4 I. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bakso
Menurut Nafly dkk, (2011) daging sering diolah untuk meningkatkan nilai ekonomis, masa simpan, dan selera konsumsi masyarakat melalui penganekaragaman produk seperti dendeng, abon, sosis, bakso. Bakso adalah produk daging yang banyak dikonsumsi dan merupakan bahan pangan yang sangat populer di kalangan masyarakat, sehingga konsumsi protein hewani melalui produk ini dapat meningkatkan gizi masyarakat. Bakso merupakan salah satu makanan tradisional Indonesia yang terbuat dari daging. Dihasilkan dengan mencampur daging, garam, bawangn, dan tepung tapioka menjadi adonan yang kemudian dibentuk menjadi bola-bola seukuran bola ping-pong sebelum dimasak dalam air mendidih (Purnomo dan Rahardiyan, 2008). Menurut Untoro dkk, (2012) bakso adalah produk makanan berbentuk bulat yang diperoleh dari campuran daging ternak dan pati atau serealia atau tanpa menambahkan bahan makanan lain serta bahan tambahan makanan yang diijinkan. Biasanya jenis bakso di masyarakat pada umunya diikuti dengan nama jenis bahan seperti bakso ayam, bakso ikan, dan bakso sapi atau bakso daging. Ditinjau dari aspek gizi, bakso merupakan makanan yang mempunyai kandungan protein hewani, mineral, dan vitamin yang tinggi (Wibowo, 2009).
Menurut Astawan (2004), kualitas bakso sangat ditentukan oleh kualitas daging, jenis tepung yang digunakan, perbandingan banyaknya daging dan tepung yang digunakan untuk membuat adonan, dan pemakaian jenis bahan tambahan yang digunakan, misalnya garam dan bumbu-bumbu juga berpengaruh terhadap kualitas bakso segar. Tabel 1akan menjelaskan tentang kriteria mutu bakso.
5 Tabel 1. Kriteria Mutu Sensori Bakso
Parameter Bakso Daging
Kenampakan Bentuk bulat halus atau kasar, berukuran seragam, berisi dan tidak kusam, tidak berjamur dan tidak berlendir.
Warna Coklat muda cerah atau sedikit agak kemerahan atau coklat muda hingga coklat muda agak keputihan atau abi-abu. Warna tersebar merata.
Bau Bau khas daging segar rebus dominan, tidak bau tengik, asam, basi, atau busuk,. Bau bumbu cukup tajam.
Rasa Rasa lezat, enak, rasa daging dominan dan rasa bumbu cukup menonjol tapi tidak berlebihan. Tidak terdapat rasa asing yang mengganggu.
Tekstur Tekstur kompak, elastis, kenyal tetapi tidak liat atau membal, tidak lembek, tidak basah berair, dan tidak rapuh.
Sumber : Wibowo, 2006
Penggunaan daging yang berkualitas tinggi dan tepung yang baik disertai dengan perbandingan tepung yang besar dan penggunaan bahan tambahan makanan yang aman serta cara pengolahan yang benar akan dihasilkan produk bakso yang berkualitas baik. Bakso yang berkualitas baik dapat dilihat dari tekstur, warna dan rasa. Teksturnya yang halus, kompak, kenyal dan empuk. Halus yaitu permukaan irisannya rata, seragam dan serat dagingnya tidak tampak (Astawan, 2004). Syarat mutu bakso sesuai SNI akan dijelaskan pada Tabel 2.
6 Tabel 2. SNI No. 01-3818-1995 Tentang Syarat Mutu Bakso
No Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan
1. Bau - Normal khas daging
2. Rasa - Gurih 3. Warna - Normal 4. Tekstur - Kenyal 2 Air %b/b Maks 70,0 3 Abu %b/b Maks 3,0 4 Protein %b/b Min 9,0 5 Lemak %b/b Maks 2,0
6 Boraks %b/b Tidak boleh ada
7 Bahan Tambahan Makanan Sesuai SNI 01-222-1997 dan revisinya 8 Cemaran Logam
1. Timbal (Pb) mg/kg Maks 2,0
2. Tembaga (Cu) mg/kg Maks 20,0
3. Seng (Zn) mg/kg Maks 40,0
4. Timah (Sn) mg/kg Maks 40,0
5. Raksa (Hg) mg/kg Maks 0,03
9 Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks 1,0 10 Cemaran Mikrobia
1. Angka Lempeng Total Koloni/g Maks 1 x 105 2. Bakteri Bentuk Coli APM/g Maks 10
3. Escherichia coli APM/g <3
4. Enterococci Koloni/g Maks 1 x 103
5. Clostridium perfingens Koloni/g Maks 1 x 102
6. Salmonella - Negative
7. Straphylococcus aureus Koloni/g Maks 1 x 102
Sumber : BSN, 1995
2.2 Ubi Talas Bentul (Colocasia esculenta (L.) Schott)
Ubi-ubian merupakan pangan yang dapat memberi anyak sumber karbohidrat. Banyak varietas ubi-ubian yang mudah diperoleh, seperti ubi jalar, ubi kayu, atau singkong, ubi bentul, dan ubi gayong. Saat ini tingkat penggunaan bahan-bahan hasil pertanian selain padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar masih tergolong rendah. Penggunaan selama ini hanya di rebus, di goreng, atau di bakar. Salah satu ubi-ubian yang tersedia melimpah namun belum dimanfaatkan secara optimal adalah ubi bentul (Colocasia escuelenta (L.) Schott). Jenis ubi bentul sebagai salah
7 satu jenis ubi-ubian yang dapat digunakan sebagai pengganti nasi karena mengandung serat dan protein yang cukup tinggi (Rosyida, 2011).
Di Indonesia, talas tersebar di seluruh kepulauan Indonesia mulai dari tepi pantai hingga pegunungan yang memiliki ketinggian 0 m hingga 2740 m dpl, baik yang tumbuh secara liar ataupun dibudidayakan. Menurut Nurbaya (2013), pada tahun 2011 melalui pelaksanaan kegiatan area pangan alternatif, jumlah produktivitas bentul dari beberapa daerah adalah 661 kwintal/hektar. Talas merupakan tanaman semusim atau sepanjang tahun dengan ketinggian 1 meter atau lebih. Masa panen umbi talas berkisar 6-18 bulan dan ditandai dengan adanya daun yang tampak menguning atau mengering. Talas dapat tumbuh baik di daerah tropis maupun subtropis. Suhu optimum untuk tumbuh adalah sekitar 21-27°C dengan curah hujan 1750 mm per tahun (Wahyudi, 2010).
Jenis talas yang biasa dibudidayakan di kedua kota tersebut adalah talas sutera, talas bentul, talas ketan dan talas mentega. Namun, yang sering ditanam adalah jenis talas bentul karena memiliki produktivitas tinggi serta memiliki rasa umbi yang enak, aroma yang khas dan pulen. Selain itu, kadar oksalat talas bentul juga tidak begitu tinggi jika dibandingkan talas jenis lainnya (Koeswara, 2014).
Klasifikasi ubi talas bentul dapat dilihat pada Gambar 1. Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Ordo : Alismatales Famili : Araceae Genus : Colocasia
8 Spesies : C. Esculenta
Nama Binominal : Colocasia esculenta (L.) Schott
Gambar 1. Jenis talas asal Bogor (Koeswara, 2014)
Ubi talas juga berpotensi sebagai sumber gizi yang tinggi. Komponen makronutrien dan mikronutrien yang terkandung dalam ubi talas meliputi protein, karbohidrat, lemak, serat kasar, fosfor, kalsium, besi, tiamin, riboflavin, niasin dan vitamin C (Niba, 2003 dalam Ariyanti, 2014). Menurut Harijono (2012), hal yang menarik dari kelompok discorea adalah selain komponen yang berperan dalam bahan pangan adalah mengandung senyawa bioaktif atau senyawa fungsional. Hasil dari penelitian yang telah ada dari keluarga Discorea yang lain Discorea alata, Discorea batatas, Discorea bulbifera, Discorea opposita, menunjukkan bahwa keluarga Discorea mengandung senyawa bioaktif berupa dioscorin, diosgeni, dan polisakarida larut air.
Polisakarida Larut Air (PLA), merupakan serat angan larut air yang didefinisikan sebagai komponen dalam tanaman yang tidak terdegradasi secara enzimatis menjadi sub-unit yang dapat diserap oleh lambung dan usus halus. PLA banyak sekali dimanfaatkan dalam industri makanan guna mencapai kualitas yang diharapkan, dalam hal viskositas, stabilitas, tekstur, dan penampilan. Menurut Herlina (2014), PLA merupakan serat pangan larut air bersifat hidrokoloid. Bahan yang bersifat hidrokoloid banyak digunakan oleh industri pangan sebagai bahan
9 tambahan makanan (food addictive) yang berfungsi sebagai bahan pengikat air (water blinding), pengental (thickener), suspending agent, stabilizer, meningkatkan “mouth feel” dari berbagai macam bahan pangan, serta mempunyai potensi bioaktif sebagai penurun kadar kolesterol darah (hipokolesterolemik) dan memperbaiki profil lipid (hipolipidemik).
Kandungan mineral umbi talas juga lebih tinggi jika dibandingkan umbi lain seperti ubi kayu dan ubi jalar. Komposisi kimia tersebut tergantung pada beberapa faktor diantaranya jenis varietas, usia, tingkat kematangan umbi, iklim dan kesuburan tanah. Nilai lebih dari talas adalah kemudahan patinya untuk dicerna. Hal ini disebabkan karena ukuran granula pati yang relatif kecil dan patinya banyak mengandung amilosa dalam jumlah yang cukup banyak (20-25%). Selain itu, talas juga bebas dari gluten sehingga pangan olahan dari talas dapat dijadikan sebagai diet individu yang memiliki alergi terhadap gluten (Koeswara,2014). Kandungan gizi talas dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kandungan Gizi Talas dalam 100 g
Kandungan Gizi Talas mentah Talas rebus Talas kukus
Energi (kal) 98,00 - 120,00 Protein (g) 1,90 1,17 1,50 Lemak (g) 0,20 0,31 0,30 Karbohidrat (g) 23,70 29,31 28,20 Kalsium (mg) 28,00 - 31,00 Fosfor (mg) 61,00 - 63,00 Besi (mg) 1,00 - 0,70 Vitamin A (mg) 3,00 - - Vitamin C (mg) 4,00 - 2,00 Vitamin B1 (mg) 0,13 - 0,05 Air (g) 73,00 61,00 69,20
Bagian yang dimakan 85,00 - 85,00
10 2.3 Tepung Ubi Talas
Talas dengan kadar pati tinggi bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku gula cair. Talas terdiri dari banyak jenis dan warna daging ubinya bervariasi, yaitu putih, kuning muda, kuning oranye, merah, coklat, ungu, dan lainnya. Pengolahan untuk memperpanjang umur simpan, talas dapat dibuat menjadi tepung. Talas memiliki potensi untuk dapat digunakan sebagai bahan baku tepung-tepungan karena memiliki kandungan pati yang tinggi, yaitu sekitar 70-80% rendemen. Rendemen yang bisa didapatkan juga cukup tinggi, yaitu mencapai 28,7% (Syarif dan Estiasih, 2013).
Tepung talas bentul mengandung unsur yang diperlukan oleh bahan pengisi yaitu pati. Pati mempunyai kemampuan dalam menyerap air dan mempertahankannya selama proses pengolahan berlangsung, karena granula pati akan mengembang ketika dipanaskan dan daya tarik-menarik antar granula pati dalam granula akan menurun sehingga air akan masuk ke dalam granula pati tidak bergerak lagi. Proses ini disebut juga gelatinisasi yaitu mengembangnya granula pati dan tidak dapat kembali lagi ke bentuk semula (Winarno, 2004).
Gelatinisasi merupakan fenomena pembentukkan gel yang diawali dengan pembengkakan granula pati akibat penyerapan air. Bila pati mentah dimasukkan ke dalam air dingin, granula pati akan menyerap air dan mulai membengkak namun terbatas, sekitar 30% dari berat tepung. Proses pemnasan adonan tepung akan menyebabkan granula semakin membengkak karena penyerapan air semakin banyak. Selanjutnya pengembangan granula pati disebabkan juga masuknya air ke dalam granula dan terperangkap pada susunan molekul-molekul penyusun pati (Winarno, 2004).
11 Umbi talas dapat diolah menjadi tepung talas. Tepung umbi talas ini dapat dimanfaatkan lebih lanjut sebagai bahan baku industri makanan seperti biskuit, cake, kripik, dll. Tepung talas digunakan sebagai bahan pengisi untuk mensubtitusi tepung tapioka pada pembuatan bakso ayam yang dapat memperbaiki tekstur, menurunkan penyusutan akibat pemasakan, meningkatkan daya ikat air dan memperpanjang daya simpan. Tepung umbi talas dapat menghasilkan produk yang lebih awet karena daya mengikat airnya yang tinggi. Tepung umbi talas mengandung gizi yang cukup tinggi dibandingkan dengan umbi – umbi yang lainnya. Kandungan kalsium (Ca) dan posfor (P) dari tepung umbi talas cukup tinggi dan lebih tinggi dibandingkan beras (Richana, 2012).
2.4 Bahan Baku Pembuatan Bakso Goreng 2.3.1 Daging Ayam
Daging ayam yang biasa di konsumsi di Indonesia adalah ayam pedaging (broiler) dan ayam kampung. Setiap orang punya pilihannya masing-masing dengan alasan yang berbeda misalnya karena ayam broiler lebih cepat empuk daripada ayam kampung atau karena ayam kampung memiliki kandungan lemak yang lebih sedikit daripada ayam broiler (Dewi Windiani dkk., 2014). Menurut Dewi Windiani dkk. (2014) bila dilihat dari kandungan gizinya, daging ayam broiler dan daging ayam kampung memiliki kandungan protein yang sama besar, sekitar 37gram/100gram bahan. Namun, perbedaan ada pada kandungan lemak yang pada ayam kampung hanya 9gram/100gram bahan sedangkan ayam broiler 15gram/100gram. Selain itu, energi yang dihasilkan dari 100gram ayam kampung lebih rendah sekitar 246 kcal sedangkan yang dihasilkan ayam broiler sekitar 295 kcal. Kandungan gizi ayam broiler dapat dilihat pada Tabel 4.
12 Menurut Purba dkk, (2006) mutu dari daging pada umunya ditentukan oleh : 1. Kelezatan bahan (palatability) yang terdiri dari keempukan (tenderness),
berair (juiceness), warna, aroma, dan cita rasa.
2. Sifat fisik bahan yang terdiri dari kekenyalan (resilience), kekukuhan (firmness), pengikatan (binding), dan kekerasan (grainness).
3. Kandungan nutrisinya berupa air, protein, lemak, dan mineral serta vitamin. 4. Kandungan mikroba.
Tabel 4. Kandungan Gizi Pada 100gram Ayam
Komposisi Ayam Energi 302 kkal Protein 18,2 gr Lemak 25 gr Kalsium 14 mg Fosfor 200 mg Zat Besi 2 mg Vitamin A 810 IU Vitamin B1 0,08 mg Vitamin C 0 mg
Sumber : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2010.
Selain kaya protein, daging juga mengandung energi yang ditentukan oleh kandungan lemak intraselulardi dalam serabut-serabut otot. Daging juga mengandungkolesterol, walaupun dalam jumlah yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan bagian jeroan maupun otak. Kolesterol memgang peranan penting dalam fungsi organ tubuh. Kolesterol juga berguna dalam menyusun jaringan otak, serat syaraf, hati, ginjal d, dan kelenjar adrenalin. Daging ayam juga merupakan sumber vitamin dan mineral yang sangat baik. Daging ayam merupakan sumber mineral seperti kalsium, fosfor, dan zat bezi serta vitamin B kompleks tetapi rendah vitamin C (Murtidjo, 2003).
13 2.3.2 Tepung Tapioka
Kualitas bakso ditentukan oleh bahan baku serta tepung yang digunakan dan perbandingannya di dalam adonan. Sedangkan faktor lain yang mempengaruhi kualitas bakso diantaranya adalah bahan-bahan tambahan yang digunakan serta cara memasaknya (Daniati, 2005). Menurut Suprapti (2003), tepung tapioka dapat berfungsi sebagai bahan perekat dan bahan pengisi adonan bakso, dengan demikian jumlah bakso yang dihasilkan lebih banyak. Bahan pengisi yang dimaksud untuk meningkatkan kapasitas air, memperbaiki tekstur dan meningkatkan nilai ekonomi serta sebagai bahan pengisi karena sifatnya dapat membentuk gel bila dipanaskan. Pada saat pemanasan protein daging mengalami pengerutan dan molekul-molekul pati mengisi rongga- rongga diantar benang-benang protein dan granula pati apabila dimasukkan kedalam air dingin akan menyerap air dan membengkak.
Tepung tapioka mengandung kadar amilosa sebesar 17% dan amilopektin sebesar 83% . Amilosa memberikan sifat keras dan berperan dalam pembentukan gel dan amilopektin memberikan sifat lengket dan membentuk sifat viskoelastis (Harijono dkk, 2012). Menurut Putri (2009) bahan pengisi yang ditambahkan ke dalam adonan bakso maskimal sebanyak 50%. Kandungan nutrisi lain pada tepung tapioka dapat dilihat pada Tabel 5.
14 Tabel 5. Kandungan Nutrisi Pada Tepung Tapioka
Komposisi Jumlah Kalori (per 100 g) 363 Karbohidrat (%) 88,2 Kadar air (%) 9,0 Lemak (%) 0,5 Protein (%) 1,1 Ca (mg/100 g) 8,4 P (mg/100 g) 125 Fe (mg/100 g) 1,0 Vitamin B1 (mg/100 g) 0,4 Vitamin C (mg/100 g) 0 Sumber : Soemarno (2007) 2.3.3 Bumbu-bumbu
Bumbu yang digunakan pada pembuatan bakso terdiri dari garam dapur halus, penyedap, merica, dan bawang putih. Bawang putih mengandung senyawa allicin. Senyawa allicin pada bawang putih ini merupakan penyebab timbulnya bau yang sangat tajam (Wirakusumah, 2000). Garam dapur yang digunakan biasanya 2,5% dari berat daging, sedangkan bumbu penyedap sekitar 2% dari berat daging (Wibowo, 2006). Bumbu mempunyai pengaruh pengawetan terhadap produk daging olahan karena pada umunya bumbu mengandung zat yang bersifat bakteristatik dan sntioksidan (Soeparno, 2009).
2.3.4 Es Batu atau Air Es
Bahan penting lainnya dalam pembuatan bakso adalah es atau air es. Esa yang digunakan sebaiknya berupa es batu. Bahan ini berfungsi membantu pembentukan adonan dan membantu memperbaiki tekstur bakso. Penggunaan es berfungsi meningkatkan air es ke dalam adonan kering selama pembentukan adonan maupun selama perebusan, dengan adanya es, suhu dapat dipertahankan tetap rendah sehingga protein daging tidak terdenaturasi akibat gerakan mesin penggiling dan ekstraksi protein berkalan dengan baik. Untuk itu, dalam adonan bakso, dapat
15 ditambahkan es sebanyak 15-20% atau bahkan 30% dari berat daging (Wibowo, 2006). Es batu dicampur pada saat penggilingan. Hal ini dimaksudkan agar selama penggilingan daya elastisitas daging tetpa terjaga sehingga bakso yang dihasilkan akan lebih kenyal (Widyaningsih dan Murtini, 2006). Menurut Wibowo (2013), air es ditambahkan ke dalam adonan bakso dengan tujuan untuk menurunkan panas produk adonan. Selain itu air es juga berfungsi untuk melarutkan bahan-bahan dan bumbu serta mendistribusikan secara merata bahan tersebut dengan daging. Air es juga berfungsi dalam pembentukan emulsi, dan mempermudah ekstraksi protein. 2.3.5 STPP (sodium tripoliphospat)
Menurut Widyaningsih dan Murtini (2006), BTP adalah bahan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan dalam jumlah kecil dengan tujuan untuk memperbaiki penampakan, cita rasa, tekstur, dan memperpanjang daya simpan. Selain itu juga meningkatkan nilai gizi seperti protein, mineral, dan vitamin. STTP atau sodium tripoliphospat (Na5P3O10) merupakan bahan tambahan
pengan yang sering digunakan dalam proses pembuatan bakso untuk mengenyalkan bakso (Ulupi dkk., 2005). STTP merupakan produk sintesis yang memiliki pembatas (self limiting), karena STTP akan memiliki rasa pahit pada konsentrasi tertentu sehingga penggunaan umumnya berkisar antara 0,3-0,5% (Ranken, 2000). Menurut Ulupi dkk. (2005), STTP dapat menurunkan penyusutan makanan, meningkatkan daya mengikat air, dan bersifat sebagai antioksidan.
2.5 Proses Pembuatan Tepung Ubi Talas Bentul
Menurut Lingga (2004) bahwa proses pembuatan tepung dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung jenis ubi-ubian itu sendiri. Proses pembuatan tepung ubi talas diawali dengan pencucian dan pengupasan ubi segar, yang
16 kemudian di iris. Pengirisan dimaksudkan untuk mempercepat proses pengeringan. Setelah itu dilakukan perendaman dengan air. Perendaman juga merupakan proses pencucian karena secara tidak langsung mempunyai efek membersihkan. Kemudian dilakukan pengeringan pada suhu sekitar 50-60℃ yaitu pada saat kadar air mencapai 12%. Pengeringan dilakukan selama 6 jam dan biasanya ubi yang dikeringkan tersebut dibolak-balik agar keringnya merata. Hasil dari pengeringan adalah berupa keripik talas yang kemudian digiling untuk menghasilkan talas yang seragam dilakukan pengayakkan.
2.6 Proses Pembuatan Bakso Goreng
Menurut Putri (2009), proses pembuatan bakso terdiri dari beberapa tahapan, yaitu penghancuran daging, pembuatan dan pencampuran adonan, pencetakan bakso dan pemasakan bakso. Penghancuran daging memiliki tujuan untuk memperluas permukaan daging sehingga protein larut garam dapat ditarik keluar yang kemudian akan menyebabkan perubahan jaringan lunak pada daging menjadi mikropartikel. Adonan bakso dibuat dengan cara daging yang telah dihancurkan dicampur dengan garam dan bumbu secukupnya kemudian ditambahkan dengan tepung, pati, atau tapioka, sedikit demi sedikit sambil diaduk dan dilumatkan hingga homogen (Yunarni, 2012). Proses pembuatan adonan bakso memerlukan air es atau air dingin sebanyak ± 20-30% dari berat adonan dengan tujuan untuk membentuk emulsi yang baik dan mencegah kenaikan suhu akibat gesekan. Selain itu, es berfungsi untuk mempertahankan adonan agar tidak kering dan rendemennya tinggi (Widayat, 2011).
Menurut Yunarni (2012), proses pencetakan bakso dapat dilakukan dengan tangan dengan cara meremas-remas adonan di tangan kemudian menekannya ke
17 tengah-tengah jari antara ibu jari dan jari telunjuk kemudian adonan yang keluar diambil dengan menggunakan sendok. Pemasakan bakso harus memperhatikan suhu, hal ini berkaitan dengan proses denaturasi protein pada bakso sehingga terbentuk gel. Proses pembentukan gel akan terjadi dalam keadaan garam 0,6 M, pH 6, dan suhu 65℃. Proses pemasakan dilakukan dengan menggunakan air mendidih atau menggunakan uap panas pada suhu 85-90℃ (Yunarni, 2012). Setelah itu digoreng hingga matang.