61
KONSISTENSI PENGATURAN HAK KESEHATAN
REPRODUKSI PEREMPUAN
A. Bidang Kesehatan
Dasar fundamental mengenai Hak atas kesehatan diatur dalam
Konstitusi UUD 1945 Pasal 28A “Setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”Kemudian secara
khusus hak kesehatan di atur lebih spesifik lagi dalam UU Nomor 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan.Menurut penulis dengan diaturnya materi
muatan mengenai kesehatan reproduksi dalam UU ini memperlihatkan
adanya upaya untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah, baik
pusat maupun daerah, dan masyarakat untuk memperhatikan kesehatan
perempuan, khususnya yang berkaitan dengan fungsi reproduksinya, serta
menyusun program untuk meningkatkannya.1
Pemuatan pasal-pasal tentang kesehatan reproduksi dalam UU
Kesehatan mencerminkan tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan
rakyat terutama kesejahteraan generasi yang akan datang.
Prinsip non-diskriminasi dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 4 – 6
UU Kesehatan yang mengisyaratkan bawa setiap orang berhak atas
kesehatan2dan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh
akses atas sumber daya di bidang kesehatan, memperoleh pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau, dan secara mandiri dan
bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang
diperlukan bagi dirinya3 untuk itu mereka berhak mendapatkan lingkungan
yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan.4 Dengan demikian bahwa
dalam bidang kesehatan tidak pernah membedakan status jenis kelamin dll
dalam mendapatkan kesehatan hal ini menujukan bahwa prisip
non-diskrimansi atau memperlakukan perempuan sederajat atau sama dengan
laki-laki telah di implementasikan dalam bidang kesehatan di Indonesia.
1. Hak Atas Informasi Dan Edukasi
Pasal 7 UU Kesehatan yang berbunyi demikian:
“Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab.”
Rumusan Pasal 7 diatan dapat diidentifikasi adanya perlindungan
atas hak mendapatkan informasi dalam bidang kesesehatan tertama dalam
rumusan : “Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan
edukasi tentang kesehatan” Demikian bahwa hak informasi dan edukasi
sudah menjadi tanggungjawab negara dan setiap oran berhak atas
pemenuhannya termasuk perempuan. Bentuk bentuk infomasi yang
menjadi hak tersebut yaitu, informasi tentang data kesehatan dirinya
termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan
diterimanya dari tenaga kesehatan.5
Pasal 73 Kesehatan yang berbunyi demikian:
“Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana.”
Selain Hak atas infomasi kesehata yang masih bersifat umum dalam
UU ini juga telah secara spesifik telah diatur mengenai Hak atas informasi
seksual yang secara gambling dan meberikan kewajiban bagi negara
2. Hak Kesehatan Reproduksi
Berikutnya adalah hak atas perlindungan fungsi reproduksi yang
dalam UU Kesehatan mencantumkan tentang Kesehatan Reproduksi pada
Bagian Keenam pasal 71 sampai dengan pasal 77.Yang masing-masing
berbunyi demikian:
Pasal 71
(1) Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata -mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan.
(2) Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah melahirkan;
b. pengaturan kehamilan, alat kontrasepsi, dan kesehatan seksual; dan
c. kesehatan sistem reproduksi.
Pada pasal 71 ayat 3 diatas telah mengamanatkan bahwa kesehatan
reproduksi dilaksanakan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif.Setiap orang berhak memperoleh informasi, edukasi, dan
konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Masih dalam kaitannya dengan hak atas perlindungan kesehatan
reproduksi yaitu dalam undang-undang ini juga memberikan perlindungan
dalam hal Pelayanan kesehatan dalam keluarga berencana dimaksudkan
untuk pengaturan kehamilan bagi pasangan usia subur untuk membentuk
generasi penerus yang sehat dan cerdas, dimana Pemerintah bertanggung
jawab dan menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat
dalam memberikan pelayanan keluarga berencana yang aman, bermutu,
dan terjangkau oleh masyarakat.6
2. Hak Atas Kehidupan Seksual Yang Sehat
Hak atas hubungan seksual yang sehat diatur dalam pasal berikutnya
yaitu dalam Pasal 72, yang berbunyi demikian:
Pasal 72
Setiap orang berhak:
a. menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah.
b. menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama.
c. menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan dengan norma agama.
d. memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.
Beberapa pokok pikiran yang di amanatkan dalam perlindungan atas
hubungan seksual yang sehat sebagaimana dijamin dalam Pasal di atas
bahwa setiap orang berhak menentukan sediri pilihan dalam kehidupan
reproduksinya, hak hubungan seksual yang sehat dengan catatan harus
dengan pasangan yang sah, sehingga menurut penulis perlu untuk menjadi
catatan bahwa “kalimat setiap orang” dalam pasal ini dalam konteks hak
perempuan harus dimaknai “setiap isteri” bukan “setiap perempuan”.
3. Hak Atas Pelayanan Kesehatan
Secara keseluruhan “setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang
bersifat promotif, preventif, kuratif, dan/atau rehabilitatif, termasuk
memperhatikan aspek-aspek yang khas, khususnya reproduksi perempuan
yang dilakukan dengan tidak bertentangan dengan nilai agama dan
ketentuan peraturan perundang-undangan”7
4. Hak Abortus
Ketentuan mengenai hak aborsi diberikan secara terbalik, yaitu pada
dasarnya dalam UU ini dikatakan bahwa setiap orang dilarang untuk
melakuan aborsi akan tetapi terdapat pengecualian atas larangan tersebut,
sehingga pengecualian inilah yang kemudian dapat dimaknai sebagai hak
untuk melakukan aborsi dengan memenuhi syarat-syarat tertentu.
Sebagaimana demikian diamanatkan dalam Pasal 75 dan 76.
Pasal 75
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling
pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 76
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
Adalah menjadi tanggungjawab pemerintah untukmelindungi dan
mencegah perempuan dari aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan
tidak bertanggung jawab8 sertabertentangan dengan norma agama dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Secara positif dalam aturannya memang sekilas dapat dilihat bahwa
dalam bidang kesehatan khususnya dalan UU kesehatan yang merupakan
payung utama pengaturan kesehatan di Indonesia telah memiliki
konsistensi dengan Hak-hak kesehatan reproduksi, sebagaimana
dikemukakan dalam Bab II Sub E, akan tetapi penulis belum bisa
mengatakan bahwa hal tersebut sudah konsisten dengan HAM, hal ini
dikarenakan menurut hemat penulis ketentuan dalam UU kesehatan ini
tidak memandang perempuan secara sepenuhnya sebagai perempuan akan
tetapi sebagai isteri , hal ini sangat terlihat dalam masalah kesehatan
perempuan sudah disebut yaitu dalam Pasal 72 yaitu:
Setiap orang berhak:
a. menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah.
b. menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama.
c. menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan dengan norma agama.
Konsep yang dikemukakan di atas memang sudang memberikan
jaminan hak dalam memilih dan menjalani kehidupan reproduksinya,
tetapi pasal ini hanya mengatur kesehatanperempuan dengan “pasangan
belum menikah, tidakmenikah, dan janda tidak tercakup dalam pasal
tersebut.
Undang-undang kesehatan menempatkan perempuan tidaksebagai
individu manusia yang mempunyai hak untuk mencapai tingkat kesehatan
yang setinggi-tingginya, yang setara dengan hak laki-laki. Perempuan baru
mendapat perhatian kalau ia sudah menjadi isteri, itu pun tidak secara jelas
menjamin apakah seorang isterimempunyai hak atas tubuhnya sendiri dan
hak untuk menentukanapakah ia siap hamil atau tidak. Dalam bidang ini
perempuan masih berlum dianggap sebagai individu yang memiliki
eksistensinya sendiri, tetapi individu yang eksistensinya akan diakui
tergantung pada laki-laki yaitu setelah ia menika dengan laki-laki maka
dari itu dapat dikatakan bahwa hal ini bertentangan dengan prinsip HAM
yaitu Hak Non-Diskriminasi. Dengan demikian pengaturan dalam bidang
kesehatan di Indonesia masih belum konsisten dengan HAM.
B. Bidang Kewarganegaraan
Berbicara mengenai kewarganegaraan tentunya akan lebih bayaknya
dibahas mengenai persoalan status kewarganegaraan serta perbuatan
warga negara. Demikian bahwa dalam bidang kenegaraan tidak banyak
hak yang dapat diidentifikasi yang memiliki kaitannya dengan hak atas
kesehatan, akan tetapi bukan berarti hak-hak perempuan dalan bidang
kewarga negarawan tidak sama-sekali menyinggung soal (dalam bidang)
kesehatan, demikian akan dibahas dalam penjelasan berikut.
Dapat dilihat bahwa dalam bidangkewarganegaraan juga telah dianut
pirinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan atau prinsip
non-diskriminasi, prinsip ini pertama-tama telah diatur dalam konstitusi yaitu
UUD 1945 Pasal 28D ayat (4) bahwa: “Setiap orang berhak atas status
kewarganegaraan”. Hak yang diberikan oleh konstitusi tersebut telah
memberikan posisi sederajat antara perempuan dengan laki-laki yang
mana hak ini lebih spesifik lagi telah diatur dalam UU No 39 Tahun 1999
Pasal 47 dengan bunyi:
Seorang wanita yang menikah dengan seorang pria berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis mengikuti status kewarganegaraan suaminya tetapi mempunyai hak untuk mempertahankan, mengganti, atau memperoleh kembali status kewarganegaraannya.
Indonesia telah memberikan perempuan hak yang sama dengan
kewarganegaraannya. Dengan demikian ada jaminan bahwa perkawinan
seorang wanita dengan orang asing tidak akan mengubah warga
negaranya.
C. Perkawinan
Berikutnya masih berbicara mengenai perkawinan akan tetapi dalam
kaitannya mengenai batas umur seseorang dapat melangsungkan
perkawinan yaitu dalam UU No 1 Tahun 1974 Tentang PerkawinanPasal 7
(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
Telah di amanatkan bahwa perkawinan hanya diizinkan bila pihak
pria mencapai umur sembilan belas tahun dan pihak wanita sudah
mencapai usiaenam belas tahun.Dengan pengecualian bahwa harus ada
dispensasi dari pengadilan dalam hal dilangsungkannya perkawinan di
Menurut penulis, dalam bidang kewarganegaraan ketentuan inilah
yang dapat diidentifikasi secara implisittelah memberikan perlinduhan atas
hak kesehatan reproduksi, karena pasal ini melindungi seorang perempuan
untuk tidak melangsungkan perkawinan sebelum ia bena-benar dewasa,
baik secara mental maupun fisiknya, bahwa seorang perempuan yang
mengalami kehamilan dalam hal organ reprodusinya belum cukup matang
akan sangat rentan akan bahaya yang berhubungan dengan fungsi organ
reproduksinya.
D. Bidang Pendidikan dan Pengajaran
Dalam bidang pendidikan dapat di identifikasi bahwa perlindungan
atas hak perempuan dalam kairtannya dengan sistem reproduksinya adalah
Hak Atas Informasi Seksual. Hak ini diatur dalam Undang-Undang
Perlindungan Anak Pasal 10 menyebutkan bahwa “Setiap anak berhak
menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima dan mencari informasi
sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya
sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan”. Memang dalam pasa
ini hanya mengatur tentang anak akan tetapi perlindungan atas kesehatan
reproduksi memang sebaikanya diakukan sejak dini dan masa ini tentunya
Selanjutnya lebih spesifik mengenai kesehatan Pasal 7 UU
Kesehatan “Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan
edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab.”
Selanjutnya di atur dalam pasalnya yang ke 73 bahwa: “Pemerintah wajib
menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan
reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk
keluarga berencana.”9
E. Bidang Ketenagakerjaan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal
28D ayat (2) menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja. Hal ini kemudian ditur dalam uu dibawahnya yaitu Undang-Undang
Nomor Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 5 yang berbunyi: ”Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang
sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.” Sehingga Tidak
terdapat pengecualian antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan.
Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, telah banya diatur mengenai hak-hak perempuan yang
melakukan tindakan di bidang ketenaga kerjaan atah dengan kata lain
permpuan yang bekerja demikina dapat diidentifikasi seperti apah hak-hak
perempuan yang berhubungan dengan perlindungan atas kesehatan
reproduksinya.
Perempuan dan anak adalah salah satu kelompok yang rentan
terhadap tidak kekerasan dan diskriminasi di bidang ketenagakerjaan.
Beberapa contoh tindakan diskriminasi antara lain : hak pekerja
perempuan ketika sedang masa haid, hamil, melahirkan dan menyusui
serta tempat khusus yang seharusnya disediakan oleh pemberi kerja bagi
pekerja perempuan di dalam memberikan hak bagi anaknya yaitu
menyusui bahkan hak untuk membayar pengasuh bagi anak di bawah lima
tahun seyogyanya diatur dan diberikan oleh pengusaha atau pemberi
kerja.10Untuk itu telah diatur dalam Pasal 6 “Setiap pekerja/buruh berhak
memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.”
1. Hak Atas Kesehatan Fungsi Reproduksi
Hak atas perlindungan khusus terhadap terhadap fungsi melanjutkan
keturunan dalam bentuk: Tidak dipecat atas dasar kehamilan atau atas
dasar status perkawinan; Pengadaan cuti hamil dengan bayaran;
Pengadaan pelayanan sosial dalam bentuk tempat penitipan anak;
Pemberian pekerjaan yang tidak berbahaya bagi kehamilan, demikian hak
tersebut dapat diidentifikasi dalam pasal-pasal berikut.
Pasal 76
(1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
(2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib.
a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan
(4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.
Pengusaha dalam ketentuan diatas telah dilarang untuk
mempekerjakan perempuan yang hamil pada waktu malam sampai pagi
bilamana pekerjaan tersebut dapat mengancam keselamatan perempuan
tersebut serta kandungannya, selanjutnya ayat (3) sampai dengan ayat (4)
diatas telah menentukan bilamana pengusaha mempekerjakan tenaga kerja
wanita pada waktu malam sampai pagi para pekerja tersebut diharuskan
untuk diberikan makanan dan minuman bergizi, yang mana ketentuan ini
sebagai upaya untuk melindungi kesehatan perempuan terutama mengenai
kesehatan reproduksinya. Selain itu perempuan yang bekerja juga harus
dikondisikan pada lingkungan kerja yang aman dalam hak terhindar dari
tindakan asusilabaik selama di tempat kerja dan diluar tempat karena bagi
perempuan yang akan berangkat dan pulang bekerja pukul 23.00 WIB –
05.00 WIB pengusaha wajib menyediakan fasilitas antar jemput bagi
pekerja wanita tersebut.
2. Perlindungan Cuti Haid
Dalam Pasal 81 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 menyatakan
dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari
pertama dan kedua pada waktu haid”. Dan dalam pasanya yang ke 93
dijelaskan bahwa pekerja perempuan mereka juga tidak mendapatkan
pemotongan upah kerja karena tidak dapat melakukan pekerjaan pada hari
pertama dan kedua masa haidnya tersebut11 dengan kata lai mereka tetap
mendapatkan upah penuh.12
3. Perlindungan Cuti Hamil dan Melahirkan
Mengenai cuti hal dan melahirkan dalam uu ketenaga kerjaaan telah
diatur dalam Pasal 82 ayat (1) dinyatakan bahwa “Pekerja/buruh
perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya
melahirkan anak dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan
dokter kandungan/bidan.”Ketentuanini jelas jelas merupakan bentu
perlindungan kepada permpuan dalam hal haknya terhadap fungsi
melanjutkan keturuna atau hak reproduksi.Serta wajib memberikan
memberikan Jamsostek dan uang cuti hamil, Bahkan setelah melahirkan
seorang pekerja perempuan yang masih menyusui anaknya juga harus
diberikan hak untuk menyusui anaknya walaupun harus dilakukan selawa
waktu kerja.13 Selain itu sorang pekerja perempuan hamil juga dilindungi
haknya dalam Pasal 153 sebagai berikut:
Pasal 153
(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan :
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
Bentuk perlindunga atas permpuan yang sedang hamil juga bahwa
tidak dibenarkan dilakukannya pemutusan hubungan pekerjaan kepada
seorang pekerja perempuan yang sedang mengalami khamilan.
4. Perlindungan Cuti Keguguran Kandungan
Seoran buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan
berhak memperoleh istirahat dalam waktu tertentu atau sesuai dengan
surat keterangan dokter kandungan atau bidan sebagaiman dijamin dalam
pasal berikut.
Pasal 82 ayat (2)
(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
F. Bidang Politik dan Pemerintahan
Dalam bidang politik dan pemerintahan memang telah diatur
hak-hak perempuan akan tetapi tidak banyak yang menyinggung masalah
kesehatan perempuan dan bahkan hampir tidak disinggung samasekali
menehnai kesehatan reproduksi.
Dalam bidang ini hak perempuan banyak berbicara keterlibatan
perempuan dalam politik atau mengenai jumlah keterwakilah perempuan
dalam kiprah politik sering juga disebut affirmative action.
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan
Diskriminasi terhadap Perempuan lewat Undang-Undang Nomor 7 tahun
1984.Pasal 2 dan 3 konvensi tersebut, mewajibkan negara mencantumkan
prinsip persamaan laki-laki dan perempuan dalam konstitusi dan peraturan
perundangan.Hal ini melahirkan adanya kebijakan khusus (afirmatif
action) di bidang politik dan demokrasi.Selanjutnya Pasal 4 mewajibkan
negara memberlakukan kebijakan khusus (affirmative action) untuk
mengakselerasikan persamaan de facto antara laki-laki dan
perempuan.Mengenai Perwujudan Kesamaan Kedudukan (non
partisipasi dalamperumusan kebijakan, kesempatan menempati posisi
jabatan birokrasi, danjaminan partisipasi dalam organisasi sosial politik.
Namun, peningkatanketerwakilan perempuan terjadi setelah berlakunya
perubahan Undaang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yaitu pasal 28H ayat (2) yang menyatakan “Setiap orang
berhak mendapatkankemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan danmanfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan”.
Pada kelembagaan partai politikpun, affirmatic action dilakukan
dengan mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan
minimal 30% dalam penidirian maupun dalam kepengurusan di tingkat
pusat. UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang mengatur syarat
pendirian Partai Politik, pada Pasal 2 menyatakan Pendirian
danpembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”.
Padaayat sebelumnya dinyatakan bahwa: ‟‟Partai Politik didirikan dan
dibentuk oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang warga negara
Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta
Ketentuan lebih maju lagi dalam affirmative action adalah
adanyapenerapan zipper system. Sistem tersebut mengatur bahwa setiap 3
(tiga)bakal calon terdapt sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan.
Pasal55 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008 menyatakan: “Di dalam daftar
bakalcalon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang
bakal calonterdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal
calon”. Padaayat (1) mengatur bahwa nama-nama calon dalam daftar
bakal calondisusun berdasarkan nomor urut.
Contoh dari penerapan zipper system tersebut, jika suatu partai
politikmenetapkan bakal calon nomor urut 1 hingga 3, maka salah satu
diantaranya harus seorang bakal calon perempuan. Seorang
perempuanharus diletakan pada nomor urut 1,2,atau 3 dan tidak di bawah
nomorurut tersebut. Demikian selanjutnya, dari nomor urut 4 hingga 7,
misalnya,maka seorang perempuan harus diletakan di antara nomor urut 4
hingga 6.Lalu, sebagai salah satu penekanan lebih lanjut agar partai
politikmelaksanakan affirmative action terhadap bakal calon anggota
legislativetersebut, KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota diberi
wewenanguntuk memberitahukanya kepada publik. Pada Pasal 66 ayat 2
kabupaten/kotamengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam
daftar calontetap partai politik masing-masing pada media massa cetak
harian nasional dan media massa elektronik nasional”.
Memang pada dasarnya ketentuan affirmative action lebih condong
memjamin hak perempuan di bidan politik saja akan tetapi jika dikaitkan
dengan pembahasan ini maka sebenarnya ketentuan tersebut juga sangat
berpengaruh di bidang kesehatan karena dengan ditentukannya minimal
harus ada tiga puluh persen perwakilan perempuan di parlemen maka akan
sanagat membantu para kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-hak
mereka yang lain mengingat tugas parlemen adalah membuat
undang-undang. Dengan adanya perwakilan perempuan di parlemen maka setiap
pembahasan mengenai hak-hak perempuan akan didampingi dengan baik
oleh para wakil mereka, demikian halnya diharapkan bahwa perwakilan
tersebut juga akan memberikan dampak yang baik dalam menjamin Hak