• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pentingnya Pendidikan Karakter pada Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pentingnya Pendidikan Karakter pada Anak"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Pentingnya Pendidikan Karakter pada Anak dalam Pembelajaran Gender di Sekolah

Dinda Anggun Carsila

Sekolah Tinggi Islam Negeri Jurai Siwo Metro E-mail: dindaanggun9@gmail.com

Abstrak

Karakter di dalam sebuah sistem yang menammkan nilai-nilai yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, dan tekad serta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai baik terhadap Allah Yang Maha Esa, sesama manusia, lingkungan, maupun bangsa, sehingga akan terwujud keselaran. Karakter yang berkualitas perlu di bentuk dan di bina sejak usia dini merupakan pembentukan karakter seseorang banyak sumber yang mengatakan bahwa kegagalan penanaman karakter pada seseorang sejak usia dini akan membentuk pribadi akan berpengaruh pada di masa dewasanya kelak. Bangsa indonesia di dalam sistem pendidikan nya berorientasi pada pengembangan otak kiri dan kurang mempelajari dan memperhatikan pengembangan otak kanan sehingga menjadi tidak menyenangkan bagi anak. Gender di dalam suatu ruang lingkup terutama di dunia pendidikan menjadi tunjangan usaha yang memberikan lingkungan di masyarakat untuk bersosialisai dengan baik dan menyenangkan anak. Pendidikan di sekolah sangat di butuhkan yang dapat mengintegrasikan karakter dengan pembekalan gender di dunia pendidikan maka, pembentukan karakter akan mampu menghadapi persoalan dan tantangan dalam lingkungan anak sebagai dasar pengetahuan anak apa itu gender dan sebagai metode pembelajaran yang utama untuk menentukan kemampuan anak di dalam masyarakat nanti.

Kata kunci: pendidikan, sistem, pengembangan, dan karakter.

Abstract

(2)

will be able to face the problems and challenges in the environment as the basis of knowledge of children with what gender and as a learning method that primary to determine the ability of children in society later.

Keywords: education, system, development, and character.

A. Pendahuluan

Pendidikan merupakan suatu sistem yang teratur dan mengembangkan misi yang cukup luas yaitu segala hal sesuatu nya yang berkembang melalui keterampilan, pemikiran, perasaan, kemauan, sosial, dan kepercayaan. Hal ini menunjukkan bahwa sekolah sebagaimana suatu lembaga pendidikan formal mempunyai suatu muatan beban yang cukup berat dalam melaksanakan misi pendidikan tersebut yang di kaitkan dengan perubahan zaman yang sangat berpengaruh terhadap anak-anak dalam perkembangan nya. Dalam kaitannya dengan pendidikan karakter anak bangsa indonesia yang bermutu di dukung dengan adanya program pembangunan yang baik. Pendidikan karakter pada anak di sekolah untuk sebagai dasar dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa agar menjadi peserta didik yang berpotensi dengan model pendidikan seperti ini berorientasi pada pembentukan anak yang bekulitas. Pengenalan karakter di sekolah dengan metode gender menjadi aspek konkrit dalam karakter anak akan mampu menghadapi persoalan dan tantangan dalam kehidupannya yang akan menjadi seseorang yang berkualitas.

Studi tentang gender saat ini melihat bahwa ketimpangan gender terjadi akibat rendahnya kualitas sumberdaya pengetahuan apa itu gender dalam hal ini, gender adalah kodrat yang di terima manusia yang di berikan kepada Allah entah itu laki-laki atau pun perempuan kurangnya pengetahuan masyarakat gender menyababkan ada nya ketimpangan terutama pada pengetahuan anak jadi peran guru wajib memberikan pembekalan apa itu gender. Gender masih di kaitan dengan jenis kelamin padahal hal ini sangat perbeda jenis kelamin membahas tentang organ manusia, dua pengertian yang berbeda itu sering di artikan sama oleh beberapa masyarakat yang kurang mengetahui nya.

(3)

gender berubah karena perjalanan sejarah perubahan ekonomi, sosial dan budaya nya atau karena kemajuan pembangunan. Namun, tidak berhenti di situ saja ada saja masalah dalam yang muncul dari laki-laki yang merasa terancam oleh kebangkitan perempuan yang terjadi karena kurang adanya pengetahuan dari mereka.

Maka konsep ini harus di ketahui dan di pahami terlebih dahulu siswa di sekolah dalam penyusaian anak tentang peran gender karena secara sosial telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, hak, dan fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat walaupun kenyataan nya menunjukkan bahwa gender tidak bisa di abaikan di lingkungan masyarakat atau pun sekolah, namun sebagai orang tua maupun guru hendaknya dapat mengajarkn pada anak bahwa peran tersebut dapat berganti karena semua itu tergantung dari krbutuhan, situasi, minat, dan keterampilan yang di miliki. Itulah sebabnya kadang kala di jumpai seorang laki-laki yang menekuni kariernya di bidang seni tari, sementara seorang perempuan menekuni kariernya di bidang teknik dan lain-lain. Hal ini perlu di tanamkan pada siswa atau anak bahwa pada dasarnya menghargai apa yang di lakukan anak, bukan karena anak itu laki-laki atau pun perempuan.

B. Pendidikan Karakter pada Anak

Pendidikan merupakan suatu proses di mana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan ditegaskan bahwa pendidikan lebih dari sekedar pengajaran. Pendidikan adalah suatu proses di mana suatu bangsa atau negara membina dan mengembangkan kesadaran diri di antara individu-individu. Jadi, pendidikan pada dasarnya merupakan upaya Peningkatan kemampuan sumber daya manusia supaya dapat menjadi manusia yang mandiri serta dapat berkonstribusi terhadap masyarakat dan bangsanya. Problematika yang dihadapi bangsa dalam hal pendidikan Proses pendidikan yang profesional dapat membentuk karakter peserta didik1. Karakter dapat dimiliki apabila kita memiliki

integritas. Karakter-karakter yang menggugah dunia mengisahkan individu yang memiliki karakter istimewa yang membawa hidup dan dunia mereka lebih baik. Karakter tersebut membawa keteguhan dalam menjalani kehidupan yang penuh tantangan, penuh semangat yang tinggi dan tidak mengenal lelah untuk mencapai cita-citanya. Dalam kisah sukses tokoh-tokoh, mereka pasti memiliki karakter yang istimewa dalam mengatasi permasalahan yang ada pada dirinya. Karakter-karakter tersebut seperti kejujuran, rasa hormat, kesetiaan, martabat, idealisme, berbudi luhur, kepatuhan, tanggung jawab, kerja sama, keberanian, kendali diri, kepercayaan diri, kelenturan, penuh harapan, cinta kasih, belas kasih, toleransi, pengampunan, kemurahan hati, keadilan, merendahkan diri, penuh syukur, humor, kesantunan, cita-cita, keingin tahuan, antusiasme, keunggulan, mencintai orang lain tanpa pamrih dan kepuasaan hidup.

(4)

Sebagaimana dikatakan di atas bahwa pendidikan karakter muncul untuk mereformasi metode-metode pendidikan. Melihat keadaan yang seperti di jelaskan di atas, makaperlu adanya suatu metode, strategi, dan media pembelajaran, akhlak yang baik, bener, praktis, dan menyenangkan seheningga dapat menyeimbangkan kecerdasan dengan melaakukan oleh metode pendidikan tradisional, maka hal yang sebaliknyalah yang dilakukan oleh pendidik2. Para pendidik harus

berfikir berpikiran bahwa para guru haruslah dibayar lebih banyak agar mereka lebih banyak juga memberikan perhatian kepada murid-murid secara individu dan menghilangkan pandangan atau pendapat bahwa semua murid itu memiliki kemampuan yang sama. Para pendidik yang meyakini bahwa para murid belajar lebih baik apabila mereka dengan sungguh-sungguh sangat perhatian atas apa yang dipelajari, yaitu materi pelajaran yang disukai dan sebaliknya akan terjadi bahwa mereka tidak akan belajar dengan baik apabila mereka ditekan untuk menghafal dan mengingat berbagai macam fakta-fakta yang dianggap percuma. Anak-anak seharusnya belajar melalui kontak langsung dengan sesuatu objek pelajaran, tempat dan orang-orang sebagaimana dibaca atau didengarkan oleh mereka pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik sacara aktif3.

Karakter dipahami sebagai tingkat kekuatan melalui mana individu mampu menguasai kondisi tersebut4. Karakter yang demikian ini disebut sebagai sebuah proses yang dikehendaki dan

maka dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan sebuah kondisi dinamis struktur antropologis manusia yang khas dan berbeda sebagai hasil keterpaduan olah hati, pikir, raga, rasa dan karsa sebagai kondisi bawaan sejak lahir yang disertai dengan usaha menuju penyempurnaan diri. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan dan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan mahasiswa untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati yang telah di terapkan. Pembentukan dan pengembangan karakter sebagai upaya pendidikan yang diharapkan dapat memberikan dampak positif baik bagi mahasiswa secara personal maupun bagi lingkungannya. Hal ini sesuai pendapat bahwa pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik mahasiswa agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungan. Pendidikan karakter diharapkan dapat menghasilkan perubahan perilaku mhasiswa yang mengarah semakin positif. Perilaku memiliki arti subjektif bagi setiap pelakunya. Ada pernyatakan bahwa suatu tindakan

2 Dedi Wahyudi, Pengembangan Multimedia Pembelajaran Interaktif Pendidikan Akhlak dengan Program

PREZI (Studi di SMP Muhammadiyah 2 Mlati Sleman Tahun Ajaran 2013-2014).

3 Rifki Afandi, Integrasi Pendidikan Lingkungan Hidup Melalui Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar sebagai

Alternatif Menciptakan Sekolah Hijau dalam jurnal Pendagogia, Vol. 2, No. 1, Februari 2013: halaman 98-108.

4 Janrico M.H. Manalu, Pendidikan Karakter Terhadap Pembentukan Prilaku Mahasiswa (Studi Proses

(5)

ialah perilaku manusia yang mempunyai makna subjektif bagi pelakunya untuk memahami arti subjektif dari sebuah tindakan berarti bersifat empati, yakni bagaimana menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang lain yang melakukan tindakan, dan situasi serta tujuan-tujuan dilihat menurut persektif tersebut. Pendidikan karakter merupakan usaha sadar yang mempertimbangkan tujuan serta cara untuk mencapainya.

Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah. sekolah dalam hal pembiayaan dan jadwal harian dalam memperoleh pendidikan yang berkualitas baru sebagian besar guru tidak menyadarinya dan kebijakan kepala sekolah yang memberikan keleluasaan kepada guru untuk menggunakan metode pembelajaran yang kreatif serta inovatif untuk peserta didik sudah berjalan dengan baik, dan sudah sebagian besar guru yang menjalankannya. Dalam hal hubungan sekolah dengan masyarakat serta memiliki mekanisme pendukung, supervisi dan monitoring didalam pendidikan karakter sudah berjalan cukup baik tetapi belum maksimal, karna sebagian besar guru tidak mempunyai dan menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat untuk bertukar gagasan mengenai perubahan yang positif dalam menerapkan pendidikan karakter dan telah memiliki monitoring serta pihakpihak yang mendukung jalannya pendidikan karakter. Dalam hal kondisi lingkungan sekolah dalam mendukung jalannya pelaksanaan pembelajaran pendidikan karakter terlihat dari hasil analisis data dan jawaban pertanyaan penelitian bahwa sebagian besar disekolah memiliki lingkungan yang bersih dan sehat dan sekolah pun juga telah memiliki fasilitas yang memenuhi kebutuhan peserta didik untuk mengembangkan pendidikan karakter seperti tempat berwuduk dan mushalla, memiliki tata cara dan prosedur untuk membantu para guru dan staf pengajar, orang tua dan anak untuk bekerja sama dalam mengembangkan pendidikan karakter, begitu juga dengan staf pengajar seperti guru agama demi pencapaian nilai-nilai kareligiusan peserta didik.

Sesuai dengan tujuan utama pembelajaran dengan inkuiri yaitu untuk mengembangkan intelektual dan keterampilan berpikir dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan sehingga mendapatkan jawaban atas dasar rasa ingin tahu mereka5. Pada dasarnya sama bahwa di dalam

pembelajaran inkuiri instruktur/guru memfasilitasi diskusi dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan dan juga memberikan penjelasan yang sesuai. Setelah melakukan kegiatan, data yang diperoleh dari hasil kegiatan/percobaan dituliskan dalam lembar kegiatan siswa yang telah disusun oleh guru yang dituangkan dalam bentuk gambar atau tabel sehingga mudah dipahami. Menjelaskan

5 Elly Lailatul Budur, Integrasi Pendidikan Karakter Melalui Inkuiri dengan Lesson Study dalam Pembelajaran

(6)

bahwa tabel data dapat digunakan untuk menyampaikan informasi, menunjukkan pola dan hubungan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional berperspektif di dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara 6. Di indonesia kita bisa

mengetahui sekarang bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan7, manusia

sebagai makhluk sosial mempunyai ketergantungan satu dengan yang lain sama hal nya dengan hal pendidikan membutuhkan orang lain kebutuhan pribadi sebagai pendorong.

C. Pembelajaran Gender di Sekolah

Pengertian peran gender jenis kelamin lebih menunjukkan pada dimensi biologis dari menjadi laki-laki atau perempuan. Sementara gender menunjukkan dimensi sosial dari menjadi laki-laki atau perempuan. Dua aspek dari gender yang perlu diketahui adalah identitas gender dan peran gender. Identitas gender adalah suatu perasaan menjadi laki-laki atau perempuan, dimana hal ini kebanyakan diperoleh anak begitu ia berusia 3 tahun. Sedangkan peran gender berisi harapan-harapan yang menunjukkan bagaimana laki-laki atau perempuan harus berpikir, bertingkah laku, dan merasakan.Di lain pihak (stereotypegender) diartikan sebagai seperangkat keyakinan tentang karakteristik yang sesuai menjadi perempuan dan laki-laki. Misalnya begitu anak perempuan lahir, orang tua cenderung memberikan perlakuan yang berbeda terhadap anak laki-laki maupun perempuan. Warna-warna tertentu lebih cenderung ditujukan untuk anak perempuan, sementara warna lain untuk laki-laki. Dengan berjalannya waktu, perbedaan ini juga tampak dalam gaya potongan rambut, baju, maupun jenis mainan. Selama masa perkembangannya, orang dewasa dan kelompok sebaya memberikan dukungan atas perbedaan ini. Anak laki-laki diyakini cenderung dominan, agresif, independen dan anak peremouan cenderung perhatian, sabar, tergantung.

Pada dasarnya memang ada perbedaan gender dalam kemampuan mental dan kepribadian. Anak perempuan lebih unggul dalam perkembangan bahasa namun lebih sensitive dan tergantung. Sedangkan anak laki-laki unggul dalam kemampuan keuangan dan lebih agresif. Hal ini berdasarkan pandangan bahwa anak perempuan cenderung lebih banyak memanfaatkan otak sebelah kirinya, sedangkan anak laki-laki lebih banyak memanfaatkan otak sebelah kanannya, yang banyak berkaitan dengan spasial atau keruangan. Pendidikan bagi perempuan semakin penting artinya bila dilihat dari tugas dan fungsinya, baik dalam masyarakat maupun dalam rumah tangga8.

Dengan adanya perubahan zaman menuju industrialisasi, maka kesempatan anak untuk belajar peran gender juga semakin terbatas. Apalagi dengan majunya tingkat pendidikan wanita yang berakibat pada meluasnya peran wanita kepada hal-hal yang dulunya hanya dikerjakan laki-laki.

6 Mufidah Ch, Strategi Implementasi Pengerusutamaan Gender Pendidikan Islam, Vol.11,No. 2 November

2011.

7 Ismanto, Evaluasi Pembelajaran Persektif Pembelajaran Kesetaraan Gender dalam Sistem Pendidkan

Nasional, Vol. 8, No. 2, Desember 2015.

8 Khusnul Khotimah, Urgensi Kurikulum Gender dalam Pendidikan dalam jurnal Pemikiran Alternatif

(7)

Orang tua berpengaruh dalam perkembangan gender, tampaknya sudah tidak diragukan lagi. Ibu dan ayah secara psikologis berperan dalam perkembangan gender anak. Ibu secara konsisten bertanggung jawab terhadap pengasuhan, sementara ayah lebih berperan pada interaksi bermain dengan anak dan bertanggung jawab menanamkan agar anak laki-laki atau perempuan tunduk pada norma-norma budaya. Tanpa disadari ayah merupakan bagian penting dalam perkembangan peran gender daripada ibu karena ayah cenderung bereaksi secara berbeda pada anak laki-laki maupun perempuan. Banyak keluarga mendororng anak laki-laki dan perempuan untuk terlibat dalam permainan dan kegiatan yang berbeda. Anak perempuan umumnya bermain dengan boneka sampai ia mencapai usia sekolah, jika sudah dewasa ia diharapkan dapat mengasuh atau terlibat dengan hal-hal yang bersifat emosional daripada laki-laki.

(8)

Perbedaan pelaku antara siswa perempuan dan laki-laki atas dasar gender masih mewarnai praktik pendidikan. Tempat duduk yang terpisah antara laki=laki dan perempuan masih banyak dijumpai di kelas-kelas. Tugas-tugas yang diberikan guru pun seringkali berbeda, misalnya laki-laki diminta mengumpulkan kliping tentang sains dan teknologi, sementara siswa perempuan tentang rumah tangga dan pendidikan. Dalam jenjang yang lebih tinggi, posisi strategis dalam organisasi siswa diduduki siswa laki-laki, sedangkan siswa perempuan cukup menjadi seksi konsumsi, atau maksimal sekretaris sebagai pemanis dan “pembantu” ketua. Perlakuan yang bias gender ini mencerminkan bahwa para guru (yang mayoritas justru perempuan) pun ternyata masih tipis kesadaran gendernya sehingga tanpa sadar ikut melestarikan budaya patriarki. Betapa sering guru menasihati anak perempuan dengan berkata, "Anak perempuan tidak pantas begitu", dan lebih toleran terhadap kenakalan yang dilakukan siswa laki-laki. Perbuatan bernilai pantas atau tidak bukan atas dasar gender, melainkan nilai moral yang dikandungnya, misalnya perbuatan membolos adalah tidak pantas untuk perempuan maupun laki-laki. Praktik bias gender makin nampak pada buku-buku pelajaran yang digunakan di sekolah-sekolah.

Perhatikan gambar ayah yang sedang bekerja di kantor sementara ibu sibuk di dapur. Ayah sedang baca koran, ibu berkebun. Istilah-istilah yang jamak seperti Pak Tani, Pak Sopir, Pak Polisi, sementara hampir tidak ada Bu Tani, Bu Sopir, dan Bu Polisi. Gambaran anak laki-laki yang nakal dan lebih aktif, sementara perempuan duduk alim dan penurut. Soal-soal pun tak terhindar dari praktik bias gender ini, "Siapa yang menjadi pencari nafkah utama dalam keluarga?" Pertanyaan soal semacam ini bukan hanya bias gender, melainkan tidak realistis karena dalam kenyataan lebih banyak ayah dan ibu bersama-sama mencari nafkah, bahkan ada yang hanya memiliki ibu saja. Pendidikan harus konstektual dan nyambung dengan realitas yang dialami siswa. Lebih daripada itu, pendidikan mesti mampu mencerdaskan dan mencerahkan siswa. Peran strategis dalam penyadaran gender adalah para guru. Sudah saatnya kurikulum sekolah keguruan memasukkan mata kuliah gender. Diknas pun perlu melakukan pelatihan gender terhadap para guru. Dan tentu saja, para guru sendiri berani membuka wawasan tentang kesetaraan gender. Langkah pertama yang perlu diambil guru adalah bersikap kritis terhadap praktik bias gender yang ada di lingkungan sekolah, kemudian susun dan persiapkan sendiri materi ajar, metode, dan pengelolaan kelas, yang mendukung iklim kesetaraan gender. Untuk jenjang yang lebih tinggi, ajak para siswa untuk berdiskusi masalah-masalah gender yang sedang aktual. Ajak mereka untuk mengkritisi praktik eksploitasi dan komersialisasi tubuh perempuan yang mendominasi media dalam segala bentuknya.

(9)

tatanan sosial yang lebih adil dan manusiawi, termasuk juga model antara suami dan istri yang saling menghargai harkat dan martabat. Suatu gerakan besar yang akan membarui kehidupan dan memberi harapan bagi peradaban manusia. Kesadran gender anak-anak tumbuh dalam keluarga melalui kondisi real hubungan ayah dan ibu serta perlakuan yang mereka dapatkan. Dalam keluarga-keluarga masih diwarnai praktik bias gender yang tidak adil terhadap perempuan -- ibu maupun anak. Posisi suami sebagai "kepala keluarga" yang mengambil keputusan final, serta istri yang harus menanggung beban ganda (peran ganda?) sebagai pengurus rumah tangga dan pencari nafkah, jelas gambaran tidak adil dan tidak setara. Kesempatan pendidikan lebih diberikan kepada anak laki-laki, sementara banyak pembatasan lebih diberikan kepada anak perempuan, juga gambaran bagaimana bias gender ini masih mewarnai kehidupan keluarga. Tradisi dan agama pun ikut melegitimasi budaya patriarki sehingga memperoleh pembenarannya.

Pada akhirnya, masyarakat pun mengamini praktik-praktik semacam itu. Dibutuhkan perubahan paradigma, khususnya dalam hubungan suami istri, untuk memulai penumbuhan kesadaran akan kesetaraan gender dalam keluarga. Suami istri saling menghargai sebagai pribadi yang semartabat, kendati tetap mengakui adanya perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan-perbedaan fungsi lebih bertumpu pada pembagian tugas dan partisipasi daripada atas dasar gender. Dalam hal ini, tugas mengurus dan mendidik anak adalah tugas bersama antara ayah dan ibu. Kesetaraan gender dalam keluarga bukan untuk pertentangan, justru dalam kerangka pembentukan pola relasi dan komunikasi yang lebih manusiawi antara suami dan istri. Dalam kondisi seperti ini, kekerasan domestik tak akan terjadi, suami istri tidak saling mendominasi, anak-anak akan mendapatkan habitat tumbuh yang kondusif bagi masa perkembangannya. Orangtua bisa memulai dari hal sederhana, misalnya tidak terlalu menonjolkan perlakuan yang berbeda antara anak perempuan dan laki-laki seperti anak laki-laki diberikan mainan mobil dan senapan sementara perempuan melulu boneka dan alat rumah tangga. Anak laki-laki pun perlu dilibatkan dalam urusan domestik seperti mencuci piring, memasak, dan berbelanja. Hindari kata-kata "Anak perempuan tidak boleh..." atau "Anak laki-laki harus..." Sama halnya dengan di sekolah, boleh dan tidak boleh suatu perbuatan bukan atas dasar gender, melainkan nilai moral yang dikandungnya. Pendidikan yang paling efektif adalah keteladanan dan anak-anak belajar dari sana. Orangtua yang memiliki kesadaran gender tinggi akan melahirkan anak-anak yang demikian pula, dan ini berarti membekali anak-anak dengan ketrampilan hidup yang sesungguhnya merupakan pelabelan yang diawali dengan proses persepsi terhadap objek persepsi mengenai berbagai macam ciri dan sifat-sifat personal yang melekat (seakan permanen) pada sekelompok orang.

(10)

diskriminasi kelompok minoritas dan lemah adalah perempuaan9, kontruksi ini tidak lagi

membedakan laki-laki dan perempuan atas perbedaan seks yang dimiliki. Dasar sosialisasi ini secara kuat telah membentuk ideologi gender, melalui kontruksi sosial yang melembaga. Misalnya, perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa, dan jantan. Perempuan dikontruksikan sebagai makhluk yang perlu dilindungi, kurang mandiri, tidak rasional, hanya mengandalkan perasaan, dan lain-lain. Konsekuensinya, muncul batasan-batasan yang menempatkan perempuan pada ruang penuh dengan aturan baku yang perlu dijalankan. Padahal, banyak sisi positif dari perempuan yang membedakannya dengan laki-laki dan jarang diekspos. Yaitu watak dan karakter. Seperti kemampuan pengendalian diri, kekuatan emosi, kepekaan sosial, Konsep pembakuan peran gender yang mengotak-kotakkan peran laki-laki atau suami dan perempuan atau istri ini hanya memungkinkan perempuan berperan di wilayah domestik yakni sebagai pengurus rumah tangga sementara laki-laki di wilayah publik sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama. Kata kunci untuk memahami gender ada pada kata pembagian, yang dapat dibedakan pada dua sifat; yaiu pembagian yang sifatnya kodrati dan pembagian yang bersifatnya berubah-rubah sehingga dapat dipertukarkan. Pembagian yang pertama merupakan pemberian Tuhan yang tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan dinamakan sebagai pembagian seksual. Sedangkan pembagian peran, sifat dan watak serta tanggungjawab yang dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan itulah yang dinamakan gender, yang menganggap bahwa anak perempuan tidak pantas untuk keluar malam karena sangat berbahaya buat diri mereka yang di anggap rentan dari pada laki-laki dari pembagian itulah kemudian muncul perbedaan gender10.

Oleh karena itu, gender sesungguhnya berkaitan erat dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan diharapkan untuk berfikir dan bertindak sesuai dengan ketentuan sosial dan budaya dimana mereka berada. Berdasarkan keyakinan itulah masyarakat membedakan peran dan fungsi gender sesuai dengan kebutuhannya. Untuk mengurangistereotype gender pada anak-anak perlu dilakukan beberapa cara oleh orang tua dan guru. Misalnya orang tua maupun guru dapat membantu anak-anak untuk mengenal peran gender laki-laki dan perempuan. Orang tua atau guru hendaknya menghargai apa pun yang dilakukan anak bukan karena dia laki-laki atau perempuan. Contohnya, seorang wanita dapat menjadi presiden dan memahami mengapa seorang ayah dapat pula merawat anak-anaknya dirumah, menyiapkan makanan , dan lain-lain. Anak juga perlu menyadari akan stereotype gender di masayaraakat. Meskipun peran gender dalam masyarakat berbeda antara laki-laki dan perempuan, namun peran tersebut dapat berganti tergantung situasi dan kebutuhan yang ada. Misalnya banyak dijumpai lingkup pekerjaan atau karier

9 Esti Zaduqisti, Sterotipe Peran Gender bagi Pendidikan Anak, Vol. 1, No.1, Januari-Juni 2009.

10 Nove Hardani, Konstruksi Gender Di kalangan Mahasiswa Jurusan Sosiologi Universitas Mulawarman,

(11)

laki-laki ditekuni oleh perempuan. Dalam hal ini orang tua atau guru perlu menjelaskan alas an pemilihan karier tersebut bahwa minat dan keterampilan lebih menentukan pemilihan karier seseorang. Hubungan dengan rekan memainkan peran utama dalam penentuan gelombang yang tepat atau fine-tuning kognisi social pada anak usia sekolah. Anggota kelompok sebaya biasanya dari ras dan status social ekonomi yang sama. Memang, kebanyakan anggota kelompok sebaya hidup di lingkungan yang secara etnis tidak diversifikasi. Kegiatan kompetitif diantara rekan-rekan, seperti program dan tugas kelompok di sekolah membantu anak-anak mengembangkan kualitas hubungan. Juga kegiatan kompetitif, seperti olah raga tim bermakna membantu anak-anak usia sekolah untuk menemukan talenta atletik serta bagaimana mengelola konflik. Dengan demikian anak yang lebih tua belajar tentang kepercayaan, kejujuran, dan bagaimana memiliki hubungan sosial yang bermanfaat ketika mereka berinteraksi dengan teman-teman mereka. Akhirnya kognisi sosial remaja muncul sebagai hasil hubungan jangka panjang yang terbentuk berdasarkan kepercayaan. Sepanjang pengalaman ini, benda-benda alamiah lainnya sekaligus sebagai suatu perkembangan11, anak-anak yang lebih tua memiliki kemampuan lebih untuk mengatasi dunianya

dan lingkungan sosial dengan segala aturannya.

Pada waktu tertentu anak-anak menjadi lebih baik untuk memprediksi perilaku sosial yang sesuai dan bisa diterapkan. Jika dikatakan bahwa gender adalah interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa gender pada hakikatnya lebih menekankan aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek non biologis lainnya12.Identitas dan

nasionalisme kita dalam ketergantungan ekonomi pada asing menyebabkan kita dengan mudah didikte oleh kekuatan ekonomi dan politik asing dan hal itu akan mencederai kedaulatan kita sebagai bangsa. Pada masyarakat yang religius, ternyata tuntutan dan kebutuhan atas reproduksi sehat yang didasarkan atas pemahaman relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan justru dipandang secara dikotomik, dipisahkan bahkan dipertentangkan dengan ketaatan masyarakat terhadap agamanya. Seharusnya hal tersebut berjalan bersamaan dan saling melengkapi karena pada dasarnya ajaran agama mengajarkan kebaikan dan kebajikan, keadilan dan kesetaraan di hadapan Tuhan. Bilamana agama dirasa menghambat hubungan interaksi harmonis antara sesama manusia, maka hal itu terkait penafsiran ajaran agama yang bias.

Hal ini terjadi karena adanya keyakinan di dalam masyarakat bahwa pekerjaan yang dianggap masyarakat sebagai jenis pekerjaan perempuan, seperti semua pekerjaan domestik, dianggap dan dinilai lebih rendah dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan lelaki13.

11 Ricardo F. Nanuru, Progresivisme Pendidikan dan Relevansi di Indonesia dalam jurnal Uniera, Volume 2

Nomer 2; ISSN 2086-0404.

12 Safira Suhra, Kesetaraan Gender dalam Perseptif Al-Qur’an dan Implikasinya terhadap Hukum Islam, dalam

Jurnal Al-Ulum Volume. 13 Nomer 2, Desember 2013 Hal 373-394.

13 Made Diska, Widiyani Ni,Sri Hartati, Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Pandangan Perempuan Bali:

(12)

Dalam pandangan kognitif ini terdapat dua teori yang yang memandang bahwa peran gender lebih di dominasi karena faktor kognitif seseorang yaitu dipandang sebagai struktur yang terbentuk dari jaringan asosiasi yang tertata dan akhirnya menimbulkan persepsi yang akhirnya berkesinambungan sehingga terbentuklah stereotipe peran gender. Dari hasil analisi data dapat ditafsirkan bahwa kompetensi guru dalam melaksanakan pendidikan karakter di sekolah belum berjalan dengan baik, karena sebagian besar guru tidak mendapatkan pelatihan dan mengikuti seminar dan pembekalan tentang pengembangan pembelajaran pendidikan karakter. Namun tipe gender anak terjadi setelah mengembangkan konsep gender. Pengaruh kebudayaan luar dan budaya yang telah ada menjadi wujud baru yang lebih indah lebih baik serta serasi sesuai selera14, setelah mereka konsisten

menganggap diri mereka sebagai lelaki atau wanita, anak akan menata dunianya berdasarkan gender. Dengan teori perkembangan moralnya, yaitu perkembangan yang berhubungan dengan aturan dan konvensi dari interaksi yang adil antar-orang dan aturan tersebut bisa dikaji dalam domain kognitif, behavioral (perilaku), dan emosional hal ini di percaya bahwa anak baru memahami gender (sebagai bentuk konvensi) secara konstan setelah mencapai tahap pemikiran operasional kongkret, yakni pada usia sekitar tujuh tahun, mereka sudah tahu bahwa lelaki adalah lelaki, tidak peduli entah dia mengenakan celana atau rok atau apakah rambutnya panjang atau pendek.

Secara biologis, konstruksi dan fungsi anatomis tubuh antara laki-laki dan perempuan memang beda. Oleh karenanya, akan sangat logis apabila laki-laki dan perempuan membutuhkan perlakuan yang berbeda pula dalam pemeliharaannya. Hanya saja, yang terjadi adalah penyamarataan perlakuan yang berujung pada pengabaian dan kebijakan yang meremehkan fungsi-fungsi reproduksi perempuan. Sebagai akibatnya, perempuan mengalami proses-proses reproduksi yang tidak sehat, yang bahkan dapat berujung pada kematian perempuan15. Selain penelitian yang bias,

media pun dalam hal ini turut memperkuat konstruksi perempuan yang demikian, baik melalui tayangan maupun iklan yang dibuat. Misalnya, bagaimana perempuan dikonstruksi harus menjadi cantik melalui iklan-iklan kosmetik dan bagaimana perempuan harus menjadi ibu rumah tangga yang baik melalui iklan-iklan barang-barang kebutuhan rumah tangga. Di sisi lain, tidak banyak pihak yang sadar akan hegemoni gender yang telah menyetir kehidupan perempuan. Dari sini, perlu diupayakan pendidikan yang berbias gender, yaitu dengan tidak melakukan pembedaan atas perempuan dan laki-laki serta berupaya membongkar strereotip yang timpang.

D. Simpulan

Penegakkan karakter atau rasa hormat siswa pada orang baik dalam di lingkungan sekolah khususnya maupun di lingkungan masyarakat. Bahwa orang tua maupun guru harus dapat

14 Ulfah Fajarini, Peranan Kearifan Lokal dalam Pendidikan Karakter,Vol.1, No. 2 Des 2014.

15 Maya Fitria, Keadilan Gender dan Hak-hak Produktif di pesantren dalam Jurnal Psikologi Vol. 38, NO. 1,

(13)

memahami apa yang dimaksud dengan gender, jenis kelamin, dan apa yang harus dilakukan agar anak lebih memahami meskipun peran gender dalam masyarakat berbeda, namun peran tersebut dapat berganti bergantung pada situasi, kebutuhan, minat, dan keterampilan yang dimiliki16.

pendidikan karakter, sebagian besar sekolah yang memiliki lingkungan yang mendukung penyelenggaraan pendidikan karakter, sebagian besar guru tidak memiliki pengetahuan dan sikap yang baik dalam pendidikan karakter, sebagian besar guru tidak memiliki kompetensi yang baik, sebagian besar sekolah telah menggunakan kurikulum dan sebagian besar guru belum menggunakan penilaian yang cocok bagi pendidikan karakter dan sebagian besar masyarakat belum mendukung jalannya pendidikan karakter.

Pendidikan karakter melalui pembelajaran inkuiri dengan lesson study dapat meningkatkan sikap ilmiah dan hasil belajar kognitif siswa. Sejalannya sikap, persepsi terhadap evaluasi lingkungan, dan persepsi terhadap kemampuan diri dalam memberikan akses dan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan dalam pendidikan menguatkan sikap yang kemudian termanifestasi menjadi sebuah perilaku. Ketika sebuah sikap telah muncul sebagai perilaku dari sebagian besar orang, tuntutan untuk membuatnya lebih terjamin secara sistem juga menguat. Dalam proses penyusunan kebijakan atau program, isu atau masalah pendidikan belum berangkat dari masalah substantif gender bidang pendidikan, melainkan lebih kepada tuntutan instan pemerintah daerah, khususnya untuk memenuhi usulan program dan menawarkan program unggulan program pusat. Penilaian terhadap diri atau konsep diri pada masing-masing subjek cenderung positif karena memiliki kemampuan penerimaan diri, regulasi diri, dinamisme diri, komitmen terhadap peran reproduktif, penyajian diri, dan penyesuaian diri yang cukup baik. Dalam pembentukan konsep diri pada tiap subjek dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor dukungan sosial dan resistensi.

Banyak sekali factor yang menjadikan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Faktor-faktor yang bersifat teknis diantaranya adalah rendahnya kualitas guru, rendahnya sarana fisik, mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan. Namun sebenarnya yang menjadi masalah mendasar dari pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikan di Indonesia itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai objek, sehingga manusia yang dihasilkan dari sistem ini adalah manusia yang hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Maka disinilah dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan mesyarakat untuk mengatasi segala permasalahan pendidikan di Indonesia. Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya

(14)

yang menjadi penyebabnya yaitu: rendahnya sarana fisik, rendahnya kualitas guru, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, mahalnya biaya pendidikan adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa.

Kemudian menjadi informasi dan dipergunakan oleh aktor untuk opsi-opsi dalam hal yang mendasari lemahnya pemahaman aktor dikarenakan, tidak memadainya sosialisasi dan pelatihan gender yang diterima, dengan pemberlakuan sosialisasi dan pelatihan layaknya proyek, serta rotasi antara siswa, orang tua, guru, dan masyarakat yang tinggi. Kemudian, letak otoritas atau kekuasaan yang mengurusi persoalan gender ada pada struktur organisasi yang dalam nya ada program pemerintah, yakni menjadi tupoksi atau landasan Bidang Pendidikan Formal yang di nilai masyarakat pendidikan bermutu untuk kelangsungan kecerdasan anak-anak nya. Letak yang tidak strategis menjadi faktor perspektif gender masuk menembus batas-batas sub bidang pada Dinas Pendidikan atau dapat di artikan ada nya perhatian oleh pemerintah terhadap pendidikan di indonesia, mengingat bidang tersebut adalah memiliki tupoksi koordinasi atas semua penyusunan kebijakan atau program pendidikan masih dalam pengawasan pemerintah, sehingga bidang ini bisa menggunakan otoritasnya untuk membangun konsensus bersama untuk memasukkan perspektif gender dalam kebijakan atau program pendidikan.

REFERENSI

Dedi Wahyudi, Pengembangan Multimedia Pembelajaran Interaktif Pendidikan Akhlak dengan Program PREZI (Studi di SMP Muhammadiyah 2 Mlati Sleman Tahun Ajaran 2013-2014).

Elly Lailatul Budur, Integrasi Pendidikan Karakter Melalui Inkuiri dengan Lesson Study dalam Pembelajaran Biologi untuk Meningkatkan Sikap Ilmiah dan Hasil Belajar Kognitif Siswa Kelas VII SMPN I Singosari dalam Jurnal Pendidikan Sains, Volume 1, Nomor 2, Juni 2013, Halaman 171-177.

Esti Zaduqisti, Sterotipe Peran Gender bagi Pendidikan Anak, Vol. 1, No.1, Januari-Juni 2009.

Ismanto, Evaluasi Pembelajaran Persektif Pembelajaran Kesetaraan Gender dalam Sistem Pendidkan Nasional, Vol. 8, No. 2, Desember 2015.

Janrico M.H. Manalu, Pendidikan Karakter Terhadap Pembentukan Prilaku Mahasiswa (Studi Proses Pendidikan Karakter dalam HMJ Sosiolog Universitas Mulawarman Kal-Tim) dalam ejournal Psikologi, Volume 2, Nomor 4, 2014 : 26-38.

Kholid Musyaddad, Problem Pendidikan di Indonesia, Edu-Bio, Vol. 4, Tahun 2013.

(15)

Made Diska, Widiyani Ni,Sri Hartati, Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Pandangan Perempuan Bali: Studi Fenomelogis Terhadap Penulisan Perempuan Bali, dalam Jurnal Psikologi Undip Vol. 13 No.2 Oktober 2014, 149-162.

Maya Fitria, Keadilan Gender dan Hak-hak Produktif di pesantren dalam Jurnal Psikologi Vol. 38, NO. 1, Juni 2011:1-16.

Mufidah Ch, Strategi Implementasi Pengerusutamaan Gender Pendidikan Islam, Vol.11,No. 2 November 2011.

Nove Hardani, Konstruksi Gender Di kalangan Mahasiswa Jurusan Sosiologi Universitas Mulawarman, Volume 3, Nomer 3, 2015.

Ricardo F. Nanuru, Progresivisme Pendidikan dan Relevansi di Indonesia dalam jurnal Uniera, Volume 2 Nomer 2; ISSN 2086-0404.

Rifki Afandi, Integrasi Pendidikan Lingkungan Hidup Melalui Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar sebagai Alternatif Menciptakan Sekolah Hijau dalam jurnal Pendagogia, Vol. 2, No. 1, Februari 2013: halaman 98-108.

Safira Suhra, Kesetaraan Gender dalam Perseptif Al-Qur’an dan Implikasinya terhadap Hukum Islam, dalam Jurnal Al-Ulum Volume. 13 Nomer 2, Desember 2013 Hal 373-394.

Ulfah Fajarini, Peranan Kearifan Lokal dalam Pendidikan Karakter,Vol.1, No. 2 Des 2014.

Referensi

Dokumen terkait

Upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisasir kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja adalah dengan merancang suatu sistem kerja (job / task) (alat kerja, elemen kerja,

Menanamkan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, dan menumbuhkan semangat nasionalisme dikalangan generasi muda harapan bangsa dan Negara, dengan cara menanamkan

Dari hasil wawancara dan observasi, didapati bahwa departemen Corporate IT telah menjalankan pendekatan untuk mengelola keamanan informasi, menjalankan teknologi

Oleh karena itu, dengan penambahan bahan organik berupa pupuk kandang dan Crotalaria juncea diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil serta menurunkan

Pengecualian dari instrumen ekuitas AFS, jika, pada periode berikutnya, jumlah penurunan nilai berkurang dan penurunan dapat dikaitkan secara obyektif dengan sebuah

Koloid atau dispersi koloid (sistem koloid) adalah sistem dispersi dengan ukuran partikel yang lebih besar dari laritan tapi lebih kecil dari suspensi, dengan ukuran partikel

Hasil penelitian sebagian besar tingkat pengetahuan responden tentang kontrasepsi suntik DMPA tinggi yaitu 21 responden (58,4%) dan kecemasan menghadapi gangguan menstruasi

Oleh karena itu salah satu upaya agar dapat menghasilkan minyak nilam dengan daya saing tinggi adalah dengan pembentukan klaster agroindustri minyak nilam