• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelatihan Hukum Pidana Khusus Bagi Hakim Tinggi (MAKASSAR, November 2012)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pelatihan Hukum Pidana Khusus Bagi Hakim Tinggi (MAKASSAR, November 2012)"

Copied!
190
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Pelatihan

Hukum Pidana Khusus

Bagi Hakim Tinggi

(MAKASSAR, 05 - 08 November 2012)

Proceeding

Komisi Yudisial Republik Indonesia

Biro Rekrutmen, Advokasi dan Peningkatan Kapasitas Hakim © 2012

(4)
(5)

Pelatihan

Hukum Pidana Khusus

Bagi Hakim Tinggi

(MAKASSAR, 05 - 08 November 2012)

(6)

Georgia 11, xxxii+155 hlm, 15x21 cm Cetakan Pertama, Agustus 2013 Penanggung Jawab

Danang Wijayanto Pengarah

Anggota Komisi Yudisial

Alamat Redaksi: Komisi Yudisial

Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat PO.BOX 2685

Telp: (021) 390 5876 Fax: (021) 390 6215

website: www.pkh.komisiyudisial. go.id

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang mengutip, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin tertulis dari Penerbit Ketua Heru Purnomo Wakil Hamka Kapopang Sekretaris Lina Maryani Penyunting M. Muslih Aris Purnomo Penyelaras Akhir Dodi Widodo Sekretariat Adli Ardianto Eva Dewi

Indah Dwi Permatasari Nur Aini Fatmawati Layout & Desain Sampul Fajar Dewo Sukmono

(7)

Daftar Isi

Tim Penyusun iv

Daftar Isi v

Kata Pengantar ix

Pendahuluan xi

Sambutan Ketua Komisi Yudisial xxi

Sambutan Ketua Mahkamah Agung xxvii

SESI I KODE ETIK DAN PEDOMAN PERILAKU HAKIM (KEEPH) Dr. Taufiqurrohman Syahuri, S.H., M.H.

Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim

A. Etika (Kode Etik) 3

B. Konsepsi Penilaian Etika Perilaku 4

C. Tujuan KEPPH 5

D. Fungsi KEPPH 5

E. KEPPH 6

F. Derajat Sanksi 8

Dr. Jaja Ahmad Jayus, S.H., M.Hum.

Problematik Hukum dalam Putusan Berbasis Perspektif Laporan Masyarakat Laporan Masyarakat dan Riset Putusan

A. Definisi 11

B. Perspektif Masyarakat kepada Hakim 11

C. Aspek Penilitian Putusan 12

D. Penjabaran Nilai Dasar Profesi 18

(8)

SESI II TINDAK PIDANA KORUPSI Prof. Dr. Surya Jaya, S.H., M.Hum.

Ketentuan Tentang Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah Dan Materi Tentang Beban Pembuktian Terbalik Dalam Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang

A. Penyedia Barang dan Jasa/Kontraktor 26

B. Pembuktian Terbalik 29

Diskusi dan Tanya Jawab 31

SESI III TINDAK PIDANA PERBANKAN Prof. Dr. Sutan Remy Syahdeini, S.H.

Tindak-Tindak Pidana Perbangkan Indonesia

A. Pengertian Tindak Pidana Perbankan 43

B. Pasal Sapu Jagad 44

C. Penghimpunan Dana Simpanan Tanpa Ijin BI 50

D. Pengawasan Bank 55

E. Tindak Pidana Pelanggaran Pasal 30 dan 34 UUP 56

F. Tindak Pidana Rahasia Bank 57

G. Rahasia Bank 58

Tanya Jawab 69

SESI IV ETIKA PERILAKU

Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo Etika Perilaku

A. Pengertian Etika 75

B. Etika dan Moral 75

C. Perilaku 77

D. Etika Perilaku 81

E. Profesionalisme 83

F. Kode Etik 86

G. Ruang Lingkup Kode Etik 86

(9)

SESI V TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Dr. Yunus Husein, S.H., M.H.

Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Pembuktian Terbalik

A. Kendala Pemberantasan Tindak Pidana 97

B. Fokus Pembahasan 98

C. Kasus a.n. Bahasyim Assifie 107

D. Kasus a.n. Yudi Hermawan 112

Tanya Jawab 113

SESI VI KEJAHATAN KORPORASI

Dr. Gunawan Widjaja, S.H., M.H., M.M. Kejahatan Korporasi

A. Pengertian 121

B. Pertanggungjawaban 121

C. Wujud Penegakan Hukum 122

D. Direksi 127

Tanya Jawab 129

SESI VII DISKUSI KELOMPOK 137

Penutup 147

Lampiran

Foto Kegiatan 149

Susunan Acara 151

(10)
(11)

Kata Pengantar

P

uji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang

telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga berhasil menyelesaikan Proceeding Pelatihan Hukum Pidana Khusus Bagi Hakim Tinggi yang dilaksanakan pada tanggal 05 s.d. 08 November 2012 di Makasar.

Proceeding ini berisikan tentang bahan ajar pelatihan

yang meliputi: Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Tindak

Pidana Korupsi, Tindak Pidana Narkotika, Kejahatan Korporasi, Tindak Pidana Lingkungan. Pada proceeding ini juga disertakan tanya jawab dan hasil diskusi kelompok dari peserta. Proceeding

ini diharapkan dapat menjadi sarana sharring bagi para hakim dalam rangka peningkatan kapasitas hakim.

Kami menyadari bahwa proceeding ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu diharapkan untuk kesempurnaan

proceeding ini.

Akhir kata, disampaikan terima kasih kepada semua pihak yang berperan serta dalam penyusunan proceeding ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita. Amin.

Jakarta, November 2012 Tim Penyusun

(12)
(13)

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Kita semua tentu masih ingat dengan ungkapan dalam Bahasa Belanda yang berbunyi “Het recht hinkt

acther de feiten aan” yang dapat diartikan bahwa hukum itu

ketinggalan dari peristiwanya. Hukum yang dimaksud dalam ungkapan tersebut adalah hukum tertulis yang tertuang dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Hukum tertulis tidak bisa dengan cepat mengikuti perkembangan hukum yang berlaku di masyarakat karena untuk melakukan perubahan peraturan perundang-undangan harus melalui prosedur tertentu yang tidak dapat dilakukan setiap saat. Untuk mengakomodasi perkembangan hukum yang berlaku di masyarakat, seringkali pembuat undang-undang mencantumkan ketentuan tertentu, peraturan perundang-undangan tetap dapat diberlakukan dan permasalahan hukum yang berkembang di masyarakat juga dapat diselesaikan.

Dalam konteks hukum pidana, pembuat undang-undang memberikan peluang bagi perkembangan hukum pidana baru diluar hukum pidana yang telah dikodifikasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Aturan Penutup Pasal 103 KUHP menyatakan,

“Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan

(14)

pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”.

Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya bentuk-bentuk kejahatan baru yang belum terpikirkan pada saat mengkodifikasikan hukum pidana. Kemungkinan untuk mengakomodasi perkembangan hukum tidak saja diatur dalam hukum pidana materiil, melainkan juga dalam ranah hukum formil sebagaimana dalam Pasal 284 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan, “Dalam

waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku”. Ketentuan

tersebut diharapkan dapat mengantisipasi perkembangan masyarakat, dimana banyak kejahatan konvensional dilakukan dengan modus operandi yang canggih sehingga diperlukan proses beracara dengan menggunakan teknik atau prosedur khusus untuk mengungkap suatu kejahatan.

Seiring dengan perkembangan masyarakat, bentuk-bentuk kejahatan dan atau perbuatan pidana juga mengalami perkembangan. Kejahatan dan atau perbuatan pidana berkembang sebagai dampak dari masalah sosial yang dipengaruhi oleh interaksi struktur politik, ekonomi, sosial, dan ideologi masyarakat. Bentuk-bentuk kejahatan baru dan atau perbuatan-perbuatan baru yang kemudian dikrimalkan dapat dikualifikasikan sebagai hukum pidana khusus. Hukum pidana khusus ini memuat norma, sanksi, asas hukum, dan prosedur penanganan secara khusus yang

(15)

berbeda dengan hukum pidana konvensional yang telah dikodifikasikan dalam hukum pidana dan hukum acara pidana. Hukum pidana khusus yang berkembang dewasa ini, diantaranya adalah tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika, kejahatan korporasi, tindak pidana lingkungan, tindak pidana perbankan, tindak pidana pencucian uang dan lain-lain. Hukum pidana khusus diatas mengalami perkembangan sangat pesat sehingga telah diatur dalam peraturan perundang-undangan secara khusus baik hukum materiilnya maupun hukum formilnya.

Hakim yang mempunyai tugas pokok memeriksa dan memutus perkara melalui proses persidangan di pengadilan, tidak mungkin menutup mata dengan perkembangan hukum termasuk didalamnya hukum pidana khusus. Hakim harus senantiasa mengikuti perkembangan hukum pidana khusus sehingga putusan yang dihasilkan dapat mencerminkan nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Hakim dituntut untuk mengembangkan kemampuan pengetahuan hukum termasuk hukum pidana khusus baik mulai dari norma hukum yang berlaku di masyarakat, asas-asas hukum, kaidah-kaidah hukum, peraturan perundang-undangan, sampai dengan penerapan hukum yang dimanifestasikan dalam bentuk putusan pengadilan. Komisi Hukum Nasional (KHN) memberikan kriteria kemampuan pengetahuan hukum yang harus dimiliki hakim meliputi penguasaan atas ilmu hukum, kemampuan berpikir yuridis, kemahiran yuridis (penerapan hukum), serta kesadaran dan komitmen profesional. Dalam rangka mengembangkan kemampuan hakim terhadap perkembangan hukum pidana khusus, Komisi Yudisial memandang perlu untuk

(16)

menyelenggarakan Pelatihan Hukum Pidana Khusus bagi Hakim Tinggi.

B. Tujuan

Tujuan penyelenggaraan Pelatihan Hukum Pidana Khusus bagi Hakim Tinggi ini, adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan pengetahuan Hakim Tinggi terhadap

perkembangan hukum pidana khusus.

2. Menyediakan wadah sharing pengalaman bagi Hakim

Tinggi mengenai proses penanganan perkara tindak pidana khusus.

3. Menyamakan persepsi terkait proses penanganan

perkara tindak pidana khusus. C. Target

Target penyelenggaraan Pelatihan Hukum Pidana Khusus bagi Hakim Tinggi ini, adalah sebagai berikut:

1. Meningkatnya pengetahuan Hakim Tinggi terhadap

perkembangan hukum pidana khusus.

2. Tersedianya wadah sharing pengalaman bagi Hakim

Tinggi mengenai proses penanganan perkara tindak pidana khusus.

3. Adanya kesamaan persepsi bagi Hakim Tinggi dalam

menangani perkara tindak pidana khusus.

D. Metode Pelatihan, Narasumber, dan Fasilitator

1. Metode

Pemilihan metode pelatihan sangat berperan penting untuk mencapai tujuan pelatihan. Pemilihan metode pelatihan perlu memperhatikan calon peserta

(17)

pelatihan yakni Hakim Tinggi yang pada umumnya mempunyai karakteristik sebagai berikut:

a. Hakim mempunyai pengetahuan dan pengalaman tertentu yang masing-masing berbeda satu sama lain.

b. Hakim lebih suka diajak sharing daripada digurui. c. Pada umumnya lebih menyukai hal-hal yang

bersifat praktis.

d. Membutuhkan suasana akrab dengan menjalin hubungan yang erat.

e. Lebih menyukai cara belajar yang melibatkan mereka.

Berdasarkan karakteristik diatas, metode pelatihan yang sesuai adalah metode pendidikan bagi orang dewasa (andragogy system) atau sering disebut dengan pelatihan partisipatif. Metode tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara sebagai berikut: a. Ceramah yang disertai alat peraga.

b. Diskusi kelompok.

c. Pengalaman terstruktur, dll.

2. Narasumber

Narasumber dalam pelatihan partisipatif berperan dalam memberikan pengantar mengenai materi tertentu dalam hal ini mengenai hukum pidana khusus dan memberikan sharing pengetahuan terhadap topik-topik yang menjadi pertanyaan peserta pelatihan. Secara teknis setiap narasumber akan diberikan waktu 30 menit untuk menyampaikan materi yang telah disiapkan dan merangsang diskusi peserta. Selanjutnya peserta mendiskusikan materi yang telah disampaikan

(18)

baik dalam bentuk diskusi kelompok ataupun dalam bentuk tanya jawab dengan Narasumber. Dalam hal terdapat pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab dalam diskusi kelompok, diharapkan Narasumber dapat memberikan sharing pengetahuannya.

3. Fasilitator

Fasilitator dalam pelatihan partisipatif berfungsi menstimulus dinamika forum pelatihan dan mengendalikan pelatihan agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Fasilitator perlu mengendalikan penggunaan waktu secara optimal dengan mengkombinasikan antara fleksibilitas dan efektifitas penggunaan waktu dengan berpegangan pada prinsip menghargai peserta, membangun proses yang partisipatori dan hasil yang terukur. Beberapa prinsip yang perlu dipertimbangkan adalah:

a. Pertimbangkan semua pilihan kata, istilah, contoh, dan tindakan. Hindari kemungkinan salah interpretasi atau multi interpretasi. Kesan pertama sering menentukan hubungan lanjutan. Hindari hal-hal yang membuat peserta merasa tidak nyaman.

b. Gaya fasilitator-unsur penting mengatur atmosfer pelatihan. Hal-hal yang harus dilakukan oleh seorang fasilitator adalah:

1) Tetapkan peran Anda dalam pikiran Anda

sendiri.

2) Tetapkan harapan-harapan dan

kebutuhan-kebutuhan peserta dan juga harapan Anda sebagai fasilitator.

(19)

3) Ciptakan atmosfer yang mendukung dimana orang-orang merasa bebas untuk beropini dan mengambil resiko.

4) Peka terhadap proses komunikasi, termasuk

bahasa tubuh peserta dan Anda sendiri.

5) Dengarkan dengan empati; jangan

memotong.

6) Hargai ide yang mungkin tidak Anda setujui.

7) Gunakan pujian, pengakuan, dan lain-lain,

untuk memperkuat kepercayaan diri.

8) Hadapi peserta yang “sulit” dengan cara

yang terhormat.

9) Selalu semangat, energi Anda tampaknya

akan menggosok peserta.

10) Gunakan icebreaker dan/atau pembuka yang nyaman untuk Anda dan Anda rasa peserta juga akan merasa nyaman.

11) Dapatkan umpan balik selama kegiatan dan pada akhir tiap bagian.

12) Buatlah diri Anda terbuka untuk pertanyaan-pertanyaan. Gunakanlah metode discovery

learning, buatlah agar peserta menemukan

sendiri jawaban-jawaban atas persoalan yang muncul.

c. Peran fasilitator dalam diskusi kelompok bukan hanya merangkum informasi yang disajikan, tetapi untuk mensintesakannya. Fasilitator memainkan peran kunci dalam mengidentifikasi unsur-unsur umum yang digarisbawahi oleh peserta, dan menyampaikan kepada peserta untuk berpikir

(20)

lebih jauh apa arti kerja kelompoknya dalam hubungannya dengan kerja mereka sehari-hari. E. Pokok Bahasan dan Sub Pokok Bahasan

Materi yang akan menjadi pokok pembahasan dan sub pokok pembahasan dalam Pelatihan Hukum Pidana Khusus bagi Hakim Tinggi ini, adalah sebagai berikut:

1. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, dengan Sub

pokok bahasan meliputi: a. Sejarah lahirnya KEPPH; b. Muatan materi KEPPH;

c. Bentuk-bentuk pelanggaran hakim terhadap KEPPH; dan

d. Proses penanganan laporan masyarakat kepada Komisi Yudisial terhadap hakim yang diduga melakukan pelanggaran KEPPH.

2. Tindak Pidana Korupsi, dengan sub pokok bahasan

meliputi:

a. Undang-undang tentang Pengadaan Barang dan Jasa;

b. Posisi bawahan-atasan dalam pelaksanaan DIPA;

c. Asset recovery, dan

d. Pembuktian terbalik

3. Tindak Pidana Narkotika, dengan sub pokok bahasan

meliputi:

a. Pengertian, bentuk-bentuk, dan modus operandi tindak pidana narkotika;

b. Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana narkotika; dan

(21)

4. Kejahatan Korporasi, dengan sub pokok bahasan meliputi:

a. Bentuk dan modus kejahatan korporasi;

b. Pertanggungjawaban pidana oleh korporasi; dan c. Penegakan hukum terhadap kejahatan korporasi.

5. Tindak Pidana Lingkungan, dengan sub pokok

bahasan meliputi:

a. Masalah strict liability;

b. Ketentuan Hukum Lingkungan Hidup; dan c. Proses penegakan tindak pidana lingkungan

hidup.

6. Tindak Pidana Perbankan, dengan sub pokok bahasan

meliputi:

a. Pengertian dan ruang lingkup tindak pidana perbankan;

b. Jenis-jenis tindak pidana perbankan dan perkembangannya; dan

c. Proses penegakan tindak pidana perbankan.

7. Tindak Pidana Pencucian Uang, dengan sub pokok

bahasan meliputi:

a. Perkembangan tindak pidana pencucian uang; b. Pola dan modus tindak pidana pencucian uang;

dan

c. Proses penegakan hukum tindak pidana pencucian uang.

(22)
(23)

Sambutan

Ketua Komisi Yudisial

B

apak Prof. Dr. Surya Jaya, S.H.,

M.H. yang mewakili Ketua

Mahkamah Agung Republik

Indonesia, Bapak Ketua Pengadilan Tinggi Makassar yang saya hormati, Bapak Sekda Propinsi Sulawesi Selatan yang mewakili Bapak Gubernur, Bapak Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan yang saya hormati, Pangdam Wirabuana atau yang mewakili, Kapolda Sulawesi Selatan atau yang mewakili dan Kanwil Hukum dan HAM atau yang mewakili yang saya hormati.

Ibu dan Bapak para peserta pelatihan Yang Mulia yang semoga dimuliakan Allah SWT.

Puji syukur kehadirat Allah SWT sehingga kita dapat berkumpul bersama pada malam hari ini untuk membuka acara pelatihan.

Yang terhormat juga Dirjen Badilum Bapak Dr. Cicut Sutiarso yang telah mengirimkan langsung nama-nama para peserta pelatihan kepada saya, terima kasih.

Shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga.

(24)

Kegiatan pelatihan tematik pidana khusus bagi Hakim Tinggi kali ini bagi Komisi Yudisial sesungguhnya merupakan pelaksanaan dari wewenang dan tugas yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011.

Pelatihan tematik ini dalam kaitannya dengan peningkatan kapasitas dan untuk kesejahteraan dan telah diundangkannya PP No.94 Tahun. 2012 tentang hak keuangan dan fasilitas hakim yang berada di bawah Mahkamah Agung.

Pada bulan April 2012, sekurang-kurangnya ada 3 hakim yang demo ke Komisi Yudisial, mereka sms kepada saya dan mengucapkan terima kasih. Namun saya katakan bahwa tidak perlu berterima kasih kepada kami karena ini bukan hanya kerja Komisi Yudisial namun kerja seluruh pihak. Kerja Mahkamah Agung, kerja Kementerian Keuangan, DPR, Menpan-RB dan Komisi Yudisial.

Akan tetapi tidak sampai disitu karena Komisi Yudisia sudah siap-siap menghadapi demo hakim ad hoc. Mereka sudah mengirim sms yang menyatakan bahwa “pemerintah

diskriminatif, katanya punya kewenangan mengupayakan peningkatan kesejahteraan Hakim tapi Komisi Yudisial tidak memperjuangkan kami” karena hakim ad hoc tidak termasuk

yang dinaikkan gajinya;

Padahal dalam rapat pada bulan Agustus 2012 Pak Ketua Mahkamah Agung telah meminta kepada Menpan-RB dan Menteri Keuangan agar semua hakim dinaikkan gajinya tanpa kecuali, termasuk para hakim ad hoc. Namun saat itu pemerintah belum setuju, dengan alasan hakim ad hoc tidak ada penilaian kinerjanya.

Kerja Komisi Yudisial berikutnya adalah mengupayakan peningkatan kesejahteraan hakim ad hoc.

(25)

Namun ada sejumlah hakim lain yang berpendapat bahwa seyogyanya gaji hakim itu berbeda-beda disesuaikan dengan jumlah perkara yang ditangani, karena perkara di suatu tempat dengan tempat lain itu berbeda jumlahnya, sehingga tidak layak jika yang perkaranya banyak gajinya sama dengan yang perkaranya sedikit. Ini juga harus diakomodir oleh semua pihak. Tidak mudah memang mengelola negara ini. Untuk adil itu tidak mudah, sehingga tidak aneh jika keadilan yang diberikan oleh hakim sering diprotes oleh para pencari keadilan.

Penyelenggaraan pelatihan tematik hukum pidana khusus bagi hakim tinggi ini saya anggap sangat penting karena sejalan dengan perkembangan hukum dewasa ini menuntut para hakim yang mempunyai tugas pokok memeriksa, memutus perkara untuk senantiasa mengikuti perkembangan yang ada, utamanya hukum pidana khusus seiring dengan beragamnya bentuk-bentuk tindak pidana khusus tersebut.

Upaya Komisi Yudiisal mengadakan pelatihan dengan mengedepankan peserta dari kalangan hakim tinggi ini tentu mempunyai tujuan yang baik, antara lain untuk meningkatkan kapasitas hakim. Pada dasarnya setelah saya cermati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH yang) 10 itu bisa diperas lagi menjadi 3, yaitu: pertama adalah pintar, kedua jujur, ketiga adil. Cukup 3 itu dari yang 10, karena kalau yang 3 itu sudah terpenuhi maka yang lain sebenarnya mengikuti.

Perkembangan jenis-jenis tindak pidana khusus saat ini sudah semakin meluas dan serius. Telah merambah industri strategis dengan merusak infrastruktur dan sistem perekonomian negara, sehingga menimbulkan ancaman terhadap keamanaan nasional di berbagai negara, termasuk Indonesia.

(26)

perorangan maupun oleh organisasi merupakan kejahatan

trans nasional sehingga kegiatan pelatihan pada kali ini

dimaksudkan juga selain sebagai upaya menyediakan wadah berbagi pengalaman dan curah pendapat bagi para hakim , juga untuk menyamakan persepsi dalam penanganan perkara tindak pidana khusus sehingga dengan demikian setelah mendapatkan pelatihan ini para hakim khususnya hakim pada tingkat banding diharapkan mempunyai wawasan yang lebih luas terhadap keragaman bentuk tindak pidana khusus serta lebih cakap dalam penanganan perkara dan tidak lagi mempunyai persepsi yang berbeda dalam menangani perkara-perkara tindak pidana khusus.

Untuk itu saya berharap para peserta pelatihan ini dapat mengikuti seluruh rangkaian acara dengan serius dan sepenuh hati serta saling bersinergi, sehingga apa yang menjadi tujuan pelatihan ini dapat maksimal dan tidak sia-sia.

Saya sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Mahkamah Agung, wakil khusus dari Dirjen Badan Peradilan Umum yang telah mengirimkan peserta untuk mengikuti pelatihan ini.

Kepada para peserta saya ucapkan selamat mengikuti pelatihan hingga selesai dan mengikuti seluruh rangkaian kegiatan. Diharapkan sekembalinya Bapak/Ibu ke meja tugas masing-masing dapat mengaktualisasikan apa yang diperoleh selama pelatihan ini bagi kemajuan lembaga peradilan di tempat-tempat Bapak dan Ibu bertugas.

Dengan mengucapkan Bismillahirrohmaanirrahiim

Pelatihan Hukum Pidana Khusus bagi Hakim Tinggi secara resmi Saya buka. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala upaya dan kerja keras kita demi kemaslahatan seluruh rakyat

(27)
(28)
(29)

Sambutan

Ketua Mahkamah Agung

S

ebelum saya menyampaikan

sambutan, pertama-tama saya

ingin menyampaikan bahwa Ketua Mahkamah Agung tidak dapat menghadiri karena Beliau ada tugas yang sudah lebih dahulu terjadwal sehingga beliau menitipkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya karena Beliau tidak berkesempatan hadir hadir pada malam hari ini.

Yth. Ketua Komisi Yudisial RI Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H., Yth. Anggota Komisi Yudisial RI Dr. Jaja Ahmad Jayus, S.H., M.Hum., Yth. Ketua Pengadilan Tinggi Makassar, Yth. Bapak Gubernur atau yang mewakili, Yth. Bapak Kapolda atau yang mewakili, Yth. Bapak Pangdam Wirabuana atau yang mewakili, Narasumber kalau sudah hadir yang saya tidak bisa sebutkan namanya, Para Hakim Tinggi dan Hakim Ad

Hoc Tipikor pada Pengadilan Tinggi Sulselbar, dan Para Peserta

Pelatihan Hukum Pidana Khusus dan hadirin sekalian yang kami banggakan.

Diwakili oleh Hakim Agung

Prof. Dr. Surya Jaya, S.H., M.H.

(30)

Puji syukur kehadirat Allah SWT berkat limpahan taufiqnya sehingga pada hari ini kita bisa hadir di tempat yang berbahagia.

Beberapa waktu lalu yaitu tanggal 29 Oktober s.d. 1 November 2012 Mahkamah Agung dan lembaga peradilan dibawahnya baru saja melaksanakan rakernas dengan tema pemantapan sistem kamar untuk mewujudkan kesatuan hukum dan meningkatkan profesionalisme hakim, tema rakernas ini setidaknya mempunyai spirit yang sama dengan pelatihan yang diselenggarakan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia yaitu dalam rangka meningkatkan wawasan, pengetahuan dan pemahaman para hakim tinggi di bidang hukum pidana khusus.

Pelatihan ini pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme hakim.

Upaya untuk meng-up to date-kan pengetahuan dan pemahaman serta wawasan hakim merupakan suatu kebutuhan yang tidak bisa dielakkan sebab hal ini bersangkut paut dengan tugas dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara.

Dalam dunia peradilan, putusan merupakan mahkota bagi Hakim artinya putusan yang berkualitas merupakan kebanggaan bagi setiap hakim sebab melalui putusan dapat diukur dan diketahui sejauh mana profesionalisme, intelektualitas, kapabilitas dan integritas seorang hakim.

Mahkamah Agung melalui bidang tugas pembinaan dan pengawasan, tidak henti-hentinya melakukan upaya pendidikan dan pelatihan agar supaya para hakim memiliki profesionalisme dan integritas serta moralitas yang tinggi dan perilaku yang baik;

Mahkamah Agung telah menyediakan pusdiklat yang sangat memadai, pengajar yang berpengalaman dan menguasai bidangnya masing-masing. Sejalan dengan upaya yang dilakukan Mahkamah Agung maka dengan dukungan Komisi

(31)

Yudisial melakukan pelatihan yang sedianya materi pelatihan akan diberikan besok pada tanggal 6 November 2012 dengan menghadirkan narasumber yang memiliki kompetensi dan keilmuan dibidangnya, apalagi para narasumber menguasai teori, azas-azas hukum maupun menguasai praktek.

Mahkamah Agung menyambut gembira dan merespon dengan positif.

Peningkatan profesionalisme melalui pelatihan hakim sangat penting dan relevan dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas putusan hakim.

Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara setidaknya memiliki penguasaan pengetahuan, pemahaman hukum yang memadai, seiring dengan perkembangan hukum di tengah masyarakat.

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 menentukan hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Pengetahuan yang up to date bagi hakim merupakan salah satu faktor pendukung lahirnya profesionalisme, hingga dapat menghasilkan putusan yang dapat mencerminkan nilai-nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

Hakim harus mengikuti perkembangan hukum dan rasa keadilan.

Hakim dianggap mengetahui hukum, sehingga membawa konsekuensi Hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan dia tidak mengetahui hukum atau tidak ada hukum yang mengaturnya.

Pengetahuan dan pemahaman hukum bagi Hakim harus sejalan dengan perkembangan hukum ditengah masyarakat.

(32)

Hukum pidana khusus telah mengalami perkembangan yang sangat pesat tidak hanya dibidang hukum formal misalnya sistem beban pembuktian terbalik, penggunaaan alat bukti elektronik sebagai alat bukti petunjuk. Dibidang tindak pidana lingkungan dikenal dengan pertanggungjawaban stricht liability dan berbagai modus tindak pidana khusus yang perlu kita ketahui bersama. Namun demikian juga perkembangan tindak pidana khusus dibidang hukum materiilnya seperti misalnya tentang pertanggungjawaban korporasi.

Diharapkan output dari hasil yang didapatkan dari pelatihan ini antara lain dapat meningkatkan pengayaan pengetahuan atau keahlian hakim dibidang tindak pidana khusus baik dari aspek normatik, teoritik dan azas-azas hukum sehingga mempermudah hakim dalam penerapannya dalam kaitannya dengan tugas memeriksa, mengadili dan memutus perkara.

Diharapkan pula dapat meningkatkan produktivitas dalam pemeriksaan perkara sehingga menjadi salah satu solusi bagi pengurangan penumpukan perkara.

Diharapkan pula dapat menjadi wadah untuk menyamakan persepsi sehingga potensi terjadinya disparitas putusan dapat dihindari.

Kami berharap penguasaan pengetahuan, wawasan dan pemahaman dibidang hukum pidana khusus bagi para hakim dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat dimana saat ini kepercayaan tersebut sudah berangsur-angsur baik dan memadahi sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama upaya untuk mewujudkan lembaga peradilan yang agung dapat tercapai dan tidak harus menunggu tahun 2035.

Mudah-mudahan penyelenggaraan pelatihan semacam ini bisa berkesinambungan di masa yang akan datang dan

(33)

lebih dikembangkan lagi pada bidang hukum lain, tidak hanya dibidang hukum pidana khusus tetapi juga hukum perdata, tata usaha negara dan militer sehingga para hakim mendapat kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan.

Kami ucapkan kepada para peserta selamat mengikuti pelatihan hukum pidana khusus, semoga mendapat wawasan, pengetahuan, pengalaman yang dapat digunakan dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara.

(34)
(35)

kode etik dan pedoman

perilaku hakim (kEPPH)

Dr. Taufiqurrohman Syahuri, S.H., M. H.

&

(36)
(37)

Kode Etik dan Pedoman

Perilaku Hakim

(KEPPH)

Dr. Taufiqurrohman Syahuri, S.H., M.H.

dan

Dr. Jaja Ahmad Jayus, S.H., M.Hum.

Dr. Taufiqurrohman Syahuri, S.H., M.H.

KODE ETIK DAN PEDOMAN PERILAKU HAKIM

A. Etika (Kode Etik)

Kata etika berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang

berarti karakter, watak kesusilaan atau adat.

• Etika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyangkut

apa yang baik dan apa yang buruk, berupa hak dan kewajiban moral atau akhlak manusia.

• Etika merupakan suatu nilai mengenai benar atau

salah, baik atau buruk yang dianut satu golongan atau masyarakat.

• Etika kemudian dirumuskan dalam bentuk aturan

(38)

berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik.

• Dengan demikian etika merupakan refleksi dari

“self control”, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial (profesi) itu sendiri.

• Kode etik profesi diperlukan untuk menjaga martabat

serta kehormatan profesi, dan di sisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun penyalahgunaan keahlian.

• Implementasi KEPPH dapat menimbulkan kepercayaan

atau ketidakpercayaan masyarakat kepada putusan pengadilan dan profesi hakim itu sendiri.

B. Konsepsi Penilaian Etika Perilaku

• Konsepsi dalam menilai perilaku seseorang, yang harus

diperiksa adalah perbuatannya, bukan maksud, tujuan atau niatnya, apalagi jasa-jasanya di masa lampau. Penilaian perilaku menyoroti perbuatan, kelakuan, sepak terjang seseorang yang tampak di mata orang lain. Fokus terpusat pada aspek lahiriah.

• Sesuatu yang “pantas”, kelakuan yang “patut” atau

persepsi tentang “martabat” atau “kehormatan” berada dalam persepsi dan ranah orang luar, publik, masyarakat, bukan dalam konsepsi pelaku dan teman-temannya. Semua itu merupakan pengertiaan hasil pemantauan orang dengan panca inderanya terhadap

(39)

orang lain.

• Batasan kepatuhan sepenuhnya tunduk pada tolak

ukur yang ada di masyarakat pada suatu saat tertentu. Sebaliknya, “maksud” dan “tujuan”, “niat dan itikad” merupakan soal kejiwaan orang per orang.

C. Tujuan KEPPH Tujuan KEPPH adalah:

1. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi.

2. Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para

anggota.

3. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota

profesi.

4. Untuk meningkatkan mutu profesi.

5. Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi.

6. Meningkatkan layanan diatas keuntungan pribadi.

7. Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan

terjalin erat.

8. Menentukan baku standarnya sendiri.

D. Fungsi KEPPH Fungsi KEPPH adalah:

1. Memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi

tentang prinsip profesionalitas yang digariskan, atau sebagai standar perilaku baik dalam menjalankan profesi

2. Sebagai sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas

(40)

E. KEPPH

1. Prinsip-prinsip KEPPH adalah:

a. Berperilaku Adil; b. Berperilaku Jujur;

c. Berperilaku Arif dan Bijaksana; d. Bersikap Mandiri;

e. Berintegritas Tinggi; f. Bertanggungjawab;

g. Menjunjung Tinggi Harga Diri; h. Berdisiplin Tinggi;

i. Berperilaku Rendah Hati; dan

j. Bersikap Profesional.

2. Berlakunya KEPPH

• KEPPH berlaku terhadap perilaku hakim dalam

dinas dan di luar dinas.

• Perilaku dalam kedinasan adalah semua perilaku

yang dilarang oleh KEPPH yang dilakukan dalam persidangan dan/atau diluar persidangan yang terkait dengan perkara.

• Perilaku diluar sidang adalah semua perilaku

pribadi hakim yang menyimpang/tidak patut menurut KEPPH.

3. Pelanggaran

Pelanggaran yang dilakukan hakim dalam persidangan, antara lain:

a. Meminta uang, memeras pihak. b. Mengulur persidangan.

c. Membuatkan gugatan atau berkas-berkas

pengadilan lainnya bagi salah satu pihak.

(41)

e. Komunikasi terarah via telepon dengan salah satu pihak.

f. Tidak menghindar ketika bertemu dengan satu Pihak berperkara.

g. Dugaan selingkuh, menikah siri, menelantarkan keluarganya, atau menikah lagi (poligami) tanpa izin.

h. Narkoba, sex bebas, judi, atau berbuat tercela.

i. Mengeluarkan kata-kata kasar terhadap terdakwa,

penasehat hukum, salah satu pihak atau saksi,

j. Bersidang di ruang kerja hakim.

k. Hakim tidak menanyakan kepada terdakwa, apakah terdakwa mengerti isi dan maksud surat dakwaan.

l. Hakim menerima pihak di rumah atau di ruang

kerja tanpa pihak lawan. m. Tertidur di ruang sidang.

n. SMS/BBM saat sidang berlangsung. o. Keluar masuk ruang sidang.

p. Hakim sengaja tidak mempertimbangkan alat bukti yang kuat.

q. Hakim sengaja menerapkan hukum yang salah. r. Hakim tidak menawarkan Terdakwa didampingi

penasehat hukum, padahal ancaman pidananya diatas lima tahun.

s. Melanggar hukum acara (parsial, tidak fair, manipulasi fakta).

t. Hakim terlambat menghadiri sidang.

u. Tidak menyatakan sidang terbuka untuk umum. v. Tidak mempersilahkan saksi-saksi yang masih di

(42)

ruang sidang untuk keluar.

w. Persidangan majelis hakim kurang dari 3 (tiga) orang.

x. Majelis hakim membacakan putusan tanpa mengucapkan irah-irah.

y. Pergantian anggota majelis saat sidang sedang berlangsung.

z. Hakim mengintimidasi terdakwa dengan

menyatakan: “kamu itu dipersalahkan, kamu terima saja ya?”.

4. Penegakan KEPPH

• KEPPH ditegakkan oleh:

• Hakim itu sendiri;

• Mahkamah Agung; dan

• Komisi Yudisial.

• Hakim yang melakukan pelanggaran KEPPH akan

mendapatkan sanksi berat atau ringannya sanksi tergantung dari pelanggaran yang dilakukan. F. DERAJAT SANKSI

Sanksi terhadap hakim yang melanggar KEEPH adalah:

1. Sanksi ringan terdiri atas:

• Teguran lisan;

• Teguran tertulis; dan

• Pernyataan tidak puas secara tertulis.

2. Sanksi sedang terdiri atas:

• Penundaan kenaikan gaji berkala paling lama 1

(satu) tahun;

• Penurunan gaji sebesar 1 (satu) kali kenaikan gaji

(43)

• Penundaan kenaikan pangkat paling lama 1 (satu) tahun;

• Hakim nonpalu paling lama 6 bulan;

• Mutasi ke pengadilan lain dengan kelas lebih

rendah; dan

• Pembatalan atau penangguhan promosi.

3. Sanksi berat terdiri atas:

• Pembebasan dari jabatan;

• Hakim nonpalu lebih dari 6 (enam) bulan sampai

dengan 2 (dua) tahun;

• Penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat

lebih rendah untuk paling lama 3 (tiga) tahun;

• Pemberhentian tetap dengan hak pensiun; dan

(44)
(45)

PROBLEMATIK HUKUM DALAM PUTUSAN

BERBASIS PERSPEKTIF LAPORAN

MASYARAKAT DAN RISET PUTUSAN

A. Definisi

• Secara bahasa “perspektif” berarti: pandangan atau

sudut pandang

• Secara istilah “perspektif” adalah cara melukiskan suatu

benda pada permukaan yang mendatar sebagaimana yang terlihat oleh mata dengan tiga dimensi (panjang, lebar, dan tingginya) (menurut KBBI)

B. Perspektif Masyarakat kepada Hakim

• Secara sederhana dapat dikatakan bahwa perspektif

masyarakat terhadap hakim merupakan pandangan umum masyarakat berdasarkan apa yang mereka lihat dan alami yang berujung pada kesimpulan atau pendapat pribadi tentang bagaimana profesi hakim itu.

• Kesimpulan atau pendapat masyarakat tersebut

seringkali didominasi dengan penilaian mereka terhadap bagaimana profesionalisme hakim yang meliputi integritas dan kapabilitas.

• Indikator yang dapat menggambarkan perspektif

tersebut dapat diperoleh dari 2 (dua) hal, yakni:

1. Secara internal (dalam diri hakim): berdasarkan

proses dan produk yang dihasilkannya yaitu putusan (menyangkut kapabilitas) dan perilaku

(46)

hakim diluar pengadilan.

2. Secara eksternal (dari luar hakim): berdasarkan

laporan masyarakat terhadap sisi penyimpangan profesi hakim.

C. Aspek Penelitian Putusan

• Aspek penelitian putusan meliputi:

1. Aspek formil putusan: tingkat kepatuhan putusan

terhadap hukum acara

2. Aspek materiil putusan: kesesuaian antara fakta

hukum yang ditemukan dengan vonis yang dijatuhkan

3. Aspek penalaran hukum: cara hakim melakukan

penalaran yang logis dan runtut pada setiap perkara

4. Aspek pengakomodasian pada nilai keadilan

dan kemanfaatan hukum: Kandungan nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan hukum pada sebuah putusan hakim serta kreatifitas hakim dalam menggunakan sumber hukum lainnya

• Setiap tahunnya penelitian putusan menghasilkan

sebuah hasil tentang kecenderungan perilaku dan profesionalisme hakim dalam memutus. Selama 3 (tiga) tahun terakhir penelitian disimpulkan 3 (tiga) hal sebagai berikut:

1. Hasil Penelitian

• Kecenderungan Hakim yang sangat positivis

tanpa melihat lebih jauh kondisi sosial dan fakta hukum riil yang ada dalam putusan.

(47)

(empat) aspek yang diteliti.

1) Pemenuhan hukum formil : 61%

2) Pemenuhan huk materiil : 32 %

3) Penalaran logis dan runtut : 43 %

4) Pemenuhan aksiologis : 42,50%

• Kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas

hakim di Indonesia dalam memutus.

b. Temuan Peta Laporan Masyarakat terhadap Hakim

Laporan adalah pengaduan yang

disampaikan oleh Pelapor kepada Komisi Yudisial yang berisi dugaan pelanggaran KEPPH yang dilakukan oleh hakim, baik yang disampaikan secara lisan maupun tertulis. (Peraturan Komisi Yudisial No. 4 tahun 2012 tentang Tata Cara Penanganan Laporan Masyarakat).

• Berdasarkan data yang telah direkap

sepanjang tahun 2011 terdapat 1634 pengaduan yang masuk kepada KY. Dari total laporan tersebut diperoleh 84 jenis laporan yang dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim.

• Hampir sebagian besar laporan menyangkut

pada pelanggaran KEPPH yang dilakukan pada ranah Hukum Formil.

Contoh:

1) Memanipulasi fakta persidangan, hakim melarang JPU untuk menghadirikan alat bukti menentukan yang diajukan dalam sidang.

(48)

2) Hakim berpihak tidak mempertimbang-kan/mengabaikan keberatan-keberatan yang diajukan salah satu pihak, keberatan terhadap pelaksaan ulang pemeriksaan setempat pada tingkat Pengadilan Negeri.

3) Terdakwa anak dibawah umur, tidak

mendapatkan perlindungan khusus

dalam proses persidangan terkait dengan tekanan psikologis dari media massa dan masyarakat.

• Dari 84 jenis tersebut, hanya 13 diantaranya

yang murni menyangkut hukum materiil, seperti:

1) Tindak pidana 362, hakim memutuskan terdakwa tanpa mempertimbangkan semua unsur dakwan, dan tidak

memenuhi ketentuan penjatuhan

hukuman pidana pasal 183 KUHAP. 2) Hakim membatalkan Akte PPAT atas

dasar kesepakatan bersama yang tidak ada bukti aslinya.

• Sebagian pelanggaran pada ranah hukum

formil dilakukan pada saat persidangan, sementara sekitar 15% dilakukan pasca persidangan, misalnya:

1) Tidak memperhatikan keaslian bukti; 2) Keterangan saksi yang direkayasa;

3) Putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (tingkat kasasi tahun 1982) menurut

(49)

majelis hakim tidak jelas dan pelapor diminta untuk mengajukan permohonan eksekusi baru tanpa ditembuskan ke PT dan MA padahal perkara a quo justru dimasukkan dalam daftar yurisprudensi MA;

4) Format putusan tidak lengkap (misalnya tidak memenuhi unsur Pasal 197 ayat (1) KUHAP.

• Perspektif keliru masyarakat pada dalam

laporan terhadap dugaan Pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim:

1) Perlu ditegaskan bahwa Komisi Yudisial RI hanya menjadikan putusan sebagai “Pintu Masuk” untuk menelaah lebih lanjut adanya dugaan pelanggaran perilaku hakim, bukan melakukan penilaian benar atau salahnya suatu putusan.

2) Beberapa contoh pandangan dan

tuntutan yang keliru terhadap dugaan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim, antara lain:

• Tuntutan bagi Komisi Yudisial untuk

dapat merubah isi putusan;

• Mendasarkan dugaan pelanggaran

KEPPH hanya pada amar putusan yang tidak adil;

• Menjadikan mekanisme laporan

(50)

peradilan ke-dua diluar mekanisme hukum banding dan kasasi, dst. c. Data Pelanggaran KEPPH

Jenis pelanggaran perilaku sebelum dan setelah Surat Keputusan Bersama (SKB) terbit.

1) Sebelum SKB Terbit:

a) Tidak Profesional : 17

b) Tidak Berdisiplin Tinggi : 13

c) Melanggar Sikap Berperilaku Jujur : 54 d) Melanggar Sikap Berperilaku Adil : 5

2) Setelah SKB Terbit:

a) Tidak Berperilaku Adil : 19

b) Tidak Berperilaku Jujur : 26

c) Tidak Berperilaku Arif dan Bijaksana : 74

d) Tidak Bersikap Mandiri : 5

e) Tidak Bertintegritas Tinggi : 18

f) Tidak Bertanggung Jawab : 57

g) Tidak Menjunjung Tinggi Harga Diri : 68

h) Tidak Berdisiplin Tinggi : 59

i) Tidak Berperilaku Rendah Hati :

-j) Tidak Bersikap Profesional : 89

*catatan: satu orang hakim bisa melakukan lebih dari satu pelanggaran

Dilihat dari tingkat pengadilan terhadap 134 orang hakim direkomendasikan penjatuhan sanksi, sebanyak 119 orang hakim berasal dari pengadilan tingkat pertama (PN, PHI, PA, TIPIKOR dan

(51)

PTUN) dan 15 orang hakim berasal dari hakim tingkat banding (PT).

d. Data Laporan Masyarakat Untuk Hakim Tingkat Banding

• Jumlah Laporan untuk semua jenis peradilan

tahun 2005-2012 berjumlah 658

• Data 4 (empat) tahun terakhir adalah:

• Tahun 2009 : 73 Laporan

• Tahun 2010 : 110 Laporan

• Tahun 2011 : 117 Laporan

• Tahun 2012 : 76 Laporan

• Dari jumlah laporan tersebut, kode etik butir 8

dan butir 10 termasuk yang banyak dilaporkan. Kedua butir tersebut penerapannya telah di uji materil oleh Mahkamah Agung. Pada sisi lain pada tanggal 4 Oktober 2012 telah ditandatangani Peraturan Bersama MA dan KY tentang Pedoman Penegakan Kode Etik dan PPH, dimana dalam Peraturan Bersama tersebut telah diatur penyelesaian apabila terjadi pelanggaran terhadap butir 8 dan 10 tersebut.

(52)

D. Penjabaran Nilai Dasar Profesi

(53)

Tanya Jawab

Arwan Byrin Pertanyaan:

Perspektif masyarakat terhadap hakim adalah menerima dan memutus perkara, dalam perkara perdata pasti ada pihak yang dimenangkan dan dikalahkan, sedangkan dalam perkara pidana pasti ada hukuman pidana untuk orang yang melakukan tindak pidana. Dalam kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi, sering kali pihak yang kalah atau yang dikenai hukuman pidana merasa tidak senang dan tidak puas terhadap hakim, kemudian mereka kemana-mana, akibatnya informasi yang mereka laporkan (informasi yang miring) beredar di publik, sehingga membentuk opini publik yang cenderung miring. Bagaimana sikap hakim dalam hal ini dimana hakim telah berusaha tidak menyimpangi hukum acara?

Jawaban:

Mengenai yang pertama dari pak Arwan Byrin. Hukum acara tidak bisa diterobos, betul prinsipnya memang demikian, tapi dalam hal-hal tertentu jika tidak diterobos maka tidak memenuhi nilai kemanfaatan, prinsip hukum acara tidak bisa diterobos tapi ada pengecualiannya.

Hakim dilarang bersikap yang dapat menimbulkan kesan. Kesan tersebut sebaiknya dihindarkan, mutlak dan mau tidak mau. Kesan bukan dalam hati, tapi lebih kepada kulit luarnya, kesan bukan seperti hukum pidana yang “dalam hati”. Karena dalam perilaku yang dinilai adalah apa yang nampak, itulah yang dinilai oleh masyarakat. Untuk itu mau tidak mau harus seperti itu

(54)

“menjaga kesan”, jika ada laporan masyarakat berkaitan dengan kesan ini maka Komisi Yudisial tidak serta merta menjatuhkan sanksi karena tetap didahului dengan pemeriksaan oleh Komisi Yudisial.

Andriani Nurdin Pertanyaan:

Putusan hakim adalah harus dianggap benar, sekarang ini ada Undang-Undang Sistem Peradilan Anak, ingin tahu pendapat Bapak, dan sejauh mana aktivitas Komisi Yudisial sehubungan dengan adanya Undang-Undang istem Peradilan Anak. Masukan teman-teman hakim di Palangkaraya sering menjadi sorotan karena sering membebaskan perkara korupsi, mereka takut dipanggil Komisi Yudisial, jika sudah terbukti memang tidak ada pelanggaran maka tidak masalah dibebaskan (itu saran saya) tapi ada ketakutan akan dipanggil Komisi Yudisial, sehingga hakim menjadi tidak independen.

Jawaban:

Diperlukan kejernihan berpikir seorang hakim dalam memutus perkara, Komisi Yudisial tidak akan menyalah-nyalahkan seorang hakim jika memang tidak ditemukan pelanggaran Kode Etik yang dilakukan seorang hakim.

Kitajenda Ginting Pertanyaan:

Apabila kita lihat dari perkembangan, ada rintisan dari pihak ahli untuk menyusun Kode Etik sampai dengan terbentuknya Komisi Yudisial jika melihat sejarahnya objek pengawasan adalah sosok hakim, mengapa Komisi Yudisial tidak sedikitpun

(55)

mengajak IKAHI dalam menyusun Kode Etik ini. Tri Prasetya hakim dalam pertemuan hakim itu wajib begitu juga dengan menyanyikan mars IKAHI. Ibaratnya jika Komisi Yudisial adalah ibu kami, bapak kami Mahkamah Agung, maka IKAHI sebagai anak, mohon jangan ada silang sengketa. Cara pendekatan Komisi Yudisial pun kurang bagus, segala sesuatu disampaikan dengan pernyataan ke pers belum tentu benar apakah hakim melakukan pelanggaran, sedangkan korps IKAHI ini adalah korps yang diam, dimana hakim tidak bisa menceritakan pengetahuannya kepada siapapun termasuk kepada isterinya sekalipun, dimana letak IKAHI dalam penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim? jangan kami dipojokkan karena sebenarnya juga antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung belum sepakat tentang penegakan Kode Etik. Jadi mohon agar dalam menyampaikan pernyataan jangan terlalu cepat kecuali memang sudah benar-benar betul, namun jika ingin melakukan pembinaan mari bersama-sama IKAHI ini.

Jawaban:

Dalam praktiknya antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung lebih produktif. Produknya saat ini adalah telah dikeluarkannya 4 Surat Keputusan Bersama.

Tanggapan Pak Ginting , bagaimana mendidik anak (hakim) jika orang tuanya jauh dari anak.

Heri Sukemi Pertanyaan:

Tadi disampaikan tentang menjaga martabat profesi hakim dengan cakupan melindungi masyarakat pencari keadilan, maka bagaimana perlindungan bagi hakim itu sendiri, sementara banyak juga pelecehan-pelecehan terhadap hakim seperti demo,

(56)

anarkis yang bahkan mengancam (contemp of court), bagaimana Komisi Yudisial menyikapi ini?

Jawaban:

Sudah ada preseden tentang hakim yang dicemarkan namanya oleh LSM, Komisi Yudisial disini memberikan langkah-langkah yaitu dilakukan klarifikasi. Jadi jika ada hakim yang merasa dirugikan martabat dan kehormatannya sebagai hakim maka Komisi Yudisial akan memberikan perlindungan langkah-langkah hukum dan juga langkah-langkah-langkah-langkah lainnya;

(57)

TINDAK PIDANA KORUPSI

Prof. Dr. Surya Jaya, S.H., M.Hum.

SESI iI

(58)
(59)

Tindak Pidana Korupsi

Prof. Dr. Surya Jaya, S.H., M.Hum.

KETENTUAN TENTANG PENGADAAN

BARANG DAN JASA PEMERINTAH DAN

MATERI TENTANG BEBAN PEMBUKTIAN

TERBALIK DALAM PERKARA TINDAK

PIDANA PENCUCIAN UANG

P

emaparan dimulai dengan ketentuan Pengadaan Barang

dan Jasa Pemerintah. Selama 5-6 tahun menjadi Hakim Agung, perkara korupsi lebih didominasi dengan perkara Pengadaan Barang dan Jasa sebagai penyebab kebocoran APBD yang menimbulkan kerugian bagi negara.

Ketentuan-ketentuan sehubungan dengan Pengadaan Barang dan Jasa senantiasa mengalami perubahan, dalam kesempatan ini ketentuan tersebut akan diangkat kembali untuk memberikan pemahaman dan pengetahuan tentang ketentuan baik yang sejak dahulu ada maupun ketentuan yang berlaku saat ini, sehinggga peserta dapat mengikuti perkembangan ketentuan-ketentuannya terlebih dahulu.

Tujuan dari ketentuan tentang Pengadaan Barang dan Jasa adalah agar Pengadaan Barang dan Jasa dilakukan secara efektif, efisien, terbuka, bersaing, transparan, adil dan akuntabel.

(60)

Akan kita diskusikan terutama kasus Hambalang, dan secara umum kelemahan-kelemahan mendasar tentang penentuan siapa yang seharusnya bertanggungjawab.

Pihak-pihak yang terkait dengan Pengadaan Barang dan Jasa sudah mengadopsi ketentuan yang baru. Pengadaan Barang dan Jasa dari pihak pemerintah, untuk menerapkan kerangka pertanggungajawaban menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

• Pihak Pemerintah

• Pengguna Anggaran (PA);

• Kuasa Pengguna Anggaran (KPA);

• Pejabat Pembuat Komitmen (PPK);

• Pejabat Pengadaan (PP);

• Unit Layanan Pengadaan (ULP);

• Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP).

• Pihak Swasta

A. Penyedia Barang dan Jasa/Kontraktor

Dalam setiap kegiatan Pengadaan Barang dan Jasa, sebagian besar pelaku utamanya adalah PPK (Pejabat Pembuat Komitmen), PPK ini bisa menarik keatas dan menarik kebawah.

Nanti kita lihat bagaimana pertanggungjawaban masing-masing, ini yang perlu didiskusikan secara mendalam;

Siapa itu PPK? PPK ditetapkan oleh PA dan bisa juga ditetapkan oleh KPA, tapi dalam praktiknya karena untuk mengangkat PPK ada syarat yang ketat, salah satu yang terberat adalah sertifikasi keahlian, tidak dipedulikan persyaratan ini, berakibat pada orang yang diangkat tidak mempunyai

(61)

kompetensi keahlian yang diwujudkan melalui sertifikasi keahlian sehingga pekerjaan menjadi tidak berjalan, manakala tidak ada yang memiliki sertifikasi keahlian maka yang bertindak sebagai PPK adalah PA dan atau KPA karena dianggap PA-KPA sudah mampu, inilah jalan keluarnya.

PPK sebagai pemilik pekerjaan dan bertanggungjawab baik secara fisik, administrasi, finansial, atas penyelenggaraan Pengadaan Barang dan Jasa yang dilaksanakannya, pakai pasal 55-56 dalam penerapannya, biasanya jaksa menggunakan pasal ini.

Dalam hal ini yang seru karena BPK juga ikut menyebutkan nama dari hasil audit investigasi, dimana kewenangan BPK hanya menghitung kerugian negara, BPK hanya mampu sebatas menelusuri kemana aliran dana, makanya saya sering mengusulkan agar BPK menelusuri kemana aliran dana dengan menggandeng PPATK. Dimana dalam kasus seperti ini, informasi aliran dana sering terputus di Pengadilan Negeri, sementara jaksa juga tidak turut menelusuri. Mengapa sangat penting? Karena hasil tindak pidana korupsi yang kemudian dialihkan kepada pihak lain sudah masuk menjadi tindak pidana tersendiri.

Tidak benar adanya penggunaan istilah “yang dinikmati” cakupannya kecil sehingga menyulitkan, sebaiknya menggunakan istilah “yang diperoleh” karena cakupannya lebih luas.

Panitia lelang sering diseret oleh jaksa, karena melakukan lelang tidak sesuai Keputusan Presiden.

Ada yang baru adalah panitia pejabat/penerima hasil pekerjaan, dalam penerapannya karena banyak proyek yang diserahkan hanya sebagai formalitas, sehingga hakim dalam hal ini juga dapat menarik mereka, nanti kita lihat bagaimana dan kapan panitia ini bertanggungjawab.

(62)

Intinya: pahami apa yang menjadi tugas dan kewenangan dari jabatan-jabatan yang disebutkan tadi satu per satu, jadi bisa diukur apakah melawan hukum ataukah menyalahgunakan kekuasaana. Harus dijelaskan pelanggaran hukum apa yang dilakukan dan penyalahgunaan kewenangan apa yang dilanggar.

Putusan hakim harus ada ratio desidendi-nya yaitu: mengapa ditolak? mengapa dihukum? mengapa dilepaskan?

Ketika ada perbedaan pendapat yang prinsipil maka sudah siap karena sudah disertai dengan pertimbangannya, yaitu dimana letak penyalahgunaan hukum, penyalahgunaan wewenang.

Kemudian jika dari pihak swasta, pihak yang berkaitan yaitu: Kontraktor/Penyedia Barang Jasa.

Sehingga kita/hakim harus mampu membuat skema pertanggungjawabannya.

Menurut saya pribadi, BPK hanya berwenang menghitung berapa kerugian dan kemana aliran dananya.

Dalam Perjanjian Barang dan Jasa yang utama untuk disorot adalah PPK-nya terlebih dahulu.

Selain itu dalam setiap Pengadaan Barang dan Jasa perhatikan juga spesifikasi teknis, karena disini banyak permainan, terutama yang disebabkan karena adanya selisih.

Yang parah jika PA atau KPA-nya hanya menerima laporan saja, coba posisikan pasal 55-56 tadi.

Putusan yang baik adalah putusan yang memuat alasan-alasan penjatuhan pertimbangan dan hasil putusan;

(63)

B. Pembuktian Terbalik

• Menurut Pak Adnan pembuktian terbalik tidak boleh

digunakan, tapi saya membantahnya;

• KUHAP, yang harus membuktikan adalah jaksa;

• Dalam UU tipikor, pembuktian dibebankan pada

Terdakwa;

• Terlepas dari persoalan teoritik kita setuju atau tidak,

Undang-Undang kita sudah mengakomodasi sistem pembalikan beban pembuktian;

• Undang-Undang Tipikor Pasal 37 Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 à Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tipikor;

• Pembuktian terbalik hanya berlaku terhadap harta

hasil kejahatan, tentang perbuatan kesalahannya tidak termasuk sebagai jalan tengah perdebatan antara yang setuju dan tidak setuju;

• Pengaturan pembuktian terbalik dalam

Undang-Undang Tipikor, seolah-olah dalam Undang-Undang-Undang-Undang Tipikor menganut prinsip Presumption of Guilty;

• Pembuktian terbalik dilakukan pada saat pemeriksaan

di sidang pengadilan (Pasal 38 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001);

(64)
(65)

SOAL DARI NARASUMBER

Terdakwa didakwa melakukan korupsi 10 M, namun setelah ditelusuri oleh penyidik atau penuntut umum ternyata jumlah hartanya sebesar 50 M. Lalu bagaimana dengan yang 40 M? Apakah Bapak/Ibu akan meminta keterangan Terdakwa mengenai harta yang 40 M tersebut? Bagaimana sikap Bapak/ Ibu, apakah kita biarkan begitu atau kita bawa ke Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) atau bagaimana? Bagaimana menurut pendapat Bapak/Ibu.

JAWABAN PESERTA Hasby Junaidi Tolib

Bahwa yang menjadi dasar dari pemeriksaan di persidangan adalah dakwaan, oleh karena itu yang harus kita buktikan adalah dakwaannya, termasuk kerugian negara apakah benar 10 M. Kalau sudah terbukti yang dikorupsi dalam kasus tersebut 10 M sedangkan setelah ditelusuri oleh penyidik dan lain-lain ada harta 40 M lagi maka hal tersebut sudah bukan menjadi kewenangan dari pengadilan lagi.

Heri Sukemi

Berdasarkan Pasal 37 A ada kewajiban bagi Terdakwa untuk menjelaskan semua hartanya secara keseluruhan. Jadi menurut saya harus diperiksa secara keseluruhan. Perkara nanti yang merugikan negara hanya 10 M, maka konsekuensinya adalah yang 40 M dikembalikan, tapi wajib memberikan keterangan secara keseluruhan karena Pasal 37 A menyatakan demikian.

(66)

Alfred Pangala Batara Randa

Kalau saya sependapat bahwa dasar pemeriksaan di persidangan adalah dakwaan. Dan itu yang dianut sampai sekarang ini. Dan dari Mahkamah Agung belum ada kejelasan bahwa hakim yang ada di bawahnya supaya menggunakan Pasal 37 A, jadi hakim yang sekarang masih ragu-ragu bagaimana kalau menggunakan pasal tersebut namun ternyata salah. Jadi menurut saya prinsipnya pemeriksaan yang sampai sekarang ini masih menganggap hakim bahwa yang menjadi dasar dakwaan hanya 10 M, sedangkan yang 40 M dikembalikan kepada darimana barang itu disita. Kalau sudah ada kejelasan dari Mahkamah Agung bahwa hakim sudah harus menggunakan ketentuan dari Pasal 37 A maka kita akan menggunakannya. Sebab seperti yang tadi bapak narasumber katakan bahwa bukan hanya Buyung Nasution yang mengkritik tapi juga Indriyanto Seno Adji mengatakan bahwa di dunia dan akhirat tidak dilakukan pembuktian terbalik, hanya di Indonesia yang menggunakan pembuktian terbalik, itulah kritiknya. Jadi di sini memang masih terbelah, sehingga kalau memang dari Mahkamah Agung mengatakan bahwa konsekuen kita gunakan Pasal 37 A maka akan kita gunakan Pasal 37 A.

Putu Supadmi

Kalau saya pada prinsipnya sependapat bahwa dasar pemeriksaan di persidangan adalah dakwaan. Kalau mengenai Pasal 37 A, dari uraian pasalnya saya menafsirkan bahwa itu adalah ranah penyidikan, karena masih di duga. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa “kalau ada harta dari Terdakwa maupun keluarganya di duga mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang didakwakan kepada dia ....” maka saya pikir

(67)

hal tersebut adalah masih dalam ranah penyidikan, bukan dalam persidangan.

Muslich Bambang Luqmono

Pada dasarnya pemeriksaan sebuah perkara disamping pedoman dasarnya adalah dakwaan tapi kalau sudah menjadi milik publik dan terkemuka ke permukaaan maka hakim harus memberikan kejelasan di depan persidangan, apalagi kalau live TV one misalnya, rakyat butuh jawabannya. Dan yang penting adalah putusan membawa makna dan hakim harus memimpin sebuah peradaban. Itu kata kuncinya. Dan saya tidak sependapat bahwa dalam dunia akhirat tidak ada pembuktian terbalik. Yang saya yakini saya akan ditanya nanti di yaumul akhir, di akhirat nanti akan ada pembuktian terbalik.

Roki Panjaitan

Menurut pandangan saya kalau memang telah disita oleh penyidik meskipun itu tadi 10 M, hakim bisa memberikan kesempatan kepada Terdakwa untuk membuktikan dari mana asal-usulnya. Saya kaitkan dengan teknik pemeriksaan di persidangan, banyak hakim-hakim Pengadilan Negeri menanyakan bagaimana menerapkan beban pembuktian terbalik dalam perkara tindak pidana pencucian uang maupun tindak pidana korupsi. Saya katakan kepada hakim-hakim Pengadilan Negeri bahwa buat saja penetapan, memberikan kesempatan yang luas kepada Terdakwa untuk membuktikan darimana asal usul harta kekayaannya, semua harus ada dalam penetapan tersebut baik itu kesempatan mengajukan saksi maupun surat. Dan ini saya lihat belum pernah digunakan oleh hakim-hakim Pengadilan Negeri. Bagi saya, dalam satu perkara apabila tidak

(68)

jelas asal-usul uang ini, hakim bisa menerapkan uang tersebut dirampas untuk negara. Persoalannya adalah hakim harus memberikan kesempatan yang luas kepada Terdakwa untuk mengajukan segala bukti yang dimilikinya untuk menunjukkan bahwa uang itu adalah uang dia, tetapi hakim juga harus berpikir strategis melihat apa sebenarnya profil Terdakwa sehingga dia bisa memiliki uang sampai 50 M, apakah misalnya seorang pegawai kecamatan bisa memiliki uang sebanyak itu. Kalau ada hal seperti ini maka menurut saya harus di rampas untuk negara. Karena barang tidak bertuan pun bisa dirampas untuk negara. Jadi menurut saya, memang dasar dan arah suatu pemeriksaan di persidangan adalah surat dakwaan, tapi kita juga melihat apabila dikembalikan kepada jaksa untuk melakukan suatu proses terhadap yang 40 M maka bisa-bisa proses tersebut tidak jadi, sehingga harus dikembalikan kepada negara karena tidak jelas asal usulnya.

Sutardjo

Arah pemeriksaan majelis hakim adalah berpegang pada surat dakwaan jaksa. Akan tetapi apabila sudah diketemukan seperti tadi yaitu ditemukan lebih dari yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum (kelebihan 40 M) maka sebaiknya majelis hakim menginformasikan kepada penyidik bahwa ada hal yang demikian supaya ditindaklanjuti. Jadi ditulis dalam berita acara bahwa ada hal yang demikian supaya penyidik menindaklanjuti, jadi hakim tidak dapat melakukan penyitaan namun diperintahkan kepada penyidik dengan dimuat dalam berita acara persidangan supaya ditindaklanjuti.

(69)

Ternyata jawabannya ada di Pasal 38 B. Tadi saya keliru. Andriani Nurdin

Terhadap pendapat Pak Roki saya berpendapat bahwa tidak perlu penetapan, cukup dengan berita acara saja. Tapi saya juga sependapat bahwa kita harus berpegang pada dakwaan dan seorang Terdakwa harus mempunyai kesempatan yang luas untuk dapat membela diri, bukan dengan membuktikan secara tiba-tiba. Saya juga sependapat dengan Pak Sutardjo bahwa seharusnya penyidik melanjutkan hal tersebut termasuk tindak pidana apa. Jadi Terdakwa bisa mendapat kesempatan banyak untuk dan dalam Undang-Undang International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) bahwa seorang Terdakwa harus diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk melakukan defence, tidak boleh mendadak, mungkin luasnya itu tidak satu atau dua hari tapi seluas-luasnya. Jika secara tiba-tiba maka itu termasuk pelanggaran hak asasi manusia.

Hasby Junaidi Tolib

Dasar pemeriksaan di muka persidangan adalah dakwaan. Apabila dakwaannya 10 M maka tidak bisa kita periksa menjadi 20 M atau seterusnya. Permasalahannya adalah pembuktian oleh Jaksa untuk membuktikan yang 10 M. Terhadap yang 10 M ini juga berdasarkan Pasal 37 Terdakwa dapat menggunakan haknya untuk membuktikan bahwa harta 10 M tersebut bukan berasal dari tindak pidana korupsi. Sedangkan yang 40 M memang tidak didakwakan sehingga tidak perlu membela diri. Hal tersebut merupakan urusan Terdakwa dan kasus selanjutnya.

Tanggapan Narasumber (Prof. Surya Jaya)

(70)

bahwa dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dijelaskan secara tegas bahwa apabila seseorang melakukan korupsi seperti yang disebutkan dalam Pasal 2 dan seterusnya maka dia wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda yang belum didakwakan, tetapi diduga berasal dari tindak pidana. Dalam kasus tadi penyidik menyita barang Terdakwa sebesar 50 M, namun yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum hanya 10 M, sehingga ada harta 40 M yang belum didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Ketika ada persoalan seperti ini maka Terdakwa diwajibkan untuk menjelaskan apakah harta 40 M tersebut diperoleh dari sumber yang benar, sumber yang sah, sumber yang halal. Apabila Terdakwa tidak bisa membuktikan hal tersebut maka dalam Pasal 38 B ayat (2) secara tegas dijelaskan bahwa hakim berwenang untuk memutuskan seluruh atau sebagian harta tersebut dirampas untuk negara. Bapak/Ibu mempunyai wewenang untuk memutuskan dalam amar putusan Bapak/Ibu bahwa harta yang tidak didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum tersebut dirampas untuk negara.

TANYA JAWAB Anonym

Pertanyaan 1:

Apabila kita baca ayat 3 nya kewenangannya itu timbul apabila dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum

Jawaban 1:

Jadi ketika itu tidak didakwakan, ketika sudah akan diputus oleh pengadilan maka itu kemudian diajukan pada saat pembacaan tuntutan. Jadi tidak perlu didakwakan karena dakwaan tidak bisa dirubah lagi. Tetapi yang 40 M tersebut diajukan pada saat tuntutan. Jadi tidak ada perubahan dakwaan,

(71)

dalam Pasal ini tidak memungkinkan adanya perubahan dakwaan.

Pertanyaan 2:

Seandainya tidak dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum bagaimana?

Jawaban 2:

Jadi begini Pak, pada prinsipnya mekanismenya adalah apabila ada yang belum didakwakan, yang mana dalam kasus tersebut adalah harta yang 40 M tadi, maka pada saat hakim akan menjatuhkan putusan, Jaksa mengajukannya dalam requisitoir nya pada saat requisitoir. Ini jalan keluar yang diberikan Undang-Undang untuk mengatasi harta kekayaan yang diduga dari hasil tindak pidana korupsi namun tidak didakwakan. Jadi pada dasarnya harus diajukan di requisitoir meskipun tidak didakwakan.

Pertanyaan 3:

Berarti apabila tidak dituntut maka hakim tidak berwenang? Jawaban 3:

Ya, itu sudah jelas dalam Undang-Undang, harus dituntut. Andriani Nurdin

Pertanyaan:

Dalam Pasal 38 B jelas seperti yang tadi Bapak sampaikan, memang secara normatif semua ada di sini, tapi belum ada yang mengatakan bahwa ada kerugian negara lagi sebesar 40 M. Dalam tindak pidana korupsi intinya sebenarnya harus ada kerugian negara, lalu kerugian negara yang mana? Memang secara normatifnya saya pahami, tapi secara rasa keadilan hak asasi Terdakwa terlalu diabaikan.

Gambar

foto kegiatan

Referensi

Dokumen terkait

Terjadinya kasus membantu melakukan dalam tindak pidana ini bermula pada hari Kamis 18 September 2014 sekira pukul 23.30 WIB pada saat terdakwa Rengga Kinentaka bin

Sampel dipilih secara consecutive sampling dari semua orangtua pasien anak selain pasien anak dengan PJB yang datang ke pusat pelayanan kesehatan primer (Puskesmas

Pada jilid dua ini cara mengajarkannya yaitu dibaca langsung huruf hidup, tidak diurai; setelah guru menjelaskan pokok pelajaran murid baca sendiri; setiap

Ketika terjadi putusnya koneksi atau terjadi kerusakan pada primary router dan link, maka router secondary akan menjadi primary router dengan mnggunakan backup

Dari keterangan diatas dan untuk mewujud- kan sistem pengaturan sumber elektron maka sistem pengaturanya digunakan trafo variak yang dikopel dengan motor dc

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan pada recital 55-57, KPPI tidak menemukan adanya faktor lain yang berkontribusi terhadap adanya ancaman kerugian serius yang

Kegiatan Berburu Orang Rimba Kegiatan berburu merupakan kegiatan penting dalam kehidupan Orang Rimba karena hewan yang diburu dapat dimanfaatkan untuk. konsumsi,

Tujuan penelitian ini untuk: 1) Mengetahui pengaruh kualitas produk, harga, layanan dan promosi terhadap keputusan konsumen dalam membeli produk Sari Roti. 2)