• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISI BAB I : PENDAHULUAN 2 BAB II : LAPORAN KASUS 3. Identifikasi Masalah 4. Pemeriksaan Fisik 5. Pemeriksaan Laboratorium 5.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAFTAR ISI BAB I : PENDAHULUAN 2 BAB II : LAPORAN KASUS 3. Identifikasi Masalah 4. Pemeriksaan Fisik 5. Pemeriksaan Laboratorium 5."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1 DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN 2

BAB II : LAPORAN KASUS 3

BAB III : PEMBAHASAN

Identifikasi Masalah 4 Pemeriksaan Fisik 5 Pemeriksaan Laboratorium 5 Diagnosis 6 Diagnosis Banding 7 Penatalaksanaan 7 Prognosis 9 TINJAUAN PUSTAKA 9 KESIMPULAN 13 DAFTAR PUSTAKA 14

(2)

2 BAB I

PENDAHULUAN(1,2)

Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi tubuh, berfungsi protektif terhadap infeksi ataupun pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula menimbulkan hal lain yang tidak menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit

hipersensitivitas. Komponen-komponen system imun yang bekerjapada proteksi adalah sama dengan yang menimbulkan hipersensitivitas. Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas terdiri atas berbagai kelainan heterogen.

Pembagian hipersensitivitas yaitu reaksi hipersensitivitas Tipe I atau disebut juga reaksi cepat atau reaksi alergi, timbul segera sesudah tubuh terpajan allergen, reaksi hipesensitivitas Tipe II disebut reaksi sitotoksik atau sitolitik, reaksi hipersensitivitas Tipe III atau disebut kompleks imun, kemudian reaksi hipersensitivitas Tipe IV terbagi dua lagi yaitu delayed type hypersensitivity T dan T Cell mediated cytolysis. Pada makalah kali ini akan dibahas tentang hipersensitivitas tipe III yaitu kompleks imun yaitu SLE ( Systemic Lupus Eritemeus).

Lupus Eritemateus Sistemik (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang kronik yang mempunyai latar belakang kelainan multigenik dan tercetus karena berinteraksi dengan faktor luar serta menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam-macam, bersifat sementara, dan sulit untuk didiagnosis. Karena itu angka yang pasti tentang jumlah orang yang sakit sulit diperoleh. Gejala klinik dapat timbul padfa usia balita, menjadi lebih sering terlihat pada usia 10 tahun, 9 dari 10 penderita adalah usia subur dan penyakit ini seringkali dimulai pada akhir masa remaja atau awal dewasa dan akan berlangsung seumur hidup.

(3)

3 BAB II

LAPORAN KASUS

Sesi 1

Mulan, wanita 25 tahun, belum menikah, datang berobat kepada seorang GP dua tahun yang lalu dengan keluhan utama nyeri sendi pada kedua pergelangan tangan, jari-jari tangan dan kedua pergelangan kaki.

Pemeriksaan saat itu menunjukkan tanda vital dalam batas normal. Nampak bercak kemerahan di kedua pipi dan lebih jelas di daerah sekitar hidung. Dalam anamnesis, bercak merah tersebut muncul lebih hebat setelah terkena panas matahari antara 1 sampai 2 jam. Sendi-sendi pergelangan tangan dan jari-jari tangan nampak bengkak dan nyeri tekan. Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal.

Pada pemeriksaan laboratorium : Ht 35%, leukosit 9800/mm3, hitung jenis leukosit normal. LED 40 mm/jam, ANA positif 1:256.

Sesi 2

Tiga bulan kemudian Mulan merasakan lesu dan lelah sepanjang hari. Ia berpikir mengalami “flu syndrome”. Dalam 1 minggu terakhir ini ia mengalami bengkak kedua kaki sampai di pergelangannya. Pada pemeriksaan didapati pitting oedema kaki. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan shifting dullness pada perkusi.

Pemeriksaan laborarotium memperlihatkan ANA positif masih dengan titer 1:256, LED 120 mm/jam, albumin serum 0.8 g/dl. Serum komplemen C3 42 mg/dl (normal : 80-180) dan C4 5 mg/dl (normal : 15-45). Urinalisis : proteinuria 4 +, hematuria, pyuria, dan ditemukan silinder bergranula. Urin 24 jam mengandung 4 g protein.

(4)

4 BAB III

PEMBAHASAN

IDENTIFIKASI MASALAH(2,3)

Masalah Dasar Masalah

Nyeri sendi kedua pergelangan tangan, jari-jari tangan dan pergelangan kaki

Infeksi virus mengakibatkan reaksi autoimun yang akan menimbulkan inflamasi

Bercak kemerahan di kedua pipi dan hidung yang meningkat setelah terpapar panas matahari

Sinar UV dapat menyebabkan inflamasi, memicu apoptosis sel dan menyebabkan kerusakan jaringan

Lesu dan lelah Anemia, ditemukannya hematuria pada urin

Shifting dullness dan pitting oedema kaki Kadar albumin darah yang rendah mengakibatkan terjadinya perpindahan cairan intrasel ke ekstrasel

Mekanisme terjadinya masalah tersebut adalah pertama-tama autoantibodi menyerang self antigen, lalu kemudian terbentuklah kumpulan sel-sel yang apoptosis. Sel-sel

yang sudah apoptosis ini tidak di fagositosis akibat defisiensi genetik dari beberapa komponen sistem komplemen jalur klasik (classical pathway). Maka karena itu tercetuslah respon imun lewat Antigen Presenting Cell. Terbentuk kompleks imun, autoantibodies mengikat molekul ekstraseluler dan juga mengikat molekul permukaan sel. Akibat terbentuknya kompleks imun ada deposisi di subendotel, mengaktivasi neutrofil/makrofag, menyebabkan inflamasi, lalu timbul kerusakan jaringan. Sedangkan autoantibodies yang mengikat molekul permukaan sel mengakibatkan kematian sel.

(5)

5 PEMERIKSAAN FISIK

Dalam pemeriksaan ditemukan bercak kemerahan di kedua pipi dan lebih jelas di daerah sekitar hidung, sendi-sendi pergelangan tangan dan jari-jari tangan nampak bengkak dan nyeri tekan.Tiga bulan kemudian didapati pitting oedema kaki dan pada pemeriksaan abdomen ditemukan shifting dullness pada perkusi. Sedangkan tanda vital dan pemeriksaan lain dalam batas normal.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM(4,5,6)

Dalam kasus didapatkan hasil pemeriksaan darah sebagai berikut :

HASIL NILAI NORMAL KETERANGAN

Hematokrit ( Ht) 35% 37-48% Menurun, karena

anemia

Leukosit 9800/mm3 5000-10.000/mm3 normal

LED 40 mm/jam 0-15 mm/jam Meningkat, infeksi

atau inflamasi kronik

ANA Positif 1:256 1:160 Kemungkinan

termasuk tanda penyakit SLE 3 bulan kemudian

ANA positif 1:256 1:160 Kemungkinan

termasuk tanda penyakit SLE

LED 120 mm/jam 0-15 mm/jam Meningkat, infeksi

atau inflamasi kronik

albumin serum 0,8 g/dL 3,5-5 g/dL Kemungkinan

penyebab tekanan osmotik turun yang

mengakibatkan oedem Serum komplemen C3 42 mg/dL 80-180 mg/dL Menurun Karena dipakai sebagai

(6)

6 pemicu inflmasi Serum komplemen C4 5 mg/dL 15-45 mg/dL Menurun Karena dipakai sebagai pemicu inflamasi

Pada urinaisis didapatkan hasil sebagai berikut :

proteinuria 4 + (Normal <3+ ) menandakan adanya

gangguan pada ginjal. hematuria, pyuria, dan ditemukan silinder

bergranula pada urin

Kemungkinan disebabkan adanya gangguan (kebocoran) pada system peyaringan darah yaitu glomerulus pada ginjal dan adanya nefritis.

Urin 24 jam mengandung 4 g protein (Normal 0,5 g/24 jam ) menandakan adanya gangguan pada ginjal.

Dari Tes ANA (Antinuclear Antibody Test) fungsi nya untuk mendapat nilai autoantibodi dalam nucleus sel tubuh. Dari hasil tes didapatkan hasil positif 1:256. Nilai dalam ANA ini yang dihitung adalah pengecerannya. Semakin tinggi nilai pengenceran semakin tinggi nilai ANA. Batas nilai normal ANA sendiri ialah 1:160.

DIAGNOSIS(3)

Dari hasil keterangan, dapat ditentukan Diagnosis Kerja pada kasus ini adalah Systemic Lupus Erythematous dengan komplikasi Glomerulonefritis, karena didukung dari anamnesis dan pemeriksaan fisik antara lain:

- Keluhan utama nyeri sendi pada kedua pergelangan tangan, jari-jari tangan dan kedua pergelangan kaki

- Bercak kemerahan dikedua pipi, jelas disekitar hidung bertambah saat kena sinar matahari

- LED yang tinggi : 40mm/jam- LED: 120mm/jam ANA positif 1:256

(7)

7 - Albumin serum rendah : 0,8g/dl

- C3 42mg/dl ; C4 5mg/dl - Proteinuria 4+

- Hematuria, pyuria, silinder bergranula - Urin 24jam mengandung 4g protein.

DIAGNOSIS BANDING

1. Rhematoid artritis

Rheumatoid arthritis adalah gangguan inflamasi kronis yang biasanya mempengaruhi sendi kecil di tangan dan kaki. menyebabkan pembengkakan yang menyakitkan yang akhirnya dapat menyebabkan erosi tulang dan kelainan bentuk sendi. Ini dimasukan kedalam Diagnosis banding karena pasien mengalami nyeri sendi. Perbedaan antara nyeri sendi antara SLE dan RA adalah pada RA nyeri sendi menyebabkan deformitas, karena RA adalah penyakit inflamasi. Juga bisa menggunakan pemeriksaan penunjang seperti X-ray.

2. Dermatomyositis

Adalah suatu penyakit radang yang biasanya ditandai dengan kelemahan otot dan ruam kulit yang khas. Pada Dermatomyositis ditemukan gejala dysphagia, lemas, dan BB yang turun. Untuk memastikan dematomyositis bisa digunakan EMG. Aktivitas listrik diukur saat rileks atau kontraksi otot, dan perubahan dalam pola aktivitas listrik dapat

mengkonfirmasi penyakit otot.

PENATALAKSANAAN

Sampai saat ini SLE belum dapat disembuhkan dengan sempurna. Tapi dengan pengobatan yang tepat dapat menekan gejala klinis. Dari garis besar nya, penatalaksanaan pasien SLE sendiri terbagi atas3 golongan besar, yaitu

1. Konseling dan tindakan suportif

- Penjasan tentang penyakit yang diderita pasien. Dengan harapan pasien bersikap kooperatif terhadap penyakit dan pengobatannya

(8)

8 - Kurangi kontak dengan sinar matahari karena dapat memicu eksaserbasi. Dan jika

ingin keluar gunakan lotion sun block dengan SPF 15 - Memakai pakaian tertutup bila ingin keluar pada siang hari - Hindari kontasepsi oral yang mengandung estrogen

2. Obat obatan

Berikut ini adalah jenis dan golongan obat obatan yang sering dipakai dalam pengobatan SLE

No Jenis/ golongan obat Contoh obat Efek samping Mampu mengobati komplikasi 1 NSAID Ibuprofen, Salisilat, diklorofenak, indometasin Gangguan GIT, pendarahan, nefritis, nyeri kepala, anti trombosan Gangguan muskoloskeletal, kelainan sistemik, 2. Kortikosteroid - Osteoporosis, gangguan toleransi gula, diabetes, kenaikan tekanan intracranial, hipertensi, atrofi muscular (Jangka panjang) Hipotensi, gangguan Untuk pasie SLE yang berat dan disertai komplikasi serius.

Pemakaian dan dosis tepat dapat memperpanjang umur harapan hidup pasien

(9)

9 elektrolit dan syok (Bila pemakaian dihentikan tiba-tiba) 3. Imunosupresan Azatioprin, siklofosfamid, Penekanan sumsum tulang, kegagalan gonad, hepatotoksik, sistitis hemoragi dan timbul nya keganasan Penderita nefritis lupus

4. Anti malaria Hidroksiklorokin Infiltrasi kornea

Kelainan kulit dan arthritis

PROGNOSIS

SLE tidak dapat disembuhkan, semua penatalaksanaan ditujukan untuk mencegah timbulnya kembali dan untuk mengatasi gejala. Prognosis untuk SLE bervariasi dan bergantung pada keparahan gejala, serta organ-organ yang terlibat.

TINJAUAN PUSTAKA

Autoimunitas adalah kegagalan dari suatu organisme untuk mengenali bagian-bagian penyusunnya sendiri sebagai diri yang memungkinkan respon imun terhadap sel sendiri dan jaringan tubuh. Setiap penyakit dari hasil respon imun yang menyimpang diistilahkan sebagai suatu penyakit autoimun. Autoimunitas sering disebabkan oleh kurangnya perkembangan kuman dari tubuh target dan dengan demikian tindakan respon kekebalan tubuh terhadap sel sendiri dan jaringan. Contoh penyakit auto imun yang paling sering adalah diabetes melitus

(10)

10 tipe 1, lupus eritematosus sistemik (SLE), sindrom Sjögren , Churg-Strauss Syndrome , tiroiditis Hashimoto , penyakit Graves , idiopatik thrombocytopenic purpura , rheumatoid arthritis (RA) dan alergi.

Kesalahpahaman bahwa sistem kekebalan tubuh seseorang sama sekali tidak mampu mengenali antigen diri bukanlah hal baru. Paul Ehrlich , pada awal abad kedua puluh, mengajukan konsep autotoxicus horor, dimana „normal‟ tubuh tidak mount respon kekebalan terhadap yang sendiri jaringan. Dengan demikian, setiap respon autoimun dianggap menjadi abnormal dan dipostulasikan untuk dihubungkan dengan penyakit manusia. Sekarang, sudah diakui bahwa respon autoimun merupakan bagian integral dari sistem kekebalan tubuh vertebrata (kadang disebut „autoimunitas alami‟), biasanya dicegah dari penyebab penyakit oleh fenomena toleransi imunologi diri antigen. Autoimunitas tidak harus bingung dengan alloimmunity .

Sistem imun tubuh telah berkembang sedemikian rupa sehingga mampu mengenal setiap antigen asing dan membedakannya dengan struktur antigen diri (self antigen), tetapi dapat saja timbul gangguan terhadap kemampuan pengenalan tersebut sehingga terjadi respons imun terhadap antigen diri yang dianggap asing. Respons imun yang disebut autoimunitas tersebut dapat berupa respons imun humoral dengan pembentukan autoantibodi, atau respons imun selular.

Autoimunitas sebetulnya bersifat protektif, yaitu sebagai sarana pembuangan berbagai produk akibat kerusakan sel atau jaringan. Autoantibodi mengikat produk itu diikuti dengan proses eliminasi. Autoantibodi dan respons imun selular terhadap antigen diri tidak selalu menimbulkan penyakit.

Penyakit autoimun merupakan kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisologik akibat respons autoimun. Perbedaan ini menjadi penting karena respons autoimun dapat terjadi tanpa penyakit atau pada penyakit yang disebabkan oleh mekanisme lain (seperti infeksi).

Istilah penyakit autoimun yang berkonotasi patologik ditujukan untuk keadaan yang berhubungan erat dengan pembentukan autoantibodi atau respons imun selular yang terbentuk setelah timbulnya penyakit.

 Faktor Genetik

Orang-orang tertentu secara genetik rentan untuk mengembangkan penyakit autoimun. Kerentanan ini dikaitkan dengan beberapa gen ditambah faktor risiko lainnya. Genetik individu tertentu cenderung tidak selalu mengembangkan penyakit autoimun.

Tiga gen utama yang diduga dalam penyakit autoimun: - Imunoglobulin

- T-sel reseptor

- Kompleks histokompatibilitas utama (MHC)

Dua yang pertama, yang terlibat dalam pengakuan antigen, secara inheren rentan terhadap variabel dan rekombinasi. Variasi ini memungkinkan sistem kekebalan tubuh untuk

(11)

11 menanggapi berbagai sangat luas penjajah, tetapi juga dapat menimbulkan limfosit dalam swa-reaktivitas.

 Jenis Kelamin

- Rasio perempuan / laki-laki insiden penyakit autoimun - Hashimoto thyroiditis 10/1

- Graves‟ disease. 7/1

- Multiple sclerosis (MS) 2/1 - Miastenia gravis 2/1

- Systemic lupus erythematosus (SLE) 9/1 - Rheumatoid arthritis 5/2

Jenis kelamin tampaknya memiliki beberapa peran penting dalam pengembangan autoimunitas, mengklasifikasikan penyakit yang paling autoimun sebagai seks penyakit terkait . Hampir 75% lebih dari 23,5 juta orang Amerika yang menderita penyakit autoimun adalah perempuan, meskipun jutaan pria juga menderita penyakit ini. Selain itu penyakit Lupus juga berhubungan dengan “hormon estrogen” yang banyak di produksi oleh perempuan. Tapi, secara pasti, penyakit Lupus ini (jarang) ditemukan pada anak-anak usia balita atau wanita menopouse. Pada perempuan usia subur dengan laki-laki perbandingannya adalah : 10 : 1 dan perbandingan ini akan mengecil pada kelompok perempuan usia menopuse. Menurut the American Autoimmune Related Diseases Association (AARDA), penyakit autoimun yang berkembang pada pria cenderung lebih parah. Penyakit autoimun beberapa bahwa laki-laki sama atau lebih mungkin berkembang pada perempuan, meliputi: ankylosing spondylitis , tipe 1 diabetes mellitus , Wegener granulomatosis , penyakit Crohn dan psoriasis .

Perempuan umumnya merespon inflamasi yang lebih besar daripada pria ketika sistem kekebalan tubuh mereka dipicu, meningkatkan risiko autoimunitas. Keterlibatan steroid seks ini ditunjukkan dengan bahwa penyakit autoimun cenderung berfluktuasi sesuai dengan perubahan hormon, misalnya, selama kehamilan, dalam siklus menstruasi, atau saat menggunakan kontrasepsi oral. Riwayat kehamilan juga tampaknya meninggalkan peningkatan risiko gigih untuk penyakit autoimun. Pertukaran sedikit sel antara ibu dan anak-anak mereka selama kehamilan dapat menyebabkan otoimun. Hal ini akan ujung keseimbangan gender dalam arah betina.

Teori lain menunjukkan kecenderungan tinggi perempuan untuk mendapatkan autoimunitas ini disebabkan oleh ketidakseimbangan kromosom X dinonaktifkan . Teori X-inaktivasi miring, diusulkan oleh Princeton University Jeff Stewart, baru-baru ini telah dikonfirmasi eksperimental pada tiroiditis skleroderma dan autoimun. kompleks lainnya terkait-X mekanisme kerentanan genetik diusulkan dan sedang diselidiki(7).

Kriteria diagnosis(3)

Amerika College of Rheumatology 1982 (ACR) meringkas fitur kriteria yang diperlukan

untuk mendiagnosa SLE. 4 dari 11 kriteria menghasilkan sensitivitas 85% dan spesifisitas 95% untuk SLE. Perlu diketahui bahwa fitur individu sangat variabel untuk sensitifitas dan

(12)

12 1. Ruam malar

2. Ruam diskoid

3. Fotosensitifitas : Paparan sinar ultraviolet menyebabkan ruam 4. Ulkus oral : Termasuk ulkus oral dan nasofaring

5. Arthritis : rheumatoid nonerosive dari dua atau lebih sendi perifer, dengan ciri lembut, bengkak, atau efusi.

6. Serositis : Pleuritis atau perikarditis didokumentasikan oleh EKG atau bukti efusi

7. Gangguan ginjal : Proteinuria> 0,5 g / hari atau 3 +, atau selular gips 8. Gangguan neurologis : Kejang atau psikosis tanpa penyebab lain

9. Gangguan hematologi : hemolitik anemia atau leukopenia (<4000 / L) atau limfopenia (<1500 / L) atau trombositopenia (<100.000 / L) jika tidak ada riwayat penggunaan obat

10. Gangguan imunologi : Anti-dsDNA, anti-Sm, dan / atau anti-fosfolipid

11. Antinuclear antibodi : Sebuah titer ANA abnormal oleh imunofluoresensi atau assay setara pada setiap titik waktu dengan tidak adanya riwayat penggunaan obat yang dikenal untuk menginduksi ANA.

Kriteria tahun 1997 hanya 10 krieria saja. Perubahan yaitu pada tes ANA dan anti Ds-DNA dimasukkan pada gangguan Imunologi.

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien LES meliputi(4) : - ANA (Anti Nuclear Antibody). Tes ANA memiliki sensitivitas yang tinggi namun spesifisitas yang rendah. Untuk mendeteksi antibodi yang menghancurkan sel tubuh dan pengidap penyakit SLE, 95% menunjukkan hasil yang positif terhadap test ini.

- Anti dsDNA (double stranded). Tes ini sangat spesifik untuk LES, biasanya titernya akan meningkat sebelum LES kambuh.

- Antibodi anti-S (Smith). Antibodi spesifil terdapat pada 20-30% pasien.

- Anti-RNP (ribonukleoprotein), anti-ro/anti-SS-A, anti-La (antikoagulan lupus)/anti-SSB, dan antibody antikardiolipin. Titernya tidak terkait dengan kambuhnya LES.

- Komplemen C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik). Untuk ukur fungsi komplemen dan menentukan sifat antigenik komplemen.

- Tes sel LE. Kurang spesifik dan juga positif pada arthritis rheumatoid, sindrom Sjogren, scleroderma, obat, dan bahan-bahan kimia lain.

- Anti ssDNA (single stranded).Pasien dengan anti ssDNA posotif cenderung menderita nefritis.

(13)

13 - Tes ELISA (Enzym Link Immuno Sorbant Assay). Pada penderita SLE, antigen pada DNA dimasukkan bejana plastik dan ditambah serum pasien yang terdapat anti DNA. Ada

pebedaan warna dari hasil tes ELISA.

- Tes urine (eritrosit, protein, silinder, leukosit)

- Hitung jenis darah (pada SLE biasanya leukopenia, limfopenia, dan trombositopenia)

KESIMPULAN

Pada kasus ini, Nn. Mulan diduga terkena penyakit SLE (Sistemik Lupus Erimateus) dengan komplikasi nefritis yang khas ditandai dengan ruam-ruam dimuka berbentuk kupu-kupu. SLE merupakan peyakit hipersensitivitas tipe 3 yakni reaksi hipersensitivitas yg terjadi akibat pembentukan komplek-komplek imun antigen atau antibodi humoral yang

menyebabkan pengaktifan komplemen. Komplek imun ini biasanya mengendap di pembuluh darah sehingga penyakit ini cenderung penyakit sistemik yang bisa menyerang dan

komplikasi ke organ-organ lainnya. Sehingga penderita SLE diikuti penyakit anemia,

leukopenia, trombositopenia, LED yang tinggi dan hasil tes ANA serta ds-DNA yang positif. Penyakit ini tidak akan sembuh dan terus ada seumur hidup. Penatalaksanaan hanya ditujukan untuk mencegah kambuhnya penyakit ini. Tetapi apabila identifikasi lebih dini akan

(14)

14 DAFTAR PUSTAKA

1. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi Dasar. Ed.9. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2010. hlm. 369-97

2. Abbas AK, Lichtman AH. Basic Immunology. Updated 3rd Ed. Philadelphia : WB Sounders Company, 2006. p.205-21

3. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi. Ed.6. Jakarta : EGC, 2006. hlm.1392-6

4. Mansjoer A, Setiati S, Syam A F, Laksmi PW. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 2008.Jakarta:Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2008.p.75-8

5. Priyana A. Sediaan Apus Darah Tepi. Patologi Klinik. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti;2010.p.29-43

6. Priyana A. Urinalisa . Patologi Klinik. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti;2010.p.47-60

7. Imunologi Dasar : Penyakit Auto Imunitas. retrieved from :

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: pertama, keabsahan akta notaris meliputi bentuk isi, kewenangan pejabat yang membuat, serta pembuatannya harus memenuhi

Hasil penelitian menunjukkan terdapat 19 sasaran strategis yang ingin dicapai dengan prioritas sasaran adalah: meningkatkan penerimaan Fakultas (bobot 10%),

Kawasan Di Bawah Permukaan Horizontal Luar (KBHL) adalah bidang datar disekitar Bandar Udara yang dibatasi oleh radius dan ketinggian dengan ukuran tertentu

Pengelolaan risiko kredit dalam Bank juga dilakukan dengan melakukan proses analisa kredit atas potensi risiko yang timbul melalui proses Compliant Internal

Jurusita Pajak menginventarisasi aset-aset Penanggung Pajakyang akan dilelang, meneliti dengan melihat data tunggakanbeserta pelunasan (SSP/STTS/SSB/bukti Pbk) atau

Pada multifragmentary complex fracture tidak terdapat kontak antara fragmen proksimal dan distal setelah dilakukan reposisi. Complex spiral fracture terdapat dua atau