• Tidak ada hasil yang ditemukan

(distribution losses). Beberapa batasan efisiensi yang diternukan, rnisalnya Suprojo /I9971 yang rneninjau dari sisi pandang teknis dan teleologis,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "(distribution losses). Beberapa batasan efisiensi yang diternukan, rnisalnya Suprojo /I9971 yang rneninjau dari sisi pandang teknis dan teleologis,"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Ill. TINJAUAN PUSTAKA

Budaya hernat air irigasi seyogyanya disosialisasikan secara kolektif dan terorganisir kepada semua pengguna air yaitu, petani dan pengguna lain seperti, kepentingan dornestik, industri, dan pemerintah. Pengelolaan air terkait dengan aspek kebijakan, koordinasi antar pelaku terkait, perizinan dan aspek nilai (va/ues). Oleh karena itu, guna rnenunjang pengelolaan sumberdaya air dan irigasi yang efisien, diperlukan adanya keterpaduan dengan sistem koordinasi yang efektif antar instansi dan lembaga terkait.

Untuk lebih mernahami perrnasalahan dan makna dari sistem kelernbagaan tata air irigasi, dalarn hubungan ini dilakukan telaahan terhadap beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan khususnya, rnengenai kelernbagaan tata air irigasi. Telaahan pustaka dalarn bagian ini terdiri atas ernpat bagian yang diklasifikasikan sebagai berikut: ( 1 ) pengertian efisiensi pemakaian air,

( 2 )

kebijaksanaan P3A, (3) aspek teknis dan pengelolaan, dan (4) aspek kultural.

3.1. Pengertian Efisiensi Pemakaian Air

Dalarn upaya meningkatkan efisiensi pernanfaatan air irigasi. yang seyogyanya rnenjadi perhatian adalah kehilangan selarna proses penyaluran (distribution losses). Beberapa batasan efisiensi yang diternukan, rnisalnya Suprojo /I9971 yang rneninjau dari sisi pandang teknis dan teleologis, manyatakan b a h w a efisiensi irigasi adalah nisbah antara air yang keluar dengan air yang masuk. Sementara Kusnadi

(7997)

rnenyatakan efisiensi irigasi adalah perbandingan antara jumlah air yang diberikan dikurangi kehilangan air dengan jumlah air yang diberikan. Sesuai dengan kornponen teknis irigasi yang rnelibatkan kegiatan penyaluran air dari sumber k e petakan s a w a h serta

(2)

penggunaan di petakan sawah, maka Sufyandi

179971

membagi beberapa jenis efisiensi. yaitu: efisiensi distribusi, efisiensi aplikasi, dan efisiensi proyek. Sementara Watanabe (1992) lebih rnernfokuskan kepada penggunaan akhirnya, yaitu penggunaan oleh tanarnan i t u sendiri. Dengan demikian, batasan efisiensi aplikasi rnerupakan perbandingan jumlah air yang diperlukan tanaman dengan jumlah air yang diberikan ke petakan sawah.

Efisiensi secara ekonomis dapat terjadi bila marginal cost dari pekerjaan 0 & P dan jumlah (nilail air yang dikelola akan sama dengan marginal benefit dari hasil langsung penggunaan air yang dihasilkan dari pekerjaan 0 & P jaringan irigasinya. Meningkatkan efisiensi dapat terjadi dalam dua hal, pertarna; mengurangi kehilangan yang disebabkan oleh aspek teknis selarna penyaluran, yang dapat berupa kebocoran saluran, perkolasi, atau evaporasi selama pengaliran air di saluran. Kedua; meningkatkan efisiensi dalam penggunaan air d i sawah, karena disinyalir selarna ini b a h w a petani telah menggunakan air di atas kebutuhan fisiologis tanaman i t u sendiri (PSI-UNAND,

7997).

Lebih lanjut, Majan

(7997)

mengklasifikasikan pengertian dari jenis-jenis efisiensi yaitu, efisiensi teknis, efisiensi ekonomis, dan efisiensi lokal. Efisiensi teknis dapat dinyatakan dengan banyaknya air yang dibutuhkan tanarnan dibagi dengan banyaknya air yang disalurkan kedalam intake saluran. Efisiensi ekonomis, berkaitan dengan irnbangan antara keluaran dan masukan atau irnbangan antara hasil yang diperoleh dengan korbanan yang dikeluarkan. Efisiensi sosial, menyangkut dengan kepuasan masyarakat, artinya apakah hak- hak dan kewajiban masing-masing sudah dipenuhi secara adi[.

(3)

3.2.

Kebijaksanaan Organisasi P3A

Kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah dalam bentuk produk h u k u m t a m p a k sudah cukup banyak yang secara garis besar m e m u a t tentang perlindungan sumberdaya air dan pengaturan pemanfaatannya. Produk h u k u m tertinggi dalam ha1 ini adalah Undang-Undang

No.

7 7 tahun 7974 tentang pengairan yang menyebutkan b a h w a negara berwenang dalam tata penggunaan air dan sumberdaya air lainnya baik pemanfaatan maupun perlindungannya. Lebih jauh peraturan ini didukung oleh Peraturan Pemerintah No.22 tahun 7982 yang m e m u a t kebijaksanaan u n t u k mengatur pembinaan, penguasaan, pengelolaan, pengusahaan, dan pengawasannya.

Pada tingkat paling rendah, Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) adalah institusi fungsional yang perlu mendapat perhatian. Dalam Peraturan Pemerintah No.23 rahun 7982 disebutkan b a h w a Pemerintah Daerah diharapkan membantu perkembangan lembaga petani ini. lnstruksi Presiden N o . 2 t a h u n 1984 menugaskan kepada Departemen dalam Negeri, Departemen PU dan Departemen Pertanian. Ketiga departemen tersebut secara terpadu membina P 3 A agar bisa berjalan efektif dan efisien. Kebijakan ini ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait tersebut, misalnya dengan dikeluarkannya Peraturan Mendagri No. 72 tahun 7992 tentang pembentukan d a n pembinaan P3A. Peraturan lain yang bersifat mendukung pengembangan P 3 A adalah misalnya Peraruran Pemerintah No. 74 tahun 7987 tentang desentralisasi, di mana Pemda Tingkat I, Pemda Tingkat 11, dan masyarakat diberi w e w e n a n g untuk menangani urusan keirigasian sesuai bidang tugas masing-masing.

Dalam Undang-Undang

No.

7 7 tahun 7974 ada tiga golongan penggunaan air, yaitu: ( 1 ) secara langsung memenuhi kebutuhan hidup, (2) air sebagai sarana produksi u n t u k kehidupan, dan (3) air sebagai sarana peningkatan taraf hidup manusia. Ketentuan inilah y a n g kemudian diartikan

(4)

menjadi urutan prioritas pemakaian air, yaitu prioritas pertama untuk mernenuhi kepentingan domestik (air minurn, rumah tangga), kedua untuk kepentingan pertanian, dan terakhir adalah untuk memenuhi kebutuhan industri.

Meskipun demikian peraturan ini perlu penjabaran lebih lanjut karena prioritas penggunaan tersebut perlu dibedakan menurut aspek ruang dan w a k t u , serta aspek historik. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerinrah No.22 tahun 1 9 8 2 pasal 13 ayat 2 yang menyatakan b a h w a urutan prioritas disesuaikan dengan keperluan rnasyarakat pada setiap tempat dan keadaan. Fleksibilitas seperti ini dari satu sisi dapat dianggap sebagai peluang guna pemanfaatan sumberdaya air yang paling optimal, narnun sebaliknya juga dapat bernilai negatif karena akan memancing timbulnya konflik penggunaan.

Jaringan irigasi di tingkat petani, secara khusus diatur melalui lnstruksi Presiden No.2 tahun 7984 tentang pedoman pelaksanaan P3A. Munawir ( 7 9 9 7 ) menyatakan bahwa hingga tahun 1 9 8 9 terdapat 21 ribu P3A yang telah dibentuk, namun pada kenyataannya sekitar 1 0 persen P 3 A yang berjalan baik. Beberapa kelemahan yang dirniliki P 3 A antara lain: ( 1 ) rendahnya rasa memiliki dari anggota terhadap organisasi P3A. (2) ketidakrnampuan pengurus dari segi ketrampilan teknis dan kepemimpinan, (3) petani anggota yang berstatus penggarap, dan (4) petani anggota belum rnerasakan manfaat yang diberikan oleh P3A.

Dalam upaya peningkatan kinerja P3A, Soenarno ( 7 9 9 5 ) menyarankan suatu pendekatan teknis administrasi, sedangkan Munandar (19951 mengusulkan pendekatan sosiologis, y a i t u mulai dari tahapan inisiasi, akselerasi, pematangan sampai pemantapan. Dalarn langkah operasional, kedua pendekatan ini seyogyanya berjalan simultan dan bersifat saling melengkapi.

(5)

Hasil penelitian aksi pengembangan usaha ekonomj P 3 A yang dilakukan oleh Kuswanto (7997) d i Kabupaten Nganjuk mengungkapkan b a h w a faktor kemampuan kewiraswastaan pengurus P 3 A d a n kredibilitasnya dimata anggota sangat menentukan keberhasilan merintis d a n mengembangkan usaha ekonomi. Keterkaitan petani sebagai anggota P 3 A dapat dimanfaatkan u n t u k mendukung keberhasilan usaha ekonomi, sebagai efisiensi usaha dapat ditingkatkan melalui pernanfaatan tenaga pengurus P 3 A secara optimal dalam pengelolaan usaha. Lebih lanjut diungkapkan b a h w a beberapa peubah yang penting dipertimbangkan adalah tingkat keswadayaan ekonomi P3A. potensi dan peluang ekonomi yang terbuka serta kemampuan kewiraswastaan pengurus.

Ha[ ini mengindikasikan b a h w a upaya menurnbuhkan kewiraswastaan d i kalangan pengurus P3A, harus diiringi dengan mernbantu meningkatkan akses k e sumber modal dan pemasaran serta pengembangan kernampuan manajemen usaha P 3 A guna mendorong P 3 A dalam menjalankan fungsi ekonomi. Pemikiran ini sejalan dengan Sutawan (7997) y a n g menyarankan langkah- langkah strategis u n t u k mengembangkan P 3 A agar m a r n p u berperan dalam usaha pengelola agribisnis yaitu: pendidikan dan latihan mengenai manajemen agribisnis, keuangan, pembukuan, kewirausahaan d a n pembentukan P 3 A gabungan berdasarkan prinsip hidrologis, serta adanya kewenangan bagi P 3 A u n t u k mengatur pembagian air pada tingkat jaringan y a n g lebih luas.

3.3. Aspek Teknis d a n Pengelotaan

Secara garis besar Kurnia (79951, mengungkapkan ada tiga kategori kehilangan air yaitu: ( 1 ) kehilangan air yang melekat dengan aplikasi teknologi irigasi (seperti penggunaan saluran terbuka), (2) kehilangan yang semestinyal aktual (seperti evaporasi, evapotranspirasi, dan perkolasi), d a n (3) kehilangan

(6)

air y a n g disebabkan oleh tidak efisiennya pengelolaan. Dengan demikian, aspek pengelolaan dalarn proses penyaluran perlu rnernperhatikan dua bagian utarna yaitu distribusi air dan alokasi air.

Sesuai dengan pendapat Kusnadi (79951 yang m e m b a g i dua kornponen kernungkinan kehilangan air yaitu kehilangan selama proses penyaluran (distribution losses) d a n kehilangan selarna proses aplikasi (field application losses), maka inovasi teknis irigasi juga dapat diarahkan kepada kedua ha1 tersebut. Menurut Pusposutardjo (19951, efisiensi di saluran tergantung kepada rancang bangun dan konstruksi serta cara pengelolaannya. Menurut perhitungannya rataan kehilangan air di saluran sekitar 12 persen. Kehilangan dapat ditekan selain melalui perbaikan t a t a bangunan juga rnelalui rnenajernen d i p i n t u air. Namun demikian, t e m u a n hasil penelitian ini tidak rnenginforrnasikan secara jelas rnengenai t i n g k a t efisiensi untuk berbagai saluran irigasi, seperti saluran primer, sekunder dan saluran tersier.

Hasil-hasil penelitian tentang efisiensi cukup banyak dilakukan, rnisalnya, Kurnia ( 7 9 9 5 ) dan Sunarno 17995) menyatakan b a h w a efisiensi penggunaan air irigasi secara total di Indonesia adalah 40-60 persen. Apabila dibedakan rnenurut jenis irigasinya, rnaka efisiensi LEPA ( L o w Energy Precision Application) adalah yang paling tinggi yaitu 9 0 - 9 5 persen, diikuti irigasi drip

( 8 0 - g o % ) , dan yang paling rendah adalah irigasi gravitasi ( 4 0 - 6 0 % ) .

Setiap jenis saluran memiliki karakteristik tersendiri sehingga tingkat kehilangan air selarna dalarn saluran tersebut juga berbeda-beda. Menurut Kurnia (79951, efisiensi di saluran primer dan tersier lebih kecil dibandingkan d i saluran sekunder, yaitu 7 9 persen, 7 7 - 8 1 persen d a n 87 persen. Sementara Pusposutardjo ( 7 9 9 5 ) rnenyatakan b a h w a kehilangan air d i saluran irigasi dengan panjang jarak 5 0 0 0 meter adalah 1 9 . 6 persen atau tingkat efisiensi 8 0 , 4 persen. Ditjen Pengairan 17989) rnendapatkan angka yang tidak jauh

(7)

berbeda, dimana kehilangan air d i saluran adalah

7,5-12,5

persen. Khusus d i petakan sawah, tingkat efisiensi tampak paling rendah, yaitu

21,6

persen (Suyarnan,

7987).

Secara sederhana kebutuhan air irigasi di petakan sawah didasarkan kepada kebutuhan tanaman (transpirasi) ditambah kehilangan karena penguapan (evaporasi) dan kahilangan ke bawah (rembesan dan perkolasi) dikurangi dengan curah hujan efektif. Untuk i t u kebutuhan air tergantung kepada jenis tanah dan tinggi muka air tanah untuk menentukan perkolasi. lklim dan rnusim sangat menentukan besarnya angka evaporasi, karena evaporasi disebabkan oleh lama penyinaran dan kecepatan angin. Sementara jenis tanarnan dan varietas juga penting karena tiap varietas padi misalnya membutuhkan air u n t u k transpirasi yang besarnya berbeda-beda. Lebih jauh penelitian Suyarnan (79871 menyatakan b a h w a dosis dan pola pemupukan juga

menentukan angka transpirasi tanaman tersebut.

Pengukuran jumlah kebutuhan air untuk tanaman padi sudah banyak dilakukan di berbagai lokasi dengan jenis tanah dan iklim, serta jenis varietas padi yang berbeda-beda. Menurut Pusposutardjo

(7995)

kebutuhan air untuk padi d i m u s i m kemarau secara u m u m di daerah Asia Tenggara sekitar 7 0 0 m m meskipun secara aktual petani memakai antara 1 5 0 0 sampai 2000 m m per luasan. Sementara Bernarnakusurnah

(7995)

menyatakan b a h w a kosurnsi t o t a l air adalah 1 0 0 0 rnm atau setara dengan 9 mmlhari, d a n kebutuhan yang paling besar adalah untuk pengolahan yaitu 30 persen dari kebutuhan total. Penelitian Winarno

(7985)

rnendapatkan angka yang lebih rendah, yaitu 539,9 mm atau setara dengan 5,399 juta liter per Ha per m u s i m tanam. Sedangkan penelitian Suyarnan

(7987)

memperoleh angka lebih tinggi hampir dua kali lipat, yaitu 1082 m m . Perbedaan temuan hasil penelitian ini sangat dimungkinkan mengingat berbedanya lokasi yang diamati, serta periode w a k t u (musim) yang

(8)

berlainan. Dengan kata lain, konsurnsi air u n t u k tanaman padi sangat dipengaruhi oleh dimensi waktu, lokasi, dan kualitas lahan.

Kornponen penting yang menentukan tingkat konsurnsi air tanaman padi adalah laju evapotranspirasi (evaporasi

+

transpirasi). Dari angka ini dapat diduga kebutuhan air irigasi tanaman sesungguhnya. Handoko dan Pasandaran (1987) menyatakan bahwa t o t a l evapotranspirasi selama satu rnusim pertanaman (pengolahan tanah sampai panen) padi s a w a h sekitar 1 0 0 0 mm, d i mana u n t u k s a w a h tadah hujan lebih rendah ( ( 3 m m l h a r i ) dibandingkan irigasi

( > 5 rnmlhari). Khusus di Jalur Pantura evaporasi pada Bulan April-September diperkirakan 480 m m (1 30 mmlbulan), padahal curah hujan rata-rata selama i t u kurang dari 4 0 0 m m . Artinya peningkatan efisiensi dapat dilakukan di saluran dan dipetakan sawah. Yamazaki /7992j menyatakan b a h w a penataan sistern s a w a h y a n g baik selain dapat rneningkatkan efisiensi air, juga dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan lahan.

Kebiasan petani untuk menggenangi s a w a h secara terus-menerus tampaknya perlu diubah. Bermanakusumah

(7995/,

menemukan b a h w a tidak ditemukan perbedaan yang nyata antara genangan setinggi 7 5 c m dengan rnacak-macak ( 1 crnl, dan tinggi genangan justru sejajar dengan laju perkolasi.

Pendapat ini sesuai dengan penelitian Kusnadi {7997/, yang menyarankan perubahan dari pola kontinyu (continuous flow) kepada pola pernberian secara berkala (intermittent) dengan tinggi genangan 1 sampai 1 0 cm. Dengan demikian, pola i n t e r m i t t e n t tampaknya sudah menjadi suatu yang m u t l a k pada usahatani padi s a w a h sesuai dengan prinsip-prinsip efisiensi. Efisiensi d i t i n g k a t petakan s a w a h tampaknya perlu mendapat perhatian, karena selain t i n g k a t efisiensinya rendah, juga selarna ini penggunaan air d i s a w a h cenderung berlebihan.

(9)

3.4. Aspek Kultural

Indonesia berada d i daerah tropik dengan c u r a h hujan yang relatif tinggi, sehingga tidak mengherankan jika timbul pendapat d i masyarakat b a h w a air adatah surnberdaya yang melimpah. Secara u m u m diternukan kebiasaan boros penggunaan air, atau akan sangat sulit u n t u k menimbulkan kesadaran b a h w a air akan rnenjadi kornoditas langka d i masa mendatang. Dengan demikian, kendala sosial budaya y a n g lebih berat u n t u k mensukseskan gerakan hemat air ini datang darj aspek sosial dibandingkan aspek ekonomi (Surrisno, 7995).

Tim

PSI-Unand

(79971

menernukan b a h w a alasan petani menggenangi s a w a h secara berlebih adalah u n t u k mernpermudah pengolahan tanah, rnengharnbat turnbuhnya gulma, mernperrnudah penyiangan, menyuburkan tanah, mengurangi serangan hama (tikus), serta mengurangi tenaga kerja dan rnenghemat biaya. Berhadapan dengan alasan-atasan yang rasional ini, rnaka cara u n t u k mengubah pola pikir tersebut, adalah menyangkut perubahan individu per individu serta menyangkut perubahan kelernbagaan d i t i n g k a t komunal yang dapat melalui lembaga formal.

Sebagai peiaku utama kegiatan produksi pertanian, petani harus melakukan pengaturan agar didapatkan jaminan b a h w a air rnenjadi kornponen yang harus ada dalam kegiatan usahataninya, sementara perangkat pemerintah rnaupun pihak-pihak lain y a n g terkait dengan kegiatan produksi pertanian d i tingkat petani harus juga mengarahkan kegiatan kerjanya u n t u k m e n d u k u n g adanya jaminan ketersediaan air dalam kegiatan usahatani (Pasandaran dan Taryo to, 7993).

Selain usaha perubahan d i t i n g k a t petani, keberhasilan pengelolaan air irigasi ini juga tergantung kepada pengelolaan manajemen d i t i n g k a t jaringan (distribusi) dan tingkat sungai (aiokasi). Dengan demikian, kelembagaan yang

(10)

perlu rnendapat perhatian adalah kelembagaan Panitia lrigasi (Tingkat I dan II), Panitia Tata Pengaturan Air (PTPA) dan P3A. Hal ini mengisyaratkan b a h w a P 3 A perlu diberi kesempatan u n t u k mengelola sumberdaya air yang tidak hanya terbatas pada tingkat usahatani, n a m u n melibatkannya secara lebih luas d i tingkat distribusi dan atokasi. Penelitian aksi d i Bali telah berhasil melahirkan Subak A g u n g sebagai organisasi di atas P 3 A yang beranggotakan pengurus P 3 A bersangkutan (Windya, 7997).

Lebih lanjut, Pasandaran dan Taryoto

(79931

mengungkapkan b a h w a sistern kemasyarakatan berkaitan dengan tatanan a t a u pranata kehidupan masyarakat, baik sehubungan dengan bentuk-bentuk interaksi yang ada diantara para pelaku interaksi anggota rnasyarakat, m a u p u n dalarn kaitannya dengan kelengkapan norma, tata nilai, maupun adat-adat istiadat yang berlaku pada masing-masing masyarakat. Dengan a c u a n ini, adalah penting mernperhatikan kekhasan tiap-tiap satuan masyarakat beserta kelengkapan t a t a kehidupan masyarakatnya. Menekankan berbagai ha1 yang berorientasi pada upaya generalisasi kebijaksanaan, tanpa memperhatikan norma-norma setempat seringkali menghadapi hambatan. Karena itu, dalam sistem kemasyarakatan majemuk seperti yang ada d i Indonesia, pertimbangan kekhasan masing-masing masyarakat atau w i l a y a h seyogyanya harus mendapatkan perhatian yang rnemadai.

Berdasar kebijakan dan peraturan yang ada selama ini, P3A dipandang sebagai lembaga/organisasi yang bersifat sosial. Hal ini mengundang kontroversi apakah sifat sosial ini masih p e r l u dipertahankan dalam rnenghadapi sistem pengelolaan air irigasi y a n g semakin kompetitif. Kuswanto (19971 memandang dari fungsi dan keuntungannya, P 3 A masih perlu mempertahankan sifat sosialnya, karena ( 1 ) pernilikan atas hak guna air dan jaringan irigasi oleh para petani anggota P 3 A bersifat kolektif, (2) P 3 A dapat berfungsi sebagai instrumen u n t u k menciptakan dan menjaga pernerataan ekonomi d i kalangan petani, dan (3) secara teknis akan

(11)

mernerlukan upaya perubahan kelembagaan yang sangat berat, mengingat s i f a t sosial P 3 A yang telah tertanam dalarn kebijakan d a n peraturan yang m e n y a n g k u t pengelolaan P 3 A . Dengan demikian langkah alternatif adalah memadukan perspektif bisnis dalarn kerangka visi P 3 A yang bersifat sosiat. Sebagai implikasinya adalah adanya penyesuaian struktural kelembagaan P 3 A .

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan sumbernya • Modal sendiri yaitu Modal yang bersumber dari. perusahaan itu sendiri misalnya dari cadangan, laba dan

[r]

Naskah yang dapat dimuat dalam jurnal ini meliputi tulisan tentang kebijakan, penelitian, pemikiran, reviu teori/konsep/metodologi, resensi buku baru, dan informasi

3 Manakah dari karakteristik konsumen yang terdiri dari umur, pendidikan, pekerjaan dan tingkat penghasilan yang mempunyai keterkaitan yang paling kuat terhadap

Dalam teori pendekatan situasional, kepemimpinan yang efektif adalah bagaimana seorang pemimpin dapat mengetahui keadaan baik kemampuan ataupun sifat dari anak buah yang di

Perubahan kecerahaan tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya hidrolisis protein dan diduga karena film yang terkontaminasi dengan adanya bahan nugget itu sendiri

Setelah melihat ibunya mengambil kain untuk mengeringkan lantai dengan cara menyeret kakinya yang dialasi dengan kain untuk mengeringkan lantai, Afif pun

Jasa penyedia berupa kegiatan penghasil sumber pakan bagi organisme di dalam ekosistem ataupun bagi masyarakat sekitar, jasa regulasi berupa pelindung tambak dari erosi pantai,