• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan dan Perdesaan Kabupaten Sidoarjo Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisa Pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan dan Perdesaan Kabupaten Sidoarjo Tahun 2014"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ANALISA PELAKSANAAN PNPM MANDIRI PERDESAAN DAN

PERKOTAAN KABUPATEN SIDOARJO

TAHUN 2014

© 2014

PEMERINTAH KABUPATEN SIDOARJO

Diterbitkan Oleh :

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)

Kabupaten Sidoarjo

Penanggung Jawab :

Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Kemasyarakatan

(3)

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, pada akhirnya Analisa Pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan dan Perkotaan Kabupaten Sidoarjo Tahun 2014 ini dapat terselesaikan. Penyusunan dokumen ini bertujuan untuk mengetahui proses penyusunan rencana PNPM Mandiri Perdesaan dan Perkotaan di Kabupaten Sidoarjo dalam kaitannya dengan perencanaan pembangunan desa/kelurahan. Kegiatan ini juga bertujuan untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan dan Perkotaan di Kabupaten Sidoarjo serta mengetahui efektifitas anggaran pendampingan yang diperuntukkan bagi PNPM Mandiri Perdesaan dan Perkotaan Kabupaten Sidoarjo.

Secara umum ruang lingkup penyusunan Analisa Pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan dan Perkotaan Kabupaten Sidoarjo ini adalah mengidentifikasi pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan dan PNPM Mandiri Perkotaan di Kabupaten Sidoarjo. Terdapat tiga substansi pokok yang dibahas dalam kajian ini yaitu terkait dengan perencanaan, pemberdayaan dan penganggaran.

Ucapan terima kasih tidak lupa kami sampaikan kepada semua pihak yang terlibat dan telah banyak memberikan sumbangan pemikiran, data-data maupun informasi yang berkaitan dengan penyusunan Laporan Akhir Analisa Pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan dan Perkotaan Kabupaten Sidoarjo ini. Masukan dan saran tentunya sangat diharapkan demi penyempurnaan dokumen ini, karena kami sangat menyadari bahwa tentunya masih banyak hal yang perlu disempurnakan.

Akhirnya, kami berharap Analisa Pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan dan Perkotaan Kabupaten Sidoarjo ini dapat memberikan manfaat terutama bagi Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dan semua pihak yang terkait dengan pengatasan kemiskinan di Kabupaten Sidoarjo. Harapannya kualitas program dan kegiatan yang terkait dengan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Sidoarjo dapat lebih baik lagi.

Sidoarjo, Nopember 2014 KEPALA BAPPEDA KABUPATEN SIDOARJO

Ir. SULAKSONO

Pembina Utama Muda NIP. 19620129 198903 1 005

(4)

Daftar Isi

Daftar Isi ... i

Daftar Tabel ... iii

Daftar Grafik ... iv

Daftar Gambar ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.2 Maksud dan Tujuan ... 4

1.3 Hasil Yang Diharapkan ... 4

1.4 Ruang Lingkup ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Kemiskinan ... 6

2.1.1 Konsep Kemiskinan ... 6

2.1.2 Data Kemiskinan Makro dan Mikro ... 7

2.1.2.1 Data Makro ... 7

2.1.2.2 Data Mikro ... 10

2.1.3 Program Penanggulangan Kemiskinan ... 14

2.2 Partisipasi Masyarakat ... 16

2.2.1 Konsep Partisipasi ... 16

2.2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi ... 18

2.3 Pemberdayaan Masyarakat ... 19

2.3.1 Konsep Pemberdayaan Masyarakat ... 19

2.3.2 Tujuan dan Strategi Pemberdayaan ... 20

2.4 Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri ... 23

2.4.1 Pengertian PNPM Mandiri ... 24

2.4.2 Tujuan PNPM Mandiri ... 24

2.4.3 Strategi PNPM Mandiri ... 25

2.4.4 Prinsip Dasar PNPM Mandiri ... 26

2.4.5 Pendekatan PNPM Mandiri ... 27

BAB III METODE PENELITIAN ... 28

(5)

3.2 Sumber Data ... 28

3.4 Metode Analisis ... 28

3.5 Lokasi ... 29

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN SIDOARJO ... 30

4.1 Kedudukan dan Wilayah Administratif ... 30

4.2 Klimatologi dan Topografi ... 31

4.3 Penggunaan Lahan ... 32

4.4 Demografi ... 33

4.4.1 Jumlah Penduduk ... 33

4.4.2 Tingkat Pendidikan Penduduk ... 38

4.4.3 Mata Pencaharian Penduduk ... 39

4.5 Kondisi Makro Ekonomi ... 40

4.6 Kondisi Umum Kemiskinan di Kabupaten Sidoarjo ... 42

BAB V PENGELOLAAN PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PNPM) MANDIRI ... 55

5.1 Persiapan ... 55

5.2 Perencanaan Partisipatif ... 55

5.2.1 Perencanaan Partisipatif di Desa/Kelurahan ... 55

5.2.2 Perencanaan Partisipatif di Kecamatan... 57

5.2.3 Perencanaan Koordinatif di Kabupaten/Kota ... 57

5.3 Pelaksanaan Kegiatan ... 58

5.4 Monitoring ... 61

5.5 Evaluasi... 62

5.6 Pelaporan ... 63

5.7 Sosialisasi ... 63

BAB VI ANALISA PELAKSANAAN PNPM MANDIRI PERDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SIDOARJO ... 64

6.1 Integrasi Perencanaan PNPM Mandiri Perdesaan dan Perkotaan Dengan Perencanaan Pembangunan Desa di Kabupaten Sidoarjo ... 72

6.2 Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan dan Perkotaan di Kabupaten Sidoarjo ... 79

6.3 Efektifitas Pendampingan PNPM Mandiri Perdesaan dan Perkotaan Kabupaten Sidoarjo ... 87

(6)

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 95

7.1 Kesimpulan ... 95

7.2 Rekomendasi ... 99

(7)

Daftar Tabel

Tabel 4.1 Pembagian Wilayah Administrasi dan Luas Tiap Kecamatan

di Kabupaten Sidoarjo ... 31 Tabel 4.2 Penggunaan Tanah Menurut Kecamatan Tahun 2013 ... 33 Tabel 4.3 Luas Wilayah (Km²) dan Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan

Hasil Sensus Penduduk Tahun 1980, 1990, 2000 dan 2010 ... 34 Tabel 4.4 Penduduk per Kecamatan Menurut Tingkat Pendidikan

Tahun 2013 ... 39 Tabel 4.5 Penduduk Menurut Mata Pencaharian dan Kecamatan

di Kabupaten Sidoarjo Tahun 2013 ... 40 Tabel 4.6 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Sidoarjo

Tahun 2011-2013 ... 41 Tabel 4.7 Jumlah RTS dan Anggota RTS Hasil PPLS-2011

Per Kecamatan di Kabupaten Sidoarjo ... 43 Tabel 6.1 Alokasi Dana Kabupaten Sidoarjo Tahun 2007-2014 ... 56 Tabel 6.2 Alokasi Dana BLM per Kecamatan Lokasi PNPM Mandiri

Perdesaan Kabupaten Sidoarjo Tahun 2007-2014 ... 56 Tabel 6.3 Realisasi Penyerapan Dana BLM Kabupaten Sidoarjo

Tahun 2007-2013 ... 57 Tabel 6.4 Alokasi Dana BLM per Kecamatan Lokasi PNPM Mandiri

Perdesaan Kabupaten Sidoarjo Tahun 2014 ... 58 Tabel 6.5 Realisasi Penyerapan Dana BLM Kabupaten Sidoarjo Tahun 2014 ... 58 Tabel 6.6 Biaya Pembangunan Sarana Prasarana Lingkungan

di Kabupaten Sidoarjo Tahun 2013 ... 59 Tabel 6.7 Rincian Biaya Pembangunan Sarpras Lingkungan

di Kabupaten Sidoarjo Berdasarkan Sumber Pembiayaan

Tahun 2013 ... 59 Tabel 6.8 Informasi Statistik Pinjaman Bergulir di Kabupaten Sidoarjo

Tahun 2014 ... 60 Tabel 6.9 Kegiatan Pendampingan PNPM Mandiri Perdesaan dan

(8)

Daftar Grafik

Grafik 4.1 Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Sidoarjo

Tahun 1980 – 2010 ... 34 Grafik 4.2 Penduduk Kabupaten Sidoarjo Hasil Sensus Penduduk 2010

per Kecamatan Berdasarkan Jenis Kelamin ... 35 Grafik 4.3 Perkembangan Penduduk Kabupaten Sidoarjo Tahun 2009–2013

Hasil Registrasi Penduduk ... 36 Grafik 4.4 Penduduk Kabupaten Sidoarjo Hasil Registrasi Penduduk

Tahun 2013 Per Kecamatan Berdasarkan Jenis Kelamin ... 36 Grafik 4.5 Komposisi Penduduk Kabupaten Sidoarjo Menurut Umur

Tahun 2013 ... 37 Grafik 4.6 Perbandingan Tingkat Pendidikan Penduduk Kabupaten Sidoarjo

Tahun 2013 ... 38 Grafik 4.7 Perkembangan Angka Kemiskinan di Kabupaten Sidoarjo

Tahun 2006-2013 .. ... 43 Grafik 4.8 Perkembangan Angka Kemiskinan di Kabupaten Sidoarjo

Terhadap Nasional Dan Provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2012 ... 44 Grafik 4.9 Posisi Relatif Angka Kemiskinan Di Kabupaten Sidoarjo

Terhadap Nasional Dan Provinsi Jawa Timur Tahun 2012 ... 44 Grafik 4.10 Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)

Kabupaten Sidoarjo Terhadap Provinsi Jawa Timur

Tahun 2003-2011 ... 45 Grafik 4.11 Perkembangan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)

(9)

Daftar Gambar

Gambar 4.1 Peta Administratif Kabupaten Sidoarjo ... 30 Gambar 6.1 Mekanisme Penyelenggaraan Musrenbang Dalam Rangka

Penyusunan RKP dan RKPD ... 61 Gambar 6.2 Struktur Kelembagaan PNPM Mandiri... 62 Gambar 6.3 Alur Tahapan Pengintegrasian Perencanaan PNPM Mandiri

Perdesaan dan Perkotaan Tahun 2011-2014 ... 63 Gambar 6.4 Titik Temu Integrasi Perencanaan PNPM Mandiri Perdesaan

dan Perkotaan Dengan Perencanaan Pembangunan ... 64 Gambar 6.5 Skema Perencanaan Pembangunan Integratif ... 64

(10)
(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu persoalan klasik bangsa Indonesia adalah kemiskinan, hampir semua wilayah di Indonesia memiliki penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Permasalahan kemiskinan menjadi masalah yang berkepanjangan karena kemiskinan memiliki kompleksitas tersendiri tetapi dalam penanganannya selama ini masih cenderung parsial dan tidak berkelanjutan. Kemiskinan dengan segala kompleksitas yang ada, dalam penanganannya memerlukan intervensi dan koordinasi semua pihak secara bersama-sama agar lebih efektif.

Menyadari pentingnya efektifitas penanganan kemiskinan dan juga penciptaan lapangan kerja, maka pada tahun 2007 pemerintah meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang merupakan program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat. PNPM Mandiri menjadi salah satu instrumen utama percepatan penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja dalam mencapai target Millenium Development Goals (MDGs). PNPM Mandiri memberikan bantuan kepada masyarakat termiskin, utamanya kelompok marginal agar berdaya dan mandiri.

Tepatnya pada tanggal 30 April 2007 di Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah, Presiden Republik Indonesia meluncurkan PNPM Mandiri yang terdiri dari PNPM Mandiri Perdesaan dan PNPM Mandiri Perkotaan. PNPM Mandiri Perdesaan merupakan penyempurnaan dari Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang dikelola oleh Ditjen PMD Departemen Dalam Negeri. Adapun PNPM Mandiri Perkotaan merupakan penyempurnaan dari Program Pengentasan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang dikelola oleh Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum. PNPM Mandiri pada saat itu dilaksanakan di 2.800 lokasi kecamatan pada wilayah perdesaan dan perkotaan seluruh Indonesia.

Dalam perjalanannya, PNPM Mandiri mengalami penambahan program-program yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Pada tahun 2008, selain PNPM Mandiri Perdesaan dan PNPM Mandiri Perkotaan juga terdapat beberapa program lainnya yaitu :

(12)

1. PNPM-P2DTK (Program Pembangunan Daerah Khusus dan Tertinggal) yang dikelola oleh Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dan menggunakan dana pinjaman dari Bank Dunia;

2. PNPM-PPIP (Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan) yang dikelola oleh Ditjen. Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum dan menggunakan dan pinjaman dari ADB. Program ini pada tahun 2009 berubah menjadi RIS-PNPM (Rural Infrastructure Services);

3. PNPM-PISEW/RISE (Program Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah/Rural Infrastructure for Social and Economic Activities) yang dikelola oleh Ditjen. Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, Ditjen. Bina Pembangunan Daerah dan Bappenas dengan menggunakan pinjaman dari JICA/JBIC.

Kelima program dalam PNPM Mandiri ini merupakan program inti dalam arti program yang membangun sistem, proses dan prosedur serta wadah bagi pemberdayaan masyarakat di setiap desa.

Ruang lingkup kegiatan PNPM Mandiri pada dasarnya terbuka bagi semua kegiatan penanggulangan kemiskinan yang diusulkan dan disepakati masyarakat. Secara lebih terperinci kegiatan PNPM Mandiri meliputi :

a. Penyediaan dan perbaikan prasarana / sarana lingkungan permukiman, sosial dan ekonomi secara kegiatan padat karya;

b. Penyediaan sumberdaya keuangan melalui dana bergulir dan kredit mikro untuk mengembangkan kegiatan ekonomi masyarakat miskin. Perhatian yang lebih besar diberikan kepada kaum perempuan untuk memanfaatkan dana bergulir ini;

c. Kegiatan terkait peningkatan kualitas sumber daya manusia, terutama yang bertujuan untuk mempercepat pencapaian target MDGs;

d. Peningkatan kapasitas masyarakat dan pemerintahan lokal melalui penyadaran kritis, pelatihan ketrampilan usaha, manajemen organisasi dan keuangan, serta penerapan tata kepemerintahan yang baik.

Pelaksanaan PNPM Mandiri merupakan komitmen nasional sebagai wujud kerangka dasar dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Sampai dengan saat ini PNPM Mandiri telah menjangkau lebih dari 6.000 kecamatan dan 70.000 komunitas di seluruh Indonesia. Pada tahun 2014 PNPM Mandiri direncanakan tetap akan menjangkau seluruh kecamatan di Indonesia. Sebagai program pemerintah PNPM Mandiri telah berhasil memberikan dampak positif bagi pengembangan komunitas dalam meningkatkan kesejahteraan hidup. Melalui mekanisme pelaksanaan PNPM Mandiri masyarakat dapat belajar untuk

(13)

memperkuat komunitas dan kelembagaan lokal sebagai bentuk kemandirian dan keberlanjutan di masa mendatang.

Kabupaten Sidoarjo sendiri pada awal peluncuran program ini ditunjuk sebagai salah satu lokasi sasaran di Jawa Timur, di mana pada saat itu jumlah lokasi sasarannya sebanyak 95 Desa/Kelurahan. Adapun jumlah total bantuan langsung yang diberikan kepada masyarakat adalah sebesar Rp. 14.450.000.000,-. Jumlah daerah sasaran kemudian meningkat pada tahun 2009 yaitu menjangkau 295 Desa/Kelurahan yang tersebar pada 15 Kecamatan. Pada tahun ini tidak hanya menggunakan anggaran dari pusat, tetapi juga anggaran daerah dengan rincian sebesar Rp. 16.620.000.000,- merupakan anggaran pusat dan Rp. 6.980.000.000,- merupakan APBD Kabupaten Sidoarjo. Selanjutnya pada tahun 2010 terjadi peningkatan anggaran dari pusat yaitu sebesar Rp. 32.665.000.000,- dan APBD Kabupaten Sidoarjo sebesar Rp. 11.190.000.000,- dengan jumlah daerah sasaran sama seperti tahun 2009. Berdasarkan perkembangan terakhir maka jumlah desa yang menerima program ini berkurang menjadi 289 Desa.

Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, cakupan lokasi untuk tahun 2014 mencapai 6.914 kecamatan di Indonesia yang dilaksanakan oleh empat program utama yaitu :

a. PNPM Mandiri Perdesaan mencakup 5.300 kecamatan; b. PNPM Mandiri Perkotaan mencakup 1.189 kecamatan;

c. PNPM Mandiri Infrastruktur Perdesaan mencakup 188 kecamatan;

d. PNPM Mandiri Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah mencakup 237 kecamatan. Dari keempat program yang ada di atas, Kabupaten Sidoarjo melaksanakan dua program pertama yang mencakup 15 kecamatan untuk program PNPM Mandiri Perkotaan dan sisanya sebanyak 3 kecamatan melaksanakan program PNPM Mandiri Perdesaan. Total anggaran bantuan langsung untuk pelaksanaan PNPM Mandiri di Kabupaten Sidoarjo mencapai Rp. 35.150.000.000,-. Dari jumlah tersebut sebanyak Rp. 33.392.500.000,- merupakan dana dari pemerintah pusat, sisanya menjadi beban APBD Kabupaten Sidoarjo yaitu sebesar Rp. 1.757.500.000,-.

Pelaksanaan program PNPM di Kabupaten Sidoarjo ternyata masih menyisakan berbagai permasalahan. Dari sisi perencanaan misalnya, bukan rahasia umum jika selama ini perencanaan PNPM baik Mandiri Perkotaan maupun Mandiri Perdesaan masih belum bersinergi dengan perencanaan Kabupaten Sidoarjo. Sebagai program dengan sumber anggaran dari APBN, maka PNPM Mandiri Perkotaan dan Perdesaan tentunya dapat memainkan peran yang penting dalam memback-up keterbatasan APBD khususnya pada program pengentasan kemiskinan

(14)

(http://dprd-sidoarjokab.go.id/sinergitas-perencanaan-pnpm-dipertanyakan.html, akses 20 Oktober 2014). Dari sisi organisasi, pada kenyataannya masih sering ditemui adanya konflik antara fasilitator dengan LKM. Hubungan yang tidak harmonis antara kedua komponen tersebut tentunya sedikit

banyak akan mempengaruhi kinerja program

(http://www.p2kp.org/forumdetil.asp?mid=49008&catid=21, akses 20 Oktober 2014). Memperhatikan kemanfaatan PNPM Mandiri di Kabupaten Sidoarjo dan masih banyaknya permasalahan yang melingkupi pelaksanaan PNPM Mandiri baik Perkotaan maupun Perdesaan, maka diperlukan sebuah analisa guna mendapatkan gambaran mengenai pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan dan PNPM Mandiri Perkotaan di Kabupaten Sidoarjo. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan PNPM Mandiri di Kabupaten Sidoarjo juga perlu dilakukan. Hasil dari analisa ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi pengambil kebijakan terkait dengan pelaksanaan PNPM Mandiri di Kabupaten Sidoarjo baik PNPM Mandiri Perdesaan maupun PNPM Mandiri Perkotaan. Dengan demikian kajian ANALISA PELAKSANAAN PNPM MANDIRI PERDESAAN DAN PERKOTAAN DI KABUPATEN SIDOARJO menjadi penting untuk dilakukan.

1.2 Perumusan Masalah

Memperhatikan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam kegiatan Analisa Pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan Dan Perkotaan Di Kabupaten Sidoarjo adalah :

1. Bagaimana proses penyusunan rencana PNPM Mandiri Perdesaan dan Perkotaan di Kabupaten Sidoarjo terkait dengan perencanaan pembangunan desa ?

2. Bagaimana partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan dan Perkotaan di Kabupaten Sidoarjo ?

3. Bagaimana efektifitas anggaran pendampingan yang diperuntukkan bagi PNPM Mandiri Perdesaan dan Perkotaan Kabupaten Sidoarjo ?

1.3 Tujuan

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari Analisa Pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan Dan Perkotaan Di Kabupaten Sidoarjo adalah :

a. Mengetahui proses penyusunan rencana PNPM Mandiri Perdesaan dan Perkotaan di Kabupaten Sidoarjo dalam kaitannya dengan perencanaan pembangunan desa; b. Mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan PNPM Mandiri

(15)

Mengetahui efektifitas anggaran pendampingan yang diperuntukkan bagi PNPM Mandiri Perdesaan dan Perkotaan Kabupaten Sidoarjo.

1.4 Hasil Yang Diharapkan

Berdasarkan permasalahan dan tujuan di atas, maka hasil yang diharapkan dengan adanya kegiatan penyusunan ini adalah tersedianya dokumen pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan dan PNPM Mandiri Perkotaan di Kabupaten Sidoarjo yang dapat dijadikan bahan masukan perumusan kebijakan pada aspek pemberdayaan masyarakat sesuai dengan potensi, karakteristik dan tipologi masyarakat Sidoarjo.

1.5 Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan dan PNPM Mandiri Perkotaan di Kabupaten Sidoarjo adalah mengidentifikasi pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan dan PNPM Mandiri Perkotaan di Kabupaten Sidoarjo. Fokus dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi mengenai program dan kegiatan yang dilaksanakan melalui PNPM Mandiri Perdesaan dan PNPM Mandiri Perkotaan. Terdapat tiga substansi pokok yang harus dibahas dalam kajian ini yaitu terkait dengan perencanaan, pemberdayaan dan penganggaran. Dengan demikian pelaksanaan yang dimaksud dalam kajian ini bukan pada pelaksanaan proyeknya, tetapi ditekankan pada partisipasi masyarakat. Selain itu juga perlu dibahas mengenai program yang akan berfungsi sebagai pengganti PNPM Mandiri Perdesaan dan Perkotaan mengingat belum ada kejelasan terkait keberlanjutan program ini.

(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kemiskinan

Sub bab kemiskinan berisi konsep kemiskinan, kemiskinan makro dan mikro serta program penanggulangan kemiskinan. Konsep kemiskinan yang dimasukkan disini adalah konsep menurut beberapa ahli/peneliti kemiskinan. Adapun kemiskinan makro dan kemiskinan mikro menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan data mikro maupun data makro serta contoh dari kedua data tersebut yang telah dihasilkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Sedangkan pada bagian program penanggulangan kemiskinan akan dipaparkan berbagai program pemerintah Indonesia dalam rangka mengurangi kemiskinan di Indonesia.

2.1.1 Konsep Kemiskinan

Berbagai konsep kemiskinan telah dinyatakan dalam beberapa penelitian kemiskinan, diantaranya adalah seperti yang dikemukakan oleh World Bank (Bank Dunia) dalam World Bank Institute (2005). Menurut Bank Dunia, kemiskinan adalah deprivasi dalam kesejahteraan. Berdasarkan definisi tersebut kemiskinan dapat dipandang dari beberapa sisi. Dari sudut pandangan konvensional kemiskinan dipandang dari sisi moneter, di mana kemiskinan diukur dengan membandingkan pendapatan/konsumsi individu dengan beberapa batasan tertentu, jika mereka berada di bawah batasan tersebut maka mereka dianggap miskin. Pandangan mengenai kemiskinan berikutnya adalah bahwa kemiskinan tidak hanya sebatas ukuran moneter, tetapi juga mencakup miskin nutrisi yang diukur dengan memeriksa apakah pertumbuhan anak-anak terhambat. Selain itu, juga bisa dari miskin pendidikan, misalnya dengan menggunakan indikator angka buta huruf. Selanjutnya pandangan yang lebih luas mengenai kemiskinan adalah kemiskinan ada jika masyarakat kekurangan kemampuan dasar, sehingga pendapatan dan pendidikan yang dimiliki tidak memadai atau kesehatan yang buruk, atau ketidakamanan, atau kepercayaan diri yang rendah, atau rasa ketidakberdayaan, atau tidak adanya hak bebas berpendapat. Berdasarkan pandangan ini, kemiskinan adalah fenomena multi dimensi, dan solusi untuk mengatasinya tidaklah sederhana.

(17)

Terdapat empat alasan menurut World Bank Institute (2005) terkait perlunya kemiskinan diukur. Pertama, untuk membuat orang miskin terus berada dalam agenda, sebab jika kemiskinan tidak diukur, maka orang miskin akan mudah terlupakan. Kedua, orang harus mampu mengidentifikasi orang miskin jika salah satu tujuannya adalah untuk keperluan intervensi dalam rangka mengentaskan kemiskinan. Ketiga, untuk memantau dan mengevaluasi proyek-proyek atau kebijakan intervensi yang diarahkan kepada orang miskin. Sedangkan yang keempat adalah untuk mengevaluasi efektivitas lembaga-lembaga pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan.

Barrientos (2010) mengungkapkan konsep kemiskinan yang hampir mirip dengan yang dikemukakan oleh Bank Dunia. Kemiskinan menggambarkan keadaan dimana individu atau rumah tangga berada dalam kondisi yang sangat kekurangan dalam kesejahteraannya. Perspektif yang berbeda mengenai kesejahteraan dan pembangunan memberikan ruang yang berbeda dimana kemiskinan diamati dan diukur. Perspektif resources mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan individu atau keluarga untuk memerintahkan sumber daya yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Perspektif ini mendominasi diskusi mengenai kemiskinan dan pengukurannya di negara sedang berkembang. Perspektif partisipasi sosial dan inklusi mendefinisikan kemiskinan sebagai pengucilan dari aktivitas kerja sama; orang yang berada dalam kemiskinan tidak bisa berpartisipasi dalam kehidupan sosial dari suatu komunitas pada tingkat minimal yang dapat diterima. Perspektif ini mendominasi diskusi mengenai kemiskinan di negara maju.

2.1.2 Data Kemiskinan Makro dan Mikro

Sebagaimana yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, data kemiskinan dapat dibedakan menjadi data kemiskinan makro dan data kemiskinan mikro. Penggunaan istilah makro dan mikro merujuk pada bagaimana suatu data kemiskinan tersebut disajikan. Seperti yang diketahui, data dikumpulkan dalam berbagai bentuk, yang menghasilkan berbagai jenis file. Misal, jika ada data sensus, maka yang disebut data makro antara lain jumlah individu menurut kelompok umur, jenis kelamin, dan tingkat pendapatan, wilayah tempat tinggal, dan sebagainya. Sedangkan, data mikro terdiri dari data individu (http://data.library.ubc.ca/guide/). Dalam kumpulan istilah ilmu komputer dan ilmu sosial disebutkan bahwa data makro disebut juga data aggregate (jumlah) atau data yang dijumlahkan. Sedangkan, data mikro disebut juga data tingkat individu atau data yang mengandung informasi individu (http://3stages.org/glossary).

(18)

2.1.2.1Data Makro

Data kemiskinan makro yang dihasilkan oleh BPS adalah data kemiskinan yang bersumber dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD) juga digunakan sebagai informasi tambahan yang dipakai untuk memperkirakan proporsi pengeluaran masing-masing komoditi pokok non makanan. Indikator kemiskinan yang dihasilkan diantaranya adalah persentase penduduk miskin, yaitu persentase penduduk yang pengeluarannya berada di bawah garis kemiskinan (yang disebut Po/ Head Count Index), jumlah penduduk miskin, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1/ Poverty Gap Index), Indeks Keparahan Kemiskinan (P2/ Poverty Severity Index).

Ravallion (1998) menyebutkan bahwa untuk mengukur kemiskinan, ada tiga tahapan, yaitu pertama mendefinisikan sebuah indikator kesejahteraan, kedua membangun standar minimum dari indikator kesejahteraan, dan yang ketiga membuat ringkasan statistik. Dalam mengukur kesejahteraan, BPS menggunakan pendekatan yang berdasarkan pada ukuran moneter, yaitu pengeluaran konsumsi rumah tangga dengan mempertimbangkan setiap anggota rumah tangga (yang disebut pengeluaran per kapita). Setelah menentukan sebuah indikator kesejahteraan, dalam hal ini adalah pengeluaran per kapita, langkah selanjutnya adalah membangun standar minimum dari indikator kesejahteraan tersebut untuk membagi penduduk menjadi miskin dan tidak miskin. Standar

minimum ini sering dikenal sebagai garis kemiskinan (GK).

Guna menentukan GK yang mencakup kebutuhan dasar, BPS menggunakan metode food energy intake (FEI). Pada metode FEI ini nilai kuantitas dan harga setiap komoditas yang terpilih berubah sesuai dengan perubahan pola konsumsi dari penduduk referensi (20% penduduk yang pengeluarannya berada di atas garis kemiskinan sementara) dan basket komoditi (sekelompok komoditas makanan terpilih yang dikonsumsi rumah tangga) ditentukan dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic need approach). Melalui pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Garis Kemiskinan merupakan nilai pengeluaran untuk kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan per kapita per bulan. Batas kecukupan makanan ini dikenal sebagai Garis Kemiskinan Makanan (GKM).

GKM adalah nilai pengeluaran dari 52 komoditi dasar makanan (antara lain: beras, gula pasir, telur ayam ras, dan lain-lain) yang riil dikonsumsi oleh penduduk referensi. Pemilihan paket komoditi makanan ditentukan atas dasar persentase rumah

(19)

tangga yang mengkonsumsi komoditi tersebut, serta dengan mempertimbangkan volume kalori yang tergantung dan kewajaran sebagai komoditi penting. Pemilihan paket komoditi makanan tidak membedakan antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Perbedaan nilai pengeluaran untuk komoditi-komoditi makanan terpilih antara penduduk perkotaan dan perdesaan dicerminkan oleh perbedaan volume, harga, dan kualitas dari setiap komoditi makanan terpilih. Nilai pengeluaran dari paket komoditi tersebut kemudian disetarakan menjadi 2.100 kilokalori per kapita per hari. Angka ini merupakan standar minimum untuk makanan yang memadai yang harus dikonsumsi oleh seseorang dalam sehari. Penetapan standar minimum ini mengacu pada rekomendasi dari Widyakara Nasional Pangan dan Gizi Tahun 1978, yaitu setara dengan nilai konsumsi makanan yang menghasilkan 2.100 kalori per orang per hari. Ukuran kalori ini pun sudah menjadi kesepakatan dunia. Dalam pertemuan di Roma tahun 2001, FAO (Food and Agriculture Organization) dan WHO (World Health Organization) dari hasil kajian mendalam para pakar merekomendasikan bahwa batas minimal kebutuhan manusia untuk mampu bertahan hidup dan mampu bekerja adalah sekitar 2.100 kilokalori plus kebutuhan paling mendasar bukan makanan (Hasbullah, 2012).

Komponen GK yang kedua adalah Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) yang merupakan penjumlahan nilai kebutuhan minimum komoditi non makanan yang mencakup pengeluaran untuk perumahan, penerangan, bahan bakar, pakaian, pendidikan, kesehatan, transportasi, barang-barang tahan lama, serta barang dan jasa esensial lainnya. Pemilihan komoditi non makanan senantiasa mengalami perubahan pada jumlah. Suatu komoditi non makanan dipilih jika komoditi ini merupakan salah satu kebutuhan dasar penduduk referensi. Pemilihan komoditi non makanan ini didasarkan atas hasil SPKKD yang terakhir dilakukan pada tahun 2004 dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk item konsumsi bukan makanan yang lebih rinci dibanding yang ditanyakan pada Susenas. Informasi rinci ini memungkinkan seseorang untuk mengidentifikasi secara spesifik komoditi bukan makanan yang benar-benar dikonsumsi oleh penduduk referensi. Berdasarkan hasil SPKKD ini jumlah paket komoditi kebutuhan dasar non makanan di perkotaan adalah 51 komoditi, sedangkan di perdesaan hanya 47 komoditi.

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya oleh Ravallion, bahwa ada 3 tahapan utama dalam mengukur kemiskinan. Kedua tahapan telah disebutkan di atas, dan selanjutnya adalah tahap yang ketiga, yaitu membuat ringkasan statistik untuk memberikan informasi secara agregat mengenai distribusi dari indikator kesejahteraan tersebut dan posisi relatifnya terhadap standar minimum yang telah ditentukan. Dalam

(20)

manual kemiskinan yang dikeluarkan oleh World Bank Institute tahun 2005, disebutkan sejumlah ukuran agregate kemiskinan yang bisa dihitung, yaitu:

1. Headcount index (Po).

Sampai saat ini, ukuran kemiskinan ini telah digunakan secara luas. Headcount index secara sederhana mengukur proporsi penduduk yang terkategori miskin. Kelebihan dari ukuran kemiskinan ini adalah kemudahannya dalam penghitungan dan mudah untuk dipahami. Namun, kelemahannya adalah headcount index tidak memperhitungkan intensitas kemiskinan, tidak menunjukkan seberapa miskin yang miskin, dan tidak berubah jika penduduk di bawah GK menjadi lebih miskin. Salah satu yang menjadi catatan di sini adalah estimasi kemiskinan harus dihitung untuk individu dan bukan rumah tangga. Dalam headcount index yang dihitung adalah persentase individu penduduk miskin dan bukan persentase rumah tangga miskin. Agar persentase rumah tangga bisa berlaku, maka dibuat asumsi, yaitu semua anggota rumah tangga menikmati tingkat kesejahteraan yang sama. Namun, asumsi ini mungkin tidak berlaku di banyak situasi, misalnya beberapa orang tua anggota rumah tangga mungkin lebih miskin dibanding anggota rumah tangga lainnya. Dalam kenyataan, tidak semua konsumsi dibagi secara merata untuk semua anggota rumah tangga.

2. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1/Poverty Gap Index).

Ukuran kemiskinan ini sudah cukup populer, di mana indeks ini menyatakan rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks berarti semakin dalam tingkat kemiskinan karena semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan.

3. Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index/Squared Poverty Gap Index/P2). Indeks ini digunakan oleh para peneliti untuk menjawab masalah ketimpangan di antara penduduk miskin. Indeks ini menyatakan sebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks berarti semakin parah tingkat kemiskinan karena semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.

Ukuran-ukuran agregate kemiskinan tersebut secara rutin telah dipublikasikan oleh BPS yang dikenal sebagai data kemiskinan makro. Selain tiga ukuran agregate kemiskinan di atas, ada beberapa ukuran agregate kemiskinan lainnya, seperti Indeks Sen, Indeks Sen-Shorrocks-Thon (SST), dan lain sebagainya. Akan tetapi BPS tidak rutin menghitung indeks-indeks tersebut.

(21)

2.1.2.2Data Mikro

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, data kemiskinan makro yang telah dihasilkan hanya dapat disajikan sampai tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Beberapa tahun terakhir data kemiskinan mikro yang merupakan data level individu pun telah tersedia. Beberapa contoh data kemiskinan mikro yang telah dihasilkan adalah Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk 2005 (PSE05), Survei Pelayanan Dasar Kesehatan dan Pendidikan 2007 (SPDKP07) yang merupakan bagian PSE05 untuk rumah tangga-rumah tangga tertentu, Pendataan Program Perlindungan Sosial 2008 (PPLS08), dan yang terbaru adalah Pendataan Program Perlindungan Sosial 2011 (PPLS11).

PSE05 merupakan data level individu pertama yang tersedia sebagai dasar dari program-program perlindungan sosial dalam rangka mengurangi jumlah penduduk miskin. PSE05 dimaksudkan untuk mendapatkan data kemiskinan mikro berupa direktori rumah tangga penerima BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang berisi nama kepala rumah tangga dan alamat tempat tinggal mereka. Penentuan rumah tangga penerima BLT pada PSE05 didasarkan pada pendekatan karakteristik rumah tangga, bukan dengan pendekatan nilai konsumsi pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum seperti pada data kemiskinan makro. Indikator-indikator yang digunakan ada sebanyak 14 variabel, yaitu:

1. Luas lantai rumah; 2. Jenis lantai rumah; 3. Jenis dinding rumah;

4. Fasilitas tempat buang air besar; 5. Sumber air minum;

6. Penerangan yang digunakan; 7. Bahan bakar yang digunakan; 8. Frekuensi makan dalam sehari;

9. Kebiasaan membeli daging/ayam/susu; 10. Kemampuan membeli pakaian;

11. Kemampuan berobat ke puskesmas/poliklinik; 12. Lapangan pekerjaan kepala rumah tangga; 13. Pendidikan kepala rumah tangga; dan 14. Kepemilikan aset.

Metode yang digunakan untuk menentukan kategori rumah tangga penerima BLT adalah dengan menggunakan sistem skoring, yaitu setiap variabel diberi skor yang

(22)

diberi bobot, di mana bobotnya didasarkan pada besarnya pengaruh dari setiap variabel terhadap kemiskinan. Jumlah variabel dan besarnya bobot berbeda di setiap Kabupaten/Kota. Dari bobot masing-masing variabel terpilih untuk setiap Kabupaten/Kota selanjutnya dihitung indeks skor rumah tangga penerima BLT. Selanjutnya indeks diurutkan dari terbesar sampai terkecil, semakin tinggi nilainya, maka semakin miskin rumah tangga tersebut (BPS, 2011).

Selain PSE05, BPS pada tahun 2007 kembali mengumpulkan data kemiskinan mikro yang dikenal dengan nama SPDKP 2007 yang merupakan basis data untuk calon penerima bantuan tunai melalui Program Keluarga Harapan (PKH). Sebagaimana diketahui bahwa PKH adalah program penanggulangan kemiskinan melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dini dengan cara pemberian bantuan tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) berdasarkan persyaratan dan ketentuan yang telah ditetapkan. Dalam jangka pendek, program ini diharapkan dapat mengurangi beban pengeluaran RTSM. Sedangkan dalam jangka panjang, melalui persyaratan yang ditentukan diharapkan akan terjadi perubahan pola pikir dan perilaku yang mengarah pada perbaikan status kesehatan anak-anak dan ibu hamil, serta perbaikan tingkat pendidikan anak-anak RTSM, sehingga secara berangsur-angsur rantai kemiskinan dapat diputus.

SPDKP dilakukan dalam dua putaran, SPDKP Putaran-1 dilakukan pada bulan April-Juli 2007 dan SPDKP Putaran-2 dilakukan pada bulan Agustus-November 2007. SPDKP Putaran-1 diselenggarakan untuk menjaring RTSM yang memenuhi syarat (rumah tangga yang memiliki anak balita, anak usia sekolah, dan wanita hamil) untuk implementasi Tahun Anggaran 2007, sedangkan pelaksanaan Putaran-2 dimaksudkan untuk memperoleh RTSM bagi pelaksanaan PKH Tahun Anggaran 2008. SPDKP Putaran-1 diselenggarakan pada 348 Kecamatan yang tersebar di 49 Kabupaten/Kota di tujuh Provinsi, yaitu Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Gorontalo. Cakupan wilayah SPDKP Putaran-2 adalah 615 Kecamatan yang tersebar di 97 Kabupaten/Kota di 15 Provinsi, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Papua Barat. Dalam laporan SPDKP07 disebutkan beberapa kriteria umum RTSM, yaitu:

1. Sebagian besar pengeluarannya digunakan untuk memenuhi konsumsi makanan pokok

(23)

2. Biasanya tidak mampu atau mengalami kesulitan untuk berobat ke tenaga medis, kecuali Puskesmas atau yang disubsidi pemerintah;

3. Tidak mampu membeli pakaian satu kali dalam satu tahun untuk setiap anggota rumah tangga;

4. Biasanya tidak/hanya mampu menyekolahkan anaknya sampai jenjang pendidikan SLTP.

Berdasarkan kondisi fisik serta fasilitas tempat tinggal RTSM biasanya tinggal pada rumah yang:

1. Dinding rumahnya terbuat dari bambu/kayu/tembok dengan kondisi tidak baik/kualitas rendah, termasuk tembok yang sudah usang/berlumut atau tembok tidak diplester;

2. Sebagian besar lantai terbuat dari tanah atau kayu/semen/keramik dengan kondisi tidak baik/kualitas rendah;

3. Atap terbuat dari ijuk/rumbia atau genteng/seng/asbes dengan kondisi tidak baik/ kualitas rendah;

4. Penerangan bangunan tempat tinggal bukan dari listrik atau listrik tanpa meteran; 5. Luas lantai rumah kecil (biasanya kurang dari 8 m2/orang);

6. Sumber air minum berasal dari sumur atau mata air tak terlindung/air sungai/air hujan/lainnya.

Pada tahun 2008, BPS melakukan pemutakhiran (updating) data basis Rumah Tangga Sasaran Bantuan Langsung Tunai (RTS BLT). Dalam BPS (2011) disebutkan bahwa pemutakhiran data tersebut dilaksanakan melalui kegiatan Pendataan Program Perlindungan Sosial Tahun 2008 (PPLS08). Adapun tujuan kegiatan PPLS08 adalah: 1. Memperbaharui database RTS, yaitu untuk mendapatkan daftar nama dan alamat RTS:

a. Membuang data rumah tangga penerima BLT 2005 yang sudah meninggal dunia tanpa ahli waris yang berada pada rumah tangga yang sama;

b. Membuang data rumah tangga penerima BLT 2005 yang tidak layak sebagai sasaran program karena status ekonominya sudah tidak miskin lagi;

c. Memasukkan data rumah tangga sasaran baru, baik mereka adalah rumah tangga yang sebelumnya telah tercatat tetapi pindah tempat tinggal atau mereka yang belum pernah tercatat sama sekali.

2. Memperbaharui informasi tentang kehidupan sosial ekonomi RTS, khususnya tentang kualitas tempat tinggal, pendidikan dan pekerjaan kepala rumah tangga;

(24)

3. Menambah data anggota rumah tangga sasaran dengan informasi nama, umur, jenis kelamin, status sekolah dan pekerjaan anggota rumah tangga dan informasi tambahan tentang kondisi perumahan.

Jenis data yang dikumpulkan adalah (1) Keterangan Rumah Tangga yang meliputi: luas lantai, jenis lantai, jenis dinding, fasilitas tempat buang air besar, sumber air minum, sumber penerangan, jenis bahan bakar untuk memasak, frekuensi membeli daging/ayam/susu, frekuensi makan, jumlah pakaian yang biasa dibeli, kemampuan berobat, lapangan pekerjaan utama, pendidikan Kepala Rumah Tangga (KRT), kepemilikan aset; (2) Keterangan sosial ekonomi Anggota Rumah Tangga (ART) yaitu nama, hubungan dengan kepala rumah tangga, jenis kelamin, tanggal lahir, umur, status perkawinan, kepemilikan tanda pengenal, kecatatan, pendidikan, kegiatan ekonomi ART yang berumur 5 tahun dan lebih.

Setelah PPLS08, BPS kembali melakukan pendataan rumah tangga/keluarga sasaran pada tahun 2011. Dengan demikian PPLS11 merupakan kegiatan pendataan rumah tangga untuk program bantuan dan perlindungan sosial yang ke-empat. Kegiatan PPLS11 dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan basis data terpadu yang dapat digunakan untuk program-program bantuan dan perlindungan sosial pemerintah pada tahun 2012-2014. Tujuan dari PPLS11 adalah untuk mendapatkan 40% rumah tangga sasaran kelompok menengah ke bawah (masyarakat miskin dan rentan miskin) secara nasional. Guna mendapatkan daftar nama yang akan didata, digunakan data dari Sensus Penduduk (SP) 2010 dengan menggunakan model PovertyTargeting (PovTar). Model PovTar merupakan model yang dikembangkan dari model PovMap, dan juga merupakan pengembangan dari model Proxy Means Test (PMT). Model ini dapat memperkirakan jumlah rumah tangga (kuota) yang akan didata sampai dengan level Desa/Kelurahan. Selain dari PovTar, kuota PPLS 2011 juga mempertimbangkan jumlah rumah tangga PPLS 2008. Apabila ditemukan di suatu wilayah hasil PovTar lebih rendah daripada PPLS2008, maka kuota di wilayah tersebut minimal sama dengan jumlah rumah tangga PPLS 2008. Kuota yang dihasilkan dari model Povtar ini merupakan perkiraan jumlah rumah tangga yang akan didata dalam suatu wilayah. Apabila ternyata wilayah tersebut masih banyak ditemukan rumah tangga yang dianggap miskin, maka wilayah tersebut bisa menambah pendataan sekitar 5% dari kuota.

Data yang dihasilkan akan menjadi basis data terpadu untuk Program Perlindungan Sosial. Basis Data Terpadu akan digunakan untuk mendapatkan daftar nama dan alamat peserta program perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan seperti Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Program Keluarga

(25)

Harapan (PKH), Program Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin), Program Beasiswa, dan lain-lain. PPLS 2011 dilakukan di seluruh wilayah Indonesia yang meliputi 33 Provinsi, 497 Kabupaten/Kota, 6.699 Kecamatan, 77.062 Desa/Kelurahan dan kurang lebih terdiri dari 1,2 juta Satuan Lingkungan Setempat (SLS). Metode yang dipergunakan adalah metode wawancara, di mana petugas mengunjungi rumah tangga responden. Khusus untuk Provinsi Papua dan Papua Barat yang memiliki wilayah sulit dijangkau, metode yang dipergunakan adalah metode deskstudy dari hasil SP 2010. Sedangkan untuk wilayah yang mudah dijangkau maka tetap menggunakan metode wawancara. Metode deskstudy dilakukan dengan cara mencoret rumah tangga hasil data SP 2010 yang KRT-nya berstatus sebagai PNS/Polri/BUMN/BUMD/Anggota Legistaltif.

Data PPLS 2011 akan berbeda dengan data rumah tangga yang dimiliki oleh BPS pada umumnya. Hal ini dikarenakan data PPLS 2011 yang berbasis rumah tangga bisa dipilah menjadi keluarga. Adapun isi dari data tersebut mencakup:

 Keterangan umum anggota rumah tangga (ART) yaitu: nama, hubungan dengan kepala rumah tangga, hubungan dengan kepala keluarga, jenis kelamin, tanggal lahir, umur, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, kecacatan, dan penyakit kronis;

 Keterangan perumahan dan rumah tangga yaitu: status kepemilikan rumah, luas lantai, jenis lantai, jenis dinding, jenis atap, sumber air minum, cara memperoleh air minum, sumber penerangan utama, daya terpasang, bahan bakar energi untuk memasak, penggunaan fasilitas buang air besar, tempat pembuangan tinja, serta aset yang dimiliki.

2.1.3 Program Penanggulangan Kemiskinan

Dalam rangka pengurangan penduduk miskin, pemerintah telah menelurkan berbagai program penanggulangan kemiskinan. Salah satunya adalah dengan menciptakan skema perlindungan sosial yang berfungsi sebagai kerangka kerja kebijakan untuk mengatasi kemiskinan dan kerentanan. Perlindungan sosial juga mencakup dan memperluas pendekatan alternatif untuk pembangunan ekonomi dan sosial. Hal ini dapat diilustrasikan dengan mempertimbangkan perspektif yang berbeda tentang perlindungan sosial yang diusulkan oleh organisasi multilateral, yaitu:

o ILO (International Labour Organization) mendefinisikan perlindungan sosial sebagai hak atas tunjangan yang masyarakat berikan kepada individu dan rumah tangga (melalui tindakan publik dan kolektif) untuk melindungi dari standar hidup yang menurun akibat sejumlah risiko dasar dan kebutuhan dasar. Dunia internasional mengakui bahwa perlindungan sosial adalah hak dasar manusia yang tercantum

(26)

dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang disepakati oleh Majelis Umum PBB tahun 1948. Dalam Deklarasi disebutkan “setiap orang mempunyai hak atas standar hidup yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya”. ILO kemudian mereformulasi pernyataan misinya yang mencakup pekerjaan untuk “mengamankan pekerjaan yang layak untuk wanita dan anak-anak di mana pun” merupakan penegasan yang mencerminkan komitmen dari Deklarasi untuk memperluas perlindungan sosial untuk semua;

o Makalah Strategi Perlindungan Sosial dari Bank Dunia bergerak di luar perlindungan sosial “tradisonal” dalam mendefinisikan sebuah kerangka kerja “manajemen risiko sosial”, dengan menambahkan stabilitas makro ekonomi dan pembangunan pasar keuangan khas program perlindungan sosial. Manajemen risiko sosial terdiri dari intervensi publik “untuk membantu individu, rumah tangga, dan komunitas dalam mengelola risiko-risiko pendapatan” (Holzmann dan Jorgensen dalam Barrientos, 2010). Penekanan pada risiko mengasumsikan bahwa kerentanan terhadap risiko merupakan kendala yang signifikan pada pembangunan ekonomi dan pembangunan manusia, dan upaya untuk mengurangi kemungkinan risiko atau memperbaiki pengaruhnya pada standar hidup adalah sangat penting untuk pertumbuhan dan pembangunan;

o PBB mendefenisikan perlindungan sosial sebagai “sekumpulan kebijakan publik dan swasta dan program yang diambil oleh masyarakat dalam merespon berbagai kejadian untuk mengimbangi ketiadaan dan pengurangan pendapatan; untuk memberikan bantuan kepada keluarga yang memiliki anak serta memberikan masyarakat kesehatan dan perumahan dasar. Hal ini didukung oleh “nilai-nilai mendasar tentang tingkat yang dapat diterima dan keamanan akses ke pendapatan, mata pencaharian, pekerjaan, pelayanan kesehatan, dan pelayanan pendidikan, gizi, dan tempat tinggal”. Pendekatan ini memperluas peran perlindungan sosial untuk menjamin kebutuhan dasar sebagai prasyarat untuk pembangunan ekonomi dan manusia.

Barrientos (2010) menyatakan bahwa dalam ILO perlindungan sosial dikaitkan dengan berbagai lembaga masyarakat, norma, dan program-program yang bertujuan untuk melindungi para pekerja dan rumah tangga mereka dari suatu kejadian yang mengancam standar hidup dasar. Kemudian tahun 1990-an, perlindungan sosial mengalami transformasi penting, khususnya dalam konteks negara-negara sedang berkembang. Perlindungan sosial di negara berkembang semakin meningkat untuk menjelaskan kerangka kerja kebijakan untuk mengatasi kemiskinan dan kerawanaan

(27)

dalam menghadapi krisis ekonomi, penyesuaian struktur, dan globalisasi. Berdasarkan hal tersebut, perlindungan sosial dapat didefinisikan sebagai tindakan publik yang diambil dalam merespon tingkat kerentanan, risiko, dan kekurangan yang dianggap tidak dapat diterima secara sosial dalam pemerintahan atau masyarakat tertentu (Conway et al., 2000).

Sebagai kerangka kerja kebijakan untuk mengatasi kemiskinan dan kerentanan di negara berkembang, perlindungan sosial merupakan komponen kunci dari kebijakan pembangunan. Peran pembangunan yang lebih luas dari perlindungan sosial di negara berkembang mencakup tiga fungsi, yaitu (Barrientos, 2010):

1) Membantu melindungi tingkat dasar dari konsumsi diantara masyarakat miskin dan masyarakat yang terancam jatuh ke dalam kemiskinan;

2) Memfasilitasi investasi manusia dan aset produktif lainnya yang dapat memberikan jalan keluar dari kemiskinan yang menetap (persistent) dan kemiskinan antar generasi; 3) Memperkuat mereka yang berada dalam kemiskinan sehingga mereka dapat

mengatasi kesulitannya.

Terdapat dua jenis tindakan umum dalam bidang perlindungan sosial, yaitu bantuan sosial dan jaminan sosial. Bantuan sosial meliputi segala bentuk tindakan publik (pemerintah dan non pemerintah) yang dirancang untuk men-transfer sumber daya untuk kelompok-kelompok yang dianggap memenuhi syarat karena kekurangan, atau kasus lain seperti veteran perang. Kekurangan dapat dilihat dari segi miskin pendapatan, atau status sosial atau gizi. Jaminan sosial adalah jaminan yang didanai dan didasarkan pada prinsip asuransi.

Berdasarkan penjelasan di atas mengenai perkembangan perlindungan sosial di dunia, Indonesia pun sudah lama mengimplementasikan berbagai perlindungan sosial dalam konteks Indonesia sebagai negara berkembang

2.2 Partisipasi Masyarakat 2.2.1 Konsep Partisipasi

Partisipasi masyarakat menjadi hal yang sangat penting dalam mencapai keberhasilan dan keberlanjutan program pembangunan. Banyak pendapat para ahli yang memberikan pengertian mengenai konsep partisipasi. Menurut I Nyoman Sumaryadi (2010) bahwa partisipasi berarti peran serta seseorang atau kelompok masyarakat dalam proses pembangunan baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dengan memberi masukan pikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal dan atau materi, serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil -hasil pembangunan.

(28)

Sedangkan menurut Fasli Djalal dan Dedi Supriadi (2001) bahwa partisipasi dapat juga berarti bahwa pembuat keputusan menyarankan kelompok atau masyarakat ikut terlibat dalam bentuk penyampaian saran dan pendapat, barang, keterampilan, bahan dan jasa. Partisipasi dapat juga berarti bahwa kelompok mengenal masalah mereka sendiri, mengkaji pilihan mereka, membuat keputusan, dan memecahkan masalahnya.

Partisipasi juga berarti keikutsertaan seseorang ataupun sekelompok masyarakat dalam suatu kegiatan secara sadar. Jnabrabota Bhattacharyya (Ndraha, 1990) mengartikan partisipasi sebagai pengambilan bagian dalam kegiatan bersama. Kegagalan dalam mencapai hasil dari program pembangunan tidak mencapai sasaran karena kurangnya partisipasi masyarakat. Keadaan ini dapat terjadi karena beberapa sebab antara lain (Kartasasmita, 1997) :

a. Pembangunan hanya menguntungkan segolongan kecil masyarakat dan tidak menguntungkan rakyat banyak;

b. Pembangunan meskipun dimaksudkan menguntungkan rakyat banyak, tetapi rakyat kurang memahami maksud itu;

c. Pembangunan dimaksudkan untuk menguntungkan rakyat dan rakyat memahaminya, tetapi cara pelaksanaannya tidak sesuai dengan pemahaman mereka;

d. Pembangunan dipahami akan menguntungkan rakyat tetapi sejak semula rakyat tidak diikutsertakan.

Keikutsertaan masyarakat adalah sangat penting di dalam keseluruhan proses pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam program pemberdayaan selayaknya mencakup keseluruhan proses mulai dari awal sampai tahap akhir. Oleh karena itu, menurut T. Ndraha partisipasi publik dapat terjadi pada 4 (empat) jenjang, yaitu:

a) Partisipasi dalam proses pembentukan keputusan; b) Partisipasi dalam pelaksanaan

c) Partisipasi dalam pemanfaatan hasil; d) Partisipasi dalam evaluasi.

Konsep ini memberikan makna bahwa masyarakat akan berpartisipasi secara sukarela apabila mereka dilibatkan sejak awal dalam proses pembangunan melalui program pemberdayaan. Ketika mereka mendapatkan manfaat dan merasa memiliki terhadap program pemberdayaan, maka dapat dicapai suatu keberlanjutan dari program pemberdayaan. Bentuk partisipasi yang diberikan masyarakat dalam tahap pembangunan ada beberapa bentuk. Menurut Ericson (dalam Slamet, 1994) bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan terbagi atas 3 tahap, yaitu:

(29)

1.

Partisipasi di dalam tahap perencanaan (idea planing stage). Partisipasi pada tahap ini maksudnya adalah pelibatan seseorang pada tahap penyusunan rencana dan strategi dalam penyusunan kepanitiaan dan anggaran pada suatu kegiatan/proyek. Masyarakat berpartisipasi dengan memberikan usulan, saran dan kritik melalui pertemuan-pertemuan yang diadakan;

2.

Partisipasi di dalam tahap pelaksanaan (implementation stage). Partisipasi pada tahap ini maksudnya adalah pelibatan seseorang pada tahap pelaksanaan pekerjaan suatu proyek. Masyarakat disini dapat memberikan tenaga, uang ataupun material/barang serta ide-ide sebagai salah satu wujud partisipasinya pada pekerjaan tersebut;

3.

Partisipasi di dalam pemanfaatan (utilitazion stage). Partisipasi pada tahap ini

maksudnya adalah pelibatan seseorang pada tahap pemanfaatan suatu proyek setelah proyek tersebut selesai dikerjakan. Partisipasi masyarakat pada tahap ini berupa tenaga dan uang untuk mengoperasikan dan memelihara proyek yang telah dibangun.

2.2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat terdiri dari faktor dari dalam masyarakat (internal), yaitu kemampuan dan kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi, maupun faktor dari luar masyarakat (eksternal) yaitu peran aparat dan lembaga formal yang ada. Kemampuan masyarakat akan berkaitan dengan stratifikasi sosial dalam masyarakat. Menurut Max Weber dan Zanden (1988), mengemukakan pandangan multidimensional tentang stratifikasi masyarakat yang mengidentifikasi adanya 3 komponen di dalamnya, yaitu kelas (ekonomi), status (prestise) dan kekuasaan. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Faktor internal

Untuk faktor-faktor internal adalah berasal dari dalam kelompok masyarakat sendiri, yaitu individu-individu dan kesatuan kelompok didalamnya. Tingkah laku individu berhubungan erat atau ditentukan oleh ciri-ciri sosiologis seperti umur, jenis kelamin, pengetahuan, pekerjaan dan penghasilan (Slamet,1994). Secara teoritis, terdapat hubungan antara ciri-ciri individu dengan tingkat partisipasi, seperti usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, lamanya menjadi anggota masyarakat, besarnya pendapatan, keterlibatan dalam kegiatan pembangunan akan sangat berpengaruh pada partisipasi (Slamet, 1994). Menurut Plumer (dalam Suryawan, 2004), beberapa faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk mengikuti proses partisipasi adalah:

(30)

 Pengetahuan dan keahlian. Dasar pengetahuan yang dimiliki akan mempengaruhi seluruh lingkungan dari masyarakat tersebut. Hal ini membuat masyarakat memahami ataupun tidak terhadap tahap-tahap dan bentuk dari partisipasi yang ada;

 Pekerjaan masyarakat. Biasanya orang dengan tingkat pekerjaan tertentu akan dapat lebih meluangkan ataupun bahkan tidak meluangkan sedikitpun waktunya untuk berpartisipasi pada suatu proyek tertentu. Seringkali alasan yang mendasar pada masyarakat adalah adanya pertentangan antara komitmen terhadap pekerjaan dengan keinginan untuk berpartisipasi;

 Tingkat pendidikan dan buta huruf. Faktor ini sangat berpengaruh bagi keinginan dan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi serta untuk memahami dan melaksanakan tingkatan dan bentuk partisipasi yang ada.

 Jenis kelamin. Sudah sangat diketahui bahwa sebagian masyarakat masih menganggap faktor inilah yang dapat mempengaruhi keinginan dan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi beranggapan bahwa laki-laki dan perempuan akan mempunyai persepsi dan pandangan berbeda terhadap suatu pokok permasalahan;

 Kepercayaan terhadap budaya tertentu. Masyarakat dengan tingkat heterogenitas yang tinggi, terutama dari segi agama dan budaya akan menentukan strategi partisipasi yang digunakan serta metodologi yang digunakan. Seringkali kepercayaan yang dianut dapat bertentangan dengan konsep-konsep yang ada. b. Faktor-faktor Eksternal

Menurut Sunarti (dalam jurnal Tata Loka, 2003:9), faktor-faktor eksternal ini dapat dikatakan petaruh (stakeholder), yaitu semua pihak yang berkepentingan dan mempunyai pengaruh terhadap program ini. Petaruh kunci adalah siapa yang mempunyai pengaruh yang sangat signifikan, atau mempunyai posisi penting guna kesuksesan program.

2.3 Pemberdayaan Masyarakat

2.3.1 Konsep Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan sebagai proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan (Sutoro Eko, 2002). Konsep pemberdayaan (masyarakat desa) dapat dipahami juga dengan dua cara pandang. Pertama, pemberdayaan dimaknai dalam konteks menempatkan posisi

(31)

berdiri masyarakat. Posisi masyarakat bukanlah obyek penerima manfaat (beneficiaries) yang tergantung pada pemberian dari pihak luar seperti pemerintah, melainkan dalam posisi sebagai subyek (agen atau partisipan yang bertindak) yang berbuat secara mandiri. Berbuat secara mandiri bukan berarti lepas dari tanggungjawab negara. Pemberian layanan publik (kesehatan, pendidikan, perumahan, transportasi dan seterusnya) kepada masyarakat tentu merupakan tugas (kewajiban) negara secara given. Masyarakat yang mandiri sebagai partisipan berarti terbukanya ruang dan kapasitas mengembangkan potensi-kreasi, mengontrol lingkungan dan sumberdayanya sendiri, menyelesaikan masalah secara mandiri, dan ikut menentukan proses politik di ranah negara. Masyarakat ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan dan pemerintahan (Sutoro Eko, 2002). Permendagri RI Nomor 7 Tahhun 2007 tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat, dinyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah suatu strategi yang digunakan dalam pembangunan masyarakat sebagai upaya untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Pasal 1 , ayat (8)). Inti pengertian pemberdayaan masyarakat merupakan strategi untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian masyarakat.

2.3.2 Tujuan dan Strategi Pemberdayaan Masyarakat

Tujuan pemberdayaan masyarakat adalah memampukan dan memandirikan

masyarakat terutama dari kemiskinan dan

keterbelakangan/kesenjangan/ketidakberdayaan. Kemiskinan dapat dilihat dari indikator pemenuhan kebutuhan dasar yang belum mencukupi/layak. Kebutuhan dasar itu, mencakup pangan, pakaian, papan, kesehatan, pendidikan, dan transportasi. Sedangkan keterbelakangan, misalnya produktivitas yang rendah, sumber daya manusia yang lemah, terbatasnya akses pada tanah padahal ketergantungan pada sektor pertanian masih sangat kuat, melemahnya pasar-pasar lokal/tradisional karena dipergunakan untuk memasok kebutuhan perdagangan internasional. Dengan perkataan lain masalah keterbelakangan menyangkut struktural (kebijakan) dan kultural (Sunyoto Usman, 2004).

Beberapa strategi yang dapat menjadi pertimbangan untuk dipilih dan kemudian diterapkan dalam pemberdayaan masyarakat adalah :

Strategi 1 : Menciptakan iklim, memperkuat daya, dan melindungi.

Dalam upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat

(32)

berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan.

Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar. Masukan berupa pemberdayaan ini menyangkut pembangunan prasarana dan sarana dasar fisik, seperti irigasi, jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan, yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada lapisan paling bawah, serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di perdesaan, dimana terkonsentrasi penduduk yang keberdayaannya amat kurang. Untuk itu, perlu ada program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, karena program-program umum yang berlaku tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat ini. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya. Yang terpenting disini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan, pengamalan demokrasi.

Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses

pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity). Karena, pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertikarkan dengan pihak lain). Dengan demikian tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan.

(33)

Strategi 2 : Program Pembangunan Pedesaan

Pemerintah di Negara-negara berkembang termasuk Indonesia telah mencanangkan berbagai macam program pedesaan, yaitu (1) pembangunan pertanian, (2) industrialisasi pedesaan, (3) pembangunan masyarakat desa terpadu, dan (4) strategi pusat pertumbuhan (Sunyoto Usman, 2004). Penjelasan macam-macam program sebagai berikut:

a. Program pembangunan pertanian, merupakan program untuk meningkatkan output dan pendapatan para petani. Juga untuk menjawab keterbatasan pangan di pedesaan, bahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar industri kecil dan kerumahtanggaan, serta untuk memenuhi kebutuhan ekspor produk pertanian bagi negara maju;

b. Program industrialisasi pedesaan, tujuan utamanya untuk mengembangkan industri kecil dan kerajinan;

c. Pengembangan industrialisasi pedesaan merupakan alternatif menjawab persoalan semakin sempitnya rata-rata pemilikan dan penguasaan lahan dan lapangan kerja di perdesaan;

d. Program pembangunan masyarakat terpadu, tujuan utamanya untuk meningkatkan produktivitas, memperbaiki kualitas hidup penduduk dan memperkuat kemandirian. Ada enam unsur dalam pembangunan masyarakat terpadu, yaitu: pembangunan pertanian dengan padat karya, memperluas kesempatan kerja, intensifikasi tenaga kerja dengan industri kecil, mandiri dan meningkatkan partisipasi dalam pengambilan keputusan, mengembangkan perkotaan yang dapat mendukung pembangunan pedesaan, membangun kelembagaan yang dapat melakukan koordinasi proyek multi-sektor;

e. Program strategi pusat pertumbuhan, merupakan alternatif untuk menentukan jarak ideal antara pedesaan dengan kota, sehingga kota benar-benar berfungsi sebagai pasar atau saluran distribusi hasil produksi. Cara yang ditempuh adalah membangun pasar di dekat desa. Pasar ini difungsikan sebagai pusat penampungan hasil produksi desa, dan pusat informasi tentang hal-hal berkaitan dengan kehendak konsumen dan kemampuan produsen. Pusat pertumbuhan diupayakan agar secara sosial tetap dekat dengan desa, tetapi secara ekonomi mempunyai fungsi dan sifat-sifat seperti kota.

Senada dengan program pembangunan pedesaan, J. Nasikun (dalam Jefta Leibo,1995), mengajukan strategi yang meliputi : (1) Startegi pembangunan gotong royong, (2) Strategi pembangunan Teknikal – Profesional, (3) Strategi Konflik, (4) Strategi pembelotan kultural. Dalam Strategi Gotong Royong, melihat masyarakat sebagai sistem sosial. Artinya masyarakat terdiri dari atas bagian-bagian yang saling kerjasama untuk

(34)

mewujudkan tujuan bersama. Gotong royong dipercaya bahwa perubahan-perubahan masyarakat, dapat diwujudkan melalui partisipasi luas dari segenap komponen dalam masyarakat. Prosedur dalam gotong royong bersifat demokratis, dilakukan diatas kekuatan sendiri dan kesukarelaan.

Strategi Pembangunan Teknikal – Profesional, dalam memecahkan berbagai masalah kelompok masyarakat dengan cara mengembangkan norma, peranan, prosedur baru untuk menghadapi situasi baru yang selalu berubah. Dalam strategi ini peranan agen-agen pembaharuan sangat penting. Peran yang dilakukan agen pembaharuan terutama dalam menentukan program pembangunan, menyediakan pelayanan yang diperlukan, dan menentukan tindakan yang diperlukan dalam merealisasikan program pembangunan tersebut. Agen pembaharuan merupakan kelompok kerja yang terdiri atas beberapa warga masyarakat yang terpilih dan dipercaya untuk menemukan cara-cara yang lebih kreatif sehingga hambatan-hambatan dalam pelaksanaan program pembangunan dapat di minimalisir.

Strategi Konflik, melihat dalam kehidupan masyarakat dikuasai oleh segelintir orang atau sejumlah kecil kelompok kepentingan tertentu. Oleh karena itu, strategi ini menganjurkan perlunya mengorganisir lapisan penduduk miskin untuk menyalurkan permintaan mereka atas sumber daya dan atas perlakuan yang lebih adil dan lebih demokratis. Strategi konflik menaruh tekanan perhatian pada perubahan organisasi dan peraturan (struktur) melalui distribusi kekuasaan, sumber daya dan keputusan masyarakat.

Strategi Pembelotan Kultural, menekankan pada perubahan tingkat subyektif individual, mulai dari perubahan nilai-nilai pribadi menuju gaya hidup baru yang manusiawi. Yaitu gaya hidup cinta kasih terhadap sesama dan partisipasi penuh komunitas orang lain. Dalam bahasa Pancasila adalah humanis-relegius. Strategi ini merupakan reaksi (pembelotan) terhadap kehidupan masyarakat modern industrial yang betrkembang berlawanan dengan pengembangan potensi kemanusiaan.

Permendagri RI Nomor 7 Tahun 2007 tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat,dalam konsiderannya menyatakan bahwa dalam rangka penumbuhkembangan, penggerakan prakarsa dan partisipasi masyarakat serta swadaya gotong royong dalam pembangunan di desa dan kelurahan perlu dibentuk Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa. Lebih lanjut dinyatakan bahwa Kader Pemberdayaan Masyarakat merupakan mitra Pemerintahan Desa dan Kelurahan yang diperlukan keberadaan dan peranannya dalam pemberdayaan masyarakat dan pembangunan partisipatif di Desa dan Kelurahan. Adapun peran Kader Pemberdayaan Masyarakat

(35)

(KPM) intinya adalah mempercepat perubahan (enabler), perantara (mediator), pendidik (educator), perencana (planer), advokasi (advocation), aktivis (activist) dan pelaksana teknis (technisi roles) (lihat Pasal 10 Permendagri RI No.7 Tahan 2007). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa Permendagri tersebut, tampaknya dalam strategi pemberdayaan masyarakat dapat dinyatakan sejalan dengan Strategi Pembangunan Teknikal – Profesional.

2.4 Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri

Permasalahan kemiskinan yang cukup kompleks membutuhkan intervensi semua pihak secara bersama dan terkoordinasi. Namun penanganannya selama ini cenderung parsial dan tidak berkelanjutan. Peran dunia usaha dan masyarakat pada umumnya juga belum optimal. Kerelawanan sosial dalam kehidupan masyarakat yang dapat menjadi sumber penting pemberdayaan dan pemecahan akar permasalahan kemiskinan juga mulai luntur. Untuk itu diperlukan perubahan yang bersifat sistemik dan menyeluruh dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Guna meningkatkan efektivitas penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja, pemerintah meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri mulai tahun 2007. Melalui PNPM Mandiri dirumuskan kembali mekanisme upaya penanggulangan kemiskinan yang melibatkan unsur masyarakat, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi. Melalui proses pembangunan partisipatif, kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat, terutama masyarakat miskin, dapat ditumbuhkembangkan sehingga mereka bukan sebagai obyek melainkan subyek upaya penanggulangan kemiskinan.

Pelaksanaan PNPM Mandiri tahun 2007 dimulai dengan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) sebagai dasar pengembangan pemberdayaan masyarakat di perdesaan beserta program pendukungnya seperti PNPM Generasi; Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) sebagai dasar bagi pengembangan pemberdayaan masyarakat di perkotaan; dan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) untuk pengembangan daerah tertinggal, pasca bencana, dan konflik. Mulai tahun 2008 PNPM Mandiri diperluas dengan melibatkan Program Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW) untuk mengintegrasikan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dengan daerah sekitarnya. PNPM Mandiri diperkuat dengan berbagai program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan oleh berbagai departemen/sektor dan pemerintah daerah. Mengingat proses pemberdayaan pada umumnya membutuhkan waktu 5-6 tahun, maka PNPM

(36)

Mandiri akan dilaksanakan sekurang-kurangnya hingga tahun 2015. Hal ini sejalan dengan target waktu pencapaian tujuan pembangunan milenium atau Millennium Development Goals (MDGs)*. Pelaksanaan PNPM Mandiri yang berdasar pada indikator-indikator keberhasilan yang terukur akan membantu Indonesia mewujudkan pencapaian target-target MDGs tersebut.

2.4.1 Pengertian PNPM Mandiri

PNPM Mandiri adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. PNPM Mandiri dilaksanakan melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendampingan, dan pendanaan stimulan untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan.

Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk menciptakan/meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun berkelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan terkait upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian, dan kesejahteraannya. Pemberdayaan masyarakat memerlukan keterlibatan yang lebih besar dari perangkat pemerintah daerah serta berbagai pihak untuk memberikan kesempatan dan menjamin keberlanjutan berbagai hasil yang dicapai.

2.4.2 Tujuan PNPM Mandiri

Tujuan umum dari PNPM Mandiri adalah meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri. Adapun tujuan khusus dari PNPM Mandiri adalah sebagai berikut :

a.

Meningkatnya partisipasi seluruh masyarakat, termasuk masyarakat miskin, kelompok perempuan, komunitas adat terpencil, dan kelompok masyarakat lainnya yang rentan dan sering terpinggirkan ke dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan;

b.

Meningkatnya kapasitas kelembagaan masyarakat yang mengakar, representatif, dan akuntabel;

c.

Meningkatnya kapasitas pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat terutama masyarakat miskin melalui kebijakan, program dan penganggaran yang berpihak pada masyarakat miskin (pro-poor);

Gambar

Tabel  4.1  Pembagian Wilayah Administrasi dan Luas Tiap Kecamatan
Grafik  4.1  Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Sidoarjo

Referensi

Dokumen terkait

Adanya perbedaan SaO2 antara posisi head up, semi fowler dan fowler pada penelitian ini sejalan dengan penelitian Wahyuningsih, Khasanah dan Irma (2017), yang menunjukan bahwa

SD Ulil Albab sebagai mitra kegiatan pengabdian memiliki permsalahan yang perlu diatasi diantaranya Guru-guru di SD islam Ulil Albab masih menggunakan model pembelajaran

Efisiensi dari suatu kegiatan merupakan akibat dari waktu yang dipakai, jarak yang ditempuh dan jumlah pengulangan (volume), beban dan kecepatannya intensitas,

kegiatan pramuka merupakan kegiatan yang mempunyai banyak manfaat, selain untuk belajar baris berbaris, pramuka juga mengajarkan untuk bertanggung jawab, belajar bersosialisasi

Pada waktu pendudukan Nippon itu Tjie Lam Tjay mendapatkan banyak kesukaran-kesukaran sebab pemilik dari kongsie-kongsie besar yang biasanya menanggung ongkos-ongkos yang

Pada pengaplikasiannya masing-masing kontrol baik P,I,D dapat bekerja sendiri-sendiri ataupun bersamaan. Dalam perancangan sistem PID yang harus dilakukan adalah

Dari hasil analisis perhitungan menggunakan rumus mean, dapat diketahui bahwa nilai yang sering muncul berdasarkan hasil menulis karangan narasi siswa kelas IV SD