• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA DI HUTAN TINJOMOYO KOTA SEMARANG, JAWA TENGAH (Insect Diversity of Tinjomoyo Forest Semarang City, Central Java)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA DI HUTAN TINJOMOYO KOTA SEMARANG, JAWA TENGAH (Insect Diversity of Tinjomoyo Forest Semarang City, Central Java)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA DI HUTAN TINJOMOYO KOTA SEMARANG, JAWA TENGAH

(Insect Diversity of Tinjomoyo Forest Semarang City, Central Java) Niken Subekti

Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Semarang Jalan Raya Sekaran Gunungpati Semarang 50221 Telp (024) 7499375, email :nikensubekti@yahoo.com

ABSTRACT

As a part of biodiversity, insects should be conserved. Some insects are beneficial for human life. Ecologically, insects maintain the ecosystem balance and enrich natural resources. Tinjomoyo Forest in Semarang Municipality plays a role as the ecotourism area. The aim of the study was to understand the diversity of the insects of Tinjomoyo Forest, Semarang. A transect method has been employed with the transect dimensions of 20 x 20 m, 10 x 10 m, and 5 x 5 m, with three replicates. The insect identification was carried out in the Biology Laboratory, UNNES. Result showed that 19 insects live in Tinjomoyo Forest with the diversity index of 0.04 to 1.20, and this is considered low. Oechopylla smaragdina has the highest Importance Value Index of 11.89%, whereas Tincola bisselliella has the lowest Importance Value Index of 3.18%. Several factors influence the insect diversity, such as the distribution, the habitat selection, the environmental condition, the vegetation, and the food availability.

Keywords: Diversity, insect, species, Tinjomoyo

PENDAHULUAN

Semarang merupakan salah satu wilayah Jawa Tengah yang memiliki Cagar Alam kawasan Hutan Wisata Tinjomoyo Sesuai dengan UU No 5 tahun 1999 serta lembaran negara tahun 1990 No.49 dan No. 3419. Kawasan hutan tersebut memiliki banyak potensi alam yang berfungsi sebagai daerah penyangga, penyimpan air tanah dan sebagai wadah ekosistem flora dan fauna yang dilindungi (Departemen Kehutanan, 2010).

Serangga merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang harus dijaga kelestariannya dari kepunahan maupun penurunan keanekaragaman jenisnya. Serangga memiliki nilai penting antara lain nilai ekologi, endemisme,

kon-servasi, pendidikan, budaya, estetika, dan ekonomi (Little, 1957). Penyebaran serangga dibatasi oleh faktor-faktor geologi dan ekologi yang cocok, sehingga terjadi perbedaan keragaman jenis serangga. Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan iklim, musim, ketinggian tempat, serta jenis makanannya (Borror & Long, 1998).

Serangga merupakan bio-indikator kesehatan hutan. Peng-gunaan serangga sebagai bio-indikator akhir-akhir ini dirasakan semakin penting dengan tujuan utama untuk menggambarkan adanya keterkaitan dengan kondisi faktor biotik dan abiotik lingkungan (Speight et al. 1999). Sejumlah kelompok serangga seperti kumbang (terutama kumbang pupuk), semut,

(2)

kupu-kupu dan rayap memberikan respons yang khas terhadap tingkat kerusakan hutan sehingga memiliki potensi sebagai spesies indikator untuk mendeteksi perubahan lingkungan akibat konversi hutan oleh manusia yang sekaligus menjadi indikator kesehatan hutan (Jones & Eggleton, 2000).

Dilain pihak, Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki laju deforestasi cukup tinggi, yaitu rata-rata 142.560 ha per tahun yang terjadi antara tahun 2000-2005 (Perhutani, 2006). Deforestasi ini sebenarnya telah lama berlangsung akibat tekanan pertambahan penduduk yang tinggi dan pembangunan infrastruktur yang sangat pesat, karena Pulau Jawa merupakan pusat pertumbuhan ekonomi utama di Indonesia.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang keanekaragaman berbagai jenis serangga yang terdapat di hutan Tinjomoyo, Semarang. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai salah satu bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan yang berkaitan dengan penataan ruang, pengelolaan hutan dan konservasi keanekaragaman hayati.

METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Hutan Tinjomoyo Kota Semarang. Metode pengumpulan data dilakukan dengan membuat plot transek pengamatan berukuran 20 x 20 m, 10

x 10 m, dan 5 x 5 m. Pengambilan sampel dilakukan pada waktu pukul 08.00-12.00 WIB, dilanjutkan pukul 12.00-15.00 WIB. Pengambilan pada waktu tersebut berdasarkan pertimbangan waktu serangga aktif. Pengukuran parameter lingkungan meliputi kelembaban, suhu, intensitas cahaya, dominasi tumbuhan, dan ketinggian tempat. Serangga yang belum teridentifikasi di lapangan, ditangkap kemudian dimasukkan dalam botol specimen. Setiap botol diberi kode abjad atau angka yang membedakan spesies satu dengan species yang lain. Sementara untuk identifikasi jenis serangga dilakukan di laboratorium Taksonomi Hewan, Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Negeri Semarang menggunakan buku Borror dan De long (1998). Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan indeks keanekaragaman jenis [H’], indeks dominansi [D] dan indeks kesamaan jenis [IS].

ID = H’ = -∑P h P, Pi = n

i=1 N

Keterangan: Pi = Kelimpahan

N = Jumlah total seluruh jenis serangga ni = Jumlah tiap jenis serangga

H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener

Untuk menentukan spesies yang dominan di dalam kawasan penelitian dapat ditentukan dengan menggunakan indeks dominansi [D] Simpson

D = ∑pi2, dimana pi adalah ni N

(3)

Keterangan :

Ni = jumlah tiap jenis serangga N = jumlah total seluruh species D = indeks dominansi

Densitas atau Kekayaan Jenis

Pengukuran kekayaan jenis dalam plot pengamtan, pendekatan yang

digunakan adalah Indeks kekayaan jenis dengan persamaan sebagai berikut:

R1 = S - 1 ln N Keterangan:

R1= Indeks kekayaan jenis

S = Jumlah jenis N = Jumlah individu

Indeks kekayaan Margalleft (R1) adalah indeks yang menunjukkan kekayaan jenis suatu komunitas, dimana besarnya nilai ini

dipengaruhi oleh banyaknya jenis dan jumlah individu pada areal tersebut. Besaran R1 < 3,5 menunjukkan kekayaan jenis tergolong rendah, R1 = 3,5- 5,0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang dan R > 5,0 tergolong tinggi.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hutan Tinjomoyo dengan status barunya sebagai Hutan Wisata di Jawa Tengah mengingat lokasi Tinjomoyo memiliki luas 57 Ha dengan beberapa potensi strategis berada didalam kota memiliki akses cepat dan mudah, masih alami, bertopografi bergelombang, serta sejuk dan rindang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 19 jenis serangga dalam 3 plot transek.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian Faktor-faktor lingkungan yang

berpengaruh terhadap kehidupan

serangga antara lain kelembaban, suhu, intensitas cahaya, dan

(4)

ketinggian tempat diambil sebagai data pendukung penelitian. Kondisi lingkungan dengan suhu 32,2-33 oC, kelembaban 80-90%, dan curah hujan 20-659 mm/th. Hasil penelitian yang berbeda dilakukan di hutan alam bekas tambang di Kutai, KalimantanTtimur, dengan keaneka-ragaman serangga yang ditemukan 322 jenis (Patang 2010). Salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan yang sangat mencolok adalah faktor

lingkungan. Di hutan alam Kalimantan Timur masih banyak keanekaragaman vegetasi yang sangat diperlukan oleh serangga sebagai sumber makanan atau sebagai sarang. Salah satu peran serangga dalam habitat alami adalah sebagai perombak bahan organik tanah dan sebagai makhluk penyeimbang lingkungan alami (Lachat et al., 2006).

Tabel 1. Indeks Diversitas Jenis Serangga di Hutan tinjomoyo Semarang,

Jawa Tengah (Diversity Indeks of Inesct in Tinjomoyo Forest Semarang,

Central Java)

No Spesies Jumlah Indeks Diversitas

1 Melanoplus bispinosus 1 0,04 2 Adelphocoris rapidus 1 0,04 3 Triatoma dimidiata 3 0,105 4 Technomyrmex albipes 7 0,18 5 Triatoma rubida 2 0,70 6 Hybomitra tarandina 1 0,04 7 Oechopylla smaragdina 30 1,20 8 Pieris rapae 10 0,4 9 Philaethria dido 15 0,525 10 Atractomorpha sp 1 0,04 11 Dysdercus cingulatus 8 0,32 12 Oreina gloriosa 3 0,105 13 Coccinella septempunctata 1 0,04 14 Henosepilachna sp 1 0,04 15 Trialeurodes vaporariorum 1 0,04 16 Spodoptera litura 2 0,70 17 Riptortus linearis 1 0,04 18 Mycalesis sp 1 0,04 19 Tincola bisselliella 1 0,04 Berdasarkan penghitungan Indeks Diversitas (ID) diketahui bahwa Indeks Diversitas tertinggi yaitu spesies Oechopylla smaragdina dengan nilai ID 1,20. Sementara itu, Indeks Diversitas terendah yaitu pada Melanoplus bispinosus,

Adelphocoris rapidus, Hybomitra tarandina, Atractomorpha sp, Oreina gloriosa, Henosepilachna sp, Trialeurodes vaporariorum, Riptortus Linearis, Mycalesis sp, Tincola bisselliella dengan nilai ID

(5)

kurang dari 2 yang hanya berkisar antara 0,04–1,20 maka tingkat keanekaragaman jenis serangga di Hutan Tinjomoyo masih tergolong rendah. Hal ini berbeda dengan hasil

penelitian yang dilakukan di hutan Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat dengan nilai indeks keanekaragaman 0,84 pada 409 famili yang ditemukan (Ruslan, 2009).

Tabel 2. Indeks Nilai Penting Keanekaragaman Jenis Serangga di Hutan tinjomoyo Semarang, Jawa Tengah (Diversity Index of Insect in

Tinjomoyo forest Semarang, Central Java)

No Spesies K KR(%) F FR D DR% INK(%) 1 Melanoplus bispinosus 0,1 0,09 0,3 3,03 0,00025 0,06 3,18 2 Adelphocoris rapidus 0,1 0,09 0,3 3,03 0,00025 0,06 3,18 3 Triatoma dimidiata 0,3 0,28 0,6 6,06 0,001 0,24 6,58 4 Technomyrmex albipes 0,7 0,66 0,6 6,06 0,001 0,24 6,96 5 Triatoma rubida 0,2 0,19 0,3 3,03 0,00025 0,06 3,28 6 Hybomitra tarandina 0,1 0,09 0,3 3,03 0,00025 0,06 3,18 7 Oechopylla smaragdina 3 0,28 1 10,1 0,0063 1,51 11,89 8 Pieris rapae 1 0,09 1 10,1 0,0063 1,51 11,70 9 Philaethria dido 1,5 1,41 1 6,06 0,001 0,24 7,71 10 Atractomorpha sp 0,1 0,09 0,3 3,03 0,00025 0,06 3,18 11 Dysdercus cingulatus 0,3 0,28 0,3 3,03 0,00025 0,06 3,37 12 Oreina gloriosa 0,1 0,09 0,3 3,03 0,00025 0,06 3,18 13 Coccinella septempunctata 0,8 0,75 0,6 3,03 0,00025 0,06 3,84 14 Henosepilachna sp 0,1 0,09 0,3 3,03 0,00025 0,06 3,18 15 Trialeurodes vaporariorum 0,1 0,09 0,3 3,03 0,00025 0,06 3,18 16 Spodoptera litura 0,2 0,19 0,3 3,03 0,00025 0,06 3,28 17 Riptortus linearis 0,1 0,09 0,3 3,03 0,00025 0,06 3,18 18 Mycalesis sp 0,1 0,09 0,3 3,03 0,00025 0,06 3,18 19 Tincola bisselliella 0,1 0,09 0,3 3,03 0,00025 0,06 3,18

Semua jenis serangga memerlukan cahaya dalam kehidupannya. Kondisi seperti ini merupakan tempat yang sesuai untuk kehadiran berbagai jenis serangga. Suhu akan mempengaruhi aktivitas serangga, penyebaran, pertumbuhan, dan perkembangbiakan serangga. Cahaya diperlukan untuk kehidupannya. Cahaya akan memberikan energi, sehingga dapat menaikkan suhu tubuh dan metabolisme menjadi lebih cepat

sehingga mempercepat

perkembangan larva (Akutsu et al., 2007).

Berdasarkan hasil analisis indeks nilai keanekaragaman tertinggi 11,89 pada jenis Oechopylla

smaragdina. Tingginya indeks keanekaragaman jenis dan kemerataan jenis serangga tersebut menunjukkan habitat hutan lebih stabil dibandingkan dengan habitat lainnya dan ketersediaan sumber data yang mendukung kehidupan

(6)

serangga (Hidayat et al., 2004). Serangga memiliki mobilitas yang tinggi dan kemampuan adaptif terhadap faktor lingkungan yang ada. Adanya aliran sungai yang melintasi kawasan hutan diduga berpengaruh terhadap jumlah jenis serangga yang mengunjungi habitat ini dengan variasi lebih beragam yang merupakan makanan serangga. Tumbuhan yang mendominasi habitat ini antara lain: Sesbania

grandiflora, Leucaena glauca, Guazuma ulmifolia, Pithecellobium

dulce, Dalbergia latifolia, Ammarphopalus campanulatus, Ceiba pentandra, Polyalthia longifolia, Tectona grandis, Diallum indum L.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka perlu dilakukan pelestarian kawasan dan pelestarian jenis serangga di Tinjomoyo dalam upaya konservasi, perlu dilakukan penelitian khusus mengenai tanaman inang yang ada dalam kawasan hutan Tinjomoyo.

Gambar 2. Proporsi Jenis Serangga di Hutan Tinjomoyo Semarang,

Jawa Tengah (Insect proportion in Tinjomoyo forest, Semarang,

Central Java)

Berdasarkan hasil perhitungan Indeks Nilai Penting (INK) Untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi, maka pada masing-masing petak ukur dilakukan analisis kerapatan, frekuensi dan dominansi untuk setiap jenis insekta. Bahwa Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi

yaitu pada spesies Oechopylla smaragdina INP 11,89 %, dan Indeks Nilai terendah yaitu spesies

Melanoplus bispinosus, Adelphocoris rapidus, Hybomitra tarandina, Atractomorpha sp, Oreina gloriosa, Henosepilachna sp, Trialeurodes vaporariorum, Riptortus Linearis,

(7)

Mycalesis sp, Tincola bisselliella

dengan INP yaitu 3,184 %.

Sedangkan dari penghitungan densitas atau tingkat kekayaan jenis diketahui bahwa nilai densitas tertinggi yaitu spesies Oechopylla smaragdina dengan nilai Densitas

6,42. Nilai densitas terendah yaitu 0 pada spesies Melanoplus bispinosus,

Adelphocoris rapidus, Hybomitra tarandina, Atractomorpha sp, Oreina gloriosa, Henosepilachna sp, Trialeurodes vaporariorum, Riptortus Linearis, Mycalesis sp,

dan Tincola bisselliella. Dilhat dari nilai densitas, maka Oechopylla smaragdina tergolong spesies yang

memiliki kekayaan jenis yang tinggi karna nilai densitas > 5. Sedangkan pada spesies yang lain kekayaan jenisnya tergolong rendah karna nilai densitas kurang dari 3,5 yang hanya berkisar antara 0 – 3,21. Keanekaragaman dan kekayaan jenis yang rendah di hutan Tinjomoyo Semarang diduga karena adanya deforestasi. Deforestasi ini sebenarnya telah lama berlangsung akibat tekanan pertambahan penduduk yang tinggi dan pembangunan infrastruktur yang sangat pesat, khususnya di kota Semarang. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Gunawan et al., (2010) yang mengatakan bahwa bahwa selama 16 tahun (1990-2006) Provinsi Jawa Tengah telah kehilangan hutan alam lahan kering seluas 446.561,09 ha atau 88%. Seiring dengan penyusutan luas dan fragmentasi

hutan di Jawa Tengah,

keanekaragaman dan kekayaan jenis serangga pun semakin terancam.

Berhubungan dengan faktor lingkungan disekitar hutan, pada suhu 29,9 oC, kelembaban 76 % dan intensitas cahaya 24-25 lux merupakan karakteristik lingkungan yang sesuai dengan jenis serangga tersebut. Kehadiran suatu jenis serangga dalam suatu habitat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan antara lain kemampuan serangga tersebut menyebar, seleksi habitat, kondisi suhu udara, kelembaban udara, kelembaban tanah, cahaya, curah hujan, vegetasi, dan ketersediaan makanan (Brockerhoff et al., 2008).

KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian membuktikan bahwa keanekaragaman jenis Insekta di Hutan Tinjomoyo sangat kurang, hal ini dibuktikan dengan banyak ditemukan beberapa jenis 19 jenis serangga dengan indeks nilai penting 3,18-11,89%, indeks diversitas tertinggi 0,04-1,20 serta nilai densitas 0-6,42. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka hutan Tinjomoyo perlu dilakukan upaya konservasi untuk pelestarian kawasan.

DAFTAR PUSTAKA

Akutsu K; Khen C.V dan Toda M.J. 2007. Assessment of Higher Insect Taxa as Bioindicators for Different Logging-Disturbance Regimes in Lowland Tropical Rain Forest

(8)

in Sabah, Malaysia. Ecol Res 22: 542–550pp

Borror D.J dan De Long D.M. 1998.

An Introduction to the Study of Insect. Sounders College Publishing

Brockerhoff E.G; Hervé Jactel H; Parrotta J.A; Christopher P. Quine C.P dan JeVrey Sayer J.V. 2008. Plantation forests and biodiversity: oxymoron or opportunity?. Biodivers Conserv 17:925–951pp

Departemen Kehutanan. 2010. Data

dan Informasi Kehutanan Propinsi Jawa Tengah.

Jakarta: Pusat Informasi dan Inventarisasi Statistik Ke-hutanan.

Gunawan H; Prasetyo L.B; Mardiastuti A dan Kartono A.P. 2010. Fragmentasi Hutan Alam Lahan Kering di Provinsi Jawa Tengah.

Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. VII

No.1 : 75-91, 2010

Hidayat; Otong; Sutarno; Nono; Suhara; Sanjaya dan Yayan. 2004. Dasar-Dasar Ento-mologi. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Jones T.J., & Eggleton. P. 2000. Sampling Termite Assem-blages in Tropical Forests : Testing a Rapid Biodiversity Assesment Protocol. Journal of

Applied Ecology. 37: 191-203pp.

Lachat T; Attignon S; Djego J; Goergen G; Nagel P; Sinsin B

dan Peveling R. 2006. Arthropod Diversity in Lama Forest Reserve (South Benin), a Mosaic of Natural, Degraded and Plantation Forests.

Biodiversity and Conservation

15:3–23pp

Little, F.A. 1957. General And Applied Entomology. Texas: Texas University.

Patang F. 2010. Keanekaragaman Takson Serangga pada Areal Hutan Bekas Tambang Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Bioprospek. Vol.7 (1): 80-89pp

Perum Perhutani. 2006. Statistik Perum Perhutani Tahun 2001-2005. Direksi Perum Perhutani.

Jakarta.

Ruslan H. 2009. Komposisi dan Keanekaragaman di Pusat Pendidikan Konservasi Alam (PPKA) Bodogol Sukabumi, Jawa Barat. Vis Vitalis. Vol.

02 No. 1: 43-53pp

Speight M.R; Hunter M.D dan Watt A.D. 1999. Ecology of Insects,

Consepts and Applications.

Blackwell Science, Ltd. 169 – 179pp.

Gambar

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian Faktor-faktor lingkungan yang
Tabel 1. Indeks Diversitas Jenis Serangga di Hutan tinjomoyo Semarang,
Tabel 2. Indeks Nilai Penting Keanekaragaman Jenis Serangga di Hutan tinjomoyo Semarang, Jawa Tengah (Diversity Index of Insect in Tinjomoyo forest Semarang, Central Java)
Gambar 2. Proporsi Jenis Serangga di Hutan Tinjomoyo Semarang,

Referensi

Dokumen terkait

Langkah-langkah pada aplikasi ANP adalah : (1) membuat konstruksi model dengan kontrol hierarki yang terdiri dari aspek-aspek yang dipertimbangkan dan alternatif

13 Saya akan belajar kembali dirumah untuk lebih memahami materi pelajaran dasar listrik dan elektronika yang telah dijelaskan oleh guru 14 Saya dapat mengerjakan

Alhamdulillah berkat kemudahan yang Allah berikan, penulis mampu merampungkan laporan penelitian sederhana ini yang berjudul “Hubungan antara Spiritual Well Being dengan

Untuk mendiagnosa terjadi celah sumbing pada bayi setelah lahir mudah karena pada celah Untuk mendiagnosa terjadi celah sumbing pada bayi setelah lahir mudah

Hipothesis penelitian ini adalah Strategi Pembelajaran fisika pada matakuliah Fisika Dasar II dapat meningkatkan hasil belajar dan strategi pembelajaran fisika

a) Ketelitian tanda skala pada tabung penampung atau penerima air harus disertifikasi atau diverifikasi (diperiksa), menggunakan standar nasional atau internasional untuk

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa sebagian besar responden berasal dari suku Melayu 16 orang (53%) dan sebagian besar pendidikan responden adalah SMA

Perbedaan model dengan strategi, model adalah pola atau acuan perencanaan pembelajaran yang mencakup pendekatan, sedangkan strategi adalah seluruh komponen materi