• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Prinsip Sustainabilitas dalam Konstruksi pada Perencanaan Mass Concrete: Studi Kasus pada Proyek Gandaria Main Street

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tinjauan Prinsip Sustainabilitas dalam Konstruksi pada Perencanaan Mass Concrete: Studi Kasus pada Proyek Gandaria Main Street"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Tinjauan Prinsip Sustainabilitas dalam Konstruksi

pada Perencanaan Mass Concrete:

Studi Kasus pada Proyek Gandaria Main Street

Iswandi Imran

1

, S. Sutjipto

2

, S. Tumilar

3

, S. P. Ravano

4

, I. Supriyanto

5

Abstrak

Prinsip sustainabilitas dalam konstruksi dapat dicapai melalui penerapan prinsip-prinsip efisiensi dan ekologi dalam penggunaan sumber daya alam di setiap kegiatan konstruksi. Saat ini ketersediaan sumber daya alam sudah semakin terbatas, sehingga pemakaiannya haruslah benar-benar efisien dan optimal. Makalah ini menyajikan strategi yang dapat diterapkan dalam upaya menghasilkan campuran beton untuk pengecoran mass concrete (beton massal) dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip sustainabilitas. Sebagai contoh kasus akan disampaikan konsep pengembangan campuran beton untuk pengecoran beton massal di proyek Gandaria Main Street.

Kata kunci: Prinsip sustainabilitas dalam konstruksi, beton massal, panas hidrasi

Pendahuluan

Aktivitas konstruksi beton pada umumnya melibatkan konsumsi sumber daya alam yang

berlebihan (dalam bentuk penggunaan agregat kasar, agregat halus dan air) serta pembuangan

sisa-sisa bahan konstruksi dalam volume yang besar. Sebagai tambahan, bahan semen, yang

merupakan bahan utama konstruksi beton, diketahui menyumbangkan sebanyak ±7% dari emisi

total CO

2

ke atmosfir pada proses produksinya. Setiap produksi 1 ton klinker semen pada

dasarnya menghasilkan 1 ton emisi CO

2

(Malhotra, 2006; Mehta dan Manmohan, 2006). Dalam

jangka panjang, aktivitas konstruksi seperti ini tentunya akan merusak alam. Sejak dekade

terakhir, dunia industri konstruksi mulai berupaya mengurangi dampak negatif kegiatan

konstruksi dengan menerapkan prinsip-prinsip pengembangan yang sustainabel pada setiap

aktivitas konstruksi. Pengembangan yang sustainable dalam hal ini didefinisikan sebagai

kegiatan pengembangan yang tidak hanya memikirkan upaya-upaya untuk memenuhi kebutuhan

generasi saat ini, namun juga upaya untuk memenuhi kebutuhan generasi yang akan datang.

Bentuk penerapan prinsip sustainabilitas di bidang konstruksi dapat diartikan sebagai

1

KKRS-FTSL, Institut Teknologi Bandung, Jl Ganesha 10 Bandung 40132 (email: iswandi@si.itb.ac.id)

2

Suradjin Sutjipto, Inc. (SSI), Consulting Structural Engineers, Jakarta

3

Dept. Teknik Sipil, Universitas Indonesia, Jakarta

4

PT. Total Bangun Persada, Jakarta

5

(2)

upaya pengelolaan dan pengembangan lingkungan binaan yang dilaksanakan secara

bertanggung jawab, dengan memperhatikan prinsip-prinsip efisiensi dan ekologi dalam

penggunaan sumber daya alam.

Beberapa strategi dapat diterapkan untuk memenuhi prinsip sustainabilitas dalam konstruksi,

diantaranya yaitu:

1. Mengurangi konsumsi sumber daya alam melalui peningkatan efisiensi dalam

penggunaannya.

2. Memanfaatkan sumber daya alam yang terbarui dan yang dapat didaur ulang sebagai

material konstruksi.

3. Mengurangi sampah konstruksi (sisa-sisa bahan konstruksi)

4. Memanfaatkan material dan sistem struktur yang mempunyai daya tahan yang tinggi di

lingkungannya.

Makalah ini menyajikan pengembangan konsep rancangan campuran beton untuk pengecoran

beton massal dengan memperhatikan prinsip-prinsip sustainabilitas dalam konstruksi. Sebagai

contoh kasus, akan disajikan penerapan konsep yang dikembangkan pada pengecoran beton

massal di proyek Gandaria Main Street.

Beton Massal

Aspek Perencanaan

Beton massal didefinisikan sebagai volume beton dengan dimensi yang sedemikian besar

sehingga membutuhkan tindakan-tindakan tertentu untuk mengatasi pertumbuhan panas yang

berlebihan yang dapat memicu timbulnya keretakan (ACI Committee 207, 1996). Reaksi hidrasi

semen Portland merupakan reaksi yang bersifat eksotermal, sehingga menghasilkan panas. Oleh

karena itu, peningkatan suhu internal beton merupakan hal yang tidak dapat dihindari pada

proses pengerasan beton. Pengecoran struktur beton yang bersifat massal pada dasarnya akan

menghasilkan suhu beton yang lebih tinggi di bagian dalam (interior) struktur beton

dibandingkan dengan suhu dibagian permukaan. Suhu yang terjadi di bagian interior dapat

mencapai 95 ºC atau lebih, sedangkan suhu beton di permukaan yang terpapar lingkungan luar

pada umumnya jauh lebih kecil. Hal ini disebabkan karena massa beton di bagian permukaan

mampu melepas suhunya ke lingkungan secara langsung. Kondisi ini dapat menimbulkan

perbedaan suhu yang sangat signifikan antara bagian inti beton dan bagian permukaan.

Pada struktur beton massal, kekangan internal dapat terbentuk akibat kondisi suhu panas yang

tidak dapat terdisipasi secara cepat dari inti beton. Hal ini disebabkan oleh sifat difusivitas beton

(3)

terhadap panas yang memang relatif rendah. Akibatnya, perbedaan suhu kemudian akan

terbentuk antara bagian inti dan bagian permukaan beton dengan terakumulasinya panas yang

dihasilkan oleh reaksi hidrasi semen. Kondisi pemuaian akibat suhu yang berbeda-beda diantara

berbagai bagian elemen struktur beton dapat menimbulkan tegangan, tekan di salah satu sisi dan

tarik disisi lainnya. Keretakan permukaan akan terjadi bilamana tegangan tarik yang timbul

dibagian permukaan elemen akibat pemuaian inti beton melebihi kuat tarik beton disaat bagian

permukaan mendingin dengan terlalu cepat. Retak ini dapat menyebabkan berkurangnya

kekuatan beton dan pada akhirnya menurunkan tingkat durabilitas struktur beton.

Peningkatan suhu beton massal pada dasarnya tergantung pada suhu beton awal dan rasio

volume terhadap luas permukaan. Lebih jauh lagi, peningkatan suhu dipengaruhi secara

dominan oleh komposisi kimiawi semen, dengan C

3

A (Tricalcium Aluminate) dan C

3

S

(Tricalcium Silicate) sebagai senyawa yang paling besar kontribusinya terhadap peningkatan

suhu yang terjadi. Secara umum, setiap 100 kg semen Portland yang ada di dalam campuran

beton akan menghasilkan peningkatan suhu sebesar 12

o

C (Kosmatka et al., 2003). Bila

digunakan bahan-bahan mineral (atau Supplementary Cementing Material) seperti abu terbang,

peningkatan suhunya untuk setiap 100 kg abu terbang adalah sebesar 6

o

C. Persamaan PCA

berikut dapat digunakan untuk mengestimasi secara cepat suhu maksimum yang timbul pada

beton akibat reaksi hidrasi bahan semen dan bahan pengganti semen parsial (Kosmatka et al.,

2003), yaitu:

T

max

= T

i

+ 12 (W

c

/100) + 6 (W

scm

/100) (1)

Dimana T

i

adalah suhu awal beton, W

c

adalah berat semen dalam setiap m

3

beton dan W

scm

adalah berat bahan pengganti semen dalam setiap m

3

beton. Nilai T

i

sangat dipengaruhi oleh

suhu awal bahan-bahan campuran beton dan suhu ambient lingkungan.

Metoda yang umum diterapkan untuk mencegah keretakan pada pengecoran beton massal

adalah dengan menjaga perbedaan suhu antara bagian inti dan bagian permukaan tidak lebih

daripada 20

o

C (Texas Department of Transportation, 2004; Neville, 1981). Hal ini dapat

dilakukan salah satunya melalui pengendalian peningkatan suhu internal beton selama

berlangsungnya reaksi hidrasi. Pengendalian peningkatan suhu internal beton dapat dicapai

melalui:

1. Reduksi kandungan semen dalam campuran beton.

2. Penggunaan agregat dengan ukuran maksimum yang besar dan dengan gradasi yang

baik untuk mendapatkan campuran yang efisien dengan kandungan semen yang rendah.

(4)

3. Pendinginan air pencampur melalui penggantian sebagian air pencampur dengan

pecahan es batu untuk memperoleh suhu awal beton yang rendah.

4. Penggunaan bahan Pozzolans sebagai pengganti semen secara parsial. Panas hidrasi

bahan pozzolan pada dasarnya hanyalah sekitar 50% panas hidrasi semen (Pers. (1)).

5. Penggunaan bahan semen campuran (blended cement).

6. Penggunaan bahan campuran beton, seperti agregat kasar, agregat halus, semen dan air,

yang dapat menghasilkan suhu awal beton yang rendah.

7. Penempatan campuran beton yang baru diaduk sesegera mungkin untuk menghindari

penyerapan suhu ambient oleh campuran beton yang masih segar.

8. Penggunaan umur beton yang lebih panjang (yaitu diatas 28 hari) dalam penentuan nilai

kuat tekan beton yang disyaratkan

9. Pemberian bahan insulasi di permukaan beton yang terpapar lingkungan untuk

meminimalkan perbedaan suhu antara bagian inti dan bagian permukaan beton.

Beberapa bentuk pengendalian tersebut di atas pada dasarnya sesuai dengan strategi untuk

mencapai prinsip-prinsip sustainabilitas dalam konstruksi. Reduksi kandungan semen dapat

diperoleh secara tidak langsung melalui penggunaan superplastisizer yang juga bersifat sebagai

water reducer. Dengan penggunaan bahan ini, kandungan air dalam campuran dapat

disesuaikan (dikurangi) dengan tanpa mengurangi nilai slump yang dihasilkan. Bila rasio air

semen dijaga tetap, maka jumlah kandungan semen secara teoritis juga dapat dikurangi. Dengan

cara ini, peningkatan suhu selama reaksi hidrasi dapat dikurangi (Pers. (1)).

Penggunaan agregat kasar dan halus yang bergradasi baik untuk beton massal juga dapat

meningkatkan workabilitas campuran, sehingga kandungan air pada dasarnya dapat dikurangi

tanpa mengurangi workabilitas rencana campuran. Jumlah kandungan semen pun pada akhirnya

dapat dikurangi sehingga panas hidrasi yang timbul menjadi berkurang.

Penggunaan batu es pecah sebagai pengganti sebagian air pencampur pada dasarnya bertujuan

untuk mengurangi suhu awal campuran. Namun, penggunaan es dapat meningkatkan biaya

produksi yang dibutuhkan dan bersifat tidak praktis, sehingga dalam hal ini bukan merupakan

pilihan yang menarik.

Penggantian sebagian berat semen dalam campuran dengan bahan-bahan mineral pelengkap

(supplementary cementing materials (SCM)) merupakan metoda yang cukup efektif dalam

menurunkan panas hidrasi beton. Untuk setiap berat yang sama dengan berat semen, bahan SCM

hanya menghasilkan panas hidrasi setengah dari panas hidrasi yang dihasilkan semen portland

(Pers. (1)). Bahan-bahan mineral pelengkap ini pada umumnya dapat diperoleh dari

bahan buangan industri. Secara umum, Portland Cement Association mengelompokkan

(5)

bahan-bahan mineral pelengkap (SCM) kedalam beberapa kelompok, yaitu (Mamlouk dan Zaniewski,

1999):

-

Material cementitious

Material ini mempunyai sifat seperti semen dan dapat bereaksi langsung dengan air.

Bahan buangan yang masuk dalam kelompok ini biasanya mengandung silikat dan

kalsium aluminosilikat. Contoh bahan buangan yang bersifat cementitious adalah

Blast Furnace Slag, yang merupakan bahan buangan dari industri baja yang

menggunakan tanur pijar dalam proses produksinya.

-

Material pozzolanic

Material pozzolanic merupakan material yaitu dapat bereaksi dengan kapur bebas

(Ca(OH)

2

) plus air. Komposisi kimiawi bahan ini didominasi oleh siliceous dan

aluminous. Contoh bahan buangan yang masuk dalam kelompok ini adalah Abu

Terbang kelas F, yang merupakan sisa buangan Industri Pembangkit Listrik yang

menggunakan batubara jenis bituminous atau anthracite

sebagai bahan bakarnya.

Selain itu, silica fume, yang merupakan hasil sampingan produksi elemen silicon,

juga merupakan bahan pozzolanic. Komposisi bahan ini pada dasarnya lebih

didominasi oleh unsur amorphous silica.

-

Material pozzolanic dan cementitious

Material pozzolanic dan cementitious merupakan material yang dapat bereaksi

dengan air saja atau dengan kapur bebas (Ca(OH)

2

) plus air. Komposisi kimiawi

bahan ini didominasi oleh siliceous, aluminous dan kapur (CaO). Contoh bahan

buangan yang masuk dalam kelompok ini adalah Abu Terbang kelas C, yang

merupakan sisa buangan Industri Pembangkit Listrik yang menggunakan batubara

jenis lignite atau subbituminous sebagai bahan bakarnya.

Penggunaan bahan-bahan buangan industri, seperti abu terbang, sebagai bahan pensubstitusi

semen sudah semakin umum dilakukan di bidang konstruksi sipil. Selain dapat menurunkan

panas hidrasi beton, penggunaan bahan tersebut juga dapat menghasilkan beton yang lebih

ramah lingkungan. Hal ini terkait dengan pengurangan penggunaan bahan semen yang

produksinya dikenal menghasilkan emisi CO

2

yang besar (Malhotra, 2006).

Di dunia industri konstruksi nasional, beberapa bahan buangan industri tersebut juga mulai

banyak digunakan sebagai bahan tambahan mineral untuk menghasilkan semen campuran

(blended cement). Contoh produk semen campuran yang memanfaatkan bahan-bahan buangan

industri, yang saat ini sudah diproduksi di Indonesia diantaranya adalah semen pozzolan, semen

fly ash dan semen portland composite (Indrawati, 2005). Semen-semen tersebut merupakan

campuran antara clinker dan bahan tambahan mineral seperti pozzolan alam, abu terbang, slag

(6)

dan lain-lain. Karena proporsinya yang sebagian berupa bahan pozzolan atau bahan-bahan

tambahan mineral lainnya maka penggunaan semen campuran dapat menghasilkan campuran

beton yang panas hidrasinya lebih rendah dibandingkan panas hidrasi yang dihasilkan semen

portland konvensional.

Hal lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi panas hidrasi campuran beton yang dihasilkan

adalah dengan menggunakan kuat tekan beton umur selain 28 hari (misal 56 hari) sebagai syarat

penerimaan mutu beton. Hal ini dapat dilakukan selama tegangan maksimum akibat beban baru

akan terjadi setelah beton berumur lebih lama daripada 28 hari. Dengan cara ini, kandungan

semen dalam campuran dapat dikurangi lebih jauh lagi sehingga peningkatan suhu maksimum

beton juga dapat lebih dikontrol.

Selain dari aspek material, untuk mengontrol perbedaan suhu internal beton, permukaan beton

yang terpapar lingkungan luar harus diberi insulasi untuk menjaganya tetap panas. Dengan

pemberian bahan insulasi, bahan beton yang sedang dalam proses pengerasan dikondisikan

dalam lingkungan yang adiabatik. Untuk permukaan atas dan samping, bahan insulasi yang

biasa digunakan adalah styrofoam. Untuk permukaan bawah, lapisan beton tumbuk (lean

concrete) setebal minimal 10 cm dapat difungsikan juga sebagai insulator.

Aspek Pelaksanaan

Pengecoran beton massal sebaiknya dilakukan secara menerus, tanpa terputus. Proses

pengecoran harus dimonitor melalui pemasangan perangkat pengukur suhu. Perangkat pengukur

suhu harus dipasang untuk memonitor perbedaan suhu antara bagian inti dan permukaan beton.

Suhu ambient juga harus selalu dimonitor selama pengecoran.

Alat pengukur suhu harus dapat memonitor suhu untuk setiap interval satu jam selama dua hari

pertama setelah pengecoran. Monitoring harus diteruskan hingga tercapai suhu maksimum dan

hasil pembacaan berurutan memperlihatkan perbedaan yang menurun antara suhu bagian inti

dan suhu bagian permukaan. Selain itu, perbedaan suhu bagian inti dengan suhu ambient harus

dipertahankan agar tidak lebih daripada 20°C.

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pengecoran beton massal adalah:

1. Perbedaan suhu idealnya harus dapat dipertahankan dibawah 20

o

C. Walaupun begitu,

perbedaan suhu yang lebih tinggi pada dasarnya diperbolehkan selama retak beton

diijinkan terjadi.

(7)

2. Bilamana suhu awal campuran beton dapat dipertahankan maksimum 37

o

C atau

maksimum 5

o

C diatas suhu ambient rata-rata maka penggunaan batu es pecah pada

dasarnya dapat dihindari.

Proyek Gandaria Main Street

Proyek Gandaria Main Street merupakan proyek pengembangan suatu kompleks bangunan,

yang terdiri atas berbagai gedung dengan fungsi yang berbeda-beda, yang dibangun di atas

lahan seluas 8,3 Ha (Sutjipto, 2007). Keseluruhan gedung yang berada dalam kompleks

Gandaria Main Street ini berdiri di atas 3 lapis basement, dimana lapis basement terbawah

terbuat dari pelat beton dengan ketebalan yang bervariasi antara 1,2 m hingga 3,5 m. Karena

pelat tersebut memiliki ketebalan yang cukup besar dengan area cakupan yang luas, maka pelat

beton tersebut dapat dikategorikan sebagai beton massal (“mass concrete”). Pada pengecoran

beton massal, akumulasi panas hidrasi yang dihasilkan selama proses pegerasan beton biasanya

tinggi. Apalagi dalam kasus ini, material beton yang digunakan untuk pengecoran lantai

basement dirancang dengan mutu f

’c 35 MPa. Mutu setinggi ini diperlukan untuk memenuhi

persyaratan rasio antara kuat tekan pelat beton dengan kuat tekan kolom beton (BSN, 2002).

Untuk dapat memenuhi beberapa kriteria yang telah ditetapkan, diantaranya nilai kuat tekan

karakteristik, sifat kemudahan pelaksanaan serta pengendalian peningkatan panas hidrasi selama

proses pengerasan, pada awalnya digunakan proporsi campuran beton sebagaimana

diperlihatkan pada Tabel 1. Pada proporsi campuran awal, jumlah bahan semen yang diusulkan

adalah 450 kg/m

3

, yang terdiri atas semen 360 kg/m

3

dan abu terbang 90 kg/m

3

. Selain itu,

jumlah air pencampur diusulkan untuk diganti sebagian beratnya dengan batu es pecah agar

suhu awal beton maksimum tidak lebih daripada 28

o

C. Berdasarkan penerapan Pers. (1),

peningkatan suhu maksimum selama proses pengerasan adalah 48,6

o

C. Sehingga suhu total

yang terjadi adalah 76.6

o

C. Kondisi ini adalah cukup ideal untuk pengecoran beton massal.

Namun, karena melibatkan penggunaan batu es, solusi tersebut menjadi tidak praktis dan mahal.

Apalagi pekerjaan pengecoran beton massal ini melibatkan volume yang sangat besar, sehingga

kebutuhan akan batu es akan sangat tinggi sekali sehingga pengadaannya menjadi tidak layak

lagi.

Bila tidak digunakan batu es, maka suhu awal beton akan berkisar ± 4

o

C dari temperatur

lingkungan, yaitu sekitar 37

o

C. Sehingga, untuk menurunkan temperatur maksimum

satu-satunya cara adalah dengan menurunkan peningkatan suhu selama terjadinya proses reaksi

hidrasi semen. Hal ini dapat dicapai dengan mengurangi kandungan semen dalam campuran

beton.

(8)

Tabel 1. Proporsi Campuran Beton f’

c

35 MPa

Bahan Campuran

Proporsi Campuran

Awal

Proporsi Campuran

Akhir

Rasio Air-Semen

0.40

0.40

Air (kg/m

3

) 180

160

Semen (kg/m

3

) 360

320

Abu Terbang (kg/m

3

) 90

80

Cat: Proporsi agregat kasar dan halus sengaja tidak ditampilkan

Dalam proporsi campuran akhir yang diusulkan, pengaruh penambahan sejumlah high range

water reducer (HRWR) kedalam campuran diperhitungkan dalam mengurangi kebutuhan air.

Dengan penggunaan bahan HRWR ini, kandungan air dalam campuran dapat disesuaikan

(dikurangi) hingga 160 kg/m

3

dengan tanpa mengurangi nilai slump rencana yang diinginkan.

Bila rasio air semen dijaga tetap, dengan berkurangnya air maka jumlah kandungan semen

secara teoritis juga dapat dikurangi menjadi 400 kg/m

3

(dari nilai awal sebesar 450 kg/m

3

).

Dengan cara ini, peningkatan suhu selama reaksi hidrasi dapat dikurangi.

Bila 20 persen berat semen dalam campuran diganti dengan bahan pozzolanic, yang berupa abu

terbang kelas F (dengan kandungan CaO yang rendah), maka berat semen menjadi 320 kg/m

3

dan abu terbang 80 kg/m

3

. Seperti disampaikan sebelumnya, abu terbang kelas F merupakan

bahan pozzolanic artificial yang tidak memiliki sifat semen, namun dalam kondisi halus dapat

bereaksi dengan calcium hydroxide, yang dihasilkan dari reaksi hidrasi semen, dan air. Satu hal

yang perlu diperhatikan pada proporsi campuran akhir yang diusulkan tersebut adalah bahwa

proporsi campuran yang digunakan kemungkinan tidak dapat mencapai nilai kuat tekan yang

disyaratkan pada umur 28 hari, yaitu 35 MPa. Hal ini disebabkan oleh kandungan abu terbang

yang cukup tinggi dalam campuran, yang cendrung lebih lambat sifat reaksi hidrasinya

dibandingkan dengan reaksi hidrasi semen konvensional. Namun, hal ini pada dasarnya tidak

akan menimbulkan masalah bilamana tegangan maksimum akibat beban, baru akan terjadi

setelah beton berumur lebih daripada 28 hari.

Dengan proporsi campuran seperti ini, peningkatan suhu beton maksimum selama proses

pengerasan beton diestimasi sebesar 43,2

o

C. Sehingga suhu total yang terjadi adalah 43,2 + 37

= 80,2

o

C. Suhu total yang diperoleh ini pada dasarnya masih cukup ideal dan tidak terlalu

tinggi, sehingga masih cukup mudah untuk mengendalikan perbedaan suhu agar selalu tetap

berada dibawah 20

o

C. Gambar 1 hingga 5 memperlihatkan contoh hasil pengukuran suhu

(9)

internal beton untuk pelat dengan ketebalan 1,2 m; 1,8 m dan 3,5 m di proyek Gandaria Main

Street. Pada gambar-gambar tersebut terlihat bahwa suhu maksimum yang tercatat berhasil

dipertahankan pada rentang dibawah 90

o

C. Gradien suhu dapat dipertahankan maksimum 20

o

C

selama proses pengerasan. Selain itu, dengan metoda buka tutup lapisan insulasi, penurunan

temperatur dapat berlangsung dengan relatif cepat.

Sebagai tambahan, bahan insulasi yang digunakan dalam pekerjaan pengecoran di lapangan

adalah berupa bahan styrofoam yang dikombinasikan dengan lembaran plastic (polyethylene).

Bahan styrofoam merupakan bahan insulasi yang baik. Bahan ini memiliki nilai tahanan panas

yang tinggi. Untuk penutup atas, digunakan dua lapis bahan insulasi, dengan ketebalan 25 mm

dan 50 mm. Untuk penutup samping digunakan satu lapis bahan insulasi setebal 50 mm.

Penutup

1. Pemanfaatan sampah buangan industri, seperti abu terbang, sebagai bahan pembuat beton

untuk konstruksi beton massal dapat memberikan keuntungan ganda, yaitu menurunkan

panas hidrasi beton massal dan memberikan solusi yang memenuhi prinsip-prinsip

sustainabilitas pada konstruksi, yaitu dalam bentuk mengurangi konsumsi sumber daya

alam.

2. Strategi penggeseran umur beton dalam penentuan nilai kuat tekan beton yang disyaratkan

(dari umur beton 28 hari ke umur yang lebih panjang) merupakan salah satu metoda yang

cukup efektif dalam upaya mengendalikan panas hidrasi beton massal.

3. Dengan penggunaan campuran beton yang sesuai dan dengan metoda pelaksanaan yang

tepat, pada proyek Gandaria Main Street berhasil dikembangkan material beton f

c

35 MPa

untuk pengecoran beton massal berketebalan 1,2 hingga 3,5 m. Walaupun material beton

tersebut diproduksi tanpa menggunakan es (pendingin), namun dalam penerapannya

pertumbuhan suhu beton berhasil dipertahankan berada dibawah 90

o

C.

Ucapan Terimakasih

Ucapan terimakasih disampaikan kepada PT Artisan Wahyu yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis pertama untuk ikut berpartisipasi didalam mencari solusi yang

optimal untuk pengecoran beton massal di proyek Gandaria Main Street.

(10)

Daftar Pustaka

ACI Committee 207, 2002. “Effect of Restraint, Volume Change, and Reinforcement on

Cracking of Mass Concrete (ACI 207.2R-02)”, ACI, 26 pp.

ACI Committee 207, 2005. “Cooling and Insulating Systems for Mass Concrete (ACI

207.4R-05)”, ACI, 15 pp.

ACI Committee 207, 1996. “Mass Concrete (ACI 207.1R-96)”, ACI, 42 pp.

Indrawati, V., 2005. “Portland Composite Cement”, Prosiding Seminal Nasional Rekayasa

Material dan Konstruksi Beton 2005, Bandung 4 Juni, pp. TP-02:1-10.

Kosmatka, S. H., Kerkhoff, B. dan Panarese, W. C., 2003. Design and Control of Concrete

Mixtures, 14th Edition, Portland Cement Association, Skokie, Ill., 2003, pp. 323-325.

Malhotra, V.M., 2006. “Reducing CO

2

Emission: The role of Fly Ash and Other Supplementary

Cementitious Materials”, Concrete International, Vol. 28 No. 9, pp. 42-45.

Mamlouk, M.S. dan Zaniewski, J.P., 1999. “Materials for Civil and Construction Engineers”,

Addision-Wisley Longman, California, 388pp.

Mehta, P.K. dan Manmohan, D., 2006. “Sustainable High-Performance Concrete Structures:

The US Experience with High-Volume Fly Ash Concrete”, Concrete International, Vol. 28 No.

7, pp. 37-42.

Neville, A.M., 1981. Properties of Concrete (3

rd

Edition). Longman Scientific and Technical,

pp. 252-253.

Sutjipto, Suradjin (2007) “Perancangan Struktur Atas Gandaria Main Street”, Suradjin Sutjipto,

Inc., Jakarta.

(11)

MONITORING SUHU ZONE A5 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 241 2 3 4 5 6 7 8 91011121314151617181920212223241 2 3 4 5 6 7 8 910111213141516171819202122232 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 81012141618202224 24 jam Pertama 24 jam Kedua 3rd 4th 5th 6th 7th 8th 9th 10th 11th 12th 13th 14th

28 Juli 2007 29 Juli 2007 30 Juli 2007 31 Juli 2007 01 Agustus 2007 02 Agustus 200703 Agustus 2007 04 Agustus 200705 Agustus 2007 06 Agustus 200707 Agustus 2007 08 Agustus 200709 Agustus 2007 10 Agustus 2007

WAKTU S UHU T H E R M O CO UP LE 2 atas tengah bawah atas-tengah tengah-bawah atas-ambient suhu ambient THERMOCOUPLE 2 note : 1. Tebal raft 1200 mm 2. Menggunakan fc35 (cc 320 kg/m³)

3. Rata-rata initial temperature 34.4 º c

Beton lama

Gambar 1. Hasil Monitoring Suhu pada Pelat Pondasi Tebal 1,2 m (Tengah)

MONITORING SUHU ZONE A5

0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 241 2 3 4 5 6 7 8 91011121314151617181920212223241 2 3 4 5 6 7 8 910111213141516171819202122232 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 81012141618202224 24 jam Pertama 24 jam Kedua 3rd 4th 5th 6th 7th 8th 9th 10th 11th 12th 13th 14th

28 Juli 2007 29 Juli 2007 30 Juli 2007 31 Juli 2007 01 Agustus 200702 Agustus 200703 Agustus 200704 Agustus 200705 Agustus 200706 Agustus 200707 Agustus 200708 Agustus 200709 Agustus 200710 Agustus 2007

WAKTU S U HU T H E R MO CO UP LE 3 atas tengah bawah atas-tengah tengah-bawah atas-ambient suhu ambient THERMOCOUPLE 3 note : 1. Tebal raft 1200 mm 2. Menggunakan fc35 (cc 320 kg/m³)

3. Rata-rata initial temperature 34.4 º c

Beton lama

(12)

MONITORING SUHU ZONE A2 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 20212223241 2 3 4 5 6 7 8 91011121314151617181920212223241 2 3 4 5 6 7 8 9101112131415161718192022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 81012141618 24 jam Pertama 24 jam Kedua 3rd 4th 5th 6th 7th 8th 9th 10th 11th 12th 13th 14th 21 Juni 2007

22 Juni 2007 23 Juni 2007 24 Juni 2007 25 Juni 2007 26 Juni 2007 27 Juni 2007 28 Juni 2007 29 Juni 2007 30 Juni 2007 01 Juli 2007 02 Juli 2007 03 Juli 2007 04 Juli 2007 05 Juli 2007

WAKTU S UHU T H E R M O CO UP LE 4 atas tengah bawah atas-tengah tengah-bawah atas-ambient suhu ambient note : 1. Tebal raft 1800 mm 2. Menggunakan fc35 (cc 320 kg/m³)

3. Rata-rata initial temp 34.2ºc

Beton lama Bekisting batu kali THERMOCOUPLE 4

Gambar 3 Hasil Monitoring Suhu pada Pelat Pondasi Tebal 1,8 m (Tengah)

MONITORING SUHU ZONE A2

0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 20212223241 2 3 4 5 6 7 8 91011121314151617181920212223241 2 3 4 5 6 7 8 9101112131415161718192022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 810121416182022242 4 6 81012141618 24 jam Pertama 24 jam Kedua 3rd 4th 5th 6th 7th 8th 9th 10th 11th 12th 13th 14th 21 Juni 2007

22 Juni 2007 23 Juni 2007 24 Juni 2007 25 Juni 2007 26 Juni 2007 27 Juni 2007 28 Juni 2007 29 Juni 2007 30 Juni 2007 01 Juli 2007 02 Juli 2007 03 Juli 2007 04 Juli 2007 05 Juli 2007

WAKTU SU HU T H ERM O C O U P L E 2 atas tengah bawah atas-tengah tengah-bawah atas-ambient suhu ambient note : 1. Tebal raft 1800 mm 2. Menggunakan fc35 (cc 320 kg/m³)

3. Rata-rata initial temp 34.2ºc

Beton lama Bekisting batu kali THERMOCOUPLE 2

(13)

MONITORING SUHU ZONE B3-4-5 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 8 9 101112131415161718192021222324 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112131415161718192021222324 1 2 3 4 5 6 7 8 1012141618202224 2 4 6 8 1012141618202224 2 4 6 8 1012141618202224 2 4 6 8 1012141618202224 2 4 6 8 1012141618202224 2 4 6 8 1012141618202224 2 4 6 8 1012141618202224 2 4 6 8 1012141618202224 2 4 6 8 1012141618202224 2 4 6 8 1012141618202224 2 4 6 8 1012141618202224 2 4 6 8 1012141618202224

24 jam Pertama 24 jam Kedua 3rd 4th 5th 6th 7th 8th 9th 10th 11th 12th 13th 14th

waktu 26 Agustus 2007 27 Agustus 2007 28 Agustus 2007 29 Agustus 2007 30 Agustus 2007 31 Agustus 2007 01 September 2007 02 September 2007 03 September 2007 04 September 2007 05 September 2007 06 September 2007 07 September 2007 08 September 2007

WAKTU S UHU T H E R M O CO UP L E 3 atas tengah bawah atas-tengah tengah-bawah atas-ambient suhu ambient 3 Beton Lama t = 3200 mm

Gambar

Tabel 1. Proporsi Campuran Beton f’ c  35 MPa  Bahan Campuran  Proporsi Campuran
Gambar 2. Hasil Monitoring Suhu pada Pelat Pondasi Tebal 1,2 m (Tepi)
Gambar 3 Hasil Monitoring Suhu pada Pelat Pondasi Tebal 1,8 m (Tengah)
Gambar 5. Hasil Monitoring Suhu pada Pelat Pondasi Tebal 3,2 m (Tengah)

Referensi

Dokumen terkait

Sampel dalam penelitian dibagi menjadi dua yaitu untuk mengevaluasi program VCT (penelitian kualitatif), sampel dalam penelitian ini adalah petugas rutan 1 orang, petugas

Di tengah kesibukan Bapak/ Ibu/ Saudara/i, perkenankanlah saya meminta kesediaan Bapak/ Ibu/ Saudara/i untuk meluangkan waktu sejenak guna mengisi kuesioner

Penelitian ini menggunakan studi kasus dengan mengambil data-data dari sumber resmi Direktorat Jenderal Pajak, baik di KPP Madya Surabaya, Kantor Wilayah Direktorat

sekolah berkaitan dengan pendelegasian wewenang kepada kepala sekolah untuk memberdayakan lingkungan sekolah dan masyarakat sekitar dalam meningkatkan kualitas pendidikan;

Data Hasil Pengamatan Jenis dan Kadar Senyawa Metabolit Sekunder Secara Kuantitatif Pada Batang Pule Pandak (Rauvolfia serpentina L.) Melalui GCMS……….... Data

Berdasarkan Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI) menunjukkan bahwa hingga tahun 2010 Uni Eropa konsisten merupakan kawasan tujuan ekospor Indonesia

Kadar lemak pada surimi ikan gabus diduga dipengaruhi oleh banyaknya air yang tertarik oleh fraksi tepung sagu untuk membuat gel, dimana air yang tersuspensi