• Tidak ada hasil yang ditemukan

Filsafat Bahasa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Filsafat Bahasa"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Manfaat Mempelajari Filsafat Bahasa ... 3

C. Tujuan ... 3

BAB II PEMBAHASAN FILSAFAT A. Pengertian Filsafat Bahasa ... 4

B. Hubungan Filsafat Dengan Bahasa ... 5

1. Hubungan bahasa Dengan Metafisika ... 5

2. Hubungan Bahasa Dengan Epistemologi ... 6

3. Hubungan Bahasa Dengan Logika ... 7

C. Lingkup Filsafat Bahasa ... 7

D. Kesimpulan ... 8

BAB III BAHASA SEBAGAI SUMBER PERHATIAN FILSAFAT ... 10

A. Pengantar ... 10

B. Zaman Yunani ... 11

1. Masa Pra Sokrates ... 11

2. Sokrates ... 12

3. Plato ... 13

4. Aristoteles ... 14

5. Mazhab Stoa ... 15

C. Zaman Romawi ... 15

1. Pemikiran Varo tentang Hakikat Bahasa ... 15

2. Konsep Pricia ... ... 16

D. Zaman Abad Pertengahan ... 18

1. Pemikiran Thomas Aquinas ... 18

2. Mazhab Modistae ... 19

(2)

E. Zaman Abad Modern ... 19 1. Rene Descrates ... 20 2. Thomas Hobbes ... 20 3. John Locke ... 20 4. George Barkeley ... 21 5. David Hume ... 21 6. Immanuel Kant ... 22

7. Positivisme Augut Comte ... 22

F. Kesimpulan ... 23

BAB IV FILSAFAT ANALITIKA ... 24

A. Pengantar ... 24

B. Filsafat Sebagai Analisis Bahasa ... 24

C. Pengertian Filsafat Bahasa dan Perkembangannya ... 27

D. Atomisme Logis ... 30

E. Pengaruh Idealisme F.H. Bradley ... 30

F. George Edward Moore ... 31

G. Filsafat Atomisme Logis Betrand Russel ... 31

1. Formulasi Logika Bahasa ... 32

2. Prinsip Kesesuaian (Isomorfi) ... 32

3. Struktur Proposisi ... 32

H. Filsafat Atomisme Logis Ludwig Wittegenstein ... 33

1. Pemikiran Filsafat Wittegenstein Periode II... 34

2. Permainan Bahasa (Language Games) ... 35

3. Kritik terhadap Filsafat Ludwig Wittegenstein ... 39

I. Kesimpulan ... 40

BAB V HAKIKAT BAHASA DALAM HERMENEUTIKA A. Konsep Dasar Hermenutika ... 41

B. Cara Kerja Hermeneutika ... 42

C. Bahasa Sebagai Pusat Kajian ... 43

D. Hermeneutika Dalam Pandangan Filosofi ... 43

(3)

2. Wilhelm Dilthey ... 44 3. Martin Heidgger ... 44 4. Hans-Georg Gadamer ... 45 5. Jurgen Habermas ... 46 6. Paul Ricoeur ... 46 7. Jacques Derrida ... 46

E. Beberapa Kaidah Hermeneutika ... 46

F. Peran Hermeneutika Terhadap Martabat Manusia ... 47

G. Beberapa Varian Hermeneutika ... 47

H. Interpretasi ... 52

1. Interpretasi adalah Mengatakan ... 52

2. Interpretasi Sebagai Menerangkan ... 53

3. Interpretasi Sebagai Menerjemahkan ... 53

I. Kesimpulan ... 54

BAB VI HAKIKAT BAHASA SEBAGAI DASAR FILSAFAT TEORI BAHASA ... 57

A. Bahasa Sebagai Substansi ... 57

1. Substansi-Ekspresi ... 58

2. Substansi-Isi ... 59

B. Bahasa Bentuk ... 60

1. Bentuk-Isi ... 60

2. Bentuk-Ekspresi ... 61

3. Isi dan Ekspresi ... 62

C. Bahasa Sebagai Substansi dan Bentuk ... 62

1. Bahasa Sebagai Substansi Isi ... 64

2. Bahasa Sebagai Ekspresi ... 64

3. Bahasa Sebagai Isi dan Ekspresi ... 64

D. Kesimpulan ... 65

BAB VII PERANAN BAHASA DALAM FILSAFAT POSTMODERNISME 66 A. Logosentrisme ... 66

(4)

1. Pengertian Postmodernisme ... 67

2. Latar Belakang Munculnya Postmodernisme ... 69

3. Ciri-ciri Postmodernisme ... 70

C. Peran Bahasa Dalam Filsafat Postmodernisme ... 71

a. Bahasa Sebagai Paradigma Dekonstruksi ... 71

b. Fungsi Transformatif Bahasa ... 72

c. Keterbatasan Bahasa ... 73

D. Kesimpulan ... 73 Daftar Pustaka

(5)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Filsafat bahasa adalah penyelidikan beralasan ke alam, asal-usul, dan penggunaan bahasa. Sebagai topik, filsafat bahasa bagi para filsuf analitik berkaitan dengan empat masalah utama sifat makna, penggunaan bahasa, kognisi bahasa, dan hubungan antara bahasa dan realitas. Untuk filsuf kontinental. Namun, filsafat bahasa cenderung ditangani, bukan sebagai topik yang terpisah, tetapi sebagai bagian dari logika, sejarah atau politik.

Pertama, filsuf bahasa menanyakan sifat makna, dan berusaha untuk menjelaskan apa artinya "berarti" sesuatu. Topik dalam pembuluh darah yang meliputi sifat sinonim, asal-usul makna itu sendiri, dan bagaimana makna yang bisa benar-benar diketahui. Proyek lain di bawah judul ini kepentingan khusus filsuf analitik bahasa adalah penyelidikan cara yang tersusun menjadi kalimat keluar keseluruhan bermakna arti bagian-bagiannya.

Kedua, mereka ingin memahami apa yang pembicara dan pendengar lakukan dengan bahasa dalam komunikasi, dan bagaimana digunakan sosial. Kepentingan khusus dapat meliputi topik pembelajaran bahasa, penciptaan bahasa, dan tindak tutur.

Ketiga, mereka ingin tahu bagaimana bahasa berkaitan dengan pikiran baik dari pembicara dan penerjemah. Dari minat tertentu adalah dasar untuk terjemahan keberhasilan kata menjadi kata lain.

Akhirnya, mereka menyelidiki bagaimana bahasa dan makna berhubungan dengan kebenaran dan dunia. Filsuf cenderung kurang peduli dengan kalimat yang sebenarnya benar, dan banyak lagi dengan jenis apa makna bisa benar atau salah. Seorang filsuf berorientasi kebenaran bahasa mungkin bertanya-tanya apakah suatu kalimat bermakna bisa benar atau salah, atau apakah kalimat dapat mengekspresikan proposisi tentang hal-hal yang tidak ada, bukan seperti kalimat yang digunakan.

Bahasa dan filsafat berjalan berpapasan mengikuti arus sesuai dengan peralihan dari siang ke petang, dari hari kemarin ke hari esok. Seseorang akan mampu berfilsafat jika bahasa itu ada, begitu juga dengan adanya bahasa, seseorang itu akan berbahasa sesuai dengan hasil penalaran, proses kerja otak dan menghasilkan pengetahuan yang diolah melalui filsafat. Jadi, bahasa dan filsafat merupakan dua sejoli yang tidak terpisahkan. Mereka bagaikan dua sisi mata uang yang senantiasa bersatu.

(6)

Minat seseorang terhadap kajian bahasa bukanlah hal yang baru sepanjang sejarah filsafat. Semenjak munculnya Retorika Corax dan Cicero pada zaman Yunani dan Romawi abad ke-4 SM sampai abad ke-2 SM hingga saat ini (Post Modern), bahasa merupakan salah satu tema kajian filsafat yang sangat menarik.

Hadirnya istilah filsafat bahasa dalam ruang dunia filsafat dapat dikatakan sebagai suatu hal yang baru. Istilah muncul bersamaan dengan kecendrungan filsafat abad ke-20 yang bersifat logosentris. Oleh karena itu, sangat wajar apabila ditemukan kesulitan untuk mendapatkan pengertian yang pasati mengenai apa sebetulnya yang dimaksud dengan filsafat bahasa.

Kaelan telah menunjukkan dua jalan yang terkandung dalam istilah filsafat bahasa, yaitu :

1. Filsafat mengenai bahasa; dan 2. Filsafat berdasarkan bahasa.

Di dalam pembahasan Buku Drs. Kaelan M.S ini, akan dibahas lebih detail tentang hakikat filsafat bahasa. Dan adapun garis-garis besar yang dibahas yaitu : (1) bahasa sebagai sumber perhatian filsafat, (2) filsafat analitika, (3) hakikat bahasa dalam hermeneutika, (4) hakikat bahasa sebagai dasar filsafat teori, (5) peranan bahasa dalam filsafat postmodenisme, defenisi bahasa dan filsafat itu sendiri, esensi bahasa ditinjau dari segi filsafat, hubungan bahasa dengan filsafat, kelemahan-kelamahan bahasa, fungsi filsafat terhadap bahasa, dan peranan filsafat bahasa dalam pengembangan bahasa serta keterbatasan bahasa.

B. Manfaat Mempelajari Filsafat Bahasa

Berfilsafat adalah berusaha menemukan kebenaran (realitas yang sesungguhnya) tentang segala sesuatu dengan berpikir serius. Kecakapan berpikir serius sangat diperlukan oleh setiap orang. Banyak persoalan yang tidak dapat di selesaikan sampai saat ini. Hal ini dikarenakan karena persoalan tidak ditangani secara serius, hanya diwacanakan saja.

C. Tujuan

Tujuan mempelajari filsafat (termasuk filsafat bahasa) adalah berlatih secara serius untuk mampu menyelesaikan suatu persoalan yang sedang dihadapi dengan cara menghadapi persoalan dengan tuntas dan logis. Seseorang tidak akan memiliki kemampuan

(7)

seperti ini jika ia tidak melatihnya. Masih banyak manfaat yang dapat kita peroleh dengan mempelajari bahasa, diantaranya adalah :

1. Menambah pengetahuan baru 2. Bisa berpikir logis

3. Biasa berpikir analitik dan kritis

4. Terlatih untuk menyelesaikan masalah secara kritis, analitik dan logis 5. Melatih berpikir jernih dan cerdas

6. Melatih berpikir obyektif

(8)

PEMBAHASAN FILSAFAT

A. Pengertian Filsafat Bahasa

Filsafat bahasa sebagai salah satu cabang filsafat memang mulai dikenal dan berkembang pada abad XX ketika para filsuf mulai sadar bahwa terdapat banyak masalah-masalah dan konsep-konsep filsafat baru dapat dijelaskan melalui analisis bahasa, karena bahasa merupakan sarana yang vital dalam filsafat (Davis,1976). Filsafat Bahasa baru dikenal dan berkembang pada abad xx, namun berdasarkan fakta sejarah hubungan filsafat dengan bahasa telah berlangsung lama bahkan sejak zaman yunani.

Perkembangan sejarah filsafat bahasa dapat dikelompokkan menjadi dua macam pengertian yaitu:

Pertama, Perhatian filsuf terhadap bahasa dalam memecahkan dan menjelaskan problema-problema dan konsep-konsep dalam filsafat. Pada periode abad XX para filosof semakin sadar bahwa banyak problema-problema serta konsep-konsep filsafat dapat dijelaskan melalui analisis bahasa misalnya berbagai macam pertanyaan filosofis seperti ‘kebenaran’, keadilan, kewajiban, kebaikan dan pertanyaan fundamental filosofis lainnya dapat dijelaskan dan diuraikan melalui analisis bahasa atau analisis penggunaan ungkapan-ungkapan bahasa.

Kedua, Filsafat bahasa dalam bidang-bidang filsafat lainnya seperti filsafat hukum, filsafat manusia, filsafat alam, filsafat sosial dan bidang-bidang filsafat lainnya yang membahas , menganalisis dan mencari hakikat dari objek material filsafat tersebut.

Jadi Bahasa sebagai objek material filsafat, sehingga filsafat bahasa membahas hakikat bahasa itu sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang fundamental tentang bahasa seperti apakah hakikat bahasa itu sebagai substansi yang merupakan makna saja yang hanya dapat dipahami, dipikirkan, dan dimengerti.

B. Hubungan Filsafat dengan Bahasa

Bahasa pada hakikatnya merupakan suatu system symbol yang tidak hanya merupakan urutan-urutan bunyi secara empiris, melainkan memiliki makna yang sifatnya nonempiris. Dengan demikian bahasa adalah merupakan system symbol yang memiliki makna, merupakan alat komunikasi manusia, penuangan emosi manusia serta merupakan

(9)

sarana pengejawantahan pikiran manusia dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam mencari hakikat kebenaran dalam hidupnya. Bertrand Russel mengatakan bahwa bahasa memiliki kesusaian dengan struktur realitas.

Setiap gagasan yang dihasilkan seseorang tidak akan diketahui oleh khalayak jika tidak dikomunikasikan melalui bahasa. Meskipun diakui bahwa bahasa mungkin dipakai untuk melaksanakan banyak fungsi komunikasi, mereka tetap menciptakan anggapan umum bahwa fungsi bahasa yang paling penting adalah penyampaian informasi. Bahasa tidak saja sebagai alat komunikasi untuk mengantarkan proses hubungan antar manusia, tetapi juga bahasa mampu mengubah seluruh kehidupan manusia. Artinya bahwa bahasa merupakan salah satu aspek terpenting dari kehidupan manusia.

Filsafat sebagai suatu aktivitas manusia yang berpangkal pada akal pikiran manusia untuk menemukan kearifan dalam hidupnya. Bahasa sehari-hari memiliki sejumlah kelemahan antara lain (1) vagueness (kesamaran), (2) inexplicitness (tidak eksplisit), (3) ambiguity (ketaksaan), (4) contex-dependence (tergantung pada konteks), (5) misleadingness (menyesatkan).

Maka dapat dikatakan bahwa hubungan bahasa dengan filsafat sangat erat bahkan tidak dapat dipisahkan terutama dalam cabang-cabang filsafat metafisika logika dan epistemologi. 1. Hubungan Bahasa dengan Metafisika

Metafisika adalah salah satu cabang filsafat di samping cabang-cabang lainnya. Aristoteles menamakan metafisika sebagai filsafat yang pertama yang membahas tentang hakikat realitas, kualitas, kesempurnaan, yang ada yang secara keseluruhan bersangkutan dengan sebab-sebab terdalam, prinsip konstitutif dan tertinggi dari segala sesuatu. Untuk itu Aristoteles menyebutnya dengan istilah ‘sofia dan teologi’ secara etimologis istilah metafisika berasal dari bahasa yunani ‘ta meta ta physica’yang secara harfiah di balik fisika atau udi balik hal-hal yang bersifat fisik.

Chistian Wolf, metafisika meliputi dua cabang yaitu ontology dan kosmologi umum, teori mengenai roh, adapun teori mengenai roh dibagi atas psikologi dan teologi kodrati (natural).

Metafisika berupaya untuk memformulasikan segala sesuatu yang bersifat fundamental dan mendasar dari segala sesuatu dan hal ini dilakukan oleh para filsuf dengan membuat eksplisit hakikat segala sesuatu tersebut dan hal ini hanya dapat dilakukan dengan

(10)

menggunakan analisis bahasa terutama karena sifat metafisika yang tidak mengacu pada realitas yang bersifat empiris

Misalnya, pertanyaan- pertanyaan fundamental yang diajukan oleh plato. Apakah keadilan, kesucian, ruang, waktu, kontadiksi, kebaikan , adalah upaya-upaya secara analitik melalui bahasa untuk membuat eksplisit tentang pertanyaan- pertanyaan metafisis tersebut.

2. Hubungan Bahasa dengan Epistemologi

Epistemologi adalah salah satu cabang filsafat yang pokok, yang secara etimologis istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani “Episteme” yang berarti pengetahuan. Berdasarkan bidang pembahasannya epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang pengetahun manusia yang meliputi sumber-sumber, watak dan kebenaran pengetahuan manusia.

Selain dalam pengetahuan peranan penting bahasa dalam epistemologi berkaitan erat dengan teori kebenaran. Terdapat tiga teori kebenaran dalam epistemologi yaitu :

a. Teori kebenaran koherensi yang menyatakan bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.

b. Teori kebenaran korespondensi yang menyatakan bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar bilamana materi pengetahuan yang dikandung dalam pernyataan itu berkorespondensi atau berhubungan dengan objek atau fakta yang diacu oleh pernyataan tersebut.

c. Teori kebenaran pragmatis yang menyatakan bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar bilamana pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia. Dengan lain perkataan bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar bilamana memiliki konsekuensi pragmatis bagi kehidupan praktis manusia.

3. Hubungan Bahasa dengan Logika

Berpikir adalah suatu bentuk kegiatan akal dan terarah sehingga dengan demikian tidak semua kegiatan manusia yang bersumber pada akal disebut berpikir. Maka peranan bahasa di dalam logika menjadi sangat penting. Kegiatan penalaran manusia sebagaimana dijelaskan adalah kegiatan berpikir, adapaun bentuk-bentuk pemikiran yaitu pengertian atau konsep, proposisi atau pernyataan, dan penalaran atau reasoning.

(11)

Ketidaksaksamaan dalam menentukan arti kata atau arti kalimat, dapat mengakibatkan kesesatan dalam penalaran. Beberapa kesesatan karena bahasa adalah (a) kesesatan karena aksen atau tekanan, (b) kesesatan karena term ekuivok, (c) kesesatan karena arti kiasan (metaphor), (d) kesesatan karena amfiboli (amphibolia).

C. Lingkup Filsafat Bahasa

Filsafat bahasa merupakan cabang filsafat khusus yang memiliki objek materi bahasa. Berbeda dengan cabang-cabang serta bidang-bidang filsafat lainnya, filsafat bahasa dalam perkembangannya tidak mempunyai prinsip-prinsip yang jelas dan terdifinisikan dengan baik (Alston, 1964 : 1). Hal ini disebabkan karena penganut-penganut fisafat bahasa atau tokoh-tokoh filsafat bahasa masing-masing mempunyai perhatian dan caranya sendiri-sendiri, meskipun juga terdapat persamaan diantara mereka, yaitu bahwa mereka kesemuanya menaruh perhatian terhadapa bahasa baik sebagai objek materi dalam berfisafat maupun bagaimana bahasa itu berfungsi dalam kegiatan filsafat.

D. Kesimpulan

Filsafat dan Bahasa adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Pada perkembangan selanjutnya, ilmu terbagi dalam beberapa disiplin, yang membutuhkan pendekatan, sifat, objek, tujuan dan ukuran yang berbeda antara disiplin ilmu yang satu dengan yang lainnya. Pembahasan filsafat bahasa sangat penting karena akan mendorong manusia untuk lebih kreatif dan inovatif. Filsafat bahasa memberikan spirit bagi perkembangan dan kemajuan ilmu dan sekaligus nilai-nilai moral yang terkandung pada setiap ilmu baik pada tataran ontologis, epistemologis maupun aksiologi.

Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality yang berbentuk jasmani/kongkret maupun rohani/abstrak.

Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu.

Aksiologi berkaitan dengan kegunaan dari suatu ilmu, hakekat ilmu sebagai suatu kumpulan pengetahuan yang didapat dan berguna untuk kita dalam menjelaskan, meramalkan dan menganalisa gejala-gejala alam. Setiap jenis pengetahuan selalu

(12)

mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu, epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Pembahasan mengenai epistemologi harus dikatikan dengan ontologi dan aksiologi.

Bahasa sehari-hari memiliki sejumlah kelemahan antara lain (1) vagueness (kesamaran), (2) inexplicitness (tidak eksplisit), (3) ambiguity (ketaksaan), (4) contex-dependence (tergantung pada konteks), (5) misleadingness (menyesatkan).

Ketidaksaksamaan dalam menentukan arti kata atau arti kalimat, dapat mengakibatkan kesesatan dalam penalaran. Beberapa kesesatan karena bahasa adalah (a) kesesatan karena aksen atau tekanan, (b) kesesatan karena term ekuivok, (c) kesesatan karena arti kiasan (metaphor), (d) kesesatan karena amfiboli (amphibolia).

(13)

BAB III

BAHASA SEBAGAI SUMBER PERHATIAN FILSAFAT

A. Pengantar

Perkembangan bahasanya biasanya terdapat di dalam bidang ekonomi, politik, maupun kulturil. Terlebih lagi dapat dilihat pada perkembangan ilmu pengetahuannya juga mengalami pertumbuhan sejajar dengan alatnya yaitu bahasa.Memang semua ahli filsafat sependapat bahwa hubungan bahasa dengan filsafat sangat erat bahkan tidak dapat dipisahkan terutama dalam pengertian pokok bahwa tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep dan oleh karena konsep-konsep tersebut terungkapkan melalui bahasa maka analisis tersebut tentunya berkaitan dengan makna bahasa yang digunakan dalam mengungkapkan konsep-konsep tersebut.

Hubungan yang sangat erat antara bahasa dengan filsafat tersebut sebenarnya telah berlangsung lama bahkan sejak zaman pra Sokrates, namun dalam perjalanan sejarah aksentuasi perhatian filsuf berbeda-beda dan sangat tergantung pada perhatian dan permasalahan filsafat yang dikembangkannya.

Karya-karya besar para filsuf Yunani yang menaruh perhatian terhadap bahasa inilah yang dilanjutkan oleh para sarjana dari Alexandrian terutama karya-karya kaum Stoa yang kemudian pada perkembangannya merupakan dasar-dasar pokok bagi pengembangan bahasa aliran tradisionalisme.

Tokoh filsuf abad pertengahan yang menaruh perhatian terhadap bahasa dalam mengklarifikasikan konsep filosofisnya terutama dalam kaitannya dengan religi adalah Thomas Aquinas. Metode analitika bahasa yang digunakan oleh Thomas dalam karyanya Summa Theologiae adalah dengan analogi dan metaphor.

Periode filsafat abad XX perhatian filsuf terhadap bahasa menjadi semakin besar. Mereka semakin sadar bahwa dalam kenyataannya terdapat banyak persoalan-persoalan

(14)

filsafat, konsep-konsep filosofis akan menjadi semakin jelas manakala menggunakan analisis bahasa.

Pengaruh linguistik modern yang didasarkan pada pemikiran filosofis dan teori Ferdinand de Saussure pengaruhnya cukup luas di berbagai wilayah di Eropa, Amerika termasuk di Indonesia sendiri.

Sejarah pemikiran umat manusia menapak terus dipimpin sang waktu . Kekhusukan manusia dalam mensyukuri karunia Sang Maha Kuasa nampanya terusik dengan munculnya kegelisahan manusia akan dirinya. Keakraban manusia dalam menafsirkan suratan Tuhan sebagaimana dilakukan oleh kaum Patristik dan Sekolastik terutama sebagaimana dilakukan oleh Thomas Aquinas pada masa abad pertengahan menjadi sirna dengan munculnya kesadaran manusia akan dirinya sendiri. Demikianlah akhirnbya fmasa kejayaan abad pertengahan memudar ditelan waktu dan munculah masa abad modern yang diawali dengan “ Renaissance”. Secara harfiah kata-kata Renaissm brerarti kelahiran kembali.

B. Zaman Yunani

Kata filsafat berasal dari kata Yunani philosophia, terdiri dari kata philos yang berarti cintaatau sahabat dan sophia yang berarti kebijaksanaan, kearifan atau pengetahuan. Jadi, philosophia berarti cinta pada kebijaksanaan atau cinta pada pengetahuan.

1. Masa Pra Sokrates

Bangsa Yunani sejak lama dikenal sebagai bangsa yang gemar akan olah pikirnya. Namun demikian sebelum para filsuf hadir dengan kemampuan refleksinya, bahasa merupakan media pengungkapan daya magis dalam komunikasinya dengan para Dewa dan kekuatan super natural lainnya.

Pemikiran filsafat Yunani bergeser dari filsafat alam kepada filsafat bahasa.(Cassirer, 1987:170). Bahkan masa Herakleitos ini disebut sebagai asal mula filsafat bahasa (Borgmann, 1974:3).

(15)

Perhatian para filsuf terhadap bahasa nampaknya menjadi semakin kental, dan saat itu muncul persoalan filosofis yaitu apakah bahasa itu dikuasai oleh alam, nature atau fisei ataukah bahasa itu bersifat konvensi atau nomos.

Pendapat yang menyatakan bahwa bahasa adalah bersifat alamiah (fisei) yaitu bahwa bahasa mempunyai hubungan dengan asal usul, sumber dalam prinsip-prinsip abadi dan tak dapat diganti di luar manusia itu sendiri dan karena itu tak dapat ditolak.

Kaum konvensionalis berpendapat bahwa makna bahasa diperoleh dari hasil-hasil tradisi, kebiasaan-kebiasaan berupa ‘tacit agreement’ yang artinya ‘persetujuan diam’karena hal ini merupakan tradisi maka dapat dilanggar dapat berubah dalam perjalanan zaman.

Kaum Sofis

Pada pertengahan abad 5 SM. Athena menjadi pusat baru seluruh kebudayaan Yunani. Waktu itu di bidang politik Athena memainkan peranan yang sangat penting di bawah pimpinan Perikles.Demikian juga halnya dengan filsafat.Terdapatlah suatu golongan yang dinamakan Sofistik, sehingga penganutnya dinamakan kaum Sofis. Mereka terkenal karena ahli di bidang retorika dan ahli berpidato.

2. Sokrates

Sokrates yang hidup antara tahun 469-399 SM adalah seorang filsuf Yunani. Ia sangat menaruh perhatian pada manusia dan menginginkan agar manusia itu mampu mengenali dirinya sendiri. Menurutnya, jiwa manusia merupakan asas hidup yang paling dalam.Jadi jiwa merupakan hakikat manusia yang memiliki arti sebagai penentu kehidupan manusia. Berdasarkan pandangannya itu, ia tidak mempunyai niat untuk memaksa orang lain menerima ajaran atau padangan tertentu. Ia justru mengutamakan agar orang lain dapat menyampaikan pandangan mereka sendiri. Untuk itu ia menggunakan metode dialektika, yaitu dengan cara melakukan dialog dengan orang lain, sehingga orang lain dapat mengemukakan atau menjelaskan pandangan atau idenya. Dengan demikian dapat timbul pandangan atau alternatif yang baru.Sokrates tidak meninggalkan tulisan-tulisan tentang

(16)

pandangannya, namun pandangan Sokrates tadi dikemukakan oleh Plato, salah seorang muridnya.

Akibat kekacauan dan kelicinan kaum Sofis maka Sokrates meluruskannya dengan suatu metode ‘dialektis-kritis’. Proses dialektis-kritis ini mengandung suatu pengertian ‘dialog antara dua pendirian yang bertentangan atau merupakan perkembangan pemikiran dengan memakai pertemuan (interplay) anta ride (Titus, 1984:17).

3. Plato

Plato (427-347 SM) mengemukakan pandangannya bahwa realitas yang mendasar adalah idea atau idea.Ia percaya bahwa alam yang kita lihat atau alam empiris yang mengalami perubahan itu bukanlah realitas yang sebenarnya. Dunia penglihatan atau dunia persepsi, yakni dunia yang konkret itu hanyalah bayangan dari ide-ide yang bersifat abadi dan imaterial.Plato menyatakan bahwa ada dunia tangkapan inderawi atau dunia nyata, dan dunia ide.Untuk memasuki dunia ide, diperlukan adanya tenaga kejiwaan yang besar dan untuk itu manusia harus meninggalkan kebiasaan hidupnya, mengendalikan nafsu serta senantiasa berbuat kebajikan.Plato menyatakan pula bahwa jiwa manusia terdiri dari tiga tingkat, yaitu bagian tinggi ialah akal budi, bagian tengah diisi oleh rasa atau keinginan, dan bagian bawah ditempati oleh nafsu.Akal budilah yang dapat digunakan untuk melihat ide serta menertibkan jiwa-jiwa yang ada pada bagian tengah dan bawah.

Plato seorang filosof dari Athena yang menuangkan karya filosofisnya diwujudkan

melalui bentuk dialog. Persoalan dikotomi tentang hakikat

bahasa ‘fisei’ dan ‘nomos’tertuang dalam dialog Cratylus dan Hermogenes. Plato mengemukakan doktrinnya yang disebut ‘onomatopoeia’ (Cassirer, 1987:171) filsafat bahasa Plato inilah yang mampu menjembatani jurang antara nama-nama dengan benda-benda.

4. Aristoteles

Aristoteles (384-322 SM) pernah menjadi murid Plato selama 20 tahun hingga Plato meninggal.Ia senang melakukan perjalanan keberbagai tempat dan pernah menjadi guru Pangeran Alexander yang kemudian menjadi Raja Alexander Yang Agung. Ia jug mendirikan

(17)

sebuah sekolah yang disebut Lyceum. Aristoteles merupakan seorang pemikir yang kritis, banyak melakukan penelitian dan mengembangkan pengetahuan pada masa hidupnya.Ia banyak menaruh perhatian pada ilmu kealaman dan kedokteran. Tulisan-tulisannya dapat dikatakan meliputi segala ilmu yang dikenal pada masanya, termasuk ilmu kealaman, masyarakat dan negara, sastra dan kesenian, serta kehidupan manusia.

Aristoteles seorang filsuf dari Stagira yang memiliki karya yang cukup banyak.Misalnya tentang prinsip kausalitas, logika, kategori demikian pula tentang filsafat bahasa. Aristoteles mengemukakan pemikiran filosofisnya bahwa terdapat sesuatu yang tetap akan tetapi tidak dalam suatu dunia ideal, melainkan dalam benda-benda jasmani sendiri. Teori Aristoteles disebut dengan istilah ‘hilemorfisme’ yaitu teori bentuk-materi.

Dikotomi ‘analogi’ dan ‘anomali’

Pembahasan tentang hakikat bahasa di Yunani ditandai pula dengan munculnya teori ‘analogi’ dan ‘anomali’ yang nampaknya berpegang pada khitohnya masing-masing. Golongan yang berpendapat analogi menyatakan bahwa alam ini memiliki keteraturan, demikian pula manusia juga memiliki keteraturan dan itu terefleksi melalui bahasa.

Kaum anomalis berpendapat bahwa bahasa dalam bentuk-bentuknya tidak teratur (irreguler).Mereka menunjuk beberapa bukti dalam kenyataan sehari-hari mengapa ada sinonimi dan homonimi mengapa ada unsur kata yang disebut netral dan jika bahasa itu bersifat konvensional semestinya kekacauan itu diperbaiki.

5. Mazhab Stoa

Mazhab Stoa didirikan oleh Zeno dari Kriton sekitar menjelang abad keempat SM. Mazhab Stoa ini terdiri atas kelompok filsuf yang ahli logika sehingga pandangan-pandangannya tentang hakikat bahasa tidak dapat dilepaskan dengan rasio yang mendasarkan pada logika.

(18)

Pendapat kaum Stoa ini memang merupakan rintisan kearah pengembangan suatu tata bahasa walaupun sifatnya masih spekulatif (Parera, 1983:44-45).

C. Zaman Romawi

Alexander Agung yang dalam sejarah telah mendirikan suatu kerajaan besar, yang meliputi juga Romawi maupun Yunani.Pemikiran-pemikiran dalam bidang filsafat bahasa walaupun masih memiliki ciri spekulatif namun telah mulai mengarah pada dasar-dasar linguistik.

1. Pemikiran Varro tentang Hakikat Bahasa

Dalam perkembangan karyanya Varro terlibat juga dalam perbincangan spekulatif yang dikotomis di Yunani yaitu antara pandangan analogi dan anomali.

Etimologi

Dalam bidang etimologi Varro mencatat perubahan bunyi dari zaman ke zaman dan perubahan makna dari sebuah kata, walaupun beberapa contohnya kurang tepat.Ia memberikan contoh perubahan bunyi ‘duellum’ menjadi ‘bellum’ = perang.

Pengertian kata

Menurut Varro perihal pembahasan kata sebenarnya terdapat bentuk-bentuk yang terjadi secara analogi dan anomali terutama dalam bahasa Latin. Yang disebut kata ialah bagian dari ucapan, yang tidak dapat dipisahkan lagi dan merupakan bentuk minimum, jika ia mempunyai deklinasi yang biasa dipakai semua orang menurut aturan.

Konsep Morfologi

Dalam bidang morfologi Varro menunjukkan orisinalitasnya dalam pembagian kelas kata.Ia menyusun satu sistem infleksi dari kata Latin dalam empat bagian sebagai berikut: Yang berinfleksi kasus --- kata benda (termasuk sifat)

Yang berinfleksi ‘tense’--- kata kerja

Yang berinfleksi kasus dan ‘tense’--- partisipel Yang tidak berinfleksi --- adverbium

(19)

Kasus dan Deklinasi

Dalam hal kasus perihal penggunaan dan maknanya dalam bahasa Latin ada 6 kasus.Berbeda dengan bahasa Yunani yang hanya mengenal 5 kasus.Kasus yang keenam adalah ablativus.Jadi ada kasus nominativus (bentuk primer, pokok), genetivus (menyatakan kepunyaan), datives (yang menerima), akusativus (objek), vokativus (panggilan) dan ablativus (menyatakan asal, dari).Konsep kasus inilah yang banyak memberi sumbangan terhadap perkembangan studi bahasa.

Dalam hal deklinasi, Varro telah membahas lebih jauh. Varro membedakan juga deklinasi dari bentuk-bentuk derivasi dan infleksi. Secara singkronis ia membedakan pula dua macam deklinasi yaitu deklinasi naturalis atau deklinasi alamiah ialah perubahan sebuah bentuk yang terjadi dengan sendirinya dan sudah terpola. Deklinasi voluntaria yaitu satu perubahan bentuk dari kata-kata secara morfologis yang bersifat selektif dan manasuka.

2. Konsep Priscia

Perkembangan pemikiran tentang hakikat bahasa lama kelamaan menjadi semakin sempurna dan berkembang ke arah studi ketatabahasaan.Konsep Priscia ini merupakan model yang paling berpengaruh terhadap perkembangan bahasa sesudahnya.

Fonologi Dan Morfologi Priscia

Dalam bidang fonologi priscia membicarakan tulisan atau huruf yang disebutnyalitterae.Litterae merupakan bagian yang terkecil dari bunyi yang dapat dituliskan.Nama dari huruf-huruf ini adalah figurae. Nilai dari bunyi ini disebur potestas. Priscia membedakan pula atas vox articulate, yaitu bunyi yang diucapkan untuk membedakan makna, vox litterata adalah bunyi-bunyi yang dapat dituliskan, apakah ia bunyi articulate atau inartikulata. Akan tetapi yang disebut vox illitterata adalah bunyi yang tidak dapat ditulis.

(20)

Menurut konsep morfologi Priscia dijelaskan bahwa kata disebut dictio.Kata adalah bagian yang minimum dari suatu ujaran dan harus diartikan terpisah dalam makna sebagai satu keseluruhan.

Dalam bidang morfologi inilah Priscia membedakan jenis kata dalam delapan macam yaitu: 1. Nomen : dalamnya termasuk kata sifat, kata benda yang menunjukkan substansi dan

kualitas.

2. Verbum : adalah jenis kata yang mempunyai infleksi untuk menunjukkan ‘tense’, modus, tetapi tidak berinfleksi kasus.

3. Participium : yaitu sebuah kelas kata yang selalu berderivasi dari verbum.

4. Pronomen : yaitu jenis kata yang dapat menggantikan nomen biasa dan biasanya menunjukkan orang pertama, kedua dan ketiga.

5. Adverbium : keistimewaan adverbium ini ialah selalu dipergunakan dalam konstruksi bersama dengan verbum dan secara sintaksis dan semantic merupakan atribut verbum. 6. Praepositio : yaitu jenis kata yang tidak mengalami infleksi juga dipergunakan sebagai kata

yang terletak di depan bentuk yang berkasus atau dalam kompositum.

7. Interjectio : jenis kata yang secara sintaksis terlepas dari verbum dan menyatakan perasaan atau sikap pikiran.

8. Conjunctio : yaitu jenis kata yang tidak mengalami infleksi dan secara sintaksis menghubungkan anggota-anggota kelas kata yang lain untuk menyatakan hubungan antara unsur satu dengan lainnya.

D. Zaman Abad Pertengahan

Perkembangan filsafat bahasa menuju pada dua arah yaitu pertama dengan ditentukannya grammatika sebagai pilar pendidikan latin serta bahasa latin sebagai titik sentral dalam khasanah pendidikan maka pemikiran spekulatif filosofis memberikan dasar yang kokoh bagi ilmu bahasa. Kedua oleh karena sistem pendidikan dan pemikiran filosofis pada saat itu sangat akrab dengan teologi, maka analisis filosofis diungkapkan melalui analisis bahasa sebagaimana dilakukan oleh Thomas Aquinas. Kemudian dasar-dasar yang mendukung berkembangnya ilmu bahasa antara lain konsep pemikiran kaum Modistaedan konsep bahasa spekulativa.

(21)

Pemikiran Thomas yang lekat dengan teologi tersebut dalam sistematika filsafatnya merupakan karya terbesar pada periode abad pertengahan terutama karyanya yang berjudul Summa Theologiae (ichtisar teologi) (Bertens, 1989:35). Pemikiran filosofis Thomas sangat dipengaruhi terutama oleh filsafat Aristoteles.

Analisis Bahasa

Analisis bahasa praktis menjadi metode yang akrab dalam penuangan pemikiran-pemikiran filosofis.Dalam pemikiran-pemikiran filosofis, Thomas menggunakan ungkapan-ungkapan dengan melalui bahasa yang bersahaja, terang dan berbentuk murni.

Untuk mencapai suatu kebenaran dalam sistem pemikirannya Thomas menggunakan analisis bahasa melalui penalaran logis dengan menggunakan prinsip deduksi yang dilakukan dengan melalui analisis premis.

Analogi Dan Metafor

Dalam filsafat Thomas doktrin tentang ‘analogi’ sebenarnya dimaksudkan justru untuk mengangkat wacana teologis ke taraf ilmiah filosofis sebagaimana dilakukan Aristoteles dan menghindarkan diri dari wacana puitik religius (Sugiharto, 1996:124).

Selain melalui analogi upaya Thomas untuk mengangkat wacana teologi ke tingkat wacana ilmiah filosofis ia mengembangkan melalui metafor. Adanya dilemma yang kemudian dipecahkan oleh Thomas melalui karyanya dengan menggunakan analisis bahasanya terutama melalui analogi dan metafor.

2. Mazhab Modistae

Kaum Modistae menaruh perhatian terhadap pemikiran hakikat bahasa secara tekum mereka mengembangkan dan nama Mostae muncul karena ucapan mereka yang dikenal dengan ‘De modis Significandi’. Dalam konsep pemikiran kaum Modistae ini unsur semantik mendapat perhatian yang utama dan digunakan pula dalam penyebutan definisi-definisi bentuk-bentuk bahasa.

(22)

Konsep bahasa spekulativa adalah merupakan hasil integrasi deskripsi gramatikal bahasa Latin seperti yang dirumuskan oleh Priscia dan Donatus ke dalam filsafat Skolastik. Tugas dari konsep bahasa spekulativa adalah untuk menemukan prinsip-prinsip tempat kata-kata sebagai sebuah tanda dihubungkan pada satu pihak dengan intelek manusia dan pada pihka lain dihubungkan kepada benda yang ditunjuk atau yang diwakilinya. Disimpulkan pula bahwa prinsip-prinsip bersifat universal dan konstan.

Kaum spekulativa berdasarkan filsafat metafisik mereka ingin mendeskripsikan bahwa semua bahasa mempunyai kesamaan jenis kata dan kategori-kategori gramatikal lainnya. Seorang tokoh yang terkenal pada masa itu yaitu Peter Helias yang secara garis besar doktrin Priscia akan tetapi ia selalu memberikan komentar berdasarkan logika Aristoteles, dan logika ini dipakai sebagai dasar kaidah penuturan bahasa yang benar dalam zaman itu (Parera, 1983:59).

E. Zaman Abad Modern

Sejarah pemikiran umat manusia menapak terus dipimpin sang waktu. Akhirnya muncullah masa abad modern yang diawali dengan ‘Renaissance’ berarti kelahiran kembali.Secara historis ‘Renaisance’ adalah suatu gerakan yang meliputi suatu zaman di mana orang merasa dirinya lahir kembali.

Perkembangan filsafat pada abad modern ini ditandai dengan hadirnya masa Aufklarung. Zaman filsafat abad modern ini muncullah berbagai tokoh pemikir yang mampu mengubah dunia terutama yang kemudian dikembangkan pada ilmu pengetahuan.

1. Rene Descartes

Filsuf yang membuka cakrawala abad modern adalah Rene Descartes sehingga ia digelar sebagai bapak filsafat modern. Pemikiran Descartes sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan filsafat analitika bahasa dan bahkan hal ini ditekankan sendiri oleh Descartes bahwa metode yang ia kembangkan itu adalah metode analitis. Untuk mencapai kebenaran pengetahuan Descartes berpangkal pada keragu-raguan terhadap segala sesuatu.

(23)

Namun keragu-raguan di sini bersifat metodis dan bukannya skiptisime mutlak, yaitu keragu-raguan sebagai suatu pandangan.

2. Thomas Hobbes

Perkembangan pemikiran filsafat setelah masa rasionalisme Descartes adalah paham empirisme. Thomas Hobbes adalah filsuf Inggris pertama yang mengembangkan aliran empirisme. Thomas Hobbes menyatukan pandangan empirisme dengan rasionalisme dalam suatu sistem filsafat materialisme.

Pemikiran filsafat materialisme sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan filsafat bahasa, baik yang berkaitan dengan pemikiran filsafat analitik maupun terhadap perkembangan pemikiran hakikat bahasa yang merupakan dasar-dasar perkembangan ilmu linguistik periode selanjutnya.

3. John Locke

Pemikiran empirisme John Locke merupakan sintesa rasionalisme Rene Descartes dengan empirisme Thomas Hobbes. Walaupun Locke menggabungkan beberapa pemikiran Descartes, namun ia menentang ajaran-ajaran pokok Descartes. Ia menentang teori rasionalisme mengenai ide-ide dan asas-asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia. Menurut Locke segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Akal atau rasio bersifat pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri, namun diperolehnya dari luar akal melalui inderawi (Hadiwijono, 1983:36).

Dalam kaitannya dengan bahasa isi pengetahuan yang timbul dari gagasan-gagasan manusia diungkapkan melalui bahasa, adapun menurut filsafat analitik yang diungkapkan melalui bahasa adalah fakta, yang tersusun atas prinsip-prinsip logika sehingga menentukan bermakna atau tidaknya ungkapan tersebut.

(24)

Ia berpendapat bahwa sama sekali tidak ada substansi-substansi material di luar kita, yang ada hanyalah ciri-ciri yang diamati atau pengalaman dalam roh saja sehingga pemikiran Berkeley dikenal dengan aliran imaterialisme (Bertens, 1989:52).

Pemikiran Berkeley ini di samping secara substansial sebagai pangkal penolakan kalangan filsuf analitika bahasa karena dasar metafisisnya yang bersifat imaterialis, karena prinsip utama para filsuf analitis adalah penolakannya terhadap metafisika, juga memiliki sisi positif yang dikembangkan oleh positivisme logis yaitu pengamatan yang kalau menurut istilah positivisme logis adalah sebagai prinsip verifikasi.

5. David Hume

Tradisi pemikiran empirisme yang paling konsekuen dan radikal adalah pemikiran David Hume.Menurut Hume bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya dan sumber pengetahuan adalah pengamatan.

Pengaruh pemikiran empirisme sangat kuat terhadap filsuf bahasa yang membahas dan mengembangkan pengertian hakikat bahasa terutama dalam kaitannya dengan perkembangan linguistik modern yang mengakui hakikat realitas bahasa sebagai suatu realitas empiris.

6. Immanuel Kant

Kant adalah filsuf Jerman yang berusaha untuk melakukan suatu sintesa baru terhadap suatu pemikiran filsafat yang pada saat itu berkembang yaitu paham rasionalisme dan empirisme (Hadiwijono, 1983:63). Pemikiran Kant tersebut dikenal dengan paham ‘kritisisme’. Menurutnya kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio.

Kritik atas rasio murni

Kritisisme Kant sebagai suatu usaha raksasa untuk menjembatani rasionalisme dengan empirisme.Menurut Kant baik rasionalisme maupun empirisme sebenarnya

(25)

keduanya bersifat berat sebelah.Ia berusaha menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan paduan atau sintesa antara unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori.

Kritik atas rasio praktis

Rasio dapat menjalankan ilmu pengetahuan, sehingga rasio disebut rasio teoritis atau menurut istilah Kant disebut ‘rasio murni’. Tetapi di samping itu juga ‘rasio praktis’ yaitu rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan, atau dengan lain perkataan rasio yang memberikan perintah kepada kehendak kita. Kant memperlihatkan bahwa rasio praktis memberikan perintah yang mutlak (imperatif kategoris).

7. Positivisme August Comte

Menurut aliran positivisme bahwa pengetahuan berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual atau yang positif. Segala uraian atau persoalan yang berada di luar apa yang ada sebagai fakta dikesampingkan. Oleh karena itu metafisika ditolak.

Pemikiran August Comte

Ajaran Comte yang paling terkenal adalah tiga tahap perkembangan pemikiran manusia, baik manusia perorangan maupun umat manusia sebagai keseluruhan.Bagi Comte perkembangan menurut tiga tahap atau tiga zaman tersebut merupakan suatu hukum yang tetap. Ketiga zaman tersebut meliputi zaman teologis, zaman metafisis dan zaman positif atau zaman ilmiah.

F. Kesimpulan

Bangsa Yunani sejak lama dikenal sebagai bangsa yang gemar akan olah pikirnya. Namun demikian sebelum para filsuf hadir dengan kemampuan refleksinya, bahasa merupakan media pengungkapan daya magis dalam komunikasinya dengan para Dewa dan kekuatan super natural lainnya.

Pemikiran-pemikiran dalam bidang filsafat bahasa walaupun masih memiliki ciri spekulatif namun telah mulai mengarah pada dasar-dasar linguistik. Perkembangan filsafat bahasa menuju pada dua arah yaitu pertama dengan ditentukannya grammatika sebagai pilar

(26)

pendidikan latin serta bahasa latin sebagai titik sentral dalam khasanah pendidikan maka pemikiran spekulatif filosofis memberikan dasar yang kokoh bagi ilmu bahasa.

Perkembangan filsafat pada abad modern ini ditandai dengan hadirnya masa Aufklarung. Zaman filsafat abad modern ini muncullah berbagai tokoh pemikir yang mampu mengubah dunia terutama yang kemudian dikembangkan pada ilmu pengetahuan

BAB IV

FILSAFAT ANALITIKA BAHASA

A. Pengantar

Filsafat analitik atau filsafat linguistik atau filsafat bahasa, penggunaan istilahnya tergantung pada preferensi filusuf yang bersangkutan. Namun pada umumnya kita dapat menjelaskan pendekatan ini sebagai suatu yang menganggap analisis bahasa sebagai tugas mendasar filusuf.

B. Filsafat Sebagai Analisis Bahasa

Bahasa adalah alat yang paling utama bagi seorang filsuf serta merupakan media untuk analisis dan refleksi. Oleh karena itu bahasa sangat sensitif terhadap kekaburan serta kelemahan-kelemahan lainnya, sehingga banyak filsuf menaruh perhatian untuk menyempurnakannya. Hal ini terutama dengan timbulnya aliran filsafat analitika bahasa yang memandang bahwa problema-problema filosofis akan menjadi terjelaskan menekala menggunakan analisis terminologi gramatika, bahkan kalangan filsuf analitika bahasa menyadari banyak ungkapan-ungkapan filsafat yang sama sekali tidak menjelaskan apa-apa. Berdasarkan hal tersebut maka banyak kalangan filsuf terutama para tokoh filsafat analitika bahasa menyatakan bahwa tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep. Sebagaimana

(27)

kita ketahui misalnya banyak filsuf yang mengetengahkan konsepnya melalui analitika bahasa, misalnya ‘apakah keadilan itu’, ‘apakah yang dimaksud dengan kebenaran’, ‘apakah yang dimaksud dengan kebaikan’ dan lain sebagainya. Kegiatan yang semacam itu merupakan suatu permulaan dari suatu usaha pokok filsafat untuk mendapatkan kebenaran hakiki tentang segala sesuatu termasuk manusia sendiri.

Namun demikian kegiatan para filsuf semacam itu dewasa ini dianggap tidak mencukupi karena tidak didukung dengan pengamatan dan pembuktian yang memadai untuk mendapatkan kesimpulan yang adekuat. Oleh karena itu untuk menjawab pertanyaan yang fundamental tentang hakikat segala sesuatu para filsuf berupaya untuk memberikan suatu argumentasi yang didukung dengan analisis bahasa yang memenuhi syarat-syarat logis. Untuk itu terdapat tiga cara untuk memformulasikan problema filsafat secara analitis misalnya masalah sebab-akibat, kebenaran, pengetahuan ataupun kewajiban moral, misalnya tentang hakikat pengetahuan sebagai berikut:

1. Kita menyelidiki pengetahuan itu.

2. Kita menganalisis konsep pengetahuan itu.

3. Kita ingin membuat eksplisit kebenaran pengetahuan itu.

Untuk pemecahan yang pertama mustahil dapat dilaksanakan karena seakan-akan filsafat itu mencari dan meneliti suatu entitas (keberadaan) sesuatu yang disebut pengetahuan berada bebas dari pikiran manusia. Untuk yang kedua itu juga menyesatkan karena seakan-akan tugas filsafat untuk memeriksa, meneliti dan mengamati sesuatu yang disebut pengetahuan. Kemudian menentukan bagian-bagiannya, menentukan hubungan-hubungannya hingga menjadi suatu konsep yang disebut pengetahuan.

Kiranya hanya kemungkinan alternatif yang ketiga saja yang layak dilakukan oleh filsafat, yaitu bahwa tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep tersebut senantiasa melalui bahasa. Memang filsafat sebagai analisis konsep-konsep tersebut senantiasa berkaitan dengan bahasa yang berkaitan dengan makna (semantik) dan tidak turut campur dalam bahasa itu sendiri sebagai suatu realitas.

(28)

Problem yang muncul berkaitan dengan filsafat sebagai analisis konsep-konsep yaitu kekurangan dan keterbatasan bahasa sebagaimana dihadapi oleh disiplin ilmu-ilmu lainnya. Konsep-konsep filsafat senantiasa diartikulasikan secara verbal sehingga dengan demikian maka bahasa memiliki peranan yang netral. Dalam pengertian inilah menurut Alston bahwa bahasa merupakan laboraturium filsafat untuk menguji dan menjelaskan konsep-konsep dan problema-problema filosofis bahkan untuk menentukan kebenaran pikirannya.

Kedudukan filsafat sebagai analisis konsep-konsep dan mengingat peranan bahasa yang bersifat sentral dalam mengungkapkan secara verbal pandangan-pandangan dan pemikiran filosofis maka timbullah suatu masalah yaitu keterbatasan bahasa sehari-hari yang dalam masalah tertentu tidak mampu mengungkapkan konsep filosofis. Menanggapi peranan bahasa sehari-hari dalam kegiatan filsafat maka terdapat dua kelompok filsuf yang memiliki pandangan yang berbeda.

1. Terdapat kelompok filsuf yang beranggapan bahwa sebenarnya bahasa biasa (ordinary language) yaitu bahasa yang sehari-hari digunakan dalam komunikasi manusia itu telah cukup untuk maksud-maksud filsafat atau dengan lain perkataan bahasa sehari-hari itu memadai sebagai sarana pengungkapan konsep-konsep filsafat. Namun demikian harus diakui bahwa untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan bahasa sehari-hari bahasa filsafat harus diberikan suatu pengertian yang khusus atau harus memberikan suatu penjelasan terhadap penyimpangan tersebut. Menurut pandangan ini (terutama aliran filsafat bahasa biasanya Wittgenstein II) masalah-masalah filsafat itu timbul justru karena adanya penyimpangan-penyimpangan penggunaan bahasa biasanya oleh para filsuf dalam berfilsafat, sehingga timbullah kekacauan dalam filsafat dan penyimpangan itu tanpa suatu penjelasan agar dapat dimengerti (Poerwowidagdo, tanpa tahun: 10). Misalnya kita sering mendengarkan suatu ungkapan filosofis yang menyatakan bahwa suatu ungkapan itu secara metafisis memiliki makna yang dlam tanpa memberikan alasan yang memadai agar memiliki suatu dasar kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka menurut pandangan yang pertama ini tugas filsuf dalam memberikan semacam terapi untuk penyembuhan dalam kelemahan penggunaan bahasa filsafat tersebut.

2. Sebaliknya terdapat kelompok filsuf yang menganggap bahwa bahasa sehari-hari itu tidak cukup untuk mengungkapkan masalah-masalah dan konsep-konsep filsafat. Masalah-masalah filsafat itu justru timbul karena bahasa biasa itu tidak cukup untuk tujuan analisis

(29)

filosofis Karena bahasa sehari-hari memiliki banyak kelemahan dan demi kejelasan kebenaran konsep-konsep filosofis maka perlu dilakukan suatu pembaharuan bahasa, yaitu perlu diwujudkan suatu bahasa yang sarat dengan logika sehingga ungkapan-ungkapan bahasa dalam filsafat kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan. Kelompok filsuf ini antara lain Leibniz, Ryle, Rudolf Carnap, Bertrand Russell dan tokoh lainnya. Menurut kelompok filsuf ini tugas filsafat yaitu membangun dan mengembangkan bahasa yang dapat mengatasi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam bahasa sehari-hari itu. Dengan suatu kerangka bahasa yang sedemikian itu kita dapat memahami dan mengerti tentang hakikat fakta-fakta atau kenyataan-kenyataan dunia. Maka yang menjadi perhatian kita yang terpenting adalah usaha bahwa perhatian filsafat itu memang berkenaan dengan konsepsi umum tentang bahasa serta makna yang terkandung di dalamnya. Demikianlah kiranya perhatian filsafat terhadap bahasa dan hal ini mengingat tugas utama filsafat adalah analisi konsep-konsep dan oleh karena ungkapan filosofis itu bersifat verbal maka upaya untuk membuat bahasa itu memadai dalam berfilsafat jadi sangat penting sekali.

C. Pengertian Filsafat Bahasa (Analitik) dan Perkembangannya

Para filosof sadar bahwa dalam kenyataannya banyak persoalan-persoalan filsafat, konsep-konsep filosofis akan menjadi jelas dengan menggunakan analisis bahasa. Tokoh-tokoh filsafat analitika bahasa hadir dengan terapi analitika bahasanya untuk mengatasi kelemahan, kekaburan, kekacauan yang selama ini ada dalam berbagai macam konsep filosofis.

Secara etimologi kata analitik berarti investigative, logis, mendalam, sistematis, tajam dan tersusun. Menurut Rudolph Carnap, filsafat analitik adalah pengungkapan secara sistematik tentang syntax logis (struktur gramatikal dan aturan-aturannya) dari konsep-konsep dan bahasa khususnya bahasa ilmu yang semata-mata formal.

Berbeda dengan Rudolph Carnap, Roger Jones menjelaskan arti filsafat analitik bahwa baginya tindak menganalisis berarti tindak memecah sesuatu ke dalam bagian-bagiannya. Tepat bahwa itulah yang dilakukan oleh para filosof analitik.

(30)

Dijelaskan pula di dalam kamus populer filsafat bahwa filsafat analitik adalah aliran dalam filsafat yang berpangkal pada lingkaran Wina. Filsafat analitik menolak setiap bentuk filsafat yang berbau metafisik. Juga ingin menyerupai ilmu-ilmu alam yang empirik, sehingga kriteria yang berlaku dalam ilmu eksakta juga harus dapat diterapkan pada filsafat (misalnya harus dapat dibuktikan dengan nyata, istilah-istilah yang dipakai harus berarti tunggal, jadi menolak kemungkinan adanya analogi).

Filsafat analitik adalah suatu gerakan filosof Abad ke 20, khususnya di Inggris dan Amerika Serikat yang memusatkan perhatiannya pada bahasa dan mencoba menganalisa pernyataan-pernyataan (konsep-konsep, ungkapan-ungkapan kebahasaan, atau bentuk-bentuk yang logis) supaya menemukan bentuk-bentuk-bentuk-bentuk yang paling logis dan singkat yang cocok dengan fakta-fakta atau makna-makna yang disajikan. Yang pokok bagi filsafat analitik adalah pembentukan definisi baik yang linguistik atau nonlinguistik nyata atau yang konstektual.

Filsafat analitik sendiri, secara umum, hendak mengklarifikasi makna dari penyataan dan konsep dengan menggunakan analisis bahasa.Bilamana dikaji perkembangan filsafat setidaknya terdapat empat fase perkembangan pemikiran filsafat, sejak munculnya pemikiran yang pertama sampai dewasa ini, yang menghiasi panggung sejarah umat manusia.

1. Kosmosentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan alam sebagai objek pemikiran dan wacana filsafat, yaitu yang terjadi pada zaman kuno.

2. Teosentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan Tuhan sebagai pusat pembahasan filsafat, yang berkembang pada zaman abad pertengahan.

3. Antroposentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan manusia sebagai objek wacana filsafat, hal ini terjadi dan berkembang pada zaman modern.

4. Logosentris yaitu fase perkembangan pemikiran filsafat yang meletakkan bahasa sebagai pusat perhatian pemikiran filsafat dan hal ini berkembang setelah abad modern sampai sekarang. Fase perkembangan terakhir ini ditandai dengan aksentuasi filosof pada bahasa yang disadarinya bahwa bahasa merupakan wahana pengungkapan peradaban manusia yang sangat kompleks itu.

(31)

Mengenai filsafat analitika bahasa,pada dasarnya perkembangan filsafat ini meliputi tiga aliran pokok yaitu atomisme logis, positivisme logis, dan filsafat bahasa biasa.

Perhatian filsafat terhadap bahasa sebenarnya telah berlangsung lama, bahkan sejak zaman Prasokrates, yaitu ketika Herakleitos membahas tentang hakikat segala sesuatu termasuk alam semesta. Bahkan Aristoteles menyebutnya sebagai “para fisiologis kuno” atau ‘hoi arkhaioi physiologoi’. Seluruh minat herakleitos terpusatkan pada dunia fenomenal. Ia tidak setuju bahwa di atas dunia fenomenal ini, terdapat ‘dunia menjadi’ namun ada dunia yang lebih tinggi, dunia idea, dunia kekal yang berisi ‘ada’ yang murni. Meskipun begitu ia tidak puas hanya dengan fakta perubahan saja, ia mencari prinsip perubahan.

Menurut Herakleitos, prinsip perubahan ini tidak dapat ditemukan dalam benda material. Petunjuk ke arah tafsiran yang tepat terhadap tata kosmis bukanlah dunia material melainkan dunia manusiawi, dan dalam dunia manusiawi ini kemampuan bicara menduduki tempat yang sentral. Dalam pengertian inilah maka medium Herakleitos bahwa “kata” (logos) bukan semata-mata gejala antropologi. Kata tidak hanya mengandung kebenaran universal. Bahkan Herakleitos mengatakan “jangan dengar aku”, “dengarlah pada sang kata dan akuilah bahwa semua benda itu satu”. Demikian sehingga pemikiran Yunani awal bergeser dari filsafat alam kepada filsafat bahasa yang diletakkan sebagai objek kajian filsafat.

Filsafat bahasa mulai berkembang pada abad ke XX dengan telaah analitik filosofi Wittgenstein tentang bahasa. Noam Chomskylah yang pertama-tama mengangkat bahasa sebagai disiplin linguistik. Grice dan Quinelah yang mengangkat meaning sebagai intensionalitas si pembicara dan meaning dalam konteks kejadiannya. Davidson lebih lanjut mengetengahkan tentang struktur semantik, untuk memahami bahasa, termasuk unsur-unsurnya dan mengembangkan tentang interpretasi yang dapat berbeda antara si pembicara dan yang dibicarakan. Frege lebih lanjut mengembangkan konsep tentang referensi. Ekspresi bahasa bukan hanya representasi of mine, tetapi juga mengandung referensi, yaitu hal-hal yang relevan dengan pernyataan yang ditampilkan.

(32)

Filsafat abad modern memberikan dasar-dasar yang kokoh terhadap timbulnya filsafat analitika bahasa. Peranan rasio, indra, dan intuisi manusia sangat menentukan dalam pengenalan pengetahuan manusia. Oleh karena itu aliran rasionalisme yang menekankan otoritas akal, aliran empirisme yang menekankan peranan pengalaman indra dalam pengenalan pengetahuan manusia serta aliran imaterialisme dan kritisme Immanuel Kant menjadi sangat penting sekali pengaruhnya terhadap tumbuhnya filsafat analitika bahasa terutama dalam pengungkapan realitas segala sesuatu melalui ungkapan bahasa.

D. Atomisme Logis

Atomisme logis merupakan salah satu teori yang ada dalam aliran filsafat analitik bahasa. Istilah ini dinisbatkan kepada dua filosof Anglo-Saxon, yaitu Bertran Russell dan Ludwig Wittgenstein (1899-1951). Bertran Russel adalah seorang sarjana yang lahir dari lingkungan Universitas Cambridge Inggris. Ia banyak menulis tentang berbagai persoalan diantaranya tentang filsafat, politik, pendidikan, sejarah dan agama.

Konsep atomisme logis yang dikembangkan oleh Russell dan wittgenstein sebenarnya terdapat perbadaan antara keduanya. Akan tetapi jika dilihat dari sudut pandang pendekatannya antara keduanya terdapat kesamaan yang sangat signifikan.

E. Pengaruh Idealisme F.H. Bradley

Menurut aliran Idealisme bahwa realitasterdiri atas ide-ide, pikiran-pikiran, akal, jiwa (mind) dan bukannya benda-benda material dan kekuatan.

Menurut pandangan Bradley, metode kau empiris itu adalah suatu kesalahan. Kaum empiris kurang memperhatikan putusan (judgements) atau proposisi, dan hal inilah yang menjadi sasran kritik kaum idealis, dan dalam kenyataannya hal inilah yang merupakan perbedaan yang paling dalam antara Immanuel Kant dan David Hume.

F. George Edward Moore

Suatu ketahanan dari ”akal sehat (common sense)” adalah salah satu ide terbesar Moore. Pada dasarnya, Moore tertarik pada sesuatu yang kita sebut ”ordinary life”. Moore percaya bahwa sebagian besar akal sehat (common sense) adalah sesuatu yang benar dan bahwa kita tahu apa yang kita bicarakan tentang kebiasaan, bahasa, dan akal sehat. Kebanyakan ahli filsafat, selain Moore, telah membuat suatu cara keluar dari perdebatan tentang akal sehat. Bagaimanapun, dalam dua hal yaitu bahasa yang biasa dan dalam filsafat, ada beberapa pernyataan yang keduanya dapat dibuktikan, dan Moore memandang seperti

(33)

yang dia kerjakan bahwa penemuan kebenaran atau kepalsuan dari dalil-dalil termasuk bukan terletak dalam bahasa yang biasa dan filsafat, tetapi ada pada analisis makna dari dalil-dalil. Dengan analisis tersebut, Moore berfikir cara yang dapat memperjelas terhadap pemahaman yang lebih baik terhadap arti kebenaran dan kebenaran dari apa yang kita katakan dan kita tulis.

Illustrasi : kata-kata ”baik”, ”tahu”, ”nyata” .Kita semua tahu arti kata-kata tersebut dalam keseharian dan sesuatu yang diterima akal sehat. Moore percaya bahwa kita telah memiliki suatu konsep tentang ”baik” sudah ada dalam pikiran kita sebelum kita mempergunakannya. , akan tetapi mengetahui maksud (atau memiliki konsep) dan menganalisis makna/ maksud adalah dua hal yang berbeda. Menganalisis suatu makna akan membanu kita memahami secara lebih tepat dan jelas dari makna tersebut , atau dengan kata lain kita dapat menyebutnya ”kebaikan yang sesuai/ cocok” .

G. Filsafat Atomisme Logis Betrand Russel

Menurut Russell untuk memahami atomisme logis kita harus memahami tujuan filsafat terlebih dahulu yang terdiri dari tiga tujuan yaitu:

a. Filsafat memiliki tujuan untuk mengembalikan seluruh ilmu pengetahuan kepada bahasa yang paling padat dan sederhana. Menurutnya tugas filsafat yaitu merumuskan pandangan yang mendasari semua ilmu khusus, yaitu dengan jelas merumuskan suatu sintesis.

b. Menghubungkan logika dan matematika. Russel menghendaki dalam dunia pendidikan antara jurusan ilmu pasti (eksak) dan jurusan sastra tidak dipisahkan. Karena menurutnya logika dan tata bahasa tidak hanya penting bagi bahasa, melainkan juga merupakan dasar bagi matematika.

c. Analisis bahasa. Tujuan ketiga ini pada dasarnya merupakan titik puncak dari tujuan filsafat Russell, yaitu untuk mencari pengetahuan yang benar.

Ketiga tujuan filsafat Russell tersebut sangat mempengaruhi seluruh pemikiran filsafatnya, termasuk mempengaruhi konsep atomisme logis. Juga merefleksi terhadap landasannya, yaitu bahasa logika dan corak logika, teori isomorfi (teori kesepadanan) dan proposisi atomik. Ketiga landasan filsafat ini merupakan arah prinsipil untuk memahami filsafat atomisme logis.

(34)

Bahasa logika menurut Russell akan sangat membantu terhadap aktivitas analisis bahasa, termasuk Formulasi Logika Bahasa Dan Prinsip Kesesuaian (Isomorfi). Sebab, ia berkeyakinan bahwa teknik analisis bahasa yang didasarkan pada bahasa logika yang mampu melukiskan hubungan antara struktur bahasa dan struktur realitas.

Selanjutnya, kata Russell tugas dari filsafat pada dasarnya merupakan analisis logis yang diikuti sintesis logis tentang fakta-fakta. Yang dimaksud dengan analisis logis tentang fakta adalah ialah pemikiran yang didasarkan pada metode deduksi untuk mendapatkan argumentasi apriori, yaitu kebenaran yang sudah diketahui kebenarannya sebelum dilakukan suatu percobaan atau penelitian. Sedangkan sintesis logis yaitu suatu proses menentukan makna pernyataan atas dasar empirik yang dengan sendirinya akan melahirkan pengetahuan yang baru. Dalam filsafat Kant pengetahuan ini disebut dengan pengetahuan sintesis a-posteriori.

Russell menerapkan teknik analisis bahasa untuk memecahkan problema filsafat. Akan tetapi ia lebih mendahulukan analosis logis daripada sintesis logis. Karena, teori yang hanya didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat empiris tidak akan bisa menjangkau pengetahuan yang universal. Sebab, kebenaran yang bersifat logis dan matematis yang diungkapkan melalui analisis logis akan meyakinkan kita untuk mengakui keberadaan sifat-sifat yang universa. Berdasarkan uraian tersebut, tampak jelas bahwa Russell hendak menyusun atomisme logis dengan berpijak pada bahasa logika. Dengan bahasa logika itulah ia melakukan kerja analisis bahasa bagi bahasa filsafat untuk memperoleh apa yang disebutnya sebagai atom-atom logis atau proposisi atomis.

Russell memandang proposisi sebagai suatu simbol-simbol yang rumit yang bisa benar atau salah, dan dia juga menegaskan bahwa di dunia realita ini yang menentukan proposisiitu benar atau salah adalah fakta. Proposisi itu terdiri dari simbol-simbol atau sebutan-sebutan (nama) yang simpel. Suatu sebutan mempunyai makna jika merujuk pada objek. Namun demikian ini tidak berarti bahwa semua nama yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari adalah simbol-simbol dalam pengertian ini. Hal ini karena struktur bahasa keseharian bisa jadi salah dan ini merupakan salah satu tugas dari bahasanya. Russell meminta teorinya tentang deringkasan merupakan pelaksanaan paradigmatis dari tugas ini. Maksudnya bahwa frase yang bersifat deskriptif merupakan simbol-simbol yang tidak

(35)

sempurna yang kegunaannya tidak bergantung pada suatu refrensi tertentu dan karena itu implikasi ontologis yang salah dari bahasa sehari-hari tidak diperdebatkan. Dengan cara ini, Russell mengangkat maxim (dalil) metodologi bahwa melalui analisis bahasayang logis seseorang bisa mengungkapkan simbol-simbol yang benar-benar sederhana dengan mana dunia dibangun.

H. Atomisme Logis Ludwig Wittgenstein

Wittgenstein adalah seorang filosof asal Wina Austria yang merupakan sahabat dan sekaligus murid Russell yang sangat cemerlang. Akan tetapi dalam berbagai hal Russell mengakuinya sebagai murid dari Wittgenstein. Dari sini kita dapat melihat bahwa hubungan antara Russell dan Wittgenstein tidak hanya memiliki hubungan yang erat dalam bidang intelektual saja, akan tetapi di luar itu juga.

Pada awalnya filsafat wittgenstein banyak hal yang mirip dengan logika atomisme Russell. Tulisan-tulisan keduanya sama-sama berasumsi bahwa analisis yang logis dari bahasa harus menjelaskan unsur pokok atom dari dunia ini. Namun, wittsgenstein tidak mencurahkan perhatiannya terhadap hakikat atom dan batas pengetahuan kita tentang atom sebagai unsur pokok, melainkan lebih mencurahkan pada hakekat dan batas-batas bahasa itu sendiri.

Ciri-ciri khas proposisi sebagai gambar realitas yang logis yakni dapat melahirkan batasan yang sempit pada wilayah wacana yang signifikan. Batasan itu ditandai oleh dua sikap ekstrim yang berhadap-hadapan, dan diantara dua ekstrim ini terdapat statemen-statemen yang sejati, yang semuanya memfungsikan proposisi pokoknya untuk kebenaran. Jika proposisi ini hanya menggambarkan gambar realitas empirik, maka persoalan-persoalan kehidupan lainnya seperti etika, tata nilai, tentang makna dan tujuan hidup menjadi terusir kaluar dari wilayah wacana yang signifikan.

1. Pemikiran Filsafat Wittgenstein Periode II

Setelah karyanya Tractatus Logico Philosophicus, Wittgenstein tidak menulis karya apa pun sampai ia kembali ke Cambridge pada tahun 1929. Pada masa ini ia aktif memberikan kuliah dan ceramah sehingga beberapa kelompok mahasiswa tertarik untuk membukukan karya beliau. Ia juga sedang mempersiapkan secara bertahap karya besarnya yang kedua Philosophical Investigations dengan bantuan beberapa mahasiswanya. Bagian

(36)

pertama buku tersebut merupakan bagian luas yang diselesaikan sendiri oleh Wittgenstein, sedangkan bagian kedua ditampilkan dengan gaya dan susunan yang berbeda dan diselesaikan oleh dua orang mahasiswanya G. Ascombe dan Rush Rhees. Kedua murid inilah yang kemudian menerbitkan buku tersebut setelah kematian Wittgenstein. Philosophical Investigations yang diterbitkan pada tahun 1953 merupakan karya filsafat yang unik bahkan ditampilkan secara berbeda dengan karya-karya filsafat lainnya termasuk Tractatus. Sedangkan bagian kedua diuraikan dengan tanpa memberikan nomor pada setiap paragrafnya.

Karya kedua ini dikembangkan dengan orientasi dasar analisis baru sehingga dalam berbagai uraiannya ia mengkritik beberapa tesis dalam karya pertama terutama yang berkaitan dengan ide utopisnya tentang bahasa ideal yang sarat dengan formulasi logika. Melalui Philosophical Investigations, Wittgenstein mengembangkan paradigma baru dalam filsafat analitik yang mendasarkan analisis pada ordinary language yaitu dengan menekankan aspek-aspek permainan bahasa (language game). Dalam hal ini, filsafat analitis menyesuaikan diri dengan pandangan yang menekankan bahwa bahasa memiliki keanekaragaman bentuk dan fungsi dalam kehidupan manusia sehingga penggunaan bahasa dikondisikan oleh aturan penggunaannya. Atas dasar ini, tidak mengherankan jika karya Philosophical Investigations memuat banyak contoh konkret, praktis, riil dan kadang imajiner dengan intensi dasar agar pembaca dapat memahami makna bahasa dalam keanekaragaman bentuk penggunaannya. Dalam karya ini, Wittgenstein menepis adanya bahasa universal yaitu sebuah bahasa yang merangkum segala bahasa berdasarkan aturan-aturan logika. Sebagai gantinya mengembangkan teori tentang adanya bahasa khusus (private language) yang menjelaskan keberanekaragaman pola penggunaan bahasa. Karena itu dalam karya ini, Wittgenstein tidak memungkiri bahasa metafisis, teologi dan etika tetapi menegaskan bahwa bahasa-bahasa tersebut merupakan salah satu dari ragam bahasa yang khusus: salah satu model permainan bahasa dalam kehidupan manusia.

Dalam bagian ini, penulis ingin menyajikan beberapa pengertian penting filsafat Wittgenstein yang tertuang dalam karya keduanya ini. Ada beberapa topik penting yang dapat dijadikan kerangka pikir untuk mendalami perubahan filosofis dan pemikiran kritis Wittgenstein terhadap karya periode pertamanya.

(37)

2. Permainan Bahasa (language games)

Permainan bahasa merupakan konsep yang fundamental dalam Philosophical Investigation, seperti halnya teori gambar dalam Tractatus Logicus Philosophicus. Dalam upaya membuka kabut kesalahpahaman bahasa dalam filsafat, Wittgenstein berkeyakinan bahwa penyelidikan filosofis mesti dihantar pada konteks penggunaan bahasa dalam kalimat dan dalam hubungan antara kalimat itu dengan tindakan bahasa tertentu. Hal ini diyakini karena pada suatu kalimat yang sama dapat memiliki kemungkinan penggunaan yang sangat berbeda tergantung pada apa yang sedang dikerjakan dan dalam konteks apa kalimat itu dipergunakan.

Hal ini diasumsikan oleh gagasan yang menyatakan bahwa setiap penggunaan bahasa memiliki aturan main tersendiri. Misalnya, perintah untuk “membawa lima buah papan” berbeda dengan laporan “membawa lima buah papan”. Penggunaan kalimat “membawa lima buah papan” pada analisis tersebut, menggambarkan perbedaan makna dalam konteks penggunaan bahasa yang berbeda-beda oleh karena “aturan main” yang berbeda-beda. Wittgenstein berpendapat bahwa terdapat banyak permainan bahasa bahkan tak terhitung jumlahnya sehingga memiliki sifat yang sangat beragam dan kompleks misalnya melaporkan suatu kejadian, meramalkan kejadian, menceritakan pengalaman dan aneka bentuk permainan bahasa lainnya.

Wittgenstein mengawali deringkasannya tentang permainan bahasa dengan menyatakan bahwa permainan bahasa berkaitan dengan bahasa sehari-hari yang bersifat sederhana. Permainan bahasa merupakan sebuah proses alamiah penggunaan bahasa natural sejak kanak-kanak, karena itu Wittgenstein menyebut permainan bahasa sebagai sebuah bahasa primitif. Secara lebih luas Wittgenstein mengatakan bahwa keseluruhan tindakan penggunaan bahasa dalam konteks kehidupan manusia senantiasa terjalin dalam suatu hubungan tata permainan bahasa. Setiap ragam bahasa memiliki tata permainan bahasa tertentu. Dengan kata lain, bahasa adalah penampakan dari permainan bahasa.

Permainan bahasa merupakan suatu peristiwa yang tidak dapat diprediksi karena permainan bahasa bersifat spasio-temporal (dikondisikan oleh konteks waktu dan tempat tertentu). Dalam permainan bahasa tidak ada satu norma baku yang mengikat dan berlaku absolut bagi setiap ragam penggunaan walaupun untuk ragam penggunaan yang sama.

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan atau problema filsafat ilmu mancakup ; pertama Problem ontologi ilmu; perkembangan dan kebenaran ilmu sesungguhnya bertumpu pada landasan ontologis (‘apa

Oleh karena itu, mengapa filsafat sering disebut para ahli sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan di mana ilmu tersebut selalu berkaitan dengan filsafat sebagai sumber acuan.

Keempat, selain masalah-masalah tersebut di atas, filsafat bahasa sebagai juga membahas hakikat bahasa sebagai objek material filsafat, bahkan lingkup pembahasan

Sedangkan, ruang lingkup dari kajian filsafat bahasa ialah hal-hal yang tidak terlepas dari. ranah filsafat

Sejarah kelahiran dan perkembangan filsafat ilmu sangat membantu kita untuk dapat lebih mengenal dan memahami filsafat ilmu itu sendiri, sebab pengetahuan tentang sejarah

Jika melihat perkembangan filsafat analitik bahasa mulai dari awal abad 20 hingga perkembangan mutakhir di tahun-tahun sesudah perang dunia ke 2, tampak bahwa landasan pemikiran

Secara sederhana, Muntasyir (1988:45-47) memberikan definisi filsafat bahasa yaitu ‘suatu penyelidikan secara mendalam terhadap bahasa yang dipergunakan dalam filsafat, sehingga

Kompetensi Dasar Memahami pengertian filsafat, perbandingan filsafat ilmu dan agama, sejarah filsafat, obyek filsafat, cabang utama filsafat, aliran-aliran filsafat, dan perkembangan