SKRIPSI
Diajukan kepada Program Studi Psikologi
Fakultas Psikologi dan llmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 Program Studi Psikologi dan llmu Sosial Budaya
Universitas Islam Indonesia
t, ,SLAM £
lYi
&UftB2Jf&B
Oleh:
ERIKA KANYA MIRANTI
01320190
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA 2006
SKRIPSI
Diajukan kepada Program Studi Psikologi
Fakultas Psikologi dan llmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia
Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat Guna Memperoleh
Derajat Sarjana S1 Program Studi Psikologi dan llmu Sosial Budaya
Universitas Islam IndonesiaOleh:
ERIKA KANYA MIRANTJ
01320190
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi dan llmu Sosial Budaya
Universitas Islam IndonesiaUntuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat Guna Memperoleh
Derajat Sarjana S1 Program Studi Psikologi dan llmu Sosial Budaya
Universitas Islam Indonesia
Dewan Penguji
Pada Tanggal
3 1 AUG 2008
Mengesahkan,
Program Studi Psikologi
Fakultas Psikologi dan llmu Sosial Budaya
..—-Uqjyersitas Islam Indonesia
/<^«JVfi5^>Ci Ketua,
/ .-cV,\ v
fiSVtSX-ft.«u sos'^fioftirejvun^s psi MSi
„ o
-"V<£ YA.
Tandatangan,
1. RA. Retno Kumolohadi, S.Psi, M.Si
'~vjw(
2. Hepi Wahyuningsih, S.Psi, M.Si
3. Irwan Nuryana K, S.Psi, M.Si
^ /
-U L
r-\.\l-i
, --4-r
membuat laporan penelitian, tidak melanggar etika akademik seperti penjiplakan, pemalsuan data, dan manipulasi data. Apabila di kemudian hah saya terbukti melanggar etika akademik, maka saya sanggup menerima konsekuensi berupa pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.
Yang menyatakan,
Erika Kanya Miranti
SegaCa (Puji 6agij4CMsWTyang teCah mem6eri£an hamSa kemudahan-^emudahan
datam setiap tari^an napas sehingga ^arya sederhana ini dapat terseCesaifran
9ia6iU\iuHammadSAtWyang mengajarkan untu^seCaCu SersimpuH dan mengemBad^an
semua haCkepada Sang (pencipta
<Papa dan Mama
Terima kasih atas doa dan %esa6aran yang tiada habisnya untukjAde
Semoga ^arya ini dapat menjadi hadiah istimewa dan
sinar kebaftagiaan diHati (Papa dan "Mama
Kakak-Kakakku
Mas segaia doa, du^ungan, dan perftatiannya selama ini untubjlde
A6ang
Atas doa, %esa6aran, pengertian, dan kasih sayangnya
•-•=•-'•'-,
-
•• " -MM
•
'•• >| I "
' T ,'"•=?', •"
" - '." <fl '"-"'l - •" •> •" '." /Il :-'i
-'.—•---' | ••- v - '-"-'•Er-"'' ^ •• •" ••>-' •
••--'•-=•'-••
'|ir*: || «.f - -
- i •"
•* •" - )\
". -
| --,-.- f .
. 'if t
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang (1) Segaia
puji bagi Allah, Tuhan semesta alam (2) Maha Pemurah lagi Maha Penyayang (3) Yang
menguasai di Hari Pembalasan (4) Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya
kepada Engkaulah kami meminta pertolongan (5) Tunjukilah kami jalan yang lurus (6)
(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan)
mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (7).
pertolongan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini semata-mata adalah rahmat Yang Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang.
Penulis menyadari bahwa telah banyak pihak yang memberikan bantuan berupa dorongan, arahan, dan data yang diperlukan mulai dari persiapan, tempat dan pelaksanaan penelitian hingga tersusunnya skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Fuad Nashori, S.Psi., M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia dan Dosen Pembimbing Akademik yang telah mendampingi penulis dalam menimba ilmu pengetahuan.
2. Ibu RA. Retno Kumolohadi, S.Psi., M.Si., selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberi dukungan dalam menyelesaikan skripsi.
3. Ibu Hepi Wahyuningsih, S.Psi., M.Si., selaku Dosen Penguji, terima kasih atas pertanyaan dan kemudahan yang diberikan kepada penulis.
4. Bapak Irwan Nuryana K, S.Psi., M.Si., selaku Dosen Penguji, terima kasih atas pertanyaan dan nasehat yang diberikan kepada penulis.
5. Segenap Dosen Fakultas Psikologi Ull yang telah membagi ilmu dan membuka
wawasan kepada penulis.
6. Seluruh Karyawan Fakultas Psikologi Ull yang telah membantu kelancaran penulis
selama kuliah.
8. Direktur Rumah Sakit Pertamina Balikpapan (RSPB) yang telah memberikan izin
pada penulis unutk mengumpulkan data membantu kelancaran penulis dalam
mengumpulkan data.9. Orang tuaku tercinta: Bapak H. Margono, S.Sos dan Ibu Hj. Retno Moeljaningsih
yang senantiasa memberi kasih sayang, dukungan, dan doa yang terbaik selama ini.
10. Kakak-kakakku tersayang: Mas Lucky Renggo Wibowo, ST dan Mas Krishna
Andhika Kusumo atas dukungan, doa, dan perhatiannya.
H.Abang Faisal Aminin atas cinta dan kasih sayang, kesabaran, dan pengorbanan
yang telah banyak diberikan selama ini.
12. My partners in crime: Lia dan Pipit, atas perhatian dan persahabatan selama ini.
Persahabatan kita begitu berarti di setiap langkah hidupku (keep on rockin', girls!!).
13. Fia Orton Harnett, terima kasih banyak atas bantuan dan kesabaran yang diberikan
dalam mengolah data (olah dataku ngga akan selesai tanpa kamu, Fi).
14. Ika, Novika, dan Naning, atas pinjaman buku-buku dan konsultasi gratisnya.
15. Teman-teman SPS (Sekolah Pelatih Senam) 2 Cahya Kumala : Mbak Taty, mbak
Eryn, dan mbak Hany, terima kasih atas dukungan kalian semua (teruslah semangat
dan berjuang, kawan!!)16. Teman-teman senam di Cahaya Kumala : Bu Endang, Mbak Tini, Mbak Murni, Mbak
Zita, Mbak Ika, Mbak Intan, Mbak Leny, Mbak Dewi, Bu Atun, Mbak Reny, Mbak Lia,
Mbak Ratih, Anna, Hera, Lusy, Novi, Mbak Ratna, terima kasih atas semangat yang
diberikan.17. Teman-teman di Balikpapan atas bantuannya untuk menyebar angket.
18. Dan semua pihak yang telah membantu baik materi maupun dukungan moriil yang
tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Yogyakarta, Agustus 2006
Penulis
HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN HALAMAN PERSEMBAHAN HALAMAN MOTTO PRAKATA DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN INTISARI BAB I. PENGANTAR
A. Latar Belakang Masalah B. Tujuan Penelitian
C. Manfaat Penelitian D. Keaslian Penelitian
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Perselingkuhan
1. Pengertian Perselingkuhan 2. Indikator Perselingkuhan
3. Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Perselingkuhan B. Religiusitas
1. Pengertian Religi dan Religisitas
i x IV V vi ix xii xiii xiv 1 1 8 8 9 11 11 11 12 15 18 18
4. Fungsi Agama dalam Kehidupan Manusia
27
C. Hubungan Antara Religiusitas dengan Perselingkuhan ...
30
D. Hipotesis
33
BAB III. METODE PENELITIAN
34
A. Identifikasi Variabel-variabel Penelitian
34
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian
34
1. Perselingkuhan
34
2. Religiusitas
34
C. Subyek Penelitian
35
D. Metode Pengumpulan Data
35
1. Skala Religiusitas
35
2. Skala Perselingkuhan
37
E. Validitas dan Reliabilitas
38
F. Metode Analisis Data
40
BAB IV. PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN
41
A. Orientasi Kancah dan Persiapan
41
1. Orientasi Kancah
41
2. Persiapan
42
B. Laporan Pelaksanaan Penelitian
45
C. Hasil Penelitian
45
1. Deskripsi Subyek Penelitian
45
2. Deskripsi Data Penelitian
46
3. Uji Asumsi
48
BABV. PENUTUP 55 1. Kesimpulan 55 2. Saran 55 DAFTAR PUSTAKA 57 LAMPIRAN 60 XI
Tabel 2. Distribusi Butir Skala Perselingkuhan Sebelum Uji Coba
38
Tabel 3. Distribusi Butir Skala Religiusitas Setelah Uji coba 44 Tabel 4. Distribusi Butir Skala Perselingkuhan Setelah Uji Coba 45 Tabel 5. Kategorisasi Subyek Berdasarkan Jenis Kelamin 46 Tabel 6. Kategorisasi Subyek Berdasarkan Usia Pernikahan 46
Tabel 7. Deskripsi Hasil Penelitian 46
Tabel 8. Kriteria Kategori Skala 47
Tabel 9. Kategorisasi Variabel Religiusitas 47
Tabel 10. Kategorisasi Variabel Perselingkuhan 48
Tabel 11. Hasil Analisis Tambahan 50
Lampiran 2. Data Try Out 63
Lampiran 3. Hasil Uji Reliabilitas dan Validitas 71
Lampiran 4. Angket Penelitian 80
Lampiran 5. Data Penelitian 82
Lampiran 6. Hasil Penelitian 101
Lampiran 7. Hasil Analisis Tambahan 108
Lampiran 8. Surat Izin dan Bukti Akademik 112
Erika Kanya Miranti
RA. Retno Kumolohadi
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk menguji ada atau tidaknya hubungan negatif antara religiusitas
dengan perselingkuhan. Hipotesis awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif
antara religiusitas
dengan
perselingkuhan.
Semakin tinggi
religiusitas
maka semakin
rendah
perselingkuhan. Sebaliknya semakin rendah religiusitas maka semakin tinggi perselingkuhan.
Subyek dalam penelitian ini adalah pria dan wanita Muslim yang sudah menikah dan masih terikat
dalam hubungan pernikahan dimana baik suami atau istri sering ditugaskan ke luar kota dalam jangka
waktu dua sampai tiga bulan di kota Balikpapan Kalimantan Timur. Subyek dalam penelitian ini berjumlah
87 orang. Mat ukur yang digunakan adalah skala religiusitas yang mengacu pada konsep Clock dan Stark
(1966) untuk mengukur sikap dan perilaku religiusitas, dan skala perselingkuhan berdasarkan aspek-aspek
perselingkuhan yang diajukan oleh Jackson (2000) untuk mengukur perilaku perselingkuhan.
Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan fasilitas program SPSS
versi 12,0 untuk menguji apakah terdapat hubungan antara religiusitas dengan perselingkuhan. Hipotesis
pertama menunjukkan korelasi dari Pearson's rho sebesar r = - 0,740; p = 0,000 (p < 0,01) yang artinya
ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara religiusitas dengan perselingkuhan dalam rumah
tangga. Semakin tinggi religiusitas maka semakin rendah perselingkuhan. Sebaliknya,semakin rendah
religiusitas maka semakin tinggi perselingkuhan. Jadi hipotesis penelitian ini terbukti.
Kata kunci: Religiusitas, Perselingkuhan.
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan suatu ikatan sakral yang menyatukan dua individu
dengan pribadi yang berbeda. Hal ini menyebabkan suami dan istri memiliki
tujuan yang berbeda dalam kehidupan pernikahannya. Namun ada hal-hal yang
merupakan tujuan umum dari sebuah pernikahan yang meliputi tujuan fisik,
psikologis, spiritual, sella tujuan untuk bersosialisasi baik itu dengan pasangan,
keluarga maupun lingkungannya. Sebuah pernikahan dikatakan memuaskan jika
tujuan-tujuan dari pernikahan tersebut sudah tercapai (Santrock, 2002).
Tujuan pernikahan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan naluriah
hidup manusia, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka
mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya (Basyir,
1977). Sedangkan tujuan fisik dari sebuah pernikahan adalah pemuasan
kebutuhan biologis (seksual) dan fungsi reproduksi (Shihab, 2004). Dengan
menikah, pemuasan kebutuhan seksual yang semula dilarang akan menjadi legal
(secara agama dan sosial), begitu pula akan dihasilkan keturunan yang sah
(Hizbut-Tahrir lndonesia.or.id). Pernikahan yang baik juga merupakan suatu hal
yang dapat mempengaruhi kesehatan fisik seseorang. Pernikahan yang tidak
bahagia dapat meningkatkan resiko seseorang untuk menderita sakit bahkan menurunkan usianya hingga empat tahun. Sebaliknya, pernikahan yang bahagia dapat meningkatkan kualitas kesehatan seseorang (Santrock, 2002).
Di dalam kehidupan pernikahan, suami istri melakukan perbandingan untung rugi yang ditambah oleh adanya relasi pernikahan mereka. Apabila dari
apabila dalam interaksinya dengan lingkungan, baik suami maupun istri menemukan relasi yang lebih menarik dari relasi sebelumnya maka akan muncul suatu usaha untuk mempertahankan relasi yang baru sehingga terjadilah suatu bentuk penyelewengan atas ikatan pernikahan mereka yang lebih akrab dikenal
sebagai perselingkuhan.
Sejumlah orang mengatakan tidak pernah menduga sama sekali bahwa pasangannya melakukan perselingkuhan (Satiadarma, 2001). Namun pada kenyataannya sejumlah orang merasa kecewa karena mereka baru mengetahui bahwa pasangannya telah berulang kali melakukan perselingkuhan tanpa sepengetahuannya. Seorang istri, misalnya, tadinya menganggap suaminya demikian lugu dan setia namun harus menghadapi kenyataan bahwa sang suami telah berselingkuh. Seorang suami menganggap bahwa istrinya adalah wanita baik-baik, taat pada nilai budaya, tetapi ternyata ia telah berselingkuh dengan
orang lain.
Sebuah survey yang dilakukan oleh majalah pria FHM pada tahun 2003 menunjukkan bahwa 50,7% pria Indonesia pernah selingkuh, dan 50,8% perempuan Indonesia pernah selingkuh. Nugraha (2004) menyatakan bahwa beberapa tahun yang lalu, dua dari tiga pria di Jakarta melakukan perselingkuhan. Lebih lanjut, Nugraha (2004) menyatakan bahwa empat dari lima pria di Jakarta melakukan selingkuh. Berdasarkan data yang dimiliki oleh Klinik Pasutri, ditemukan bahwa 42% suami melakukan selingkuh ketika istri mereka berusia di atas 40 tahun. Lebih lanjut, ditemukan pula bahwa dua di antara lima
peningkatan. Meskipun sampel dari data tersebut hanya terbatas di Jakarta saja,
bukan tidak mungkin kecenderungan tersebut juga terjadi di berbagai kota di
Indonesia.
Hawari (1991) menyebutkan perselingkuhan sebagai penyebab terbesar konflik suami istri saat ini. Pada era globalisasi sekarang ini, kesempatan untuk
berinteraksi dengan pihak manapun yang disukai menjadi bertambah besar. Bagi
hubungan suami istri, keadaan ini dapat menjadi saingan bagi kelangsungan
pernikahan mereka.
Dalam sebuah pernikahan, pasangan suami istri memerlukan hubungan
interpersonal yang harmonis. Hubungan interpersonal adalah hubungan yang
mendatangkan kehangatan, keterbukaan, dan dukungan. Hubungan ini dilakukan
karena pada dasarnya tiap individu berbeda dan memiliki kekurangan. Selain itu,
menurut Halloran (Liliweri, 1991), manusia membutuhkan pengakuan akan
dirinya oleh orang lain. Dan sejalan dengan hal tersebut, Bhngham (1991)
menyatakan bahwa kebutuhan dasar manusia seperti bercinta, berteman,
mendapatkan penghargaan dan lainnya hanya dapat terpenuhi melalui hubungan
interpersonal. Tanpa adanya hubungan interpersonal tersebut, mustahil
kebutuhan-kebutuhan di atas akan terpenuhi. Kebutuhan dasar tersebut agak
terhambat pemenuhannya manakala suami atau istri jauh dari rumah atau tinggal
menetap di daerah atau di kota lain.Menurut Wills (Cohen, 1985), dalam teori pertukaran sosial (social
pertukaran secara timbal balik ini membuat individu percaya bahwa orang lain akan memberikan dukungan, baik dukungan fisik maupun dukungan emosional.
Di dalam hubungan interpersonal juga diperlukan adanya dukungan dimana individu melibatkan penilaian kognitif untuk memperoleh suatu pengalaman. Penilaian kognitif adalah suatu penilaian yang muncul saat seseorang membutuhkan dukungan, informasi, dan umpan balik dari lingkungannya. Misalnya, apabila individu mengalami suatu masalah yang sulit dipecahkan, ia akan mencari orang lain yang dapat membantunya memecahkan masalah tersebut dan tentu saja orang tersebut adalah orang yang dipercaya dapat memberikan bantuan dan dukungan secara langsung.
Begitu halnya dengan kehidupan pernikahan. Orang yang paling dekat dalam suatu rumah tangga adalah suami atau istri. Jadi jika suami atau istri menghadapi suatu masalah, maka orang pertama yang dimintai bantuannya
adalah pasangannya karena mereka adalah orang yang paling dipercaya untuk
dapat memahami, menghargai, dan memberikan dukungan baik dukungan moral
maupun spiritual, serta jalan keluar untuk masalah yang dihadapinya (Lawson,
1998). Namun, ketika suami atau istri menghadapi suatu situasi yang tidak
mampu diatasinya sendiri dan pasangannya tidak memberikan dukungan seperti
yang diharapkannya,
muncullah
perasaan tidak diperdulikan
dan tidak
diperhatikan (Masika, 2002).
Ketika individu tidak mendapat apa yang diinginkan dari pasangannya, maka individu tersebut akan mencarinya pada orang lain. Jika kondisi ini terus
relasi baru ini akan lebih besar (Satiadarma, 2001). Sesuatu yang bermula dari
rasa aman, nyaman, dan percaya bahwa ada seseorang yang bersedia
memberikan dukungan akan berkembang menjadi perasaan yang lebih
mendalam dari sekedar teman berbagi yang menyebabkan munculnya
ketertarikan baik fisik maupun psikologis. Perselingkuhan kemudian dijadikan
sebagai alternatif untuk tetap mempertahankan kondisi ini, karena ada
alasan-alasan tertentu yang membuat pernikahan mereka harus tetap dipertahankan
(Satiadarma, 2001).
Di dalam kasus perselingkuhan, komunikasi acap kali menjadi salah satu
sentral permasalahan (Satiadarma, 2001). Jika seseorang membutuhkan
sahabat untuk berkomunikasi, demikian pula dengan pasangan suami istri.
Karena itu, komunikasi antara pasangan suami istri sangatlah penting.
Komunikasi antar individu yang berlangsung (bertatap muka) adalah yang paling
Iengkap mengandung berbagai faktor psikologis dan karena itu patut mendapat
perhatian yang pertama. Zajonc (1968) mengatakan bahwa faktor yang
memudahkan komunikasi dan hubungan adalah pertemuan yang berulang-ulang.
la mengatakan bahwa dengan pertemuan yang berulang-ulang itu terjadi reaksi
psikologis sehingga dapat saling berhubungan dengan lebih baik. Oleh karena itu
faktor kedekatan fisik (sehingga lebih sering bertemu) antara individu merupakan
salah satu faktor yang penting untuk peningkatan hubungan.
Ketika suami atau istri jauh dari rumah atau tinggal menetap di kota lain
karena pekerjaan, maka tidak menutup kemungkinan pasangan suami atau istri
satunya karena salah satu pasangan tinggal menetap di kota lain untuk waktu yang lama karena pekerjaannya. Akibat dari hal tersebut, maka salah satu pasangan berusaha untuk memenuhi dorongan tersebut dengan menjalin hubungan di luar hubungan suami istri (Satiadarma, 2001).
Sisi lain dari hubungan antar pribadi adalah kesepian. Kesepian adalah perasaan yang timbul jika harapan untuk terlibat dalam hubungan yang akrab dengan seseorang atau orang terdekatnya tidak tercapai (Peplau dan Perlman, 1981). Perasaan ini biasa timbul pada orang yang harus pergi untuk sementara waktu karena pendidikan atau pekerjaan ke kota lain dan meninggalkan keluarga, pasangannya, atau sahabat-sahabatnya di kota tempat keluarganya berdomisili. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri dalam
waktu sekian lama. Untuk mengusir rasa sepi yang mengganggu, orang
berusaha mencari teman yang terkadang tanpa disadari justru menggiringnya
kepada perselingkuhan (Daniel, 2003).
Memang tidak semua orang yang tinggal berjauhan kemudian terjadi perselingkuhan. Daniel (2003) menyatakan bahwa penyebab berikutnya
terjadinya perselingkuhan adalah lemahnya penghayatan agama seseorang.
Orang-orang semacam ini lebih banyak melihat hal-hal yang bersifat keduniawian dahpada akhirat. Nugraha (2004) menguatkan bahwa salah satu penyebab terjadinya perselingkuhan adalah rendahnya keimanan pada diri individu. Penjelasan-penjelasan di atas menunjukan bahwa religiusitas seseorang dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan perselingkuhan.
Tuhan adalah pusat dalam kehidupannya. Tentang posisi Tuhan sebagai pusat ini, Tuhan menegaskan bahwa Dia adalah tempat bergantung segaia sesuatu (QS. Al Ikhlas, 112:2), termasuk manusia. Bahkan manusia (dan jin)
sesungguhnya diciptakan semata-mata untuk menyembah Tuhan (QS. Al
Dzariyat, 51:56).
Menurut Daradjat (1978), keyakinan beragama menjadi bagian integral dari kepribadian seseorang. Keyakinan itu akan mengawasi segaia tindakan, perkataan, bahkan perasaannya. Pada saat seseorang tertarik pada sesuatu hal
yang tampaknya menyenangkan, maka keimanannya akan cepat bertindak
menimbang dan meneliti apakah hal tersebut boleh atau tidak oleh agamanya. Agama mempunyai peranan penting dalam pembinaan moral karena nilai-nilai moral yang datang dari agama tetap dan bersifat universal. Apabila dihadapkan pada suatu dilema, seseorang akan menggunakan pertimbangan-pertimbangan berdasarkan nilai-nilai moral yang berasal dari agama. Dimana pun orang itu berada dan pada posisi apapun, dia akan tetap memegang prinsip moral yang telah tertanam dalam hati nuraninya (Daradjat, 1991). Oleh karena itu nilai-nilai agama yang telah diinternalisasi oleh seseorang, diharapkan mampu
menuntun semua perilakunya.
Berdasarkan uraian di atas, jelas terlihat bahwa dalam sebuah pernikahan yang sangat dibutuhkan antara lain keimanan yang kuat atau religiusitas yang tinggi dari pasangan suami istri dan kesetiaan akan sumpah pernikahan yang telah diikrarkan serta pengertian dan dukungan dari pasangan
kemungkinan mempertahankan relasi baru akan terus berlanjut. Penelitian ini mengangkat judul "Hubungan Antara Religiusitas dengan Perselingkuhan".
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara empirik ada tidaknya hubungan antara religiusitas dengan perselingkuhan pada subyek yang suami atau istrinya sering ke luar kota untuk bekerja.
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam hal-hal
sebagai berikut:
1. Secara teoritis.
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah psikologi khususnya psikologi sosial, psikologi islami, dan psikologi keluarga.
2. Secara praktis.
Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan bagi suami dan istri dalam membina kehidupan pernikahan, khususnya yang berkaitan dengan religiusitas pasangan yang dapat membantu mempertahankan keutuhan dan kebahagiaan kehidupan pernikahan. Bagi psikolog, hasil penelitian ini dapat sebagai bahan pertimbangan dalam proses konseling keluarga dan pernikahan.
perselingkuhan, terdapat beberapa penelitian terdahulu yang menggunakan
variabel-variabel tersebut. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Yulianto (2000) tentang "Perselingkuhan: Dapatkah Ditiadakan?", Zakiah (1999) tentang
"Hubungan Antara Religiusitas dengan Intensi Perselingkuhan", dan Nusya
tentang "Hubungan Antara Kepuasan Perkawinan dengan Intensi Melakukan Selingkuh pada Suami".
Penelitian Zakiah bertujuan untuk menguji hubungan negatif antara
religiusitas dengan intensi perselingkuhan dengan subyek penelitian suami istri
yang beragama Islam. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu angket yang mengukur skala religiusitas yang mengacu pada teori Glock dan Stark, dan angket yang mengukur skala intensi perselingkuhan yang menggunakan teori
perselingkuhan dari Jackson. Penelitian Nusya bertujuan untuk menguji
hubungan negatif antara kepuasan perkawinan dengan intensi melakukan
selingkuh pada suami dengan subyek penelitian pada laki-laki yang sudah
menikah dengan usia pernikahan diatas lima tahun, bekerja dengan gaji diatas
upah minimum masyarakat dan memiliki anak. Alat ukur yang digunakan yaitu angket yang mengukur skala intensi melakukan selingkuh menggunakan teori aspek perilaku selingkuh dari Jackson dan skala religiusitas dari teori Glock dan Stark. Hasil kedua penelitian adalah ada hubungan negatif yang sangat signifikan
antara kedua variabel.
Penelitian yang akan diteliti oleh penulis meneliti tentang hubungan antara religiusitas dengan perselingkuhan dengan subyek pria dan wanita Muslim
ada hubungan negatif antara religiusitas dengan perselingkuhan. Alat ukur yang digunakan berupa angket yang mengukur skala religiusitas yang menggunakan teori religiusitas dari Glock dan Stark, yaitu dimensi ideologis (the ideological dimension), dimensi ritual (the ritualistic dimension), dimensi eksperiensial (the experiential dimension), dan dimensi konsekuensial (the consequential dimension), dan angket yang mengukur skala perselingkuhan yang menggunakan teori perselingkuhan dari Jackson, yaitu perselingkuhan fisik (physical affairs) dan perselingkuhan emosional (emotional affairs).
A. Perselingkuhan
1. Pengertian Perselingkuhan
Selingkuh menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan
sebagai perbuatan yang tidak berterus terang; tidak jujur; menyembunyikan
sesuatu untuk kepentingan sendiri; curang; serong. Lawson (1988) menyatakan bahwa perbuatan selingkuh dapat dimulai dari pergi bersama seseorang yang bukan suami atau istrinya, kedekatan yang kuat dengan orang lain baik secara fisik maupun emosional, sexual intercourse secara sukarela antar seseorang yang sudah menikah dengan orang lain yang bukan pasangannya. Perselingkuhan atau penyelewengan seksual di luar nikah (affairs atau
extramarital sex) adalah segaia bentuk aktivitas antara seseorang yang sudah
berkeluarga dengan orang lain selain pasangannya (Master dkk, 1992). Perselingkuhan menurut Adimoelya (Yulianto, 2000) adalah suatu hubungan seksual di luar pernikahan yang disebut juga extramarital sex. Hubungan dapat singkat atau lama, dengan tingkat keterlibatan emosional yang rendah atau tinggi Berdasarkan beberapa pengertian tentang perselingkuhan diatas, dapat disimpulkan bahwa perselingkuhan merupakan hubungan antara pria dan wanita di luar pernikahan dengan melibatkan hubungan fisik maupun hubungan emosional antara keduanya yang di dalamnya termasuk rasa saling ketertarikan, ketergantungan, dan saling memenuhi. Perselingkuhan dapat juga disebut perbuatan tidak menghormati kepercayaan pasangan dan mengkhianati ikatan
2. Indikator Perselingkuhan
Menurut Jackson (2000), perselingkuhan dapat diidentifikasi menjadi dua
kelompok, yaitu:a. Perselingkuhan fisik (physical affairs)
Perselingkuhan ini dalam bentuk kontak seksual terbuka (overt sexual
contact) dan kontak seksual tertutup (covert sexual contact).
1. Kontak seksual terbuka (overt sexual contact). Perselingkuhan dapat
diartikan sebagai
hubungan seksual
(sexual intercourse)
dengan
seseorang yang bukan pasangannya. Hubungan ini tidak terbatas pada
"one night stand' tapi juga dapat berlanjut pada hubungan yang melibatkan emosional dalam waktu yang lama. Perselingkuhan mungkin
juga terjadi melalui hubungan fisik yang intim untuk merangsang dan
menikmati rangsangan seksual dengan seseorang selain pasangannya meskipun tidak terjadi hubungan seksual.
2. Kontak seksual tertutup (covert sexual contact). Perselingkuhan ini melibatkan sentuhan fisik yang tidak selayaknya dilakukan oleh
seseorang yang bukan pasangannya. Sentuhan tersebut tidak hanya
dalam bentuk sentuhan ringan ataupun sentuhan yang dilakukan karena
terdorong oleh perasaan saja, tetapi juga dapat dalam bentuk pelukan
erat, ciuman pipi, berpegangan tangan, serta pandangan mata yang mengisyaratkan perasaan lebih dari sekedarteman.
b. Perselingkuhan emosional (emotional affairs)
Perselingkuhan ini tidak melibatkan hubungan seksual. Memberikan waktu,
materi,
dan
energi
emosional
(perhatian,
pengertian,
dukungan,
penghargaan, penghormatan) kepada seseorang yang bukan pasangannya merupakan pengingkaran atas janji pernikahan. Perselingkuhan jenis ini mungkin lebih mudah diketahui daripada perselingkuhan fisik, tapi tidak
selamanya akan demikian karena perasaan dan motivasi sifatnya sangat
pribadi.Brown (2000) mengemukakan ada lima jenis perselingkuhan, yaitu:
a. Conflict Avoidance Affair (perselingkuhan karena menghindari konflik)
Perselingkuhan ini terjadi karena pasangan menghindari terjadinya konflik.
Ketakutan akan terjadinya konflik membuat suami atau istri tidak dapat
berkomunikasi dengan baik sehingga tidak terjalin pengertian di antara
mereka. Kondisi ini membuat suami atau istri akan mencari seseorang yang
dapat memberikan pengertian dan menghilangkan rasa takut akan terjadinya
konflik. Dalam hal ini baik suami atau istri memiliki kesempatan yang sama
untuk melakukan selingkuh (equal opportunity affair).
b. Intimacy Avoidance Affair (perselingkuhan karena menghindari keakraban)
Ada beberapa pasangan yang menghindari terjadinya kedekatan dan
membangun jarak di antara mereka dan menciptakan konflik sebagai usaha
untuk tetap menjaga jarak tersebut karena hubungan emosional di antara
mereka akan semakin dekat dan kuat melalui konflik yang sering terjadi.
Untuk membuat konflik selalu ada di antara mereka, selingkuh adalah cara
cenderung memiliki lebih besar kecanduan hubungan seksual daripada
wanita.
d. Split Self Affair (perselingkuhan karena kepribadian yang pecah)
Orang yang memiliki kepribadian yang terpecah tidak begitu dapat menikmati
hubungan
pernikahan
karena
perasaan
dan
kebutuhannya
harus
dikorbankan demi menjaga keutuhan pernikahan tersebut. e. Exit Affair (perselingkuhan karena meninggalkan pernikahan)
Perselingkuhan ini terjadi karena konflik dalam pernikahan dianggap sudah
tidak dapat diselesaikan sehingga perselingkuhan yang dilakukan dianggap
sebagai tindakan yang benar. Namun ada juga yang menganggap
perselingkuhan sebagai penyebab kegagalan pernikahan. Hal ini merupakan
equal opportunity lainnya.
Dari penjelasan
kedua
tokoh diatas,
dapat
disimpulkan
bahwa
perselingkuhan dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu aspek fisik
(physical affairs) yaitu ketertarikan pada fisik dan sentuhan fisik yang dapat
berupa ciuman, pelukan, pegangan tangan, dan dapat melibatkan hubungan
seksual (sexual intercourse) serta aspek emosional (emotional affairs) yang lebih mengedepankan hubungan emosional seperti perhatian, pengertian, dukungan, penghargaan, dan penghormatan.
3. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perselingkuhan
Staheli (Satiadarma, 2001) menguratkan faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya perselingkuhan:
a. Variasi hubungan seksual. Mereka menyukai hubungan seksual dengan tidak
dibatasi hanya pada satu pasangan saja.
b. Dengan memiliki lebih dari satu pasangan mereka merasakan adanya
kuantitas hubungan seksual yang lebih besar.
c. Kesempatan. Mereka tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk
melakukan hubungan seksua. dengan seseorang karena memang
kesempatan itu ada. Kalaupun mereka melakukannya, hubungan tersebut
tidak akan pernah diketahui orang lain.
d. Mereka tidak dapat membina hubungan hubungan interpersonal dengan baik
dengan pasangannya karena adanya berbagai alasan seperti pasangan
bekerja hingga laru. malam, pasangan tidak berada di rumah dalam jangka
waktu yang lama karena bekerja di luar kota sehingga waktu untuk
berkomunikasi sangat terbatas.
e. Kesepian. Karenanya mereka mencari seseorang yang lain yang dapat
mengisi rasa sepi hidup mereka.
Menurut Daniel (2003), faktor-faktor penyebab selingkuh adalah sebagai
berikut:
a. Kemampuan finansia.. Seseorang yang berselingkuh bisa saja mengeluarkan
biaya yang tidak sedikit untuk pasangan selingkuhnya. Biaya tersebut antara
lain untuk makan di restoran, tempat istirahat mereka berdua, biaya
transportasi, dan Iain-Iain. Biaya tersebut dikeluarkan setiap melakukan
karaoke, bioskop, massage atau sauna, restoran eksklusif atau umum, pub,
cafe, dan taman seni.
c. Faktor masa kecil dan remaja. Pengalaman menyedihkan maupun
menyenangkan akan mempengaruhi sikap dan kejiwaan seseorang. Melalui pengalaman yang menyenangkan, mereka akan lebih dapat bersyukur pada Tuhan. Sebaliknya, pengalaman menyedihkan akan menimbulkan sikap
selalu menuntut lebih dari kebutuhan diri yang sesungguhnya.
d. Lemahnya penghayatan agama. Mereka lebih banyak melihat hal keduniawian daripada akhirat sehingga keseimbangan jiwa dan akalnya lebih
terfokus pada materi seperti mobil, rumah, pulau, kapal pesiar, dan akhirnya wanita simpanan.
e. Dorongan seksual. Kepuasan seks bersama pasangan memang terjadi,
tetapi kepuasan seks dengan pasangan lain merupakan dunia tersendiri. Pasangan selingkuh dirasakan mampu meningkatkan libido seks dengan suatu kenikmatan yang luar biasa.
f. Bisnis dan pelesiran. Pelesiran terjadi begitu ada kesempatan pertemuan
yang dilakukan para mitra bisnis di luar jam kerja atau adanya janji bila sukses dalam suatu proyek.
g. Pergaulan. Lingkungan di sekitar individu yang memperiihatkan perselingkuhan merupakan sesuatu hal yang menarik adalah salah satu
h. Kontrol masyarakat lemah. Banyak masyarakat kita yang bersikap acuh tak
acuh terhadap lingkungan sekitar. Jika terjadi tindakan yang tidak terpuji,
mereka cenderung tidak peduli dan tidak mengambil tindakan tegas.
Sedangkan seperti yang disebutkan Nugraha (2004), ada beberapa
alasan orang berselingkuh, diantaranya:
1. Ketidakmampuan membentuk komitmen bersama pasangan pernikahan.
Lemahnya komitmen, tidak disadarinya arti serta tujuan pernikahan juga ikut
mendorong seseorang melakukan perselingkuhan.
2. Iman yang lemah dan rasa egoisme yang besar dari masing-masing
pasangan.
3. Amarah
yang terpendam dari
pasangan,
ketidakpuasaan kehidupan
pernikahan, akibat tidak terpenuhinya kebutuhan emosional pasangan,
seringkali memicu timbulnya perselingkuhan dalam kehidupan pernikahan.
4. Adanya masalah pribadi dalam pernikahan.
5. Rasa ingin tahu seperti apa seks yang dilakukan dengan orang lain. Apalagi
jika seks bersama pasangan mengalami kejenuhan.
Layton-Tholl
(2000),
mengatakan
bahwa
banyak
faktor
yang
menyebabkan seseorang melakukan perselingkuhan seperti ketidakpuasan
hubungan dalam pernikahan, kekosongan emosional, kebutuhan akan variasi
seksual, marah pada pasangan, sudah lama tidak merasa jatuh cinta, kecanduan
alkohol atau obat-obatan, perpisahan (jauh dari pasangan), tidak adanya
dukungan dari pasangan baik secara fisik maupun emosional, keinginan untuk
membuat pasangan cemburu, dan sebagainya.
Dapat juga dikatakan bahwa perselingkuhan terjadi sebagai indikasi
ketidakmampuan untuk menemukan kepuasan secara fisik maupun emosional.
lain seperti masalah seksual, keuangan, kehadiran anak, perubahan dalam pekerjaan, kematian anggota keluarga, dan perubahan status (Layton-Tholl,
2000).
Strean (1994) menyebutkan tiga tipe hubungan antara pernikahan dan
perilaku selingkuh.
a. Tipe pertama adalah perilaku selingkuh sebagai kompensasi atau substitusi
dari sebuah pernikahan yang kurang baik. Namun masalah yang dihadapi
dianggap tidak cukup serius sehingga alasan untuk mengakhiri pernikahan
dengan perceraian tidak cukup akurat.
b. Tipe kedua adalah keterlibatan seseorang dalam perselingkuhan karena jauh
dari pasangannya, misalnya karena terpisah kota, tempat tinggal tugas, karir,
atau melanjutkan pendidikan.c. Tipe ketiga adalah perilaku selingkuh yang terjadi karena individu yang
bersangkutan tidak setuju dengan komitmen monogami.
B. Religiusitas
1. Pengertian Religi dan Religiusitas
Religiusitas berasal dari kata religion (bahasa Inggris) atau religie
(bahasa Belanda) yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan istilah
agama atau ad-din (bahasa Arab).
Definisi agama (religi) sendiri masih sulit dirumuskan dengan tepat dan
adalah subyektif, intern, dan individuil dan setiap orang berbeda dari orang lain. Poerwadarminta (1984) memberikan rumusan agama sebagai berikut: "Agama ialah segenap kepercayaan (kepada Tuhan, Dewa, dan lain sebagainya) serta
dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan
kepercayaan itu"
Kamus "The Holt Intermediate Dictionary of American English" (Razak, 1993) mendefinisikan agama sebagai berikut: "Agama adalah kepercayaan dan
penyembahan kepada Tuhan atau kepada Yang Maha Mengetahui"
Dalam kamus "The Advanced Learner's Dictionary of Current English" (Razak, 1993), agama didefinisikan sebagai berikut: "Agama ialah mempercayai adanya kekuatan kodrat Yang Maha Mengatasi, Menguasai, Menciptakan, dan Mengawasi alam semesta dan yang telah menganugerahkan kepada manusia
suatu watak rohani, supaya manusia dapat hidup terus menerus setelah tubuhnya mati"
Kamus "An English Reader's Dictionary (Razak, 1993) mendefinisikan agama sebagai berikut: "Agama ialah: 1) Kepercayaan kepada Tuhan sebagai Pencipta dan Pengawas alam semasta; 2) Sistem kepercayaan dan penyambahan didasarkan atas keyakinan tertentu"
Meskipun sulit untuk mendefinisikan agama secara tepat, banyak ahli yang mencoba untuk mendefinisikan (menerangkan) arti agama. James
(Daradjat, 1993) mendefinisikan agama sebagai perasaan dan pengalaman Bani
Insan secara individual, dengan menganggap mereka berhubungan dengan apa
yang dipandangnya sebagai Tuhan. Hubungan tersebut mewujudkan sikap batin
serta tampak daiam ibadah yang ditakukannya dan tercermin pula dalam sikap
kesehariannya. Selaras dengan pernyataan tersebut, Gazalba (Razak, 1993)
mendefinisikan agama sebagai kepercayaan pada dan hubungan manusia
dengan yang kudus, dihayati sebagai hakikat yang gaib yang dinyatakan dalam
bentuk serta sistem kultus dan sikap hidup, berdasarkan doktrin tertentu.
Menurut Mufid dkk (1994) agama merupakan peraturan dan
undang-undang dari Tuhan bagi manusia agar tidak kacau. Definisi ini sulit melihat agama sebagai sarana pemenuhan kebutuhan manusia untuk teratur dalam
hidupnya. Hal ini selaras dengan pernyataan Fromm (1950) bahwa tidak ada
seorang pun yang tidak membutuhkan agama dan tidak membutuhkan aturan-aturan sebagai penuntunnya.
Sebenarnya masih banyak definisi agama yang diberikan para ahli.
Empat puluh delapan definisi yang ditemukan oleh Thouless (Daradjat, 1993),
hanya diambil tiga definisi yang tiap-tiap definisi itu merupakan suatu segi dari
segi-segi agama pribadi. Definisi-definisi tersebut adalah:
a. Definisi Frazer: agama adalah mencari keridhoan atau kekuatan yang lebih
tinggi daripada manusia, yaitu kekuasaan yang disangka manusia dapat
mengendalikan. menekan. atau menahan kelancaran alam dan kehiaurjar
manusia.
b. Definisi James Martineau: agama adalah kepercayaan kepada yang hidup
abadi, dimana diakui bahwa dengan pikiran dan kemampuan Tuhan, alam ini
Thouless memandang bahwa ketiga definisi tersebut ada dalam
pandangan ilmu jiwa umum karena perasaan itu dapat dibagi atas tiga segi yakni
tanggapan, emosi, dan dorongan. Ketiga macam itu dipilih oleh Thouless karena
menurut pendapatnya bahwa ketiga-tiganya merupakan tiga segi dari agama,
yaitu:
a. Melukiskan cara dan kelakuan.
b. Keyakinan dan pendapat akal. c. Alat-alat, perasaan, dan emosi.
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa agama merupakan aspek psikologis manusia. Manusia membutuhkan hubungan dengan Tuhan sebagai suatu kekuatan supranatural yang tidak terikat dengan ruang dan waktu serta sebagai pencipta dan penguasa manusia dan alam sekitarnya yang membentuk suatu sistem. Di dalam hubungan itu, Tuhan menurunkan aturan-aturan sebagai pedoman hidup manusia untuk ditaati yang tercermin dalam
tingkah laku kesehariannya baik dalam bentuk hubungan manusia dengan Tuhan (tampak dalam ibadah-ibadah ritual), hubungan dengan sesama manusia
maupun dengan alam sekitarnya (makhluk lainnya). Semuanya itu untuk
kepentingan manusia sendiri agar mencapai kebahagiaan dunia (kemenangan material) maupun kebahagiaan akhirat (kebaikan moral).
Dari pembahasan tentang definisi agama (religi) tersebut, para ahli mencoba menjelaskan pengertian religiusitas. Kata religiusitas berasal dari kata religiousity ini dapat diterjemahkan dengan keberagamaan (Dister, 1990) atau
1989) menekankan religiusitas pada perilaku baik yang bersumber secara
langsung maupun tidak langsung kepada nash. Dister (1990) menunjuk adanya
strata internalisasi terhadap doktrin atau ajaran religi yang bersangkutan pada
istilah religiusitas.
2. Islam sebagai Religi
Penelitian ini menggunakan subyek yang beragama Islam sehingga
konsep religiusitas disini menunjuk pada agama Islam. Untuk itu perlu
dirumuskan pengertian Islam sebagai religi.
Menurut Mattulada (Razak, 1993), Islam merupakan salah satu dari
agama-agama yang ada di dunia ini dan dikategorikan sebagai agama samawi
(agama yang berasal dari wahyu Tuhan).
Secara bahasa, Islam berasal dari kata sa-la-ma yang berarti selamat
atau damai. Di dalam Al Qur'an, kata tersebut kemudian digunakan dengan
beberapa tambahan atau perubahan, misalnya:
a. Aslama: berserah diri (QS. Ali Imran, 3:83 ;QS. An Nisaa', 4:125)
b. Istaslama-taslin-mustaslimun: penyerahan total (kepada Allah) (QS. An Nisaa',
4:65 ; QS. Ash Shaaffaat, 37:26)
c. Saliim: bersih, suci (QS. Asy Syu'raa, 26:89 ;QS. Ash Shaaffaat, 37:83-84)
d. Salaam: kesejahteraan (QS. Az Zumar, 39:73)
Secara istilah, Islam sebagai religi mempunyai makna yang bermacam-macam pula. Razak (1993) mendefinisikan Islam sebagai berikut: "Islam adalah
ad-din (agama) yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW, ialah apa yang
diturunkan oleh Allah SWT di dalam Al Qur'an dan yang tersebut dalam sunnah dan sahih, berupa perintah-perintah, larangan-larangan dan petunjuk-petunjuk
untuk kesejahteraan dan kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat".
Dalam pengertian semua orang Islam, agama adalah ajaran llahi yang cocok dengan semua orang yang berakal sehat, dalam memilih jalan yang menuju kepada kebaikan moral maupun kemenangan material (As-Salamuthi,
1987).
Menurut Razak (1993), inti ajaran Islam adalah:
a. Ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, meliputi kepercayaan dan penyembahan (sistem iman dan sistem ibadah), disebut
Rukun Iman dan Rukun Islam.
b. Ajaran yang mengatur manusia dan sesamanya dan hubungannya dengan
alam, sebab itu Islam mempunyai ajaran-ajaran tentang sosial, politik,
ekonomi, seni, kebudayaan, pernikahan, harta pusaka, jihad, perang dan
damai, kesehatan, dan lain sebagainya.
Nawawi (1993) mengelompokkan ajaran Islam menjadi tiga macam, yaitu:
a. Aqidah, berupa ajaran tentang iman dan tauhid yang berkenaan dengan
substansi rohaniah berupa keyakinan terhadap Kemahakuasaan dan
Kemahabesaran Allah SWT yang tersirat dalam hati dan diwujudkan berupa
amal dan kebajikan.
b. Syari'ah, yakni hukum-hukum Allah SWT yang berhubungan dengan tingkah
meninggalkan laranganNya. Didalamnya termasuk juga tentang ibadah yang
harus dilaksanakan secara batk dan benar sehingga perbuatan pengabdian
dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT.
c. Akhlak, yakni tentang ketentuan Allah SWT dalam menjalankan hubungan
dengan sesama manusia dengan lingkungan sekitar.
Dari pernyataan-pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa Islam
adalah ajaran dari Allah SWT yang diturunkan melalui Nabi dan RasulNya dalam
wujud Al Qur'an dan Sunnah (hadist Nabi) untuk menjadi pedoman hidup
manusia. Ajaran-ajaran tersebut meliputi semua aspek kehidupan manusia untuk
mencapai kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat.
3. Dimensi-Dimensi Religiusitas
Kehidupan beragama mencakup kesadaran beragama dan pengalaman
beragama. Kesadaran beragama (religious consciousness) merupakan elemen
agama yang terserap dalam pikiran dan dapat diuji melalui introspeksi, atau
merupakan aspek mental dan aktivitas agama. Pengalaman beragama (religious
experience) merupakan elemen perasaan dalam kesadaran beragama yang
membawa pada keyakinan, yang dihasilkan oleh tindakan-tindakan (Daradjat,
1976). Senada dengan pendapat tersebut, (Spinks, 1976) menyatakan bahwa
agama meliputi keyakinan-keyakinan, kebiasaan-kebiasaan, tradisi,
upacara-upacara, dan pengalaman-pengalaman individual.Manusia beragama mengembangkan hubungannya dengan Tuhan dalam
bentuk pola perasaan dan sistem pemikiran, sistem perilaku sosial, serta
organisasi dengan pengaturan dan jabatan-jabatan tertentu (Dister, 1982). Oleh
karena itu, agama meliputi aspek perilaku, perasaan, penilaian, dan keyakinan, yang berakar pada individu maupun masyarakat.
Menurut Glock dan Stark (1966) ada lima dimensi religiusitas, yaitu:
1. Religious Belief (The Ideological Dimension) yakni tingkat keyakinan atau kepercayaan seseorang terhadap kebenaran agamanya terutama terhadap ajaran-ajaran agama yang fundamental atau dogmatis, misalnya kepercayaan adanya Allah, Malaikat, surga, neraka, dan sebagainya. Kepercayaan ini dapat berupa makna yang menjelaskan tujuan Tuhan dan peranan manusia dalam mencapai tujuan itu (purposive beliefs). Kepercayaan, yang terakhir, dapat berupa pengetahuan tentang perangkat tingkah laku yang baik yang dikehendaki agama. Kepercayaan jenis inilah
yang didasari struktur etis agama.
2. Religious Practice (The Ritualistic Dimension) yakni tingkat kepatuhan
seseorang melakukan kewajiban-kewajiban ritual dalam agamanya, misalnya sholat, puasa, zakat, dan sebagainya.
3. Religious Feeling (The Experiential Dimension) yakni perasaan-perasaan atau
pengalaman-pengalaman keagamaan yang pernah dialami atau dirasakan.
Dimensi ini bergerak dalam empat tingkat: konfirmatif (merasakan kehadiran Tuhan atau apa saja yang diamatinya), responsif (merasa bahwa Tuhan menjawab kehendak atau keluhannya), eskatik (merasakan hubungan yang akrab dan penuh cinta dengan Tuhan), dan partisipatif (merasa menjadi
kawan setia, kekasih atau wali Tuhan, dan menyertai Tuhan dalam
4. Religious Knowledge (The Intelectual Dimension) yakni seberapa jauh
seseorang memahami dan mengetahui ajaran agamanya terutama yang ada
dalam kitab suci.
5.
Religious Effect (The Consequential Dimension) yakni dimensi yang
mengukur seberapa jauh perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran agama di
dalam kehidupan sosial, seperti etos kerja, hubungan interpersonal,
kepedulian kepada penderitaan orang lain, dan sebagainya.
Menurut hasil penelitian dari Kementerian Negara dan Lingkungan Hidup
(1987) di dalam pelaksanaan ajaran Islam, dikenal adanya lima aspek, yaitu:
1. Aspek Iman, yaitu menyangkut keyakinan dan hubungan manusia dengan
Tuhan, Malaikat, para Nabi, dan sebagainya.
2. Aspek Islam, yaitu menyangkut frekuensi, intensitas pelaksanaan ibadah
yang ditetapkan. Misalnya sholat, zakat, puasa, ibadah haji.
3. Aspek Ihsan, yaitu pengalaman dan perasaan tentang kehadiran Tuhan,
takut melanggar larangan, dan sebagainya.
4. Aspek llmu, yaitu menyangkut pengetahuan seseorang tentang ajaran
agamanya. Misalnya pengetahuan fiqih, tauhid, dalam ajaran Islam.
5. Aspek Amal, yaitu menyangkut bagaimana tingkah laku seseorang dalam
kehidupan bermasyarakat. Misalnya menolong orang lain, membela orang
lemah, dan sebagainya.
Penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa agama merupakan
suatu sistem yang terdiri dari beberapa aspek, bukan suatu yang tunggal. Teori
dari Glock dan Stark maupun hasil penelitian dari Kementerian Negara dan
Lingkungan Hidup, menyatakan ada lima aspek dalam religiusitas. Sebenarnya
Lingkungan Hidup maupun dari kelima aspek religiusitas dalam teori Glock dan
Stark memiliki kesamaan pengertian. Pengertian religious practice setara artirtya
dengan aspek Islam, religious feeling sama maknanya dengan aspek Ihsan, religious knowledge setara artinya dengan aspek llmu, dan religious effect
memiliki kesamaan makna dengan aspek Amal. Gabungan dari semua aspek-aspek itu merupakan gambaran dari kualitas religiusitas yang dimiliki seseorang.
Di dalam penelitian ini, hanya digunakan empat dimensi religiusitas yaitu dimensi ideologis (the ideological dimension), dimensi ritual (the ritualistic
dimension), dimensi eksperiensial (the experiential dimension), dan dimensi
konsekuensial (the consequential dimension). Dimensi yang tidak digunakan dalam penelitian ini adalah dimensi intelektual (the intelectual dimension) yaitu
seberapa jauh seseorang memahami dan mengetahui ajaran agamanya
terutama yang ada dalam kitab suci.
Seperti penelitian yang dilakukan oleh Turmudhi (1991) tentang
"Hubungan Antara Religiusitas denganh Intensi Pro Sosial kepada Mahasiswa Beragama Islam Fakultas Ekonomi UPN Yogyakarta", penelitian ini hanya menggunakan empat dimensi religiusitas yaitu dimensi ideologis (the ideological
dimension), dimensi ritual (the ritualistic dimension), dimensi eksperiensial (the experiential dimension), dan dimensi konsekuensial (the consequential dimension), karena keempat dimensi religiusitas tersebut dianggap mewakili perilaku religius seseorang dalam kehidupan sehari-harinya.
4. Fungsi Agama dalam Kehidupan Manusia
Menurut Jawas (1995), agama merupakan kebutuhan dan kecenderungan dasar manusia, sebagai wujud dari pengakuan manusia
terhadap Sang Pencipta alam semesta. Islam memandang penghambaan atau peribadatan manusia kepada Allah adalah sebagai tujuan diciptakannya manusia
itu sendiri.
Menurut Mutahhari (Hidayah, 1992), agama merupakan kebutuhan emosional manusia dan merupakan satu-satunya sarana untuk memenuhi
kebutuhan alamiah yang tidak dapat digantikan oleh apapun.
Odea (1987) menyebutkan bahwa ada lima fungsi agama bagi manusia,
yaitu:
a. Agama memberikan suatu dukungan moral disaat manusia menghadapi ketidakpastian, pelipur lara disaat menghadapi kekecewaan dan rekonsiliasi
dengan masyarakat bila diasingkan dari tujuan dan norma-normanya.
b. Agama menawarkan suatu hubungan transendental melalui pemujaan dan
upacara adat, karena itu memberikan dasar emosional bagi rasa aman baru
dan identitas yang lebih kuat ditengah ketidakpastian dan ketidakmungkinan
kondisi manusia dan arus perubahan sejarah. Melalui ajaran-ajaran yang otoratif tentang kepercayaan dan nilai, agama menyediakan kerangka acuan ditengah pertikaian dan kekaburan pendapat manusia.
c. Agama mensucikan norma-norma dan nilai masyarakat yang telah terbentuk,
mempertahankan dominansi tujuan kelompok diatas keinginan individu dan
disiplin kelompok diatas hati individu.
d. Agama dapat memberikan standar nilai dalam arti dimana norma-norma yang telah terlembaga dapat dikaji kembali secara kritis.
e. Agama melakukan fase-fase identitas yang penting. Melalui penerimaan
nilai-nilai yang terkandung dalam agama dan kepercayaan-kepercayaan tentang hakikat dan tabir manusia, individu mengembangkan aspek penting
pemahaman diri dan pembatasan diri. Melalui peran serta manusia di dalam
ritual agama dan doa, mereka juga melakukan unsur-unsur stgnifikan yang
ada dalam identitasnya. Dengan cara ini, agama mempengaruhi pengertian
individu tentang siapa dirinya, membantu pertumbuhan pendewasaan individu dan perjalanan hidupnya.
Menurut Daradjat (1990) agama mempunyai tiga fase dalam kehidupan
manusia, yaitu:
a. Agama memberikan bimbingan dalam hidup. Pengendali utama kehidupan
manusia adalah kepribadiannya yang mencakup unsur-unsur pengalaman,
pendidikan, dan keyakinan yang didapatnya sejak kecil. Jika dalam pertumbuhan seseorang terbentuk suatu kepribadian yang harmonis, dimana
unsur-unsur
pokoknya
terdiri
dari
pengalaman-pengalaman
yang
menentramkan batin, maka dalam menghadapi dorongan-dorongan, baik
yang bersifat rohani dan sosial, individu tersebut akan terlihat tenang. Agama
yang ditanamkan sejak kecil kepada anak-anak merupakan bagian dari
unsur-unsur kepribadiannya akan menjadi pengendali dalam menghadapi
segaia dorongan yang timbul. Karena keyakinan terhadap agama yang
menjadi bagian dari kepribadian itu akan mengatur sikap dan tingkah laku
seseorang secara otomatis dari dalam.
b. Agama adalah penolong dalam kesukaran. Bagi orang yang beragama,
kesukaran atau bahaya sebesar apapun yang harus dihadapinya, individu
tersebut akan tetap tenang dan sabar, karena dia merasa bahwa kesukaran
dalam hidup itu merupakan bagian dari cobaan Allah kepada hambaNya
memberi jalan dan siraman penenang hati. Sering kita mendengar orang yang kebingungan dalam hidupnya selama dia belum beragama, tetapi setelah mengenal dan menjalankan agama, ketenangan akan datang.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa fungsi agama dalam kehidupan manusia adalah sebagai pembuka wawasan kehidupan baru, pembimbing dalam hidup, pemberi identitas, penolong dalam kesulitan, penentram hati, pelindung norma dan nilai dalam masyarakat, dan membantu
pendewasaan manusia.
C. Hubungan Antara Religiusitas dengan Perselingkuhan
Menurut Daradjat (1978), keyakinan beragama menjadi bagian integral
dari kepribadian seseorang. Keyakinan itu akan mengawasi segaia tindakan,
perkataan, bahkan perasaannya. Pada saat seseorang tertarik pada sesuatu hal yang tampaknya menyenangkan, maka keimanannya akan cepat bertindak
menimbang dan meneliti apakah hal tersebut boleh atau tidak oleh agamanya.
Di dalam teori religiusitas terdapat dimensi-dimensi religiusitas, yaitu
dimensi ideologis yang merupakan tingkat keyakinan atau kepercayaan
seseorang terhadap kebenaran agamanya, misalnya kepercayaan adanya Allah,
Malaikat, surga, neraka, dan sebagainya. Dimensi ritual yaitu tingkat kepatuhan
seseorang melakukan kewajiban-kewajiban ritual dalam agamanya, misalnya
sholat, puasa, zakat, dan sebagainya. Dimensi eksperiensial yakni
sebagainya. Keempat dimensi religiusitas ini mempunyai peranan penting dalam
pembinaan moral karena nilai-nilai moral yang datang dari agama tetap dan
bersifat universal. Dimana pun orang itu berada dan pada posisi apapun, dia
akan tetap memegang prinsip moral yang telah tertanam dalam hati nuraninya
(Daradjat, 1991) dan apabila dihadapkan pada suatu dilema, seseorang akan
menggunakan pertimbangan-pertimbangan berdasarkan nilai-nilai moral yang
datang dari agama. Oleh karena itu nilai-nilai agama yang telah diinternalisasi
oleh seseorang, diharapkan mampu menuntun semua perilakunya ke arah yang
baik.
Ketika suami atau istri jauh dari rumah atau tinggal menetap di kota lain
karena pekerjaan, maka tidak menutup kemungkinan pasangan suami atau istri
tersebut melakukan perselingkuhan. Pada kasus perselingkuhan, ada berbagai
kondisi yang menggambarkan bahwa kebutuhan biologis atau kebutuhan
seksual, perhatian, komunikasi pasangan suami istri, dan lain sebagainya pada
suatu saat tertentu mengalami hambatan. Salah satunya karena salah satu
pasangan tinggal menetap di kota lain untuk waktu yang lama karena
pekerjaannya. Akibat dari hal tersebut, maka salah satu pasangan berusaha
untuk memenuhi dorongan tersebut dengan menjalin hubungan di luar hubungan
suami istri (Satiadarma, 2001).
Di dalam kehidupan pernikahan, suami istri melakukan perbandingan
untung rugi yang ditimbulkan oleh adanya relasi pernikahan mereka. Apabila dari
menemukan relasi yang lebih menarik dari relasi sebelumnya maka akan muncul suatu usaha untuk mempertahankan relasi yang baru sehingga terjadinya suatu bentuk penyelewengan atas ikatan pernikahan mereka besar (Masika, 2002).
Sesuatu yang bermula dari rasa aman, nyaman dan percaya bahwa ada seseorang yang bersedia memberikan dukungan akan berkembang menjadi perasaan yang lebih mendalam dari sekedar teman berbagi yang menyebabkan munculnya ketertarikan baik secara fisik maupun psikologis. Perselingkuhan kemudian dijadikan sebagai alternatif untuk tetap mempertahankan kondisi ini karena ada alasan-alasan tertentu yang membuat pernikahan mereka harus
tetap dipertahankan.
Dari bahasan diatas yang menjelaskan tentang hubungan religiusitas
dengan perselingkuhan dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang sangat
berkaitan erat antara religiusitas dengan perselingkuhan. Jelas terlihat bahwa
dalam sebuah pernikahan yang sangat dibutuhkan antara lain keimanan yang
kuat atau religiusitas yang tinggi dari pasangan suami istri dan kesetiaan akan
sumpah pernikahan yang telah diikrarkan serta pengertian dan dukungan dari
pasangan suami atau istri, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bila
tidak ada dukungan dari pasangan akan membuat suami atau istri merasa tidak
nyaman dengan kondisi tersebut dan mencari rasa nyaman di luar pernikahan,
maka kemungkinan mempertahankan relasi baru akan terus berlanjut, apalagi
perselingkuhan. Semakin tinggi religiusitas maka semakin rendah perselingkuhan. Sebaliknya, semakin rendah religiusitas maka perselingkuhan
A. Identifikasi variabel-variabel penelitian
Berdasarkan hipotesis yang diajukan, variabel-variabel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel bebas (independent) : Religiusitas 2. Variabel tergantung (dependent) : Perselingkuhan
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Perselingkuhan
Perselingkuhan merupakan hubungan antara pria dan wanita di luar pernikahan dengan melibatkan hubungan fisik maupun hubungan emosional antara keduanya. Pengukuran perilaku perselingkuhan ini menggunakan skala perselingkuhan yang menggunakan aspek-aspek perselingkuhan dari Jackson (2000) yaitu perselingkuhan fisik (physical affairs) dan perselingkuhan emosional
(emotional affairs) untuk mengetahui seberapa besar perilaku perselingkuhan
yang dilakukan subyek. Semakin tinggi skor perselingkuhan maka semakin tinggi
perselingkuhan yang dilakukan subyek. Sebaliknya, semakin rendah skor
perselingkuhan maka semakin rendah perselingkuhan yang dilakukan subyek.
2. Religiusitas
Religiusitas adalah tingkat keberagamaan atau kesadaran keagamaan
yang dimiliki seseorang. Pengukuran religiusitas ini menggunakan skala
religiusitas yang menggunakan empat dimensi religiusitas dari Glock dan Stark
(1966) yaitu dimensi ideologis (the ideological dimension), dimensi ritual (the
ritualistic dimension), dimensi eksperiensial (the experiential dimension), dan
dimensi konsekuensial (the consequential dimension) yang digunakan untuk
mengukur sikap dan perilaku religiusitas subyek. Semakin tinggi skor religiusitas
maka semakin tinggi religiusitas yang dimiliki subyek. Sebaliknya, semakin
rendah skor religiusitas maka semakin rendah religiusitas yang dimiliki subyek.
C. Subyek Penelitian
Subyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah pria dan wanita
Muslim yang sudah menikah dan masih terikat dalam hubungan pernikahan
dimana baik suami atau istri sering ditugaskan ke luar kota dalam jangka waktu
dua sampai tiga bulan di kota Balikpapan Kalimantan Timur.
D. Metode Pengumpulan Data
Data penelitian diperoleh dari dua skala yang masing-masing mengukur
variabel religiusitas dan variabel perselingkuhan. Kedua alat ukur tersebut adalah
Skala Religiusitas dan Skala Perselingkuhan yang disusun dan telah dimodifikasi
oleh peneliti.1. Skala Religiusitas
Skala yang diuji cobakan adalah skala religiusitas yang disusun untuk
mengukur religiusitas seseorang dengan mengacu pada konsep Glock dan Stark
(1966) yang mengukur religiusitas dari dimensi ideologis (the ideological
dimension), dimensi ritual (the ritualistic dimension), dimensi eksperiensial (the
experiential
dimension),
dan dimensi
konsekuensial
(the
consequential
semuanya mempunyai sifat yang sama, yaitu mengukur sikap dan perilaku
religiusitas, seperti yang dipakai Turmudhi (1991) dalam penelitian tentang
"Hubungan Antara Religiusitas dengan Intensi Pro Sosial kepada Mahasiswa
Beragama Islam di Fakultas Ekonomi UPN Yogyakarta" dan telah dimodifikasi
oleh peneliti.Skala ini terdiri dari 65 butir soal. Responden diminta memilih salah satu
alternatif jawaban yang paling sesuai dengan keadaan yang dimiliki. Alternatif
jawaban tersebut adalah Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan
Sangat Tidak Sesuai (STS). Skala Religiusitas disajikan dalam butir pernyataan
yang bersifat favourable dan unfavourable. Butir pernyataan disebut favourable
jika isi pernyataan bersifat mendukung, memihak, atau menunjukkan ciri dari
atribut yang diukur. Sebaliknya butir pernyataan yang isinya tidak mendukung
atau tidak memihak atribut yang diukur disebut butir pernyataan yang
unfavourable (Azwar, 1997).
Dalam pemberian skor, setiap respon positif (SS dan S) terhadap butir
pernyataan favourable akan diberi skor lebih tinggi daripada respon negatif (TS
dan STS). Skor jawaban untuk butir pernyataan favourable bergerak dari 4 sampai 1 dengan ketentuan: skor 4 untuk jawaban SS, skor 3 untuk jawaban S, skor 2 untuk jawaban TS, dan skor 1 untuk jawaban STS.
Semakin tinggi skor total yang diperoleh dari Skala Religiusitas maka semakin tinggi religiusitas individu. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh maka semakin rendah religiusitasnya. Sebaran butir pernyataan
Tabel 1
Distribusi butir Skala Religiusitas sebelum uji coba
Aspek Nomor Butir Pernyataan Jumlah
Favourable Unfavourable Dimensi Ideologis 4,7,9,15,28, 31,35,36 1,5,8,11,21,24, 27,30,34 17 Dimensi Ritual 10,22,23,26,29, 33,37,40,42 6,20,46,50,59 15 Dimensi Eksperiensial 14,16,17,41,44,49, 52,54,56,57 18,19,25,48,60 15 Dimensi Konsekuensial 3,43,45,47,61 2,12,13,32,38, 39,51,53,55,58, 62,63,64,65 18 Jumlah 33 32 65 2. Skala Perselingkuhan.
Skala ini disusun berdasarkan aspek-aspek perselingkuhan yang diajukan
oleh Jackson (2000), yaitu:
a. Perselingkuhan Fisik (Physical Affairs)
1. Kontak seksual terbuka (overt sexual contact) meliputi hubungan seksual
(sexual intercourse) yang berlanjut pada hubungan yang melibatkan
emosional dalam waktu lama, hubungan fisik yang intim untuk merangsang
dan menikmati rangsangan seksual dengan seseorang selain pasangannya
seperti bercumbu, necking, masturbasi atau onani yang dilakukan oleh
pasangan, dan petting.
2. Kontak seksual tertutup (covert sexual contact) meliputi pelukan erat, ciuman
pipi,
berpegangan tangan,
pandangan mata yang
mengisyaratkan
perasaan lebih dari sekedar teman, atau menyentuh dengan melibatkan
perasaan.
b. Perselingkuhan Emosional (Emotional Affairs)
Perselingkuhan ini tidak melibatkan hubungan seksual. Memberikan waktu,
materi, dan energi emosional (perhatian, pengertian, dukungan, penghargaan,
Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Butir pernyataan
dalam skala ini bersifat favourable dan unfavourable. Rentang skor setiap butir
pernyataan dari 1 sampai 4. Jika butir pernyataan bersifat favourable, maka
jawaban SS diberi skor 4, jawaban S diberi skor 3, TS diberi skor 2, dan STS
diberi skor 1. Jika butir pernyataan bersifat unfavourable, maka jawaban SS
diberi skor 1, S diberi skor 2, TS diberi skor 3, dan STS diberi skor 4. Semakin
tinggi skor yang diperoleh menunjukkan tingginya perselingkuhan. Sebaliknya
semakin rendah skor yang diperoleh menunjukkan rendahnya perselingkuhan.
Sebaran butir pernyataan Skala Perselingkuhan dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2
Distribusi butir Skala Perselingkuhan sebelum uij coba
Aspek Physical Affairs Emotional Affairs Jumlah
Nomor Butir Pernyataan
Favourable Unfavourable 5,7,12,13,16, 19,21,22,23,29, 32, 37,46,49 2,3,8,10,17,27, 28,31,33,35,40, 41,42,43,44,45,48 31 4,6,9,11,18,20, 26,30,34,36,47 1,14,15,24,25, 38,39,50 19 Jumlah 25 25 50
E. Validitas dan Reliabilitas