• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Wortel (Daucus carota L.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Wortel (Daucus carota L.)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Wortel (Daucus carota L.)

Sistematika dan Biologi

Wortel dalam taksonomi tumbuhan termasuk dalam divisi Spermatophyta, kelas Angiospermae, ordo Umbelliferales, famili Umbelliferae (Pitojo 2006). Bagian tubuh wortel terdiri atas daun, batang, dan akar. Daun wortel adalah daun majemuk ganda dengan anak daun terletak beraturan dan berbentuk lanset. Daun tidak berbulu dengan bagian tepi bercangap. Kedudukan daun pada batang berselang-seling. Daun ditopang oleh pelepah daun yang berukuran besar dan berbentuk pipih (perikladium), yang tidak membalut batang. Pelepah berlekuk memanjang dan dapat berukuran hingga 30 cm di bagian bawah (Pitojo 2006).

Batang wortel beruas-ruas hingga delapan ruas. Cabang tanaman wortel muncul dari ruas batang kedua yang berada dekat dengan permukaan tanah. Umumnya ruas pada batang utama bagian bawah berjarak lebih pendek jika dibandingkan dengan ruas batang bagian atas yang relatif lebih panjang. Cabang tanaman berwarna hijau, keras namun tidak berkayu, dan di dalamnya terdapat jaringan gabus (Pitojo 2006).

Akar tunggang muncul dari biji yang tumbuh tegak lurus ke dalam tanah. Dalam perkembangannya, akar berubah bentuk serta fungsi menjadi umbi sebagai tempat menyimpan cadangan makanan. Umbi berbentuk bulat dan memanjang dengan memiliki beberapa warna seperti kuning kemerahan, jingga, putih, dan ungu (Pitojo 2006).

Manfaat Wortel

Wortel berasal dari Asia Selatan dengan penyebaran luas pada daerah tropis dan subtropis (Pitojo 2006). Budidaya wortel di Indonesia awalnya hanya terkonsentrasi di daerah Lembang dan Cipanas, Jawa Barat, selanjutnya wortel berkembang dan menyebar ke berbagai daerah penghasil sayuran di Jawa dan luar Jawa (Rukmana 1995).

Wortel sering dimanfaatkan sebagai bahan pangan sayur, pewarna makanan dan minuman, serta bahan ramuan obat tradisional. Umbi wortel mengandung

(2)

tiga elemen penting, yaitu betakaroten, vitamin A, dan fitokemikalia. Betakaroten dapat digunakan sebagai pewarna makanan, selain itu dapat mengurangi kerusakan kulit akibat sinar matahari. Kandungan vitamin A selain berguna untuk kesehatan mata juga dapat memperkuat membran sel sehinga lebih kuat melawan penyakit yang diakibatkan mikroorganisme. Sedangkan fitokemikalia dapat mengurangi resiko stroke, menghindari proses penuaan dini, menjaga keseimbangan metabolisme hormonal, dan berperan sebagai anti virus serta anti bakteri (Pitojo 2006). Wortel juga mengandung mineral Ca, P, K, dan serat yang baik bagi tubuh (Novary 1997).

Persyaratan Tumbuh

Wortel merupakan sayuran dataran tinggi pada kisaran 1200 m dpl dengan iklim subtropis. Tanaman wortel dapat tumbuh dengan baik pada kondisi lingkungan lembab dengan kisaran suhu 15.6 oC – 21.1 oC. Suhu udara yang terlalu tinggi sering kali menyebabkan umbi menjadi kecil, terhambatnya perkecambahan, penurunan kandungan β-karoten dan berwarna pucat (kusam) (Pitojo 2006). Pracaya (2002) menambahkan jika suhu udara terlalu rendah (sangat dingin) juga tidak baik bagi wortel karena umbi yang terbentuk menjadi panjang dan kecil. Wortel dapat ditanam sepanjang tahun di Indonesia (Pracaya 2002).

Tanaman wortel tumbuh dengan baik pada tanah gembur, remah, poros, serta memiliki aerasi udara yang bagus seperti tanah andosol (Pitojo 2006). Tanah andosol banyak dijumpai di daerah dengan curah hujan 2000 mm setahun tanpa bulan kering yang pasti. Andosol terbentuk dari bahan induk tufa atau abu volkan yang berada di sekitar puncak gunung berapi atau dataran tinggi. Solum tanah andosol agak tebal, berwarna hitam agak kuning, konsistensi gembur, kadang-kadang membentuk pasir palsu dan fragipan, dan tekstur kaya debu. Reaksi tanah berkisar dari agak masam sampai netral, kaya bahan organik pada permukaan, kerapatan isi <0.85 g/cm3, kejenuhan basa sedang dengan KTK liat >24 me/100 g, fiksasi P tinggi, miskin N, P, dan K, mineral liat dominan alofan, permeabilitas sedang, dan peka erosi air dan angin (Supardi 1983). Keasaman tanah andosol sangat cocok dengan sifat wortel yang tumbuh dengan baik pada pH 6.0 – 6.8 (Pitojo 2006).

(3)

Hama Penyakit pada Wortel

Rukmana (1995) menjelaskan bahwa dalam penanaman wortel sering terjadi banyak gangguan terutama gangguan biotik yaitu gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT). Beberapa spesies hama yang umum dijumpai dan menyerang tanaman wortel antara lain: Hyposidra sp. (Lepidoptera: Geometridae), Heliothis assula (Lepidoptera: Noctuidae), Agrotis ipsilon (Lepidoptera: Noctuidae), Nezara viridula (Hemiptera: Pentatomidae), dan Coccinella spp. (Coleoptera: Coccinellidae). Penyakit yang sering dijumpai pada pertanaman wortel antara lain busuk pangkal batang (Sclerotinia slerotiorum), bercak daun Cercosprora (Cercospora carotae), hawar daun (Alternaria dauci), dan nematoda puru akar (Meloidogyne spp.) (Pitojo 2006).

Nematoda Puru Akar (Meloidogyne spp.)

Sistematika

Nematoda berasal dari bahasa Yunani/ Greek “nematos” yang artinya benang dan “eidos” yang berarti menyerupai. Secara harfiah nematoda merupakan binatang yang bentuk tubuhnya menyerupai benang (Dropkin 1991).

Nematoda puru akar (Meloidogyne spp.) tergolong ke dalam kingdom Animalia, filum Nematoda, ordo Tylenchida, famili Heteroderidae, genus Meloidogyne (Dropkin 1991). Menurut Kurniawan (2010), terdapat lima spesies NPA yang dipertimbangkan sebagai nematoda parasit penting pada tanaman wortel di Indonesia, yaitu M. arenaria, M. hapla, M. incognita, M. javanica, dan M. chitwoodi.

Morfologi

 Meloidogyne spp. tidak berwarna seperti halnya dengan jenis nematoda parasit tumbuhan lainnya. Meloidogyne jantan dewasa, betina dewasa dan juvenil mudah dibedakan berdasarkan morfologi tubuhnya (Eisenback et al. 2003).

Juvenil 2 (J2) berbentuk silindris dengan panjang ± 450 µm. Stilet dan kerangka kepala J2 mengalami sklerotinasi yang tipis dengan ekor berbentuk kerucut hialin dimulai dekat ujung ekor (Luc et al. 2005).

Tubuh nematoda betina berbentuk seperti buah pir dengan leher yang pendek dan posterior membulat. Betina dewasa memiliki ukuran panjang 921 µm

(4)

yang diukur dari leher hingga posterior (Eisenback et al. 2003). Stilet berukuran pendek dan mengalami sklerotinasi sedang. Nematoda betina memiliki kerangka kepala lembek dengan lubang ekskresi terletak agak anterior sampai pada lempeng klep median bulbs dan sering terlihat pada dekat basal stilet. Vulva terletak subterminal dekat anus, kutikula berwarna agak keputihan, tipis dan beranulasi jelas (Luc et al. 2005).

Nematoda jantan berbentuk seperti cacing (vermiform) dengan panjang 1873 µm (Eisenback et al. 2003). Stilet jantan lebih panjang dibandingkan dengan stilet betina. Kerangka kepala nematoda jantan lebih kuat, dengan ekor pendek setengah melingkar. Jantan memiliki spikula yang kuat dan tidak mempunyai bursa (Luc et al. 2005).

Siklus Hidup

Siklus hidup nematoda terdiri dari 3 stadia, dimulai dari telur, juvenil, dan dewasa. Stadia juvenil dibagi menjadi 4 tahap, yaitu Juvenil 1 (J1), Juvenil 2 (J2), Juvenil 3 (J3), dan Juvenil 4 (J4) (Dropkin 1991). Setiap stadia dalam siklus hidup nematoda berada di tempat yang berbeda-beda. Siklus hidup nematoda dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Siklus hidup NPA (sumber: Mitkowski & Abawi 2003)

Telur-telur yang dihasilkan nematoda betina dewasa diletakan berkelompok pada massa gelatinus yang bertujuan untuk melindungi telur dari kekeringan dan

(5)

jasad renik (Roberts & Mullens 2002). Telur yang baru diletakan mengandung zigot set tunggal. Embrio berkembang menjadi Juvenil 1 (J1) dan mengalami pergantian kulit pertama menjadi Juvenil 2 (J2) (Dropkin 1991).

J1 mengalami perubahan menjadi Juvenil 2 (J2) saat telur menetas. J2 keluar dari cangkang telur dan masuk ke dalam tanah sebagai stadium infektif. Setelah menemukan tempat infeksi yang cocok, J2 mengalami pertumbuhan dan pergantian kulit tiga kali berturut-turut menjadi Juvenil 3 (J3), Juvenil 4 (J4), dan dewasa di dalam jaringan inang (Dropkin 1991).

Nematoda jantan meninggalkan akar setelah dewasa sedangkan nematoda betina hidup menetap pada jaringan tanaman inang (Roberts & Mullens 2002). Sistem reproduksi betina terbentuk setelah fase dewasa, setelah itu pola sidik pantat akan tampak (Eisenback & Trpiantaphyllou 1991). Betina mengalami beberapa pergantian bentuk selama masa perkembangannya, setelah ganti kulit terakhir betina tumbuh dengan cepat dan bentuknya menjadi seperti buah pir (Franklin 1995).

Siklus hidup nematoda bergantung pada spesies nematoda dan temperatur musim. Satu sampai tiga generasi dapat terjadi dalam satu musim. Temperatur optimum untuk M. hapla, M. fallax, dan M. chitwoodi antara 15 ºC – 25 ºC, sedangkan M. arenaria, M. incognita, dan M. javanica antara 25 ºC – 30 ºC. Sangat sedikit aktivitas nematoda pada suhu di atas 38 ºC dan di bawah 5 ºC (Roberts & Mullens 2002).

Mekanisme Infeksi NPA

Tahap J2 adalah tahap satu-satunya yang dapat melakukan infeksi. J2 bergerak aktif di dalam tanah menuju akar yang sedang tumbuh. J2 menginfeksi tanaman dimulai dengan melakukan penetrasi ke dalam akar tumbuhan melalui epidermis akar yang terletak di sekitar tudung akar. J2 bergerak di antara sel-sel menuju sel dekat silinder pusat atau berada di daerah pertumbuhan akar samping. J2 merusak sel-sel akar dengan menginjeksikan hasil sekresi kelenjar esofagus (elisitor) menggunakan stilet ke dalam jaringan inang. Sekresi nematoda ini menyebabkan perubahan fisiologis dalam sel-sel inang, yang mengubah sel inang menjadi sel raksasa (giant cells) (Mitkowski & Abawi 2003). Giant cells merupakan bentuk respon inang terhadap infeksi nematoda, yang selanjutnya

(6)

digunakan sebagai sumber nutrisi bagi nematoda (Vrain 1999; Williamson & Richard 1996).

Nematoda memerlukan bantuan enzim untuk bergerak dan berkembang biak di dalam sel inang. Enzim yang digunakan adalah enzim selulase, enzim endopektin metal transeliminase, dan enzim proteolitik. Enzim-enzim tersebut dapat menguraikan dinding sel tumbuhan yang mengandung protein dan polisakarida (pektin selulose, hemiselulose, pektin sukrosa, dan glikosid) menjadi bahan-bahan lain. Enzim selulase dapat menghidrolisis selulosa, enzim endopektin metal transeliminase dapat menguraikan pektin, dan enzim proteolitik dapat mengurai protein. Nematoda mengeluarkan enzim proteolitik dengan melepaskan asam indol asetat yang merupakan heteroauksin tritopan yang diduga membantu terbentuknya puru. Terurainya bahan-bahan penyusun dinding sel ini menyebabkan dinding sel akan rusak dan terbentuk luka (Lamberti & Taylor 1979).

Gejala Penyakit

Gejala infeksi NPA pada tajuk tanaman wortel dicirikan dengan tanaman yang mengerdil dan daun menguning (klorosis) yang menyebabkan berkurangnya vigor tanaman. Apabila tanaman terinfeksi pada masa pembibitan, maka produksi umbi akan sangat sedikit (Roberts & Mullens 2002).

Infeksi nematoda juga menyebabkan kerusakan pada akar tanaman karena nematoda mengisap sel-sel pada akar, jaringan pembuluh terganggu sehingga translokasi air dan hara terhambat. Kerusakan akar tanaman juga akan menyebabkan pasokan air ke daun menjadi berkurang sehingga stomata menutup dan laju fotosintesis menurun (Wallace 1987 dalam Mustika 2010). Akibatnya, pertumbuhan tanaman terhambat dan produktivitas tanaman menurun (Melakeberhan et al. 1987 dalam Mustika 2010).

Puru merupakan gejala khas dari infeksi NPA. Puru muncul sebagai tanda awal terjadinya asosiasi antara tanaman wortel dan betina NPA. Puru terjadi akibat pembesaran dan pembelahan sel yang berlebihan pada perisikel, serta perubahan bentuk jaringan pengangkut. Tanaman yang mengalami infeksi berat oleh NPA sistem perakarannya mengalami pengurangan jumlah akar. Pembentukan akar baru hampir tidak terjadi, sehingga fungsi perakaran dalam

(7)

menyerap dan menyalurkan air dan unsur hara ke seluruh bagian tanaman terhambat (Kurniawan 2010).

Bentuk puru akibat infeksi NPA berbeda-beda tergantung dari spesies nematoda, misalnya M. hapla menyebabkan timbulnya puru seperti manik-manik dan cenderung lebih kecil dibandingkan dengan puru yang diakibatkan oleh spesies NPA lain, yang cenderung lebih besar dan menyatu (Roberts & Mullens 2002). Puru bergabung dan berjajar di sepanjang perakaran. Akar yang terinfeksi biasanya pendek dan mempunyai sedikit akar lateral dan akar rambut (hairy root) (Agrios 2005).

Malformasi merupakan salah satu gejala infeksi NPA selain adanya puru. Infeksi NPA menyebabkan umbi tanaman wortel menjadi bercabang (forking) (Nunez et al. 2008), membulat dengan ukuran lebih pendek, dan membentuk akar rambut yang cukup banyak (hairiness) (Vrain 1982).

Infeksi NPA mengakibatkan tanaman semakin rentan terhadap infeksi OPT lain. Infeksi cendawan patogen meningkat apabila kandungan eksudat puru akar diubah dan jumlahnya lebih banyak, sehingga cendawan pada stadium istirahat yang terjangkau oleh akar menjadi aktif (Agrios 2005).

Kisaran Inang

NPA punya kisaran inang yang luas. Lebih dari 700 spesies tanaman menjadi inang Meloidogyne spp., diantaranya adalah kara, kacang, kubis, wortel, waluh, tomat, labu, kentang, tanaman hias, dan rerumputan (Pitojo 2006).

M. arenaria, M. hapla, M. incognita, M. javanica, M. fallax, dan M. chitwoodi telah dilaporkan menjadi parasit wortel di Amerika (Roberts dan Mullens 2002). M. hapla dan M. chitwoodi dilaporkan menginfeksi kentang, bit, kacang polong dan wortel di Eropa, selain itu M. chitwoodi juga menginfeksi tanaman jagung, gandum, barley, dan oat (Zijlstra et al.1995).

Identifikasi NPA

Identifikasi nematoda diperlukan untuk mengetahui spesies penyebab penyakit tanaman. Identifikasi dapat dilakukan dengan cara identifikasi konvensional dan pendekatan biologi molekuler.

(8)

Identifikasi NPA dengan Sidik Pantat Nematoda (Sidik Perineal)

Identifikasi konvensional memerlukan pengetahuan tentang struktur tubuh dan ciri-ciri dari nematoda antara lain: bentuk bibir, kerangka kepala, rongga mulut, stilet, tipe esophagus, tipe vulva, ekor, dan anulasi. Hasil penggolongan dibandingkan dengan panduan identifikasi A guide to the four most common species of Root Knot Nematodes (Meloidogyne species) with a pictorial key (Eisenback et al. 1981). Identifikasi dapat dilakukan terhadap juvenile 2, jantan, dan betina dewasa.

Identifikasi morfologi sidik pantat (perineal patterns) dilakukan terhadap betina dewasa NPA. Setiap spesies memiliki pola sidik pantat berbeda-beda yang dicirikan oleh tanda yang khas pada area yang mengelilingi vulva dan anus (perineum). M. arenaria dicirikan oleh lengkung dorsal rendah dan ramping di sekitar garis lateral. Bagian lengkung stria bercabang di dekat garis lateral dengan bagian stria atas lebih mendatar (Gambar 2A). M. hapla dicirikan oleh lengkung dorsal yang rendah dengan bagian ujung membentuk sayap ke bagian lateral baik pada satu ujung atau pada kedua ujungnya. Pada zona ujung ekor terdapat tonjolan-tonjolan seperti duri (Gambar 2B). M. incognita dicirikan dengan adanya lengkung dorsal yang tinggi dan menyempit, sedangkan pada bagian paling luarnya sedikit melebar dan agak mendatar, tidak memiliki garis lateral dan bagian stria terlihat jelas (Gambar 2C). M. javanica dicirikan oleh dua garis lateral yang memisahkan stria bagian dorsal dan ventral yang sangat jelas (Gambar 2D) (Eisenback et al. 1981).

Gambar 2 Perbedaan pola sidik pantat M. arenaria (A), M. hapla (B), M. incognita (C), dan M. javanica (D) (sumber: Eisenback et al. 1981)

(9)

Identifikasi NPA Berdasarkan PCR Gen ITS r-DNA

Identifikasi dengan pendekatan biomolekuler memiliki tingkat kecepatan, akurasi, dan sensitifitas terpercaya dibandingkan dengan identifikasi konvensional. Terdapat dua basis metode dalam identifikasi biomolekuler, yaitu metode berbasis protein dan metode berbasis DNA. Teknik yang digunakan dalam metode berbasis protein yaitu serologi (monoklonal/poliklonal), dan elektroforesis enzim spesifik dalam tubuh nematoda. Teknik yang digunakan pada metode berbasis DNA antara lain: RFLP (Restiction Fragment Length Polymorphism), DNA probes, PCR dan PCR - RFLP (Power 1993, Zijlstra et al. 1995, Orui 1998), dan RAPD (Random amplified polymorphic DNA) (Cenis 1993).

Polymerase Chain Reaction (PCR). Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah metode mengamplifikasi DNA secara in vitro untuk mensintesis asam nukleat dengan menggandakan satu bagian DNA (Blackburn et al. 2006). Empat komponen utama pada proses PCR adalah (1) DNA cetakan, yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan, (2) oligonukleotida primer, yaitu sekuen nukleotida pendek (15 - 25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis antai DNA, (3) deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), terdiri dari dATP, dCTP, dGTP, dan dTTP, serta (4) enzim DNA polimerase, yaitu enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang juga penting adalah senyawa buffer (Yuwono 2006; Muladno 2010).

Reaksi pelipatgandaan suatu fragmen DNA dimulai dengan melakukan denaturasi DNA template (cetakan) sehingga rantai DNA yang berantai ganda (double stranded) akan berpisah menjadi rantai tunggal (single stranded). Denaturasi DNA dilakukan pada suhu 95 oC selama 1 - 2 menit, kemudian suhu diturunkan menjadi 55 oC sehingga primer akan “menempel” (annealing) pada cetakan yang telah terpisah menjadi rantai tunggal. Proses annealing biasa dilakukan selama 1 - 2 menit. Setelah dilakukan annealing oligonukleotida primer dengan DNA cetakan, suhu inkubasi dinaikkan menjadi 72 oC selama 3 menit. Pada suhu ini DNA polimerase akan melakukan proses polimerasi rantai DNA yang baru berdasarkan informasi yang ada pada DNA cetakan. Setelah terjadi polimerasi, rantai DNA yang baru akan membentuk jembatan hidrogen

(10)

dengan DNA cetakan. DNA rantai ganda yang terbentuk dengan adanya ikatan hidrogen antara rantai DNA cetakan dengan rantai DNA baru hasil polimerasi selanjutnya didenaturasi lagi dengan menaikkan suhu inkubasi menjadi 95 oC. Rantai DNA yang baru tersebut selanjutnya akan berfungsi sebagai cetakan bagi reaksi polimerasi berikutnya (Yuwono 2006).

Darmono (2001 dalam Rahmawati 2010) menyatakan bahwa DNA digunakan sebagai objek eksploitasi karena spesifitasnya tinggi dan tidak dipengaruhi oleh perubahan lingkungan. Amplifikasi bagian tertentu dari genom nematoda merupakan cara efektif untuk karakterisasi dan identifikasi nematoda. Power dan Haris (1993) melakukan pemisahan spesies nematoda puru akar (Meloidogyne spp.) dengan mengamplifikasi gen DNA ribosomal.

DNA ribosomal (rDNA) mengkode RNA ribosomal. Ribosom adalah makromolekul intraseluler yang menghasilkan protein atau rantai polipeptida. Ribosom sendiri terdiri dari gabungan protein dan RNA (Richard et al. 2008). DNA ribosomal merupakan bagian genom paling informatif dan bagian paling sering digunakan pada studi filogenik. Setiap unit rDNA dalam satu rangkaian kromosom mengkode gen dengan urutan 5’- 18S, 5.8S, 28S -3’ subunit rRNA. Diantara daerah 18S dan 5.8S terdapat beberapa ratus pasang basa DNA yang disebut internal transcribed spacer 1 (ITS 1), dan diantara 5.8S dan 28S adalah ITS2 (Powers et al. 1997), daerah ini secara khusus digunakan untuk menentukan sistematika molekuler dan tingkat variasinya tinggi (Jusuf 2001). Menurut Odorico dan Miller (1997 dalam Rahmawati 2010) analisis filogenik dengan penanda ITS dapat digunakan untuk mengevaluasi hubungan antar spesies.

Beberapa populasi nematoda puru akar dapat dibedakan dengan membandingkan urutan parsial ITS yang diperoleh dengan PCR. Teknik amplifikasi dengan menggunakan daerah ITS dapat mempermudah pendeteksian karena sekuens ITS lebih terkonservasi dibandingkan dengan menggunakan yang lain. Satu juvenil sudah cukup digunakan untuk PCR, akan tetapi amplifikasi ITS menjadi lebih pendek (Zijlstra et al. 1995).

Gambar

Gambar 1  Siklus hidup NPA (sumber: Mitkowski &amp; Abawi 2003)
Gambar 2  Perbedaan pola sidik pantat M. arenaria (A),  M. hapla (B),  M.

Referensi

Dokumen terkait

Dilihat dari skornya kenampakan brownies wortel yang paling disukai oleh konsumen adalah pada sampel brownies dengan tambahan. parutan wortel

Tabel 1. Standard pemutuan wortel di tingkat petani ... Standar pemutuan wortel segar berdasarkan SNI ... Data perhitungan statistik untuk parameter panjang wortel ...

Prosedur yang menghasilkan minuman sari wortel dengan aktivitas antioksidan dan ketahanan terbaik adalah prosedur pembuatan minuman sari wortel pada suhu pemanasan 70

Hasil dari uji kesukaan menyatakan bahwa produk vla wortel lembaran tidak ditemukan beda nyata, penulis memakai vla wortel lembaran dengan formulasi dua yaitu

Pemberian takaran pupuk organik kandang ayam sampai 10 ton ha -1 ternyata memberikan pertumbuhan tanaman wortel yang optimal selanjutnya lebih tinggi dari pada itu tidak

Nilai organoleptik rasa yang dihasilkan oleh selai wortel dengan penambahan pektin 1,17% yaitu sebesar 2,1 yang berarti selai wortel tersebut berasa tidak asam,

Busuk pangkal batang (Ganoderma boninense) merupakan patogen yang paling dominan yang menyebabkan penyakit busuk pangkal batang (basal stem rot) dan busuk batang atas (upper

Mengetahui dosis ekstrak etanol 70% daun wortel yang menunjukkan efek diuretik pada tikus putih jantan galur Wistar.. Sistematika tanaman