• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Spermatophyta. : Dicotyledoneae : Sapindales : Anacardiaceae. Spesies : Mangifera indica L.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA. : Spermatophyta. : Dicotyledoneae : Sapindales : Anacardiaceae. Spesies : Mangifera indica L."

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Botani Tanaman Mangga

Mangga merupakan tanaman pendatang yang berasal dari India, kemudian menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Tinggi pohon mangga dapat mencapai 15-20 m, dengan diameter tajuk 7-15 m. Faktor suhu, kelembaban, air dan ketinggian tempat sangat mempengaruhi produktivitasnya. Broto (2003) menyatakan bahwa tanaman mangga dapat hidup baik di dataran rendah sampai ketinggian 500 dpl. Kemiringan tanah tidak boleh lebih dari 15º. Tipe iklimnya kering, curah hujan 1000-2000 mm/tahun dan tingkat penyinaran 50-80%. Kondisi bulan kering yang diperlukan mangga adalah 4-8 bulan/tahun. Tanah yang cocok untuk budidaya mangga adalah tanah lempung berpasir dan tanaman ini tahan terhadap kekeringan. Derajat keasaman tanah (pH tanah) ideal untuk tanaman mangga adalah 5,5-6,0 dan suhu udara optimum 25-27 oC.

Suhu udara yang rendah dapat merangsang pembungaan namun tidak baik untuk perkembangan buahnya (Sunarjono, 1998). Menurut Surachmat (1985), mangga gedong gincu temasuk:

Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub-divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Sapindales Famili : Anacardiaceae Genus : Mangifera

Spesies : Mangifera indica L.

Tanaman mangga berbuah bersamaan dengan musim kemarau. Tanaman mangga akan berbunga 1-1,5 bulan sesudah kemarau dimulai dan buah matang 3-4 bulan kemudian. Bila musim kemaraunya kering hasil produksi akan lebih baik, sehingga daerah dengan musim kering yang panjang baik digunakan untuk berkebun mangga. Untung (1999) mengemukakan bahwa mangga arumanis dan manalagi merupakan kultivar mangga yang cocok tumbuh pada kondisi kering. Sementara kultivar mangga yang tahan terhadap kondisi basah adalah seperti gedong gincu dan indramayu.

(2)

Buah mangga berukuran relatif besar, bentuknya bulat sampai lonjong, bijinya gepeng dibungkus oleh daging yang tebal dan lunak serta enak dimakan. Mangga tersusun atas 11-18% kulit, 14-22% daging dan 60-75% biji (Verheij dan Coronel, 1997). Produksi mangga antara 25-1000 buah per pohon tergantung varietas, umur, tempat tumbuh, dan kondisi iklim. Umumnya tanaman mangga dapat dipanen pada bulan September sampai Desember. Satuhu (1999) menyatakan bahwa musim mangga di Indonesia pada bulan Agustus sampai Desember untuk mangga arumanis, golek dan manalagi, sedangkan Juni dan Juli untuk mangga gedong gincu.

B. Karakteristik Buah Mangga Gedong Gincu

Jenis mangga gedong ada dua macam yaitu mangga gedong biasa dan mangga gedong gincu (Gambar 1). Mangga gedong biasa berbentuk bulat, letak tangkai di tengah, pangkal buah miring, sedikit berlekuk, pucuk buah bulat dan sedikit pecah. Berat rata-rata 300 g dan berukuran 9,4 cm x 7,4 cm x 6,1 cm. Kulit buah tebal, halus, berlilin, bintik-bintik agak jarang dan berwarna putih kehijauan. Warna daging buah masak kuning jingga. Daging buah tebal, kenyal, berserat halus sekali, kandungan air banyak, beraroma harum dan khas, serta rasanya manis segar.

(3)

Bijinya besar berukuran 7,9 cm x 4,5 cm x 2,3 cm dan sebagian biji berserat pendek (Satuhu, 1999). Buah mangga gedong gincu memiliki warna daging merah kekuningan. Bentuk buah hampir bulat dengan panjang 10 cm dan lebarnya 8 cm. Bobot buah rata-rata 200-250 g dan kulit tipis serta halus. Daging buah tebal, berwarna kuning kemerahan, berserat, beraroma harum dan rasanya manis (Satuhu, 1999).

Mangga gedong gincu mempunyai keunggulan dibandingkan mangga gedong biasa ataupun mangga lainnya, karena mangga ini memiliki aroma lebih tajam, kulit buah berwarna merah menyala (disukai konsumen luar negeri). Pada Tabel 1 ditampilkan beberapa keunggulan mangga gedong gincu dibandingkan mangga arumanis.

Tabel 1. Karakteristik keunggulan mangga gedong gincu dibandingkan mangga arumanis

Karakteristik buah Mangga gedong gincu Mangga arumanis

Bentuk buah Bulat Jorong berparuh sedikit

dan pucuk runcing Warna pangkal buah

Warna Pucuk buah

Merah keunguan Hijau kekuningan

Hijau kekuningan Hijau kebiruan

Aroma buah Harum menyengat kuat Harum

Rasa buah Manis Manis

Bobot buah 200-250 g 450 g

(Sumber: Dirjen Bina Produksi Hortikultura, 2004).

Keunggulan yang dimiliki gedong gincu menyebabkan mangga ini diminati oleh kelompok masyarakat ekonomi menengah ke atas dan konsumen luar negeri. Rachmiyanti (2006) melaporkan harga jual mangga gedong gincu berfluktuasi, dimana supply buah berlebih maka harga akan rendah, begitu pula sebaliknya dimana supply buah sedikit maka harga jual tinggi. Harga jual mangga gedong gincu di petani saat musim panen yaitu sekitar Rp 6.000/kg, yang terjadi pada pertengahan bulan Desember, sedangkan harga jual petani tertinggi pada bulan September – Oktober berkisar antara Rp 18.000-21.000/kg. Pada kondisi supply stabil harga mangga berkisar antara Rp 9.500-13.000/kg ditingkat petani.

Buah mangga mengandung nutrisi yang cukup tinggi sehingga baik untuk dikonsumsi dengan komposisi nutrisi yang berbeda-beda tergantung varietasnya. Selama mengalami pematangan, beberapa varietas mangga mengalami

(4)

perubahan fisiko-kimia seperti yang tertera pada Tabel 2 sementara pada Tabel 3 ditampilkan komposisi gizi beberapa varietas mangga.

Tabel 2. Karakteristik fisik dan kimiawi beberapa varietas mangga matang Jenis mangga

Kandungan

Gedong Arumanis Cengkir

Total padatan terlarut (obrix) 16,0-7,8 14,8-16,6 13,0-15,0

Total asam (%) 0,12-0,49 0,22-0,56 0,26-0,88 Total gula (g/100g) 14,80 11,40 11,50 Zat pati (g/100g) 8,80 7,40 7,60 Vit. C (g/100g) 36,2-96,2 22,0-46,9 37,8-58,2 Kadar air (%) ±82,9 ±81,1 ±84,3 (Sumber: Sabari, 1989).

Tabel 3. Komposisi gizi beberapa jenis mangga per 100g Jenis mangga

Kandungan

Gedong Indramayu Arumanis

Energi (kal) 44 72 46 Protein (g) 0,7 0,8 0,4 Lemak (g) 0,2 0,2 0,2 Karbohidrat (g) 11,2 18,7 11,9 Kalsium (g) 13,0 13,0 15,0 Fosfor (mg) 10,0 10,0 9,0 Besi (mg) 0,2 1,9 0.2 Vit. A (RE) 2528 447 185 Vit. C (mg) 9,0 16,0 6,0 Vit. B1 (mg) 0,08 0,06 0,08 Air (g) 87,4 80,2 86,6

(Sumber: Direktorat Gizi, 1981).

C. Respirasi

Mangga masih melakukan proses respirasi dan transpirasi setelah dipetik (Soesarsono, 1998). Proses respirasi dan transpirasi sepenuhnya tergantung pada kandungan bahan dan kelembaban komoditas tersebut (Wills et al., 1981). Menurut Pantastico (1986), laju respirasi merupakan petunjuk yang baik untuk mengetahui daya simpan sayur dan buah setelah panen. Semangkin tinggi laju respirasi, semakin pendek umur simpan.

Respirasi memerlukan oksigen untuk pembakaran senyawa makromolekul seperti karbohidrat, lemak, protein yang menghasilkan CO2 dan

(5)

H2O serta sejumlah energi (Winarno dan Aman, 1981). Selama proses respirasi

terjadi perubahan fisik, kimia, dan biologi misalnya proses pematangan, pembentukan aroma dan kemanisan, pengurangan keasaman, pelunakan daging buah dan pengurangan bobot. Bila proses respirasi berlanjut terus, buah dan sayuran akan mengalami kelayuan dan akhirnya terjadi pembusukan yang ditandai dengan hilangnya zat gizi dan faktor mutu buah tersebut. Respirasi yang merupakan pembongkaran oksidatif bahan-bahan komplek, yang terdapat di dalam sel menjadi molekul yang sederhana, disamping terbentuknya energi dan juga dihasilkan molekul lain yang dapat digunakan sel untuk reaksi sintesa (Wills et al., 1981). Umumnya respirasi aerob pada buah tropis digambarkan dengan reaksi berikut:

C6H12O6 + 6O2 Æ 6CO2 + 6H2O + 678kal

Ryall dan Pentzer (1982) menyatakan bahwa tiap buah yang berbeda mempunyai kecepatan dan pola respirasi yang berbeda pula sesuai dengan jenis dan tingkat kedewasaan buah (maturation). Berdasarkan pola respirasinya, buah dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu buah klimakterik dan non klimakterik. Buah-buahan klimakterik menurut Pantastico (1986) adalah buah yang mengalami kenaikan produksi CO2 secara mendadak, kemudian mengalami

penurunan yang cepat. Demikian juga menurut Haard (1976), buah-buahan yang mengalami kenaikan dalam respirasi digolongkan ke dalam buah-buahan klimakterik. Klimakterik sedikit banyak berhubungan dengan perubahan flavour, tekstur, warna yang erat hubungannya dengan kematangan buah. Biale dan Young (1981) menambahkan bahwa peningkatan laju respirasi pada buah klimakterik terjadi pada akhir fase kemasakan, sedang pada buah non klimakterik tidak terjadi peningkatan laju respirasi pada akhir fase pemasakan.

Buah mangga termasuk buah-buahan klimakterik sehingga walaupun dipanen masih muda, akan matang dalam masa pemeraman. Untuk menghasilkan buah dengan mutu yang baik, buah harus dipanen dengan tingkat ketuaan yang cukup, buah yang dipetik sebelum umur petik optimal, setelah matang akan mempunyai rasa buah yang hambar dan kurang enak serta warna buah yang tidak menarik, tampak kusam dan tidak cerah. Menurut Krishnamurthy (1973), respirasi buah mangga mencapai puncaknya 2-5 hari setelah pemanenan pada saat buah masih keras dan berwarna hijau atau saat permulaan terjadinya perubahan warna. Pada periode-periode selanjutnya kecepatan respirasi akan

(6)

menurun. Laju respirasi buah mangga dapat dibagi menjadi 4 periode yaitu, praklimakterik, klimakterik, puncak klimakterik dan periode kelayuan atau senescene. Menurut Phan et al. (1986) laju respirasi buah dan sayuran dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam yang mempengaruhi respirasi adalah tinggkat perkembangan, ukuran produk, jenis jaringan dan lapisan alamiah seperti lilin, ketebalan kulit dan sebagainya. Sementara faktor luar yang mempengaruhi adalah suhu, konsentrasi gas CO2 dan O2 yang

tersedia, zat-zat pengatur tumbuh, dan kerusakan yang ada pada buah.

D. Penanganan Pascapanen Mangga

Penanganan pascapanen yang tepat diperlukan untuk mengurangi susut dan mempertahankan mutu buah-buahan setelah dipanen. Penanganan pascapanen perlu dilakukan segera semenjak buah itu dipanen, diimbangi dengan penerapan teknologi dengan memperhatikan nilai ekonomi komoditas (Budiastra dan Purwadaria, 1993). Setyadjid dan Sjaifullah (1992) menyatakan kerusakan pascapanen buah mangga diperkirakan mencapai 30%. Kerusakan pascapanen disebabkan karena perlakuan pascapanen yang tidak tepat misalnya: teknik pemanenan yang kurang tepat, sortasi yang tidak baik, pengemasan dan pengepakan, pengangkutan dan penyimpanan yang kurang diperhatikan serta adanya serangan hama dan penyakit.

Gambar 2. Diagram alir proses pascapanen mangga untuk ekspor. Panen

Sortasi dan pencucian Pemutuan/grading

Pelilinan Labeling & Pengemasan

Penyimpanan Pematangan buatan

Tidak layak jual

Mutu I

Pasaran dalam negeri (Mutu II, III dan IV)

(7)

1. Panen

Pemanenan merupakan kegiatan pascapanen untuk mengumpulkan buah secepat mungkin dari lahan pertanaman pada tingkat ketuaan yang tepat (Broto, 1993). Untuk menghasilkan mangga dengan mutu yang baik, pemanenan buah mangga harus dilakukan pada saat yang tepat dan dengan cara yang baik dan tepat. Tingkat ketuaan buah dapat didasarkan kepada umur buah, bentuk buah, tangkai buah, lapisan lilin dan lentisel pada permukaan kulit buah. Umur buah (Tabel 4) ditentukan dan dihitung mulai bunga mekar.

Tabel 4. Umur petik optimal beberapa varietas mangga

Varietas Umur petik (hari)

Gedong gincu 90-107

Arumanis 90-107 Golek 78-85 Manalagi 80-85

(Sumber: Satuhu, 1999).

Permasalahan yang sering dihadapi dalam pengusahaan buah mangga adalah sulitnya menentukan tingkat ketuaan buah mangga yang tepat untuk dipetik (Haryati, 1991). Padahal pemanenan yang dilakukan akan mempengaruhi mutu buah yang dihasilkan, sehingga tingkat ketuaan sewaktu panen merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi mutu buah mangga. Pemanenan biasanya dilakukan secara manual dengan memanjat pohon mangga, atau menggunakan galah yang diberi jaring diujungnya agar buah mangga tidak terhempas ke tanah. Bila pemanenan buah menggunakan gunting, setidaknya 10 cm dari tangkai harus dipertahankan. Dengan demikian getah yang sangat lekat dan mudah mengalir pada buah mangga yang baru dipetik, tidak akan mengotori buah. Buah mangga, khususnya varietas berwarna hijau di Indonesia, banyak sekali mengalirkan lateks atau getah dari tangkai yang baru dipotong.

2. Sortasi dan Pencucian

Sortasi dan pemutuan merupakan salah satu rangkaian dari kegiatan setelah panen yang umumnya dikerjakan di bangsal pengemasan. Tujuan sortasi dalam pascapanen mangga adalah untuk memisahkan buah yang layak dan tidak layak untuk dipasarkan. Disamping itu sortasi juga dilakukan untuk memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan oleh pemerintah atau pasar.

(8)

Dengan demikian sortasi merupakan kegiatan yang menentukan keberhasilan buah agar tetap bermutu baik hingga sampai ke tangan konsumen (Broto, 1993). Setelah sortasi dilakukan buah mangga dicuci terlebih dahulu untuk membersihkan kotoran dan sisa getah yang masih menempel pada permukaan kulit buah. Pencucian biasanya dilakukan dengan meletakkan mangga pada konveyor yang melewati semprotan air selama lebih kurang 20 menit. Pencucian dilakukan dengan hati-hati agar getah terbuang dan tidak mengalir pada kulit buah, bahkan pada mangga kensington pekerja harus menggunakan sarung tangan agar getah tidak merusak kulit. Penambahan detergen atau cairan pembersih seperti klorin biasanya sering dilakukan pada berbagai packing house.

3. Pemutuan

Pemutuan dilakukan untuk memisahkan produk berdasarkan mutu yaitu, warna, bentuk, berat, tekstur, dan kebebasan buah dari kotoran atau bahan asing (Budiastra dan Purwadaria, 1993). Mangga Gedong gincu dapat diklasifikasikan berdasarkan beratnya. Mangga dikatakan besar jika beratnya > 250g, sedang jika beratnya 200-250 g, kecil jika beratnya 150-199 g, dan sangat kecil jika beratnya 100-149 g. Keseragaman kualitas dapat diperoleh dengan menerapkan standar mutu produk. Menurut Dirjen Bina Produksi Hortikultura (2004) standar mutu yang berlaku sacara nasional adalah menurut Standar Nasional Indonesia, SNI 01-3164-1992 (Tabel 5), dimana syarat mutu minimal dan tingkat toleransi kriteria mutu mangga yang masih diperbolehkan untuk dipasarkan yaitu: (1) buah mangga yang utuh, tidak terbelah atau terkelupas, (2) kekerasan buah cukup, (3) penampakan segar, (4) keadaan baik, tidak busuk, layak dikonsumsi, (5) bersih dan bebas dari benda asing, (6) bebas dari bercak atau noda hitam pada permukaan kulit, (7) bebas dari tanda-tanda memar, (8) bebas dari kerusakan yang disebabkan oleh hama penyakit, (9) bebas dari bau dan rasa asing, (10) tingkat perkembangan buah cukup dan menjamin tercapainya proses pematangan yang sempurna.

(9)

Tabel 5. Syarat mutu mangga

Karakteristik Mutu I Mutu II

Keseragaman varietas Seragam Seragam

Tingkat ketuaan Tua tapi tidak matang Tua agak matang

Kekerasan Keras Cukup keras

Keseragaman ukuran Seragam Kurang seragam

Mangga cacat, % maks 0 0

Kadar kotoran Bebas Bebas

Mangga busuk, % maks 0 0

Panjang tangkai, maks 1 cm 1 cm

(Sumber: SNI 01-3164-1992).

Beberapa syarat mutu yang harus dipenuhi oleh mangga untuk tujuan ekspor (Tabel 6) adalah: permukaan kulit mulus (tidak berbintik, tidak berlubang, tidak ada warna hitam pada pangkal buah, tidak ada noda ”scab”), bebas dari luka (luka mekanis atau mikrobiologis), bebas dari penyakit pascapanen dan bentuk normal. Beberapa syarat mutu tambahan untuk mangga yang akan diekspor yaitu matang fisiologis, kolorisasi kuning 30-50%, tingkat kematangan merata, berat dan ukuran seragam berdasarkan varietasnya.

Tabel 6. Syarat mutu mangga gedong untuk ekspor

Karakteristik Mutu I Mutu II Mutu III Mutu IV Mutu V Mutu VI

Permukaan kulit 100% mulus 100% mulus 100% mulus 100% mulus 100% mulus 100% mulus Persen cacat 0 0 0 0 0 0 Penyakit pascapanen

Bebas Bebas Bebas Bebas Bebas Bebas

Bentuk Normal Normal Normal Normal Normal Normal

Berat buah (g) > 350 g 300-349 275-299 250-274 225-249 200-224

(Sumber: Satuhu, 1999).

4. Pelilinan

Pelapisan lilin terhadap buah-buahan dan sayur-sayuran befungsi sebagai pelindung terhadap hilangnya air dari komoditi dan mengatur kebutuhan oksigen untuk respiras untuk menekan respirasi dan transpirasi sehingga komoditi tersebut memiliki umur simpan yang lebih lama dan nilai jualnya dapat dipertahankan. Roosmani (1975) menyatakan bahwa konsentrasi emulsi lilin tertentu dapat memperpanjang masa simpan beberapa komoditas hortikultura.

(10)

Pemberian lapisan lilin cukup penting, khususnya bila terdapat luka-luka atau goresan kecil pada permukaan buah. Kerusakan-kerusakan tersebut dapat ditutupi oleh lapisan lilin. Dalam pelilinan diupayakan agar pori-pori kulit buah tidak tertutupi sama sekali untuk mencegah kondisi anaerob di dalam buah, yang dapat mengakibatkan terjadinya fermentasi sehingga mempercepat kebusukan (Akamine et al., 1986).

Lapisan lilin yang digunakan umumnya menggunakan lilin lebah yang dibuat dalam bentuk emulsi lilin dengan konsentrasi 4-12%, dengan syarat lilin tersebut tidak mempengaruhi bau dan flavor dari komoditas yang akan dilapisi, mudah kering, tidak lengket, mudah diperoleh, tidak bersifat racun dan murah harganya. Lilin alami yang komersial diantaranya adalah lilin lebah (hasil sekresi dari lebah madu), karnauba (dari pohon palem) dan spermaceti (dari kepala ikan paus). Akamine et al. (1986) menyatakan dalam pembuatan emulsi lilin tidak boleh menggunakan air sadah karena garam-garam yang terkandung dalam air tersebut dapat merusak emulsi lilin. Pemberian lilin dapat dilakukan dengan teknik pembusaan, penyemprotan, pencelupan, dan pengolesan. Pelapisan lilin sebaiknya dilakukan menggunakan mesin untuk menghasilkan pelapisan yang merata.

Pelilinan terhadap buah jeruk segar pertamakali dikenal sejak abad 12-13 oleh bangsa Cina. Pelapisan lilin pada saat itu tanpa memperhatikan adanya efek-efek respirasi dan tranpirasi sehingga lapisan lilin yang terbentuk terlalu tebal, mengakibatkan respirasi anaerob dan menghasilkan jeruk yang masam dan busuk. Roosmani (1975) melakukan percobaan menggunakan mangga indramayu, apel malang, jeruk siam dan tomat varietas money maker menggunakan emulsi lilin yang mengandung 6, 8 dan 9 % solid untuk mengetahui pengaruh pelilinan terhadap hortikultura di Indonesia (Tabel 7).

Tabel 7. Perbandingan umur simpan beberapa buah-buahan Daya simpan (hari)

Jenis buah

Tanpa pelilinan Dengan pelilinan

Apel malang 12 30

Jeruk siam 10 21

Mangga indramayu 6 12

Tomat 20 50-60

(11)

Pada buah mangga pelilinan juga biasa diterapkan, berdasarkan SPO mangga arumanis dijelaskan bahwa untuk membuat emulsi lilin standar 12 % terlebih dahulu diperlukan lilin lebah 120 g, asam oleat 20 g, triethanol amin 40 g dan air panas 820 cc. Lilin dipanaskan dalam panci sampai mencair, kemudian dimasukkan dalam blender. Selanjutnya dituang sedikit demi sedikit asam oleat, triethanolamin dan air panas, larutan diblender kurang lebih dari 2-5 menit agar tercampur dengan sempurna kemudian emulsi lilin didinginkan. Emulsi lilin dapat digunakan setelah proses pendinginan selesai dilaksanakan. Berdasarkan pengetahuan ini dan sesuai dengan kemajuan teknologi maka pelilinan terhadap berbagai komoditas hortikultura terus berkembang. Menurut Roosmani (1975) emulsi lilin optimum untuk buah mangga adalah pada konsentrasi 6%.

5. Pengemasan

Pengemasan hortikultura adalah salah satu usaha untuk menempatkan komoditas segar ke dalam suatu wadah yang memenuhi syarat sehingga menjaga supaya mutunya tetap atau hanya mengalami penurunan mutu yang masih dapat diterima oleh konsumen sampai akhir dengan nilai pasar yang tetap tinggi. Tujuan pengemasan buah adalah: melindungi buah dari luka, memudahkan dalam pengelolaan suhu, mencegah kehilangan air, mempermudah dalam perlakuan khusus dan memberikan estetika yang menarik bagi konsumen (Broto, 1993).

Pengemasan mempunyai peran yang cukup strategis dalam pemasaran produk, baik dari segi menjaga kualitas produk, penanganan selama transportasi maupun sebagai sebagai daya tarik bagi konsumen. Disamping itu pengemasan berfungsi untuk menempatkan suatu hasil pengolahan atau produk agar mempunyai bentuk-bentuk yang memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan distribusi. Dari segi promosi, wadah atau pembungkus berfungsi sebagai perangsang atau daya tarik pembeli. Karena itu, bentuk warna dan dekorasi dari kemasan perlu diperhatikan dalam perencanaannya.

Berdasarkan bahan yang digunakan, kemasan transportasi untuk mangga umumnya terbuat dari keranjang bambu, keranjang plastik, peti kayu atau kotak karton. Kemasan konsumen umumnya dilakukan di tingkat pedagang eceran. Seperti halnya pada apel dan pear, buah mangga dilakukan pengemasan individual menggunakan kemasan jala busa dan kertas tipis.

(12)

6. Penyimpanan

Tujuan penyimpanan adalah untuk mempertahankan mutu produk sehingga masa simpannya dapat diperpanjang. Selain untuk memperpanjang daya guna mangga dan dalam keadaan tertentu dapat mempertahankan mutunya, menghindari banjirnya produk mangga dipasaran, menjaga ketersedian mangga sepanjang tahun sehingga dapat membantu pemasaran yang teratur sehingga meningkatkan keuntungan produsen.

Penyimpanan dingin dapat mengurangi aktivitas respirasi dan metabolisme, proses penuaan karena adanya proses pematangan, pelunakan dan perubahan warna serta tekstur, kehilangan air dan pelayuan, kerusakan karena aktivitas mikroba (bakteri, kapang/cendawan dan khamir). Mangga yang akan disimpan hendaknya bebas dari lecet kulit, memar, busuk dan kerusakan lainnya. Memar dan kerusakan mekanis bukan hanya menyebabkan bentuk dan rupa produk menjadi kurang menarik, tetapi juga memberikan kesempatan bagi organisme pembusuk untuk masuk dan merusak bahan. Sehingga produk tersebut akan mengalami lebih banyak dan lebih cepat busuk, serta menyebabkan kehilangan air. Buah yang memar akan mengalami penyusutan empat kali lebih besar dari pada buah yang utuh.

Untuk mendapatkan hasil yang baik, maka penting dijaga agar suhu ruang penyimpanan relatif tetap. Jika kelembaban rendah maka akan terjadi pelayuan atau pengkeriputan dan jika terlalu tinggi akan merangsang proses pembusukan, terutama apabila ada variasi suhu dalam ruangan. Kelembaban nisbi antara 85-90% diperlukan untuk menghindari pelayuan dan pelunakan pada beberapa jenis sayuran. Beberapa produk bahkan memerlukan kelembaban sekitar 90-95%. Kelembaban udara dalam ruangan pendinginan dapat dipertinggi antara lain dengan cara menyemprot lantai dengan air. Kelembaban yang tepat akan menjamin tingkat keamanan bahan yang disimpan terhadap pertumbuhan mikroba. Selain itu dibutukan sirkulasi udara yang cepat terutama pada waktu bahan baru dimasukkan, untuk menghilangkan panas lapang. Setelah panas lapangan dihilangkan dari bahan, maka kecepatan sirkulasi udara tidak perlu terlalu besar. Sirkulasi udara diperlukan secukupnya untuk membuang panas yang berasal dari hasil respirasi atau panas yang masuk dari luar.

Selama penyimpanan diperlukan suhu yang tepat karena ada kemungkinan komoditi mengalami kerusakan akibat suhu rendah (chiling injury).

(13)

Buah-buahan tropika pada umumnya sensitif pada suhu dingin (Kays, 1991). Chiling injury adalah kerusakan karena penyimpanan di bawah suhu optimum yang dicirikan oleh bintik-bintik hitam atau coklat pada kulit buah, pembentukan warna kulit yang tidak sempurna dan pematangan yang tidak normal. Kays (1991) menerangkan bahwa suhu chiling injury pada mangga adalah 10-13oC.

Apandi (1984) menerangkan bahwa suhu 7-13 oC adalah suhu chiling injury

untuk penyimpanan mangga, sedangkan Broto (2003) menerangkan bahwa suhu chiling injury untuk penyimpanan mangga adalah 5-20 oC dan untuk mencegah terjadinya chiling injury pada penyimpanan mangga gedong yang disimpan pada suhu 10 oC, diperlukan adaptasi selama sehari pada suhu 15 oC.

USDA (1968) mempublikasikan kisaran suhu untuk penyimpanan mangga adalah pada 13 oC selama 2-3 minggu. Satuhu (2000) menjelaskan bahwa

mangga yang disimpan pada suhu 15-20 oC dapat bertahan selama 22 hari.

Menurut Pantastico (1986), lama penyimpanan pada suhu rendah untuk mangga tergantung varietasnya, yaitu 2,5 hingga 6 minggu. Mangga arumanis dapat simpan pada suhu kamar selama 14 hari (Yuniarti, 1980) dan selama 15 hari pada suhu 15 oC (Sahirman et al., 1994); mangga indramayu dapat disimpan

selama 36 hari pada suhu 10 oC (Hadi, 1987) dan mangga cengkir dapat

disimpan selama 15 hari pada suhu 10 oC (Pratikno dan Sosrodihardjo, 1989).

Ratule (1999) menyimpulkan bahwa suhu 10 oC adalah suhu optimum

penyimpanan mangga arumanis yang terolah minimal berlapis edibel dengan penyimpanan atmosfer terkontrol. Broto (2003) menerangkan bahwa mangga gedong dapat disimpan selama 4 minggu pada suhu 10 oC setelah sebelumnya

dilakukan adaptasi penyimpanan pada suhu 15 oC selama sehari. Saat

dikeluarkan dari ruang penyimpanan mangga tersebut masih dapat matang normal serta bermutu baik dalam waktu 2-3 hari pada suhu ruang (28-30oC).

Sakai et al. (1988) mengemukakan bahwa penyimpanan mangga dapat dilakukan pada 4 variasi suhu yang berbeda yaitu: penyimpanan pada suhu 9-10oC, pematangan pada suhu 21-24 oC; penyimpanan pada suhu 7 oC,

pematangan pada suhu kamar; penyimpanan pada suhu 15-17,8 oC,

pematangan pada suhu 21-24oC dan penyimpanan dan pematangan pada suhu

dibawah 26,1 oC. Umumnya penyimpanan pada suhu 12oC dengan RH 85-95%

merupakan kondisi yang optimum untuk mangga (Kader , 1992).

Penerapan teknologi lain seperti pelilinan, pengemasan dengan plastik film maupun pengaturan lingkungan atmosfir tidak memberikan hasil yang

(14)

memuaskan bila tanpa pendinginan. Penyimpanan dengan pengaturan lingkungan atmosfir dimaksudkan untuk memberikan kondisi atmosfir disekitar produk yang berbeda dengan kondisi atmosfir udara normal, biasanya dengan meningkatkan kandungan karbondioksida dan atau menurunkan kandungan oksigen. Kondisi atmosfir ini dapat menekan laju respirasi sehingga masa simpan dapat diperpanjang.

Penyimpanan dengan teknik Modified Atmosphere Package (MAP) adalah penyimpanan dengan cara pengemasan menggunakan plastik film yang memiliki tingkat permeabilitas terhadap O2 dan CO2 tertentu sehingga

menghasilkan konsentrasi gas di dalam kemasan (O2 dan CO2) sesuai yang

direkomendasikan untuk produk yang dikemas (Tabel 8). Faktor-faktor yang mempengaruhi kandungan O2 dan CO2 dalam kemasan antara lain adalah faktor

produk yang dikemas (varietas, berat, respirasi), faktor bahan pengemas (jenis film plastik, ketebalan, luas permukaan, nilai permeabilitas) dan faktor lingkungan (suhu dan kelembaban ruang penyimpan).

Pada Controlled Atmosphere Storage (CAS), komposisi gas di dalam ruangan penyimpanan diatur secara terus-menerus dengan menambahkan atau mengurangi gas-gas tertentu sehingga diperoleh komposisi sesuai yang direkomendasikan untuk produk yang disimpan. Sedangkan pada “hypobaric atmosphere”, penyimpanan produk dilakukan pada tekanan rendah sehingga kandungan oksigen menjadi sangat terbatas.

Tabel 8. Komposisi gas optimum yang direkomendasikan untuk buah-buahan Komposisi gas (%)

Jenis buah simpan (Suhu oC)

O2 CO2

Aplikasi secara komersial

Alpukat 5-13 2-5 3-10 Terbatas

Pisang 12-15 2-5 2-5 Dikomersialkan

Jeruk 5-10 5-10 0-5 Tak komersial

Mangga 10-15 3-5 5-10 Terbatas

Pepaya 8-13 2-5 5-10 Tak komersial

(Sumber: Kader , 1992).

7. Pematangan buatan

Pematangan buatan dilakukan secara komersial untuk dapat memenuhi permintaan pasar akan buah yang masak optimum pada suatu periode yang

(15)

terjadwal, baik dalam mempercepat atau memperlambat proses pematangan buah tersebut. Beberapa keuntungan dari proses pematangan buatan ini adalah, warna yang seragam dan maksimal, memperkecil terjadinya pengeriputan karena jangka waktu buah menjadi matang dan siap dipasarkan lebih singkat, sehingga presentase kehilangan airnya lebih kecil, modal kembali lebih cepat karena pada saat yang ditentukan petani atau pedagang bisa menjual buah matang dari pada buah dibiarkan matang secara alami, memberikan keleluasaan pedagang besar atau pengencer dalam menjual buah matang yang dinginkan pembeli, mendapatkan keuntungan dari harga yang lebih tinggi pada awal, akhir atau luar musim mangga (Broto, 2003). Secara teoritik, pengontrolan pematangan buatan dilakukan dengan perlakuan suhu ruang penyimpanan pada suatu tingkat tertentu tanpa menimbulkan kerusakan pada buah-buahan tersebut. Suhu ruangan pematangan yang tinggi dapat mengakibatkan kelainan fisiologis pada buah. Buah yang diperam pada suhu tinggi akan berwarna kusam dan daging buah rusak. Sedang pada suhu rendah, pematangan akan berlangsung lama. Broto (2003) menyarankan suhu terbaik untuk proses pematangan adalah 21-25

oC.

Metode lain untuk mengontrol pematangan adalah dengan memberikan bahan kimia tertentu yang berefek fisiologis terhadap buah-buahan (Tabel 9). Sugiyono (1999) menerangkan bahan-bahan kimia yang mempercepat pematangan misalnya karbit, gas etilen, gas asetilen dan daun-daun yang banyak memproduksi etilen, misalnya daun gamal. Etilen adalah suatu senyawa hidrokarbon tak jenuh yang pada suhu kamar berbentuk gas, tak berwarna dengan sedikit berbau manis, diproduksi secara alami sebagai hormon pematangan pada beberapa buah seperti mangga, pisang, pepaya dan sebagainya.

Tabel 9. Pematangan buah mangga dengan berbagai bahan pemicu pematangan

Varietas Bahan pemicu Takaran dan cara Hasil

Arumanis Karbit 0,6 g/kg buah Matang 3 hari lebih awal

Cengkir Asetilen 500 ppm, 24 jam Matang 3 hari lebih awal

Asetaldehida 5%, direndam 10 detik Matang 3 hari lebih awal

Asetilen 500 ppm, degreening Matang 2 hari lebih awal

Etanol 10, direndam 10 detik Matang 3 hari lebih awal

Gedong

Etilen 50 ppm, degreening Matang 4 hari lebih awal

(16)

Dengan kelembaban tinggi, konsentrasi optimal untuk pematangan mangga gedong menggunakan etilen, dan asetilen secara terus menerus pada suhu kamar masing-masing sebesar 50 ppm dan 500 ppm. Sementara mangga cengkir juga memerlukan 500 ppm asetilen. Seymor dan Tucker (1993) menerangkan bahwa konsentrasi dan waktu pemberian etilen adalah khas untuk setiap jenis buah. Penggunaan 100 ppm etilen selama 24-48 jam pada suhu 20

oC untuk menyeragamkan masaknya mangga. Penggunaan gas asetilen dari

kalsium karbida juga dapat diaplikasikan pada ruangan tertutup selama 24 jam dan suhu 20-25 oC dengan RH 90-95% serta konsentrasi gas 10-100 ppm

(0,001-0,01%) etilen dan 1000 ppm asetilen (Kader, 1992)

Buah mangga yang telah tua dapat masak pada suhu 21 - 240C dan

kelembaban 85 - 90%. Pada proses masaknya buah khlorofil (warna hijau) berkurang dan terjadi pembentukan antosianin dan karotenoida dalam kulit dan daging. Etilen dapat digunakan untuk mempercepat dan lebih menyeragamkan masaknya buah (100 ppm etilen selama 24 - 48 jam pada suhu 20 oC).

Menjadikan buah masak dapat dilakukan di tempat pengangkutan bila waktu transit kurang dari 5 hari atau di tempat penerimaan bila waktu transit lebih dari 5 hari.

Selain itu pematangan juga dapat ditunda untuk memperpanjang masa simpan buah, dilakukan dengan melakukan penyerapan etilen menggunakan ’ethylene absorber’. Pantastico (1986) menyatakan bahwa pengeluaran C2H4

secara paksa dengan menggunakan kemasan hampa udara menyebabkan terhambatnya pematangan yang cukup lama. Hal ini membuktikan bahwa penghisapan sebagian besar C2H4 dari dalam buah dapat mengurangi kadar

etilen tersebut sampai tingkat fisiologi tidak aktif. Scott et al. (1968) mengembangkan bahan yang lebih praktis, yaitu kalium permanganat (KMnO4)

pada vermikulit untuk menyerap etilen. Menurut Abeles (1973), etilen dapat dioksidasi dengan KMnO4 dan merubahnya menjadi bentuk etilen glikol dan

Mangan dioksida. KMnO4 bersifat tidak mudah menguap sehingga dapat

disimpan bersama buah tanpa menimbulkan kerusakan.

E. Hama dan Penyakit Pascapanen Mangga

Lalat buah yang menyerang buah mangga di Indonesia termasuk ke dalam spesies Bactrocera dorsalis atau dikenal dengan nama Oriental fruit fly.

(17)

Lalat buah termasuk ke dalam filum Arthropoda, kelas Insekta, ordo Diptera, sub Ordo Cyclorrhapha dan famili Tephritidae (Trypetidae) (Borror, 1981). Di Indonesia telah diketahui sekitar lima genus lalat buah dari sekitar 12 genus yang ada, kelimanya adalah Anastrepha, Bactrocera, Ceratitis, Rhagolestis dan Dacus (Nugroho, 1997). Pada beberapa jenis buah-buahan lalat buah dianggap sebagai hama utama (White dan Elson, 1992). Mediteranian fruit fly (Ceratitis capitata), Oriental fruit fly (Bactrocera dorsalis), Queensland fruit fly (Bactocera tryoni), melon fly (Bactrocera curcubitae), codling moth (Cydia pomonella) adalah hama yang sangat merugikan dan negara yang diketahui memiliki jenis-jenis hama ini tidak diijinkan melakukan impor buah-buah yang menjadi inang hama ini ke Jepang (Plant Protection Division, 1997).

Gambar 3. Oriental fruit fly (Bactrocera dorsalis).

Oriental fruit fly adalah salah satu lalat buah yang paling merugikan di Asia Timur dan pasifik dan menyerang bermacam-macam buah-buahan (Allwood et al., 1999 di dalam Hou et al., 2006). Lalat ini juga dalam pengawasan yang ketat oleh pemerintah sehubungan dengan besarnya kehilangan ekonomi yang disebabkan oleh spesies ini di banyak negara, hal ini juga menjadi pembatas utama dalam perdagangan dan perkembangan ekonomi (Aluja dan Liedo, 1993 di dalam Hou et al., 2006).

Lalat buah mempunyai empat fase metamorfosis, yaitu telur, larva, pupa dan imago. Telur diletakkan di dalam atau di bawah kulit buah oleh lalat buah betina, tempat peletakannya ditandai oleh cekungan/titik kecil berwarna gelap pada komoditas yang terserang. Imago lalat buah meletakan telur antara 2-15 butir setiap periode. Setiap lalat betina mampu meletakan sekitar 800 butir telur

(18)

selama masa peletakan telur, telur tersebut akan menetas kira-kira dua hari setelah diletakkan oleh induknya (Nugroho, 1997). Bahkan menurut Pena dan Mohyuddin (1997) lalat betina Anastrepha fraterculus dapat meletakkan sebanyak 200-400 telur dan B. Dorsalis sebanyak 1200-1500 telur. Telur berwarna putih bening sampai kuning krem dan berubah menjadi lebih tua mendekati saat menetas. Bentuk dan ukuran telur bervariasi, tergantung spesiesnya. Pada umumnya telur berbentuk bulat panjang seperti pisang dengan ujung meruncing. Panjang telur lalat buah sekitar 1,2 mm dengan lebar 0,2 mm tergantung spesiesnya (White dan Elson-Haris, 1992).

Fase larva merupakan fase yang merusak karena aktivitasnya dalam jaringan buah. Larva keluar dari telur yang diletakkan di dalam inang, daging inang dikoyak oleh larva dengan menggunakan alat pada mulutnya yang berupa kait tajam sambil mengeluarkan enzim perusak. Enzim tersebut berfungsi melunakan daging inang sehingga mudah dihisap dan dicerna mengakibatkan buah bewarna coklat dan tidak menarik serta terasa pahit atau bahkan rusak dan hancur. Enzim tersebut juga mempercepat pembusukan dan pada tahap selanjutnya mengeluarkan aroma kuat yang diduga berasal dari senyawa alkohol. Setelah melewati masa instar tiga lalat buah meninggalkan inangnya, dan dalam waktu yang tidak terlalu lama masuk ke dalam pori-pori tanah untuk menjadi pupa. Lalat buah melewati tiga instar dalam waktu 7-10 hari hingga membentuk pupa. Pupa (kepompong) lalat buah berada di dalam puparium yang berbentuk tong dan berwarna coklat tua. Perkembangan pupa membutuhkan waktu sekitar 18 hari dan lamanya dipengaruhi kondisi lingkungan. Setelah proses metamorposis selesai lalat buah dewasa keluar dari permukaan tanah, mereka mengeraskan sayapnya terlebih dahulu sebelum terbang (Smith, 1989 di dalam Hou et al., 2006).

Hou et al. (2006) melaporkan bahwa pupa tidak ditemukan pada

permukaan tanah dengan kelembaban 0-70%, dan lebih dari 50% pupa ditemukan pada permukaan tanah dengan kelembaban 80, 90, dan 100%. Kebanyakan larva menjadi pupa di kedalaman 4 cm dari permukaan tanah, larva bergerak ke kedalaman lebih dari 4 cm pada tanah yang menerima terlalu banyak atau terlalu sedikit air. Lalat buah dewasa muncul paling cepat pada tingkat kelembaban tanah 30% dan muncul paling lama pada tanah dengan tingkat kelembaban 70%.

(19)

Penyakit pascapanen pada mangga dapat dibedakan berdasarkan waktu terjadinya infeksi patogen, yaitu penyakit yang disebabkan patogen yang menginfeksi buah saat buah telah dipanen dan yang menginfeksi sejak buah masih di pohon yang gejalanya kemudian berkembang saat buah dalam penyimpanan (Yulianingsih, 1995). Cendawan merupakan salah satu mikroba penyebab penyakit pascapanen pada buah-buahan sehingga mempercepat terjadinya penurunan mutu. Hal yang sama juga dijelaskan oleh Wills et al. (1981), cendawan dan bakteri dapat menyebabkan penyakit pascapanen buah dan sayur. Dodd et al. (1997) menyatakan bahwa antraknosa merupakan penyakit pascapanen utama pada mangga di seluruh dunia, yang disebabkan oleh cendawan Colletotrichum gloeosporioides, dimana perkembangannya berkaitan erat dengan curah hujan sewaktu di lapangan. Penyakit ini dapat menyerang daun, bunga dan buah. Pada buah terlihat gejala khas yaitu bercak-bercak hitam pada bagian kulit yang sedikit demi sedikit melekuk dan bersatu dan daging buah membusuk. Selain itu salah satu penyakit yang sering ditemui adalah busuk pangkal buah (stem end rot). Penyakit ini dapat disebabkan oleh beberapa cendawan seperti Lasiodiplodia theobromae, Dothiorella dominicana, Pestalotiopsis mangiferae. Buah yang terinfeksi, terdapat bercak yang pada awalnya terjadi di sekitar ujung tangkai buah. Bercak berwarna gelap kemudian berubah menjadi bercak coklat kehitaman, berbatas tidak teratur. Pada kondisi lembab pembusukan buah terjadi sangat cepat, dalam waktu 2-3 hari seluruh kulit buah menjadi busuk, daging buah berwarna coklat tua, lunak dan mengandung cairan berwarna gelap.

F. Perlakuan Karantina

Untuk memenuhi aturan perdagangan dengan negara pengimpor dan untuk menghambat penyebarluasan hama dan penyakit, maka prosedur karantina dalam kegiatan ekspor-impor mutlak diperlukan. Perlakuan karantina bertujuan untuk mematikan semua fase serangga, mulai dari telur sampai serangga dewasa yang mungkin ada. Berdasarkan media yang digunakan untuk mengendalikan infestasi serangga, perlakuan karantina dapat dikelompokan menjadi 3 macam, yakni perlakuan kimia menggunakan fumigan seperti fungisida, insektisida dan lain-lain; perlakuan fisik seperti penggunaan temperatur (tinggi atau rendah), penggunaan efek gelombang frekwensi tinggi, iradiasi dan lain-lain; dan kombinasi antara perlakuan kima dan fisik.

(20)

Metode-metode tersebut digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis spesies hama tanaman dan tumbuhan berdasarkan standar dan aturan dari setiap negara yang menggunakannya. Secara umum semua metode-metode tersebut cukup memuaskan jika diaplikasikan sesuai aturan.

1. Perlakuan Dingin (Cold treatment)

Metode ini pada dasarnya diaplikasikan pada saat penyimpanan dengan temperatur yang rendah untuk mengendalikan serangga. Metode ini sudah mulai diterapkan sejak tahun 1900, dan telah lama diterapkan untuk mengontrol lalat buah. Keuntungan dari penggunaan teknologi ini adalah bisa diselaraskan sebagai penyimpanan dan kerusakan atau penurunan mutu produk cenderung lebih kecil dibandingkan penggunaan heat treatment dan prosedurnya lebih mudah dilakukan dan dikontrol. Penyimpanan dingin biasanya dilakukan pada suhu 10 oC hingga -2 oC. Penyimpanan pada temperatur dibawah suhu -18 oC

disebut dengan penyimpanan beku. Sementara jika disimpan pada suhu diatas 10 oC disebut penyimpanan biasa. Sebagai metode disinfestasi pada buah dan

sayuran, temperatur harus disesuaikan untuk menghindari kebekuan produk selama proses perlakuan. Titik beku untuk buah adalah -1- -2 oC dan untuk

sayuran adalah pada suhu -0,5- -1 oC. Untuk menghemat waktu pengaplikasian

temperatur 0 oC sering digunakan untuk membunuh serangga. Namun demikian

keefektifan metode ini dalam mengontrol serangga sangat tergantung pada lamanya perlakuan, dan biaya operasinya cenderung mahal. Perlakuan dingin (cold treatment) tidak dapat diaplikasikan pada mangga karena mangga tidak toleran terhadap temperatur rendah yang dibutuhkan untuk disinfestasi.

2. Fumigasi

Teknologi fumigasi sudah dikenal sejak lama dan telah diaplikasikan secara luas diberbagai negara di seluruh dunia. Fumigan yang digunakan diantaranya metil bromida, aluminum pospin, hidrogen sianida, karbondioksida dll. Fumigasi dilakukan pada ruang tertutup dengan dosis dan aturan tertentu dimana komoditas ditempatkan. Salah satu keunggulan fumigasi adalah dapat diaplikasikan pada komoditas dalam jumlah besar secara bersamaan sehingga dapat menghemat waktu.

Metil bromida adalah salah satu fumigan yang sudah umum dipergunakan, karena dapat mengontrol berbagai spesies serangga secara efektif, tidak mudah meledak dan relatif aman digunakan. Selain itu juga dapat

(21)

diaplikasikan pada suhu rendah. Namun demikian metil bromida terbukti dapat merusak lapisan ozon. Selain itu residu yang ditinggalkannya pada komoditas yang difumigasi disinyalir berbahaya bagi kesehatan. Alumunium pospin umumnya digunakan untuk memfumigasi serangga di gudang-gudang penyimpanan biji-bijian. Bentuknya dapat berupa tablet atau tepung. Hidrogen sianida adalah gas fumigan yang biasa digunakan pada komoditas perishable seperti, buah-buahan, sayur-sayuran dan bunga potong. Sementara itu karbondioksida tidak meninggalkan residu pada produk yang difumigasi. Selain itu cukup efektif untuk mengontrol beberapa hama pada gudang-gudang penyimpanan biji-bijian dengan waktu apikasi yang tidak terlalu lama. Namun fumigan ini tidak dapat mengontrol pupa serangga beras secara efektif.

3. Iradiasi

Penggunaan radiasi dosis rendah dapat memperlambat pematangan buah-buahan, mengontrol cendawan serta dapat memperpanjang umur simpan. Pematangan pisang, pepaya dan mangga dapat ditunda dengan mengiradiasi dengan 0,25-1 kGy. Stroberi yang biasanya selalu diserang oleh cendawan Botritis dapat diperpanjang umur simpannya selama 14 hari dengan meradiasinya dengan 2-3 kGy dan kemudian disimpan pada suhu 10 oC. Iradiasi

0,15-0,3 kGy pada jeruk, mangga dan pepaya dapat mengontrol serangan lalat buah. Stroberi lebih tahan terhadap iradiasi dibandingkan buah-buahan lainnya, beberapa varietas dapat toleran hingga dosis 4 kGy.

Pada tahun 1986, Food and Drug Administration (FDA) mengijinkan penerapan radiasi hingga 1 kGy (100 krad) pada buah dan sayuran. Dimana tujuanya adalah untuk memperpanjang masa simpan dan memperlambat proses pembusukan. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa dosis 0,75 kGy dapat mensterilkan serangga dan dosis yang lebih besar dari 1 kGy dapat mengontrol pembusukan. Tahun 1996 United States Departement of Agriculture (USDA) dan Animal and Plan Health Inspection Service (APHIS) menyatakan iradiasi legal segai salah satu perlakuan karantina untuk mengontrol lalat buah. Kemudian ada tahun 1997 peraturannya dikeluarkan uleh USDA dan APHIS untuk mengiradiasi pepaya, carambola, dan litchi sebagai salah satu perlakuan pitosanitari.

(22)

Tabel 10. Dosis radiasi minimum untuk berbagai lalat buah

Jenis Nama latin Dosis radiasi

minimum (Gy) Oriental fruit fly Bactrocera dorsalis 250 Mediterranean fruit fly Ceratitis capitata 225

Melon fly Bactrocera cucurbitae 210

Caribbean fruit fly Anastrepha suspensa 150 Mexican fruit fly Anastrepha ludens 150 West Indian fruit fly Anastrepha obliqua 150 Sapote fruit fly Anastrepha serpentina 150 Queensland fruit fly Bacterocera tryoni 150

- Bactrocera jarvisi 150

Malaysian FF Bactrocera latifrons 150

Mango seed weevil Sternochetus mangiferae 300

(Sumber: USDA, 1996).

Walaupun pada beberapa artikel disebutkan dibutuhkan dosis 1-2 kGy untuk membunuh telur, larva dan pupa Melon, Oriental dan Mediteranean fruit fly dengan cepat. Pada Queensland fruit fly dibutuhkan dosis 0,80 kGy dimana banyak buah-buahan yang mengalami perubahan kualitas pada dosis tersebut. Selain itu dikhawatirkan proses radiasi akan menyebabkan mutagen pada produk yang diradiasi sehingga membahayakan kesehatan ketika dikonsumsi. Oleh karena itu iradiasi hanya diijinkan di beberapa negara tertentu.

Selain itu, iradiasi juga menyebabkan beberapa penurunan kualitas pada beberapa jenis buah-buahan tertentu. Ionisasi menyebabkan perubahan kimia pada komponen dinding sel seperti selulosa, hemi selulosa dan pektin sehingga dinding sel menjadi lunak karena kehilangan kalsium. Hal ini umumnya terjadi pada dosis radiasi 6 kGy atau lebih, bahkan pada level yang lebih tinggi kehilangan kalsium mencapai 80% atau lebih. Akibatnya buah menjadi sangat bermasalah ketika dalam proses transportasi karena daging buah menjadi cepat sekali melunak. Pada transportasi normal sebagaimana buah yang tidak diradiasi, terjadi kerusakan yang tidak dapat diterima pada buah yang diiradiasi setibanya ditempat tujuan. Kehilangan kalsium memegang peranan penting dalam terjadinya pelunakan pada buah dan sayuran. Selain itu buah-buahan diradiasi menjadi lebih sensitif terhadap suhu dingin, sehingga memudahkan terjadinya chiling injury, seperti yang dijumpai pada pisang, lemon, jeruk dan tomat setelah diradiasi dengan dosis dibawah yang diijinkan.

(23)

Iradiasi pada jeruk australia, washington dan valencia tidak dapat lebih dari dosis 0,30 kGy, karena dapat menyebabkan kerusakan pada permukaan kulit buah. Jeruk California yang diiradiasi dengan 0,35-0,50 kGy mengalami kerusakan kulit dan perubahan rasa setelah diradiasi. Laporan lain menyebutkan bahwa iradiasi jeruk pada dosis 0,50 kGy menyebabkan perubahan warna dan rasa setelah 2-4 minggu penyimpanan. Demikian juga dengan iradiasi terhadap anggur Marsh tanpa biji dengan dosis 0,25-0,50 kGy menyebabkan perubahan yang siknifikan pada rasa. Dan banyak survey menunjukan bahwa jeruk tidak tahan pada radiasi lebih dari 0,50 kGy, sementara cendawan penyebab penyakit pascapanen pada jeruk membutuhkan dosis radiasi hingga 3 kGy. Demikian juga pada buah cherry, aprikot dan peach dibutuhkan dosis radiasi lebih dari 2 kGy untuk mengontrol pertumbuhan cendawan Monilia fructicola yang menyebabkan penyakit brown rot.

4. Perlakuan panas (heat treatment)

Teknologi karantina diperlukan dalam rantai pemasaran komoditi yang merupakan inang dari suatu hama penyakit dari daerah yang terinfestasi ke daerah yang tidak terinfestasi yang bertujuan untuk mencegah penyebaran hama penyakit tersebut (Armstrong dan Couey, 1989). Dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan dalam penggunaan metode perlakuan panas (heat treatment) sebagai salah satu teknologi karantina setelah adanya pelarangan penggunaan senyawa kimia seperti etilen bromida untuk proses disinfestasi hama dan pengendalian penyakit sejak tahun 1984 (Couey, 1989; Heard et al., 1992; Heather et al., 1997; Lurie, 1998).

Saat ini perlakuan panas digunakan sebagai perlakuan bebas residu untuk mendisinfestasi mangga diseluruh dunia seperti Pilipina (Merino et al., 1985; Thailand (Unahawutti et al., 1992) dan USA (Sharp, 1986; Mangan dan Ingle, 1992). Perlakuan panas pada pascapanen buah-buahan/sayuran dimaksudkan untuk membunuh serangga atau lalat buah maupun cendawan pada buah-buahan/sayuran seperti antraknosa dan busuk pangkal buah (stem end rot) tanpa menyebabkan kerusakan pada buah itu sendiri.

Beberapa metode penggunaan panas dalam proses karantina antara lain dengan menggunakan air panas (hot water treatment, HWT), uap panas (vapor heat treatment, VHT) dan udara panas (hot air treatment, HAT) (Couey, 1989; Paull, 1990; Lurie, 1998). Proses disinfestasi pada buah dilakukan dengan cara

(24)

memanaskan buah pada suhu tertentu selama periode waktu tertentu yang bertujuan untuk membunuh lalat buah atau mengendalikan penyakit seperti antraknosa dan stem end rot tanpa menyebabkan kerusakan pada buah itu sendiri.

Perlakuan panas sebagai salah satu teknologi karantina cukup efektif untuk mengatasi masalah hama penyakit pascapanen. Tetapi penggunaan suhu yang tinggi dalam waktu yang lama dapat menyebabkan penurunan mutu produk. Pengaruh perlakuan panas terhadap suatu produk berbeda-beda, tergantung pada kultivar, ukuran dan bentuk, serta kematangan dan metode yang digunakan. Oleh karena itu faktor suhu dan lama perlakuan sangat menentukan agar tujuan untuk membunuh lalat buah pada berbagai stadia tercapai tanpa merusak mutu produk itu sendiri.

Kerusakan produk hortikultura karena kelebihan panas disebut heat injury. Gejala umumnya berupa pencoklatan (browning) pada kulit dan terjadinya penguningan pada sayuran hijau seperti ketimun. Kerusakan internal yang terjadi diantaranya adalah pelunakan abnormal dan penghitaman pada daging buah, misalnya pada buah leci.

Pada umumnya buah-buahan dan sayuran masih toleran dalam air bersuhu 50 - 60°C sampai 10 menit, tetapi pada waktu yang lebih singkat telah dapat membunuh larva-larva penyebab penyakit pada komoditas tersebut. Pencelupan buah-buahan dalam air panas pada suhu 46°C membutuhkan waktu 90 menit dan perlakuan panas dengan uap panas menggunakan suhu 40 - 50°C sudah dapat membunuh telur serangga yang terinfestasi pada buah atau sayuran. Pencegahan kebusukan akibat jamur dapat dilakukan dalam hitungan menit pada suhu diatas 50°C.

Hot water treatment (HWT) adalah dengan mencelupkan komoditas ke dalam air panas pada suhu dan waktu tertentu, tergantung kepada varietas, jenis dan stadia serangga yang akan dibasmi (APHIS, 1993). Air panas merupakan media yang efektif untuk menghantarkan panas secara seragam ke seluruh bagian buah dalam waktu yang tidak terlalu lama (Couey, 1989). Untuk buah-buahan yang bersifat perishable, pemanasan dapat dilakukan hingga suhu pusat buah mencapai 43-46,7 oC selama 35-90 menit. Variasi tergantung kepada jenis

dan stadium hama yang ditargetkan dan varietas buah. Metode HWT juga dapat mengontrol penyakit pascapanen seperti antraknosa dan stem end rot (Couey,

(25)

1989 dan Mc Guire, 1991). Pencelupan komoditas non-food perishable seperti bunga ke dalam air panas dengan suhu 43,3-49 oC selama 6 menit hingga 1 jam

efektif untuk membunuh serangga dan tidak merusak kualitas produk (Hara et al., 1994). Saat ini HWT digunakan pada mangga yang terinfestasi Mediteranean fruit fly dan beberapa lalat buah dari jenis Anastrepha, yang diimpor dari Meksiko, Karibia, Amerika Tengah dan Amerika Selatan ke Amerika Serikat. Perendaman jeruk pada suhu 45°C selama 42 menit dapat mengurangi pembusukan yang disebabkan oleh Colletotrichum gloeosporioides, Penicillium digitatum dan Penicillium italicum. Pada mangga ’Irwin’, HWT memberikan hasil yang terbaik pada suhu 47,2°C selama 90 menit, dalam hal ini suhu pusat mangga mencapai 46,5°C. HWT pada ubi jalar varietas Siroyutaka dan CIP menggunakan suhu 47,5°C selama 30 menit mencapai hasil yang optimum. Perendaman paprika pada suhu 50°C selama 3 menit dapat menghambat pertumbuhan jamur hitam dan jamur abu-abu. Tetapi perendaman pada suhu 50°C selama 5 menit atau pada suhu 55°C selama 1 menit atau lebih dapat mengakibatkan retak-retak pada kulit buah. HWT pada suhu 46,5°C selama 20 menit memberikan hasil terbaik dalam mempertahankan mutu tomat dan dapat menekan chiling injury pada penyimpanan dingin. Kesuksesan penerapan hot water treatment sebagai pada karantina mangga juga dikembangkan pada pepaya (Couey dan Hayes, 1986), jambu biji (Gould dan Sharp, 1992) dan pisang (Armstrong, 1982). Namun demikian metode ini tidak direkomendasikan untuk anggur, belimbing, plum, dan peach karena dapat merusak mutu buah (Hallman, 1991; Hallman dan Sharp, 1990).

Penggunaan perlakuan udara panas (hot air treatment/HAT) juga digunakan sebagi salah satu perlakuan karantina. Pemanasan dengan udara hingga suhu 40-50 oC selama kurang dari 8 jam dapat digunakan untuk

mengontrol lalat buah pada buah-buahn tropik (Armstrong et al., 1989). Kondensasi pada permukaan buah atau pada ruang perlakuan dihindari dengan menjaga titik embun 2-3 oC di bawah temperatur bola kering. Hal ini akan

mengontrol kelembaban relatif ruangan sehingga menghindari kondensasi pada ruang perlakuan dan pada permukaan buah yang ditreatment.

Buah-buahan yang memperlihatkan toleransi dengan udara panas adalah mangga (Mangan dan Ingle, 1992; Miller et al., 1991 dan Sharp, 1992), anggur (McGuire, 1991; Sharp, 1989), jeruk (Sharp and McGuire, 1996), carambola

(26)

(Sharp and Hallman, 1992), persimon (Lay-yee, 1994) dan pepaya (Armstrong et al., 1989). Namun demikian perlakuan udara panas tidak direkomendasikan pada buah alpukat, lychee dan nectarine. USDA-APHIS telah menggunakan perlakuan HAT pada pepaya, mangga, dan anggur (APHIS, 1993). Metode ini efektif digunakan untuk mengendalikan lalat buah seperti lalat buah Meksiko pada anggur dari Meksiko, lalat buah Mediteranean, Oriental dan Melon fly pada pepaya dari Hawaii serta lalat buah Meksiko, West Indian dan lalat buah hitam pada mangga dari Meksiko.

G. Vapor Heat Treatment/VHT

VHT merupakan penggunaan uap panas jenuh pada komoditas hortikultura pada suhu dan waktu tertentu untuk membunuh hama yang terinfestasi di dalamnya (APHIS, 1993). Tergantung pada ukuran dan varietas buah, perlakuan karantina pada buah-buahan menggunakan uap panas adalah pada kisaran suhu antara 46-47 oC (Jacobi et al., 1995; Jacobi and Giles, 1997;

Jacobi and Wong, 1992; Ponce de Leon et al., 1996; Sharp, 1986). Penggunaan uap panas dengan kelembaban lebih dari 90% digunakan oleh USDA-APHIS pada buah clementine, anggur, jeruk dan mangga yang diimpor untuk mendisinfestasi mexican fruit fly demikian juga pada paprika, terong, pepaya, tomat, zuchini dan markisa yang diimpor dari area yang terinfestasi Oriental dan Melon fly (APHIS, 1993). Dilaporkan juga bahwa VHT juga efektif diaplikasikan pada karambola (Hallman, 1990), anggur (Miller et al., 1991). Beberapa peneliti lain juga menyatakan bahwa metode VHT efektif membunuh serangga codling meth pada cherry (Neven dan Micham, 1996), Caribbean fly, aphid, dan thrips pada bunga potong dan mealybug (Hansen et al., 1992). Pada saat ini fasilitas komersial VHT untuk mangga telah beroperasi di Okinawa, Pilipina, Thailand, USA dan Australia (Suganawa et al., 1987; Merino et al., 1985; Unahawutti et al., 1986; Heater et al., 1997).

Dalam prakteknya, penggunaan panas pada mangga dengan metode VHT dilakukan pada suhu buah (dekat biji) 46,5oC selama 10-30 menit dan

terbukti efektif untuk membunuh lalat buah jenis Oriental fruit fly dan Melon fruit fly dari mangga ‘Nang Klangwan’ (Thailand) dan mangga ‘Irwin’ (Taiwan dan Okinawa) serta mampu mengendalikan penyakit stem end rot dari mangga ‘Kensington’ (JFTA, 1996; Coates et al., 1996; Rokhani et al., 2001). Rokhani et al. (2001) melaporkan bahwa dengan metode VHT pada mangga Irwin yang

(27)

diproduksi di Okinawa tahan pada suhu 46,5oC selama 30 menit. Proses tersebut

cukup efektif dalam menekan perkembangan penyakit antraknosa dan stem end

rot pada mangga serta dapat mempertahankan mutu buah hingga 21 hari

penyimpanan pada suhu 13oC.

Semua komoditas buah-buahan dari Hawaii yang terserang oleh Oriental fruit fly, Melon fly, dan Mediterranean fruit fly harus didisinfeksi terlebih dahulu sebelum di ekspor ke USA, Jepang dan beberapa negara lainnya yang diketahui tidak memiliki spesies hama ini. Untuk buah-buahan yang diimpor dari Philipina pemerintah Australia mengharuskan penerapan VHT dengan suhu 46 oC selama

10 menit, untuk membunuh semua stadium lalat buah, Bactrocera cucurbitae, B. occipotalis dan B. philipiniensis (Australian Quarantine & Inspection Service, 1999). Dua metode yang non kimia yang digunakan untuk membunuh Oriental dan Mediteranean fruit fly yang terinfestasi di dalam pepaya Hawaii adalah dengan pencelupan berulang ke dalam air panas dan penggunaan uap panas. Pada pencelupan ulang ke dalam air panas, terlebih dahulu buah dicelupkan ke dalam air bersuhu 42oC selama 30 menit kemudian dicelupkan kembali ke dalam

air bersuhu 49oC selama 20 menit (Hardenburg et al., 1986). Untuk penggunaan

uap panas, buah ditempatkan dalam ruang bersuhu 43,3 oC selama 6-8 jam

untuk memperbaiki toleransi panasnya, lalu dipanaskan pada lingkungan uap jenuh selama 4 jam atau lebih hingga suhu buah menjadi 47,2 oC, lalu buah

didiinginkan dengan air mengalir selama beberapa jam sebelum dikemas (Akamine, 1976).

Perlakuan panas juga efektif mengontrol penyakit yang disebabkan Phytophthora citrophthora pada lemon, Rhizopus dan Molinia pada peach, Colletrotichum gloesporioides pada mangga dan pepaya serta Gloesporium sp. pada apel. Disinfektan dengan perlakuan panas (suhu 45°C selama 42 menit) dapat menghilangkan spora dipermukaan, mengurangi viabilitas spora Penicillium dan Colletotrichum, dan tidak merusak lapisan lilin ataupun kualitas buah. VHT pada suhu 47 - 49°C dapat mengontrol pertumbuhan Colletotrichum gloeosporioides pada mangga. Sedangkan VHT pada suhu 46,5°C selama 10 - 30 menit dapat mengontrol penyakit stem end rot pada mangga ’Kensington’. Perlakuan panas dengan metode VHT pada suhu 38°C selama 3 hari sebelum penyimpanan dapat mencegah busuk pada tomat yang disebabkan oleh jamur

(28)

Botrytis cinerea. Tabel 11 memperlihatkan pedoman karantina untuk buah mangga yang akan diekspor ke Jepang.

Tabel 11. Pedoman karantina dengan perlakuan panas pada mangga yang akan diekspor ke Jepang

Negara asal (Kultivar) Target lalat buah Perlakuan standar

Australia (Kensington) Pilipina (Manila Super) Taiwan (Irwin, Harden) Tailand

(Nam Dorkmai, Rad, Pimsen Daeng) (Nang Klangwan) Ceratitis capitata Dacus tryoni D. dorsalis D. cucurbitae D. dorsalis D.cucurbitae D.dorsalis D.cucurbitae D. dorsalis D.cucurbitae VHT

Suhu 47,5oC selama 15 menit.

VHT

Suhu 46,0oC selama 10 menit.

VHT

Suhu 46,5oC selama 30 menit.

VHT

Naikkan suhu dari 43,0 oC ke

47,0 oC secara bertahap

selama 20 menit. VHT

Naikkan suhu dari 43,0 oC ke

47,0 oC secara bertahap

selama 20 menit. atau

Suhu pusat buah 46,5oC

selama 10 menit.

(Sumber: Plant Protection Division, 1997).

Temperatur kritis yang menyebabkan kematian pada serangga tergantung pada spesiesnya, lama perlakuan, dan faktor lain seperti kelembaban (RH) dan konsentrasi O2. Kematian serangga pada suhu tinggi dapat disebabkan

oleh inaktifasi enzim, pengumpalan protein, ketidakseimbangan metabolisme, produksi toksin, perubahan tingkat lemak pada dinding sel dan kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Pada suhu tinggi, konsumsi O2 serangga meningkat,

serangga akan sulit bergerak yang dikenal dengan istilah “heat stupor” kemudian diikuti dengan kematian. Selain itu karena serangga hidup di dalam daging buah kematian juga dapat disebabkan karena suhu tinggi menyebabkan peningkatan respirasi buah, sehingga konsentrasi O2 di dalam sel menurun dan konsentrasi

CO2 meningkat. Evaporasi pada telur dan imago meningkat pada suhu tinggi

(pada perlakuan HWT dan VHT) menyebabkan mencairnya wax pada lapisan chorion pada telur dan kutikula pada imago.

(29)

5 10 15 20 25 30 35 46 47 48 49 50 51 52 Garis maksimum kerusakan buah Garis minimum mortalitas 100 % Daerah aplikasi perlakuan panas

Menurut Niven, (2000) perubahan ekstrim suhu (misal pada saat perlakuan karantina setelah panen) dapat menimbulkan respon metabolisme yang berbeda. Pada beberapa jenis serangga responnya dapat berupa peningkatan metabolisme anaerob seperti yang terjadi pada larva Cochliomyia macellaria yang menghasilkan penyingkatan polyols dan polipospat. Enzim juga merupakan salah satu yang sangat terpengaruhi dengan adanya perbedaan suhu ini. Perubahan suhu mempengaruhi ikatan pada enzim sehingga mempengaruhi metabolismenya seperti perubahan katalisasi enzim yang menyebabkan kekurangan energi, aktivasi, perubahan fluiditas pada lapisan membran pospolipid. Respon-respon ini akan semakin kritis pada suhu diatas 40

oC. Pada Gambar 4 ditampilkan hubungan suhu dan lama perlakuan panas

terhadap mortalitas lalat buah dan toleransi buah pada perlakuan panas.

Gambar 4. Hubungan antara suhu dan lama perlakuan yang layak untuk proses karantina mangga (Sumber: JFTA, 1996).

Gambar

Gambar 1. Mangga gedong gincu.
Tabel 1.   Karakteristik keunggulan mangga gedong gincu dibandingkan mangga  arumanis
Tabel 2. Karakteristik fisik dan kimiawi beberapa varietas mangga matang  Jenis mangga
Gambar 2. Diagram alir proses pascapanen mangga untuk ekspor.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada 25/3/2015 waris pesakit diarahkan membawa pesakit untuk mendapatkan rawatan lanjut di Hospital Tuanku Jaffar Seremban ini kerana tekanan darah pesakit tidak stabil.. Pada

Pada perkembangan berikutnya, pemerintah menuntut agar setiap sekolah menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantarnya.Tetapi sejak awal abad XX kepentingan

Penelitian sebelumnya tentang pendekatan STM yang dilakukan oleh Suharyono (2003:71-72) menyatakan bahwa dengan pendekatan ini, siswa memberikan respon positif

Susunan semacam ini memberikan dua bagian yang berlainan di dalam lempung yaitu lapisan bermuatan negatif yang tidak larut dalam air (disebut misel) dan kumpulan kation yang

Sebelum tahun 1973 Kabupaten Dompu adalah merupakan wilayah hukum Pengadilan Negeri Raba Bima, Jarak dari Kota Kabupaten Bima dengan kabupaten Dompu adalah 64

Penilaian terhadap proses dan hasil pembelajaran dilakukan oleh guru untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi peserta didik. Hasil penilaian digunakan sebagai bahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan asupan imunonutrisi dari vitamin A, vitamin C, vitamin E, selenium, dan zink,

Ditinjau dari perbaikan sifat fisika dan kimia tanah serta hasil biji kering kedelai, aplikasi formula pembenah tanah alternatif Biochar SP50 Submikron dan Volkanorf K424