G. Mitos dalam Masyarakat Dayak
Masyarakat Dayak Ngaju mengenal adanya mitos tentang buaya, atau biasa mereka sebut dengan istilah firasat buaya. Seseorang yang mempunyai firasat buaya dipercaya untuk memiliki takdir untuk dimangsa buaya. Firasat buaya hanya dapat dideteksi pada saat
seseorang masih berusia balita, karena selepas usia balita firasat atau petanda tersebut akan hilang dengan sendirinya dan tidak dapat dinetralisir lagi.
Proses menetralisir firasat buaya adalah dengan cara menaburkan serbuk emas murni pada luka sayatan yang sengaja dibuat hingga mengelurkan darah pada dahi diantara kedua mata balita yang terdeteksi memiliki firasat buaya. Setelah itu barulah diadakan ritual pelengkap.
Dari keterangan diatas dapat dilihat betapa membuminya masyarakat Dayak, dan bagaimana kedekatan mereka dengan alam beserta mitos-mitosnya.
H. Pengalaman Personal terkait dengan Buaya
Disamping hal-hal tesebut, penulis memiliki kisah tersendiri yang berkaitan dengan hal-hal yang berbau buaya. Awal tahun 2003 penulis melakukan penelitian mengenai “ Pengambilan Keputusan dalam Memilih Metode Pengobatan” Penelitian dilakukan pada masyarakat Dayak Ngaju, yang tinggal di Desa Kasongan Baru, Katingan, Kalimantan Tengah, Indonesia. Saat melakukan penelitian, penulis menemui dan mewawancarai seorang Balian yang bernama Tambi Dawin atau nenek Dawin. Tambi Dawin saat itu berusia 70 tahun, yang mengisahkan pengalamannya bahwa sebelum ia mempunyai kemampuan untuk mengobati orang sakit, ia pernah hilang selama beberapa hari. Menurut pengakuannya, pada saat menghilang ia dibawa ke dalam air, dan kawin dengan seekor buaya putih, dan menghasilkan satu anak yang
berwujud buaya. Seorang tetangga Tambi Dawin yang mengetahui kejadian tersebut manambahakan keterangan dari pengalaman Tambi Dawin. Ketika Tambi Dawin diketahui menghilang , selang beberapa waktu Tambi Dawin ditemukan berada dipucuk pohon kelapa. Tambi Dawin yang tinggal di pinggir sungai, mengaku menjadi sangat kuat setiap kali bertemu dengan “suaminya” yang berwujud buaya putih yang tinggal di dasar sungai. Demikian kuatnya hingga ia mampu mengangkat sebatang pohon berdiameter 50 cm hanya seorang diri tanpa
mengalami kesulitan.
I. Antara Mitos dan Pengalaman
M. Haitami Dului seorang pelukis asli Suku Dayak dan hanya mengenyam pendidikan hingga kelas 5 SD, juga pernah melukis tentang buaya dan orang Dayak.
Figure 16. M Haitami Dului’s painting
Memperhatikan lukisan M. Haitami Dului di atas, terlihat usaha dua orang Dayak yang berusaha menangkap seekor buaya.. Ciri kedua orang Dayak tersebut dapat dikenali dari ikat kepala atau
lawung dan cawat yang mereka pakai. Orang pertama yang tidak mempunyai cacat tubuh, pandangan matanya memperlihatkan keterkejutan dan kekhawatiran karena salah satu kakinya berada di dalam mulut buaya. Sementara itu yang satu lagi, seorang yang buta sebelah
matanya memperlihatkan ekspresi kegembiraan karena berhasil menangkap buaya tersebut dengan mengunci ekor buaya yang menjadi salah satu senjata utama untuk melumpuhkan lawan atau menghindarkan diri dari musuh dengan cara mengibaskan ekornya. Si Buta berhasil mengunci buaya dengan menangkap bagian ekor buaya dengan kedua tangan dan kakinya sehingga membuat buaya tidak bisa melepaskan diri ataupun melakukan serangan dengan ekornya. Peristiwa penangkapan itu berlangsung di tengah hutan sebagaimana tampak dari pepohonan yang ada pada latar belakang lukisan itu.
Aktivitas penangkapan buaya yang hanya menggunakan tangan kosong tanpa senjata apapun, memperlihatkan bagaimana penaklukan terhadap binatang buas tersebut dilakukan tidak
dengan menggunakan senjata tajam yang digunakan untuk melukai buaya tersebut. Mereka menaklukan buaya tidak dengan kekerasan, dan tanpa menggunakan alat bantu teknologi yang dapat mengancam binatang buruan yang akan ditaklukan.
Bagi orang-orang yang hidup dekat dengan alam, serta kehidupannya tergantung dan ditopang oleh alam, ketika berhadapan dengan alam dan bertindak untuk memanfaatkan kekayaan alam, maka didalam tindakannya tidak akan mencelakakan dan memperlakukan alam secara
sewena-wena. Bahkan ketika berhadapan dengan binatang buas sekalipun, mereka akan menghadapinya dengan tangan kosong, tidak menggunakan senjata yang mampu mencederai atau bahkan membuatnya mati.
Tidak mengherankan juga , tatkala terjadi kekhawatiran seseorang kehidupannya dapat berada dibawah ancaman binatang buas (buaya), maka yang dilakukan adalah mengadakan ritus perdamaian agar terhindar dari kecelakaan yang dapat mencelakakan hidup seseorang. Sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Ngaju dalam ritual menetralisir firasat buaya. Disamping itu bisa juga terjadi relasi yang baik dengan binatang buas tersebut, yang dapat menghasilkan kekuatan tersendiri sehingga bisa menjadi bantuan untuk mengatasi kesulitan lain yang ditemui dalam hidup seseorang. Ini terbukti dengan pengalaman Tambi Dawin.
Berbagai mitos dan pengalaman sebagaimana nyata dan menjadi pengalaman kongkret, barangkali hanya menjadi kisah yang dianggap sebagai omong kosong bagi orang-orang yang sama sekali terpisah dari kehidupan orang-orang tersebut. Bahkan akan menjadi semakin berbahaya, ketika orang tidak bersedia untuk memahami dan menyelami kehidupan konkret dengan orang-orang yang hidup dekat dengan alam dan sangat tergantung pada alam. Dengan mengacu pada kebutuhan konsumsi yang terus meningkat , orang-orang yang tidak
memperhatikan keharmonisan hidup bersama dengan alam, menyaksikan kekayaan alam dengan berbagai kelimpahannya hanya akan melihat dari kacamata eksploitasi dan produksi pengolahan yang optimal, tanpa mempertimbangkan keseimbangan yang perlu dihidupi terus
menerus.
J. Realitas Perusakan Alam di Kalimantan Tengah
Proses eksploitasi terhadap alam dan perusakan serta pencemaran alam, telah berlangsung selama bertahun-tahun lamanya dan jika tidak ditumbuhkan kesadaran untuk mengembalikan pada tata keseimbangan dalam kehidupan bersama alam dengan seluruh ekosistemnya, yang terjadi adalah ancaman perusakan terus-menerus dalam skala besar yang tidak akan pernah terhenti.
Figure 17. Central Kalimantan nature resources which extinct due to human’s greediness
(Tjilik Riwut documentation)
Figure 18. grey orchid; it is one of Kalimantan flora resources
(Tjilik Riwut documentation)
Fakta berbicara bahwa ratusan tahun sebelum masuknya perusahaan tambang dan HPH ke Bumi Kalimantan, tidak pernah terjadi musibah kebakaran hutan seperti yang akhir-akhir ini banyak terjadi, bahkan seolah telah menjadi agenda rutin setiap tahunnya.
Ada kebijaksanaan hidup yang telah diwariskan turun-temurun dalam berhadapan dengan hutan. Hubungan masyarakat Dayak dengan hutan (alam) sangat erat, dan semuanya ada dalam sistem adat mereka. Bagi orang Dayak hutan, bumi, tanah, dan sungai serta lingkungan di mana mereka hidup merupakan Injam Tingang atau tempat pinjaman dari Ranying Hatalla
(Allah). Itulah sebabnya mereka harus senantiasa merawat bumi dengan baik. Contoh konkrit, ketika mereka akan membuka lahan perladangan, beberapa tahapan harus dipatuhi. Pertama, sebelum membuka lahan baru mereka harus menyampaikan maksud tersebut kepada kepala adat. Tahap selanjutnya mereka mengadakan musyawarah untuk mencari area yang tepat yang disebut rapat tanduk. Setelah rapat tanduk, kepala adat akan mengutus beberapa orang untuk mencari hutan yang cocok. Mereka akan tinggal di hutan-hutan untuk memperoleh petunjuk dengan jalan memberikan persembahan pada penguasa alam atau Ranying Hatala. Selain itu, usaha untuk mendapatkan petunjuk juga dibarengi dengan memeriksa hutan dan tanah yang cocok untuk berladang. Setelah menemukan lahan yang cocok, dilanjutkan dengan masa tebas tebang, lalu dibiarkan mengering selama 1-2 bulan yang disebut masa timbuk pambuk. Selama menunggu tebangan kering, waktu mereka isi dengan kegiatan mendulang emas, mencari rotan atau kegiatan lainnya. Kemudian mereka memasuki masa makal, yaitu masa membakar tebangan yang telah mengering.
Dalam melakukan pembakaran lahan, masyarakat setempat memiliki metode khusus. Lubang menyerupai parit dibuat mengelilingi area yang akan dijadikan lahan perladangan. Dalam dan lebarnya galian sesuaikan dengan kebutuhan. Pembuatan parit bertujuan sebagai tindak pengaman. Maksudnya akar, dedaunan, potongan kayu, rerumputan, gambut dan sebagainya yang ada didalam dan sekitar parit, disingkirkan sehingga pada saat melakukan pembakaran, api tidak dapat menyeberang dan mebakar lahan yang terletak dibersebelahan dengan lahan yang dibakar tsb.
Itulah sebabnya kebakaran hutan seperti yang sering terjadi saat ini dimasa yang lalu tidak pernah terjadi. Dalam budaya Dayak ada kebiasaan bahwa hutan yang diolah sebagai lahan perladangan hanya digunakan 2-3 kali panen, kemudian sebelum ditinggalkan ditanami dengan tanaman buah-buahan dengan maksud anak-cucu dapat menikmati hasilnya. Setelah 15-20 tahun baru lahan yang telah ditinggalkan tersebut dikerjakan kembali.
Suatu tindakan brutal bagi suku ini apabila mereka melakukan tindakan merusak lingkungan dengan serakah dan sewenang-wenang. Ranying Hatalla mengawasi sikap dan perbuatan mereka di Batang Danom Kalonen atau alam ini melalui para Sangiang.
Setelah masa Orde Baru di Indonesia dengan adanya Undang-Undang Pokok Kehutanan no.5 Tahun 1967, pemerintah mulai memberikan Hak-hak Penguasaan hutan (HPH) pada pemodal asing. Sedangkan masyarakat local lebih banyak menuai bencana dari dampak HPH tadi. Seperti kebakaran hutan, yang mengakibatkan kabut asap berkepanjangan, menyebabkan banyak warga setempat yang menderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut atau ISPA. Selain itu justru masyarakat Dayaklah yang sering dijadikan kambing hitam atas maraknya kebakaran hutan yang terjadi. Sedangkan keuntungan lebih banyak dinikmati oleh pemilik modal dan pemerintah pusat.
Dari data temuan Forest Watch Indonesia (2001) pemberian izin HPH besar-besaran ini, pada tahun 1994-1995 telah mencapai 62.543.370 hektar dimana 45% dari jumlah tersebut dikuasai oleh 10 kelompok usaha besar.
Situasi yang ada di Propinsi ini, dengan penduduk yang berjumlah 1,7 juta jiwa,memiliki 1,76 juta hektar hutan lindung atau sekitar 11,4% dari luas wilayah Propinsi tesebut. Serta memiliki 8,87 juta hektar hutan produsi atau sekitar 56,06% dari luar wilayah yang dibebani dengan 56 perusahaan pemegang HPH dengan luas 7.589 hektar (Agani, Asmawi, 2002:19-30).
Kondisi diatas menggambarkan betapa perubahan besar telah terjadi di bumi Kalimantan, yang secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan masyarakat Dayaklah yang menjadi korbannya.
Figure 19. The woods, the victim of human greediness
(Tjilik Riwut documentation)
Figure 20. Crane trucks in the hinterland area
(Tjilik Riwut documentation)
Figure 21. Kalimantan Tengah’s woods destruction (Tjilik Riwut documentation)
Figure 22. Woods and rivers are no longer the center of Dayaknese people circle of life (Pawaka DIY documentation)
Kondisi masyarakat Dayak di pedalaman Kalimantan saat ini sangat terjepit. Disatu sisi mereka merasa telah tersisih. Tidak lagi menjadi tuan rumah di rumah sendiri. Disisi lain eksistensi mereka diidentikkan dengan keterbelakangan, ketertinggalan, bahkan kaum perusak hutan. Sistem perladangan berpindah, kebakaran hutan, semakin memperkuat tudingan bahwa mereka adalah kaum perusak hutan.
Situasi demikian semakin dilengkapi dengan penghakiman tidak adil dimasa kolonial,
banyaknya peraturan yang sulit mereka pahami, tudingan, juga masuknya budaya baru dari luar, maka tidak mengherankan apabila pada akhirnya cultural shock mereka alami.
Authors’ team:
Nila Riwut and Mutia Hintan , S. Ant. Translator:
Yudith Mariaran Tresnowati, S pd Reference:
Anwar, Wahyudi K. Desentralisasi Pengelolaan sumber Daya Hutan : Jalan Berliku Yang Tak Juga Berujung, Biro Penerbitan Arupa, 2002
Florus, Paulus. Pemberdayaan Masyarakat, Institut of Dayakology Research, 1989 Hintan, Mutia. Pengambilan Keputusan Dalam Memilih Metode Pengobatan : Metode
Pengobatan Tradisionial dan Modern Dengan Studi Tentang Relasi Antara Masyarakat Dayak Ngaju, Skripsi Tidak Terbit, 2003
Mubyarto dkk. Desa-Desa Kalimantan : Studi Bina Desa Pedalaman Kalimantan Tengah, Penerbit Aditya Media, 1993
Riwut, Nila. Kamus Dayak Ngaju – Indonesia – English. Will be publish
Riwut, Tjilik. Maneser Panatau Tatu Hiang : Menyelami Kekayaan Leluhur, Penerbit Pusaka Lima, 2003
Ukur, Fridolin. Tantang Djawab Suku Dajak, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1971
Usop, kma m. Pemerian Morfologi Bahasa Dayak Ngaju, Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa, Universitas Palangka Raya, 1976
[1] Dayak Ngaju language morphological term, Page 170