• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Diri Remaja Putus Sekolah Karena Patah Pena

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Konsep Diri Remaja Putus Sekolah Karena Patah Pena"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

20

Prisca Diantra Sampe *, Criezta Korlefura Izak Jakobis Makulua 1

Universitas Pattimura, Maluku, Indonesia 2

Universitas Pattimura, Maluku, Indonesia 3

Universitas Pattimura, Maluku, Indonesia

*Penulis korespondensi, Surel: prisca.sampe@fkip.unpatti.ac.id Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji konsep diri remaja putus sekolah karena patah pena. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, yaitu untuk mendapatkan kajian atau gambaran mengenai Konsep diri remaja putus sekolah karena patah pena. Partisipan dalam penelitian ini adalah remaja yang putus sekolah karena patah pena yang diambil dengan menggunakan teknik quota sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua partisipan penelitian memiliki konsep diri yang baik. Hal ini didukung oleh lingkungan yang supportif, kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan, ketahanan diri serta spiritualitas dan etika moral yang baik

Kata kunci: Konsep diri, Remaja Putus Sekolah, Patah pena Pendahuluan

Remaja adalah periode peralihan dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan, yang melibatkan banyak perubahan mulai dari aspek fisik, kognitif dan psikososial yang saling berkaitan (Papalia, Olds dan Feldman, 2009). Perubahan-perubahan dalam diri remaja menjadi sebuah pola tingkah laku dimana terdapat dinamika didalamnya (Gunarsa& Gunarsa, 2012). Perubahan-perubahan tersebut berpengaruh terhadap perkembangan otak remaja, dimana otak yang belum matang dapat membuat perasaan atau emosi yang mengalahkan akal sehingga membuat pilihan-pilihan yang tidak bijaksana (Papalia, Olds dan Feldman, 2009).

Salah satu diantara pilihan-pilihan yang tidak bijaksana itu ialah melakukan hubungan seksual diluar pernikahan (Papalia, Olds dan Feldman, 2009). Seks pra-nikah yang dilakukan oleh remaja, menurut penelitian ACT for youth dalam Papalia, Olds dan Feldman (2009) disebabkan karena kemampuan otak remaja masih berkembang sehingga remaja masih belajar mengatur dan membangun pikiran mereka, memahami konsep abstrak dan membangun dorongan mereka untuk membangun kehidupan mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Erikson (dalam Gunarsa & Gunarsa, 2012) bahwa masa remaja membuat remaja memiliki ketidakstabilan emosi dalam membuat keputusan dan mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan seksual.

Keadaan ini dipengaruhi oleh adanya peranan factor biologis dan juga budaya (Gunarsa & Gunarsa, 2012). Budaya merupakan sebuah hal yang menarik, karena budaya merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Ini sesuai dengan pendapat Gunarsa & Gunarsa (2012) bahwa persoalan-persoalan dalam diri remaja tidak dapat dilepas pisahkan dari adanya corak kebudayaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa budaya memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, tanpa terkecuali remaja.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Winiarto, Yusuf, Santoso, Nugroho, Latifah, Solih, Hermawati, Purbasari dan Rahmawatinigsih (2018) bahwa prosentase anak usia 10-17 tahun yang menikah adalah sebesar 37,91%. Untuk Maluku sendiri, menurut data yang diperoleh dari BPS (2018) didapatkan bahwa 0,57% usia remaja sudah menikah dan 0,02 % usia remaja telah bercerai. Ketika remaja memutuskan untuk menikah, tentu saja terdapat banyak perbedaan-perbedaan dalam diri individu. Hal ini disebabkan karena tugas untuk

(2)

21

menyiapkan pernikahan merupakan tugas perkembangan dewasa muda bukan tugas perkembangan remaja (Erikson dalam Sari dan Sunarti, 2013).

Perbedaan-perbedaan dalam diri individu ini juga muncul pada remaja yang pada akhirnya hamil dan memutuskan menikah sebelum waktu perkembangannya. Perbedaan ini memengaruhi seluruh aspek kehidupan individu, salah satunya adalah pembentukan konsep diri pada individu. Hal ini tergambar dari adanya perbedaan pada pengalaman dan harapan dari individu sebelum dan setelah individu menikah. Ini sejalan dengan pendapat dari Januar dan Putri (2007) bahwa ada perbedaan antara remaja yang pada saat menikah dan belum menikah. Individu yang memutuskan menikah pada saat usia sekolah (patah pena), maka kecenderungan mengalami masalah dalam kesehatan mental yang disebabkan karena belum matangnya mental dari individu sendiri (Januar & Putri, 2007). Individu di masa remaja belum terlalu matang dalam membuat keputusan, oleh karena mereka masih membutuhkan orang dewasa dalam membuat perencanaan hidup mereka ke depan serta menciptakan orang tua yang tidak terampil (Santrock, 2013).

Jika berbicara mengenai perilaku pernikahan di usia muda khususnya sampai kepada putus sekolah, maka penulis tertarik dengan budaya di daerah Maluku Tenggara. Salah satu dari budaya tersebut adalah patah pena. Patah pena adalah budaya khas dari masyarakat Maluku Tenggara, dimana individu akan diberi sanksi ketika mengakibatkan seseorang kehilangan masa depan akibat putus sekolah dengan cara membayar denda dengan sejumlah uang (dikutip dari http://polresmalukutenggarabarat.blogspot.com/2010/06/polres-maluku-tenggarabarat_902.html.). Ini sesuai dengan wawancara yang dilakukan terhadap XS pada tanggal 28 Desember 2019, dinyatakan bahwa kasus patah pena banyak sekali dialami oleh mereka terkhususnya mereka yang masih tinggal didaerah pedesaan, dan pembayaran patah pena berupa sejumlah uang untuk diberikan kepada keluarga perempuan. Setelah itu, anak perempuan tersebut hanya menjadi ibu rumah tangga di rumah dan tidak melakukan apapun.

Selain itu pada gambaran yang diperoleh dari (link youtube film patah pena), maka dapat dilihat bahwa remaja pada akhirnya memutuskan untuk berhenti sekolah setelah mengalami kehamilan. Selain itu digambarkan pula bagaimana kehidupan remaja setelah itu, dimana dapat dilihat bahwa mereka melakukan banyak persiapan untuk menjadi orang tua muda bagi anak mereka. Secara emosional, mereka masih sangat muda sehingga ketika melakukan

Dengan adanya patah pena, ada beberapa hal yang dapat dipelajari yaitu: untuk pelaku sendiri, ada efek jera yang dilakukan sehingga kecenderungan pelaku tidak akan mengulanginya kembali. Ini sebagai bentuk ritual karena individu melakukan pelanggaran sanksi. Namun ada beberapa sisi negatif yang dapat dilihat dari sudut pandang korban, dengan adanya perilaku ini maka korban yang dalam hal ini perempuan tidak dapat melanjutkan pendidikannya. Padahal diusia tersebut, remaja sesuai dengan tugas dengan perkembangannya diharapkan telah membuat perencanaan terkait dengan jurusan atau karirnya.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas, maka penelitian tentang budaya patah pena ini sangat menarik. Ada dua hal yang sangat menarik dan menjadi keunikan dari penelitian ini sendiri adalah kita dapat melihat sudut pandang secara langsung dari orang yang kita teliti dan budaya setempat. Selain itu belum ada peneliti-peneliti yang melakukan penelitian terkait dengan penelitian patah pena.

(3)

22

Metode

Jenis penelitian yang digunakan adalah peneltiian kualitatif. Penelitian dilakukan di kota Ambon, khususnya pada remaja dari masyarakat Kepulauan Tanimbar. Partisipan dalam penelitian ini adalah Remaja Putus Sekolah yang mengalami Patah Pena, yang diambil dengan menggunakan quota sampling dimana penelitian untuk mengkaji fenomena tertentu maka partisipan yang akan dipilih adalah yang diperkirakan dapat menjawab semua permasalahan yang terkait dengan penelitian (Umar, 1999).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik depth interview untuk mengetahui konsep diri remaja yang mengalami patah pena. Adapun kisi-kisi depth interview diambil dari teori yang dikemukakan Dariyo (2011)

Table 1. Kisi-kisi depth interview

Aspek Fisiologis

 Menurut kamu, kamu seperti apa penampilannya? (Kulit, warna rambut, warna mata, berat badan raut muka, cantik atau biasa saja)

 Bagaimana orang menilai anda?

 Apakah sama dengan apa yang anda nilai? Jika berbeda menurut anda seperti apa?

 Saat sudah menikah dan sebelum menikah adakah perbedaan?

 Jika berbeda, bagaimana perasaan anda?  Apa yang dapat anda lakukan?

Aspek Psikologis

 Bagaimana nilai anda sewaktu dikelas dulu pada saat sekolah?

 Menurut pandangan teman-teman anda, anda seperti apa dikelas? (triangulasi ke temannya dulu)

 Saat menjadi ibu rumah tangga padahal anda masih muda bagaimana perasaan anda?

 Pernahkah mengalami stress, saat melihat teman-teman disekitar dapat bermain, belajar lanjut sampai keluar kota hingga luar negeri? Apa yang dapat anda lakukan?

 Apa ini memengaruhi keadaan anda sebagai ibu, dalam hal ini terkait pola pengasuhan bahkan perawatan kepada anak dan suami?

 Bagaimana orang-orang disekitar anda memperlakukan anda, apabila anda ingin menikmati waktu diluar bersama teman-teman anda?

Aspek Psiko-sosiologis

 Apakah orang tua anda mendukung keputusan anda untuk mengakhiri sekolah dan pada akhirnya menikah?

 Apa pendapat saudara-saudara kandung terkait keputusan ini?

 Masih ada komunikasi dengan teman-teman anda? Apa tanggapan mereka terkait keputusan anda untu berhenti sekolah dan memulai kehidupan baru sebagai ibu sekaligus istri?

 Ketika memutuskan menikah, bagaimana lingkungan menilai keputusan anda ini?

 Adakah orang disekitar tempat tinggal anda yang melakukan hal-hal yang tidak ada inginkan?

(4)

23

lakukan atau sanksi apa yang diberikan? Aspek

Psikospiritual

 Menurut anda apakah ini bertentangan dengan ajaran agaman?

 Apa yang anda lakukan kepada Tuhan anda ketika anda melakukan hal yang (mungkin) menurut agama tidak boleh dilakukan?

Aspek Psikoetika- Moral

 Bagaimana aturan-aturan yang ada dalam masyarakat memandang apa yang dilakukan? Terkait konsep patah pena  Bagaimana anda menilai anda, ketika dalam budaya timur

apa yang anda lakukan sudah melanggar norma dan etika? Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan wawancara mendalam (depth interview) dan observasi. Untuk teknik analisa data sendiri, penulis menggunakan Marshall dan Rossman (dalam Kabalmay, 2002) bahwa ada empat tahapan analisis data yaitu:

a. Mengorganisasikan data

b. Pengelompokkan data berdasarkan kategori, tema dan pola jawaban c. Menguji asumsi atau permasalahan yang ada terhadap data

d. Mencari alternative penjelasan bagi data

Hasil

Subjek pertama atau ML adalah keturunan Saumlaki, sejak lahir hingga kini ia sudah menetap di Ambon. ML saat ini tinggal bersama ibu mertua, sementara suaminya bekerja. Saat ini ML hanya dirumah saja untuk mengurus rumah dan ketiga anaknya. Dalam status ekonomi, ML tidak megalami masalah. Suami ML sudah berkerja disebuah perusahaan dengan gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. ML sendiri sudah menikah sejak SMP dan sejak itu ML memutuskan untuk mengakhiri bangku sekolah. ML merasa ia memiliki paras yang biasa saja, rambut ikal dan bermata cokelat.

Orang menilainya cantik, hanya saja ML merasa bahwa itu tidak dibenarkan. ML merasa bahwa ia tidak sama seperti wanita lainnya. Perasaan ini muncul karena adanya kondisi sebelum menikah dan setelah menikah. Sebelum menikah ML selalu menggunakan waktu untuk bersolek, sementara setelah menikah waktu untuk mengurus keperluan anak dan suami. ML selalu bersikap pasrah dan menerima hal ini sebagai bagian yang mungkin terjadi padanya. Nah untuk teman-teman sendiri, menikah diusia muda adalah hal yang sudah banyak terjadi. Jadi bukan persoalan yang berarti, teman-teman ML sejauh ini menerima keberadaan ML walaupun sering berjumpa dengan membawa anak. Hal ini membuat dalam diri ML bangga dan tidak merasa terisisihkan walaupu tidak memiliki keadaan seperti teman-teman yang lain.

ML sendiri tidak pernah mengalami stress, jika kehidupan teman-temanya lebih baik, karena ia merasa bahwa ini adalah jalan hidup yang harus dijalani. ML sendiri merasa beruntung, karena tidak pernah dilarang jika ingin bermain dan berkumpul bersama teman-temannya, hanya saja intensitas pertemuan sudah tidak seperti belum menikah.

Sedikit cerita, ML awalnya menikah tidak disetujui karena akhirnya tidak melanjutkan studi padahal besar harapan orang tua ML padanya, Pada akhirnya orang tua dan semua saudara-saudara mendukung keputusan ML. Ketika memutuskan menikah, orang disekitar mencibir karena hamil diluar nikah, inilah adalah aib. Apalagi pada saat diketahui sekolah, jadi ceritanya ML tiba-tiba pingsan dan setelah dicek ML hamil. Sanksi yang diberikan sekolah adalah pemecatan bagi siswa yang kedapatan hamil, karena

(5)

24

dianggap mencoreng nama baik sekolah. ML ingin melanjutkan sekolah dan mengambil paket C serta ingin berkuliah sama seperti teman-teman sebayanya yang lain. ML masih merasa bingung apakah masih ada kesempatan baginya untuk melanjutkan studi.

ML tahu bahwa berzinah sebelum menikah adalah dosa, dan menurutnya inigin menimbulkan perasaan bersalah kepada orang tua. ML sendiri memutuskan berdoa agar ia tidak mengulangi hal yang sama. Tentu saja perilaku ini adalah hal yang tidak terpuji dan melanggar etika dalam masyarakat, tetapi maju kedepan adalah solusinya

Subjek kedua atau AS adalah keturunan Kepulauan Tanimbar, kemudian pada SD kelas 2 AS barulah menetap di kota Ambon setelah orang tuanya memutuskan pindah ke Ambon. AS saat ini tinggal sendiri. AS sendiri memiliki seorang suami dan dua orang anak, mereka tinggal sendiri di kontrakan. AS sendiri mengurus kehidupan keluarganya tanpa campur tangan dari orang tuanya, karena setelah menginjak usia renta mereka memutuskan kembali ke Tanimbar. Kesehariannya hanya untuk mengurus suami dan kedua anaknya. Dalam status ekonomi, masih ada kendala yang dialami oleh AS. Hal ini dikarenakan suami AS bekerja serabutan, sehingga penghasilan yang diperoleh tidak jelas. AS dan suami menikah sejak AS bersekolah di kelas X SMA.

Dari hasil wawancara bersama AS, individu merasa bahwa ia memiliki ketertarikan secara fisik, misalnya hidung mancung, bermata hitam pekat, kulit putih mulus dengan tinggi 170 cm. Awalnya individu tidak mengetahui ketertarikannya secara fisik, tetapi penilaian dari keluarga baik dekat maupun jauh dan teman-temannya yang selalu memuji parasnya, membuat individu percaya diri. Setelah menikah, individu merasa tidak terlalu banyak perubahan secara fisik, semuanya baik-baik saja. Bentuk tubuhnya tetap langsing dan segar. Individu berusaha menjaga bentuk tubuhnya dengan sesuatu yang bersifat alami. Walaupun begitu AS tetap menyempatkan dirinya untuk mengurus suami dan kedua anaknya. Menurut AS menjadi cantik itu merupakan hal yang sangat penting, agar rumah tangga tetap harmonis. AS sendiri tetap menjalin hubungan yang akrab dengan teman-temannya, walaupun mungkin tidak seperti dulu karena tidak ada pulsa maupun waktu yang tidak ada untuk menjalin komunikasi. AS bersama teman-teman tetap berjumpa walaupun hanya setahun sekali. Ketika berjumpa dengan teman-temannya, terkadang AS merasa risih karena mereka membicarakan mengenai lingkungan sekolah atau cowok-cowok ganteng disekolah. Terkadang beberapa temannya, sering menanyakan terkait rumah tangganya dan dijawab dengan senyuman saja oleh AS.

AS terkadang merasa stress, ketika teman-temannya asyik berkumpul tetapi ia harus mengurus anak dan suami. AS sendiri berusaha mengalihkan semuanya itu dan berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi keluarganya. AS lebih senang bersama keluarga dibandingkan dengan teman-temannya.

AS merasa bahagia karena selama ini mendapat dukungan penuh dari keluarganya. Hal ini dilihat pada saat AS sakit, orang tua dan orang tua mertua langsung dapat menjenguk dan menjagai kedua anaknya. Jika ada masalah dalam rumah tangga keduanya, maka orang tua suaminya akan bertindak sebagai hakim dan membantu menyelesaikan masalah keduanya. AS menceritakan bagaimana sampai patah pena terjadi padanya. Saat itu AS dan suami terlanjur berhubungan badan dan akhirnya AS mengakui kepada orang tuanya. Pacarnya yang sekarang menjadi suaminya pun bertanggung jawab dan melamar AS menjadi istri. Akhirnya mereka menikah dan memutuskan mengontrak rumah agar mandiri. Sekarang AS sedikit menyesal dengan sikapnya, karena keinginan orang tuanya agar AS menjadi guru sedikit terbengkalai. Mimpi dan niatannya untuk menjadi guru harus dia karena focus untuk mengurus anak dan suami serta biaya yang tidak mungkin. Tetapi AS sendiri ketika melihat teman-temannya melanjutkan studi partisipan

(6)

25

ingin juga merasakan suasana kuliah. Hanya saja sekarang dalam diri partisipan, masih ada kebingungan kemana dia harus melanjutkan studi dan bagaimana cara mendapat beasiswa. Sekolah ketika mengetahui AS hamil, langsung melaporkan kepada kepala sekolah dan menyerahkan kembali kepada keluarga. AS yang sudah malu kepada teman-temannya akhirnya memutuskan untuk keluar dan lebih memilih berkeluarga. Perilaku ini tentu saja menimbulkan pro dan kontra, dari orang disekitar. Di lingkungan, AS sempat menerima penolakan dengan cara dicibir habis-habisan oleh tetangganya. AS memutuskan mendoakan saja mereka, karena memang secara etika AS sudah melanggar aturan dan norma di lingkungan. AS tidaklah merasa malu, dicibir dan dihina. Bagi AS semua ini adalah hal yang patut diterimanya

Pembahasan

Kedua partisipan berasal dari Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB), hanya saja partisipan 1 besar di kota Ambon. Kedua partisipan memiliki kemiripan yaitu sama-sama melaksanakan budaya patah pena. Budaya dimana seorang perempuan yang hamil dan akhirnya dinikahkan serta tidak mengikuti kembali pendidikan. Budaya patah pena adalah sebuah budaya yang berkembang pada masyarakat Kepulauan Tanimbar, dimana orang tua menikahkan anak yang hamil diluar nikah dan anak tersebut tidak mengikuti pendidikan formal kembali. Kedua partisipan ini mengakhiri masa sekolah di jenjang SMP dan SMA, setelah itu memutuskan untuk menikah dan dikaruniai anak-anak. Ini menunjukkan kedua partisipan masih memegang kendali budaya yang kuat didalam keluarga. Hasil penelitian yang diperoleh akan dibahas menjadi beberapa tema penting yaitu:

Aspek Fisiologis

Partisipan 1 merasa bahwa dirinya biasa saja, individu merasa bahwa bentuk fisik yang dimilikinya juga dimiliki oleh wanita lain. Hal ini membuat partisipan tidak merasa bahwa ada sesuatu yang berlebih dalam dirinya. Padahal lingkungan sekitarnya menyatakan bahwa individu memiliki keistimewaan. Berbanding terbalik dengan partisipan 2, individu merasa bahwa ia memiliki sesuatu yang istimewa sehingga ia memiliki paras dan bentuk fisik yang menarik. Hal ini juga didukung oleh lingkungan sekitar. Berdasarkan observasi partisipan 2 memiliki tingkat percaya dalam diri yang sangat tinggi, sehingga kecenderungan narsistik. Ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Johnso dan Medinnus (dalam Kiling & Kiling, 2015) bahwa konsep diri seseorang dipengaruhi oleh penilaian orang atau pendapat orang mengenai dirinya. Hal ini membuat individu lebih bahagia, ini sejalan dengan pernyataan Candles (dalam Rany, Azizi, Rianti, Amelia, Novita dan Lestarina, 2017) bahwa remaja yang memiliki penilaian tepat maka ia menunjukkan perilaku kehidupan bahagia, karena ia dapat menerima keberadaan dirinya. Partisipan 2 sangat menunjukan pemahaman mengenai bentuk tubuhnya dan penampilan secara umum, hal ini merupakan gambaran konsep diri positif dalam diri remaja sehubungan dengan sikap positif dalam diri individu. Hal ini sejalan dengan Burns (dalam Kiling dan Kiling, 2015) bahwa konsep diri positif adalah penilaian yang baik mengenai tubuh dan citra tubuh, serta mampu membuat penilaian terkait gambaran tubuhnya.

(7)

26

Kedua partisipan ini menunjukkan sikap resiliensi yang baik, mereka juga cakap dalam koping stress. Mereka mampu mengelola emosi dengan baik, dan tidak terlalu memedulikan apa yang disampaikan orang lain kepada mereka. Secara emosional, mereka cakap dalam pengelolaan emosi. Partisipan 2 yang semula merasa stress dan risih dengan kondisi sekarang dimana partisipasan mengakhiri sekolah sementara teman-temannya yang lain melanjutkan studi ke luar kota bahkan ada yang keluar negeri dengan beasiswa, tetapi partisipan mampu untuk mengelola dirinya karena sadar akan tanggung jawab sebagai seorang ibu dan istri. Hal ini menunjukkan konsep diri yang terbangun diantara keduanya adalah konsep diri yang bersifat positif. Ini sesuai dengan Calhoun dan Accocella (dalam Rachmawati dan Listiyandini, 2014) bahwa konsep diri positif berkaitan dengan kemampuan mengatur diri, mengelola diri dan emosi dengan baik.

Hal baik yang dilihat peneliti terhadap kedua partisipan ini kemampuan untuk tahan banting dan menangung segala konsekuensi hidup yang dihadapi, dengan keyakinan bahwa segala sesuatu akan jauh lebih baik. Ini juga dijelaskan oleh Stoltz (dalam Novilita dan Suharnan, 2013) bahwa konsep diri yang positif menciptakan individu yang menangung akibat dari situasi, serta kemampuan individu dalam menangung dan menempatkan resiko.

Aspek Psiko-sosiologis

Kedua partisipan mendapat dukungan dari orang tua sebagai figur utama dalam pembentukan kehidupan anak. Untuk partisipan 1 diawali dengan ketidak setujuan dari orang tua, tetapi ini merupakan hal yang wajar terkait keinginan orang tua untuk menciptakan masa depan anak yang lebih baik. Berbeda dengan partisipan 2 yang mendapatkan dukungan orang tua sampai orang tua mertua, dimana mereka mendukung apa yang diinginkan olehnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Simbolon (2017) bahwa penting sekali peranan orang tua untuk meningkatkan motivasi dan daya juang pada individu. Keluarga bertugas untuk memulihkan dan menyembuhkan, serta mendampingi untuk meningkatkan konsep diri.

Dukungan yang positif juga diperoleh dari teman-teman mereka, dimana mereka tidak memisahkan diri dari partisipan 1 dan 2 karena mereka merasa senasib. Untuk kedua partisipan sendiri, tidak memeroleh dukungan dari lingkungan sekitar. Hal ini karena mereka masih terfokus pada budaya ketimuran, bahwa aib jika orang muda belum menikah dan hamil diluar nikah. Ini disebabkan karena budaya timur terbentuk dari masyarakat adat, dimana masyarakat yang terpelihara dan tersusun oleh nilai-nilai adat. Masyarakat adat terbingkai oleh ketentuan adat sehingga susunan masyarakat terbagi oleh norma-norma adat (Sari, Hanifah & Hendra, 2016).

Dimasa remaja, teman sebaya memegang andil yang sangat penting juga, dimana remaja cenderung meninggalkan keluarga dan lebih memilih berteman. Teman memiliki pengaruh yang positif dan juga negative. Selain teman lingkungan sekolah juga punya andil yang besar didalam perkembangan remaja (Gunarsa & Gunarsa, 2012).

Untuk partisipan 2 sendiri terlihat jelas perilaku individu untuk mandiri, dimana mereka memutuskan untuk mengontrak rumah. Ini sejalan dengan Monks (dalam Novilita dan Suharnan, 2013) bahwa masa remaja membuat terjadi peningkatan tanggung jawab dan berkurangnya ketergantungan kepada orang tua. Hal ini tergambar jelas dari kemampuan mengambil keputusan secara mandiri yang dilakukan partisipan dan suami. Berbeda dengan pengambilan keputusan dalam pemilihan jurusan atau masa depannya, mereka masih mengalami kendala. Kedua partisipan belum mengetahui profesi seperti apa yang akan dipilih mereka.

(8)

27

Aspek Psiko-spiritual dan Aspek Etika

Kedua aspek ini memiliki keterkaitan satu dengan yang lain, karena berkaitan dengan perilaku dan moralitas. Kedua partisipan ini memiliki hubungan spiritual yang baik dengan Tuhan. Kepatuhan dan nilai etika yang baik dimiliki oleh kedua partisipan, ini ditunjukkan dengan perilaku adanya perasaan bersalah yang tinggi dalam diri partisipan. Perasaan bersalah ini yang mengatur kehidupan individu menjadi lebih baik. Etika-etika inilah yang mengatur kehidupan agar tidak mengulangi perbuatannya. Hal ini sesuai dengan pandangan (Bintari, Dantes dan Sulastri, 2014) bahwa keyakinan beragama menjadi bagian penting yang mengatur seseorang dalam berperilaku dan mendasarkan segala sesuatu pada nilai religious yang berkaitan dengan kemampuan individu dalam mempersepsikan segala sesuatu yang berhubungan dengan etika.

Simpulan

Dari hasil penelitian diatas, ditemui bahwa konsep diri memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, tidak terkecuali dengan remaja yang putus sekolah karena patah pena. Dukungan orang tua, teman-teman dan juga semua orang yang ada disekitar menjadi hal penting dalam peningkatan kualitas diri. Namun kedua partisipan tidak memiliki konsep diri yang baik, masih cenderung menarik diri serta belum mampu menetukan pilihan karir kedepan.

Merujuk pada simpulan penelitian, maka ada beberapa hal yang dpat digunakan sebagai saran pengembangan yaitu: Dalam penelitian ini dapat disarankan beberapa hal yaitu: Memberikan pelatihan vokasional seperti training yang bekerja sama dengan Balai Latihan Kerja dan Dinas Tenaga Kerja, melakukan tes bakat dan minat untuk melihat potensi diri serta melakukan konseling karir untuk pemantapan arah vokasional.

Daftar Rujukan

Basyiroh. 2015. Pembinaan Keagamaan dan Pendidikan Karakter Bagi Remaja Putus Sekolah di Balai Rehabilitasi sosial Wira Adhi Karya Ungaran. Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN Salatiga.

Bintari., N.P., Dantes, N., & Sulastri, M. (2014). Korelasi Konsep Diri dan Sikap Religiusitas terhadap Kecenderungan Perilaku Menyimpang di Kalangan Siswa pada Kelas XI SMA Negeri 4 Singaraja Tahun Ajaran 2013/2014. E-journal Undiksa Jurusan Bimbingan dan Konseling, (2)1, 1-10

Dariyo, A. (2011). Psikologi Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama. Bandung:PT Refika Aditama

Fauziah, L. (2013). Anak Putus Sekolah. Diakses pada http://www.academia.edu/ 9376657/BAB 1 PENDAHULUAN. Pada tanggal 17 Desember 2015, pukul 23:26. Gunarsa, Y.S., & Gunarsa, S.D. (2012). Psikologi Remaja. Jakarta:Penerbit Libri

Januar, V., & Putri, D.E. (2007). Citra Tubuh pada Remaja Putri Menikah dan Memiliki Anak. Jurnal Psikologi (1)1, 52-62, 1-12

Kiling, B.N., & Kiling, I.Y. (2015). Tinjauan Konsep Diri dan Dimensinya Pada Anak dalam Masa Kanak-kanak Akhir. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Konseling, (1)2, 116-124 Novilita, H., & Suharnan/ (2013). Konsep Adversity Quotient dan Kemandirian Belajar Siswa.

(9)

28

Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Human Development, Perkembangan Manusia Edisi 2. Jakarta:Penerbit Salemba Humanika.

Rachamawati, D., & Listiyandini, R.A. (2014). Peran Konsep Diri Terhadap Resiliensi Pada pension. Jurnal Psikogenesis, (3)1,

Ranny, Azizi, R., Rianti, e., Amelia, S.H., Nova, M., Novita, N., & Lestarina, E. (2017). Konsep diri Remaja dan Peranan Konseling. Jurnal Penelitian Guru Indonesia – JPGI, (2)2, 40-48

Sari, F., & Sunarti, E. (2013). Kesiapan Menikah pada Dewasa Muda dan Pengaruhnya pada Usia Menikah. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konseling, (6)3. 143-153

Sadli, S. (1977). Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang. Jakarta:Bulan Bintang. Saraswatia, G.K., Zulphayana., & Arifah, S. (2015). Faktor-faktor yang Memengaruhi

Konsep Diri Remaja di SMPN 13 Yogyakarta. Jurnal Ners and Midwifery Indonesia, (3)1, 33-38

Sari, W.K., Hanifah, M., & Hendra. R. (2016). Pelaksanaan Kawin Hamil pada Masyarakat Adat di Desa Tanjung Kecamatan Koto Kampar Hulu Kabupaten Kampar. JOM Fakultas Hukum (3)1, 1-15

Sarwono, S.W. (2013). Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Siahaan, Jokie M.S. 2009. Perilaku Menyimpang: Pendekatan Sosiologi. Jakarta: Indeks. Simbolon, P. (2017). Hubungan Dukungan Keluarga dengan Konsep Diri Pasien Stroke di

Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan. Jurnal Ilmu dan Kesehatan, (4)2, 167-178 Windiarto, T., Yusuf, A.H., Santoso, A.D., Nugroho, S., Latifah, S., Solih, R., Hermawati, F.,

Purbasari, L.A., & Rahmwatiningsih, A. (2018). Profil Anak Indonesia 2018. Jakarta: Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Gambar

Table 1. Kisi-kisi depth interview

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsep diri dan resiliensi pada remaja putus sekolah di Kecamatan Gisting, Lampung Selatan.. Jenis

Remaja putus sekolah perlu kesadaran baru bahwa kehidupan tidak hanya ditentukan oleh berhasilnya seseorang dalam dunia pendidikan formal, tetapi lebih dari pada

Diklus Edisi 6, Tahun XI, September 2007 Remaja putus sekolah perlu kesadaran baru bahwa kehidupan tidak hanya ditentukan oleh berhasilnya seseorang dalam dunia

Seorang pekerja sosial harus mampu mendampingi dan membantu remaja putus sekolah dalam memecahkan permasalahan yang mereka hadapi selama proses pelayanan sosial

Seorang pekerja sosial harus mampu mendampingi dan membantu remaja putus sekolah dalam memecahkan permasalahan yang mereka hadapi selama proses pelayanan sosial

Profil Konsep Diri Remaja Putus Sekolah di Jorong Bawan Tuo Kecamatan Ampek Nagari Kabupaten Agam Dilihat dari Aspek Pengetahuan Hasil yang diperoleh dari pengolahan data yang dilihat

Profil penyesuaian diri remaja yang putus sekolah dengan teman sebaya terkait aspek pribadi dilihat dari segi tidak adanya rasa benci dapat diketahui dari frekuensi 38 orang remaja yang

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa Faktor yang menyebabkan remaja putus sekolah kasus hamil pranikah yaitu: faktor keluarga, yaitu kurangnya pengawasan dari orang tua, pengaruh