• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN PERSELINGKUHAN SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN PERSELINGKUHAN SKRIPSI"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Program Studi Psikologi

Fakultas Psikologi dan llmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 Program Studi Psikologi dan llmu Sosial Budaya

Universitas Islam Indonesia

t, ,SLAM £

lYi

&UftB2Jf&B

Oleh:

ERIKA KANYA MIRANTI

01320190

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA 2006

(2)

SKRIPSI

Diajukan kepada Program Studi Psikologi

Fakultas Psikologi dan llmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia

Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat Guna Memperoleh

Derajat Sarjana S1 Program Studi Psikologi dan llmu Sosial Budaya

Universitas Islam Indonesia

Oleh:

ERIKA KANYA MIRANTJ

01320190

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA

(3)

Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi dan llmu Sosial Budaya

Universitas Islam Indonesia

Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat Guna Memperoleh

Derajat Sarjana S1 Program Studi Psikologi dan llmu Sosial Budaya

Universitas Islam Indonesia

Dewan Penguji

Pada Tanggal

3 1 AUG 2008

Mengesahkan,

Program Studi Psikologi

Fakultas Psikologi dan llmu Sosial Budaya

..—-Uqjyersitas Islam Indonesia

/<^«JVfi5^>Ci Ketua,

/ .-cV

,\ v

fiSVtSX-ft.«u sos'^fioftirejvun^s psi MSi

„ o

-"V<£ YA.

Tandatangan,

1. RA. Retno Kumolohadi, S.Psi, M.Si

'~vjw(

2. Hepi Wahyuningsih, S.Psi, M.Si

3. Irwan Nuryana K, S.Psi, M.Si

^ /

-U L

r-\.\l-i

, --4-r

(4)

membuat laporan penelitian, tidak melanggar etika akademik seperti penjiplakan, pemalsuan data, dan manipulasi data. Apabila di kemudian hah saya terbukti melanggar etika akademik, maka saya sanggup menerima konsekuensi berupa pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.

Yang menyatakan,

Erika Kanya Miranti

(5)

SegaCa (Puji 6agij4CMsWTyang teCah mem6eri£an hamSa kemudahan-^emudahan

datam setiap tari^an napas sehingga ^arya sederhana ini dapat terseCesaifran

9ia6iU\iuHammadSAtWyang mengajarkan untu^seCaCu SersimpuH dan mengemBad^an

semua haCkepada Sang (pencipta

<Papa dan Mama

Terima kasih atas doa dan %esa6aran yang tiada habisnya untukjAde

Semoga ^arya ini dapat menjadi hadiah istimewa dan

sinar kebaftagiaan diHati (Papa dan "Mama

Kakak-Kakakku

Mas segaia doa, du^ungan, dan perftatiannya selama ini untubjlde

A6ang

Atas doa, %esa6aran, pengertian, dan kasih sayangnya

(6)

•-•=•-'•'-,

-

•• " -MM

'•• >| I "

' T ,'"•=?', •"

" - '." <fl '"-"'l - •" •> •" '." /Il :-'i

-'.—•---' | ••- v - '-"-'•Er-"'' ^ •• •" ••>-'

••--'•-=•'-••

'|ir*: || «.f - -

- i •"

•* •" - )\

". -

| --,-.- f .

. 'if t

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang (1) Segaia

puji bagi Allah, Tuhan semesta alam (2) Maha Pemurah lagi Maha Penyayang (3) Yang

menguasai di Hari Pembalasan (4) Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya

kepada Engkaulah kami meminta pertolongan (5) Tunjukilah kami jalan yang lurus (6)

(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan)

mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (7).

(7)

pertolongan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini semata-mata adalah rahmat Yang Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang.

Penulis menyadari bahwa telah banyak pihak yang memberikan bantuan berupa dorongan, arahan, dan data yang diperlukan mulai dari persiapan, tempat dan pelaksanaan penelitian hingga tersusunnya skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Fuad Nashori, S.Psi., M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia dan Dosen Pembimbing Akademik yang telah mendampingi penulis dalam menimba ilmu pengetahuan.

2. Ibu RA. Retno Kumolohadi, S.Psi., M.Si., selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberi dukungan dalam menyelesaikan skripsi.

3. Ibu Hepi Wahyuningsih, S.Psi., M.Si., selaku Dosen Penguji, terima kasih atas pertanyaan dan kemudahan yang diberikan kepada penulis.

4. Bapak Irwan Nuryana K, S.Psi., M.Si., selaku Dosen Penguji, terima kasih atas pertanyaan dan nasehat yang diberikan kepada penulis.

5. Segenap Dosen Fakultas Psikologi Ull yang telah membagi ilmu dan membuka

wawasan kepada penulis.

6. Seluruh Karyawan Fakultas Psikologi Ull yang telah membantu kelancaran penulis

selama kuliah.

(8)

8. Direktur Rumah Sakit Pertamina Balikpapan (RSPB) yang telah memberikan izin

pada penulis unutk mengumpulkan data membantu kelancaran penulis dalam

mengumpulkan data.

9. Orang tuaku tercinta: Bapak H. Margono, S.Sos dan Ibu Hj. Retno Moeljaningsih

yang senantiasa memberi kasih sayang, dukungan, dan doa yang terbaik selama ini.

10. Kakak-kakakku tersayang: Mas Lucky Renggo Wibowo, ST dan Mas Krishna

Andhika Kusumo atas dukungan, doa, dan perhatiannya.

H.Abang Faisal Aminin atas cinta dan kasih sayang, kesabaran, dan pengorbanan

yang telah banyak diberikan selama ini.

12. My partners in crime: Lia dan Pipit, atas perhatian dan persahabatan selama ini.

Persahabatan kita begitu berarti di setiap langkah hidupku (keep on rockin', girls!!).

13. Fia Orton Harnett, terima kasih banyak atas bantuan dan kesabaran yang diberikan

dalam mengolah data (olah dataku ngga akan selesai tanpa kamu, Fi).

14. Ika, Novika, dan Naning, atas pinjaman buku-buku dan konsultasi gratisnya.

15. Teman-teman SPS (Sekolah Pelatih Senam) 2 Cahya Kumala : Mbak Taty, mbak

Eryn, dan mbak Hany, terima kasih atas dukungan kalian semua (teruslah semangat

dan berjuang, kawan!!)

16. Teman-teman senam di Cahaya Kumala : Bu Endang, Mbak Tini, Mbak Murni, Mbak

Zita, Mbak Ika, Mbak Intan, Mbak Leny, Mbak Dewi, Bu Atun, Mbak Reny, Mbak Lia,

Mbak Ratih, Anna, Hera, Lusy, Novi, Mbak Ratna, terima kasih atas semangat yang

diberikan.

17. Teman-teman di Balikpapan atas bantuannya untuk menyebar angket.

18. Dan semua pihak yang telah membantu baik materi maupun dukungan moriil yang

tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

(9)

Yogyakarta, Agustus 2006

Penulis

(10)

HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN HALAMAN PERSEMBAHAN HALAMAN MOTTO PRAKATA DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN INTISARI BAB I. PENGANTAR

A. Latar Belakang Masalah B. Tujuan Penelitian

C. Manfaat Penelitian D. Keaslian Penelitian

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Perselingkuhan

1. Pengertian Perselingkuhan 2. Indikator Perselingkuhan

3. Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Perselingkuhan B. Religiusitas

1. Pengertian Religi dan Religisitas

i x IV V vi ix xii xiii xiv 1 1 8 8 9 11 11 11 12 15 18 18

(11)

4. Fungsi Agama dalam Kehidupan Manusia

27

C. Hubungan Antara Religiusitas dengan Perselingkuhan ...

30

D. Hipotesis

33

BAB III. METODE PENELITIAN

34

A. Identifikasi Variabel-variabel Penelitian

34

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

34

1. Perselingkuhan

34

2. Religiusitas

34

C. Subyek Penelitian

35

D. Metode Pengumpulan Data

35

1. Skala Religiusitas

35

2. Skala Perselingkuhan

37

E. Validitas dan Reliabilitas

38

F. Metode Analisis Data

40

BAB IV. PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN

41

A. Orientasi Kancah dan Persiapan

41

1. Orientasi Kancah

41

2. Persiapan

42

B. Laporan Pelaksanaan Penelitian

45

C. Hasil Penelitian

45

1. Deskripsi Subyek Penelitian

45

2. Deskripsi Data Penelitian

46

3. Uji Asumsi

48

(12)

BABV. PENUTUP 55 1. Kesimpulan 55 2. Saran 55 DAFTAR PUSTAKA 57 LAMPIRAN 60 XI

(13)

Tabel 2. Distribusi Butir Skala Perselingkuhan Sebelum Uji Coba

38

Tabel 3. Distribusi Butir Skala Religiusitas Setelah Uji coba 44 Tabel 4. Distribusi Butir Skala Perselingkuhan Setelah Uji Coba 45 Tabel 5. Kategorisasi Subyek Berdasarkan Jenis Kelamin 46 Tabel 6. Kategorisasi Subyek Berdasarkan Usia Pernikahan 46

Tabel 7. Deskripsi Hasil Penelitian 46

Tabel 8. Kriteria Kategori Skala 47

Tabel 9. Kategorisasi Variabel Religiusitas 47

Tabel 10. Kategorisasi Variabel Perselingkuhan 48

Tabel 11. Hasil Analisis Tambahan 50

(14)

Lampiran 2. Data Try Out 63

Lampiran 3. Hasil Uji Reliabilitas dan Validitas 71

Lampiran 4. Angket Penelitian 80

Lampiran 5. Data Penelitian 82

Lampiran 6. Hasil Penelitian 101

Lampiran 7. Hasil Analisis Tambahan 108

Lampiran 8. Surat Izin dan Bukti Akademik 112

(15)

Erika Kanya Miranti

RA. Retno Kumolohadi

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk menguji ada atau tidaknya hubungan negatif antara religiusitas

dengan perselingkuhan. Hipotesis awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif

antara religiusitas

dengan

perselingkuhan.

Semakin tinggi

religiusitas

maka semakin

rendah

perselingkuhan. Sebaliknya semakin rendah religiusitas maka semakin tinggi perselingkuhan.

Subyek dalam penelitian ini adalah pria dan wanita Muslim yang sudah menikah dan masih terikat

dalam hubungan pernikahan dimana baik suami atau istri sering ditugaskan ke luar kota dalam jangka

waktu dua sampai tiga bulan di kota Balikpapan Kalimantan Timur. Subyek dalam penelitian ini berjumlah

87 orang. Mat ukur yang digunakan adalah skala religiusitas yang mengacu pada konsep Clock dan Stark

(1966) untuk mengukur sikap dan perilaku religiusitas, dan skala perselingkuhan berdasarkan aspek-aspek

perselingkuhan yang diajukan oleh Jackson (2000) untuk mengukur perilaku perselingkuhan.

Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan fasilitas program SPSS

versi 12,0 untuk menguji apakah terdapat hubungan antara religiusitas dengan perselingkuhan. Hipotesis

pertama menunjukkan korelasi dari Pearson's rho sebesar r = - 0,740; p = 0,000 (p < 0,01) yang artinya

ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara religiusitas dengan perselingkuhan dalam rumah

tangga. Semakin tinggi religiusitas maka semakin rendah perselingkuhan. Sebaliknya,semakin rendah

religiusitas maka semakin tinggi perselingkuhan. Jadi hipotesis penelitian ini terbukti.

Kata kunci: Religiusitas, Perselingkuhan.

(16)

A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan merupakan suatu ikatan sakral yang menyatukan dua individu

dengan pribadi yang berbeda. Hal ini menyebabkan suami dan istri memiliki

tujuan yang berbeda dalam kehidupan pernikahannya. Namun ada hal-hal yang

merupakan tujuan umum dari sebuah pernikahan yang meliputi tujuan fisik,

psikologis, spiritual, sella tujuan untuk bersosialisasi baik itu dengan pasangan,

keluarga maupun lingkungannya. Sebuah pernikahan dikatakan memuaskan jika

tujuan-tujuan dari pernikahan tersebut sudah tercapai (Santrock, 2002).

Tujuan pernikahan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan naluriah

hidup manusia, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka

mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya (Basyir,

1977). Sedangkan tujuan fisik dari sebuah pernikahan adalah pemuasan

kebutuhan biologis (seksual) dan fungsi reproduksi (Shihab, 2004). Dengan

menikah, pemuasan kebutuhan seksual yang semula dilarang akan menjadi legal

(secara agama dan sosial), begitu pula akan dihasilkan keturunan yang sah

(Hizbut-Tahrir lndonesia.or.id). Pernikahan yang baik juga merupakan suatu hal

yang dapat mempengaruhi kesehatan fisik seseorang. Pernikahan yang tidak

bahagia dapat meningkatkan resiko seseorang untuk menderita sakit bahkan menurunkan usianya hingga empat tahun. Sebaliknya, pernikahan yang bahagia dapat meningkatkan kualitas kesehatan seseorang (Santrock, 2002).

Di dalam kehidupan pernikahan, suami istri melakukan perbandingan untung rugi yang ditambah oleh adanya relasi pernikahan mereka. Apabila dari

(17)

apabila dalam interaksinya dengan lingkungan, baik suami maupun istri menemukan relasi yang lebih menarik dari relasi sebelumnya maka akan muncul suatu usaha untuk mempertahankan relasi yang baru sehingga terjadilah suatu bentuk penyelewengan atas ikatan pernikahan mereka yang lebih akrab dikenal

sebagai perselingkuhan.

Sejumlah orang mengatakan tidak pernah menduga sama sekali bahwa pasangannya melakukan perselingkuhan (Satiadarma, 2001). Namun pada kenyataannya sejumlah orang merasa kecewa karena mereka baru mengetahui bahwa pasangannya telah berulang kali melakukan perselingkuhan tanpa sepengetahuannya. Seorang istri, misalnya, tadinya menganggap suaminya demikian lugu dan setia namun harus menghadapi kenyataan bahwa sang suami telah berselingkuh. Seorang suami menganggap bahwa istrinya adalah wanita baik-baik, taat pada nilai budaya, tetapi ternyata ia telah berselingkuh dengan

orang lain.

Sebuah survey yang dilakukan oleh majalah pria FHM pada tahun 2003 menunjukkan bahwa 50,7% pria Indonesia pernah selingkuh, dan 50,8% perempuan Indonesia pernah selingkuh. Nugraha (2004) menyatakan bahwa beberapa tahun yang lalu, dua dari tiga pria di Jakarta melakukan perselingkuhan. Lebih lanjut, Nugraha (2004) menyatakan bahwa empat dari lima pria di Jakarta melakukan selingkuh. Berdasarkan data yang dimiliki oleh Klinik Pasutri, ditemukan bahwa 42% suami melakukan selingkuh ketika istri mereka berusia di atas 40 tahun. Lebih lanjut, ditemukan pula bahwa dua di antara lima

(18)

peningkatan. Meskipun sampel dari data tersebut hanya terbatas di Jakarta saja,

bukan tidak mungkin kecenderungan tersebut juga terjadi di berbagai kota di

Indonesia.

Hawari (1991) menyebutkan perselingkuhan sebagai penyebab terbesar konflik suami istri saat ini. Pada era globalisasi sekarang ini, kesempatan untuk

berinteraksi dengan pihak manapun yang disukai menjadi bertambah besar. Bagi

hubungan suami istri, keadaan ini dapat menjadi saingan bagi kelangsungan

pernikahan mereka.

Dalam sebuah pernikahan, pasangan suami istri memerlukan hubungan

interpersonal yang harmonis. Hubungan interpersonal adalah hubungan yang

mendatangkan kehangatan, keterbukaan, dan dukungan. Hubungan ini dilakukan

karena pada dasarnya tiap individu berbeda dan memiliki kekurangan. Selain itu,

menurut Halloran (Liliweri, 1991), manusia membutuhkan pengakuan akan

dirinya oleh orang lain. Dan sejalan dengan hal tersebut, Bhngham (1991)

menyatakan bahwa kebutuhan dasar manusia seperti bercinta, berteman,

mendapatkan penghargaan dan lainnya hanya dapat terpenuhi melalui hubungan

interpersonal. Tanpa adanya hubungan interpersonal tersebut, mustahil

kebutuhan-kebutuhan di atas akan terpenuhi. Kebutuhan dasar tersebut agak

terhambat pemenuhannya manakala suami atau istri jauh dari rumah atau tinggal

menetap di daerah atau di kota lain.

Menurut Wills (Cohen, 1985), dalam teori pertukaran sosial (social

(19)

pertukaran secara timbal balik ini membuat individu percaya bahwa orang lain akan memberikan dukungan, baik dukungan fisik maupun dukungan emosional.

Di dalam hubungan interpersonal juga diperlukan adanya dukungan dimana individu melibatkan penilaian kognitif untuk memperoleh suatu pengalaman. Penilaian kognitif adalah suatu penilaian yang muncul saat seseorang membutuhkan dukungan, informasi, dan umpan balik dari lingkungannya. Misalnya, apabila individu mengalami suatu masalah yang sulit dipecahkan, ia akan mencari orang lain yang dapat membantunya memecahkan masalah tersebut dan tentu saja orang tersebut adalah orang yang dipercaya dapat memberikan bantuan dan dukungan secara langsung.

Begitu halnya dengan kehidupan pernikahan. Orang yang paling dekat dalam suatu rumah tangga adalah suami atau istri. Jadi jika suami atau istri menghadapi suatu masalah, maka orang pertama yang dimintai bantuannya

adalah pasangannya karena mereka adalah orang yang paling dipercaya untuk

dapat memahami, menghargai, dan memberikan dukungan baik dukungan moral

maupun spiritual, serta jalan keluar untuk masalah yang dihadapinya (Lawson,

1998). Namun, ketika suami atau istri menghadapi suatu situasi yang tidak

mampu diatasinya sendiri dan pasangannya tidak memberikan dukungan seperti

yang diharapkannya,

muncullah

perasaan tidak diperdulikan

dan tidak

diperhatikan (Masika, 2002).

Ketika individu tidak mendapat apa yang diinginkan dari pasangannya, maka individu tersebut akan mencarinya pada orang lain. Jika kondisi ini terus

(20)

relasi baru ini akan lebih besar (Satiadarma, 2001). Sesuatu yang bermula dari

rasa aman, nyaman, dan percaya bahwa ada seseorang yang bersedia

memberikan dukungan akan berkembang menjadi perasaan yang lebih

mendalam dari sekedar teman berbagi yang menyebabkan munculnya

ketertarikan baik fisik maupun psikologis. Perselingkuhan kemudian dijadikan

sebagai alternatif untuk tetap mempertahankan kondisi ini, karena ada

alasan-alasan tertentu yang membuat pernikahan mereka harus tetap dipertahankan

(Satiadarma, 2001).

Di dalam kasus perselingkuhan, komunikasi acap kali menjadi salah satu

sentral permasalahan (Satiadarma, 2001). Jika seseorang membutuhkan

sahabat untuk berkomunikasi, demikian pula dengan pasangan suami istri.

Karena itu, komunikasi antara pasangan suami istri sangatlah penting.

Komunikasi antar individu yang berlangsung (bertatap muka) adalah yang paling

Iengkap mengandung berbagai faktor psikologis dan karena itu patut mendapat

perhatian yang pertama. Zajonc (1968) mengatakan bahwa faktor yang

memudahkan komunikasi dan hubungan adalah pertemuan yang berulang-ulang.

la mengatakan bahwa dengan pertemuan yang berulang-ulang itu terjadi reaksi

psikologis sehingga dapat saling berhubungan dengan lebih baik. Oleh karena itu

faktor kedekatan fisik (sehingga lebih sering bertemu) antara individu merupakan

salah satu faktor yang penting untuk peningkatan hubungan.

Ketika suami atau istri jauh dari rumah atau tinggal menetap di kota lain

karena pekerjaan, maka tidak menutup kemungkinan pasangan suami atau istri

(21)

satunya karena salah satu pasangan tinggal menetap di kota lain untuk waktu yang lama karena pekerjaannya. Akibat dari hal tersebut, maka salah satu pasangan berusaha untuk memenuhi dorongan tersebut dengan menjalin hubungan di luar hubungan suami istri (Satiadarma, 2001).

Sisi lain dari hubungan antar pribadi adalah kesepian. Kesepian adalah perasaan yang timbul jika harapan untuk terlibat dalam hubungan yang akrab dengan seseorang atau orang terdekatnya tidak tercapai (Peplau dan Perlman, 1981). Perasaan ini biasa timbul pada orang yang harus pergi untuk sementara waktu karena pendidikan atau pekerjaan ke kota lain dan meninggalkan keluarga, pasangannya, atau sahabat-sahabatnya di kota tempat keluarganya berdomisili. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri dalam

waktu sekian lama. Untuk mengusir rasa sepi yang mengganggu, orang

berusaha mencari teman yang terkadang tanpa disadari justru menggiringnya

kepada perselingkuhan (Daniel, 2003).

Memang tidak semua orang yang tinggal berjauhan kemudian terjadi perselingkuhan. Daniel (2003) menyatakan bahwa penyebab berikutnya

terjadinya perselingkuhan adalah lemahnya penghayatan agama seseorang.

Orang-orang semacam ini lebih banyak melihat hal-hal yang bersifat keduniawian dahpada akhirat. Nugraha (2004) menguatkan bahwa salah satu penyebab terjadinya perselingkuhan adalah rendahnya keimanan pada diri individu. Penjelasan-penjelasan di atas menunjukan bahwa religiusitas seseorang dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan perselingkuhan.

(22)

Tuhan adalah pusat dalam kehidupannya. Tentang posisi Tuhan sebagai pusat ini, Tuhan menegaskan bahwa Dia adalah tempat bergantung segaia sesuatu (QS. Al Ikhlas, 112:2), termasuk manusia. Bahkan manusia (dan jin)

sesungguhnya diciptakan semata-mata untuk menyembah Tuhan (QS. Al

Dzariyat, 51:56).

Menurut Daradjat (1978), keyakinan beragama menjadi bagian integral dari kepribadian seseorang. Keyakinan itu akan mengawasi segaia tindakan, perkataan, bahkan perasaannya. Pada saat seseorang tertarik pada sesuatu hal

yang tampaknya menyenangkan, maka keimanannya akan cepat bertindak

menimbang dan meneliti apakah hal tersebut boleh atau tidak oleh agamanya. Agama mempunyai peranan penting dalam pembinaan moral karena nilai-nilai moral yang datang dari agama tetap dan bersifat universal. Apabila dihadapkan pada suatu dilema, seseorang akan menggunakan pertimbangan-pertimbangan berdasarkan nilai-nilai moral yang berasal dari agama. Dimana pun orang itu berada dan pada posisi apapun, dia akan tetap memegang prinsip moral yang telah tertanam dalam hati nuraninya (Daradjat, 1991). Oleh karena itu nilai-nilai agama yang telah diinternalisasi oleh seseorang, diharapkan mampu

menuntun semua perilakunya.

Berdasarkan uraian di atas, jelas terlihat bahwa dalam sebuah pernikahan yang sangat dibutuhkan antara lain keimanan yang kuat atau religiusitas yang tinggi dari pasangan suami istri dan kesetiaan akan sumpah pernikahan yang telah diikrarkan serta pengertian dan dukungan dari pasangan

(23)

kemungkinan mempertahankan relasi baru akan terus berlanjut. Penelitian ini mengangkat judul "Hubungan Antara Religiusitas dengan Perselingkuhan".

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara empirik ada tidaknya hubungan antara religiusitas dengan perselingkuhan pada subyek yang suami atau istrinya sering ke luar kota untuk bekerja.

C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam hal-hal

sebagai berikut:

1. Secara teoritis.

Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah psikologi khususnya psikologi sosial, psikologi islami, dan psikologi keluarga.

2. Secara praktis.

Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan bagi suami dan istri dalam membina kehidupan pernikahan, khususnya yang berkaitan dengan religiusitas pasangan yang dapat membantu mempertahankan keutuhan dan kebahagiaan kehidupan pernikahan. Bagi psikolog, hasil penelitian ini dapat sebagai bahan pertimbangan dalam proses konseling keluarga dan pernikahan.

(24)

perselingkuhan, terdapat beberapa penelitian terdahulu yang menggunakan

variabel-variabel tersebut. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Yulianto (2000) tentang "Perselingkuhan: Dapatkah Ditiadakan?", Zakiah (1999) tentang

"Hubungan Antara Religiusitas dengan Intensi Perselingkuhan", dan Nusya

tentang "Hubungan Antara Kepuasan Perkawinan dengan Intensi Melakukan Selingkuh pada Suami".

Penelitian Zakiah bertujuan untuk menguji hubungan negatif antara

religiusitas dengan intensi perselingkuhan dengan subyek penelitian suami istri

yang beragama Islam. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu angket yang mengukur skala religiusitas yang mengacu pada teori Glock dan Stark, dan angket yang mengukur skala intensi perselingkuhan yang menggunakan teori

perselingkuhan dari Jackson. Penelitian Nusya bertujuan untuk menguji

hubungan negatif antara kepuasan perkawinan dengan intensi melakukan

selingkuh pada suami dengan subyek penelitian pada laki-laki yang sudah

menikah dengan usia pernikahan diatas lima tahun, bekerja dengan gaji diatas

upah minimum masyarakat dan memiliki anak. Alat ukur yang digunakan yaitu angket yang mengukur skala intensi melakukan selingkuh menggunakan teori aspek perilaku selingkuh dari Jackson dan skala religiusitas dari teori Glock dan Stark. Hasil kedua penelitian adalah ada hubungan negatif yang sangat signifikan

antara kedua variabel.

Penelitian yang akan diteliti oleh penulis meneliti tentang hubungan antara religiusitas dengan perselingkuhan dengan subyek pria dan wanita Muslim

(25)

ada hubungan negatif antara religiusitas dengan perselingkuhan. Alat ukur yang digunakan berupa angket yang mengukur skala religiusitas yang menggunakan teori religiusitas dari Glock dan Stark, yaitu dimensi ideologis (the ideological dimension), dimensi ritual (the ritualistic dimension), dimensi eksperiensial (the experiential dimension), dan dimensi konsekuensial (the consequential dimension), dan angket yang mengukur skala perselingkuhan yang menggunakan teori perselingkuhan dari Jackson, yaitu perselingkuhan fisik (physical affairs) dan perselingkuhan emosional (emotional affairs).

(26)

A. Perselingkuhan

1. Pengertian Perselingkuhan

Selingkuh menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan

sebagai perbuatan yang tidak berterus terang; tidak jujur; menyembunyikan

sesuatu untuk kepentingan sendiri; curang; serong. Lawson (1988) menyatakan bahwa perbuatan selingkuh dapat dimulai dari pergi bersama seseorang yang bukan suami atau istrinya, kedekatan yang kuat dengan orang lain baik secara fisik maupun emosional, sexual intercourse secara sukarela antar seseorang yang sudah menikah dengan orang lain yang bukan pasangannya. Perselingkuhan atau penyelewengan seksual di luar nikah (affairs atau

extramarital sex) adalah segaia bentuk aktivitas antara seseorang yang sudah

berkeluarga dengan orang lain selain pasangannya (Master dkk, 1992). Perselingkuhan menurut Adimoelya (Yulianto, 2000) adalah suatu hubungan seksual di luar pernikahan yang disebut juga extramarital sex. Hubungan dapat singkat atau lama, dengan tingkat keterlibatan emosional yang rendah atau tinggi Berdasarkan beberapa pengertian tentang perselingkuhan diatas, dapat disimpulkan bahwa perselingkuhan merupakan hubungan antara pria dan wanita di luar pernikahan dengan melibatkan hubungan fisik maupun hubungan emosional antara keduanya yang di dalamnya termasuk rasa saling ketertarikan, ketergantungan, dan saling memenuhi. Perselingkuhan dapat juga disebut perbuatan tidak menghormati kepercayaan pasangan dan mengkhianati ikatan

(27)

2. Indikator Perselingkuhan

Menurut Jackson (2000), perselingkuhan dapat diidentifikasi menjadi dua

kelompok, yaitu:

a. Perselingkuhan fisik (physical affairs)

Perselingkuhan ini dalam bentuk kontak seksual terbuka (overt sexual

contact) dan kontak seksual tertutup (covert sexual contact).

1. Kontak seksual terbuka (overt sexual contact). Perselingkuhan dapat

diartikan sebagai

hubungan seksual

(sexual intercourse)

dengan

seseorang yang bukan pasangannya. Hubungan ini tidak terbatas pada

"one night stand' tapi juga dapat berlanjut pada hubungan yang melibatkan emosional dalam waktu yang lama. Perselingkuhan mungkin

juga terjadi melalui hubungan fisik yang intim untuk merangsang dan

menikmati rangsangan seksual dengan seseorang selain pasangannya meskipun tidak terjadi hubungan seksual.

2. Kontak seksual tertutup (covert sexual contact). Perselingkuhan ini melibatkan sentuhan fisik yang tidak selayaknya dilakukan oleh

seseorang yang bukan pasangannya. Sentuhan tersebut tidak hanya

dalam bentuk sentuhan ringan ataupun sentuhan yang dilakukan karena

terdorong oleh perasaan saja, tetapi juga dapat dalam bentuk pelukan

erat, ciuman pipi, berpegangan tangan, serta pandangan mata yang mengisyaratkan perasaan lebih dari sekedarteman.

(28)

b. Perselingkuhan emosional (emotional affairs)

Perselingkuhan ini tidak melibatkan hubungan seksual. Memberikan waktu,

materi,

dan

energi

emosional

(perhatian,

pengertian,

dukungan,

penghargaan, penghormatan) kepada seseorang yang bukan pasangannya merupakan pengingkaran atas janji pernikahan. Perselingkuhan jenis ini mungkin lebih mudah diketahui daripada perselingkuhan fisik, tapi tidak

selamanya akan demikian karena perasaan dan motivasi sifatnya sangat

pribadi.

Brown (2000) mengemukakan ada lima jenis perselingkuhan, yaitu:

a. Conflict Avoidance Affair (perselingkuhan karena menghindari konflik)

Perselingkuhan ini terjadi karena pasangan menghindari terjadinya konflik.

Ketakutan akan terjadinya konflik membuat suami atau istri tidak dapat

berkomunikasi dengan baik sehingga tidak terjalin pengertian di antara

mereka. Kondisi ini membuat suami atau istri akan mencari seseorang yang

dapat memberikan pengertian dan menghilangkan rasa takut akan terjadinya

konflik. Dalam hal ini baik suami atau istri memiliki kesempatan yang sama

untuk melakukan selingkuh (equal opportunity affair).

b. Intimacy Avoidance Affair (perselingkuhan karena menghindari keakraban)

Ada beberapa pasangan yang menghindari terjadinya kedekatan dan

membangun jarak di antara mereka dan menciptakan konflik sebagai usaha

untuk tetap menjaga jarak tersebut karena hubungan emosional di antara

mereka akan semakin dekat dan kuat melalui konflik yang sering terjadi.

Untuk membuat konflik selalu ada di antara mereka, selingkuh adalah cara

(29)

cenderung memiliki lebih besar kecanduan hubungan seksual daripada

wanita.

d. Split Self Affair (perselingkuhan karena kepribadian yang pecah)

Orang yang memiliki kepribadian yang terpecah tidak begitu dapat menikmati

hubungan

pernikahan

karena

perasaan

dan

kebutuhannya

harus

dikorbankan demi menjaga keutuhan pernikahan tersebut. e. Exit Affair (perselingkuhan karena meninggalkan pernikahan)

Perselingkuhan ini terjadi karena konflik dalam pernikahan dianggap sudah

tidak dapat diselesaikan sehingga perselingkuhan yang dilakukan dianggap

sebagai tindakan yang benar. Namun ada juga yang menganggap

perselingkuhan sebagai penyebab kegagalan pernikahan. Hal ini merupakan

equal opportunity lainnya.

Dari penjelasan

kedua

tokoh diatas,

dapat

disimpulkan

bahwa

perselingkuhan dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu aspek fisik

(physical affairs) yaitu ketertarikan pada fisik dan sentuhan fisik yang dapat

berupa ciuman, pelukan, pegangan tangan, dan dapat melibatkan hubungan

seksual (sexual intercourse) serta aspek emosional (emotional affairs) yang lebih mengedepankan hubungan emosional seperti perhatian, pengertian, dukungan, penghargaan, dan penghormatan.

(30)

3. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perselingkuhan

Staheli (Satiadarma, 2001) menguratkan faktor-faktor yang menyebabkan

terjadinya perselingkuhan:

a. Variasi hubungan seksual. Mereka menyukai hubungan seksual dengan tidak

dibatasi hanya pada satu pasangan saja.

b. Dengan memiliki lebih dari satu pasangan mereka merasakan adanya

kuantitas hubungan seksual yang lebih besar.

c. Kesempatan. Mereka tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk

melakukan hubungan seksua. dengan seseorang karena memang

kesempatan itu ada. Kalaupun mereka melakukannya, hubungan tersebut

tidak akan pernah diketahui orang lain.

d. Mereka tidak dapat membina hubungan hubungan interpersonal dengan baik

dengan pasangannya karena adanya berbagai alasan seperti pasangan

bekerja hingga laru. malam, pasangan tidak berada di rumah dalam jangka

waktu yang lama karena bekerja di luar kota sehingga waktu untuk

berkomunikasi sangat terbatas.

e. Kesepian. Karenanya mereka mencari seseorang yang lain yang dapat

mengisi rasa sepi hidup mereka.

Menurut Daniel (2003), faktor-faktor penyebab selingkuh adalah sebagai

berikut:

a. Kemampuan finansia.. Seseorang yang berselingkuh bisa saja mengeluarkan

biaya yang tidak sedikit untuk pasangan selingkuhnya. Biaya tersebut antara

lain untuk makan di restoran, tempat istirahat mereka berdua, biaya

transportasi, dan Iain-Iain. Biaya tersebut dikeluarkan setiap melakukan

(31)

karaoke, bioskop, massage atau sauna, restoran eksklusif atau umum, pub,

cafe, dan taman seni.

c. Faktor masa kecil dan remaja. Pengalaman menyedihkan maupun

menyenangkan akan mempengaruhi sikap dan kejiwaan seseorang. Melalui pengalaman yang menyenangkan, mereka akan lebih dapat bersyukur pada Tuhan. Sebaliknya, pengalaman menyedihkan akan menimbulkan sikap

selalu menuntut lebih dari kebutuhan diri yang sesungguhnya.

d. Lemahnya penghayatan agama. Mereka lebih banyak melihat hal keduniawian daripada akhirat sehingga keseimbangan jiwa dan akalnya lebih

terfokus pada materi seperti mobil, rumah, pulau, kapal pesiar, dan akhirnya wanita simpanan.

e. Dorongan seksual. Kepuasan seks bersama pasangan memang terjadi,

tetapi kepuasan seks dengan pasangan lain merupakan dunia tersendiri. Pasangan selingkuh dirasakan mampu meningkatkan libido seks dengan suatu kenikmatan yang luar biasa.

f. Bisnis dan pelesiran. Pelesiran terjadi begitu ada kesempatan pertemuan

yang dilakukan para mitra bisnis di luar jam kerja atau adanya janji bila sukses dalam suatu proyek.

g. Pergaulan. Lingkungan di sekitar individu yang memperiihatkan perselingkuhan merupakan sesuatu hal yang menarik adalah salah satu

(32)

h. Kontrol masyarakat lemah. Banyak masyarakat kita yang bersikap acuh tak

acuh terhadap lingkungan sekitar. Jika terjadi tindakan yang tidak terpuji,

mereka cenderung tidak peduli dan tidak mengambil tindakan tegas.

Sedangkan seperti yang disebutkan Nugraha (2004), ada beberapa

alasan orang berselingkuh, diantaranya:

1. Ketidakmampuan membentuk komitmen bersama pasangan pernikahan.

Lemahnya komitmen, tidak disadarinya arti serta tujuan pernikahan juga ikut

mendorong seseorang melakukan perselingkuhan.

2. Iman yang lemah dan rasa egoisme yang besar dari masing-masing

pasangan.

3. Amarah

yang terpendam dari

pasangan,

ketidakpuasaan kehidupan

pernikahan, akibat tidak terpenuhinya kebutuhan emosional pasangan,

seringkali memicu timbulnya perselingkuhan dalam kehidupan pernikahan.

4. Adanya masalah pribadi dalam pernikahan.

5. Rasa ingin tahu seperti apa seks yang dilakukan dengan orang lain. Apalagi

jika seks bersama pasangan mengalami kejenuhan.

Layton-Tholl

(2000),

mengatakan

bahwa

banyak

faktor

yang

menyebabkan seseorang melakukan perselingkuhan seperti ketidakpuasan

hubungan dalam pernikahan, kekosongan emosional, kebutuhan akan variasi

seksual, marah pada pasangan, sudah lama tidak merasa jatuh cinta, kecanduan

alkohol atau obat-obatan, perpisahan (jauh dari pasangan), tidak adanya

dukungan dari pasangan baik secara fisik maupun emosional, keinginan untuk

membuat pasangan cemburu, dan sebagainya.

Dapat juga dikatakan bahwa perselingkuhan terjadi sebagai indikasi

ketidakmampuan untuk menemukan kepuasan secara fisik maupun emosional.

(33)

lain seperti masalah seksual, keuangan, kehadiran anak, perubahan dalam pekerjaan, kematian anggota keluarga, dan perubahan status (Layton-Tholl,

2000).

Strean (1994) menyebutkan tiga tipe hubungan antara pernikahan dan

perilaku selingkuh.

a. Tipe pertama adalah perilaku selingkuh sebagai kompensasi atau substitusi

dari sebuah pernikahan yang kurang baik. Namun masalah yang dihadapi

dianggap tidak cukup serius sehingga alasan untuk mengakhiri pernikahan

dengan perceraian tidak cukup akurat.

b. Tipe kedua adalah keterlibatan seseorang dalam perselingkuhan karena jauh

dari pasangannya, misalnya karena terpisah kota, tempat tinggal tugas, karir,

atau melanjutkan pendidikan.

c. Tipe ketiga adalah perilaku selingkuh yang terjadi karena individu yang

bersangkutan tidak setuju dengan komitmen monogami.

B. Religiusitas

1. Pengertian Religi dan Religiusitas

Religiusitas berasal dari kata religion (bahasa Inggris) atau religie

(bahasa Belanda) yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan istilah

agama atau ad-din (bahasa Arab).

Definisi agama (religi) sendiri masih sulit dirumuskan dengan tepat dan

(34)

adalah subyektif, intern, dan individuil dan setiap orang berbeda dari orang lain. Poerwadarminta (1984) memberikan rumusan agama sebagai berikut: "Agama ialah segenap kepercayaan (kepada Tuhan, Dewa, dan lain sebagainya) serta

dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan

kepercayaan itu"

Kamus "The Holt Intermediate Dictionary of American English" (Razak, 1993) mendefinisikan agama sebagai berikut: "Agama adalah kepercayaan dan

penyembahan kepada Tuhan atau kepada Yang Maha Mengetahui"

Dalam kamus "The Advanced Learner's Dictionary of Current English" (Razak, 1993), agama didefinisikan sebagai berikut: "Agama ialah mempercayai adanya kekuatan kodrat Yang Maha Mengatasi, Menguasai, Menciptakan, dan Mengawasi alam semesta dan yang telah menganugerahkan kepada manusia

suatu watak rohani, supaya manusia dapat hidup terus menerus setelah tubuhnya mati"

Kamus "An English Reader's Dictionary (Razak, 1993) mendefinisikan agama sebagai berikut: "Agama ialah: 1) Kepercayaan kepada Tuhan sebagai Pencipta dan Pengawas alam semasta; 2) Sistem kepercayaan dan penyambahan didasarkan atas keyakinan tertentu"

Meskipun sulit untuk mendefinisikan agama secara tepat, banyak ahli yang mencoba untuk mendefinisikan (menerangkan) arti agama. James

(Daradjat, 1993) mendefinisikan agama sebagai perasaan dan pengalaman Bani

Insan secara individual, dengan menganggap mereka berhubungan dengan apa

(35)

yang dipandangnya sebagai Tuhan. Hubungan tersebut mewujudkan sikap batin

serta tampak daiam ibadah yang ditakukannya dan tercermin pula dalam sikap

kesehariannya. Selaras dengan pernyataan tersebut, Gazalba (Razak, 1993)

mendefinisikan agama sebagai kepercayaan pada dan hubungan manusia

dengan yang kudus, dihayati sebagai hakikat yang gaib yang dinyatakan dalam

bentuk serta sistem kultus dan sikap hidup, berdasarkan doktrin tertentu.

Menurut Mufid dkk (1994) agama merupakan peraturan dan

undang-undang dari Tuhan bagi manusia agar tidak kacau. Definisi ini sulit melihat agama sebagai sarana pemenuhan kebutuhan manusia untuk teratur dalam

hidupnya. Hal ini selaras dengan pernyataan Fromm (1950) bahwa tidak ada

seorang pun yang tidak membutuhkan agama dan tidak membutuhkan aturan-aturan sebagai penuntunnya.

Sebenarnya masih banyak definisi agama yang diberikan para ahli.

Empat puluh delapan definisi yang ditemukan oleh Thouless (Daradjat, 1993),

hanya diambil tiga definisi yang tiap-tiap definisi itu merupakan suatu segi dari

segi-segi agama pribadi. Definisi-definisi tersebut adalah:

a. Definisi Frazer: agama adalah mencari keridhoan atau kekuatan yang lebih

tinggi daripada manusia, yaitu kekuasaan yang disangka manusia dapat

mengendalikan. menekan. atau menahan kelancaran alam dan kehiaurjar

manusia.

b. Definisi James Martineau: agama adalah kepercayaan kepada yang hidup

abadi, dimana diakui bahwa dengan pikiran dan kemampuan Tuhan, alam ini

(36)

Thouless memandang bahwa ketiga definisi tersebut ada dalam

pandangan ilmu jiwa umum karena perasaan itu dapat dibagi atas tiga segi yakni

tanggapan, emosi, dan dorongan. Ketiga macam itu dipilih oleh Thouless karena

menurut pendapatnya bahwa ketiga-tiganya merupakan tiga segi dari agama,

yaitu:

a. Melukiskan cara dan kelakuan.

b. Keyakinan dan pendapat akal. c. Alat-alat, perasaan, dan emosi.

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa agama merupakan aspek psikologis manusia. Manusia membutuhkan hubungan dengan Tuhan sebagai suatu kekuatan supranatural yang tidak terikat dengan ruang dan waktu serta sebagai pencipta dan penguasa manusia dan alam sekitarnya yang membentuk suatu sistem. Di dalam hubungan itu, Tuhan menurunkan aturan-aturan sebagai pedoman hidup manusia untuk ditaati yang tercermin dalam

tingkah laku kesehariannya baik dalam bentuk hubungan manusia dengan Tuhan (tampak dalam ibadah-ibadah ritual), hubungan dengan sesama manusia

maupun dengan alam sekitarnya (makhluk lainnya). Semuanya itu untuk

kepentingan manusia sendiri agar mencapai kebahagiaan dunia (kemenangan material) maupun kebahagiaan akhirat (kebaikan moral).

Dari pembahasan tentang definisi agama (religi) tersebut, para ahli mencoba menjelaskan pengertian religiusitas. Kata religiusitas berasal dari kata religiousity ini dapat diterjemahkan dengan keberagamaan (Dister, 1990) atau

(37)

1989) menekankan religiusitas pada perilaku baik yang bersumber secara

langsung maupun tidak langsung kepada nash. Dister (1990) menunjuk adanya

strata internalisasi terhadap doktrin atau ajaran religi yang bersangkutan pada

istilah religiusitas.

2. Islam sebagai Religi

Penelitian ini menggunakan subyek yang beragama Islam sehingga

konsep religiusitas disini menunjuk pada agama Islam. Untuk itu perlu

dirumuskan pengertian Islam sebagai religi.

Menurut Mattulada (Razak, 1993), Islam merupakan salah satu dari

agama-agama yang ada di dunia ini dan dikategorikan sebagai agama samawi

(agama yang berasal dari wahyu Tuhan).

Secara bahasa, Islam berasal dari kata sa-la-ma yang berarti selamat

atau damai. Di dalam Al Qur'an, kata tersebut kemudian digunakan dengan

beberapa tambahan atau perubahan, misalnya:

a. Aslama: berserah diri (QS. Ali Imran, 3:83 ;QS. An Nisaa', 4:125)

b. Istaslama-taslin-mustaslimun: penyerahan total (kepada Allah) (QS. An Nisaa',

4:65 ; QS. Ash Shaaffaat, 37:26)

c. Saliim: bersih, suci (QS. Asy Syu'raa, 26:89 ;QS. Ash Shaaffaat, 37:83-84)

d. Salaam: kesejahteraan (QS. Az Zumar, 39:73)

(38)

Secara istilah, Islam sebagai religi mempunyai makna yang bermacam-macam pula. Razak (1993) mendefinisikan Islam sebagai berikut: "Islam adalah

ad-din (agama) yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW, ialah apa yang

diturunkan oleh Allah SWT di dalam Al Qur'an dan yang tersebut dalam sunnah dan sahih, berupa perintah-perintah, larangan-larangan dan petunjuk-petunjuk

untuk kesejahteraan dan kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat".

Dalam pengertian semua orang Islam, agama adalah ajaran llahi yang cocok dengan semua orang yang berakal sehat, dalam memilih jalan yang menuju kepada kebaikan moral maupun kemenangan material (As-Salamuthi,

1987).

Menurut Razak (1993), inti ajaran Islam adalah:

a. Ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, meliputi kepercayaan dan penyembahan (sistem iman dan sistem ibadah), disebut

Rukun Iman dan Rukun Islam.

b. Ajaran yang mengatur manusia dan sesamanya dan hubungannya dengan

alam, sebab itu Islam mempunyai ajaran-ajaran tentang sosial, politik,

ekonomi, seni, kebudayaan, pernikahan, harta pusaka, jihad, perang dan

damai, kesehatan, dan lain sebagainya.

Nawawi (1993) mengelompokkan ajaran Islam menjadi tiga macam, yaitu:

a. Aqidah, berupa ajaran tentang iman dan tauhid yang berkenaan dengan

substansi rohaniah berupa keyakinan terhadap Kemahakuasaan dan

Kemahabesaran Allah SWT yang tersirat dalam hati dan diwujudkan berupa

amal dan kebajikan.

b. Syari'ah, yakni hukum-hukum Allah SWT yang berhubungan dengan tingkah

(39)

meninggalkan laranganNya. Didalamnya termasuk juga tentang ibadah yang

harus dilaksanakan secara batk dan benar sehingga perbuatan pengabdian

dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT.

c. Akhlak, yakni tentang ketentuan Allah SWT dalam menjalankan hubungan

dengan sesama manusia dengan lingkungan sekitar.

Dari pernyataan-pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa Islam

adalah ajaran dari Allah SWT yang diturunkan melalui Nabi dan RasulNya dalam

wujud Al Qur'an dan Sunnah (hadist Nabi) untuk menjadi pedoman hidup

manusia. Ajaran-ajaran tersebut meliputi semua aspek kehidupan manusia untuk

mencapai kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat.

3. Dimensi-Dimensi Religiusitas

Kehidupan beragama mencakup kesadaran beragama dan pengalaman

beragama. Kesadaran beragama (religious consciousness) merupakan elemen

agama yang terserap dalam pikiran dan dapat diuji melalui introspeksi, atau

merupakan aspek mental dan aktivitas agama. Pengalaman beragama (religious

experience) merupakan elemen perasaan dalam kesadaran beragama yang

membawa pada keyakinan, yang dihasilkan oleh tindakan-tindakan (Daradjat,

1976). Senada dengan pendapat tersebut, (Spinks, 1976) menyatakan bahwa

agama meliputi keyakinan-keyakinan, kebiasaan-kebiasaan, tradisi,

upacara-upacara, dan pengalaman-pengalaman individual.

Manusia beragama mengembangkan hubungannya dengan Tuhan dalam

bentuk pola perasaan dan sistem pemikiran, sistem perilaku sosial, serta

organisasi dengan pengaturan dan jabatan-jabatan tertentu (Dister, 1982). Oleh

(40)

karena itu, agama meliputi aspek perilaku, perasaan, penilaian, dan keyakinan, yang berakar pada individu maupun masyarakat.

Menurut Glock dan Stark (1966) ada lima dimensi religiusitas, yaitu:

1. Religious Belief (The Ideological Dimension) yakni tingkat keyakinan atau kepercayaan seseorang terhadap kebenaran agamanya terutama terhadap ajaran-ajaran agama yang fundamental atau dogmatis, misalnya kepercayaan adanya Allah, Malaikat, surga, neraka, dan sebagainya. Kepercayaan ini dapat berupa makna yang menjelaskan tujuan Tuhan dan peranan manusia dalam mencapai tujuan itu (purposive beliefs). Kepercayaan, yang terakhir, dapat berupa pengetahuan tentang perangkat tingkah laku yang baik yang dikehendaki agama. Kepercayaan jenis inilah

yang didasari struktur etis agama.

2. Religious Practice (The Ritualistic Dimension) yakni tingkat kepatuhan

seseorang melakukan kewajiban-kewajiban ritual dalam agamanya, misalnya sholat, puasa, zakat, dan sebagainya.

3. Religious Feeling (The Experiential Dimension) yakni perasaan-perasaan atau

pengalaman-pengalaman keagamaan yang pernah dialami atau dirasakan.

Dimensi ini bergerak dalam empat tingkat: konfirmatif (merasakan kehadiran Tuhan atau apa saja yang diamatinya), responsif (merasa bahwa Tuhan menjawab kehendak atau keluhannya), eskatik (merasakan hubungan yang akrab dan penuh cinta dengan Tuhan), dan partisipatif (merasa menjadi

kawan setia, kekasih atau wali Tuhan, dan menyertai Tuhan dalam

(41)

4. Religious Knowledge (The Intelectual Dimension) yakni seberapa jauh

seseorang memahami dan mengetahui ajaran agamanya terutama yang ada

dalam kitab suci.

5.

Religious Effect (The Consequential Dimension) yakni dimensi yang

mengukur seberapa jauh perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran agama di

dalam kehidupan sosial, seperti etos kerja, hubungan interpersonal,

kepedulian kepada penderitaan orang lain, dan sebagainya.

Menurut hasil penelitian dari Kementerian Negara dan Lingkungan Hidup

(1987) di dalam pelaksanaan ajaran Islam, dikenal adanya lima aspek, yaitu:

1. Aspek Iman, yaitu menyangkut keyakinan dan hubungan manusia dengan

Tuhan, Malaikat, para Nabi, dan sebagainya.

2. Aspek Islam, yaitu menyangkut frekuensi, intensitas pelaksanaan ibadah

yang ditetapkan. Misalnya sholat, zakat, puasa, ibadah haji.

3. Aspek Ihsan, yaitu pengalaman dan perasaan tentang kehadiran Tuhan,

takut melanggar larangan, dan sebagainya.

4. Aspek llmu, yaitu menyangkut pengetahuan seseorang tentang ajaran

agamanya. Misalnya pengetahuan fiqih, tauhid, dalam ajaran Islam.

5. Aspek Amal, yaitu menyangkut bagaimana tingkah laku seseorang dalam

kehidupan bermasyarakat. Misalnya menolong orang lain, membela orang

lemah, dan sebagainya.

Penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa agama merupakan

suatu sistem yang terdiri dari beberapa aspek, bukan suatu yang tunggal. Teori

dari Glock dan Stark maupun hasil penelitian dari Kementerian Negara dan

Lingkungan Hidup, menyatakan ada lima aspek dalam religiusitas. Sebenarnya

(42)

Lingkungan Hidup maupun dari kelima aspek religiusitas dalam teori Glock dan

Stark memiliki kesamaan pengertian. Pengertian religious practice setara artirtya

dengan aspek Islam, religious feeling sama maknanya dengan aspek Ihsan, religious knowledge setara artinya dengan aspek llmu, dan religious effect

memiliki kesamaan makna dengan aspek Amal. Gabungan dari semua aspek-aspek itu merupakan gambaran dari kualitas religiusitas yang dimiliki seseorang.

Di dalam penelitian ini, hanya digunakan empat dimensi religiusitas yaitu dimensi ideologis (the ideological dimension), dimensi ritual (the ritualistic

dimension), dimensi eksperiensial (the experiential dimension), dan dimensi

konsekuensial (the consequential dimension). Dimensi yang tidak digunakan dalam penelitian ini adalah dimensi intelektual (the intelectual dimension) yaitu

seberapa jauh seseorang memahami dan mengetahui ajaran agamanya

terutama yang ada dalam kitab suci.

Seperti penelitian yang dilakukan oleh Turmudhi (1991) tentang

"Hubungan Antara Religiusitas denganh Intensi Pro Sosial kepada Mahasiswa Beragama Islam Fakultas Ekonomi UPN Yogyakarta", penelitian ini hanya menggunakan empat dimensi religiusitas yaitu dimensi ideologis (the ideological

dimension), dimensi ritual (the ritualistic dimension), dimensi eksperiensial (the experiential dimension), dan dimensi konsekuensial (the consequential dimension), karena keempat dimensi religiusitas tersebut dianggap mewakili perilaku religius seseorang dalam kehidupan sehari-harinya.

4. Fungsi Agama dalam Kehidupan Manusia

Menurut Jawas (1995), agama merupakan kebutuhan dan kecenderungan dasar manusia, sebagai wujud dari pengakuan manusia

(43)

terhadap Sang Pencipta alam semesta. Islam memandang penghambaan atau peribadatan manusia kepada Allah adalah sebagai tujuan diciptakannya manusia

itu sendiri.

Menurut Mutahhari (Hidayah, 1992), agama merupakan kebutuhan emosional manusia dan merupakan satu-satunya sarana untuk memenuhi

kebutuhan alamiah yang tidak dapat digantikan oleh apapun.

Odea (1987) menyebutkan bahwa ada lima fungsi agama bagi manusia,

yaitu:

a. Agama memberikan suatu dukungan moral disaat manusia menghadapi ketidakpastian, pelipur lara disaat menghadapi kekecewaan dan rekonsiliasi

dengan masyarakat bila diasingkan dari tujuan dan norma-normanya.

b. Agama menawarkan suatu hubungan transendental melalui pemujaan dan

upacara adat, karena itu memberikan dasar emosional bagi rasa aman baru

dan identitas yang lebih kuat ditengah ketidakpastian dan ketidakmungkinan

kondisi manusia dan arus perubahan sejarah. Melalui ajaran-ajaran yang otoratif tentang kepercayaan dan nilai, agama menyediakan kerangka acuan ditengah pertikaian dan kekaburan pendapat manusia.

c. Agama mensucikan norma-norma dan nilai masyarakat yang telah terbentuk,

mempertahankan dominansi tujuan kelompok diatas keinginan individu dan

disiplin kelompok diatas hati individu.

d. Agama dapat memberikan standar nilai dalam arti dimana norma-norma yang telah terlembaga dapat dikaji kembali secara kritis.

e. Agama melakukan fase-fase identitas yang penting. Melalui penerimaan

nilai-nilai yang terkandung dalam agama dan kepercayaan-kepercayaan tentang hakikat dan tabir manusia, individu mengembangkan aspek penting

(44)

pemahaman diri dan pembatasan diri. Melalui peran serta manusia di dalam

ritual agama dan doa, mereka juga melakukan unsur-unsur stgnifikan yang

ada dalam identitasnya. Dengan cara ini, agama mempengaruhi pengertian

individu tentang siapa dirinya, membantu pertumbuhan pendewasaan individu dan perjalanan hidupnya.

Menurut Daradjat (1990) agama mempunyai tiga fase dalam kehidupan

manusia, yaitu:

a. Agama memberikan bimbingan dalam hidup. Pengendali utama kehidupan

manusia adalah kepribadiannya yang mencakup unsur-unsur pengalaman,

pendidikan, dan keyakinan yang didapatnya sejak kecil. Jika dalam pertumbuhan seseorang terbentuk suatu kepribadian yang harmonis, dimana

unsur-unsur

pokoknya

terdiri

dari

pengalaman-pengalaman

yang

menentramkan batin, maka dalam menghadapi dorongan-dorongan, baik

yang bersifat rohani dan sosial, individu tersebut akan terlihat tenang. Agama

yang ditanamkan sejak kecil kepada anak-anak merupakan bagian dari

unsur-unsur kepribadiannya akan menjadi pengendali dalam menghadapi

segaia dorongan yang timbul. Karena keyakinan terhadap agama yang

menjadi bagian dari kepribadian itu akan mengatur sikap dan tingkah laku

seseorang secara otomatis dari dalam.

b. Agama adalah penolong dalam kesukaran. Bagi orang yang beragama,

kesukaran atau bahaya sebesar apapun yang harus dihadapinya, individu

tersebut akan tetap tenang dan sabar, karena dia merasa bahwa kesukaran

dalam hidup itu merupakan bagian dari cobaan Allah kepada hambaNya

(45)

memberi jalan dan siraman penenang hati. Sering kita mendengar orang yang kebingungan dalam hidupnya selama dia belum beragama, tetapi setelah mengenal dan menjalankan agama, ketenangan akan datang.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa fungsi agama dalam kehidupan manusia adalah sebagai pembuka wawasan kehidupan baru, pembimbing dalam hidup, pemberi identitas, penolong dalam kesulitan, penentram hati, pelindung norma dan nilai dalam masyarakat, dan membantu

pendewasaan manusia.

C. Hubungan Antara Religiusitas dengan Perselingkuhan

Menurut Daradjat (1978), keyakinan beragama menjadi bagian integral

dari kepribadian seseorang. Keyakinan itu akan mengawasi segaia tindakan,

perkataan, bahkan perasaannya. Pada saat seseorang tertarik pada sesuatu hal yang tampaknya menyenangkan, maka keimanannya akan cepat bertindak

menimbang dan meneliti apakah hal tersebut boleh atau tidak oleh agamanya.

Di dalam teori religiusitas terdapat dimensi-dimensi religiusitas, yaitu

dimensi ideologis yang merupakan tingkat keyakinan atau kepercayaan

seseorang terhadap kebenaran agamanya, misalnya kepercayaan adanya Allah,

Malaikat, surga, neraka, dan sebagainya. Dimensi ritual yaitu tingkat kepatuhan

seseorang melakukan kewajiban-kewajiban ritual dalam agamanya, misalnya

sholat, puasa, zakat, dan sebagainya. Dimensi eksperiensial yakni

(46)

sebagainya. Keempat dimensi religiusitas ini mempunyai peranan penting dalam

pembinaan moral karena nilai-nilai moral yang datang dari agama tetap dan

bersifat universal. Dimana pun orang itu berada dan pada posisi apapun, dia

akan tetap memegang prinsip moral yang telah tertanam dalam hati nuraninya

(Daradjat, 1991) dan apabila dihadapkan pada suatu dilema, seseorang akan

menggunakan pertimbangan-pertimbangan berdasarkan nilai-nilai moral yang

datang dari agama. Oleh karena itu nilai-nilai agama yang telah diinternalisasi

oleh seseorang, diharapkan mampu menuntun semua perilakunya ke arah yang

baik.

Ketika suami atau istri jauh dari rumah atau tinggal menetap di kota lain

karena pekerjaan, maka tidak menutup kemungkinan pasangan suami atau istri

tersebut melakukan perselingkuhan. Pada kasus perselingkuhan, ada berbagai

kondisi yang menggambarkan bahwa kebutuhan biologis atau kebutuhan

seksual, perhatian, komunikasi pasangan suami istri, dan lain sebagainya pada

suatu saat tertentu mengalami hambatan. Salah satunya karena salah satu

pasangan tinggal menetap di kota lain untuk waktu yang lama karena

pekerjaannya. Akibat dari hal tersebut, maka salah satu pasangan berusaha

untuk memenuhi dorongan tersebut dengan menjalin hubungan di luar hubungan

suami istri (Satiadarma, 2001).

Di dalam kehidupan pernikahan, suami istri melakukan perbandingan

untung rugi yang ditimbulkan oleh adanya relasi pernikahan mereka. Apabila dari

(47)

menemukan relasi yang lebih menarik dari relasi sebelumnya maka akan muncul suatu usaha untuk mempertahankan relasi yang baru sehingga terjadinya suatu bentuk penyelewengan atas ikatan pernikahan mereka besar (Masika, 2002).

Sesuatu yang bermula dari rasa aman, nyaman dan percaya bahwa ada seseorang yang bersedia memberikan dukungan akan berkembang menjadi perasaan yang lebih mendalam dari sekedar teman berbagi yang menyebabkan munculnya ketertarikan baik secara fisik maupun psikologis. Perselingkuhan kemudian dijadikan sebagai alternatif untuk tetap mempertahankan kondisi ini karena ada alasan-alasan tertentu yang membuat pernikahan mereka harus

tetap dipertahankan.

Dari bahasan diatas yang menjelaskan tentang hubungan religiusitas

dengan perselingkuhan dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang sangat

berkaitan erat antara religiusitas dengan perselingkuhan. Jelas terlihat bahwa

dalam sebuah pernikahan yang sangat dibutuhkan antara lain keimanan yang

kuat atau religiusitas yang tinggi dari pasangan suami istri dan kesetiaan akan

sumpah pernikahan yang telah diikrarkan serta pengertian dan dukungan dari

pasangan suami atau istri, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bila

tidak ada dukungan dari pasangan akan membuat suami atau istri merasa tidak

nyaman dengan kondisi tersebut dan mencari rasa nyaman di luar pernikahan,

maka kemungkinan mempertahankan relasi baru akan terus berlanjut, apalagi

(48)

perselingkuhan. Semakin tinggi religiusitas maka semakin rendah perselingkuhan. Sebaliknya, semakin rendah religiusitas maka perselingkuhan

(49)

A. Identifikasi variabel-variabel penelitian

Berdasarkan hipotesis yang diajukan, variabel-variabel yang digunakan

dalam penelitian ini adalah :

1. Variabel bebas (independent) : Religiusitas 2. Variabel tergantung (dependent) : Perselingkuhan

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Perselingkuhan

Perselingkuhan merupakan hubungan antara pria dan wanita di luar pernikahan dengan melibatkan hubungan fisik maupun hubungan emosional antara keduanya. Pengukuran perilaku perselingkuhan ini menggunakan skala perselingkuhan yang menggunakan aspek-aspek perselingkuhan dari Jackson (2000) yaitu perselingkuhan fisik (physical affairs) dan perselingkuhan emosional

(emotional affairs) untuk mengetahui seberapa besar perilaku perselingkuhan

yang dilakukan subyek. Semakin tinggi skor perselingkuhan maka semakin tinggi

perselingkuhan yang dilakukan subyek. Sebaliknya, semakin rendah skor

perselingkuhan maka semakin rendah perselingkuhan yang dilakukan subyek.

2. Religiusitas

Religiusitas adalah tingkat keberagamaan atau kesadaran keagamaan

yang dimiliki seseorang. Pengukuran religiusitas ini menggunakan skala

religiusitas yang menggunakan empat dimensi religiusitas dari Glock dan Stark

(50)

(1966) yaitu dimensi ideologis (the ideological dimension), dimensi ritual (the

ritualistic dimension), dimensi eksperiensial (the experiential dimension), dan

dimensi konsekuensial (the consequential dimension) yang digunakan untuk

mengukur sikap dan perilaku religiusitas subyek. Semakin tinggi skor religiusitas

maka semakin tinggi religiusitas yang dimiliki subyek. Sebaliknya, semakin

rendah skor religiusitas maka semakin rendah religiusitas yang dimiliki subyek.

C. Subyek Penelitian

Subyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah pria dan wanita

Muslim yang sudah menikah dan masih terikat dalam hubungan pernikahan

dimana baik suami atau istri sering ditugaskan ke luar kota dalam jangka waktu

dua sampai tiga bulan di kota Balikpapan Kalimantan Timur.

D. Metode Pengumpulan Data

Data penelitian diperoleh dari dua skala yang masing-masing mengukur

variabel religiusitas dan variabel perselingkuhan. Kedua alat ukur tersebut adalah

Skala Religiusitas dan Skala Perselingkuhan yang disusun dan telah dimodifikasi

oleh peneliti.

1. Skala Religiusitas

Skala yang diuji cobakan adalah skala religiusitas yang disusun untuk

mengukur religiusitas seseorang dengan mengacu pada konsep Glock dan Stark

(1966) yang mengukur religiusitas dari dimensi ideologis (the ideological

dimension), dimensi ritual (the ritualistic dimension), dimensi eksperiensial (the

experiential

dimension),

dan dimensi

konsekuensial

(the

consequential

(51)

semuanya mempunyai sifat yang sama, yaitu mengukur sikap dan perilaku

religiusitas, seperti yang dipakai Turmudhi (1991) dalam penelitian tentang

"Hubungan Antara Religiusitas dengan Intensi Pro Sosial kepada Mahasiswa

Beragama Islam di Fakultas Ekonomi UPN Yogyakarta" dan telah dimodifikasi

oleh peneliti.

Skala ini terdiri dari 65 butir soal. Responden diminta memilih salah satu

alternatif jawaban yang paling sesuai dengan keadaan yang dimiliki. Alternatif

jawaban tersebut adalah Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan

Sangat Tidak Sesuai (STS). Skala Religiusitas disajikan dalam butir pernyataan

yang bersifat favourable dan unfavourable. Butir pernyataan disebut favourable

jika isi pernyataan bersifat mendukung, memihak, atau menunjukkan ciri dari

atribut yang diukur. Sebaliknya butir pernyataan yang isinya tidak mendukung

atau tidak memihak atribut yang diukur disebut butir pernyataan yang

unfavourable (Azwar, 1997).

Dalam pemberian skor, setiap respon positif (SS dan S) terhadap butir

pernyataan favourable akan diberi skor lebih tinggi daripada respon negatif (TS

dan STS). Skor jawaban untuk butir pernyataan favourable bergerak dari 4 sampai 1 dengan ketentuan: skor 4 untuk jawaban SS, skor 3 untuk jawaban S, skor 2 untuk jawaban TS, dan skor 1 untuk jawaban STS.

Semakin tinggi skor total yang diperoleh dari Skala Religiusitas maka semakin tinggi religiusitas individu. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh maka semakin rendah religiusitasnya. Sebaran butir pernyataan

(52)

Tabel 1

Distribusi butir Skala Religiusitas sebelum uji coba

Aspek Nomor Butir Pernyataan Jumlah

Favourable Unfavourable Dimensi Ideologis 4,7,9,15,28, 31,35,36 1,5,8,11,21,24, 27,30,34 17 Dimensi Ritual 10,22,23,26,29, 33,37,40,42 6,20,46,50,59 15 Dimensi Eksperiensial 14,16,17,41,44,49, 52,54,56,57 18,19,25,48,60 15 Dimensi Konsekuensial 3,43,45,47,61 2,12,13,32,38, 39,51,53,55,58, 62,63,64,65 18 Jumlah 33 32 65 2. Skala Perselingkuhan.

Skala ini disusun berdasarkan aspek-aspek perselingkuhan yang diajukan

oleh Jackson (2000), yaitu:

a. Perselingkuhan Fisik (Physical Affairs)

1. Kontak seksual terbuka (overt sexual contact) meliputi hubungan seksual

(sexual intercourse) yang berlanjut pada hubungan yang melibatkan

emosional dalam waktu lama, hubungan fisik yang intim untuk merangsang

dan menikmati rangsangan seksual dengan seseorang selain pasangannya

seperti bercumbu, necking, masturbasi atau onani yang dilakukan oleh

pasangan, dan petting.

2. Kontak seksual tertutup (covert sexual contact) meliputi pelukan erat, ciuman

pipi,

berpegangan tangan,

pandangan mata yang

mengisyaratkan

perasaan lebih dari sekedar teman, atau menyentuh dengan melibatkan

perasaan.

b. Perselingkuhan Emosional (Emotional Affairs)

Perselingkuhan ini tidak melibatkan hubungan seksual. Memberikan waktu,

materi, dan energi emosional (perhatian, pengertian, dukungan, penghargaan,

(53)

Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Butir pernyataan

dalam skala ini bersifat favourable dan unfavourable. Rentang skor setiap butir

pernyataan dari 1 sampai 4. Jika butir pernyataan bersifat favourable, maka

jawaban SS diberi skor 4, jawaban S diberi skor 3, TS diberi skor 2, dan STS

diberi skor 1. Jika butir pernyataan bersifat unfavourable, maka jawaban SS

diberi skor 1, S diberi skor 2, TS diberi skor 3, dan STS diberi skor 4. Semakin

tinggi skor yang diperoleh menunjukkan tingginya perselingkuhan. Sebaliknya

semakin rendah skor yang diperoleh menunjukkan rendahnya perselingkuhan.

Sebaran butir pernyataan Skala Perselingkuhan dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2

Distribusi butir Skala Perselingkuhan sebelum uij coba

Aspek Physical Affairs Emotional Affairs Jumlah

Nomor Butir Pernyataan

Favourable Unfavourable 5,7,12,13,16, 19,21,22,23,29, 32, 37,46,49 2,3,8,10,17,27, 28,31,33,35,40, 41,42,43,44,45,48 31 4,6,9,11,18,20, 26,30,34,36,47 1,14,15,24,25, 38,39,50 19 Jumlah 25 25 50

E. Validitas dan Reliabilitas

Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana

ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya.

Suatu alat ukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila dalam

mengukur apa yang seharusnya diukur dengan jitu dan teliti.

Analisis terhadap butir pernyataan pada Skala Religiusitas dan Skala

Perselingkuhan menggunakan validitas isi, yaitu dengan mencocokkan butir

Gambar

Grafik Normalitas 140 150 160 170 180 190 200 210 Religiusitas 60 70 80 90 Perselingkuhan Mean = 173.55Std De»

Referensi

Dokumen terkait

7 Analisis yang dilakukan hanya pada tahun-tahun tertentu yaitu pada tahun dengan curah hujan sedang (1999), tahun dengan curah hujan tinggi (2005) dan tahun dengan

Pada tahap analisa sistem, akan dilakukan analisa dari suatu sistem yang sedang berjalan pada SMP Muhammadiyah 03 Medan untuk mengetahui permasalahan yang ada, kemudian akan

Dengan memanfaatkan teknologi RFID (Radio Frequency Identification) berbasis Mikrokontroler Arduino Uno, penelitian ini hanya dibatasi pada pengujian unjuk kerja teknologi RFID

DESKRIPSI UNIT : Unit kompetensi ini berkaitan dengan kemampuan untuk memasang atau melakukan bagi pakai dari sumber daya yang dimiliki oleh komputer

Mekanika Lagrange W.S. Mekanika Lagrange W.S. Fisika Koloid Dasar Suparno, Ph.D. Fisika Koloid Dasar Suparno, Ph.D. Media Audio Visual *) Nur Kadarisman, M.Si. Mikroprosesor *)

Hasil akhir dari penelitian ini adalah aplikasi mobile untuk notifikasi kegiatan dosen berbasis Android dengan format .apk yang merupakan format aplikasi yang

dalam Jurnal Penelitian kesejahteraan Sosial (PKS), “Partisipasi Masyarakat Desa Somongari dalam Upaya Meminimalisir Dampak Bencana Tanah Longsor”.. The Essence of

penyampaian cerita dapat tersampaikan dengan baik. Unsur-unsur tersebut meliputi isi dari cerita tersebut, apakah cerita tersebut menarik bagi anak atau tidak.