayah Nino 3.4 (170⁰-120⁰ BB, 5⁰LU-5⁰LS) memiliki hubungan yang lebih kuat terhadap anomali curah hujan bulanan dibandingkan dengan anomali suhu permukaan laut di zona lain. Pada musim kemarau, anomali SST yang mencapai +1⁰C sudah menyebabkan curah hujan turun sampai di bawah normal. Aldrian dan Susanto (2003) juga mengungkapkan hubungan curah hujan dan SPL dalam bentuk korelasi pada setiap musimnya.

Hasil dan pembahasa

Gambar 1 Time series nino 1+2 (a). Nino 3 (b). Nino 3.4 (c). nino 4 (d)

Pada gambar diatas (gambar 1) menunjukan grafik time series bulan juli dari tahun 1982 hingga tahun 2002 . Suhu tertinggi yaitu pada pertengahan tahun 1983 dengan suhu mencapai 25,785⁰C dan terendah mencapai 20,849⁰C (a). Pada grafik ini, menunjukan time series pada nino 1+2. Pola yang terbentuk memiliki dua buah puncak yaitu pada pertengahan tahun 1983 dan pada pertengahan tahun 1997 dan paling rendah

Praktikum Ke- : 10

(2)

2 pada pertengahan tahun 1985, pertengahan tahun 1988 dan pertengahan tahun 1996. Pada nino 3 (b) memiliki pola yang berbeda dengan nino sebelumnya (a). Pada nino 3 hanya memiliki satu puncak yaitu pada pertengahan tahun 1997 dengan suhu 27,995⁰C sedangkan suhu terendah mencapai 23,815⁰C pada pertengahan tahun 1988. Untuk nino 3.4 (c) memiliki suhu tertinggi dan terendah sama dengan nino 3 (b) yaitu tertinggi pada pertengahan bulan 1997 dan terendah pada pertengahan tahun 1988. Terakhir yaitu nino 4, memiliki pola yang berfluktuatif dengan suhu maksimum 27,667⁰C dan minimum 26,687⁰C.

Pada musim kemarau, anomali SST yang mencapai +1⁰ C sudah menyebabkan curah hujan turun sampai di bawah normal. Aldrian dan Susanto (2003). Dari penelitian Swarinoto (2004) menunjukkan bahwa suhu permukaan laut tidak secara langsung dalam waktu bersamaan mempengaruhi curah hujan.

Gambar 2 Korelasi SST dengan Nino 1+2

Korelasi antara SST dengan curah hujan di wilayah Barat Pulau Jawa berdasarkan gambar 1 bernilai positif, hal ini menunjukan bahwa di bagian Barat Pulau Jawa mengalami musim hujan. Selain itu, yang memiliki korelasi positif adalah pulau Sumatera bagian selatan dan di wilayah Lampung, untuk pulau kalimantan yang memiliki korelasi positif aitu kalimantan Barat dan untuk Sulawesi yaitu Sulawesi bagian selatan dan tengah dan termasuk sebagian wilayah Aceh dan Papua. Sedangkan Jawa Tengah dan Jawa Barat memiliki korelasi negatif yang menunjukan terjadi musim kemarau dan di beberapa bagian di pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua. Berdasarkan gambar 2 bahwa kondisi di Indonesia tidak dipengaruhi oleh nino 1+2 karena penyebaran yang tidak beraturan dan tidak merata.

Gambar 3 Korelasi SST dengan Nino 3

(3)

3 signifikan antara SST di Pasifik dan curah hujan di Indonesia. Pada gambar yang berwarna biru menunjukan bahwa pada wilayha tersebut mengalami musim kemarau. Korelasi yang merata di pulau-pulau di Indonesia menunjukan adanya keterkaitan antara SST dengan curah hujan di Indonesia karena penyebarannya hampir merata. Kecuali di sebagian wilayah Sumatera dan wilayah Barat Pulau Jawa yang memiliki korelasi positif. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor lokal di wilayah tersebut.

Gambar 4 Korelasi SST dengan Nino 3.4

Korelasi yang hampir merata karena hampir seluruh pulau di indonesia berkolerasi negatig. Rentang korelasi antara -0,8 hingga 0.1 dan didominasi oleh nilai korelasi antara -0,6 sampai -0,4. Pada daerah yang berwarna biru menunjukan korelasi yang negatif dan pada daerah tersebut tejadi musim kemarau. Dengan kata lain bahwa ada korelasi yang sangat kuat antara curah hujan dengan nino 3.4 untuk wilayah Indonesia.

Gambar 5 Korelasi SST dengan Nino 4

Pada nino 4 secara umum memiliki korelasi yang sangat kecil karena nilai korelasi antara -0,2 hingga 0,2. Korelasi ini hampir merata untuk semua wilayah di Indonesia. pada daerah yang berkolerasi negatif seperti kalimantan, jawa barat, jawa tengah, sebagian wilayah sumatera menunjukan pada daerah tersebut mengalami musim kemarau. Sedangkan untuk wilayah yag berkolerasi positif seperti bali, NTT,NTB, Aceh, sebagian pulau Papua mengalami musim hujan. Hal ini menunjukan bahwa pengaruh nino 4 terhadap curah hujan di Indonesia sangatlah rendah dan tidak sekuat pengaruh nino 3 dan nino 3.4.

(4)

4 Pendapat ini diperkuat dengan hasil penelitian Prabowo & Nicholls dalam Faqih (2004) yang menyatakan bahwa iklim Indonesia dan Australia sangat berkaitan erat dengan wilayah Nino 3 dan 4.

Sedangkan untuk nino 1+2 tidak berpengaruh karena sebaran nilai korelasi tidak beraturan. Pada nino 3.4, nino 3 dan nino 4 meskipun hampir merata korelasi negatif naumn ada beberapa daerah yang memiliki korelasi positif. Hal ini dikarenakan olef faktor lokal di wilayah tersebut seperti adanya akumulasi awan dari wilayah lain yang terbawa oleh angin dan pada saat data di ambil awan tersebut berada pada adaerah yang memiliki korelasi positif (gambar 3;gambar 4;gambar5).

Kesimpulan

Grafik time series menunjukan adanya anomali yang sama untuk nino 1+2, nino 3, nino 3.4 dan nino 4 dengan nilai puncak pada pertengahan tahun 1988 dengan besar sekitar 27⁰C. . Sedangkan anomali minimum pada pertengahan tahun 1996. Anomali yang terjadi pada umumnya terjadi pada pertengahan tahun. Korelasi yang sangat kuat yaitu pada nino 3.4, nino 3 dan nino 4 karena sebaran yang merata di wilayah indonesia yang di tandai dengan warna biru yang seragam.warna tersebut menunjukan di Indonesia mengalami musim kemarau akibat adanya fenomena ENSO.

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian, E., dan R. D. Susanto, 2003, Identification Of Three Dominant Rainfall Regions Within Indonesia and Their Relationship To Sea Surface Temperature, International Journal Of Climatology, Int. J. Climatol, 23: 1435- 1452. Wiley InterScience

Boer, R. Notodipuro, K.A. and Las, I., 1999, Prediction of daily rainfall characteristic from monthly climate indicate, Paper pesented at the second international conference on science and technology for the Assesment of Global Climate Change and Its impact on Indonesian Maritime Continent, 29 November-1 December 1999.

Faqih, A. 2003. Analisis Pola Spasial dan Temporal Anomali Suhu Permukaan Laut di Samudera Pasifik, Hindia dan Atlantik Serta Kaitannya Dengan Anomali Curah Hujan Bulanan. Skripsi. Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Fox. J.J. 2000. The impact of the 1997-1998 El Nino on Indonesia. In: R.H Grove and J.Chappell (ed). El Nino-History and Crisis. Studies from the Aisi-Pasific region. The White House Press. Cambridge, UK.

Hendon, H.H. 2003. Indonesian Rainfall Variability : Impacts of ENSO and Local Air-Sea Interaction. American Meteorology Society.

Irawan, Bambang. 2006. Fenomena Anomali Iklim El Nino dan La Nina: Kecenderungan Jangka Panjang dan Pengaruhnya Terhadap Produksi Pangan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Vol. 24, No. 1:28-45

Gambar

Gambar 1  ⁰C dan terendah mencapai 20,849menunjukan  pada nino 1+2. Pola yang terbentuk memiliki dua buah puncak bulan juli time seriesdari tahun 1982 hingga tahun 2002
Gambar 2  Korelasi SST dengan Nino 1+2
Gambar 4  Korelasi SST dengan Nino 3.4

Referensi

Dokumen terkait

Sulawesi Selatan/South Sulawesi Kalimantan Barat/West Kalimantan Sumatera Barat/West Sumatra Jawa Tengah/Central Java. Kalimantan Timur/East Kalimantan Sumatera Utara/North

DKI Jakarta Jawa Timur Sulawesi Selatan Jawa Barat Jawa Tengah Kalimantan Selatan Sumatera Selatan Papua Barat Banten Nusa Tenggara Barat Sumatera Utara B a l i Sulawesi

Bangka Belitung Kalimantan Selatan Jawa Tengah Sulawesi Tenggara Maluku Utara Selasa, 30/03/21 Sumatera Barat Lampung Kalimantan Timur Jawa Timur Sulawesi Tenggara Maluku Utara.

Jika kedua fenomena ini terjadi secara berurutan, seperti pada tahun 1997 - 1998, maka Indonesia akan mengalami musim kemarau yang panjang dan sangat dahsyat, dari bulan Juni

 Intensitas curah hujan pada bulan Juni 2017 di beberapa wilayah (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, sebagian Jawa Barat, sebagian Jawa Tengah bagian selatan, Sulawesi

Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara Lampung, Banten, Maluku, Maluku Utara, Papua Jakarta, Kalimantan

Aceh, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, la.mpung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara,

Yogyakarta Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Bangka Belitung Kalimantan Selatan Jambi Banten Bengkulu Jawa Barat Jawa Timur Jawa Tengah Sulawesi Selatan Sumatera Utara Maluku