• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak Eksekutorial Kreditur Preferen Dalam Kepailitan Debitor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hak Eksekutorial Kreditur Preferen Dalam Kepailitan Debitor"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

HAK EKSEKUTORIAL KREDITUR PREFEREN

DALAM KEPAILITAN DEBITOR

TESIS

Oleh

DIAN PUSPITA SARI SIREGAR 087005087/HK

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

HAK EKSEKUTORIAL KREDITUR PREFEREN

DALAM KEPAILITAN DEBITOR

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

dalam Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

DIAN PUSPITA SARI SIREGAR 087005087/HK

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : HAK EKSEKUTORIAL KREDITUR PREFEREN DALAM KEPAILITAN DEBITOR

Nama Mahasiswa : Dian Puspita Sari Siregar Nomor Pokok : 087005087

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) K e t u a

(Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) (Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum) A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 30 Agustus 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H Anggota : 1. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum

(5)

ABSTRAK

Penyelesaian utang-piutang terhadap kreditur pemegang hak jaminan di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyebutkan bahwa setiap kreditur pemegang Gadai, Jaminan Fidusia, Hak Tanggungan, Hipotik atau Hak Agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Ketentuan pasal tersebut sejalan dengan diakuinya hak separatis dari pemegang jaminan sebagaimana ditentukan oleh KUHPerdata. Hak eksekusi kreditor preferen dimulai sejak debitor pailit dinyatakan dalam keadaan insolvensi hingga paling lambat 2 bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi. Artinya, kesempatan kreditor preferen melaksanakan hak eksekutorialnya hanya 2 bulan.

Penelitian ini bersifat bersifat deskriptif analitis yang dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu suatu pendekatan terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hak eksekutorial kreditur preferen. Adapun pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kedudukan kreditur preferen dalam kepailitan debitor, bagaimana akibat hukum putusan pailit terhadap objek hak tanggungan dan bagaimana kreditur preferen dapat melakukan eksekusi terhadap harta pailit.

Berdasarkan hasil penelitian kedudukan kreditur preferen dalam kepailitan debitor memiliki kedudukan yang diistimewakan dimana kreditur preferen memiliki hak untuk mendapat pelunasan terlebih dahulu dari hasil penjualan harta pailit berdasarkan sifat piutangnya. Sehingga dengan adanya pembebanan Hak tanggungan maka kreditur menjadi preferen dan didahulukan di dalam memperoleh pelunasan piutangnya dengan melakukan eksekusi atas kekuasaan sendiri namun jika dikaitkan dengan pernyataan pailit pelaksanaan eksekusi hak tanggungan harus ditangguhkan selama 90 (Sembilan puluh) hari terlebih dahulu. Pelaksanaan Hak eksekusi kreditur preferen dimulai sejak debitor dinyatakan dalam keadaan insolvensi hingga paling lambat 2 bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi, dengan demikian kesempatan kreditur preferen harus melaksanakan hak eksekutorialnya hanya dalam waktu 2 bulan. Namun apabila telah lewat batas waktu yang telah ditentukan eksekusi tidak terpenuhi maka kreditur harus menyerahkan barang yang menjadi agunan kepada kurator untuk selanjutnya dijual di depan umum ataupun dilakukan dengan izin Hakim Pengawas, tanpa mengurangi hak pemegang hak tersebut untuk memperoleh hasil penjualan agunan tersebut.

(6)

ABSTRACT

Settlement of debt and credit againt creditor who hold the guarantee right within the provisions of law 37/ 2004 mention that every creditor holder pawning, fiducia guarantee, mortgage right, hypoteek or collatetal right for other material is allowable to executie the right as there is no any bankruptcy. Provisions of such the article in line with the recognition of separatist right holder guarantee as determined by KUHPerdata. Execution right of preference starting since debtor’s bankruptcy stated in insolvency situation until the latest two month after the commencent of insolvency situation, that means the oppurtunities of preference creditor to implementation the enforceable right only two month.

The research is analytic descriptive which done by normative juridical approach that is an approach to laws an regulation that concern with the enforceable right of preference creditor right. The subject matter of this research are how is the creditor preference position on debtor’s bankruptcy, how due the legal decision of mortgage object, and how is preference creditor able to execution debtor’s property.

Based on the research result, the position of creditor preference in debtor bankruptcy has a privileged position, where the creditor has right must be prioritize in debt payment proceeds from sale of property bankruptcy base on the nature of the claims. There is mortgage encumbering the creditor become preference and precedence in obtaining settlement of claim by making the parate executie, however if related with bankruptcy the mortgage execution should be suspended for ninety days first. Implementation of executie right from creditor preference starting since debtor declared state in insolvency until the latest two month after insolvency begin, thus the creditor preference oppurtunities must to implementation the enforceable right only two month. However if has passed the limid time that have been determined the executie not finished then creditor must submitting goods being a collateral to curator furthermore for sale to public or conducted with supervisory judge permission, without prejudice to holder guarantee right obtaining settlement of proceeds from sale collateral.

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT atas rahmad, ridho dan karuniaNYA, dan juga salawat beriring salam dihadiahkan untuk Nabi Muhammad Saw sehingga tesis dengan judul “Hak Eksekutorial Kreditur Preferen Dalam Kepailitan Debitor” dapat diselesaikan dengan baik.

Tesis ini disusun guna memenuhi persyaratan dalam rangka untuk mencapai gelar Magister Hukum pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Berkaitan dengan penelitian dan penulisan tesis ini, banyak pihak yang berperan dan berpartisipasi sehingga tesis ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya. Karena itu dengan santun dan tulus hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA (K) diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan.

2. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakuktas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(8)

Komisi Pembimbing, yang sudah bersedia meluangkan waktu dan bimbingan, sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus Anggota Komisi Pembimbing, yang sudah bersedia meluangkan waktu, arahan dan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi penulis.

5. Dr. T. Keizerina Devi A., S.H., CN., M.Hum, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dalam penyelesaian tesis ini. 6. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. dan Dr. Mahmul Siregar, S.H.,

M.Hum., selaku Anggota Komisi Penguji yang telah banyak memberikan saran dan kritik serta arahan dalam penyelesaian tesis ini.

7. Bapak Syuhada, S.H., M.Hum., selaku Anggota Teknis Hukum Kantor Balai Harta Peninggalan Medan yang telah meluangkan waktu kepada penulis untuk melakukan wawancara.

8. Seluruh Guru Besar serta seluruh Dosen Staf Pengajar Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis selama mengikuti proses perkuliahan.

(9)

Pada kesempatan yang baik ini, dengan segala kerendahan hati penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada yang tersayang ibunda Cut Sariwati dan Ayahanda Irwan Hanafiah Siregar atas segala kasih sayang, didikan, arahan, dukungan serta doa yang tidak putus kepada penulis. Kalian adalah semangat terbesar untuk penulis dalam menjalani kehidupan ini, semua ini penulis persembahkan teristimewa buat kalian dan kedua adinda tercinta Fitria Irsa Siregar dan Indah Aulia Irsa Siregar, semoga kalian juga dapat meraih cita-cita dan jenjang pendidikan yang lebih dari ini sehingga dapat membahagiakan dan membuat bangga orangtua kita. Serta kepada seluruh keluarga dan teman-teman yang telah banyak membantu khususnya: Pristika Handayani, Ya’thi Syahri, Siti Riskiaty Fatimah Ritongga, Nur Ratna Juwita, dan Hendra Gunawan Silitonga.

Semoga Tesis ini dapat memberi manfaat, dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya dibidang hukum serta penulis menyampaikan permintaan maaf dikarenakan jika belum sempurnanya tesis ini sehingga penulis menerima kritik dan saran untuk menyempurnakan tesis ini. Sekian dan Terima Kasih.

Medan, Agustus 2010

(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : Dian Puspita Sari Siregar Tempat/Tanggal Lahir : Binjai, 22 September 1985 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Alamat : JL. Samanhudi Asrama Kodim 0203/Langkat Kel. Satria, Kec. Binjai Kota, Kodya Binjai Kode Pos 20714

II. Pendidikan Formal

1. SD Negeri 020267 Binjai Tahun 1998 2. SMP Negeri 1 Binjai Tahun 2001 3. SMA Negeri 5 Binjai Tahun 2004

4. Strata Satu (S-1) Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Panca Budi Medan Tahun 2008

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ………... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ………...1

B. Perumus an Masalah ………... 7

C. Tujuan Penelitian ………... 7

D. Manfaat Penelitian ………... 8

E. Keaslian Penelitian ………...… ... 9

(12)

a. Kerangk a Teori ………... 10

b. Kerangk

a Konsep ………... 17

G. Metode

Penelitian ………... 20

BAB II KEDUDUKAN KREDITUR PREFEREN

DALAM KEPAILITAN ………... 24

A. Kepailita

n ………... 24

1. Pengertian dan Syarat Kepailitan ………...24 2. Subjek Hukum Kepailitan ………... 30

B. Keduduk

an Kreditur Preferen Dalam Kepailitan ………... 33

C. Keduduk

an Hak Jaminan Dalam Kepailitan ………... 38

D. Keduduk

(13)

BAB III AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP

OBJEK HAK TANGGUNGAN ………... 44

A. Hak

Tanggungan ………... 44

1. Pengerti

an Hak Tanggungan ………... 44

2. Objek

Hak Tanggungan ………... 47

3. Subjek

Hak Tanggungan ……….. ... 50

4. Pemberi

an dan Pendaftaran Hak Tanggungan ………... 52

5. Sertifika

t Hak Tanggungan ………... 55

B. Akibat

Hukum Putusan Pailit Terhadap

Objek Hak Tanggungan ………... 56

(14)

A. Pengerti an Eksekusi dan Harta Pailit………... 61

1. Eksekusi

………... 61

2. Harta

Pailit ………... 68

B. Eksekusi

Terhadap Harta Pailit ………...70

1. Hak

Atas Jaminan Yang Bersifat Preferen …………...70

2. Eksekusi

Jaminan Preferen ………...73

3. Eksekusi

Hak Tanggungan ………... 75

C. Pelaksan

aan Eksekusi Oleh Kreditur Preferen …………... 80

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………... 101

A. Kesimpu

lan ………... 101

B. Saran

(15)
(16)

ABSTRAK

Penyelesaian utang-piutang terhadap kreditur pemegang hak jaminan di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyebutkan bahwa setiap kreditur pemegang Gadai, Jaminan Fidusia, Hak Tanggungan, Hipotik atau Hak Agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Ketentuan pasal tersebut sejalan dengan diakuinya hak separatis dari pemegang jaminan sebagaimana ditentukan oleh KUHPerdata. Hak eksekusi kreditor preferen dimulai sejak debitor pailit dinyatakan dalam keadaan insolvensi hingga paling lambat 2 bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi. Artinya, kesempatan kreditor preferen melaksanakan hak eksekutorialnya hanya 2 bulan.

Penelitian ini bersifat bersifat deskriptif analitis yang dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu suatu pendekatan terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hak eksekutorial kreditur preferen. Adapun pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kedudukan kreditur preferen dalam kepailitan debitor, bagaimana akibat hukum putusan pailit terhadap objek hak tanggungan dan bagaimana kreditur preferen dapat melakukan eksekusi terhadap harta pailit.

Berdasarkan hasil penelitian kedudukan kreditur preferen dalam kepailitan debitor memiliki kedudukan yang diistimewakan dimana kreditur preferen memiliki hak untuk mendapat pelunasan terlebih dahulu dari hasil penjualan harta pailit berdasarkan sifat piutangnya. Sehingga dengan adanya pembebanan Hak tanggungan maka kreditur menjadi preferen dan didahulukan di dalam memperoleh pelunasan piutangnya dengan melakukan eksekusi atas kekuasaan sendiri namun jika dikaitkan dengan pernyataan pailit pelaksanaan eksekusi hak tanggungan harus ditangguhkan selama 90 (Sembilan puluh) hari terlebih dahulu. Pelaksanaan Hak eksekusi kreditur preferen dimulai sejak debitor dinyatakan dalam keadaan insolvensi hingga paling lambat 2 bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi, dengan demikian kesempatan kreditur preferen harus melaksanakan hak eksekutorialnya hanya dalam waktu 2 bulan. Namun apabila telah lewat batas waktu yang telah ditentukan eksekusi tidak terpenuhi maka kreditur harus menyerahkan barang yang menjadi agunan kepada kurator untuk selanjutnya dijual di depan umum ataupun dilakukan dengan izin Hakim Pengawas, tanpa mengurangi hak pemegang hak tersebut untuk memperoleh hasil penjualan agunan tersebut.

(17)

ABSTRACT

Settlement of debt and credit againt creditor who hold the guarantee right within the provisions of law 37/ 2004 mention that every creditor holder pawning, fiducia guarantee, mortgage right, hypoteek or collatetal right for other material is allowable to executie the right as there is no any bankruptcy. Provisions of such the article in line with the recognition of separatist right holder guarantee as determined by KUHPerdata. Execution right of preference starting since debtor’s bankruptcy stated in insolvency situation until the latest two month after the commencent of insolvency situation, that means the oppurtunities of preference creditor to implementation the enforceable right only two month.

The research is analytic descriptive which done by normative juridical approach that is an approach to laws an regulation that concern with the enforceable right of preference creditor right. The subject matter of this research are how is the creditor preference position on debtor’s bankruptcy, how due the legal decision of mortgage object, and how is preference creditor able to execution debtor’s property.

Based on the research result, the position of creditor preference in debtor bankruptcy has a privileged position, where the creditor has right must be prioritize in debt payment proceeds from sale of property bankruptcy base on the nature of the claims. There is mortgage encumbering the creditor become preference and precedence in obtaining settlement of claim by making the parate executie, however if related with bankruptcy the mortgage execution should be suspended for ninety days first. Implementation of executie right from creditor preference starting since debtor declared state in insolvency until the latest two month after insolvency begin, thus the creditor preference oppurtunities must to implementation the enforceable right only two month. However if has passed the limid time that have been determined the executie not finished then creditor must submitting goods being a collateral to curator furthermore for sale to public or conducted with supervisory judge permission, without prejudice to holder guarantee right obtaining settlement of proceeds from sale collateral.

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada bulan Juli 1997 telah terjadi krisis moneter di Indonesia yang membawa dampak yang sangat besar terhadap sendi-sendi kehidupan ekonomi Indonesia, terutama terhadap dunia usaha dan diperparah lagi oleh krisis politik yang mengakibatkan lengsernya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia saat itu pada tanggal 21 Mei 1998.1

Krisis moneter itu diawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar AS. Hal tersebut telah mengakibatkan utang para pengusaha Indonesia dalam valuta asing, terutama terhadap kreditur luar negeri menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak debitor tidak mampu membayar utang-utangnya. Di samping itu kredit macet di perbankan dalam negeri juga makin membumbung tinggi secara luar biasa (sebelum krisis moneter perbankan Indonesia memang juga telah menghadapi masalah kredit bermasalah atau

Non-Performing Loans yang memprihatinkan), yaitu sebagai akibat terpuruknya sektor riil 

      

1

 Sutan Remy Sjahdeini. Hukum Kepailitan: Memahami Faillissementsverordening Junto

(19)

karena krisis moneter tersebut.2 Kondisi ini mengakibatkan banyak perusahaan mengalami kesulitan keuangan yang pada akhirnya dinyatakan pailit.

Masalah kepailitan selalu menimbulkan akibat panjang baik bagi kreditur maupun stake holder perusahaan terutama karyawan perusahaan karena bagaimanapun terjadi pemutusan hubungan kerja akan membawa implikasi yang kurang baik terhadap perusahaan maupun keluarganya. Secara lebih luas kepailitan perusahaan akan membawa pengaruh yang tidak menguntungkan terhadap perekonomian negara. Sementara itu sekarang ini banyak perusahaan-perusahaan yang senantiasa menghadapi ancaman pemohonan kepailitan di Pengadilan Niaga karena kesulitan membayar utang perusahaan terhadap kreditur-krediturnya.3

Kepailitan menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang4, adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Dalam hal ini kepailitan berfungsi sebagai emergency window, yaitu pintu keluar darurat, dimana kepailitan merupakan jalan keluar untuk proses pendistribusian harta kekayaan debitor yang nantinya merupakan boedel pailit secara pasti dan adil.5

      

2  Ibid 

3

 Sunarmi. Hukum Kepailitan. (Medan: USU Press, 2009). Hal iii  4

 Selanjutnya dalam penelitian ini Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disingkat dengan UUK dan PKPU.

(20)

Menurut Penjelasan Undang-Undang Kepailitan, beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah

Pertama; untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama

ada beberapa kreditur yang menagih piutangnya dari debitor, Kedua; untuk menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau kreditur lainnya, Ketiga; untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan salah seorang kreditur atau debitor sendiri.

Syarat kepailitan menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 adalah debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan satu atau lebih krediturnya. Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para krediturnya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial

distress) dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran. Pengurusan dan

pemberesan dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama untuk menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitor pailit secara proposional (prorate parte) dan sesuai dengan struktur kreditor.6

      

6

(21)

Kepailitan berakibat hilangnya segala hak debitor untuk mengurus segala harta kekayaan yang termasuk ke dalam harta pailit (boedel pailit). Perlu diketahui bahwasanya putusan pernyataan pailit tidak mengakibatkan debitor kehilangan kecakapannya untuk melakukan perbuatan hukum (volkomen handelingsbevoegd) pada umumnya, tetapi hanya kehilangan kekuasaan atau kewenangannya untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya saja.7 Kewenangan debitor itu selanjutnya diambil alih oleh kurator. Ketentuan tersebut berlaku sejak diucapkanya putusan pernyataan pailit. Kepailitan ini meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Sesudah pernyataan pailit tersebut maka segala perikatan yang dibuat debitor dengan pihak ketiga tidak dapat dibayar dari harta pailit, kecuali bila perikatan-perikatan tersebut mendatangkan kuntungan bagi harta pailit atau dapat menambah harta pailit. Oleh karena itu gugatan-gugatan yang diajukan dengan tujuan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit, selama dalam kepailitan, yang secara langsung diajukan kepada debitor pailit, hanya dapat diajukan dalam bentuk laporan untuk pencocokan atau rapat verifikasi.

Penyelesaian utang-piutang terhadap kreditur pemegang hak jaminan di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyebutkan bahwa setiap kreditur pemegang Gadai, Jaminan Fidusia, Hak Tanggungan, Hipotik atau Hak Agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi

      

7

(22)

kepailitan.8 Ketentuan pasal tersebut sejalan dengan diakuinya hak separatis dari pemegang jaminan sebagaimana ditentukan oleh KUHPerdata. Akan tetapi Hak eksekusi kreditur sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitor pailit atau kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 hari sejak tangggal putusan pernyataan pailit diucapkan.9 Adanya penangguhan selama 90 (sembilan puluh) hari setelah debitor dinyatakan pailit dan apabila jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari tersebut telah lewat maka hak eksekusi kreditur pemegang hak jaminan dihidupkan kembali untuk jangka waktu 2 (dua) bulan sejak dimulainya keadaan insolvensi. Lewatnya jangka waktu dihidupkannya kembali hak kreditur untuk mengeksekusi agunan menyebabkan kurator dapat menuntut diserahkannya barang yang menjadi agunan untuk selanjutnya dijual di depan umum ataupun dilakukan dengan izin Hakim Pengawas, tanpa mengurangi hak pemegang hak tersebut untuk memperoleh hasil penjualan agunan tersebut.10 Ketentuan pasal ini menjadi tidak sejalan dengan hak separatis dari pemegang hak jaminan yang diakui oleh Pasal 56 ayat (1) UUK dan PKPU serta telah memasung hak separatis dari kreditur pemegang hak jaminan yang seharusnya benda-benda yang dibebani dengan hak jaminan tersebut tidak termasuk dan berada diluar harta pailit.

      

8

 Pasal 55 ayat (1) UUK dan PKPU  9

 Pasal 56A ayat (1) UUK dan PKPU 10

(23)

Menurut peraturan kepailitan yang lama, yaitu Faillissementverordening bahwa kreditur preferen dapat melaksanakan haknya sekalipun tidak ada kepailitan. Artinya ketentuan mengenai penangguhan selama 90 (sembilan puluh) hari sebagaimana ditentukan dalam Pasal 56 ayat (1) UUK dan PKPU tidak ada. Dengan kata lain, menurut peraturan kepailitan yang lama itu adalah hak separatis dari kreditur preferen.11 Setiap kreditur mempunyai kedudukan yang sama. Pengecualian hak kreditur dengan alasan-alasan yang sah, antara lain hak-hak khusus yang diatur oleh undang-undang. Hak untuk didahulukan diantara para kreditur timbul karena Hak Istimewa, Gadai, dan Hipotek.12 Syarat preferensi adalah tagihan yang berupa Hak Istimewa; tagihan yang dijamin dengan Hak Gadai; jaminan yang dijamin dengan Hipotek; Hak Tanggungan (UU NO. 4 Tahun 1996); Hak Fidusia (UU No.42 Tahun 1999). Hak istimewa adalah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang kreditur sehingga tingkatannya lebih tinggi daripada kreditur lainnya, semata-mata berdasarkan piutangnya13, kecuali ditentukan oleh hak istimewa harus diatur dengan tegas.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tesis tentang bagaimana hak eksekutorial kreditur preferen dikarenakan keistimewaan untuk didahulukan dalam hal pemenuhan piutangnya, dan semua itu akan dituangkan dalam bentuk sebuah tesis dengan judul:

“Hak Eksekutorial Kreditur Preferen Dalam Kepailitan Debitor”.

      

11  Ibid 

12

 Pasal 1133 KUHPerdata 

13

(24)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut diatas, maka terdapat beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana kedudukan kreditur preferen dalam kepailitan?

2. Bagaimana akibat hukum putusan pailit terhadap objek Hak Tanggungan? 3. Bagaimana kreditur preferen dapat melakukan eksekusi terhadap harta pailit?

C. Tujuan Penelitian

Pada dasarnya tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk mencari pemahaman tentang masalah-masalah yang telah dirumuskan. Maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan kreditur preferen dalam kepailitan.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum putusan pailit terhadap objek Hak Tanggungan.

(25)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian yang berjudul “Hak Eksekutorial Kreditur Preferen Dalam Kepailitan Debitor” diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, antara lain sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Bagi para teoritisi, penelitian ini dapat dimanfaatkan bagi pengembangan khasanah ilmu pengetahuan mengenai kreditur dalam kepailitan khususnya terhadap kreditur preferen yang telah diatur dalam UU Kepailitan dan mengenai hak tanggungan serta bagaimana penerapannya apabila berhadapan dengan kepailitan seorang debitor. Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan sehingga lebih memperjelas kedudukan kreditur preferen, apa akibat kepailitan terhadap objek hak tanggungan dan bagaimana pelaksanaan hak eksekusinya terhadap hak jaminan yang ada padanya apabila debitor dinyatakan pailit.

2. Secara Praktis

(26)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran studi kepustakaan khususnya pada lingkungan Perpustakaan Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, ada terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan dibidang kepailitan, yaitu :

1. Penelitian yang dilakukan oleh Elyta Ras Ginting yang berjudul “Kedudukan Kreditur Separatis Dalam Perkara Kepailitan”.

Penelitian ini memfokuskan pembahasannya terhadap bagaimana kedudukan kreditur apabila terjadi kepailitan terutama mengenai kedudukan kreditur separatis dalam perkara kepailitan.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Freddy Simanjuntak yang berjudul “Penangguhan Eksekusi (Stay) Benda Agunan”.

Penelitian ini membahas secara mendalam mengenai penangguhan eksekusi (stay) dan kaitannya dengan hukum jaminan.

(27)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Dalam melakukan suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis sebagaimana yang dikemukan oleh Ronny H. bahwa “untuk memberikan landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian harus selalu disertai dengan pemikiran teoritis”. 14 Di dalam suatu teori sedikitnya terdapat tiga unsur, yakni: Pertama, penjelasan mengenai hubungan antara berbagai unsur dalam suatu teori. Kedua, Teori menganut sistem deduktif, yaitu bertolak dari suatu yang umum dan abstrak menuju suatu yang khusus dan nyata. Ketiga, Teori memberikan penjelasan atau gejala yang dikemukakannya. Fungsi teori dalam suatu penelitian adalah untuk memberikan pengarahan kepada penelitian yang akan dilakukan.15 Hukum merupakan sarana untuk mengatur kehidupan sosial. Tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan (rechtsgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian hukum (rechtszekerheid).16

Ketentuan kepailitan merupakan aturan yang mempunyai tujuan untuk melakukan pembagian harta debitor kepada para krediturnya dengan melakukan sita umum terhadap seluruh harta debitor yang selanjutnya dibagikan kepada kreditur sesuai dengan hak proporsinya. Ketentuan kepailitan ini merupakan pelaksanaan

      

14

 Ronny. H Soemitro. Metodelogi Penelitian Hukum. (Jakarta: Ghali, 1982). Hal. 37

15

Sutan Remy Sjahdeini. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi

Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. (Jakarta: Institur Bankir Indonesia, 1993).

Hal 8

16

(28)

lebih lanjut dari ketentuan Pasal 1131 juncto 1132 KUHPerdata, dimana merupakan realisasi dari prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu prorate parte.17

Penelitian ini menggunakan Teori Thomas H. Jackson yang menyatakan : “ A more profitable line of persuit might be to be view bankruptcy as a system

designed to mirror the agreement one would expect the creditors to form among

themselves were they able to negotiate such an agreement from an ex ante position. It

is this approach that I characterize as the “creditors” bargain”.18

Teknik dasar teori ini adalah menyaring hukum kepailitan melalui model “a

creditor’s bargain” dimana apabila seseorang yang kehilangan kepemilikannya

dalam kepailitan ditunjukkan untuk menyetujui terlebih dahulu adanya kerugian. Pembebasan debitor dapat menjadi penyebab motivasi dari sebagian besar pembagian piutang kepada kreditur antara lain: Asset disusun sedemikian sehingga mereka dapat dialokasikan di antara pemegang klaim melawan debitor atau kekayaan debitor; Tagihan ditentukan sedemikian sehingga peserta-peserta di dalam proses pembagian mungkin dipertemukan; Peraturan menentukan siapa yang diprioritaskan diantara penagih-penagih akan mendapatkan apa dan dalam kedudukan sebagai apa.19 Menurut Jackson, ketiga pertimbangan tersebut memungkinkan bahwa kreditur tidak terjamin pada umumnya akan setuju kepada system kolektif sebagai pengganti rencana pemulihan piutang individu karena tidak ada kreditur tunggal.

      

17

 M. Hadi Shubhan., Op.Cit., hal 67 18

 Sunarmi. Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia. (Medan: Pustaka Bangsa, 2008). Hal 19 

19

(29)

Teori “a creditor’s bargain” ini kemudian dikembangkan kembali oleh

Thomas H. Jackson dan Robert E. Scott yang menyatakan bahwa tujuan utama dari

kepailitan adalah untuk memaksimalkan kesejahteraan kelompok secara bersama-sama (dikenal dengan Teori Creditor’s Wealth Maximization) merupakan teori yang paling banyak dianut dalam hukum kepailitan. Jackson merumuskan hukum kepailitan dari persfektif ekonomi sebagai “An aclilicary, parallel system of debt-

collection law” sedangkan keadaan pailit adalah cara melaksanakan suatu putusan

tentang apa yang akan dilakukan terhadap harta debitor.

Kritik David Gray Carlson terhadap versi efesiensi dari kontraktarianisme akan terpusat pada kekayaan, bahwa semua atau kebanyakan kreditur akan menawar untuk mendapatkan otoritas yang setara dalam kepailitan. Menurut Jackson semua kreditur setuju untuk mendapatkan prioritas yang setara dalam kepailitan dan hal itulah disebut dengan “tawar-menawar kreditor (creditor’s bargain). Kesetaraan kreditur pada debitor pada gilirannya adalah esensi dari kepailitan. Kreditur benar-benar mempunyai pandangan yang setara terhadap kesempatan mereka dalam hal kebangkrutan debitor. Kreditur hanya peduli dengan memaksimalkan recovery mereka. Di dalam kepailitan terdapat enam teori menurut Vanessa Finch, yaitu:20

1. Creditor’s Wealth Maximization;

2. Contraction Approach;

3. The Communitarian Vision;

      

20

Freddy Simanjuntak. Penangguhan Eksekusi (Stay) Benda Agunan Dalam Kepailitan:

(30)

4. The Forum Vision;

5. The Etchical Vision; dan

6. The Multiple Value / Electic Approach.

Berdasarkan ke-enam teori diatas yang paling banyak dianut adalah teori

creditor’s wealth maximization. Hukum kepailitan adalah suatu prosedur tentang

penagihan dan pembayaran utang yang berlaku secara kolektif terhadap debitor yang sudah tidak mampu membayar lagi dan segala harta debitor yang ada menjadi boedel pailit untuk pelunasan utangnya kepada kreditur.

Dalam rangka restrukturisasi ekonomi, Indonesia memerlukan suatu sistem hukum yang lebih efektif dibidang perdagangan. Oleh karena sejak Indonesia melakukan privatisasi terhadap ekonomi yang semula didominasi oleh Negara, perekonomian akan semakin lebih bertumpu pada pasar daripada perencanaan kordinasi ekonomi serta memperluas sektor manufaktur. Hal ini berarti membutuhkan sistem hukum yang mampu memberikan kepastian terhadap harapan-harapan dan penyelesaian secara efektif sengketa ekonomi.21 Sektor kehidupan masyarakat yang mengalami perkembangan dengan cepat antara lain adalah kegiatan di bidang ekonomi. Berbagai rezim hukum di bidang ekonomi mengalami perubahan menyesuaikan dengan model hubungan ekonomi yang diciptakan untuk memperlancar aktivitas ekonomi. Kebutuhan pengembangan hukum terkait dengan

      

21

(31)

aktivitas perekonomian sangat penting bagi bangsa Indonesia yang saat ini sedang menapak jalan kebangkitan dari krisis ekonomi.

Salah satu produk hukum yang diperlukan dalam menunjang pembangunan perekonomian nasional adalah peraturan yang mengatur mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Sehingga dengan demikian Hukum Kepailitan Indonesia juga mengalami perubahan, yakni perubahan atas Undang-undang tentang kepailitan (FaillissementsVerordening Stb 1905 No. 217 jo Stb 1906 No. 348) ditetapkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang pada tanggal 22 April 1998, yaitu dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang-undang tentang Kepailitan.22

Perpu Nomor 1 Tahun 1998 yang berlaku tanggal 20 Agustus 1998 dan selanjutnya Perpu Nomor 1 Tahun 1998 tersebut dikuatkan menjadi UU Nomor 4 Tahun 1998 dan direvisi kembali setahun kemudian sejak disahkan oleh DPR.23 Latar belakang dikeluarkannya Perpu No.1 Tahun 1998 dikarenakan beberapa pertimbangan, salah satunya seperti gejolak moneter yang terjadi di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 memberikan pengaruh yang tidak menguntungkan terhadap perekonomian nasional, dan menimbulkan kesulitan yang besar dikalangan dunia usaha untuk meneruskan kegiatannya termasuk dalam memenuhi kewajiban kepada

      

22

 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja. Seri Hukum Bisnis: Kepailitan. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002). Hal 3

23

(32)

krediturnya.24 Adanya revisi terhadap peraturan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran diharapkan dapat memecahkan sebagian persoalan penyelesaian utang-piutang, untuk itu perlu adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang adil, cepat, terbuka, efektif, melalui suatu pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Umum yang dibentuk secara khusus dan diberikan tugas khusus untuk menangani, memeriksa, dan memutuskan berbagai sengketa tertentu di bidang perniagaan termasuk di bidang kepailitan dan penundaan pembayaran.25 UUK dan PKPU di dasarkan pada beberapa asas, yaitu: Asas Keseimbangan, Asas Kelangsungan Usaha, Asas Keadilan, dan Asas Integritas.

Lembaga hukum kepailitan merupakan perangkat yang disediakan oleh hukum untuk menyelesaikan utang-piutang di antara debitor dan kreditur. Filosofi hukum kepailitan adalah untuk mengatasi permasalahan apabila seluruh harta debitor tidak cukup untuk membayar seluruh hutang-hutangnya kepada seluruh krediturnya. Hakikat tujuan adanya kepailitan adalah proses yang berhubungan dengan pembagian harta kekayaan dari debitor terhadap para krediturnya. Kepailitan merupakan jalan keluar untuk proses pendistribusian harta kekayaan debitor yang nantinya merupakan boedel pailit secara pasti dan adil.26 Kepailitan adalah sita umum atas barang-barang milik debitor untuk kepentingan kreditur secara bersama. Semua barang dieksekusi dan hasilnya dikurangi dengan biaya eksekusi. Sehingga dalam hal ini UU Kepailitan

      

24

Sutan Remy Sjahdeini. Loc. Cit., hal 32  25

 Ibid

26

(33)

kelihatannya lebih berpihak kepada kepentingan kreditur. Parameter suatu undang-undang yang baik adalah diukur dari aspek filosofis, sosiologis dan yuridis. Undang-undang idealnya mempunyai kekuatan berlaku mengikat karena memang peraturan tersebut diterima secara sukarela oleh masyarakat bukan karena dipaksakan berlakunya oleh penguasa. Ketentuan dalam UU Nomor 4 Tahun 1998 belum sepenuhnya berdasarkan asas pemberian perlindungan yang seimbang bagi para pihak yang terkait dan berkepentingan dalam kepailitan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 UU Nomor 4 Tahun 1998. Oleh karena itu pada tanggal 18 Oktober 2004, UU Nomor 37 Tahun 2004 dilahirkan untuk menyempurnakan kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam UU Nomor 4 Tahun 1998.27

      

(34)

2. Kerangka Konsep

Menghindari kesimpangsiuran dalam menafsirkan istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, dikemukakan beberapa definisi operasional sebagai berikut:

1. Kepailitan adalah Sita umum atas semua harta kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang.28

2. Debitor Pailit adalah Debitor yang sudah dinyatakan pailit pada putusan Pengadilan.29

3. Insolvensi adalah Suatu keadaan dimana debitor tidak mampu membayar.30 4. Kurator adalah Balai Harta Peninggalan dan orang perorangan yang

berdomisili di Indonesia yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/ atau membereskan harta pailit, serta terdaftar pada Kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang hukum dan peraturan perundang-undangan.31

5. Pengadilan Niaga adalah Pengadilan dalam lingkup peradilan umum yang mengeluarkan putusan pailit dan putusan penundaan kewajiban pembayaran utang.32

Penjelasan Pasal 57 ayat (1) UUK dan PKPU

31

Pasal 70 UUK dan PKPU

32

(35)

6. Kreditur Preferen (yang diistimewakan) adalah Kreditur yang oleh undang-undang, semata-mata karena sifat piutangnya, mendapatkan pelunasan terlebih dahulu.33

7. Hak istimewa adalah Suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada yang lain, semata-mata berdasarkan sifat piutang itu.34

8. Hak Tanggungan adalah Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan utang tertentu, memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.35

9. Objek Hak Tanggungan adalah terdiri atas hak-hak atas tanah serta benda-benda yang berkaitan dengan tanah.36

10. Akta Pemberian Hak Tanggungan adalah Akta PPAT yang berisi pemberian hak tanggungan kepada kreditur tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya.37

      

33

Jono. Hukum Kepailitan. (Jakarta: Sinar Grafika, 2008). Hal 5

(36)

11. Sertifikat Hak Tanggungan adalah Tanda bukti adanya hak tanggungan yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.38

12. Pemberi Hak Tanggungan adalah Orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan yang bersangkutan.39

13. Pemegang Hak Tanggungan adalah Orang perorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.40

14. Harta Pailit adalah Segala kekayaan yang dimiliki debitor dalam bentuk benda bergerak maupun benda tetap yang merupakan objek dari tugas kurator.41 15. Eksekusi adalah Pelaksanaan putusan pengadilan atau salinan akta-akta yang

mempunyai kekuatan eksekutorial.42

16. Hukum Eksekusi adalah Hukum yang mengatur tentang pelaksanaan hak-hak kreditur dalam suatu perjanjian kredit (utang-piutang) yang dijamin dengan harta kekayaan tertentu milik debitor, apabila debitor tersebut ternyata tidak memenuhi prestasinya.43

 Rudhy A. Lontoh, et. al., Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang. (Bandung: Alumni, 2001). Hal 540  43

(37)

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian (research) berarti pencarian kembali. Pencarian yang dimaksud adalah terhadap pengetahuan yang benar (ilmiah), karena hasil dari pencarian akan dipakai untuk menjawab permasalahan tertentu.44

Penelitian pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam tehadap fakta hukum tersebut untuk kemudian yang ditimbulkan di dalam gejala yang bersangkutan.45

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian ini maka penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan semua gejala dan fakta serta menganalisa permasalahan yang ada sekarang, berkaitan dengan Hak Eksekutorial Kreditur Preferen Dalam Kepailitan Debitor. Pendekatan penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif atau pendekatan perundang-undangan. Pendekatan ini digunakan untuk mengadakan pendekatan terhadap permasalahan dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai hak eksekusi kreditur preferen dengan tujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum.

      

44

Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003). Hal. 19

45

(38)

2. Sumber Data

Oleh karena penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif, yaitu dengan melakukan library research untuk mengumpulkan data sekunder dengan menggunakan bahan hukum yang terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan serta dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah penelitian ini. Yang diantaranya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Undang-Undang Hak Tanggungan.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang diperoleh dengan melakukan penelitian literatur, yaitu melakukan penelitian atas pendapat dan pemikiran para ahli hukum yang dituangkan dalam literatur hukum, karya tulis ilmiah bidang hukum serta bentuk-bentuk tulisan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti.

c. Bahan hukum tersier46, yaitu bahan yang memberikan pertunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

      

46

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. (Jakarta: PT. Raja Grafika Persada, 2003). Hal 33.

Menyebutkan bahwa bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, pada dasarnya mencakup:

1. Bahan-bahan yang memberikan petunjuk kepada bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang lebih dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum, contohnya, abstrak perundang-undangan, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, indeks majalah hukum dan kamus hukum.

(39)

3. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan mengadakan studi dokumen. Data-data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data sekunder yaitu melalui studi pustaka dengan mempelajari bahan hukum sekunder yaitu perundang-undangan, buku-buku bacaan yang berhubungan dengan hukum kepailitan dan kreditur preferen, putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, hasil seminar ataupun hasil seminar penelitian yang dituangkan dalam bentuk buku ataupun makalah, serta bahan lainnya yang berhubungan dengan permasalahan yang ditelitI, didukung juga oleh kamus hukum dan tambah pedoman wawancara dengan Bapak Syuhada selaku Anggota Teknis Hukum Kantor Balai Harta Peninggalan Medan.

4. Analisa Data

Analisa data dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian atau untuk menguji hipotesis-hipotesis penelitian yang telah dinyatakan sebelumnya. Analisis data adalah proses penyederhanaan data dan penyajian data dengan mengkelompokkannya dalam suatu bentuk yang mudah dibaca dan diinterpretasi.47 Penelitian ini mengunakan analisis normatif sehingga bahan-bahan kepustakaan adalah sumber dari penelitian yang kemudian diolah menggunakan metode induktif dan deduktif serta kemudian dilakukan pembahasan untuk menyelesaikan

      

47

(40)

permasalahan yang ada. Analisa data merupakan proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.48 Yang dilakukan dalam analisis data adalah menginventarisasi semua ketentuan hukum positif yang menyangkut tentang kepailitan, hak tanggungan, hukum jaminan, kedudukan dan hak kreditur preferen dalam hal terjadi kepailitan debitor.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

      

48

(41)

BAB II

KEDUDUKAN KREDITUR PREFEREN

DALAM KEPAILITAN

A. Kepailitan

1. Pengertian dan Syarat Kepailitan

Secara tata bahasa, kepailitan berarti segala yang berhubungan dengan “pailit”. Istilah “pailit” dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris. Dalam bahasa Perancis, istilah “faillite” artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya disebut dengan Le failli. Didalam bahasa Belanda dipergunakan istilah faillit yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Sedangkan dalam bahasa Inggris digunakan istilah to fail, dan didalam bahasa latin dipergunakan istilah failire.

Dalam Black’s Law Dictionary pailit atau “Bankrupt adalah “the state or

condition of the person (individual, partnership, corporation, municipality) who is

unable to pay its debt as they are, or become due”. The term includes a person

against whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary

petition, or who has been adjudged a bankrupt.49 

 

      

49

(42)

Dari pengertian yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary dapat dilihat bahwa pengertian pailit dihubungkan dengan “ketidakmampuan untuk membayar” dari seorang debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan itu harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri, maupun atas permintaan orang ketiga (diluar debitur), suatu permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan, maksud pengajuan permohonan tersebut adalah sebagai suatu bentuk pemenuhan asas “publisitas” dari keadaan tidak mampu membayar dari seorang debitor. Tanpa adanya permohonan tersebut ke pengadilan, maka pihak ketiga yang berkepentingan tidak akan pernah tahu keadaan tidak mampu membayar dari debitor. Keadaan ini kemudian akan diperkuat dengan suatu putusan pernyataan pailit oleh Hakim Pengadilan, baik itu merupakan putusan yang mengabulkan ataupun menolak permohonan kepailitan yang diajukan.50 Defenisi kepailitan itu sendiri tidak ditemukan dalam Faillisements Verordening maupun dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1998. Kepailitan adalah pembeslahan massal dan pembayaran yang merata serta pembagian yang seadil-adilnya diantara para kreditur dengan dibawah pengawasan pemerintah. Selanjutnya dijelaskan :

1. Pembeslahan massal, mempunyai pengertian bahwa dengan adanya vonis kepailitan, maka semua harta pailit kecuali yang tercantum dalam Pasal 20

Faillissement Verordening, dibeslag untuk menjamin semua hak-hak kreditur.

      

(43)

2. Pembayaran yang merata serta pembagian yang seadil-adilnya menurut posisi piutang dari para kreditur yaitu:

a. Golongan kreditur separatis (hypotik, gadai).

b. Golongan kreditur preferen (Pasal 1139 dan 1149 KUHPerdata). c. Golongan kreditur konkuren.

3. Dengan di bawah pengawasan pemerintah. Artinya, bahwa pemerintah ikut campur dalam pengertian mengawasi dan mengatur penyelenggaraan penyelesaian boedel si pailit, dengan mengerahkan alat-alat perlengkapannya yaitu:

a. Hakim pengadilan niaga b. Hakim komisaris

c. Kurator (weeskamer / BHP)

(44)

Permohonan pernyataan pailit dapat dilakukan jika persyaratan kepailitan telah terpenuhi. Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU disebutkan bahwa syarat kepailitan adalah “debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya”. Ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa untuk dapat mempailitkan debitor harus:

1. Mempunyai 2 (dua) atau lebih kreditur, dan

2. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Rasio kepailitan adalah jatuhnya sita umum atas semua harta benda debitor untuk kemudian setelah dilakukan rapat verifikasi tidak tercapai accord, dilakukan proses likuidasi atas seluruh harta benda debitor untuk kemudian dibagi-bagikan hasil perolehan kepada semua krediturnya sesuai tata urutan kreditur tersebut menurut undang-undang. Dengan demikian jika seorang debitor hanya memiliki satu kreditur saja, maka kepailitan akan kehilangan rasionya, itulah sebabnya diisyaratkan adanya

consursus creditorium. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1), dapat diketahui bahwa

(45)

pailit, yang berlaku umum bagi semua kreditur konkuren dalam kepailitan tanpa terkecuali, untuk memperoleh pelunasan atas seluruh piutang-piutang konkuren mereka. Sebelumnya rumusan ini diberikan oleh Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan.

Syarat debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu “utang"51 yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Hukum kepailitan bukan mengatur kepailitan debitor yang tidak membayar kewajibannya hanya kepada salah satu krediturnya saja, tetapi debitor itu harus berada dalam keadaan insolven (insolvent). Seorang debitor dalam keadaan insolven hanyalah apabila debitor itu tidak mampu secara financial untuk membayar utang-utangnya kepada sebagian besar krediturnya. Seorang debitor tidak dapat dikatakan telah dalam keadaan insolvensi apabila hanya kepada seorang kreditur saja debitor tersebut tidak membayar utangnya, sedangkan kepada kreditur lainnya debitor tetap dapat melaksanakan kewajiban pelunasan utang-utangnya dengan baik.52 Keadaan berhenti membayar haruslah merupakan keadaan yang objektif, yaitu karena keuangan debitor telah mengalami ketidakmampuan membayar utang-utangnya. Dengan kata lain, debitor tidak boleh hanya sekedar tidak mau membayar utang-utangnya tetapi keadaan objektif keuangannya memang telah dalam

      

51

 Menurut Pasal 1 ayat (6) UUK dan PKPU, bahwa yang dimaksud dengan Utang adalah Kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbuk dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.

52

(46)

keadaan tidak mampu membayar, sehingga yang menjadi pertimbangan pengadilan niaga untuk menyatakan seorang debitor pailit, tidak saja dikarenakan ketidakmampuannya untuk melunasi utang-utang tersebut seperti yang sudah diperjanjikan.

Hukum kepailitan di Indonesia baik dalam Faillissement Verordening, UU No. 4 Tahun 1998 maupun UU No. 37 Tahun 2004 tidak memberikan batasan yang jelas tentang “berhenti membayar” dan “tidak membayar”. Dengan tidak adanya tes insolvensi dalam hukum kepailitan Indonesia merupakan kelemahan. Debitor yang masih memiliki kekayaan yang cukup untuk membayar utang-utangnya dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan karena tidak membayar utang. Istilah “solvent” berasal dari bahasa latin “solvere” yang artinya membayar dan lawan katanya “insolvent” yang artinya tidak membayar.

(47)

2. Subjek Hukum Kepailitan a. Debitor Pailit

1. Orang perorangan, yaitu Siapa saja/ setiap orang yang menjalankan perusahaan atau tidak menjalankan perusahaan, orang perorangan yang dimaksud bisa laki-laki ataupun perempuan.

2. Badan hukum

Di samping manusia, badan hukum juga dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan. Pernyataan pailit tersebut mengakibatkan pengurusan harta kekayaan badan hukum serta merta beralih kepada kurator.

3. Perkumpulan bukan badan hukum

Perkumpulan yang tidak berbadan hukum adalah seperti persekutuan perdata, persekutuan firma dan persekutuan komanditer. perkumpulan ini mempunyai ciri-ciri seperti: Tidak dapat melakukan perbuatan perdata dalam kedudukannya sebagai perkumpulan; Yang bertanggungjawab adalah orang-orang yang mengadakan persetujuan-persetujuan atau si penerima barang dari perkumpulan itu; dan Di samping harta kekayaan perkumpulan, maka harta privennya juga dapat dipertanggung-jawabkan bagi pemenuhan piutang-piutangnya.

4. Harta peninggalan (Warisan)

(48)

meninggal, si pewaris tidak mencukupi untuk membayar utangnya atau semasa hidupnya tidak dibayar lunas. Pernyataan pailit harta peninggalan berakibat demi hukum dipisahkan harta kekayaan pihak yang meninggal dari harta kekayaan para ahli waris.53

5. Penjamin (Quarantor)54 adalah Seorang yang berkewajiban untuk membayar utang debitor kepada kreditur manakala si debitor lalai atau cidera janji.

b. Pemohon Pailit

Permohonan kepailitan dapat diajukan oleh: 1. Debitor

Debitor adalah Orang atau pihak lain yang dalam suatu perikatan berkewajiban untuk memberikan prestasi kepada kreditur. Pasal 1 ayat (3) UUK dan PKPU mendefinisikan debitor sebagai orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan.

2. Kreditur

Kreditur adalah Orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih dimuka pengadilan.55

      

53

Pasal 1107 KUHPerdata

54

Pasal 1820 KUHPerdata

55

(49)

3. Kejaksaan

Permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh kejaksaan yang mengandung unsur alasan “kepentingan umum”, selain itu juga harus memenuhi unsur:

a. Debitor memiliki dua atau lebik kreditur yang mempunyai utang dan telah jatuh tempo dan dapat ditagih;

b. Tidak ada pihak lain yang mengajukan permohonan pailit. 4. Bank Indonesia

Dalam hal debitor adalah bank, maka permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Bank Indonesia.56 Bank sebagai kreditur dalam menghadapi debitor non bank adalah mandiri dalam menjalankan haknya untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit, tetapi apabila bank sebgai kreditur menghadapai debitor yang merupakan bank juga, maka hak untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit itu hilang karena ketentuan UUK dan PKPU tersebut.

5. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam)

Bapepam adalah satu-satunya yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit jika debitornya adalah perusahaan efek. Dalam hal debitor adalah perusahaan efek, lembaga kliring dan penjamin, lembaga

      

56

 Pasal 2 ayat (2) UUK dan PKPU

(50)

penyimpanan dan penyelesaian, permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Bapepam.57

6. Menteri Keuangan

Selain kejaksaan, pengajuan permohonan pernyataan pailit berdasarkan kepentingan umum juga dapat diajukan oleh Menteri Keuangan apabila perusahaan asuransi tersebut telah dicabut izin usahanya. Dalam hak debitor adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pension, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang kepentingan public, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.58

B. Kedudukan Kreditur Preferen Dalam Kepailitan

Pada dasarnya kedudukan para kreditur adalah sama (paritas creditorium) dan karenanya mereka mempunyai hak yang sama atas hasil eksekusi boedel pailit sesuai besarnya tagihan mereka masing-masing (pari passu prorate parte). Filosofi dari prinsip paritas creditorium adalah bahwa merupakan suatu ketidakadilan jika debitor memiliki harta benda, sementara utang debitor terhadap krediturnya tidak terbayarkan. Ketidakadilan prinsip paritas creditorium adalah menyamaratakan kedudukan para kreditur. Betapa sangat tidak adil seorang kreditur yang memiliki

      

57

  Pasal 2 ayat (4) UUK dan PKPU

58

(51)

piutang sebesar satu miliar rupiah diperlakukan dalam posisi yang sama dengan kreditur yang memiliki piutang satu juta rupiah. Demikian pula betapa tidak adilnya seorang kreditur yang memegang jaminan kebendaan diperlakukan sama dengan seorang kreditur yang sama sekali tidak memegang jaminan kebendaan.Namun demikian, asas tersebut mengenal pengecualian yaitu golongan kreditur yang memegang hak agunan atas kebendaan59 dan golongan kreditur yang haknya didahulukan berdasarkan UUK dan peraturan perundang-undangan lainnya.60

Kedudukan preferen berkaitan dengan hasil eksekusi, hal ini nampak jelas bila dihubungkan dengan Pasal 1132 BW yang pada asasnya para kreditor berbagi

pond’s-pond’s atas hasil eksekusi harta benda milik debitor. Dengan adanya pembebanan

Hak Tanggungan maka kreditor menjadi preferen atas hasil penjualan benda tertentu milik debitor, dan ia berhak mengambil lebih dahulu uang hasil eksekusi Hak Tanggungan.

Kreditur berasal dari kata latin “credence” atau “credere” yang artinya dapat dipercaya. Kemudian kata “credence” menjadi kata kredit dalam bahasa inggris yang memiliki arti yang sama dengan faith, trust (favorable) repute, power based on

confidence, acknowledgement of merit, confidence in a buyers ability to pay atau

reputation of solvency. Kata benda dari “credence” adalah creditum atau kredit

(inggris) yang artinya sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang (thing entrusted

to one).

      

59

Pasal 56 UUK dan PKPU

60

(52)

Berdasarkan jenis pelunasan piutangnya dari debitur maka tingkatan kreditur dapat dikategorikan, sebagai berikut:

1. Kreditur Preferen (istimewa atau privilege) yang terdiri atas: a. Kreditur Preferen karena undang-undang;

Yaitu Kreditur yang karena undang-undang diberi tingkatan yang lebih tinggi daripada kreditur lainnya semata-mata berdasarkan sifat piutang yang diatur dalam Pasal 1139 KUHPerdata dan Pasal 1149 KUHPerdata. b. Kreditur Separatis (secured creditor);

Yaitu Kreditur yang dapat menjual sendiri benda jaminan seolah-olah tidak terjadi kepailitan, artinya para kreditur separatis tetap dapat melaksanakan hak-hak eksekusinya meskipun debitornya dinyatakan pailit.

Kreditur pemegang hak jaminan adalah kreditur preferen. Mariam Darus Badrulzaman menyebutkan sebagai kreditur pemegang hak jaminan yang memiliki hak preferen dan kedudukannya sebagai kreditur separatis.61 Perbedaan antara hak dan kedudukan kreditur yang piutangnya dijamin dengan hak atas kebendaan, yaitu haknya disebut preferen karena ia digolongkan oleh UU sebagai kreditur yang di istimewakan pembayarannya, sedangkan kedudukannya adalah sebagai kreditur separatis karena ia memiliki hak yang terpisah dari kreditur preferen

      

61

(53)

lainnya yaitu piutangnya dijamin dengan hak kebendaan.62 Dikatakan separatis yang berkonotasi pemisahan karena kedudukan kreditur tersebut memang dipisahkan dari kreditur lainnya, dalam arti ia dapat menjual benda sendiri dan mengambil sendiri dari hasil penjualan yang terpisah denganharta pailit pada umumnya.63 Kreditur pemegang hak jaminan ini karena sifat pemilik suatu hak yang dilindungi secara super preferen dapat mengeksekusi seolah-olah tidak terjadi kepailitan karena dianggap “separatis” (berdiri sendiri).

2. Kreditur Konkuren (unsecured creditor)

Yaitu Kreditur yang tidak temasuk dalam kreditur separatis atau golongan preferen. Pelunasan piutang-piutang mereka dicukupkan dari sisa penjualan/ pelelangan harta pailit sesudah diambil bagian golongan separatis dan preferen. Sisa hasil penjualan harta pailit dibagi menurut imbangan besar kecilnya piutang para kreditur konkuren.64

Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU tidak membedakan jenis-jenis kreditur yang dapat mengajukan permohonan pailit tanpa terkecuali termasuk kreditur separatis. Akan tetapi Sutan Remi Syahjeini berpendapat bahwa kreditur separatis atau kreditur pemegang hak jaminan tidak mempunyai kepentingan untuk diberi hak mengajukan permohonan pernyataan pailit mengingat kreditur separatis telah

      

62

Ibid

63

Munir Fuady. Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998). Hal 105

64

(54)

terjamin sumber pelunasan tagihannya, yaitu dari barang agunan yang dibebani dengan hak jaminan. Apabila seorang kreditur separatis merasa kurang terjamin sumber pelunasan piutangnya karena nilai hak jaminan yang dipegangnya lebih rendah daripada nilai piutangnya, dan apabila kreditur separatis itu menghendaki untuk memperoleh sumber pelunasan dari harta pailit, maka kreditur separatis itu harus terlebih dahulu melepaskan hak separatisnya, sehingga dengan demikian berubah statusnya menjadi kreditur konkuren.65

Dalam hukum perdata umum pembedaan kreditur hanya dibedakan dari kreditur preferen dengan kreditur konkuren. Kreditur preferen dalam hukum perdata umum dapat mencakup kreditur yang memiliki hak jaminan kebendaan dan kreditur yang menurut undang-undang harus didahulukan pembayaran piutangnya. Akan tetapi di dalam kepailitan yang dimaksud dengan kreditur preferen hanya kreditur yang menurut undang-undang harus didahulukan pembayaran piutangnya, seperti pemegang hak privillage, pemegang hak retensi, dll. Sedangkan kreditur yang memiliki jaminan kebendaan dalam hukum kepailitan diklasifikasikan dalam kreditur separatis. Dalam hubungannya dengan aset-aset yang digunakan, kedudukan kreditur preferen sangat tinggi, lebih tinggi dari kreditur yang diistimewakan lainnya, kecuali undang-undang menentukan sebaliknya. Hal ini sesuai dengan Pasal 1134 ayat (2) KUHPerdata yang berbunyi: "Gadai dan hipotik adalah lebih tinggi dari pada hak istimewa kecuali dalam hal-hal dimana oleh undang-undang ditentukan sebaliknya". Sehingga berdasarkan semua penjelasan diatas maka kreditur preferen memiliki

      

65

(55)

kedudukan yang diistimewakan dimana kreditur preferen memiliki hak untuk mendapat pelunasan terlebih dahulu dari hasil penjualan harta pailit berdasarkan sifat piutangnya.

C. Kedudukan Hak Jaminan Dalam Kepailitan

Berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata yang menentukan bahwa segala harta kekayaan debitor, baik yang berupa benda bergerak maupun benda tetap (benda tidak bergerak), baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi jaminan atau agunan bagi semua perikatan yang dibuat oleh debitor dengan para krediturnya. Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa apabila debitor cidera janji tidak melunasi utang yang diperolehnya dari para krediturnya, maka hasil penjualan atas semua harta kekayaan debitor tanpa kecuali merupakan sumber pelunasan bagi utangnya itu.

(56)

penjualan tersebut maka harus dikembalikan kepada debitor.66 Ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata merupakan ketentuan yang memberikan perlindungan bagi seorang kreditur. Menurut ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata, harta kekayaan debitor menjadi jaminan atau agunan secara bersama-sama bagi semua pihak yang memberi utang kepada debitor, artinya apabila debitor cidera janji tidak melunasi utangnya, maka hasil penjualan atas harta kekayaan debitor tersebut dibagikan secara proposional (secara pari passu) menurut besarnya tagihan masing-masing kreditur, kecuali apabila diantara kreditur terdapat alasan-alasan yang sah untuk didahulukan dari kreditur-kreditur yang lain. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ditemui adanya dua hak preferens, yang memberikan hak mendahulu kepada pemegang hak preferen tersebut, untuk memperoleh pelunasan utang-utang debitor, dengan cara menjual secara lelang kebendaan yang dijaminkan kepada kreditur tersebut secara preferen. Hak-hak tersebut adalah:

1. Hak gadai atas kebendaan yang bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud;

2. Hipotik atas kebendaan tidak bergerak bukan tanah, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.

      

66

(57)

Di dalam hak jaminan juga terdapat beberapa asas yang berlaku, yaitu:67

1. Hak jaminan memberikan kedudukan yang didahulukan bagi kreditur pemegang hak jaminan terhadap para kreditur lainnya;

2. Hak jaminan merupakan hak accesoir terhadap perjanjian pokok yang dijamin dengan jaminan tersebut. Perjanjian pokok yang dijamin adalah perjanjian utang-piutang antara kreditur dan debitor. Artinya, apabila perjanjian pokoknya berakhir maka perjanjian hak jaminan demi hukum juga berakhir; 3. Hak jaminan memberikan hak separatis bagi kreditur pemegang hak jaminan

tersebut. Artinya, benda yang dibebani dengan hak jaminan bukan merupakan harta pailit dalam hal debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan;

4. Hak jaminan merupakan hak kebendaan. Artinya, hak jaminan akan selalu melekat diatas benda tersebut (selalu mengikuti benda tersebut) kepada siapa pun juga benda beralih kepemilikannya.

5. Kreditur pemegang hak jaminan mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan eksekusi atas hak jaminannya. Artinya, kreditur pemegang hak jaminan itu berwenang untuk menjual sendiri, baik berdasarkan penetapan pengadilan maupun berdasarkan kekuasaan yang diberikan undang-undang, benda yang dibebani dengan hak jaminan tersebut dan mengambil hasil penjualan tersebut untuk melunasi tagihannya kepada debitor;

      

67

(58)

6. Karena hak jaminan merupakan hak kebendaan, maka hak jaminan berlaku bagi orang ketiga. Oleh karena hak jaminan berlaku bagi orang ketiga maka terhadap hak jaminan berlaku asas publisitas. Artinya, hak jaminan tersebut harus di daftarkan di kantor pendaftaran hak jaminan yang bersangkutan. Sebelum di daftarkan hak jaminan itu bukan berlaku bagi pihak ketiga. Asas publisitas tersebut dikecualikan bagi hak jaminan gadai. Hal tersebut dapat dimengarti oleh karena alasan-alasan sbb:

a. Bagi sahnya hak jaminan gadai, benda yang dibebani dengan hak jaminan gadai itu harus diserahkan kepada kreditur pemegang hak jaminan gadai tersebut, dan hak jaminan gadai menjadi batal apabila benda yang dibebani dengan hak jaminan gadai terlepas dari penguasaan kreditur pemegang hak jaminan gadai tersebut.

b. Benda yang dapat dibebani dengan hak jaminan gadai hanya terbatas pada benda bergerak.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan permasalahan yang diungkapkan sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : (1) Besarnya biaya, penerimaan, dan pendapatan pada agroindustri

Hal ini dapat menunjukkan bahwa para responden yaitu para tamu yang check in maupun check out di Hotel Ibis Pekanbaru merasa dalam mengantar tamu ke lobby dan

Enam daripadanya (hartanah, perubatan, pendidikan anak, insurans nyawa, insurans pendidikan dan wang kepada ibu-bapa) mencatatkan peratusan lebih tinggi daripada

Tatakaedah kajian menggunakan Teknik Delphi yang temu bual bersama tujuh orang pakar bidang pendidikan vokasional telah dijalankan bagi memperoleh kesepakatan

Tabel 2.6 Tabel Perhitungan Iterasi Kedua Vogel 15 Tabel 2.7 Tabel Perhitungan Iterasi Ketiga Vogel 15 Tabel 2.8 Tabel Perhitungan Iterasi Keempat Vogel 16 Tabel 2.9

Untuk kasus Indonesia, tampaknya penempatan calon perempuan dalam daftar calon harus diatur secara lebih detil agar tidak menimbulkan beragam penafsiran dari partai politik yang

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perbandingan umpan dan pelarut (f/s), jenis antisolvent dan jenis pelarut terhadap ekstraksi likopen

Ketercapaian siswa yang memenuhi ketiga indikator berkemampuan visual, berkemampuan persamaan atau ekspresi matematis dan berkemampuan kata-kata atau teks tertulis hanya