• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMPONEN NERACA AIR TANAMAN KELAPA SAWIT DI PTPN VIII, CIMULANG, BOGOR TJEDAHWATI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KOMPONEN NERACA AIR TANAMAN KELAPA SAWIT DI PTPN VIII, CIMULANG, BOGOR TJEDAHWATI"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

KOMPONEN NERACA AIR TANAMAN KELAPA SAWIT DI

PTPN VIII, CIMULANG, BOGOR

TJEDAHWATI

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Komponen Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit di PTPN VIII, Cimulang, Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2014 Tjedahwati NIM A14090082

(4)

ABSTRAK

TJEDAHWATI. Komponen Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit di PTPN VIII, Cimulang, Bogor. Dibimbing oleh SURIA DARMA TARIGAN dan DWI PUTRO TEJO BASKORO.

Intersepsi hujan merupakan proses tertahannya air hujan pada permukaan vegetasi sebelum diuapkan kembali ke atmosfer. Hilangnya air melalui intersepsi merupakan bagian penting dalam siklus hidrologi. Selain intersepsi, proses kehilangan air dapat disebabkan oleh evapotranspirasi. Evapotranspirasi merupakan proses kehilangan air melalui permukaan tanah dan tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan besarnya aliran batang, lolosan tajuk, dan menghitung intersepsi; serta menetapkan besaran evapotranspirasi tanaman kelapa sawit. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 16 hari kejadian hujan dalam periode 3 bulan pengamatan dengan hujan harian bervariasi antara 4.83 mm/hari sampai 95.53 mm/hari. Aliran batang dan lolosan tajuk meningkat dengan meningkatnya curah hujan. Nilai aliran batang yang didapat di lapangan sangat kecil yaitu kurang dari 1%, sehingga nilai aliran batang yang digunakan untuk mengukur intersepsi mengadaptasi nilai aliran batang penelitian Purba (2007) sebesar 7.8%. Nilai aliran batang per kejadian hujan yang diperoleh bervariasi antara 0.38 mm sampai 7.45 mm. Nilai lolosan tajuk bervariasi antara 5.00 mm sampai 87.47 mm atau sebesar 73.00% sampai 127.84%. Nilai intersepsi umumnya meningkat dengan meningkatnya curah hujan, namun persentase curah hujan yang terintersepsi menurun, serta intersepsi semakin kecil dengan semakin besarnya aliran batang dan lolosan tajuk. Nilai rata-rata intersepsi bervariasi antara 0.51 mm sampai 4.32 mm atau 0.64% sampai 19.20%. Penurunan kadar air pada kedalaman perakaran 30 cm sebesar 2.40 mm/hari. Penurunan kadar air pada kedalaman perakaran 60 cm sebesar 4.28 mm/hari. Nilai penurunan kadar air tersebut setara dengan nilai evapotranspirasi.

Kata kunci: aliran batang, evapotranspirasi, intersepsi, lolosan tajuk

ABSTRACT

TJEDAHWATI. Components of Water balance on Oil Palm Plantation in PTPN VIII, Cimulang, Bogor. Supervised by SURIA DARMA TARIGAN and DWI PUTRO TEJO BASKORO.

Rainfall interception is a process of keeping temporarily of the rain water on vegetation before evaporated back into the atmosphere. The loss of water through interception is an important part of the hydrologic cycle. Besides the interception, the water loss can be caused by evapotranspiration. Evapotranspiration is the loss of water through the soil and plant surfaces. This research was aimed to determine interception, stemflow, throughfall, and evapotranspiration. The results showed that there were 16 rainy days in 3 months

(5)

period of observation which variation of daily rain from 4.83 mm/day to 95.53 mm/day. Stemflow and throughfall were increasing as the increase of rainfall. The value of stemflow obtained in field observation was very low i.e. fewer than 1%, therefore the value used for measuring interception was adapted from research conducted by Purba (2007) i.e. 7.8%. The stemflow values of each rainy day were obtained varied from 0.38 mm to 7.45 mm. The throughfall were obtained varied from 5.00 mm to 87.47 mm or from 73.00% to 127.84%. Generally, the interception values increase with the increase of rainfall, yet the percent of intercepted rainfall decreased, also the interception decreased stemflow and throughfall. The average value of interception varied between 0.51 mm and 4.32 mm or from 0.64% to 19.20%. Decreasing soil moisture in 30 cm root depth were 2.40 mm/day. Decreasing soil moisture in 60 cm root depth were 4.28 mm/day. Those values were equal to evapotranspiration.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

KOMPONEN NERACA AIR TANAMAN KELAPA SAWIT DI

PTPN VIII, CIMULANG, BOGOR

TJEDAHWATI

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Komponen Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit di PTPN VIII, Cimulang, Bogor

Nama : Tjedahwati NIM : A14090082

Disetujui oleh

Dr Ir Suria Darma Tarigan Pembimbing I

Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Baba Barus, MSc Ketua Departemen

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga laporan hasil penelitian (Skripsi) yang berjudul “Komponen Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit di PTPN VIII, Cimulang, Bogor” dapat diselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan di program studi Manajemen Sumberdaya Lahan IPB.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa syukur kepada Allah SWT, serta rasa terima kasih yang sebesarnya kepada Papa dan Mama untuk segala kasih sayang, cinta, dorongan, semangat, dan motivasi serta selalu mendoakan keberhasilan penulis. Kakak-kakakku Diana, Fazlillah, dan Rahmi yang walaupun menyebalkan tapi selalu memberikan dorongan untuk segera lulus.

Terima kasih kepada Dr. Ir. Suria Darma Tarigan yang dengan sabar membimbing penulis dan telah memberikan waktu dan perhatiannya kepada penulis selama dalam penelitian. Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc sebagai pembimbing kedua yang membantu penulis dalam penulisan laporan hasil penelitian ini.

Terima kasih kepada para pegawai PTPN VIII, Bapak Yusuf, Ibu Fia, Ibu Yudi, dan Bapak Hari yang membantu penulis dalam perizinan lokasi penelitian. Bapak Ahmad yang membantu penulis dalam pemilihan lokasi penelitian serta memberi tahu penulis setiap keadaan cuaca selama penelitian berlangsung. Bapak Ndang yang membantu penulis dalam pemasangan alat dan pengeboran tanah. Bapak Hatta yang membantu penulis dalam pengeboran tanah dan memberi tahu penulis setiap keadaan cuaca selama penelitian berlangsung. Teteh yanti dan Teteh Erlin yang bersedia memberi tempat untuk menaruh peralatan penelitian.

Terima kasih kepada Prapti, Hanna, Nindya atas kebersamaan dan pertemanannya selama di perkuliahan. Teman-teman Ilmu Tanah 46 atas persaudaraanya dan selalu bersedia membantu penulis. Terima kasih kepada Pak Syaiful sebagai Laboran Laboratorium Konservasi Tanah dan Air atas bantuannya selama penelitian.

Penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan atas semua kebaikan dan dukungan yang telah diberikan. Masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam tulisan ini, oleh karena itu penulis menerima saran, koreksi, masukan, dan kritikan yang membangun dari berbagai pihak untuk kesempurnaannya kelak. Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Mei 2014 Tjedahwati

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 1 TINJAUAN PUSTAKA 2 Siklus Hidrologi 2

Intersepsi, Lolosan Tajuk, dan Aliran Batang 2

Evapotranspirasi 3

Tanaman Kelapa Sawit 3

METODE 4

Tempat dan Waktu Penelitian 4

Alat Penelitian 4

Desain Percobaan dan Instalasi Peralatan 5

Curah Hujan 5

Aliran Batang 6

Lolosan Tajuk 7

Evapotranspirasi 7

Intersepsi 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

Aliran Batang (Stemflow) 8

Lolosan Tajuk (Throughfall) 10

Intersepsi 11

Evapotranspirasi 12

SIMPULAN DAN SARAN 14

DAFTAR PUSTAKA 14

LAMPIRAN 16

(12)

DAFTAR TABEL

1 Penurunan kadar air (mm/hari) dan kadar air (% bobot) kedalaman 30

cm dan kedalaman 60 cm 13

DAFTAR GAMBAR

1 Desain percobaan pengukuran curah hujan 5

2 Pengukuran curah hujan di lapang 6

3 Desain percobaan pengukuran aliran batang dan lolosan tajuk 6

4 Pengukuran aliran batang di lapang 7

5 Pengukuran lolosan tajuk di lapang 7

6 Desain percobaan pengukuran evapotranspirasi 8

7 Aliran batang setiap kejadian hujan 9

8 Lolosan tajuk pada jarak berbeda dari tanaman 10

9 Intersepsi pada setiap kejadian hujan 11

DAFTAR LAMPIRAN

1 Curah hujan, total lolosan tajuk, aliran batang, dan intersepsi (mm) 16 2 Penurunan kadar air (mm/hari) kedalaman perakaran 30 cm dan 60 cm 16 3 Kadar air (% bobot) pada kedalaman perakaran 30 cm dan 60 cm 17 4 Laporan curah hujan harian PTP Nusantara VIII Cimulang 18 5 Data curah hujan Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor 19

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Air sangat penting untuk setiap sektor kehidupan, baik untuk manusia, hewan, dan tanaman. Air bagi tanaman berfungsi sebagai pereaksi dalam proses-proses fotosintesis dan hidrolisis, serta dalam mempertahankan turgor sel (Lee 1988). Kekurangan air bagi tanaman mengakibatkan terganggunya pertumbuhan tanaman. Salah satu tanaman yang membutuhkan air dalam jumlah besar adalah kelapa sawit (Elaies guineensis Jack).

Tanaman kelapa sawit (Elaies guineensis Jack) merupakan komoditi utama sektor perkebunan di Indonesia yang menghasilkan minyak nabati paling efisien. Hasil produksi yang optimum didapatkan bila syarat tumbuh tanaman ini terpenuhi dengan baik. Salah satu syarat tumbuh yang penting yaitu faktor iklim. Idealnya curah hujan antara 2000-4000 mm/tahun, dengan hari hujan lebih dari 250 hari hujan/tahun, intensitas matahari 6 jam/hari, serta temperatur rata-rata 25oC (Hakim 2007).

Air mengalami peredaran melalui siklus hidrologi, yaitu tahapan-tahapan yang dilalui air dari atmosfer ke bumi dan kembali lagi ke atmosfer, serta berlangsung secara terus menerus (Seyhan 1990). Dalam konsep hidrologi bahwa jumlah air di suatu luasan tertentu di permukaan bumi dipengaruhi oleh besarnya air yang masuk dan keluar pada jangka waktu tertentu. Semakin cepat siklus hidrologi maka tingkat neraca airnya semakin dinamis. Analisis neraca air sangat membantu dalam menyusun perencanaan di suatu lahan tertentu. Komponen neraca air diantaranya intersepsi dan evapotranspirasi.

Intersepsi merupakan proses tertahannya hujan oleh tajuk tanaman. Dalam bidang pertanian, meskipun jumlah air yang diintersepsi relatif kecil tetapi mempunyai arti yang penting dalam hubungannya dengan kebutuhan air tanaman. Pengukuran intersepsi sangat penting dilakukan karena untuk menduga jumlah air yang menjadi aliran permukaan. Aliran permukaan dapat mengurangi kesuburan tanah, karena mengakibatkan tererosinya lapisan top soil. Air hujan yang tertahan terlebih dahulu pada batang dan tajuk tanaman dapat menekan daya tumbukan langsung terhadap tanah, sehingga kekuatan air yang menyebabkan terjadinya erosi berkurang.

Evapotranspirasi merupakan kehilangan air melalui permukaan tanah (evaporasi) dan melalui tanaman (transpirasi). Evapotranspirasi sering disebut sebagai penggunaan air tanaman (Handoko 1994), serta merupakan faktor dasar untuk menentukan kebutuhan air dalam rencana irigasi dan merupakan proses yang penting dalam siklus hidrologi (Sosrodarsono dan Takeda 1978). Maka dari itu pengukuran terhadap evapotranspirasi penting untuk dilakukan.

Tujuan Penelitian

1. Menetapkan besarnya komponen neraca air berupa: aliran batang, lolosan tajuk, dan menghitung intersepsi pada tanaman kelapa sawit.

(14)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Siklus Hidrologi

Air di bumi kira-kira sejumlah 1.3-1.4 milyar km3, dengan 97.5% air laut; 1.75% berbentuk es; dan 0.73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah, dan sebagainya; hanya 0.001% berbentuk uap di udara. Air di bumi mengulangi terus menerus sirkulasi, terdiri dari penguapan, presipitasi, dan pengaliran keluar (Sosrodarsono dan Takeda 1978). Sirkulasi air tersebut sering dikenal dengan istilah siklus hidrologi.

Siklus hidrologi merupakan suatu pola perdauran yang umum yang terdiri dari susunan-susunan gerakan air yang rumit dan transformasi-transformasinya (Lee 1988). Seyhan (1990) mengatakan bahwa siklus hidrologi merupakan tahapan-tahapan yang dilalui air dari atmosfer ke bumi dan kembali lagi ke atmosfer. Termasuk juga evaporasi dari tanah atau laut maupun air pedalaman, kondensasi untuk membentuk awan, presipitasi, akumulasi di dalam tanah maupun dalam tubuh air, dan evaporasi kembali.

Tolman (1937) menjelaskan secara rinci tentang siklus hidrologi pada buku “Ground Water”. Siklus hidrologi termasuk semua pergerakan uap air di atmosfer. Diawali dengan kondensasi air dalam bentuk cair maupun padat di atmosfer. Kemudian presipitasi air dalam bentuk cair dan padat di permukaan bumi. Selanjutnya evaporasi dan pencairan es dan salju di permukaan bumi. Lalu evaporasi dan peredaran air di permukaan, termasuk sebagian uap air yang kembali ke atmosfer dan pergerakan air ke lautan. Semua pergerakan air di bawah tanah dan kembali ke permukaan. Diakhiri dengan evaporasi dan transpirasi pada permukaan bumi dan permukaan lautan yang kembali dalam bentuk uap ke atmosfer.

Menurut Handoko (1994) di daerah tropika basah siklus hidrologi terjadi secara aktif dan presipitasi dalam bentuk curah hujan yang diterima lebih besar dari evaporasi. Di daerah gurun, energi mencukupi tetapi kelembaban kurang. Hal tersebut karena evaporasi selalu terjadi setiap saat bila air tersedia tetapi presipitasi sangat jarang, sehingga siklus hidrologi menjadi pasif. Untuk mencapai keseimbangan harus ada transfer air atau uap air.

Intersepsi, Lolosan Tajuk, dan Aliran Batang

Intersepsi adalah proses tertahannya air hujan oleh tajuk tanaman, kemudian diuapkan kembali ke atmosfer atau pun diserap oleh tajuk tanaman tersebut (Asdak 1995). Intersepsi berkaitan dengan mekanisme berlangsungnya proses-proses evaporasi dan transpirasi yang terjadi pada suatu vegetasi (Asdak 1994). Laju intersepsi lebih cepat daripada laju transpirasi, oleh karenanya kehilangan air oleh proses intersepsi merupakan bentuk kehilangan air nyata dalam sistem neraca air suatu DAS (Ward dan Robinson 1990). Besarnya intersepsi tidak dapat dihitung secara langsung karena morfologi tajuk tanaman yang beragam sehingga sulit untuk dilakukan pengukuran, namun nilai intersepsi dapat dihitung dengan mengukur besarnya lolosan tajuk dan aliran batang pada vegetasi. Intersepsi dapat diketahui jika kedua nilai tersebut diperoleh.

(15)

3 Lolosan tajuk adalah sebagian air hujan yang jatuh melalui celah tajuk vegetasi atau air hujan yang menetes melalui daun, ranting, dan cabang sampai ke permukaan tanah (Ward dan Robinson 1990). Lolosan tajuk dipengaruhi oleh intensitas hujan. Semakin besar intensitas hujan, semakin besar pula lolosan tajuk yang terjadi (Manokaran 1997). Jika curah hujan atau intensitas hujan rendah, sebagian besar dari air hujan akan ditahan tajuk vegetasi dan langsung diuapkan, sehingga persentase intersepsi menjadi tinggi. Sebaliknya jika curah hujan besar dengan intensitas hujan tinggi, maka akan lebih besar air hujan yang jatuh ke permukaan tanah, sehingga persentase intersepsi akan menjadi rendah. Nilai lolosan tajuk akan berbeda pada setiap jenis tegakan tanaman, tergantung dari kerapatan penutupan tajuk, ketebalan tajuk, dan luas tajuk.

Aliran batang adalah bagian dari curah hujan yang tertahan sementara oleh batang, terkumpul dan mengalir ke bawah sampai ke permukaan tanah melalui batang (Hewlett dan Nutter 1969). Aliran batang merupakan salah satu peubah yang penting sehubungan dengan studi ekologi dan kelembaban tanah. Keberadaan aliran batang menjadi sangat penting, terutama mengenai ketersediaan air dan kelembaban lapisan tanah bagian atas. Aliran batang dipengaruhi oleh percabangan suatu vegetasi. Percabangan pada pohon berpengaruh terhadap sisa air jatuhan yang tertahan pada posisi lebih atas. Semakin banyak percabangan maka air hujan yang tertahan akan semakin banyak.

Evapotranspirasi

Evapotranspirasi merupakan ukuran total kehilangan air (penggunaan air) untuk suatu luasan lahan melalui evaporasi dari permukaan tanah atau air dan transpirasi dari permukaan tanaman (Handoko 1994). Evapotranspirasi terdiri dari evapotranspirasi potensial dan evapotranspirasi aktual. Evapotranspirasi potensial merupakan laju maksimum suatu pertanaman yang mengalami kehilangan air sebagai akibat perubahan kondisi iklim dan terjadinya uap air pada pertanaman tersebut dalam keadaan yang cukup. Evapotranspirasi aktual terjadi pada keadaan air tanah sebenarnya, dipengaruhi oleh keadaan permukaan evaporasi dan tersedianya air (Rowi 1988).

Banyaknya evapotranspirasi berbeda-beda tergantung dari kadar kelembaban tanah dan jenis tanaman. Umumnya banyaknya transpirasi yang diperlukan untuk menghasilkan 1 gram bahan kering disebut laju transpirasi dan dinyatakan dalam gram. Pada daerah lembab, banyaknya adalah ± 200 sampai dengan 600 gram, dan untuk daerah kering ± 2 kali dari daerah lembab. Jika air dalam tanah yang tersedia cukup banyak maka evapotranspirasi itu disebut evapotranspirasi potensial (Sosrodarsono dan Takeda 1978). Evapotranspirasi dipengaruhi oleh unsur iklim, kondisi tanah, dan sifat tanaman (Handoko 1994). Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1978), faktor-faktor yang mempengaruhi evaporasi dan evapotranspirasi adalah suhu air, suhu udara (atmosfer), kelembaban, kecepatan angin, tekanan udara, dan sinar matahari.

Tanaman Kelapa Sawit

Kelapa sawit (Elaieis guineensis Jack) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak nabati yan sangat penting. Tanaman ini tumbuh sebagai

(16)

4

tanaman liar , setengah liar, dan sebagai tanaman yang dibudidayakan di daerah-daerah tropis Asia Tenggara, Amerika Latin, dan Afrika. Tanaman ini berasal dari Afrika yaitu dari kawasan Nigeria di Afrika Barat. Dewasa ini tanaman kelapa sawit terdapat di sepanjang daerah tropis, terutama kawasan antara 10oLU dan 10oLS, yang mempunyai suhu rata-rata 24oC-26oC dengan fluktuasi suhu kurang dari 10oC. Tanaman kelapa sawit dimasukkan ke Indonesia oleh bangsa Belanda. Bibit tersebut berasal dari Bourbon dan Amsterdam. Bibit tersebut ditanam di Kebun Raya Bogor untuk dijadikan tanaman koleksi pada tahun 1848 (Setyamidjaja 1991).

Kelapa sawit menghendaki iklim dengan curah hujan merata sepanjang tahun dengan intensitas matahari sekitar 6 jam per hari. Namun pada iklim yang musim hujan tidak meratapun kelapa sawit tetap hidup dan berproduksi. Air sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman, pembentukan bunga, dan perkembangan buah. Pada musim kering bunga akan gugur dan bakal bunga akan gagal tumbuh. Hal ini dapat menyebabkan pengurangan produksi. Besarnya penurunan tergantung dari besarnya kekeringan yang ditandai dengan water deficit dan lamanya hujan tidak turun (Hakim 2007).

Idealnya curah hujan yang dibutuhkan kelapa sawit antara 2000-4000 mm/tahun. Hari hujan lebih dari 250 hari hujan/ tahun. Intensitas matahari 6 jam per hari dengan temperatur rata-rata 25oC. Water deficit sampai diatas 500 mm akan membuat penurunan produktivitas sampai dengan 70%. Water deficit dibawah 50 mm masih belum mempunyai dampak terhadap produktivitas. Curah hujan yang cukup (diatas 5 mm) per hari hujan yang merata sepanjang tahun merupakan tempat yang paling cocok untuk kelapa sawit (Hakim 2007).

METODE

Tempat dan waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kebun Kelapa Sawit Afdelling II, unit usaha Cimulang, PTPN VIII, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Kegiatan pengamatan dan pengukuran di lapangan dilakukan mulai Mei 2013 hingga Oktober 2013. Tanaman kelapa sawit yang digunakan ditanam pada tahun 2005 dengan jarak tanam 9 m x 9 m x 9 m.

Alat Penelitian Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a) Jerigen 5 liter sebanyak 4 buah untuk menampung air hujan yang digunakan untuk pengukuran curah hujan.

b) Jerigen 20 liter sebanyak 20 buah, 5 buah untuk menampung air hujan yang menjadi aliran batang dan 15 buah untuk menampung air hujan yang menjadi lolosan tajuk.

c) Corong dengan diameter 13,6 cm untuk menampung air hujan yang menjadi aliran batang dan lolosan tajuk.

d) Corong dengan diameter 14,5 cm untuk menampung air hujan yang menjadi curah hujan.

(17)

5 e) Seng dengan panjang 2,5 m dan lebar 30 cm untuk tiap ulangan aliran

batang.

f) Gelas ukur 1000 ml sebanyak 1 buah untuk mengukur volume air yang tertampung dalam jerigen, baik aliran batang, lolosan tajuk, dan curah hujan.

g) Balok kayu sepanjang 30 cm sebanyak 48 buah untuk menahan tiap jerigen yang dipasang agar tidak terjatuh dan berpindah posisi.

h) Golok, palu, dan paku digunakan dalam proses penempelan seng pada batang tanaman kelapa sawit.

i) Bor tanah sebanyak 1 buah untuk mengambil contoh tanah kedalaman 30 cm dan 60 cm.

j) Alumunium foil untuk membungkus contoh tanah.

k) Cawan alumunium sebanyak 54 buah untuk meletakkan contah tanah. l) Oven untuk mengoven tanah.

m) Timbangan 2 desimal untuk menimbang contoh tanah.

n) Alat-alat tulis untuk mencatat jumlah aliran batang, lolosan tajuk, curah hujan, dan contoh tanah, serta seperangkat notebook untuk mengolah data.

Desain Percobaan dan Instalasi Peralatan a) Curah Hujan

Gambar 1 Desain Percobaan Pengukuran Curah Hujan

Curah hujan diukur menggunakan jerigen 5 liter yang dipasang corong di atasnya. Jerigen tersebut diletakkan di tempat yang tidak terhalang pepohonan dan bangunan. Terdapat 4 buah alat penakar hujan yang dipasang. Alat penakar hujan yang dipasang lebih dari satu tersebut ditujukan untuk mengamati curah hujan secara teliti, sekaligus untuk mengantisipasi adanya variasi hujan. Curah hujan diperoleh dengan mengukur volume air yang tertampung di penakar hujan pada tiap hari hujan, menggunakan gelas ukur 1000 ml.

(18)

6

Gambar 2 Pengukuran Curah Hujan di Lapang b) Aliran Batang

Gambar 3 Desain Percobaan Pengukuran Aliran Batang dan Lolosan Tajuk Air hasil aliran batang dialirkan dengan seng yang dibentuk setengah lingkaran dan dilingkarkan di sekeliling batang yang sebelumnya telah dibersihkan dari sisa pelepah. Salah satu ujungnya diletakkan lebih rendah untuk memungkinkan mengalirnya air ke jerigen. Bagian bawah seng dihubungkan dengan jerigen untuk menampung air hasil aliran batang. Bagian atas jerigen dipasang corong untuk memudahkan mengalirkan air.

Terdapat 5 buah alat pengukur aliran batang yang dipasang. Pengukuran air hasil aliran batang dilakukan setiap hari hujan. Air yang tertampung pada alat pengukur kemudian diukur volumenya dengan gelas ukur 1000 ml. Untuk mendapatkan aliran batang dalam satuan millimeter (tinggi aliran batang), volume air yang tertampung pada tiap jerigen dibagi dengan luas area tajuk pohon masing-masing ulangan. Jari-jari (r) tajuk pohon diukur menggunakan meteran dari pusat batang ke ujung tajuk paling luar.

(19)

7

Gambar 4 Pengukuran Aliran Batang di Lapang c) Lolosan Tajuk

Lolosan tajuk ditampung dengan jerigen 20 liter yang di atasnya dipasang corong. Jerigen tersebut diletakkan diantara kedua pohon kelapa sawit dengan jarak 2 m, 3 m, dan 4 m dari pohon kelapa sawit yang telah dipasang alat aliran batang. Setiap ulangan pada pengukuran aliran batang, terdapat 3 alat yang dipasang untuk mengukur lolosan tajuk. Ketiga alat tersebut diletakkan pada jarak yang berbeda-beda. Volume air hujan yang tertampung diukur menggunakan gelas ukur 1000 ml. Untuk mendapatkan nilai lolosan tajuk dalam millimeter (tinggi lolosan tajuk), digunakan perbandingan antara volume air yang tertampung dengan luas area corong.

Gambar 5 Pengukuran Lolosan tajuk di Lapang d) Evapotranspirasi

Evapotranspirasi diukur secara tidak langsung dengan mengukur kehilangan air pada kedalaman perakaran 30 cm dan kedalaman perakaran 60 cm. Kehilangan air tersebut didapat dengan mengukur kadar air pada tiap hari tidak hujan secara berturut-turut. Terdapat 3 pohon yang digunakan dalam pengukuran evapotranspirasi. Setiap pohon tersebut terdapat 3 titik pengeboran dengan jarak 2 meter dari pohon yang dipasang alat pengukur aliran batang. Adapun perhitungan untuk mendapat kehilangan air adalah sebagai berikut:

 Konversi KA (% bobot) ke KA (% volume)

KA (% volume) = KA (% bobot) x Bobot Isi, Bobot Isi = 1.1 g/cm3  Tinggi air = KA (% volume) x Kedalaman perakaran

(20)

8

 Δtinggi air atau rata-rata kehilangan selama hari tidak hujan = Tinggi air awal (1 hari setelah hujan) – Tinggi air akhir (hari ke-n setelah hujan)

 Kehilangan air tiap hari = Tinggi air (hari 1) – Tinggi air (hari 2), dan seterusnya.

Gambar 6 Desain Percobaan Pengukuran Evapotranspirasi d) Intersepsi

Intersepsi ditetapkan menggunakan rumus: I = Pg- Sf– Tf

keterangan: I (Intersepsi (mm)), Pg (Curah Hujan (mm)), Sf (Aliran Batang (mm)), dan Tf (Lolosan Tajuk (mm)).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Aliran Batang (Stemflow)

Aliran batang terjadi setelah hujan yang tercegat oleh ranting maupun daun mengalir melalui ruas batang, sehingga akan terkumpul dan selanjutnya mengalir melalui batang. Ruas batang yang menutup rapat sekeliling batang mengakibatkan air pada awal terjadinya aliran batang tidak langsung mengalir ke bawah, melainkan diserap terlebih dahulu oleh batang dan ditahan oleh ruas batang tersebut. Hal ini mengakibatkan kehilangan air yang tinggi sebelum mengalami aliran batang.

Hasil pengukuran di lapangan menunjukkan nilai aliran batang yang sangat kecil. Nilai aliran batang yang didapat kurang dari 1%. Hal tersebut jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya. Mulyadi dan Tarumun (2012) melaporkan nilai aliran batang yang diukur di Perkebunan Kelapa Sawit PPKS Sub Unit Kalianta Kabun sebesar 19.31 mm/bulan (8.11%). Penelitian yang dilakukan oleh Ridwan (2009) melaporkan nilai aliran batang di Perkebunan Kelapa Sawit PTPN VII Lampung sebesar 3.74 mm (11.22%).

Nilai aliran batang yang diperoleh tidak dapat digunakan, karena akan mempengaruhi nilai intersepsi. Maka dari itu perlu data aliran batang dari

(21)

9 penelitian sebelumnya. Data aliran batang yang digunakan adalah data aliran batang hasil penelitian Purba (2007). Berdasarkan penelitian tersebut nilai aliran batang yang diperoleh sebesar 7.8% dari total curah hujan. Nilai tersebut kemudian dikali dengan nilai curah hujan harian (mm) yang diperoleh pada pengukuran langsung, sehingga didapatkan nilai tinggi aliran batang (mm) pada tiap kejadian hujan. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan grafik aliran batang sebagai berikut:

Gambar 7 Aliran batang setiap kejadian hujan

Variasi nilai aliran batang antara 0.38 mm hingga 7.45 mm (Gambar 7). Rataan nilai aliran batang yang diperoleh sebesar 1.83 mm (7.8%). Nilai aliran batang berbanding lurus dengan curah hujan. Hal tersebut menunjukkan semakin besar curah hujan yang terjadi pada satu kali kejadian hujan, semakin besar pula nilai aliran batang yang didapat.

Rendahnya nilai aliran batang karena batang kelapa sawit memiliki diameter yang lumayan besar dibandingkan dengan tanaman perkebunan lainnya, sehingga luas permukaan batang menjadi besar pula. Air hujan yang mengalir melalui batang akan lebih banyak diserap oleh permukaan batang sebelum dialirkan menjadi aliran batang ataupun diuapkan kembali. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilaporkan oleh Kaimudin (1994) bahwa semakin besar diameter batang, maka aliran batang semakin kecil karena luas permukaannya semakin besar.

Hal lainnya yang membuat nilai aliran batang menjadi rendah yaitu masih dijumpai sisa-sisa pelepah pada batang kelapa sawit, sehingga menghambat air yang menjadi aliran batang. Heryansyah (2008) melaporkan kulit batang yang licin memberikan peran besar dalam mengalirkan air hujan melalui batang. Air hujan akan mengalir dengan mudah dibandingkan kulit pohon yang kasar. Kondisi kulit yang kasar dan retak-retak menyebabkan air hujan masuk dan tertahan pada kulit batang.

Faktor yang mempengaruhi aliran batang antara lain yaitu bentuk batang, bentuk dan tekstur daun, dan kulit batang (Ridwan 2009). Tanaman kelapa sawit memiliki pelepah daun yang panjang (7-9 meter) dengan jumlah anak daun tiap pelepah berkisar 250-400 helai, sehingga air hujan yang jatuh pada umumnya tertahan terlebih dahulu oleh pelepah daun tersebut kemudian mengalir melalui batang sampai ke permukaan tanah.

(22)

10

Lolosan Tajuk (Throughfall)

Lolosan tajuk merupakan salah satu komponen dari proses intersepsi. Air hujan yang jatuh di atas tajuk suatu vegetasi tidak langsung menembus tajuk dan jatuh menyentuh tanah, melainkan tertahan beberapa saat di tajuk dan kemudian akan jatuh sebagai lolosan tajuk (Heryansyah 2008). Setiap pengukuran aliran batang terdapat 3 titik pengukuran lolosan tajuk dengan jarak berbeda yaitu jarak 2 meter; jarak 3 meter; dan jarak 4 meter. Secara keseluruhan terdapat 15 titik pengukuran lolosan tajuk untuk semua ulangan. Perbedaan titik pengukuran bertujuan untuk melihat penyebaran spasial air hujan yang jatuh sebagai lolosan tajuk.

Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan terdapat variasi nilai lolosan tajuk pada tiap jarak yang berbeda. Nilai rata-rata lolosan tajuk jarak 2 meter sebesar 17.97 mm (80.71%). Nilai rata-rata lolosan tajuk jarak 3 meter sebesar 16.31 mm (73.94%). Nilai rata-rata lolosan tajuk jarak 4 meter sebesar 32.80 mm (147.04%). Rataan nilai lolosan tajuk secara keseluruhan sebesar 22.36 mm (95.43). Nilai lolosan tajuk berbanding lurus dengan curah hujan. Artinya semakin besar curah hujan yang terjadi pada satu kali kejadian hujan, semakin besar nilai lolosan tajuk yang didapat. Nilai lolosan tajuk pada tiap jarak disajikan pada gambar berikut:

Gambar 8 Lolosan tajuk pada jarak berbeda dari tanaman

Lolosan tajuk pada jarak 4 meter memiliki hasil terbesar. Hal tersebut karena alat pengukur lolosan tajuk pada jarak 4 meter letaknya tepat berada di tengah 2 pohon kelapa sawit, sehingga mendapatkan air lolosan dan limpasan tajuk dari kedua pohon tersebut. Air yang tertampung pada alat pengukur lolosan tajuk dapat pula berupa air hujan yang langsung masuk ke alat pengukur lolosan tajuk. Hal tersebut dikarenakan terdapatnya celah di antara 2 pohon kelapa sawit. Lolosan tajuk jarak 2 meter dan jarak 3 meter memiliki hasil yang relaif sama. Hal tersebut karena letak keduanya yang dekat dengan masing-masing pohon kelapa sawit.

Air hujan yang jatuh akan tertahan di dahan-dahan pohon kelapa sawit. Bagian dahan yang dekat dengan batang pohon akan menahan air hujan lebih besar dibandingkan dahan yang jauh dari batang pohon kelapa sawit. Bentuk dahan pohon kelapa sawit yang melengkung mempengaruhi arah aliran air hujan yang jatuh diatasnya. Sebagian air hujan akan mengalir ke bagian dalam dahan dan tertahan didalamnya ataupun menjadi air aliran batang. Sebagian lagi akan mengalir ke arah luar dahan dan jatuh ke tanah ataupun tertampung pada alat pengukur lolosan tajuk.

(23)

11 Pengukuran lolosan tajuk menghasilkan nilai lolosan tajuk yang lebih besar dari nilai curah hujan. Hal tersebut karena air hasil lolosan tajuk berasal dari area yang lebih luas, namun pembagi yang digunakan untuk meghitung tinggi lolosan tajuk menggunakan luas corong pada alat pengukur lolosan tajuk. Maka dari itu hasil yang didapat dapat lebih besar dari nilai curah hujan. Nilai lolosan tajuk yang lebih besar dari nilai curah hujan berpengaruh terhadap nilai intersepsi yang dihasilkan. Nilai intersepsi akan menjadi negatif.

Tanaman kelapa sawit memiliki luas tajuk yang relatif besar. Hal tersebut membuat air hujan yang jatuh akan tertampung terlebih dahulu pada tajuk sebelum jatuh sebagai lolosan tajuk atau menguap kembali ke atmosfer. Adanya rotasi pemangkasan pelepah tanaman kelapa sawit menyebabkan celah-celah tajuk bertambah. Celah-celah tajuk yang semakin banyak akan membuat lolosan tajuk semakin besar. Intensitas hujan berpengaruh terhadap besar kecilnya air yang menjadi lolosan tajuk. Hujan dengan intensitas rendah menyebabkan air hujan yang jatuh tertahan pada tajuk kemudian diuapkan kembali ke atmosfer. Sebaliknya, pada saat hujan intensitas tinggi air hujan telah menjenuhkan tajuk kemudian turun menjadi air lolosan tajuk (Anwar 2003). Besar kecilnya nilai lolosan tajuk berpengaruh besar terhadap nilai intersepsi. Semakin besar lolosan tajuk maka intersepsi hujan oleh tajuk semakin kecil.

Intersepsi

Intersepsi merupakan beda antara curah hujan dan hasil pertambahan aliran batang dengan lolosan tajuk. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan variasi nilai intersepsi antara 0.51 mm (1.98%) hingga 4.32 mm (19.20%). Rataan nilai intersepsi sebesar 1.61 mm (6.86%). Nilai intersepsi yang diperoleh tergolong rendah bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Purba (2007) melaporkan intersepsi yang terjadi di Perkebunan Kelapa Sawit PTPN VII sebesar 22.13%, pada lokasi yang sama Ridwan (2009) melaporkan intersepsi sebesar 34.90%. Penelitian yang dilakukan oleh Mulyadi dan Tarumun (2012) melaporkan intersepsi yang terjadi di Perkebunan Kelapa sawit PPKS Sub Unit Kalianta Kabun sebesar 21.23%. Nilai intersepsi tiap kejadian hujan disajikan pada gambar berikut:

Gambar 9 Intersepsi pada setiap kejadian hujan

Terdapat beberapa intersepsi yang bernilai negatif. Nilai negatif yang diperoleh karena hasil penjumlahan antara aliran batang dan lolosan tajuk lebih

(24)

12

besar dari nilai curah hujan. Nilai negatif tersebut tidak menunjukkan bahwa intersepsi bernilai negatif, karena nilai intersepsi paling rendah adalah nol (0) atau tidak ada air yang terintersepsi.

Bertambah besarnya nilai aliran batang dan lolosan tajuk mengakibatkan nilai intersepsi semakin kecil. Nilai intersepsi yang kecil menunjukkan bahwa jumlah hujan yang jatuh ke permukaan tanah sangat besar. Hal ini dapat menyebabkan jumlah air yang diserap ke dalam tanah lebih sedikit dan bahaya yang ditimbulkan oleh run off dan erosi menjadi lebih besar. Curah hujan yang sampai ke permukaan tanah selanjutnya sebagian akan diserap sebagai air tanah dan air perkolasi, sebagian lagi menjadi aliran permukaan dan sebagian diuapkan kembali.

Adanya rotasi pemangkasan pelepah tanaman kelapa sawit menyebabkan terjadinya perubahan karakteristik tanaman kelapa sawit. Perubahan tersebut meliputi berkurangnya tajuk dan percabangan, mengakibatkan celah-celah antara tajuk menjadi berkurang, sehingga aliran batang dan lolosan tajuk bertambah sementara intersepsi berkurang. Terjadi penurunan laju pertambahan intersepsi dengan semakin besarnya curah hujan. Apabila terjadi hujan dengan ketebalan dan intensitas yang tinggi, kapasitas tampung tajuk dalam kondisi jenuh, sehingga curah hujan yang mengenai tajuk tanaman langsung dialirkan ke permukaan tanah. Sebaliknya apabila terjadi hujan dengan intensitas rendah, curah hujan sebagian besar akan diintersepsi oleh tajuk. Asdak (2004) melaporkan bahwa semakin tebal dan rapat keadaan tajuk pohon, maka akan semakin besar intersepsi yang terjadi.

Evapotranspirasi

Evapotranspirasi merupakan proses kehilangan air melalui permukaan tanah dan tanaman. Terdapat beberapa cara yang dilakukan dalam menentukan evapotranspirasi, salah satunya dengan cara tidak langsung, yaitu menghitung kehilangan air pada tiap hari tidak hujan. Pengukuran kehilangan air tersebut dilakukan dengan mengukur kadar air tanah pada kedalaman perakaran 30 cm dan kedalaman perakaran 60 cm. Pengukuran dilakukan pada bulan September 2013 sampai dengan Oktober 2013. Kehilangan air dan kadar air tersebut disajikan pada tabel berikut:

(25)

13 Tabel 1 Penurunan kadar air (mm/hari) dan kadar air (% bobot) pada kedalaman 30 cm dan 60 cm

Hasil pengukuran di lapang terdapat 10 kali hari tidak hujan yang terukur. Rata-rata penurunan kadar air kedalaman 30 cm sebesar 2.40 mm/hari, sedangkan rata-rata penurunan kadar air kedalaman 60 cm sebesar 4.28 mm/hari. Rata-rata penurunan kadar air keseluruhan sebesar 3.34 mm/hari. Nilai penurunan kadar air kedalaman perakaran 30 cm lebih kecil daripada nilai penurunan kadar air kedalaman perakaran 60 cm. Kadar air kedalaman perakaran 30 cm lebih kecil daripada kadar air kedalaman perakaran 60 cm.

Terdapat beberapa hasil yang bernilai negatif (Tabel 1), sementara hari tidak hujan. Hal tersebut menunjukkan di dalam tanah pada kedalaman 30 cm dan kedalaman 60 cm tidak mengalami kehilangan air, melainkan mengalami penambahan air. Air tersebut berasal dari kedalaman lebih dari 60 cm yang karena adanya gaya kapiler dalam tanah maka air bergerak ke atas. Air tersebut mengisi pori-pori tanah pada kedalaman atasnya yaitu kedalaman 60 cm dan kedalaman 30 cm. Sehingga meningkatkan suplai air tanah ke permukaan tanah.

Kadar air kedalaman 30 cm lebih kecil dibandingkan dengan kadar air kedalaman 60 cm. Hal tersebut mengakibatkan air yang dievapotranspirasikan pada kedalaman 30 cm lebih kecil dibandingkan pada kedalaman 60 cm. sesuai dengan yang dikatakan oleh Sahara (2008) yaitu semakin tinggi kadar air tanah maka air yang dapat dievapotranspirasikan semakin tinggi, sampai mencapai evapotranspirasi potensial.

Perbedaan kadar air pada masing-masing kedalaman disebabkan karena pada kedalaman 30 cm terdapat akar yang paling aktif menyerap air dan unsur hara. Akar yang paling aktif menyerap air dan unsur hara adalah akar tersier dan kuartener. Pahan (2006) mengatakan sistem perakaran tanaman kelapa sawit yang aktif berada antara kedalaman 5-35 cm, umumnya akar tersier berada pada kedalaman 10-30 cm. Risza (1994) melaporkan perakaran paling padat terdapat pada kedalaman 25 cm.

Nilai penurunan kadar air yang didapat setara dengan evapotranspirasi yang terjadi di perkebunan kelapa sawit. Penelitian yang dilakukan oleh Mulyadi dan Tarumun (2012) melaporkan evapotranspirasi yang terjadi di Perkebunan Kelapa

(26)

14

Sawit PPKS Sub Unit Kalianta Kabun sebersar 3.06 mm/hari. Taufik dan Siswoyo (2013) melaporkan evapotranspirasi yang terjadi di Perkebunan Kelapa Sawit Sub DAS Landak Kapuas sebesar 4.39 mm/hari.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Tanaman kelapa sawit yang ditanam tahun 2005 di Perkebunan Kelapa Sawit PTPN VIII memiliki nilai aliran batang, lolosan tajuk, intersepsi, dan evapotranspirasi yang bervariasi. Rataan nilai aliran batang sebesar 1.83 mm atau 7.8%, lolosan tajuk sebesar 22.36 mm (95.43%), intersepsi sebesar 1.61 mm atau 6.86%, dan evapotranspirasi sebesar 3.75 mm/hari. Nilai lolosan tajuk pada jarak 4 meter lebih besar daripada nilai lolosan tajuk pada jarak 2 meter dan 3 meter dari pohon kelapa sawit. Nilai penurunan kadar air pada kedalaman perakaran 30 cm lebih kecil dibandingkan nilai penurunan kadar air pada kedalaman perakaran 60 cm.

Saran

Pengukuran lolosan tajuk menggunakan alat pengukur berbentuk corong, sehingga hasil yang diperoleh dapat lebih besar dari curah hujan. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan, terutama dalam hal penentuan model alat yang digunakan. Model alat dapat berupa bak panjang yang luasnya dapat mewakili tajuk pohon kelapa sawit. Bak panjang tersebut kemudian disangga dengan kayu ataupun penyangga lainnya beberapa meter dari permukaan tanah. Salah satu bagian bak diletakkan jerigen atau drum untuk menampun air lolosan tajuk.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar M. 2003. Intersepsi Hujan oleh Hutan dan Kebun Cokelat di Kawasan Batas Hutan Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Selatan [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Asdak C. 1994. Rainfall Interception in Unlogged and Logged Over Area of Tropical Forest of Central Kalimantan, Indonesia. Scotland (GB): IERM-School of Forestry and Ecologycal Sciences, University of Edinurgh, Scotland, UK. P. 45

_______. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. 571

_______. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

Hakim M. 2007. Kelapa Sawit: Teknis Agronomis dan Manajemennya. Jakarta (ID): Lembaga Pupuk Indonesia.

Handoko. 1994. Klimatologi Dasar: Landasan Pemahaman Fisika Atmosfer dan Unsur-Unsur Iklim. Bogor (ID): Pustaka Jaya.

(27)

15 Heryansyah EL. 2008. Intersepsi Hujan pada Tanaman Agathis Loranthifolia Sal. di DAS Cicatih Hulu Sukabumi [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Hewlett JD, Nutter WL. 1969. An Outline of Forest Hydrology. Athens (GR): University of Georgia Press. 137. P.

Kaimudin. 1994. Kajian Model Penggunaan Intersepsi Hujan pada Tegakan Pinus Merkusi, Agathis Loranthifolia, dan Schima Wallichi di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Lee R. 1988. Hidrologi Hutan. Penerjemah: Sentot S dan Soenardi P. Yogyakarta

(ID): Gadjah Mada University Press.

Lubis RE, Widanarko A. 2011. Buku Pintar Kelapa Sawit. Jakarta (ID): PT Agromedia Pustaka.

Manokaran N. 1979. Stemflow, Throughfall, and Rainfall Interception in a Lowland Tropical Rain Forest in Peninsular Malaysia. The Malaysian Forester. Vol 42 (3): 174-201

Mulyadi A, Tarumun S. 2012. Neraca air di Perkebunan Kelapa Sawit PPKS Sub Unit Kaliantas Kabun Riau. Riau (ID): Jurnal Ilmu Lingkungan. ISSN 1978-5283

Pahan I. 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit-Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Purba FF. 2007. Intersepsi Hujan pada Perkebuan Kelapa Sawit (Studi Kasus di Unit Usaha Rejosari PTPN VII Lampung) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Ridwan BM. 2009. Penerapan Model Gash untuk Pendugaan Intersepsi Hujan pada Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus di Unit Usaha Rejosari PTPN VII Lampung) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Risza S. 1994. Kelapa Sawit: Upaya Peningkatan Produktifitas. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Rowi J. 1988. Pengaruh Ketersediaan Air Tanah terhadap Evapotranspirasi dan Pertumbuhan Kelapa Hibrida Indonesia pada Berbagai Tingkat Umur Muda [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sahara RI. 2008. Pendugaan Evapotranspirasi dengan Berbagai Metode dan Hubungannya dengan Stres Air pada Perkebunan Kelapa Sawit PTPN VII Lampung [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Setyamidjaja D. 1991. Budidaya Kelapa Sawit. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Seyhan E. 1990. Dasar-Dasar Hidrologi. Penerjemah: Sentot S dan Soenardi P. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

Sosrodarsono S, Takeda K. 1978. Hidrologi untuk Pengairan. Jakarta (ID): PT Pradnya Paramita.

Taufik M, Siswoyo H. 2013. Pengaruh tanaman kelapa sawit terhadap keseimbangan air hutan (Studi Kasus Sub DAS Landak, DAS Kapuas). Malang (ID): Jurnal Teknik Pengairan. Vol 4 (1): 47-52.

Tolman CF. 1937. Ground Water. New York (US): McGraw-Hill Book Company Inc.

Ward RC, Robinson M. 1990. Principles of Hydrology. New York (US): Mc Graw-Hill Book Company Inc 365.

(28)

16

Lampiran 1 Curah hujan, aliran batang, lolosan tajuk, dan intersepsi (mm)

Lampiran 2 Penurunan kadar air (mm/hari) pada kedalaman perakaran 30 cm dan 60 cm

(29)

17 Lampiran 3 Kadar air (% bobot) pada kedalaman perakaran 30 cm dan 60 cm

(30)

18

(31)

19 Lampiran 5 Data curah hujan Stasiun Klimatologi Darmaga bogor

(32)

20

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 27 April 1991, dari Ayah dan Ibu yang bernama Rusdi Jafar dan Mimin Sumarni. Penulis merupakan anak ke lima dari lima bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 48 Jakarta pada tahun 2009 dan pada tahun yang sama lulus diterima sebagai mahasiswa IPB melalui jalur Ujian Talenta Mandiri (UTM) IPB. Penulis diterima di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Program Studi Manajemen Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama studi di IPB penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Fisika Tanah dan Geomorfologi Analisis Lanskap.

Gambar

Gambar 3 Desain Percobaan Pengukuran Aliran Batang dan Lolosan Tajuk  Air  hasil  aliran  batang  dialirkan  dengan  seng  yang  dibentuk  setengah  lingkaran  dan  dilingkarkan  di  sekeliling  batang  yang  sebelumnya  telah  dibersihkan dari sisa pelepa
Gambar 4 Pengukuran Aliran Batang di Lapang  c)  Lolosan Tajuk
Gambar 8 Lolosan tajuk pada jarak berbeda dari tanaman

Referensi

Dokumen terkait

Cocopet yang ditemukan pada bunga jantan kelapa sawit di kebun Cimulang terdiri 3 spesies yang termasuk dalam tiga famili, yaitu Chelisochidae, Forficulidae, dan

Berdasarkan hasil pengamatan, Odontoponera merupakan genus dengan jumlah individu paling sedikit yang ditemukan pada bunga jantan kelapa sawit dibandingkan dengan

Selama 100 hari penelitian yaitu dari 26 Agustus – 4 Desember 2011, total curah hujan tidak dapat memenuhi kebutuhan air tanaman jagung, sehingga untuk penanaman sebaiknya

Rorak pada saat musim hujan dapat menampung air. Lobang Rorak pada

Pengaturan tinggi muka air tersebut dilakukan dengan membuat sistem saluran drainase pada lahan gambut yang berfungsi membuang kelebihan air pada saat musim

Data yang digunakan berasal dari 5 blok sampel hasil untuk menunjukkan hubungan antara curah hujan dan produksi tanaman, sementara produktivitas tanaman berdasarkan laporan

Selanjutnya, pada bulan Juli – Desember curah hujan selalu lebih rendah dari ETP sehingga terjadi APWL yang menyebabkan defisit air tanah untuk lahan selama enam

Hasil analisis regresi pada tanaman kelapa sawit berumur 10 dan 20 tahun menunjukkan bahwa curah hujan dan hari hujan berpengaruh tidak nyata terhadap produksi