• Tidak ada hasil yang ditemukan

Inkubator Bisnis Sebagai Penggerak Roda Perekonomian Alumni*

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Inkubator Bisnis Sebagai Penggerak Roda Perekonomian Alumni*"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Inkubator Bisnis Sebagai Penggerak

Inkubator Bisnis Sebagai Penggerak

Inkubator Bisnis Sebagai Penggerak

Inkubator Bisnis Sebagai Penggerak

Roda

Roda

Roda

Roda Perekonomian

Perekonomian

Perekonomian

Perekonomian Alumni

Alumni

Alumni

Alumni****

“Inkubator bisnis telah lama digaungkan di Indonesia. Tetapi faktanya hal ini tidak terlalu populer dan memasyarakat. Benarkah inkubator bisnis bisa menjadi penopang perekonomian

suatu negara? Seberapa kuat pengaruhnya? Apakah ini solusi untuk menekan jumlah alumni pengangguran yang makin meningkat? Bagaimana peluang alumni untuk terjun di bidang

ini? Ikuti pembahasannya.”

Sejak 1992, Pemerintah Indonesia melalui Departemen Koperasi mulai menggalakkan program ini. Upaya ini dilakukan dalam rangka memperbaiki kualitas enterpreneur skala kecil atau yang lebih akrab kita sapa dengan UKM(Usaha Kecil Menengah). Patut diketahui bahwa ketika krisis terjadi di tahun 1998, banyak perusahaan berskala besar akhirnya harus gulung tikar karena ketidakberdayaannya menghadapi tekanan yang disebabkan oleh ketidakstabilan politik dan ekonomi. Pasalnya adalah, banyak transaksi, hutang-piutang dan jumlah pinjaman menjadi aktivitas utama dalam menggerakkan roda ekonomi. Otomatis penggunaan mata uang asing menjadi sebuah keharusan. Ketika krisis terjadi mereka turut merasakan fluktuasi nilai tukar mata uang dan akhirnya mengalami collapse. Padahal perusahaan dengan skala seperti ini menjadi harapan pemerintah dalam menyokong perekonomian nasional.

Justru kehadiran UKM membawa dampak yang sangat signifikan dan membuat perekonomian Indonesia tidak mati total saat krisis berlangsung. Ini karena UKM banyak bergerak di sektor riil. Beramai-ramai orang kemudian membicarakan "kehebatan" UKM yang tahan banting terhadap krisis. Fitur untuk melakukan manajemen organisasi(reformasi organisasi), pengalihan pasar, ganti produk(change the product), pengambilan keputusan untuk langkah efisiensi ataupun penyelamatan usaha oleh pemilik, beserta kemudahan lainnya bisa terealisasi kapan saja. Selanjutnya ada kedekatan hubungan antara UKM dan inkubator bisnis. Dimana saya melihat bahwa inkubator bisnis memberikan kesempatan dan ruang gerak tak terbatas terutama kepada para pemula yang nantinya berorientasi di bisnis UKM. Inilah yang membuat pasar UKM kembali bergairah dan menjadi bisnis paling realistis dan memberikan advantage yang luar biasa di abad 21 ini.

Ketika mensosialisasikan program inkubator bisnis ini, pemerintah berusaha menggandeng pihak akademisi. Menurut saya, upaya pemerintah ini adalah untuk menekan pengangguran terdidik yang jumlahnya kian bertambah parah. Terlepas dari itu, perkiraan saya ini adalah cara pemerintah belajar dari pengalaman di negara lain. Seperti kita ketahui, Silicon Valley (sebuah istilah untuk zona beberapa kota di Amerika yang saat ini menjadi jantungnya teknologi dunia. Istilah ini muncul karena banyak perusahaan-perusahaan di beberapa kota tersebut berlatarbelakang komputer dan semikonduktor), awalnya hanyalah sebuah proyek inkubasi bisnis rintisan Stanford University. Lama kelamaan berkembang dan hingga saat ini beberapa perusahaan berkelas dunia yang “bernaung” dibawahnya diantaranya Google, Yahoo!, Apple, Intel, Adobe System, Cisco System, eBay, Hewlet-Packard, dll.

Alasan kedua pemerintah menggandeng perguruan tinggi menurut saya adalah kebanyakan orang saat ini bertujuan kuliah hanya untuk kerja, bukan mencari ilmu. Lebih tepat melengkapi gelar untuk melamar di tempat kerja idamannya. Dari sini kita bisa melihat

(2)

bahwa sebenarnya sumber penghasil tenaga kerja terbanyak adalah lulusan perguruan tinggi. Perguruan tinggi akan selalu mencetak calon tenaga kerja baru dengan melakukan penerimaan mahasiswa baru dan melakukan wisuda terhadap calon lulusannya.

Untuk itulah perguruan tinggi tidak dituntut hanya sebagai lembaga yang mengajarkan ilmu pengetahuan tetapi juga sebagai penunjang kemajuan karir dari alumni. Dengan memanfaatkan inkubasi bisnis ini, perguruan tinggi diharapkan menjadi pionir penggerak sekaligus pembimbing bagi alumni untuk terbukanya jalan dan kesempatan. Dengan begitu lulusan perguruan tinggi nantinya akan terserap didunia kerja.

Menurut saya ada beberapa hal yang bisa menunjang suksesnya penerapan inkubator bisnis yang dikelola oleh perguruan tinggi :

1. Universitas harus percaya pada alumninya

Universitas wajib memberi kepercayaan kepada alumninya. Saat ini kualitas dan kemampuan alumni terutama lulusan swasta banyak diremehkan. Ini tidak luput dari opini yang telah berkembang dimasyarakat bahwa kualitas Perguruan Tinggi Swasta (PTS) adalah nomor dua dibanding dengan lulusan Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Seharusnya kita belajar dari pengalaman ini. Inkubator bisnis merupakan jalan bagi PTS untuk membalikkan opini tersebut. Kita harus membuktikan bahwa kualitas lulusan PTS pun tak kalah bila bersaing dengan PTN.

Di sebuah universitas swasta di Yogyakarta selalu membuka penerimaan dosen dari luar. Dosen yang diterima rata-rata adalah lulusan UGM, ITB, ITS dan sejumlah lulusan PTN mentereng lainnya. Mereka beranggapan bahwa dengan membuka lowongan dosen di luar, daya saing dengan universitas lainnya akan semakin terbuka. Lalu muncul pertanyaan, kenapa tidak memberdayakan lulusannya sendiri? Apakah mereka tidak percaya dengan alumninya?

Muncullah dilema dan ada hal yang harus dikorbankan. Menggunakan “jasa” lulusan universitas sendiri memang baik. Tetapi ternyata menggunakan alumni PTN lebih baik lagi. Atas dasar itulah iklim kondusifitas dan optimisme dilingkungan universitas harus di perbaiki lagi. Dengan kata lain merubah tatanan sistem yang telah eksis. Lantas bagaimana cara merubahnya? Saya telah membahasnya di artikel berjudul “Alumni PT, Universitas,

Jaringan Alumni Menyongsong Dunia Kerja Era Digital: Seberapa siapkah ???” (Sebuah telaah terhadap kualitas lulusan universitas dalam menghadapi dunia kerja). 2. Jumlah mahasiswa adalah aset

Saya sangat berbangga dengan universitas tempat saya menimba ilmu (Universitas Islam Indonesia). Menurut saya, UII punya jumlah mahasiswa yang relatif besar dengan jumlah penerimaan mahasiswa baru dan wisuda pertahun mencapai 3000-4000 an mahasiswa. Dari tahun ke tahun UII selalu mengalami peningkatan jumlah mahasiswa baru walaupun tidak terlalu signifikan. Relatif stabil ditengah menurunnya selera calon mahasiswa dalam memilih universitas swasta sebagai tempat kuliah.

Inilah yang patut menjadi kebanggaan universitas, selain saya tentunya. Kebanggan yang saya maksudkan bukan dengan melihat jumlah mahasiswa yang relatif besar. Tetapi dengan jumlah sebesar itu, seharusnya universitas berpikiran untuk “mendayagunakan” mahasiswa

(3)

sebagai mitra bisnis. Sejauh ini saya melihat beberapa teman saya(mahasiswa UII dan luar UII) punya daya kreatifitas yang luar biasa. Daya imajinasi mereka terhadap bisnis sangat tinggi, bahkan menurut saya tidak terpikirkan sebelumnya. Namun sayang, rencana mereka hanya menguap sebagai “great plan” saja tanpa realisasi. Inilah potensi dan aset yang harus dilirik.

3. Aplikasikan layanan 7S

Menurut saya universitas harus menerapkan layanan 7S yang disarankan oleh Hon. Peter

Reith, MP (2000)[1].

Secara umum inkubator dikelola oleh sejumlah staf dengan manajemen yang sangat efisien dengan menyediakan layanan “7S”, yaitu: space, shared, services, support, skill

development, seed capital, dan synergy.

Space berarti inkubator menyediakan tempat untuk mengembangkan usaha pada tahap awal. Shared ditujukan bahwa inkubator menyediakan fasilitas kantor yang bisa digunakan secara

bersama, misalnya resepsionis, ruang konferensi, sistem telepon, faksimile, komputer, dan keamanan.

Services meliputi konsultasi manajemen dan masalah pasar, aspek keuangan dan hukum,

informasi perdagangan dan teknologi.

Support dalam artian inkubator membantu akses kepada riset, jaringan profesional,

teknologi, internasional, dan investasi.

Skill development dapat dilakukan melalui latihan menyiapkan rencana bisnis, manajemen,

dan kemampuan lainnya.

Seed capital dapat dilakukan melalui dana bergulir internal atau dengan membantu akses

usaha kecil pada sumber-sumber pendanaan atau lembaga keuangan yang ada.

Synergy dimaksudkan kerjasama tenant atau persaingan antar tenant dan jejaring (network)

dengan pihak universitas, lembaga riset, usaha swasta, profesional maupun dengan masyarakat internasional.

Layanan 7S memberikan full support kepada calon-calon wirausahawan baru. Berbagai daya dan upaya harus dikerahkan oleh pihak penyokong, misal dalam hal ini universitas. Di tempat kuliah saya, Teknik Informatika Universitas Islam Indonesia sebenarnya sudah ada semacam program inkubator bisnis ini. Para mahasiswa(diprioritaskan terutama pada mahasiswa semester akhir yang sedang kerja praktek) sudah diberdayakan dalam membantu penyelesaian proyek dalam bentuk sistem informasi ataupun software lainnya. Saat ini bisnis masih dijalankan oleh korps dosen teknik informatika. Baik dalam hal manajemen, keuangan, ataupun pemilihan sumber daya manusianya.

Kedepannya saya berharap bahwa mahasiswa tidak hanya dilibatkan dalam proses menyelesaikan tender. Lebih dari sekedar menjadi “pekerja”, ide-ide inovasi dan kreatifitas, proses manajemen organisasi serta pengelolaan keuangan bisa muncul dari mahasiswa sendiri. Cara seperti ini akan melatih mahasiswa dalam kemandirian dan tidak bergantung

(4)

sepenuhnya pada pihak lain. Dan setelah lulus nanti, mereka sudah punya pekerjaan yang pasti.

Dalam melakukan eksperimen ini, tentunya pihak universitas ataupun lebih spesifik lagi misal jurusan, tidak sembarang dalam menerapkannya. Harus ada standarisasi dalam proses seleksi. Bisnis inkubator yang paling realistislah yang nantinya akan dibantu mungkin dalam hal pemodalan. Jadi pihak kampus bersikap tidak lebih dari sekedar investor dan mitra bisnis. Proses seleksi harus bisa memetakan kemampuan mahasiswa. Misalkan ada mahasiswa yang mengusulkan pembentukan inkubasi bisnis. Pihak kampus harus melihat sejauh apa kekuatan visi dan misi mereka dalam membangun “imperium” bisnis nantinya. Hal ini bisa diketahui ketika mereka melakukan presentasi menjabarkan program-program utamanya. Seluruh aspek harus diperhatikan. Misalkan mahasiswa kurang dalam hal manajemen organisasi maka pihak kampus punya kewajiban untuk memberikan training dalam membangun soliditas dan memanajemen anggota organisasi. Begitupun yang berhubungan dengan masalah fasilitas dan permodalan/keuangan.

Beberapa hal yang difasilitasi oleh kampus sebaiknya tidak disediakan dalam bentuk “gratisan”. Semisal modal dan fasilitas. Terkecuali untuk training/transfer pengetahuan. Ini membuat pihak yang mengajukan inkubator bisnis memiliki tanggung jawab yang diemban terhadap mitra bisnisnya.

4. Berikan award bagi yang sukses

Penting untuk memberikan apresiasi terhadap hasil dari kerja keras para tenant (perusahaan start up). Ini akan memacu iklim berusaha untuk menjadi lebih kondusif dan menciptakan tantangan yang lebih besar lagi bagi para start up. Lebih dari itu kita mengharapkan bahwa karya mereka tidak hanya dihargai di tingkat internal, tetapi juga bisa berkiprah di tingkat nasional. Ada beberapa penghargaan tingkat nasional dari institusi tertentu bagi para start up yang berhasil mengembangkan sayapnya. Diantaranya SWAStartup dari majalah SWA, iMULAI oleh Microsoft Indonesia, Indigo Fellowship dari Telkom, serta SparxUp Awards yang merupakan kerja sama antara DailySocial.net dan Semut Api Colony. Dengan penghargaan seperti ini diharapkan para start up akan semakin mengeluarkan ide-ide gila dalam pengembangan produknya.

TANTANGAN YANG DIHADAPI

Bagi para start up untuk mengaplikasikan inkubasi bisnis tidak hanya dibutuhkan kreatifitas semata. Dibutuhkan ketekunan, keseriusan dalam membangun, semangat pantang menyerah, dan kemampuan berpikir jauh kedepan(visioner). Disamping itu tantangan yang dihadapi seharusnya bisa dilewati sebagai bentuk tanggung jawab terhadap universitas sebagai mitra bisnisnya.

Berikut adalah kebutuhan sekaligus tantangan yang akan dihadapi. Lembaga inkubator bisnis yang berada dibawah kelolaan perguruan tinggi dapat menjawab empat kebutuhan kerja di era globalisasi dewasa ini yaitu[2]:

1. Kebutuhan akan pekerjaan yang menantang (challenging) dan memiliki arti penting bagi organisasi. Yang dimaksud dengan pekerjaan menantang adalah pekerjaan yang tidak mudah untuk diselesaikan tetapi mungkin untuk diselesaikan (difficult but not impossible),

(5)

sedangkan pekerjaan yang memiliki arti penting bagi organisasi adalah pekerjaan yang memberikan sumbangan/kontribusi yang berharga bagi keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan.

2. Kebutuhan akan lingkungan kerja yang kodusif. Artinya, lingkungan kerja yang mendukung kelancaran dan penyelesaian pekerjaan. Lingkungan yang mendukung termasuk didalamnya adalah lingkungan sumberdaya manusia dan lingkungan non-sumberdaya manusia (sarana dan prasarana).

3. Kebutuhan akan kemampuan kerja yang tinggi. Artinya, berkemampuan dalam menyelesaikan pekerjaan yang dibebankan.

4. Kebutuhan akan pemberdayaan jiwa intrapreneur dikalangan pelaku organisasi yaitu sumberdaya manusia. Intrapreneur dicirikan sebagai berikut: berorientasi pada pencapaian tujuan organisasi, terbukanya akses keseluruh lembaga dan sumberdaya manusia, memiliki motivasi kerja yang tinggi, inovatif, kreatif, memiliki visi, memiliki rasa percaya diri yang tinggi, berani mengambil risiko, memiliki intuisi bisnis yang tinggi, sensitif terhadap kondisi dan situasi di dalam maupun di luar organisasi, dan berfikir sistematik, terstruktur, dan terencana.

Sedangkan tantangan secara umum menurut para ekonom adalah :

1.Kondisi perekonomian nasional yang lebih memprioritaskan pemeliharaan stabilitas ekonomi daripada mendorong pertumbuhan industri. Sehingga tidak terdapat program pemerintah yang secara khusus mendorong pendirian inkubator.

2.Belum adanya kebijakan yang mengatur secara khusus mengenai Inkubator Bisnis.

3.Kurangnya pemahaman mengenai arti pentingnya peran Inkubator Bisnis dalam menciptakan lapangan kerja baru dan pertumbuhan dunia usaha.

4.Sumber dana yang terbatas dan bersifat jangka pendek.

5.Belum memiliki SDM yang profesional dan full time dalam mengelola Inkubator Bisnis. 6.Terbatasnya fasilitas fisik (sarana dan prasarana) dalam pelaksanaan fungsi inkubator terutama untuk inwall tenant.

JENIS INKUBATOR BISNIS

Dalam pengklasifikasiannya, inkubator dikategorikan tergantung dari sponsor yang mendukungnya. Paling sedikit ada 5 jenis inkubator yang selama ini menjadi acuan dalam pengembangan inkubator di beberapa negara[3].

Pertama, Regional development incubator, fokus programnya untuk agribisnis, penerangan

listrik, dan peningkatan ketrampilan pengrajin terutama untuk regional market.

Kedua, Research, University, Technology-based business incubator, yang dasar

pengembangannya pada riset dan berbasis di universitas, fokus programnya adalah menyediakan pelayanan untuk personil yang terlatih guna menjadi seorang entrepreneur

(6)

yang melakukan ekstrak teknologi untuk memenuhi pasar dan berbagai peluang yang tersedia.

Ketiga, Public-private partnership, industrial development incubator, yang umumnya hidup

di lingkungan perkotaan atau industrial estate , dimana perusahaan besar dapat dilibatkan dalam pengembangan usaha kecil sebagai vendor untuk komponen dan pelayanannya.

Keempat, Foreign sponsors, International Trade and Technology, fokus program inkubator

ini biasanya untuk pengembangan kolaborasi internasional, teknologi dan finansial, memfasilitasi masuknya usaha kecil dan menengah asing ke dalam pasar lokal (domestik).

Kelima, tipe inkubator lainnya, misalnya inkubator yang memfokuskan pada program

pengembangan kelompok tertentu.

Lingkungan kita sebenarnya sudah sangat akrab dengan kelima jenis inkubasi diatas. Sayangnya pengelolaannya dilakukan tidak simetris dan terpadu. Inilah yang menyebabkan banyak para startup yang bangkrut bahkan hanya dalam hitungan 2-3 tahun.

PERKEMBANGAN SAAT INI

Sebuah penelitian tentang inkubator bisnis dilakukan oleh Ahmad Junaidi, dkk(1997). Beberapa parameter yang menjadi tolok ukur penelitian diantaranya adalah kinerja dari inkubator serta maksud dan ide awal pembentukan dari inkubator bisnis tersebut. Hasilnya adalah inkubasi bisnis yang berdiri ternyata mempunyai kesamaan visi dan misi yang diusung oleh pemrakarsanya, yakni universitas. Muncullah pengklasifikasian terhadap basis dari inkubator bisnis yang ada :

1. Inkubator yang memfokuskan pada pengembangan usaha kecil di industri rumah tangga, hortikultura, kerajinan bulu binatang, dan peternakan ayam buras.

2. Inkubator yang memfokuskan pada pengembangan jaringan pasar bagi usaha kecil yang bergerak dalam computer software development.

3. Inkubator yang bergerak pada pengembangan usaha kecil yang hanya bergerak dalam usaha perkulitan.

4. Inkubator yang bergerak dalam pengembangan kewirausahaan bagi alumni melalui berbagai program latihan kewirausahaan dan pemagangan.

5. Inkubator yang memfokuskan pada pengembangan usaha kecil di wilayah sekitarnya dalam rangka mengatasi pengangguran dan penanggulangan kemiskinan.

Banyak inkubator bisnis yang berkembang saat ini, masih punya beberapa kelemahan diberbagai sisi. Beberapa kelemahan secara tidak langsung akan mempengaruhi tingkat produktivitas dan kreativitas dari usaha kecil menengah yang digalang oleh inkubator bisnis tersebut. Di samping karena usianya yang relatif baru dan masih pada taraf belajar (belum berpengalaman), beberapa kelemahan lainnya menurut Wayan[3] yang menghambat laju perkembangan inkubator bisnis diantaranya adalah: (a) keterbatasan dalam penyediaan fasilitas operasional yang berdampak pada rendahnya kemampuan menyerap in wall tenants, (b) kurangnya dukungan modal awal (seed capital) sehingga inkubator belum ditangani

(7)

secara profesional dan banyak in wall tenants yang tidak bisa mendapatkan modal awal walaupun usahanya layak untuk dibiayai, (c) komitmen dan dukungan pemerintah relatif kurang dan tidak konsisten dalam mengembangkan inkubator.

INKUBATOR BISNIS DI NEGARA MAJU

Berikut gambaran inkubator bisnis yang dikembangkan di beberapa negara yang saya kutip langsung dari[3] :

1. Australia

Pengalaman Australia dalam pengembangan inkubator telah dimulai sejak tahun 1980-an. Peran pemerintah sangat kuat dalam pengembangan inkubator di Australia. Dalam kaitan ini pemerintah menunjuk Menteri Tenaga Kerja, Hubungan Penempatan Kerja dan Usaha Kecil (Ministry for Employment, Workplace Relations and Small Business) untuk terus memantau dan mengevaluasi pengembangan inkubator. Guna membantu pengembangan inkubator ini pemerintah federal perlu secara kontinyu menyiapkan pendanaan sampai inkubator tersebut betul-betul mandiri. Di samping itu pemerintah juga memberikan rewards (penghargaan) bagi inkubator-inkubator yang berprestasi. Dana grant dari pemerintah biasanya maksimum sebesar A$ 500,000 sampai dengan 5 tahun yang diberikan kepada inkubator yang baru berdiri untuk pembangunan infrastruktur dan biaya pendirian. Sedangkan bagi inkubator yang sudah ada untuk pengembangan infrastrukturnya masih dapat diberikan bantuan maksimum sebesar A$ 100,000.

Sebagaimana layaknya inkubator dikembangkan, di Australia sendiri inkubator banyak dikembangkan di perguruan tinggi. Namun demikian, tidak jarang juga inkubator dimiliki oleh suatu perusahaan besar karena kepeduliannya dalam pengembangan usaha kecil. Sebagai ikatan diantara inkubator yang ada di Australia dan New Zealand sekarang sudah terbentuk suatu asosiasi inkubator yang diberi nama Australian and New Zealand Association of Business Incubators (ANZABI).

2. Taiwan

Sebagaimana pengembangan inkubator di Australia, pemerintah Taiwan juga sangat memberikan perhatian yang besar pada pengembangan inkubator guna membatu pebisnis pemula. Di Taiwan, inkubaor difokuskan pada pengembangan usaha kecil yang beorientasi pada penerapan teknologi canggih (high tech). Alasan pengembangan inkubator berorientasi pada penggunaan teknologi canggih adalah dalam rangka peningkatan nilai tambah produk yang dihasilkan UKM sehingga menjadi lebih kompetitif.

Cikal bakal inkubator di Taiwan dirintis oleh Dr. Benjamin Yuan pada tahun 1992. Ketika itu dia menyarankan agar hasil-hasil penelitian ditransfer melalui lembaga yang saat ini dikenal dengan inkubator. Untuk mewujudkan hal tersebut pada tahun 1995 Dr. Benjamin Yuan ditunjuk oleh Ministry of Economic Affairs (MOEA) untuk menyusun rencana strategis pengembangan inkubator yang menjadi kebijakan pemerintah Taiwan. Dalam kaitan ini, untuk memanfaatkan sumberdaya yang dihasilkan akademika dan lembaga penelitian, seperti teknologi, fasilitas, laboraorium, gedung, manajemen, dan tenaga profesional, Lembaga Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah Taiwan (SMEA) mendirikan suatu yayasan untuk pengembangan inkubator.

(8)

Dengan adanya yayasan tersebut, maka pada tahun 1996 sebagai tahap awal telah berdiri 7 inkubator. Pada tahun 1998 (setelah 2 tahun) di Taiwan sudah berdiri 36 inkubator, baik milik perguruan tinggi, lembaga riset nirlaba, dan milik organisasi swasta. Pada tahun 2000 sudah berdiri 48 inkubator dan 46 diantaranya mendapat subsidi pemerintah. Untuk tahun 2000 saja pemerintah Taiwan memberikan subsidi sebanyak NT$ 130 juta untuk mendukung 600 perusahaan kecil yang diinkubasi. Dan pada tahun 2001 ini diperkirakan akan disubsidi sebanyak 750 usaha kecil yang diinkubasi oleh 60 inkubator di seluruh Taiwan dengan nilai subsidi sebesar NT$ 300 juta.

Sebagai inkubator yang berorientasi teknologi, maka skup aktivitas inkubasinya meliputi: informasi dan elektronik, automatisasi mekanik, multimedia, mesin/bioteknologi, pengendalian lingkungan, mesin pesawat terbang, transportasi laut, dan lain-lain.

MASA DEPAN INKUBATOR BISNIS

Sebagai bentuk aktivitas bisnis yang lebih memprioritaskan pada usaha kecil dan menengah, tentunya inkubasi bisnis punya peluang besar untuk menghasilkan lapangan pekerjaan yang luas. Belajar dari pengalaman di tahun 1998 bahwa jenis usaha seperti ini tidak mati walaupun diterpa oleh badai krisis. Sejarah juga mencatat perkembangan ekonomi negara Amerika Serikat meningkat karena peran dari inkubator bisnis yang rata-rata berbasis UKM(hampir 90%).

Kini, sudah saatnya universitas memberdayakan lulusannya dengan program seperti ini. Inkubator bisnis juga bisa menjadi sumber devisa bagi universitas. Tentunya keberagaman ide, usaha, serta komitmen menjadi bisa menjadi latar belakang didirikanya usaha inkubasi ini. Tidak semata hanya berorientasi pada hasil akhir, yakni uang. Jika masih terdapat beberapa kekurangan pada lulusan universitas, hal ini harus segera dibenahi. Para startup tidak bisa bangkit hanya dengan dorongan dari universitas. Dibutuhkan peran pemerintah sebagai pembuat regulasi dan pihak swasta yang bisa menjadi investor memberikan suntikan modal. Peluang bisnis seperti ini diharapkan bisa mendatangkan penanaman modal dalam jumlah besar. Sehingga kedepannya setiap lulusan universitas tidak lagi menganggur dan negara bisa mengatur kepentingan lain yang lebih diprioritaskan.

Ditulis oleh Bawono Adi Sanjaya, Mahasiwa Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia.

*Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog Universitas Islam Indonesia.

Sumber Referensi :

1. Hon. Peter Reith, MP. The Planning and Development of Small Business Incubator Proponents, Department of Employment, Workplace Relations and Small Business, 2000. 2. Fuad Fadli, Konsep Kewirausahaan, diakses melalui

http://enterpreneurshipfuad.blogspot.com/2009/01/konsep-kewirausahaan.html pada tanggal 21 April 2011.

3. I Wayan Dipta, Inkubator Bisnis dan Teknologi Sebagai Wahana Pengembangan Usaha Kecil Memasuki Era Global, diakses melalui

(9)

http://www.smecda.com/deputi7/file_Infokop/EDISI%2023/Wayan%20Dipta.4.htm pada tanggal 21 April 2011.

4. Akhmad Junaidi, dkk. 1997. Kinerja Inkubator Bisnis dan Teknologi (dalam Media Informasi, Nomor: 03 tahun 1998, Badan Penelitian dan Pengembangan Koperasi dan Pengusaha Kecil).

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil observasi lapangan yang dilakukan peneliti diketahui bahwa tersedianya layanan jasa yang bergerak dalam instalasi sistem operasi yang illegal,

gálatában.. Le Bègue apát kéziratainak keletkezésére vonatkozólag a legtöbb információt a bécsi Haus-, Hof- und Staatsarchiv, Lothringisches Hausarchiv részlegében

Hasil dari kegiatan pengabdian ini adalah warga Dusun Nepak, Bulurejo, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk

 Libatkan mereka yang dapat membantu kampanye Anda: Di salah satu studi kasus, Pokja melibatkan (PKK) dalam diskusi bagaimana dengan meningkatkan layanan air limbah dapat

kehilangan atau kecurian kad adalah terhad kepada RM250, dengan syarat pemegang kad tidak melakukan sebarang penipuan, atau tidak gagal memaklumkan kepada Bank Rakyat dengan

Menimbang, bahwa anak yang bernama Tri Rizki Wahyuni, umur 2 tahun menurut telah dipelihara oleh Pemohon I dan Pemohon II selama dua tahun dengan penuh kasih sayang tidak

Adapun salah satu fenomena tersebut adalah masalah pendidikan. Masalah pendidikan merupakan masalah yang kompleks karena yang terlibat di dalamnya tidak hanya guru

Karena crohn disease adalah penyakit inflamasi kronis yang mempengaruhi dari sistem saluran pencernaan dan menyebabkan anorexia,diare yang berkepanjangan, masalah