• Tidak ada hasil yang ditemukan

ARRUM BUDI LEKSONO ABSTRACT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ARRUM BUDI LEKSONO ABSTRACT"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Wewenang Pengadilan Negeri Dalam Memutus Sah Atau Tidaknya Penetapan Tersangka Tindak Pidana Korupsi Menurut Pasal 77

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

ARRUM BUDI LEKSONO

ABSTRACT

Criminal Procedure regulated in Law Number 8 of 1981 on the Law of Criminal Procedure. In Law No. 8 of 1981 on the Criminal Code provisions that pretrial is regulated authority held by the District Court. The object of pretrial provided for in Article 77 of Law No. 8 of 1981 on Criminal Procedure which states that "the District Court is authorized to examine and decide in accordance with the provisions of this law on: a. The validity of the arrest, detention, investigation termination or cessation of prosecution; b. Compensation and rehabilitation for a criminal case that was stopped at the level of investigation or prosecution. If the starting point of these provisions, the object of pretrial not legal materials of the case. In addition, pretrial contained in the Criminal Procedure Code has the function just as examinating judge against forceful measures, if forceful measures than those stipulated in the Criminal Procedure Code, it is not the authority of the District Court to watch her. In connection with this, the researchers discovered the existence of a false indication that the application of Article Pretrial numbers in Decision 04 / Pid.Prap / 2015 / PN.Jkt.Sel. In the decision, the judge granted the request Sarpin Rizaldi determination of the Commissioner-General Budi Gunawan suspects. Commissioner General Budi Gunawan charged under the Corruption Eradication Commission on Article 12 (a) or (b), Article 5, paragraph (2), Article 11 or Article 12 (b) of Law No. 31 of 1999 in conjunction with Law No. 20 of 2001 on Corruption Eradication in conjunction with Article 55 paragraph (1) of the Criminal Justice Act. The method used is a normative juridical, using secondary data were analyzed qualitatively. The results showed that the Pretrial Decision 04 / Pid.Prap / 2015 / PN.Jkt.Sel determination on a petition against the alleged suspects Budi Gunawan contrary to the principle of legality that prohibits dilakukakan interpretation on the provisions of the Criminal Procedure Code because in it very limitedly or clear.

(2)

Hukum Acara Pidana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP diatur ketentuan bahwa praperadilan adalah wewenang yang dimiliki oleh Pengadilan Negeri. Adapun objek praperadilan diatur dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang menyebutkan bahwa “Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini tentang: Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Jika bertitik tolak dari ketentuan tersebut maka objek praperadilan bukan materi hukum dari perkara tersebut. Selain itu, praperadilan yang terdapat dalam KUHAP mempunyai fungsi hanya sebagai examinating judge terhadap upaya paksa, apabila upaya paksa selain yang diatur dalam KUHAP, maka bukan wewenang Pengadilan Negeri untuk mengawasinya. Sehubungan dengan hal tersebut, peneliti menemukan adanya suatu indikasi penerapan pasal yang keliru yaitu dalam Putusan Praperadilan nomor 04/Pid.Prap/ 2015/PN.Jkt.Sel. Dalam putusan tersebut, hakim Sarpin Rizaldi mengabulkan permohonan penetapan tersangka Komisaris Jendral Budi Gunawan. Komjen Budi Gunawan dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi atas Pasal 12 (a) atau (b), Pasal 5 ayat (2), Pasal 11, atau Pasal 12 (b) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan menggunakan data sekunder yang dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Putusan Praperadilan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel yang mengabulkan permohonan penetapan tersangka terhadap tersangka Budi Gunawan bertentangan dengan asas legalitas yang melarang dilakukakan penafsiran pada KUHAP karena ketentuan yang ada di dalamnya sangat limitatif atau jelas. Kata Kunci : Tipikor, Penyidik, Peradilan Pidana

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

(3)

Praperadilan merupakan wewenang dari Pengadilan Negeri untuk mengadili suatu perkara tentang keabsahan tindakan yang dilakukan penyidik dan penuntut umum kepada tersangka sebelum diajukan ke pengadilan. Dengan adanya lembaga praperadilan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP telah menciptakan mekanisme kontrol yang berfungsi sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap penegak hukum ketika menjalankan tugas peradilan pidana.1

Dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP diatur mengenai objek praperadilan yang menyebutkan sebagai berikut:

“Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini tentang:

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;

b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Selain itu, Loebby Loqman mengemukakan pendapat tentang definisi praperadilan adalah sebagai berikut:

“Praperadilan adalah lembaga yang mempunyai tugas untuk menjaga kedua kepentingan yang saling berhadapan, yakni polisi dan jaksa disatu pihak, hak-hak tersangka dan terdakwa dilain pihak. Perwujudan praperadilan dalam KUHAP memberikan pengaturan tentang hakim yang telah berperan aktif dalam fase pemeriksaan pendahuluan, akan tetapi terbatas hanya pada upaya paksa saja, yakni perihal keabsahan suatu penangkapan serta keabsahan penahanan yang juga disertai penetapan ganti rugi serta rehabilitasinya.”2

Objek praperadilan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP lahir karena pelaksanaan upaya paksa yang dilakukan penyidik maupun penuntut umum tidak mampu melindungi hak asasi manusia pada setiap tersangka/terdakwa, yang diduga melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, praperadilan dimaksudkan sebagai pengawasan horizontal oleh hakim Pengadilan Negeri terhadap pelaksanaan penyidikan dan penuntutan yang menyangkut upaya paksa.3

Aturan-aturan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP merupakan hukum pidana formil yang mengatur tentang tata cara beracara dalam proses peradilan sehingga tidak dapat ditafsirkan. Ganjar Laksamana Bonaprata mengemukakan “KUHAP sebagai hukum tentang tata acara yang berisikan tata cara

1 Loebby Loqman, Praperadilan di Indonesia, Jakarta, Penerbit Ghalia, 1987, hlm. 40-41. 2 Ibid,.

3 Darwan Prinst, Praperadilan Dan Perkembangan Di Dalam Praktek, Bandung, Penerbit PT. Citra

(4)

yang diperbolehkan menurut hukum, sehingga hal-hal yang tidak diatur didalamnya bukanlah tata cara/cara-cara yang diperbolehkan.”4

Jika bertitik tolak dari hal tersebut, maka tersangka yang mengajukan gugatan praperadilan terkait atas keabsahan kewenangan yang dilakukan oleh penyidik, dalam hal melakukan upaya penahanan, penangkapan, penyelidikan dan penuntutan. Pada dasarnya, dalam suatu perkara pidana, yang berwenang melakukan penyidikan adalah penyidik sebagaimana disebut dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.” Dari definisi penyidik dalam KUHAP di atas maka selain dari pejabat kepolisian penyidik juga dapat berasal pejabat pegawai negeri sipil (PNS) tertentu yang memang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Dalam tindak pidana korupsi, kewenangan melakukan penyidikan diberikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal tersebut diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu “Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.” Adapun tugas dari KPK diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;

d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Selain itu, KPK memiliki kewenangan yang diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yaitu “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf (c), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang:

a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

4 Gandjar Laksamana Bonaprata, Analisis atas Putusan Praperadilan BG, disampaikan pada

seminar tentang Dampak Putusan Praperadilan Budi Gunawan yang diselenggarakan oleh UPN Veteran Jakarta, 1 April 2015, hlm. 3.

(5)

b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau

c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Kewenangan KPK sebagai penyidik juga diatur dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu:

1. Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

2. Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama Komisi Pemberantasan Korupsi.

3. Penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi, diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dalam hubungan dengan ketentuan yang telah diuraikan, peneliti membahas suatu kasus tentang praperadilan. Pada tanggal 13 (tiga belas) Februari 2015 di Pengadilan Jakarta Selatan digelar sidang praperadilan selama 7 (tujuh) hari atas pemohon Budi Gunawan (BG) dan termohon Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).5 Pada tanggal 13

(tiga belas) Januari 2015 KPK mengumumkan penetapan BG sebagai tersangka. BG ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi atas transaksi mencurigakan.6 KPK menjerat BG dengan Pasal 12 (a) atau (b), Pasal 5 ayat (2), Pasal 11, atau Pasal 12 (b) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP.7

Pada tanggal 16 (enam belas) Februari 2015, hakim Sarpin Rizaldi melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan bahwa penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan oleh KPK tidak sah secara hukum. Hal tersebut dituangkan dalam putusan Nomor.04/Pid.Prap/ 2015/PN.Jkt.Sel Adapun isi putusan tersebut adalah:

1. Mengabulkan gugatan pemohon terkait penetapan tersangka. 2. Menyatakan sprindik KPK tidak sah.

3. Menyatakan penet\apan tersangka tidak sah.

5 Linda Trianita, Kronologi Penetapan Budi Gunawan Sebagai Tersangka, http://www. tempo.co

/read /news/, diakses pada tanggal 16 Maret 2015.

6 Ibid,. 7 Ibid,.

(6)

4. Menyatakan segala keputusan atau penetapan KPK lebih lanjut terkait penetapan tersangka pemohon tidak sah.8

Adapun yang menjadi dasar pertimbangan dari dikabulkannya permohonan pemohon Budi Gunawan adalah termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi terhadap pemohon yang akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Bahwa berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang KPK, termohon mempunyai wewenang dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang:

a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.

b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan;

c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,- (satu milyar Rupiah).

2. Bahwa dalam perkara ini, pemohon ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana yang dilakukan pada saat pemohon menjabat sebagai Karobinkar (Kepala Biro Pembinaan Karir), yang merupakan jabatan administratif dengan golongan eselon II.9

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, peneliti

menetapkan pokok permasalahan sebagai berikut :

Apakah jabatan Kepala Biro Pembinaan Karir (Karobinkar) yang diduduki oleh Komjen Budi Gunawan pada waktu ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK adalah suatu jabatan yang termasuk penyelenggara negara dan penegak hukum?

3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

a. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan memiliki tujuan untuk mengetahui dan menyelesaikan permasalahan jabatan Kepala Biro Pembinaan Karir (Karobinkar) yang diduduki oleh Komjen Budi Gunawan pada waktu ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi adalah termasuk penyelenggara negara dan penegak hukum.

b. Kegunaan Penelitian

8 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Putusan Praperadilan Nomor 04/Pid.Prap /2015 /PN. Jkt.Sel.,

hlm. 223-242.

(7)

Penelitian ini dilakukan dengan maksud memiliki kegunaan teoritis dan kegunaan praktis. Adapun kegunaan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

1) Kegunaan Teoritis

Penelitian ini dilakukan dengan harapan akan memiliki kegunaan untuk dapat mengembangkan ilmu hukum khususnya Hukum Acara Pidana.

2) Kegunaan Praktis

Penelitian ini dilakukan dengan mempunyai kegunaan secara praktis yaitu untuk menghasilkan bahan masukan yang dapat disampaikan kepada lembaga-lembaga negara, hakim serta penegak hukum. Selain itu dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memutuskan perihal permohonan penetapan tersangka dalam praperadilan.\

B. LITERATURE REVIEW

1. Kerangka Teoritis

a. Asas Legalitas

Arief Sidharta, mengemukakan tentang asas legalitas yaitu sebagai berikut: “Dalam hukum pidana itu berlaku asas legalitas, yang bisa mengikat orang itu hanya yang tercantum dalam Undang-Undang. Juga dalam hukum acara pidana sebagai hukum prosedural yang mengatur tentang bagaimana hukum pidana materil dilaksanakan, itu tidak dapat disimpangi dan harus diberlakukan secara ketat. Oleh karena itu interpretasi yang dapat digunakan untuk menafsirkan pasal sangat terbatas. Hanya dapat dilakukan secara gramatikal dan sistematis. Dalam hukum acara sama sekali tidak dapat dilakukan penafsiran, karena ketentuan yang ada di dalamnya sangat limitatif atau jelas. Dalam hukum pidana sendiri pun penafsiran dibatasi, hanya penafsiran ekstensif saja yang dapat dilakukan. Metode penafsiran analogis dan juga pengkonstruksian hukum itu tidak diperkenankan dalam hukum pidana.” 10

Demikian pula Andi Hamzah berpendapat sama mengenai asas legalitas yaitu: “Asas legalitas yang terdapat di dalam KUHAP berlainan dengan asas legalitas dalam hukum pidana materil, didalam KUHAP asas legalitas mengandung arti bahwa hukum acara pidana dijalankan hanya berdasarkan cara yang diatur oleh undang-undang. Jadi tidak boleh peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang (dalam arti formil) memuat peraturan acara pidana.” 11

b. Teori Kewenangan

Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari kekuasaan

10 Charlie Albajili dan Lintang Setianti, http://www.sorgemagz.com, , Arief Sidhar- ta: “Sarpin

Salah Mengartikan Pendapat Saya”, diakses pada tanggal 9 April 2015.

11 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Pertama, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika,

(8)

eksekutif/administratif.12 Dalam kewenangan yang diberikan tersebut terdapat wewenang-wewenang.13 Secara teori, kewenangan yang bersumber dari peraturan

perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara, yaitu: atribusi, delegasi, sub delegasi dan mandat.

2. Kerangka Konsep

Ruang lingkup praperadilan adalah berada dalam lingkungan peradilan umum. Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP yaitu “Undang-Undang ini berlaku untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkup peradilan umum pada semua tingkat peradilan.” Sedangkan pengertian tentang Peradilan Umum diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang mengatakan “Peradilan Umum adalah adalah salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya.”

C. METODOLOGI PENELITIAN 1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah suatu penelitian yang memiliki objek kajian berupa norma-noma hukum sebagai produk manusia.14 Penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan data sekunder yang sudah di dokumentasikan sehingga merupakan data yang sudah siap pakai.15

2. Metode Pengumpulan Data

Didalam penelitian ini menggunakan data skunderPenelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan membaca literatur, buku-buku, peraturan perundang-undangan yang terkait, hasil penelitian (skripsi, tesis dan disertasi) yang berhubungan dengan rumusan masalah dalam penelitian ini. Data skunder ini meliputi:

1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat, yang terdiri terdiri dari:

a) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman.

b) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.

c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

d) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

12 Wiratno, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Penerbit Universitas Trisakti, 2009, hlm. 63. 13 Ibid,.

14 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Jakarta,

Penerbit PT Raja Grafindo Persada, 1985, hlm. 43.

15 Hotma P. Sibuea dan Heryberthus Sukartono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Penerbit

(9)

e) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

f) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. g) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Praperadilan Nomor

04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.

2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang meliputi literatur/buku-buku, hasil penelitian hukum dan tulisan ilmiah dari kalangan hukum yang berkaitan dengan judul skripsi.

3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer dan sekunder, misalnya Black’s Law Dictionary, Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Bahasa Inggris.

3. Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode analis data dengan menggunakan metode penafsiran. Metode penafsiran adalah argumentasi yang membenarkan formulasi (rumusan) suatu peraturan. Beberapa metode penafsiran yaitu metode penafsiran gramatikal, teologis atau sosiologis, sistematis, historis, komparatif dan futuristis. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penafsiran gramatikal merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna dan ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya.16

4. Metode Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus (case

approach) dan pendekatan undang-undang (statute approach). Pendekatan kasus atau case approach adalah suatu pendekatan dalam penelitian yuridis normatif yang

bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek hukum.17 Sedangkan statute approach atau pendekatan perundang-undangan adalah suatu pendekatan dalam penelitian yuridis normatif yang akan menggunakan sebagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.18

D. HASIL

Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) adalah institusi kepolisian nasional di Indonesia yang diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyebutkan “Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan

16 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta, Penerbit Liberty,

1989, hlm. 154.

17 Johnny Ibrahim, Teori & Metode Peneltian Hukum Normatif, Malang, Penerbit Bayu Media,

2005, hlm. 303

(10)

lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu, kedudukan POLRI diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden”. Jika bertitik tolak dari ketentuan tersebut, maka polisi adalah sebagai pengemban tugas Presiden. Dengan demikian dapat diartikan bahwa Presiden sebagai pemegang kuasa pemerintahan eksekutif mendelegasikan sebagaian kekuasaannya kepada Polri dibidang pemeliharaan ketertiban masyarakat”.19 Sebagai pemgemban tugas eksekutif yang menjalankan perintah langsung dari Presiden, maka anggota polri dapat dikategorikan sebagai penyelenggara negara.

Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai penyelenggara negara juga terlihat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Pegawai Negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia”. Sebagai pengawai negeri, Polisi memiliki fungsi-fungsi yang sama dengan pegawai negeri lainnya. Adapun fungsi pegawai negeri tersebut disajikan oleh Rozalli Abdullah yaitu sebagai sebagai aparatur negara, sebagai abdi negara, sebagai abdi masyarakat, menyelenggarakan tugas pemerintahan, menyelenggarakan tugas pembangunan.20

Berdasarkan fungsi pegawai negeri tersebut, maka dapat dicermati bahwa fungsi-fungsi pegawai negeri sama dengan pengertian dari penyelenggara Negara. Penyelenggara Negara terdiri dari dua kata, Penyelenggara dan Negara. Kata penyelenggara berasal dari kata selenggara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ditemukan kata selenggara yang memiliki makna yaitu “Mengurus dan mengusahakan sesuatu, melakukan atau melaksanakan perintah undang-undang, rancangan, rencana dan sebagainya.”21 Dengan demikian penyelenggara bermakna sebagai orang yang melakukan sesuatu, mengusahakan sesuatu, melakukan atau melaksanakan perintah undang-undang, rancangan tersebut. Selain itu kata Negara ditemukan juga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang memiliki makna yaitu “Organisasi disuatu wilayah yang mempunyai kekuasaan yang sah dan diikuti oleh rakyatnya, yang keberadaan pendiriannya telah diakui secara internasional.”22 Dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa

penyelenggara Negara adalah orang yang menyelenggarakan, atau melakukan tugas dan urusan dari suatu Negara. Dengan demikian penyelenggara negara dapat disebut juga sebagai aparatur Negara yaitu alat negara.

Sehubungan dengan hal tersebut, Ridwan HR mengemukakan pendapat yang sama bahwa jabatan Budi Gunawan masuk dalam kualifikasi pejabat publik, sehingga masuk kategori penyelenggara negara”.23 Pejabat publik adalah orang yang ditunjuk dan diberi

tugas untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu pada badan publik. Sementara, yang

19 Ferdinan Waskita, Kapolri Sutarman Tolak Polri Berada Dibawah Kementrian, http:

//www.tribunnews.com/, diakses pada tanggal 26 Oktober 2015.

20 Rozali Abdullah, Hukum Kepegawaian, Cetakan Pertama, Jakarta, Penerbit CV. Rajawali, 1986,

hlm. 18.

21 Team Pustaka Phoenix (Sri Wahyuni,Hery Azwan,Haryo Daniel dan Marwanto), Kamus Besar

Bahasa Indonesia, Jakarta, Penerbit Pustaka Phoenix, 2007, hlm. 786.

22 Ibid., hlm. 599.

23 Singgih Soares, Pakar: Budi Gunawan Termasuk Penegak Hukum Dan Pejabat Negara,

(11)

dimaksud badan publik sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik menyebutkan sebagai berikut:

“Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi non pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.”

Dengan demikian, jika bertitik tolak dari putusan hakim Sarpin Rizaldi Nomor 04/Pid.Prap/2015 /PN.Jkt, peneliti mengemukakan isi pertimbangan yang dikemukakan hakim sarpin Rizaldi kurang tepat. Dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Peyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme yang menyebutkan “Penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa polisi berada di bawah Presiden dan oleh karena itu secara langsung merupakan lembaga eksekutif, maka dengan demikian polisi dapat dikategorikan sebagai penyelenggara negara.

Selain jabatan-jabatan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, ketentuan mengenai penyelenggara Negara juga diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberatasan Korupsi. Berdasarkan intruksi tersebut, maka Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN) menerbitkan Surat Edaran Nomor: SE/03/M.PAN/01/2005 tentang Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara Tentang Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), yang mewajibkan jabatan-jabatan selain yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, untuk melaporkan hasil kekayaannya. Jabatan-jabatan tersebut yaitu:

a. Pejabat Eselon II dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan instansi pemerintah dan atau lembaga negara;

b. Semua Kepala Kantor di lingkungan Departemen Keuangan; c. Pemeriksa Bea dan Cukai;

d. Pemeriksa Pajak; e. Auditor;

f. Pejabat yang mengeluarkan perijinan;

g. Pejabat/Kepala Unit Pelayanan Masyarakat; dan h. Pejabat pembuat regulasi.

(12)

Dari ketentuan tersebut, dijelaskan bahwa jabatan eselon II dimasukkan sebagai salah satu penyelenggara negara yang memiliki wewenang dan kewajiban yang sama dengan penyelenggara lainnya. Oleh karena itu jabatan Karobinkar yang diduduki oleh Budi Gunawan yang setingkat dengan Eselon II adalah salah satu jabatan penyelenggara negara.

Selain sebagai penyelenggara negara, berdasarkan statusnya sebagai anggota Polri, Budi Gunawan juga disebut sebagai penegak hukum. Fungsi polisi sebagai penegak hukum juga ditegaskan dalam Ketetapan MPR Nomor VI/2000 dan Ketetapan MPR Nomor VII/2000, bahwa salah satu tugas pokok Kepolisian adalah menegakkan hukum. Dengan demikian, pertimbangan hukum hakim sarpin Rizaldi menurut peneliti sangat keliru dengan menyatakan bahwa Komjen Budi Gunawan bukanlah seorang penegak hukum. Dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia sangat jelas dinyatakan bahwa Polisi merupakan penegak hukum. Dalam doktin hukum dikenal adanya tiga pilar penegak hukum, yaitu polisi, jaksa dan hakim.24 Ketiga profesi itulah yang berfungsi sebagai aparatur negara yang diberikan tugas khusus untuk menegakkan hukum.25 Hal ini ditegaskan dalam berbagai dokumen hukum negara. Doktrin ini dapat temukan dalam dalam Pasal 30 ayat 4 UUD 1945 bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.”26

Sehubungan dengan hal tersebut, Momo Kelana mengemukakan pendapat bahwa: “Semua polisi merupakan penegak hukum. Penegak hukum itu terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, hakim, dan advokat. Dengan demikian tidak ada istilah advokat administrasi, begitu juga dengan jaksa, polisi, dan hakim. Polri memiliki peranan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranyanya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.”27

Selain itu, Sidharta juga mengemukakan pendapat yang akan dijelaskan sebagai berikut:

“Saat seseorang dilantik sebagai anggota polisi, orang itu berprofesi sebagai polisi dan profesi polisi itu adalah penegak hukum. Meskipun dia diposisikan lebih kepada administarif, dia tetap penegak hukum karena profesi polisinya tidak dia tanggalkan. Misalnya saja, seorang polisi lalu-lintas (Polantas) yang ditugaskan untuk menangani administrasi di Samsat. Polantas tersebut tetap penegak hukum.”28

24 Oce Madril, Putusan Sesat Praperadilan, Peneneliti PUKAT FH UGM, http://pukatkorupsi

ugm.ac.id/, diakses pada tanggal 1 November 2015.

25 Ibid,.

26 Satjipto Raharjo, Polisi Sipil Dalam Perubahan Masyarakat Di Indonesia, Jakarta, Penerbit

Kompas, 2008, hlm. 35.

27 Momo Kelana, Hukum Kepolisian (Perkembangan Hukum Kepolisian Di Indonesia) Suatu Studi

Historatif Komparatif, Edisi Ketiga, Cetakan Keempat, Jakarta, Penerbit Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, hlm 42.

28 Nov, Profesi Polisi Adalah Aparat Penegak Hukum, http://www.hukumonline.com/berita, diakses

(13)

Dengan demikian, jabatan Kepala Biro Pembinaan Karir yang diduduki Budi Gunawan selaku polisi tetap melekat. Sesuai Pasal 2 UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pasal 3 dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian juga menyebutkan Polri bertujuan mewujudkan tegaknya hukum. Oleh karena itu, apapun jabatan yang disandang anggota polisi, tetap saja profesi mereka sebagai polisi yang merupakan aparat penegak hukum.

E. KESIMPULAN

Berdasarkan analisis masalah yang telah peneliti kemukakan pada bagian terdahulu, maka peneliti mengambil suatu kesimpulan bahwa jabatan Kepala Biro Pembinaan Karier (Karobinkar) yang diduduki oleh Komjen Budi Gunawan pada saat ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, termasuk salah satu jabatan penyelenggara negara dan penegak hukum. Adapun dasar untuk menguatkan pernyataan tersebut bahwa kepolisian merupakan lembaga eksekutif yang berfunsgsi dalam menyelenggarakan kepentingan umum (public servant), dengan demikian setiap anggota polisi dapat dikategorikan sebagai penyelenggara negara. Selain itu, lembaga Kepolisian diberikan wewenang oleh undang-undang sebagai penyelidik dan penyidik perkara tindak pidana, berdasarkan fungsi tersebut maka Polisi disebut sebagai penegak hukum.

F. DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Pertama, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, 2008.

Darwan Prinst, Praperadilan Dan Perkembangan Di Dalam Praktek, Bandung, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 1993.

Gandjar Laksamana Bonaprata, Analisis atas Putusan Praperadilan BG, disampaikan pada seminar tentang Dampak Putusan Praperadilan Budi Gunawan yang diselenggarakan oleh UPN Veteran Jakarta, 1 April 2015.

Hotma P. Sibuea dan Heryberthus Sukartono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Penerbit Krakatauw Book, 2009.

Johnny Ibrahim, Teori & Metode Peneltian Hukum Normatif, Malang, Penerbit Bayu Media, 2005.

Loebby Loqman, Praperadilan di Indonesia, Jakarta, Penerbit Ghalia, 1987, hlm. 40-41. Momo Kelana, Hukum Kepolisian (Perkembangan Hukum Kepolisian Di Indonesia)

Suatu Studi Historatif Komparatif, Edisi Ketiga, Cetakan Keempat, Jakarta, Penerbit Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.

Rozali Abdullah, Hukum Kepegawaian, Cetakan Pertama, Jakarta, Penerbit CV. Rajawali, 1986.

Team Pustaka Phoenix (Sri Wahyuni,Hery Azwan,Haryo Daniel dan Marwanto), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Penerbit Pustaka Phoenix, 2007.

(14)

Satjipto Raharjo, Polisi Sipil Dalam Perubahan Masyarakat Di Indonesia, Jakarta, Penerbit Kompas, 2008, hlm. 35.

Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Jakarta, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, 1985.

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta, Penerbit Liberty, 1989, hlm. 154.

Wiratno, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Penerbit Universitas Trisakti, 2009, hlm.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Borshchev & Filippov (2004) Agent Based Model (ABM) adalah suatu metode yang digunakan untuk eksperimen dengan melihat pendekatan dari bawah ke atas (

Hasil penelitian ini dimana peran orang tua (ibu) yang mayoritas ibu dari anak dengan perkembangan sosial baik sudah mampu memberikan perhatian dan kasih sayang

Tanaman sawit dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang memiliki kemasaman (pH) 5-6 tidak lebih tinggi dari 7 serta tidak lebih rendah dari 4, paling tidak pada kedalaman 1

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Res2Dinv dengan hasil berupa gambar tampang lintang resistivitas model bawah permukaan 2D yang digunakan untuk

Analisis Koreografi Tari Pakarena Ma’lino Produksi Lembaga Kesenian Batara Gowa Di Makassar, Skripsi Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar (UNM). Penelitian

Riana Lutfitasari / A210120041, Pengaruh Kompetensi Akuntansi dan Pengalaman Praktik Kerja Industri Terhadap Kesiapan Kerja Siswa Kelas XI Program Keahlian Akuntansi SMK

Ayat di atas mengharamkan dua hal sekaligus: (a) zina; dan (b) segala perilaku yang mendekati perbuatan zina termasuk di antaranya adalah berduaan antara dua lawan

Dengan adanya sistem yang dibuat dapat memudahkan pasien dalam melakukan proses pendaftaran tanpa harus datang langsung ke klinik serta dapat memudahkan pihak