PERANAN SPIRITUAL PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK Wika Hanida Lubis, Habibah Hanum Nasution, Rahmawati
Divisi Psikosomatik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/ RSUP H. Adam Malik
Pendahuluan
Penyakit kronik dalam perjalanannya sangat mempengaruhi konsep jiwa (psikis)
pasien, sehingga penatalaksaannya pun diperhatikan secara holistik. Perkembangan
dalam terapi ilmu kedokteran haruslah sesuai dengan definisi WHO tahun 1994 tentang
konsep sehat yaitu sehat secara fisik, psikologis, sosial, dan spiritual.1 Terapi ilmu
kedokteran bersifat holistik, maksudnya tidak hanya gejala fisik saja yang ditangani
tetapi pemeriksaan pada faktor-faktor psikis yang biasanya sangat mendominasi
penderita psikosomatis pun menjadi prioritas. Model holistik mengatakan bahwa semua
penyakit yang memiliki komponen psikosomatik, dan biologis, faktor psikologis, sosial,
dan spiritualselalu berkontribusi dalam gejala- gejalapenyakitnya.2
Penyakit ginjal kronik merupakan salah satu penyakit kronik. Pasien penyakit
ginjal kronik mengalami gangguan kesehatan terkait kualitas hidup pada aktivitas
sehari-hari termasuk fisik, seksual, kehidupan sosial, dan masalah mental seperti
depresi, kecemasan, nyeri, dan gangguan tidur. Kondisi tersebut menimbulkan
perubahan atau ketidakseimbangan yang meliputi biologi, psikologi, sosial dan spiritual
pasien. Gangguan-gangguan tersebut secara tidak langsung mempengaruhi perjalanan
penyakit ginjal kronik.2
Beberapa dekade ini banyak tulisan tentang peranan spiritual dalam penanganan
penyakit kronik. Bussing dan Koenig menyarankan pentingnya merawat kebutuhan
rohani, eksistensial, dan psikologis pasien yang menderita penyakit kronik jangka
panjang hingga akhir hidup mereka.3 Agama dan spiritualitas semakin ditekankan dalam
perawatan kesehatan, karena dapat dianggap sebagai cara untuk menemukan makna
hidup, harapan dan kedamaian di tengah perjalanan penyakit kronik.4 Tulisan ini
bertujuan menggambarkan peranan spiritual sebagai penanganan psikosomatik dalam
hal penanganan penyakit ginjal kronik.
Penyakit Ginjal Kronik
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
berakhir dengan gagal ginjal. Penyakit ginjal kronik (PGK) didefinisikan sebagai
kerusakan ginjal atau laju filtrasi glomerulus (GFR) lebih rendah dari 60 mL / menit /
1,73 m2 selama tiga bulan atau lebih.Keadaan gagal ginjal ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang ireversibel, dan pada suatu saat memerlukan terapi pengganti ginjal
yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.5
Prevalensi PGK di dunia diperkirakan berada dalam kisaran 8-16%.6 Indonesia
termasuk negara dengan tingkat penderita penyakitginjal kronik yang cukup tinggi, data
dari ASKES tahun 2010 tercatat 17.507 pasien.Sebanyak 400 dari sejuta penduduk
Indonesia menjalani terapi pengganti ginjal sebagai akibat ginjal yang tidak berfungsi.7
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas dasar derajat penyakit5
Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1,73 m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau
meningkat
≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG meningkat ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG meningkat sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG meningkat berat 15-29
5 Gagal ginjal <15 atau dialisis
Gagal ginjal kronik merupakan salah satu penyakit terminal yang akan
mempengaruhi kualitas hidup pasien termasuk masalah spiritualitas. Pasien PGK
mengalami gangguan kesehatan terkait kualitas hidup pada aktivitas sehari-hari
termasuk fisik, seksual, kehidupan sosial, dan masalah mental seperti depresi,
kecemasan, nyeri, dan gangguan tidur.8 Ketika pasien PGK memasuki tahap penyakit
ginjal stadium akhir, dimana GFR kurang dari 15%, pasien umumnya diarahkan untuk
menjalani terapi pengganti ginjal, berupa dialisis ataupun transplantasi ginjal.5
Pada umumnya pasien PGK akan mengarah pada ketergantungan pada tenaga
kesehatan, dikarenakan terapi dialisis yang rutin dilakukan. Keadaan ketergantungan
pada orang lain dalam perawatan diri rutin atau menjalani dialisis rutin pada PGK serta
penyesuaian diri terhadap kondisi sakit mengakibatkan terjadinya perubahan dalam
kehidupan pasien. Mereka kehilangan gaya hidup normal seperti keterbatasan makanan,
asupan minuman, dan aktivitas normal. Pasien akan mengalami suatu dependence –
memungkinkan penderita PGK mengalami kecemasan yang berkaitan pada saat ini
ataupun pada masa yang akan datang.8
Penurunan kesehatan terkait kualitas hidup pada pasien PGK sudah banyak
diteliti. Sejumlah penelitian telah melaporkan kesehatan terkait kualitas hidup pasien
PGK pra-dialisis lebih baik bila dibandingkan dengan pasien dialisis pada PGK stadium
akhir. Adanya hubungan kesehatan terkait kualitas hidup, morbiditas dan mortalitas
pada pasien dialisis, mengarahkan perlunya rekomendasi dari penilaian rutin terhadap
kesehatan terkait kualitas hidup pada pasien PGK khususnya yang menjalani dialisis.2
Spiritual sebagai Psikoterapi
Psikoterapi adalah suatu bentuk perlakuan terhadap masalah yang sifatnya
emosional, dimana seorang yang terlatih secara sengaja membina hubungan profesional
dengan seorang klien, dengan tujuan menghilangkan, mengubah atau memperlambat
simtom, untuk mengutarai pola prilaku terganggu, dan meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan pribadi yang positif. Psikoterapi bertujuan untuk mengatasi krisis, untuk
perubahan perilaku, untuk mengubah pengalaman emosional, dan untuk memperoleh
pemahaman (insight).9
Perlu disadari secara mendalam orientasi dasar mengenai Eclectic-Holistic
Medical Model. Adanya interaksi secara terus menerus dari 4 dimensi yang berpengaruh
terhadap perilaku manusia, yakni:10
1. Dimensi bio-organik.
Penanganan pasien berdasarkan pemeriksaan fisik, mengobati kelainan fisik,
penggunaan obat, dan mengajarkan kehidupan yang sehat.
2. Dimensi psikoedukatif.
Sebagai dokter yang bukan psikiater, penanganan pasien dapat berorientasi
superfisial dan psikoterapi suportif saja, seperti menciptakan theraupetic
relationship antara dokter dengan pasien, ventilasi dan reedukasi.
3. Dimensi sosio-kultural
Meningkatkan kapasitas adaptasi terhadap lingkungan dan keluarganya
4. Dimensi spiritual
Melihat persoalan, konflik batin dari sudut agama atau keyakinan dengan
Model holistik mengatakan bahwa semua penyakit yang memiliki komponen
psikosomatik, dan biologis, faktor psikorilogis, sosial, dan spiritual selalu berkontribusi
dalam gejala- gejala penyakitnya. Psikoterapi dimulai dengan menciptakan hubungan
baik antara dokter-pasien, diberi kesempatan untuk mengutarakan konfliknya,
mengeluarkan isi hatinya, sehingga mengurangi ketegangan. Melakukan reedukasi,
yaitu mengubah pendapat-pendapat pasien yang salah atau kurang tepat dan memberi
keyakinan serta pengertian tentang sebab-sebab penyakitnya.11 Yang tidak kalah
pentingnya adalah menekankan kembali komitmen agama dan pengalamannya, karena
sudah terbukti bahwa individu yang tidak dilandasi komitmen agama dalam kehidupan
sehari-hari ternyata menduduki peringkat tinggi untuk kegagalan dan ketidakbahagiaan.
Terapi dengan model bio-psiko-sosial-spiritual menyediakan petunjuk secara
keseluruhan dalam merawat pasien dan memperoleh kesehatan yang sesungguhnya.12
Gambar 1. Model biopsikososial kesehatan holistik
(diunduh dari http://searchlighthealthcareadvocates.com/case-management/)
Spiritual merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari kualitas hidup individu.
Spiritualitas dianggap konsep yang lebih luas dan inklusif dari agama, meskipun
hubungan konsep tersebut cukup kompleks.13
Ada perbedaan antara spiritual dan religius. Spiritualitas ádalah kesadaran diri
dan kesadaran individu tentang asal , tujuan dan nasib. Agama ádalah kebenaran mutlak
dari kehidupan yang memiliki manifestasi fisik diatas dunia. Agama merupakan praktek
tertentu yang dianut oleh anggota-anggotanya. Agama memiliki kesaksian iman,
komunitas dan kode etik. Dalam hal ini spiritual memberikan jawaban siapa dan apa
seseorang itu (keberadaan dan kesadaran), sedangkan agama memberikan jawaban apa
yang harus dikerjakan seseorang (prilaku atau tindakan). Seseorang bisa saja mengikuti
agama tertentu, namun tidak memiliki spiritualitas. Orang–orang dapat menganut agama
yang sama, namun belum tentu mereka memiliki jalan atau tingkat spiritualitas yang
sama.13,14
Beberapa peneliti berpendapat bahwa masalah spiritual merupakan masalah
yang sangat penting bagi pasien yang menderita penyakit kronik yang mengancam jiwa,
untuk itu perlu pendekatan dengan model bio-psiko-sosial-spiritual dalam merawat
pasien. Spiritual merupakan dimensi penting yang harus diperhatikan dalam penilaian
kualitas hidup karena gangguan spiritualitas akan menyebabkan gangguan berat secara
psikologis termasuk keinginan bunuh diri.15
Berbagai stressor yang terjadi selama proses kehidupan, seperti trauma fisik,
kehilangan, stres, atau perubahan hidup yang tidak dapat diterima akan memberikan
reaksi yang berbeda pada masing-masing individu. Dalam kondisi ini spiritual dapat
berfungsi sebagai buffer stres untuk mengatur dan merestrukturisasi k ognitif pada
keadaan distres yang berarti menjadi koping terhadap peristiwa stres. Koping
merupakan cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan
diri dengan perubahan, serta respon terhadap situasi yang mengancam. Penelitian
sebelumnya melaporkan bahwa agama mempengaruhi proses koping, dimana
pendekatan agama menghasilkan perasaan akan makna hidup, dimana timbul perasaan
bahwa segala sesuatu akan memberikan hasil akhir yang lebih baik jika dipasrahkan
dalam kuasa Tuhan atau memiliki kepercayaan yang besar akan keberadaan Tuhan.
Penggunaan koping agama didefinisikan sebagai penggunaan keyakinan agama untuk
memahami dan menangani tekanan atau stressor kehidupan.16
Penanganan spiritual sebagai koping dapat bersifat positif dan negatif. Koping
agama yang bersifat positif cenderung menjadikan individu semakin matang, dewasa,
dan bahagia dalam menjalani kehidupannya, seperti mencari perlindungan kepada
Tuhan. Koping agama yang bersifat negatif menimbulkan berbagai persoalan
individu yang bersangkutan seperti mempertanyakan keberadaan Tuhan, dan
mendefinisikan kondisi stres sebagai hukuman dari Tuhan.16
Tujuan psikoterapi spiritual adalah membangun kekuatan spiritual sebagai cara
untuk melakukan koping terhadap situasi atau penyakit. Koping spiritual yang paling
umum adalah berdoa pada saat terjadi stres. Berdoa dapat memberikan berbagai tujuan,
termasuk koping terhadap stressor dengan menemukan makna dan tujuan hidup dan
membentuk ikatan yang kuat dengan Tuhan.16
Studi tentang koping religius/spiritual bersifat luas dan didasarkan pada
pandangan fungsional agama dan fungsinya dalam mengatasi masalah (koping).
Terdapat lima kunci-fungsi agama dapat diidentifikasi yaitu mencari makna, kontrol,
kenyamanan spiritual, keintiman dengan Tuhan dan dengan orang lain, dan pencarian
untuk mengubah hidup.16
Berdasarkan tinjauan literatur sebelumnya, komponen kunci spiritualitas terdiri
dari makna, harapan, keterkaitan, dan keyakinan/sistem kepercayaan.2 Bussing dan
Koenig juga menyarankan pentingnya merawat kebutuhan rohani, eksistensial, dan
psikologis pasien yang menderita penyakit kronik jangka panjang hingga akhir hidup
mereka.3 Mereka mengusulkan model kebutuhan kuantifikasi spiritual yang termasuk
'koneksi' (dimensi sosial), 'perdamaian' (dimensi emosional), 'arti / tujuan' (dimensi
eksistensial), dan 'transendensi' (dimensi keagamaan).2
Dossey menyatakan bahwa hubungan manusia dengan sang Pencipta merupakan
elemen pertama dalam spiritualitas. Lebih mendekatkan diri kepada Tuhan merupakan
strategi koping yang paling sering digunakan oleh pasien untuk mengatasi stres karena
penyakit yang dideritanya. Ketika penyakit menyerang seseorang kekuatan spiritual
dapat membantunya ke arah penyembuhan atau pada perkembangan kebutuhan dan
perhatian spiritual. Kekuatan spiritualitas seseorang dapat menjadi faktor penting dalam
cara menghadapi perubahan yang diakibatkan oleh penyakit kronik. Selain itu,
komponen spiritualitas juga terdiri dari hubungan manusia dengan alam, hubungan
dengan dirinya sendiri dan hubungan dengan orang lain.12
Menurut Zohar dan Marshall (2007) orang yang cerdas secara spiritual tidak
memecahkan persoalan hidup hanya secara rasional atau emosional saja, namun
menghubungkannya dengan makna kehidupan secara spiritual yaitu melakukan
bahwa kesulitan dan penderitaan akibat penyakitnya akan mendewasakannya sehingga
ia menjadi lebih matang, kuat, dan lebih siap menjalani kehidupan, orang yang memiliki
kecerdasan spiritual yang tinggi mampu memaknai hidup dengan memberi makna
positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Makna
positif akan mampu membangkitkan jiwa, melakukan perbuatan dan tindakan yang
positif.17
Konsep spiritual dalam pendekatan psikoterapi kognitif behavioral telah banyak
dikembangkan. Azhar dkk melaporkan bahwa psikoterapi spiritual efektif terha dap
muslim yang menderita depresi, kecemasan, dan kehilangan orang yang dikasihi. Azhar
dan Varma menggunakan konsep penyesalan dan taubat dalam penatalaksanaan depresi.
Pada saat pasien merasa yakin bahwa penyesalannya diterima oleh Allah dan mereka
memilih jalan yang benar, maka simptom mulai menghilang.18 Razali dkk
mengidentifikasikan pikiran negatif atau salah dan memodifikasikannya menggunakan
panduan Alquran dan Hadist.19
Zwingmann memaparkan kecerdasan spiritual yang tinggi dapat membentuk
mekanisme koping adaptif terhadap suatu peristiwa yang dianggap mengancam.
Semakin tinggi kecerdasan spiritual seseorang maka seseorang akan bisa beradaptasi
menggunakan mekanisme koping untuk mengatasi permasalahan. Spiritualitas yang
kuat dapat membantu menemukan sebuah arti kehidupan, dukungan sosial, dan
meningkatkan rasa nyaman serta kepercayaan diri.20
Peranan Spiritual pada Penyakit Ginjal Kronik
Seseorang yang divonis sebagai penderita penyakit kronik merupakan peristiwa
traumatis, dimana terbayangkan pasien akan sangat tergantung dengan pelayanan medis.
Perawatan yang tersedia untuk penyakit ini hanya menyediakan untuk penggantian
parsial dari fungsi ginjal, mengurangi gejala penyakit dan memperbaiki kualitas hidup,
tetapi tidak satupun dari terapi PGK bersifat kuratif. 16
Pengobatan yang dijalani pasien PGK mengubah kehidupan rutin mereka,
kebiasaan makan, ataupun aspek lain yang menyebabkan perubahan dalam integritas
fisik dan emosional mereka. Hal tersebut juga melibatkan perubahan signifikan dalam
Oleh karena itu, pasien penyakit ginjal kronik harus beradaptasi tidak hanya
untuk penyakit dan pengobatannya, tetapi juga untuk kehidupan fisiologis, psikososial,
dan spiritual. Dalam konteks ini, banyak pasien meningkatkan iman dan pengetahuan
agama sebagai cara untuk mencari dukungan dan bantuan untuk penderitaan atau
permasalahan mereka. Hal ini penting bagi para profesional kesehatan untuk memahami
makna dari spiritualitas dan agama bagi pasien penyakit ginjal kronik sebagai bagian
dari perawatan holistik dalam praktek klinis.16
Dengan demikian, agama merupakan metode koping spiritual yang berfungsi
sebagai faktor dukungan yang signifikan dalam mengatasi gagal ginjal dan hemodialisis
sehingga pasien dapat memiliki kualitas hidup yang lebih baik, dan secara tidak
langsung berdampak terhadap perjalanan penyakit pasien.16
Spiritualitas mencerminkan kepentingan yang lebih luas dalam hal kualitas
hidup pasien. Pada pasien PGK pentingnya menilai kualitas hidup pasien mengingat
kompleksnya penanganan penyakit ini. Berbagai penelitian melaporkan penilaian
kualitas hidup terhadap perkembangan pasien gagal ginjal. Kualitas hidup diukur
sebagai titik akhir yang valid dari uji klinis yang menilai kemajuan terapi gagal ginjal.
Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh National Institutes of Health Frequent
Hemodialysis menghubungkan kualitas hidup sebagai parameter yang berkorelasi
dengan morbiditas dan mortalitas pasien gagal ginjal. Pada studi Dialysis Outcomes and
Practice Pattern Study (DOPPS), misalnya, kualitas hidup yang dinilai dengan
kuesioner SF-36 dan gejala depresi diidentifikasi sebagai prediktor kuat kasus rawat
inap dan kematian pada pasien hemodialisis.21
Sejumlah penelitian kualitas hidup yang melibatkan pasien gagal ginjal pada
umumnya telah dilakukan dengan menggunakan kuesioner standar, yang
memungkinkan skrining cepat. Kuesioner ini mengeksplorasi berbagai domain, seperti
yang digambarkan oleh SF-36, Beck Depression Inventory, dll. Studi ini sering
mendokumentasikan dampak penyakit medis pada persepsi pasien dari kualitas hidup
mereka, dampak dari kualitas domain kehidupan di hasil medis, serta hubungan antara
berbagai domain. Namun, pengembangan strategi untuk meningkatkan kualitas hidup
terbukti sulit, dikarenakan belum adanya algoritme khusus.21
Saat ini KDOQI merekomendasikan kualitas hidup dipantau secara
ini adalah untuk mendefinisikan dan mendokumentasikan kualitas status hidup pasien,
mengidentifikasi terapi yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien, dan pada
akhirnya meningkatkan perjalanan penyakit kearah lebih baik.2,21
Spiritualitas telah dianggap oleh beberapa peneliti untuk menjadi arena penting
untuk fokus pada penilaian kualitas hidup pasien. Beberapa kuesioner telah
dikembangkan untuk lebih dekat memeriksa spiritualitas pasien. Kuesioner ini dibuat
berdasarkan persepsi spiritual individu. Dua ulasan terbaru menunjukkan bahwa ada
tingkat kematian secara signifikan lebih rendah pada orang-orang yang menghadiri
acara keagamaan. Koenig mencatat bahwa 39 dari 52 penelitian yang meneliti tingkat
spiritualitas dan kematian pada berbagai populasi pasien, menyatakan pasien yang lebih
religius bertahan hidup lebih lama. Powell dkk mencatat penurunan 25% angka
kematian pada pasien yang aktif mengikuti acara keagamaan. Penelitian tersebut
mengarahkan adanya asosiasi antara spiritualitas, hubungan pasien ke penyedia layanan
kesehatan, kualitas kehidupan, kepatuhan pasien dan penanda inflamasi. Studi terbaru
menunjukkan hubungan antara kualitas yang dipilih dari domain kehidupan, seperti
depresi, dan penanda inflamasi, baik umum medis dengan perkembangan pasien gagal
ginjal.21
Spiritualitas telah diteliti pada beberapa studi yang meneliti kualitas hidup
pasien gagal ginjal, akan tetapi hubungan antara kepribadian spiritual dengan
lingkungan yang agamis pada kualitas domain hidup belum diperiksa secara
menyeluruh. Kimmel dkk menduga adanya hubungan antara skor pada Skala Keyakinan
Spiritual (Spiritual Beliefs Scale) dengan kualitas hidup, kepuasan hidup dan persepsi
depresi. Namun, tidak ada korelasi tercatat antara berbagai parameter klinis dan skor
spiritualitas. Berman et al.menduga hubungan antara keyakinan intrinsik agama dengan
kepuasan hidup, dan kepuasan terhadap perawatan medis pada pasien gagal ginjal.
Tidak ada hubungan antara kepatuhan berobat dengan tingkat keyakinan agama.21
Jason M. Bredle dkk menjelaskan bahwa tingkat spiritualitas pada pasien dengan
penyakit kronis berperan dalam pemahaman pasien terhadap manajemen rasa sakit dan
gejala. Mereka mengukur tingkat spiritualitas dengan inventori kuesioner Penilaian
Fungsional Terapi Penyakit Kronik (The Functional Assessment of Chronic Illness
Therapy-Spiritual Well Being Scale/ FACIT-Sp). FACIT Sp merupakan kuesioner
spiritual pada pasien dengan penyakit kronis. Penilaian kuesioner ini dinyatakan dengan
semakin tinggi skor yang didapat, semakin bagus kualitas hidup.22
Gambar 2. Kuesioner FACIT Sp-12.22
Sebanyak 20% dari kematian pada populasi ESRD dikaitkan dengan
penghentian elektif dialisis.21 Hal ini diakibatkan tingkat depresi yang berujung pada
putus asa, sehingga pasien pasrah akan kematian. Depresi yang muncul mungkin bisa
diakibatkan oleh rendahnya optimisme, tidak memiliki makna hidup, rendahnya
pemahaman tujuan hidup yang tidak lain adalah sebagai ibadah kepada Tuhan.
Mengingat hal tersebut, sangatlah beralasan bila kita lebih mengeksplorasi peran
spiritualitas dalam membantu untuk mendukung, membimbing dan mengkoordinasikan
perawatan pasien PGK.
Kesimpulan
Penyakit kronik dalam hal ini Penyakit Ginjal Kronik sangat mempengaruhi
konsep jiwa (psikis) pasien, sehingga penatalaksaannya pun diperhatikan secara
perkembangan penyakit PGK sebagai penanganan holistik. Spiritualitas telah dianggap
oleh beberapa peneliti untuk menjadi arena penting untuk fokus pada penilaian kualitas
hidup pasien.
Beberapa penelitian banyak yang menghubungkan hubungan antara spiritualita
dengan perkembangan penyakit kronik dalam hal ini PGK, walaupun terdapat juga
beberapa penelitian yang menyatakan tidak adanya korelasi antara spiritual dengan
kepatuhan berobat ataupun parameter klinis lainnya.
Tujuan psikoterapi spiritual adalah membangun kekuatan spiritual sebagai cara
untuk melakukan koping terhadap situasi atau penyakit, sehingga dapat menemukan
makna dan tujuan hidup serta membentuk ikatan yang kuat dengan Tuhan. Adanya
makna dan tujuan hidup akan memperbaiki kualitas hidup, yang akhirnya dapat
memperbaiki hasil akhir perkembangan penyakit ginjal kronik.
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. WHO definition of Health. Available online:
2. Cheawchanwattana, areewan dkk. Does the Spiritual Well Being of Chronic
Hemodialysis Patients Differ from that of Pre-dialysis Chronic Kidney Disease
Patients?. Religions(6). 2015: 14-23
3. Arndt Bussing, and Harold G. Koenig. Spiritual Needs of Patients with Chronic
Diseases. Religions (1). 2010: 18-27
4. Greenstreet W. From Spirituality to Coping Strategy: Making Sense of Chronic
Illness. Br J nurs. 2006; 15 (7): 938-42
5. Suwitra, Ketut. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Penerbit Interna Publishing. 2014. 2159-2165
6. Vivekhanand Jha, dkk. Chronic Kidney Disease Global Dimension and
Perspectives. Lancet 382 (2013): 260-72
7. Namawi Q. Populasi Penderita Gagal Ginjal Terus Meningkat di 2013. Available
online: http://healthokezone.com/read/2013/06/28/482/829210 (diunduh tanggal 30
April 2016)
8. Fredric O. Finkelstein, dkk. Health Related Quality of Life and the CKD Patient:
Challenges for the Nephrology Community. Kidney international 76. 2009: 946-52
9. Markam, Suprapti Slamet I. S. Sumarmo. Pengantar Psikologi Klinis. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia. 2003
10.Budihalim S, E Mudjaddid. Kedokteran Psikosomatik: Pandangan dari Sudut Ilmu
Penyakit Dalam. Dalam buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Penerbit Interna
Publishing. 2014. 3565-3568
11.Mudjadid E. Pemahaman dan Pengaruh Psikosomatik Gangguan Ansietas dan
Depresi di Bidang Penyakit Dalam. Dalam buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Penerbit Interna Publishing. 2014. 3581-3584
12.Dossey B, M Keegan, Lynn & Guzzeta. Holistic nursing a handbook for practice.
United States of America: Jones Barlett Publisher. 2005
13.Melanie Vachon, Lise Fillion, Marie Achille. A Conceptual Analysis of Spirituality
at the end of life. Journal of Palliative Medicine 12. 2009: 53-59
14.Hamid, Achir Yani. Buku Ajar Aspek Spiritual dalam Keperawatan. Jakarta widya
15.Bele S dkk, Health Related Quality of Life and Existential Concern Among Patients
with End Stage Renal Disease. Indian Journal of Palliative Care 18(2). 2012:
103-108
16.Valcanti C carolina. Religius/Spiritual Coping in People with Chronic Kidney
Disease Undergoing Hemodialysis. Rev Esc Enferm USP 46 (4). 2012: 837-843
17.Zohar, D & Marshal I. SQ Kecerdasan Spiritual. Bandung. Mizan Pustaka. 2007
18.Azhar MZ, Religious Psychotherapy as Management of Bereavement. Acta
Psychiatry Scand. April 1995; 91(4): 233-235
19.Razali SM. Religious Sociocultural Psychotherapy in Patients with Anxiety and
Depression. Australia NZJ Psychiatry. 1998: 867-872
20.Zwingmann, C. Positive and negative religious coping in german breast cancer
patients. Journal of Behavioral Medicine vol 29, Springer Science Business Media
inc. 2011
21.Fredric O. Finkelstein, dkk. Spirituality, Quality of Life, and the dialysis. Nephrol
Dial Transplant. 2007: 2432-2434
22.Bredle Jason M, dkk. Spiritual Well-Being as a Component of Health-Related
Quality of Life: The Functional Assessment of Chronic IllnessTherapy—Spiritual