• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Kadar Vitamin D dengan Latensi Distal Motoris Nervus Peroneus Profundus pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan antara Kadar Vitamin D dengan Latensi Distal Motoris Nervus Peroneus Profundus pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Volume 1 Nomor 5, September – Desember 2020

Hubungan antara Kadar Vitamin D dengan Latensi Distal

Motoris Nervus Peroneus Profundus pada Pasien Diabetes

Melitus Tipe 2

Anisah Khoiriah* dan Fidiana**

* Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo Surabaya ** Staf Pengajar Departemen/SMF Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo Surabaya

ABSTRAK

Pendahuluan: Defisiensi vitamin D sering terjadi pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dan berperan penting terhadap terjadinya polineuropati diabetik. Kelainan patologi utama pada neuropati diabetik adalah campuran antara degenerasi aksonal dan demielinisasi yang bersifat length dependent dan dying back sehingga parameter awal konduksi motorik yang terpengaruh adalah latensi distal. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kadar vitamin D dengan latensi distal motoris nervus peroneus profundus pada pasien diabetes melitus tipe 2 (DMT2).Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional cross sectional pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi selama periode Januari sampai Februari 2020 di Unit Rawat Jalan Saraf RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. Vitamin D 25-OH total diperiksa dengan metode CLIA. Latensi distal motoris nervus peroneus profundus (LDMNP) diukur dengan mesin konduksi saraf merk Cadwell. Hasil: Didapatkan 20 subjek penelitian (Laki-laki 9 subjek dan perempuan 11 subjek). Rerata kadar vitamin D pada penelitian ini adalah 18,74 + 7,06 ng/dL dan nilai LDMNP 4,07 + 0,85 ms. Dengan uji statistik didapatkan korelasi negatif sedang yang signifikan secara statistik antara kadar vitamin D dengan LDMNP (nilai p 0,024 dan r -0,502).Kesimpulan: Terdapat hubungan antara kadar vitamin D dengan latensi distal motoris nervus peroneus profundus pada pasien diabetes melitus tipe 2.

Kata Kunci: Diabetes Melitus Tipe 2, Distal Latensi, Nervus Peroneus, Vitamin D

ABSTRACT

Introduction: Vitamin D deficiency often occurs in patients with type 2 diabetes mellitus and plays an important role in the occurrence of diabetic polyneuropathy. The main pathological abnormality in diabetic neuropathy is a mixture of axonal degeneration and demyelination which are long dependent and dying back so that the initial parameters of motor conduction that are affected are distal latency. Objective: Determine the relationship between vitamin D levels and distal motor peroneal profundus latency in patients with type 2 diabetes mellitus (DMT2). Methods: This study was a cross sectional observational analytic study of patients with type 2 diabetes mellitus who met the inclusion and exclusion criteria during the January to February 2020 period in the Neuros Outpatient Unit of RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. Vitamin D 25-OH total was examined by the CLIA method. The distal latency of the peroneus profundus motor nerve (LDMNP) was measured by a Cadwell nerve conduction machine. Results: 20 study subjects were obtained (9 male subjects and 11 female subjects). The mean vitamin D level in this study was 18.74 + 7.06 ng/dL and the LDMNP value was 4.07 + 0.85 ms. With the statistical test S was found to be a statistically significant negative correlation between vitamin D levels and LDMNP (p values 0.024 and r -0.5002). Conclusion: There is a relationship between vitamin D levels and distal motor latency peroneus profundus nerve in patients with type 2 diabetes mellitus.

(2)

PENDAHULUAN

Defi siensi vitamin D sering terjadi pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dan berperan penting terhadap kejadian polineuropati diabetik.1–3 Defi siensi vitamin D berperan

pada risiko diabetes melitus tipe 2 melalui peningkatan resistensi insulin dan kerusakan sel β pankreas sehingga sekresi insulin menurun yang menyebabkan hiperglikemia.4

Vitamin D dapat menghambat respon infl amasi dengan regulasi fungsi limfosit B dan T, mengurangi faktor infl amasi berupa C-Reactive Protein (CRP) dan Tumor

Necrosis Factor alpha (TNF-α).2 Vitamin D juga berperan

dalam pertumbuhan dan pemeliharaan sel saraf karena merupakan penginduksi kuat nerve growth factor (NGF). NGF penting untuk perkembangan dan kelangsungan hidup saraf. Penurunan NGF dapat meningkatkan kerusakan sel saraf. 1,4 Penelitian Lee dan Chen menunjukkan bahwa,

pemberian suplemen vitamin D lebih dari 3 bulan pada pasien diabetes melitus dengan hipovitaminosis D dapat menurunkan gejala neuropati sebesar 50%.3 Penelitian

pada tikus diabetes mellitus mendukung bahwa pada kondisi defisiensi vitamin D akan terjadi penurunan NGF, sedangkan kadar vitamin D yang normal akan meningkatkan NGF.3

Patologi terjadinya neuropati bisa berupa degenerasi aksonal, demielinisasi, atau campuran. Neuropati karena proses demielinisasi, konduksi saraf motorisnya akan terjadi perlambatan < 75% dibanding normal. Sedangkan neuropati karena proses degenerasi aksonal terjadi penurunan ampiltudo, sedangkan distal latensi sedikit memanjang atau normal.5,6

Neuropati diabetik (ND) proses patologi utamanya adalah campuran antara degenerasi aksonal dan demielinisasi.5,6 ND perkembangannya bersifat length

dependent artinya serabut saraf terpanjang yang mempunyai risiko tertinggi untuk terkena neuropati terlebih dahulu, ND juga bersifat dying back yang artinya akson yang paling distal yang akan dikorbankan dan mengalami degenerasi pertama.5,7–9 Latensi distal

motoris dan latensi F-wave lebih signifikan untuk mendiagnosis neuropati diabetik dibanding amplitudo dan kecepatan hantar saraf. Pada pasien DMT2, toksisitas glukosa menyebabkan kerusakan pada selubung myelin akson yang menyebabkan degenerasi dan menghambat regenerasi akson sehingga konduksi saraf terganggu. Parameter awal konduksi motorik yang terpengaruh adalah latensi distal.10 Nervus peroneus

adalah cabang dari nervus ischiadikus yang merupakan saraf terpanjang dan terbesar di tubuh, sehingga sering mengalami kelainan pada neuropati.11,12

TUJUAN

Berdasarkan dasar teori diatas, penelitian ini dilaksanakan untuk melihat hubungan vitamin D dengan latensi distal motoris nervus peroneus profundus pada pasien DM tipe 2 di RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

METODE

Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross

sectional. Kriteria inklusi

1. Subjek berusia 18 tahun keatas 2. Menderita diabetes mellitus tipe 2

3. Subjek kooperatif (Glasgow coma scale 15)

4. Subjek bersedia mengikuti penelitian (informed

consent).

Kriteria eksklusi

1. Subjek mendapat suplementasi vitamin D dalam 3 bulan terakhir

2. Subjek dengan gangguan fungsi liver, gagal ginjal kronis, keganasan, hipotiroid dan atau hipertiroid 3. Subjek dengan riwayat konsumsi alkohol

Metoda pengambilan subjek penelitian dilakukan menurut kasus yang datang berturut-turut (sampling

on consecutive admission) sampai tercapai jumlah sampel yang telah ditetapkan. Proses pendataan dan pengambilan subjek penelitian dilakukan selama periode Januari sampai Februari 2020 di Unit Rawat Jalan Saraf RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.

Terdapat 20 subjek penelitian yang terdiri dari 9 subjek laki-laki dan 11 subjek perempuan. Hasil penelitian dianalisis menggunakan uji statistik Sprearman dan dilakukan perhitungan koefisien korelasi.

HASIL

Data demografi dan karakteristik subjek penelitian yang meliputi usia, jenis kelamin, status merokok, terapi, faktor risiko vaskular, durasi menderita DMT2,

body mass index (BMI), kadar HbA1c, kadar vitamin D 25-OH total, dan latensi distal motoris nervus peroneus profundus dapat dilihat pada Tabel 1.

Berdasarkan hasil analisis uji beda Mann-whitney, tidak didapatkan perbedaan signifikan nilai LDMNP antara kelompok dengan riwayat HT dan tidak HT, serta antara kelompok merokok dan tidak merokok dengan nilai p>0,05 (Tabel 2).

Hasil analisis korelasi Spearman antara LDMNP dengan usia, lama durasi menderita DMT2, BMI, dan kadar HbA1c didapatkan nilai p>0,05 yang berarti tidak terdapat hubungan signifikan antara LDMNP dengan keempat variabel tersebut. Hasil analisis antara LDMNP dengan kadar vitamin D 25-OH total didapatkan koefisien korelasi sebesar – 0,502 dengan nilai p 0,024 (p<0,05) yang berarti kadar vitamin D memiliki korelasi dengan latensi distal motoris nervus peroneus profundus (Tabel 3).

PEMBAHASAN

Patofisiologi neuropati DM bersifat length dependent dan dying back yaitu kerusakan selektif pada sel saraf

(3)

yang memiliki akson terbesar dan terpanjang. Kondisi hiperglikemia dan mikroangiopati DM akan merusak komponen akson yang tidak dapat diperbaiki oleh badan sel saraf akibat dari ketidakseimbangan antara kebutuhan dengan ketersediaan. Nutrisi dan protein untuk perbaikan akson disalurkan dari badan sel saraf menuju sepanjang akson. Serabut saraf terbesar dan terpanjang akan memerlukan perbaikan akson lebih banyak dibanding serabut saraf kecil dan pendek sedangkan nutrisi dan protein untuk perbaikan akson terbatas, sehingga akson yang paling distal yang akan dikorbankan dan mengalami degenerasi pertama.9,13

Kelainan saraf tepi oleh karena DM dapat berupa demielinisasi segmental atau degenerasi aksonal. Gambaran demielinisasi pada konduksi saraf berupa pemanjangan latensi distal dan penurunan KHS, sedangkan degenerasi aksonal akan ditunjukkan dengan berkurang atau hilangnya amplitudo.14,15 Pada penelitian

ini yang diukur adalah latensi distal motoris nervus peroneus profundus (LDNP).

Latensi distal pada pasien DMT2 dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain usia, hipertensi, merokok, dislipidemia, durasi menderita DM, Body Mass Index (BMI), kontrol glukosa dilihat dengan kadar HbA1c, dan kadar vitamin D.16

Berdasarkan analisis statistik, pada penelitian ini tidak didapatkan perbedaan signifikan antara hipertensi dengan LDMNP antara kelompok hipertensi dan tidak hipertensi dengan nilai p 0,65. Begitupula antara kelompok merokok dan tidak merokok juga tidak didapatkan perbedaan nilai latensi LDMNP dengan nilai p 0,117. Tidak adanya perbedaan LDMNP antar kelompok pada variabel tersebut dapat disebabkan karena rekrutmen subjek hanya mencatat riwayat pernah merokok atau pernah menderita hipertensi atau tidak, tanpa melihat onset merokok atau menderita hipertensinya.

Pada penelitian ini didapatkan hasil analisis untuk korelasi antara usia dengan LDNP tidak bermakna secara statistik (nilai p 0,233). Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Lai YR dkk tahun 2019 yang meyimpulkan bahwa konduksi saraf tidak berhubungan dengan usia, tekanan darah sistolik, asam urat, dan CRP pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan nilai p 0,625.17 Dikatakan bahwa perubahan konduksi saraf

yang paling mencolok muncul setelah usia 70 tahun, berupa penurunan amplitudo saraf sensoris sekitar 50%, sedangkan penurunan kecepatan hantar saraf hanya 20% baik kecepatan saraf sensoris maupun motoris.18

Sedangkan pada penelitian ini rerata subjeknya berusia adalah 50,6 tahun.

Nilai BMI terendah pada penelitian ini adalah 20,8 kg/m2 dan tertinggi 27,5 kg/m2 dengan nilai rerata 24,26

+ 1,84 kg/m2. Analisis korelasi antara BMI dengan

LDNP menunjukkan tidak ada hubungan antara kedua variabel tersebut dengan nilai p 0,17 (p>0,05). Penelitian oleh Pawar dkk menunjukkan hasil serupa yaitu tidak ada hubungan signifikan antara BMI dengan latensi

distal nervus ulnaris dan peroneal. Hasil tersebut bisa dikarenakan posisi nervus peroneus lebih superfisial sehingga lebih tergantung pada isolasi suhu lemak subkutan untuk mempertahankan suhu perineuralnya, dengan demikian subjek yang lemak subkutannya lebih tipis akan memiliki suhu lebih rendah disekitar saraf yang menyebabkan latensinya lebih memanjang.19

Dalam penelitian ini tidak didapatkan korelasi antara kadar HbA1c dengan LDMNP (nilai p 0,972). Kadar HbA1c merupakan pengukur obyektif untuk kontrol kadar glukosa darah.20 Kadar glukosa darah tinggi

yang berfluktuasi dapat menyebabkan stress oksidatif dan peningkatan produksi ROS yang berkontribusi terhadap disfungsi endotel. Akhirnya dapat menyebabkan komplikasi diabetes.17 Ketidaksesuaian antara hasil

penelitian ini dengan teori tersebut dapat disebabkan, karena pada penelitian ini kadar HbA1c yang tercatat diambil hanya satu kali dengan waktu pengambilan yang bervariasi antar subjek.

Durasi DM adalah faktor risiko komplikasi mikrovaskular kronis yang utama dan sudah diakui.16

Berdasarkan penelitian ini, didapatkan koefisien korelasi antara durasi menderita DM dengan LDMNP sebesar 0,414 dengan nilai p 0,07. Subjek penelitian kemudian dikelompokkan berdasarkan durasi menderita DM menjadi durasi DM > 5 tahun dan < 5 tahun. Kemudian dilakukan analisis korelasi menggunakan uji

Spearman, didapatkan hasil pada kelompok durasi DM > 5 tahun, koefisien korelasi antara DLMNP dengan vitamin D sebesar - 0,784 (nilai p 0,007) yang berarti terdapat hubungan negatif kuat antara vitamin D dengan DLNP pada subjek yang durasi DM-nya > 5 tahun. Menurunnya kadar vitamin D akan menyebabkan peningkatan latensi distal motoris nervus peroneus profundus, kondisi tersebut akan diperparah dengan durasi DM yang lebih lama.

Kadar vitamin D pada penelitian ini yang diperiksa adalah kadar vitamin D 25-OH total, hasil reratanya 18,75 + 7,06 ng/dL, kadar terendah 5,4 ng/dL dan tertinggi 35,4 ng/dL. Setelah dilakukan uji statistik, hasilnya nilai p 0,024 (p<0,05) dengan koefisien korelasi – 0,502 yang berarti terdapat hubungan negatif sedang antara vitamin D dengan DLMNP pada pasien DMT2. Temuan tersebut sama dengan penelitian Alhowikan dkk yang menunjukkan bahwa defisiensi vitamin D berkorelasi negatif dengan elektrofisiologis latensi motoris nervus medianus, ulnaris, peroneal, dan tibial serta korelasi positif dengan amplitudo sensoris nervus suralis pada pasien dengan polineuropati DM. Vitamin D meningkatkan fungsi endotel dengan mengurangi peradangan pembuluh darah, mengatur tekanan darah, menghambat proliferasi sel otot polos pembuluh darah, dan menghambat pembentukan foam cell sehingga memperbaiki sirkulasi mikrovaskuler ke saraf tepi.21

Vitamin D berperan dalam pertumbuhan dan pemeliharaan saraf karena merupakan penginduksi yang kuat terhadap neurotrofin dan neurotransmiter.

(4)

Neurotrofin yang paling penting adalah NGF, yang merupakan protein neurotropik yang diperlukan untuk perkembangan dan kelangsungan hidup neuron. Kadar vitamin D yang rendah berkaitan dengan neuropati.1

KESIMPULAN

Terdapat hubungan antara kadar vitamin D dengan latensi distal motoris nervus peroneus profundus pada pasien DM tipe 2 di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. DAFTAR PUSTAKA

1. Kheyami AM. Vitamin D and Diabetic Neuropathy. Univ Manchester. 2014;1(1):48-50.

2. Fan L, Zhang Y, Zhu J, Song Y, Lin J. Association of Vitamin D Deficiency with Diabetic Peripheral Neuropathy and Diabetic Nephropathy in Tianjin, China. Asia Pac J Clin Nutr. 2018;27(3):599-606. doi:10.6133/apjcn.062017.11

3. Saad M, Gabr WM, Barakat E, Enein AF. The effect of hypovitaminosis D normalization on diabetic neuropathy. Egypt J Neurol Psychiatry Neurosurg. 2016;53(2):102-106. doi:10.4103/1110-1083.183436

4. Abdelsadek SE, El Saghier EO, Abdel Raheem SI. Serum 25(OH) Vitamin D Level and Its Relation to Diabetic Peripheral Neuropathy in Egyptian Patients with Type 2 Diabetes Mellitus. Egypt J Neurol Psychiatry Neurosurg. 2018;54(1). doi:10.1186/ s41983-018-0036-9

5. Midroni. Approach to Diagnosis of Neuropathy. 2005;1(1):1-44. 6. Donofrio PD. Evaluating the Patient With Peripheral Neuropathy.

AANEM Course. 2008;1(1):23-33.

7. Donofrio PD, Albers JW, Litchy WJ, Ball RD, Campbell WW, Gilchrist JM, et al. Polyneuropathy : Classification By Nerve Conduction Studies and Electromyography. J AANEM Monimonograph. 1998;34(October 1990):889-903.

8. Preston D, Shapiro B. Electromyography and Neuromuscular Disorders : Clinical-electrophysiologic Correlations, 2nd ed. Philadelphia: Elsevier Butterworth Heinemann. 2005;VI(26):384-393.

9. Sterman A. Toxic Neuropathy. Mayo Clin Proc. 1985;60(1):59-61. doi:10.1016/S0025-6196(12)65286-0

10. Gargate A., Joshi A. Utility of F Wave Minimal Latency for Diagnosis of Diabetic Neuropathy. J Evol Med Dent Sci. 2014;3(69):14728-14736. doi:10.14260/jemds/2014/3979

11. Marciniak C. Fibular (Peroneal) Neuropathy. Electrodiagnostic Features and Clinical Correlates. Phys Med Rehabil Clin N Am. 2013;24(1):121-137. doi:10.1016/j.pmr.2012.08.016

12. Baima J, Krivickas ÆL. Evaluation and treatment of peroneal neuropathy. Musculoskelet Med. 2014;1(June):147-153. doi:10.1007/s12178-008-9023-6

13. Tesfaye S. Diabetic Neuropathy. Diabet Foot Second Ed. 2015;1(7):105-129.

14. Poernomo H, Basuki M, Widjaja D. Dasar-dasar Pemeriksaan Konduksi Saraf. In: Airlangga University Press. 1st ed. Surabaya; 2003:19-25.

15. Preston D, Shapiro B. Electromyography and Neuromuscular Disorder: Clinical-electrophysiologic Correlations 2nd edition. In: ; 2005.

16. Papanas N, Ziegler D. Risk factors and comorbidities in diabetic neuropathy: An update 2015. Rev Diabet Stud. 2015;12(1-2):48-62. doi:10.1900/RDS.2015.12.48

17. Lai YR, Chiu WC, Huang CC, Tsai NW, Wang HC, Lin WC, et al. HbA1c variability is strongly associated with the severity of peripheral neuropathy in patients with type 2 diabetes. Front Neurosci. 2019;13(FEB):1-9. doi:10.3389/fnins.2019.00090 18. Naves T, Kouyoumdjian J. Carpal tunnel syndrome in the Elderly.

Br Med J. 2010;68(1):87-92. doi:10.1136/bmj.2.6036.641-b 19. Pawar SM, Taksande AB, Singh R. Effect of body mass index

on parameters of nerve conduction study in Indian population. Indian J Physiol Pharmacol. 2012;56(1):88-93.

20. PB. PERKENI. Indonesia, P. E. (2015). Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. PB. PERKENI. Perkumpulan Endokrinol Indones. 2015:6-11.

21. Alhowikan AM, Rauq FA, M AL, Alzamil H, Zakareia FA. Vitamin D Deficiency, Atherogenic Index and Some Demographis Data as Risk Factors with The Prevelance of Diabetic Peripheral Polyneuropathy in Type II Diabetic Females. Biomed J Sci Tech Res. 2019;20(3). doi:10.26717/bjstr.2019.20.003460

(5)

LAMPIRAN

Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian

Variabel (n=20) n (%) Mean + SD Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 9 ( 45)11 ( 55) Usia (tahun) 50,6 ± 4,35 Terapi Oral antidiabetic Insulin

Oral antidiabetic+Insulin

9 ( 45) 8 ( 40) 3 ( 15) Hipertensi (HT) Ya Tidak 6 ( 30)14 ( 70) Merokok Ya Tidak 6 ( 30) 14 ( 70) Dislipidemia Ya Tidak 20 (100) 0 ( 0) Durasi menderita DMT2 (tahun) 6,15 ± 4,15 BMI (kg/m2) 24,05 ± 1,68 HbA1c (%) 8,61 ± 2,02

Vitamin D 25-OH total (ng/dL)

18,74 ± 7,06

LDMNP (ms) 4,07 ± 0,85

Tabel 2. Uji Beda LDMNP Berdasarkan Status Merokok

dan HT Rerata ± SD (ms) p Hipertensi Ya Tidak 4,03 ± 0,45 4,09 ± 0,99 0,65 Merokok Ya Tidak 3,68 ± 0,254,24 ± 0,97 0,117

Tabel 3. Korelasi antara LDMNP dengan Berbagai

Variabel Koefisien korelasi (r) p Usia 0,279 0,233 Durasi DMT2 0,414 0,07 BMI 0,319 0,170 HbA1c 0,008 0,972 Kadar Vitamin D -0,502 0,024

Gambar

Tabel 1.  Karakteristik Subjek Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

In the latter half of the nineteenth century, the sonnet would continue to develop with the publication of such important sonnet sequences as George Meredith's Modern Love

77 Petits poèmes en prose, 'La Chambre Double,' p.. that he knew himself through and through, and that nevertheless he had to go on living, as it were, drop by drop. In order to

Hasil analisis kualitatif pada penelitian ini menunjukkan bahwa keenam sampel tidak mengandung natrium siklamat, untuk memastikan bahwa sampel benar tidak mengandung

Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) Peranan Mayor I Gusti Wayan Debes dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari pra puputan sampai Puputan Margarana,

Sehingga hasil yang diperoleh pada penelitian ini adalah ada pengaruh yang signifikan pada penggunaan media iqro’ Braille dalam proses pembelajaran untuk

bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015

Faktor-faktor yang mempengaruhi pemelajaran dalam layanan bk belajar Belajar merupakan metode yang digunakan untuk melakukan (Transfer of  knowledge and transfer of values

Penelitian ini merupakan bagian dari strategi pemuliaan jenis-jenis shorea penghasil tengkawang untuk mengidentifikasi jenis dan pertumbuhan semai dengan menggunakan