• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TAMBAK MEL ALUI BUDIDAYA PERIKANAN TERPADU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TAMBAK MEL ALUI BUDIDAYA PERIKANAN TERPADU"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TAMBAK MEL ALUI BUDIDAYA PERIKANAN

TERPADU

Brata Pantjara*) , Agus Nawang*) , dan Irshapiani Insan**)

*) Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau

Jl. Makmur Dg. Sitakkka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail: bpantjara@yahoo.com

**) Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya Jl. Ragunan 20, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12540

ABSTRAK

Pengembangan perikanan budidaya di masa datang harus mendorong masyarakat perikanan untuk meningkatkan daya saing hasil perikanan budidaya yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Pengembangan budidaya air payau pada tambak marjinal di kawasan pesisir dapat ditingkatkan melalui penerapan polikultur udang, bandeng, nila merah dan rumput laut. Budidaya polikultur mempunyai keunggulan dibandingkan monokultur terutama dalam efisiensi pemanfaatan ruang, peningkatan daya dukung lahan dan peningkatan nilai tambah bagi pembudidaya tambak yang lahannya kurang produktif. Diharapkan dengan polikultur udang, nila merah, bandeng dan rumput laut dapat meningkatkan produktivitas tambak yang lebih baik. Hasil penelitian polikultur di tambak marjinal di Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan telah dihasilkan udang windu sebesar 127,92 kg/ha, Nila merah 644 kg/ha, dan rumput laut 4 ton/ha dan polikultur lainnya dihasilkan udang windu 117,8 kg/ha, bandeng 637 kg/ha, dan rumput laut 4,3 ton/ha. Hasil yang terendah diperoleh pada polikultur udang windu dan rumput laut yaitu sebesar 110,6 kg/ha udang windu dan rumput laut 4,8 ton/ha, Secara ekonomis polikultur udang windu, nila merah dan rumput laut memberikan keuntungan yang lebih tinggi (Rp 8,916,000 per siklus dan BC rasio 1,77) dibandingkan polikultur udang windu, bandeng dan rumput laut (Rp 8,641.000 per siklus dan BC rasio 1,74) dan terendah pada polikultur udang windu dan rumput laut (Rp 3,871.000,- per siklus dan BC rasio 1,55).

KATA KUNCI: produktivitas tambak, budidaya, perikanan terpadu PENDAHULUAN

Pengembangan perikanan budidaya di Indonesia ke depan diharapkan dapat mendorong masyarakat perikanan untuk meningkatkan jiwa kewirausahaan dan daya saing produk perikanan budidaya secara berkelanjutan dan lebih efisiensi serta mempunyai keunggulan yang komperatif. Pengembangan sumber daya perikanan yang sesuai dengan pengelolaan dan pemanfaatan yang optimal dapat mengurangi permasalahan khususnya dalam pengembangan wilayah untuk budidaya dan kesempatan kerja serta berusaha bagi masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir.

Pengembangan lahan untuk tambak dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, hal ini dapat berimplikasi pada penggunaan sumberdaya lahan. Namun, tidak semua lahan tambak yang ada sekarang ini mempunyai produktivitas tinggi, sehingga pemanfaatan untuk tambak ditujukan pada lahan marginal yang mempunyai produktivitas rendah. Demikian pula dengan tambak udang yang ada sekarang ini dan sebagian telah menurun produktivitasnya akibat berbagai aktivitas manusia sehingga diperlukan alternatif teknologi budidaya dalam rangka peningkatan produktivitas tambak. Pengembangan sumber daya perikanan yang sesuai dengan pengelolaan dan pemanfaatan yang optimal dapat mengurangi permasalahan khususnya dalam pengembangan wilayah untuk budidaya dan kesempatan kerja serta berusaha bagi masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir.

Budidaya perikanan air payau yang lokasinya berada di kawasan pesisir sangat berhubungan dengan kondisi tata ruang, sosial budaya, keamanan dan ekonomi masyarakat pesisir tersebut. Oleh karena itu, pendekatan teknologi budidayanya harus terintegrasi dan melaksanakan pendekatan pembangunan budidaya yang lestari dan bertanggungjawab. Melihat kenyataan bahwa produksi udang di tanah air terus menurun disebabkan oleh merosotnya kualitas lingkungan budidaya dan kemungkinan kesalahan dalam pengelolaan budidaya sehingga banyak pengusaha tambak udang

(2)

mulai meninggalkan lahannya karena kerugian yang terus menerus, sehingga lahannya menjadi lahan yang kurang termanfaatkan. Untuk itu, dalam pemanfaatan lahan yang mulai menurun daya dukungnya, maka perlu alternatif teknologi budidaya polikultur antara udang, nila merah dan rumput laut (Pantjara et al., 2009). Komoditas ini selain dikonsumsi dalam negeri juga merupakan komoditas perikanan ekspor andalan dari sektor perikanan untuk mendapatkan devisa negara. Udang misalnya selain harga jualnya yang cukup menggiurkan juga diminati karena nilai gizinya yang tinggi.

Pada umumnya budidaya rumput laut adalah pilihan terakhir setelah kegagalan dalam budidaya udang maupun ikan. Hal ini disebabkan budidaya rumput laut Gracilaria sp. dapat berkembang dengan baik di tambak marginal yang mempunyai daya dukung rendah (Pantjara, 2007). Selain itu, budidaya rumput laut mudah diterapkan kepada masyarakat dan budidayanya tidak memerlukan modal yang besar.

Ikan nila merah merupakan salah satu unggulan budidaya ikan air tawar. Pasarnya cukup menjanjikan, komoditas ini cepat tumbuh besar dan perawatannya tidak rumit (Pirzan et al., 1992; Watanabe et al, 1984; Wolfrath & Hulata, 1981). Permintaan ikan nila merah terus meningkat di pasar internasional, terutama pasar Amerika dan Uni Eropa. Berdasarkan data yang dirilis oleh Na-tional Marine Fisheries Service, di tahun 2006 Amerika telah mengimpor 60.772 ton ikan nila yang didatangkan dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Sementara di pasar UE, tak kurang dari 10.000 ton ikan nila terserap tiap tahun. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka budidaya polikultur antara udang, nila merah dan rumput laut merupakan alternatif pilihan budidaya campuran yang dapat berkontribusi dalam peningkatan produksi di subsektor perikanan (Pantjara et al., 2009). Keuntungan budidaya polikultur adalah adanya kemungkinan untuk memperoleh lebih dari satu komoditas dan terlaksananya pemanfaatan ruang secara optimal, peningkatan daya dukung lahan, perbaikan kualitas lingkungan yang dapat mengurangi risiko kegagalan panen dibanding sistem budidaya monokultur, dan peningkatan nilai tambah bagi pembudidaya tambak (Ratnawati & Pantjara, 2008). Dimasa yang akan datang budidaya polikultur menjadi harapan budidaya karena memberi peluang dalam menciptakan lapangan kerja sehingga dapat mengatasi masalah kemiskinan. BAHAN DAN METODE

Kegiatan polikultur dilakukan di tambak petani di Desa Wiringtasi, Kecamatan Suppa, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Lokasi yang terpilih berdasarkan hasil survei dan informasi dari Pemerintah daerah setempat yang mencanangkan Kabupaten Pinrang merupakan salah satu sentra untuk dijadikan lokasi kebangkitan udang dan produksi perikanan di Sulawesi Selatan. Tambak yang digunakan sebanyak 3 petak yang berukuran luas 12.000-14.000 m2/petak. Sebelum budidaya dilakukan persiapan

tambak sesuai dengan prosedur tetap untuk budidaya udang windu, meliputi perbaikan pematang dan pintu air, perbaikan tanah dasar melalui reklamasi, pemberantasan hama dengan saponin, pengapuran dengan dolomit dan pemupukan urea dan SP-36 yang digunakan untuk menambah nutrient untuk pakan alami. Pengisian air secara bertahap hingga kedalaman 70-80 cm. Air sumber yang digunakan untuk polikultur mempunyai kisaran salinitas 18-25 ppt.

Hewan uji yang digunakan adalah tokolan udang windu, P. monodon (PL-30), rumput laut, Gracilaria verrucosa yang diambil dari tambak rumput laut di Kabupaten Takalar. Gelondongan nila merah, O. niloticus berukuran panjang 3-4 cm dan bobot rata-rata 4,5 g/ekor yang diperoleh dari Kabupaten Janti, Jawa Tengah dan gelondongan bandeng, Chanos chanos asal Bali dengan ukuran panjang 7-10 cm dan bobot rata-rata 5,4 g/ekor yang diperoleh dari tambak sekitarnya.

Kegiatan polikultur yang dicoba adalah: Polikultur udang windu, rumput laut dan nila merah (A); polikultur udang windu, bandeng dan rumput laut (B); dan udang windu dan rumput laut (C). Padat penebaran udang windu adalah 20.000 ekor/ha; rumput laut 2,0 ton/ha, nila merah dan bandeng masing-masing 4.000 ekor/ha. Variabel yang diamati meliputi pertumbuhan, sintasan dan produksi udang windu, rumput laut, bandeng dan nila merah. Variabel kualitas air yang diamati meliputi oksigen, pH, suhu, salinitas, nitrat, posfat yang mengacu pada APHA (2005), kelimpahan dan jenis plankton (Basmi, 2000) dan untuk mengetahui kelayakan budidaya dilakukan analisis usaha.

(3)

HASIL DAN BAHASAN

Kegiatan polikultur yang dilakukan selama 105 hari di tambak petani pada perlakuan A diperoleh hasil sebagai berikut; pertumbuhan udang windu meningkat dari bobot awal 0,01 g/ekor meningkat menjadi 9,0-16,5 g/ekor (rata-rata=15,6 g/ekor) dan sintasan 41%, pertumbuhan nila merah meningkat dari berat awal 4,5 g/ekor menjadi 200-278 g/ekor (rata-rata 230 g/ekor) dan sintasan 70%, sedangkan pertumbuhan rumput laut dengan laju pertumbuhan 2,22% per hari (Tabel 1). Pada akhir kegiatan polikultur pada perlakuan A diperoleh produksi, masing-masing untuk udang windu (127,92 kg/ha), nila merah (644 kg/ha) dan rumput laut 4 ton/ha (Gambar 1).

Pada perlakuan B, pertumbuhan udang windu meningkat dari 0,01 g/ekor menjadi 10-19,4 g/ekor (rata-rata = 15,5 g/ekor) dengan sintasan 38%, pertumbuhan bandeng meningkat dari 5,4 g/ekor menjadi 210-340 g/ekor (rata-rata 245 g/ekor) dengan sintasan 65%, sedangkan pertumbuhan rumput laut dengan laju pertumbuhan harian (LPH) sebesar 2,48%. Hasil panen kegiatan polikultur pada perlakuan B diperoleh produksi, masing-masing untuk udang windu (117,8 kg/ha), bandeng (637 kg/ha) dan rumput laut 4,3 ton/ha (Gambar 1).

Tabel 1. Pertumbuhan bobot, sintasan dan produksi polikultur di tambak Desa Wiring Tasi, Kecamatan Suppa, Kabupaten Pinrang

Keterangan:

A). Polikultur udang windu, rumput laut dan nila merah; B) Polikultur udang windu,bandeng, dan rumput laut; C). Polikultur udang windu dan rumput laut.

A B C

1 Padat tebar :

- udang windu (ekor/ha) 20.000 20 20

- Nila merah (ekor/ha) 4 -

-- Bandeng (ekor/ha) - 4

-- Rumput laut (kg/ha) 2 2 2

2 Bobot awal

- udang windu (g/ekor) 0,01 0,01 0,01

- Nila merah (g/ekor) 4,5 -

-- Bandeng (g/ekor) - 5,4 -

3 Bobot rata-rata (panen)

- udang windu (g/ekor) 15,6 15,5 15,8

- Nila merah (g/ekor) 230 -

-- Bandeng (g/ekor) - 245 - 4 Sintasan - udang windu (%) 41 38 44,0 - Nila merah (%) 70,0 - -- Bandeng (%) - 65,0 -- LPH Rumput laut (%) 2,22 2,48 2,93 5 Produksi

- udang windu (kg/Ha) 127,92 117,8 110,6

- Nila merah (kg/Ha) 644 -

-- Bandeng (kg/Ha) - 637

-- Rumput laut (kg/Ha) 4 4,3 4,8

(4)

Demikian pula pada perlakuan C, diperoleh informasi bahwa pertumbuhan udang windu meningkat dari 0,01 g/ekor menjadi 8,5-16,7 g/ekor (rata-rata = 15,8 g/ekor) dengan sintasan 44% dan pertumbuhan rumput laut dengan laju pertumbuhan harian (LPH) sebesar 2,93%. Hasil panen kegiatan polikultur pada perlakuan C diperoleh produksi, masing-masing untuk udang windu (110,6 kg/ha) dan rumput laut 4,8 ton/ha.

Pada kegiatan polikultur bersamaan dengan kegiatan budidaya udang windu monokultur milik masyarakat dengan panen sekitar 60 kg/ha dan bahkan sebagian tambak gagal panen udang karena penyakit bercak putih yang disebabkan White spot syndrome virus WSSV. Namun demikian, rendahnya produksi udang windu pada lokasi penelitian disebabkan kondisi tanah tambak yang sebagian tergolong tanah sulfat masam. Teknologi polikultur udang windu dengan nila merah, bandeng dan rumput laut dari hasil kegiatan ini secara umum dapat menghambat berkembangnya penyakit WSSV. Hal ini terbukti pada saat kegiatan tambak disekitar lokasi kegiatan rata-rata sudah terserang penyakit WSSV terlebih dahulu.

Kualitas Air

Pengamatan kualitas air pada budidaya sangat penting agar dapat segera mengetahui pengaruh penurunan kualitas air dan upaya perbaikannya mendapatkan kualitas air yang lebih layak untuk komoditas yang dibudidaya. Oksigen terlarut sebagai indikator tingkat pencemaran air berkaitan dengan laju biodegradasi zat pencemar organik, selain itu pula oksigen terlarut juga merupakan parameter penting untuk kehidupan akuatik. Hasil pengamatan oksigen selama penelitian masih dalam kisaran yang baik untuk budidaya udang windu, nila merah, bandeng dan rumput laut, masing-masing kisaran dan rata-rata oksigen secara berurutan adalah 4,2-6,1 mg/L dan 5,3±0,65 (A); 5,1-6,2 mg/L dan 5,47±0,38 mg/L (B) dan 4,7-6,2 mg/L dan 5,5± 0,56 mg/L. Hasil pengamatan pH air selama penelitian, masing-masing secara berurutan adalah 7,1-8,5 dan 7,6±0,53 (A); 7,3-9,0 dan 7,7±0,59 (B) dan 7,2-8,5 dan 7,8±0,53. Total dissolve solid (TDS) merupakan bahan terlarut dari partikel koloid dalam air. TDS dan Natrium mempunyai kontribusi terbesar pengaruhnya terhadap daya hantar listrik (DHL). Hal ini berarti zat -zat mineral yang tekandung dalam parameter TDS sangat berpengaruh terhadap parameter DHL sehingga memberikan gambaran tentang kontribusi

Gambar 1. Produksi udang windu pada budidaya polikultur udang windu, nila merah dan rumput laut (atas), polikultur udang windu, bandeng dan rumput laut (tengah) dan polikultur udang windu dan rumput laut (bawah)

(5)

atau terindikasinya tingkat pencemaran terutama konsentrasi berbagai mineral terlarut. (Eaton et al.,1995).

Pengamatan TDS selama penelitian pada kisaran dan rata-rata±stdev. masing-masing polikultur secara berurutan adalah 19,6-40,2 g/L dan 33,4±6,66 g/L(A); 17,2-36,4 g/L dan 23,6±6,56 g/L (B) dan 17,2-36,4 g/L dan 29,4± 7,30 g/L (Gambar 2).

Menurut Irianto dan Machbub (2004), bahwa DHL juga menunjukkan variasi kadar garam dalam air sehingga DHL berkaitan dengan salinitas dalam air. Pengamatan salinitas selama penelitian pada kisaran dan rata-rata±stdev. masing-masing polikultur secara berurutan adalah 16,4-34,9 mg/L dan 25,01±7,90 g/L(A); 16,5-34,8 mg/L dan 23,6±6,56 mg/L (B) dan 16,0-34,7 mg/L dan 23,4± 6,20 mg/ L.

Hasil analisis kandungan bahan organik terlarut pada perlakuan A mencapai kisaran 26,18-34,77 mg/L, pada perlakuan B berkisar antara 25,67-37,01 mg/L dan perlakuan C berkisar antara 24,11-39,99 mg/L. Pengamatan terdap amonia selama penelitian berfluktuasi. Kandungan ammonia pada perlakuan A berkisar antara 0,135-0,273 mg/L, lebih tinggi dibandingkan perlakuan B dan C, yang masing-masing adalah 0,038-0,313 mg/L dan 0,005-0,293 mg/L .

Di tambak ekstensif nitrit biasanya terdeteksi dalam jumlah yang sedikit dibandingkan nitrat. Kandungan nitrit masih dalam kisaran yang toleran untuk udang windu, bandeng dan nila merah. Hasil analisis kandungan nitrit pada perlakuan A berkisar antara 0,008-0,024 mg/L, B berkisar antara 0,014-0,024 mg/L, C berkisar antara 0,010-0,031mg/L. Menurut Boyd (1990), bahwa untuk budidaya perikanan kandungan nitrit < 0,05 mg/L karena dapat bersifat racun bagi ikan (Tabel 2).

Nitrat merupakan nutrien yang bersifat larut dalam air dan stabil. Hasil analisis kandungan nitrat pada perlakuan A mencapai kisaran 0,011-0,132 mg/L, B =0,014-0,208 mg/L, dan C= 0,002-0,091mg/ L. Kandungan Posfat air pada perlakuan A berkisar antara 0,314-0,669 mg/L (x=0,535± 0,1341 mg/ L), pada perlakuan B berkisar antara 0,105-1,675 mg/L (x=0,765± 0,5669 mg/L), dan C berkisar antara 0,023-0,161 mg/L (x=0,060± 0,0575 mg/L).

Analisa Usaha

Pendapatan usaha polikultur udang windu, bandeng, nila dan rumput laut merupakan hal penting, karena erat kaitannya dengan pertimbangan keuntungan atau kerugian dalam budidaya. Beberapa

(6)

Tabel 2. Analisis kualitas air (BOT, ammonia, nitrit, nitrat, dan fosfat) selama kegiatan budidaya polikultur

Keterangan:

A) Polikultur udang windu, rumput laut dan nila merah; B) Polikultur udang windu,bandeng, dan rumput laut; C) Polikultur udang windu dan rumput laut.

A B C 1. BOT (mg/L) 26,18-34,77 25,67-37,01 24,11-39,99 28,43 ±5,781 32,02± 4,909 30,85± 7,859 2. NH4+ (mg/L) 0,135-0,273 0,038-0,313 0,005-0,293 0,192±0,0598 0,122±0,1178 0,176± 0,0900 3. NO2- (mg/L) 0,008-0,024 0,014-0,024 0,010-0,031 0,018±0,0057 0,020 ±0,0047 0,020± 0,0075 4. NO3- (mg/L) 0,011-0,132 0,014-0,208 0,002-0,091 0,043 ±0,0598 0,068± 0,0937 0,031± 0,0407 5. PO4²- (mg/L) 0,314-0,669 0,105-1,675 0,023-0,161 0,535 ±0,1341 0,765± 0,5669 0,060± 0,0575 Perlakuan Variabel

hal yang perlu diperhatikan dalam budidaya polikultur diantaranya adalah persiapan tambak yang baik dan benar dan pemilihan komoditas yang mempunyai kestabilan harga dan disesuaikan dengan kebutuhan pasar serta pemilihan benih unggul yang bebas virus dan tahan penyakit, tentunya pemilihan komoditas tersebut disesuaikan dengan kondisi tambak dan system budidaya yang diterapkan.

Polikultur udang windu, nila merah dan rumput laut memberikan keuntungan sebesar Rp 8,916,000 per siklus dan B/C rasio sebesar 1,77 serta rentabilitas ekonomi 76,73%.

Polikultur udang windu, bandeng dan rumput laut memberikan keuntungan sebesar Rp 8,641.000 per siklus dan B/C rasio 1,74 serta rentabilitas ekonomi sebesar 74,36%. Sedangkan polikultur udang windu dan rumput laut memberikan keuntungan sebesar Rp 3,871.000,- per siklus dan B/C rasio 1,55 serta rentabilitas sebesar 55,02% (Lampiran 1).

Tampaknya dari ke tiga polikultur yang dicoba secara ekonomis polikultur udang windu, nila merah dan rumput laut (A) memberikan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan polikultur udang windu, bandeng dan rumput laut (B) dan terendah pada polikultur udang windu dan rumput laut (C). KESIMPULAN

1. Polikultur di tambak marjinal di Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan telah dihasilkan udang windu sebesar 127,92 kg/ha, Nila merah 644 kg/ha, dan rumput laut 4 ton/ha dan perlakuan B dihasilkan udang windu 117,8 kg/ha, bandeng 637 kg/ha, dan rumput laut 4,3 ton/ha. Hasil yang terendah diperoleh pada polikultur udang windu dan rumput laut yaitu sebesar 110,6 kg/ ha udang windu dan rumput laut 4,8 ton/ha.

2. Polikultur udang windu, nila merah dan rumput laut memberikan keuntungan yang lebih tinggi (Rp 8,916,000 per siklus dan BC rasio 1,77).

DAFTAR ACUAN

APHA (American Public Health Association). 1998. Standard methods for the examination of water and wastewater, 20th edition, APHA, AWWA, WEF, Washington, 1085 p,

Boyd, C,E, 1995, Bottom soils sediment and pond soil aquaculture, Chapman & Hall, Auburn University Alabama, 347 pp.

Cholik, F., Rachmansyah, dan S.Tonnek. 1990. Pengaruh padat penebaran terhadap produksi nila merah, Oreochromis niloticus, J,Penel, Budidaya Pantai 6(2):87-96.

(7)

Chervinski, J. 1982. Environmental physiology of tilapia, P, 119-28, In Pullin, R,S,V, and R,H, Lowe McConnel (eds,), The Biology and culture of tilapia, ICLARM Conference Proceedings 7, ICLARM manila, Philippines.

Eaton, Clescery,Greenberg. ed. 1995. Standard Methods for The Examination of Water and Wastewa-ter. 19th edition. APHA-AWWA -WEF, Washington DC,USA.

Hanafi, A., A. Mustafa, dan B. Pantjara. 1995, Pertumbuhan kepiting bakau, bandeng dan nila merah di tambak tanah gambut. Jurnal penelitian Perikanan Indonesia, I(1):45-57.

Irianto, E.W. dan B. Machbub. 2004. Pengaruh multiparameter kualitas air terhadap parameter indi-cator oksigen terlarut dan daya listrik. Jurnal Litbang Pengairan (JLP), Vol. 18( 54): 59-65. Pantjara, B. 2007. Polikultur budidaya udang windu Penaeus monodon, bandeng Chanos chanos dan

rumput laut Gracillaria sp. di tambak, Makalah disampaikan Pada “Diseminasi Teknologi dan Temu Bisnis Pengembangan Budi Daya Rumput Laut dan Pemasarannya, Medan 17 November 2007.

Pantjara, B., S. Tahe, A. Mustafa, dan E.A. Hendradjat. 2008. Pemanfaatan tambak marginal tanah sulfat masam untuk budidaya bendeng, nila merah dan rumput laut. Prosiding Aquaculture Indo-nesia, MAI, Hlm: 295-302,

Pantjara, B., E. A.Hendradjat, dan Rachman Syah. 2009. Peningkatan produktivitas tambak melalui polikultur udang windu dan rumput laut, Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur (FITA), PRPB.

Pirzan, A.M., S. Tahe, dan A. Ismail. 1992. Polikultur udang windu, Penaeus monodon dan nila merah, Oreochromis niloticus di tambak, J. Pene. Budidaya Pantai 8(2):63-70.

Ratnawati , E. dan B. Pantjara. 2007. Analisa usaha polikultur rumput laut dan bandeng di tambak tanah sulfat masam, Desa lamasi Pantai, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, Prosiding Seminar nasional Tahun IV, Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 2007, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta: 1-8.

Watanabe, W.O.; C.M. Kuo; dan M. Chan Huang. 1984. Experimental rearing of Nile tilapia fry (Oreochromis niloticus) for saltwater culture. ICLARM Technical Reports 14, 28 p,

Wolfrath, G.W. and G. Hulata. 1981. Applied genetics of tilapia. ICLARM Studies and review Interna-tional Centre of Living Aquatic resources management, Manila, Philippines.

Zonneveld, N.; E.A. Huisman dan J.H. Boon. 1991. Prinsip-prinsip budidaya ikan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 336 hal.

(8)

Lampiran 1. Analisis usaha polikultur dengan komposisi komoditas perikanan yang berbeda

Keterangan: A). Polikultur udang windu, rumput laut dan nila merah; B) Polikultur udang windu,bandeng, dan rumput laut dan C). Polikultur udang windu dan rumput laut.

A B C

Biaya operasional/siklus

- Benih udang 20,000 ekor 50 1.000.000 1.000.000 1.000.000 - Benih Bandeng 4,000 ekor 250 - 1.000.000 - - Benih Nila merah 4,000 ekor 250 1.000.000 - - - Rumput laut 1,500 kg 1,120 1.680.000 1.680.000 1.680.000 - Kapur 650,000 kg 1,000 650 650 600 - Pupuk TSP 150,000 Kg 2,300 345 345 345 - Pupuk urea 200,000 Kg 2,200 440 440 330 - Pakan udang 220,000 Kg 14,000 3.080.000 3.080.000 3.080.000 - Pakan bandeng 500,000 kg 5,500 - 2.750.000 - - Pakan Nila merah 500,000 Kg 5,500 2.750.000 - -    

Total Biaya 11.620.000 11.620. 000 7.035.000 Penerimaan 20.536.000 20.261.000 10.906.000 - Udang (C) 110,6 kg 50,000 - - 5.530.000 - Udang (B) 117,8 kg 50,000 - 5.890.0000 - - Udang (A) 127,92 kg 50,000 6.396.000 - - - Rumput laut (C) 4,8 kg 1,120 - - 5.376.000 - Rumput laut (B) 4,8 kg 1,120 - 4.816.000 - - Rumput laut (A) 4 kg 1,120 4.480.000 - - - Bandeng 637 kg 15,000 - 9.555.000 - - Nila merah 644 kg 15,000 9.660.000

-Laba per siklus 8.916.000 8.641..000 3.871.000

B/C rasio 1,77 1,74 1,55 Rent. Ekonomi (%) 76,73 74,36 55,02 Perlakuan Variabel Harga satuan (Rp) Volume

Gambar

Gambar  1. Produksi  udang  windu  pada  budidaya  polikultur  udang windu, nila merah dan rumput laut (atas), polikultur udang windu,  bandeng  dan  rumput  laut  (tengah)  dan    polikultur udang  windu  dan  rumput  laut  (bawah)
Gambar  2. Fluktuasi oksigen, pH, TDS, dan salinitas air  selama kegiatan polikultur

Referensi

Dokumen terkait

Piagam ini berlaku efektif terhitung sejak 29 Maret 2016 (“Tanggal Efektif”). Dengan menandatangani lembar persetujuan, seluruh anggota Direksi dianggap telah menerima dan

Berdasarkan analisis awal dari sistem SOLAP pada penelitian Wipriyance (2013), jumlah titik panas yang ada pada data warehouse mencapai 473 892 titik sedangkan jumlah titik yang

Mengingat hasil uji determinasi variabel bebas (motivasi, kemampuan dan kesempatan) terhadap variabel terikat kinerja Pegawai nilainya baru mencapai level 73,2 %, maka

Pada pelaksanaan tindakan siklus I, ditemukan beberapa hal yang berkaitan dengan proses dan hasil pembelajaran. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap kinerja guru yang

1. Abdul Muhaya, M.A, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang dan pembimbing I. Muchsin Jamil, M.Ag, selaku pembimbing II yang telah berkenang

[r]

Berdasarkan pemaparan prestasi belajar di atas dapat diberikan penjelasan bahwa telah terjadi peningkatan prestasi belajar siswa dari siklus I mencapai rata-rata 63,33 naik menjadi