• Tidak ada hasil yang ditemukan

PETERNAKAN. Volume 11 Nomor 1 Tahun 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PETERNAKAN. Volume 11 Nomor 1 Tahun 2008"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

Fakultas Peternakan

PETERNAKAN

V

olume

11 N

MaJalaH ilMiaH

omor

1 T

ahuN

2008

PENDUGAAN BOBOT BADAN MELALUI ANALISIS MORFOMETRIK DENGAN

PENDEKA-TAN REGRESI TERBAIK BEST - SUBSET PADA DOMBA GARUT TIPE PEDAGING,

TANGKAS DAN PERSILANGANNYA

A. Gunawan., K. Jamal dan C. Sumantri ... 1

PENGARUH TIPE LANTAI KANDANG DAN KEPADATAN TERNAK TERHADAP TABIAT

MAKAN AYAM PEDAGING UMUR 2-6 MINGGU

Eny Puspani, I M. Nuriyasa, A.A.P Putra Wibawa, dan D.P.M.A. Candrawati ... 7

KOEFESIEN CERNA BAHAN KERING DAN NUTRIEN RANSUM KAMBING PERANAKAN

ETAWAH YANG DIBERI HIJAUAN DENGAN SUPLEMENTASI KONSENTRAT

MOLA-MIK

I G. L. O. Cakra, N.W Siti dan I M. Mudita ... 12

QUANTIFICATION OF THE EFFICIENCY OF RUMEN MICROBIAL PROTEIN SYNTHESIS

IN STEERS FED GREEN TROPICAL GRASS

Marthen L. Mullik, Dennis P. Poppi, and Stuart R. Mc. Lennan ... 18

VIABILITAS OOSIT DOMBA PASCATRANSPLANTASI OVARIUM DOMBA DALAM

UTERUS KELINCI PSEUDOPREGNANT

Ramadhan Sumarmin, Adi Winarto, Tutty Laswardi Yusuf, Arief Boediono ... 25

IDENTIFIKASI DAGING SAPI BALI DENGAN METODE HISTOLOGIS

Ni Ketut Suwiti... 31

PEMANFAATAN TELUR AYAM SEBAGAI PABRIK BIOLOGIS (Kajian Pustaka)

(2)

SuSunan Dewan ReDakSi

Majalah ilMiah PeteRnakan – unuD

Dewan Penyunting Ketua

Komang Budaarsa

anggota

I Dewa Ketut Harya Putra I Made Suarna I Gusti Lanang Oka

I Ketut Saka I Made Mastika Ni Ketut Nuraini Penyunting PelaKsana I Gede Mahardika Allan Wilson Antonius Wayan Puger

I Made Suasta I Ketut Sumadi

Anak Agung Putu Putra Wibawa I Ketut Mangku Budiasa

I Gede Suranjaya Made Wiraparta

aDministrasi

Anak Agung Gede Jaya Antara Ni Putu Emi Suastini S

alamat reDaKsi

Fakultas Peternakan Universitas Udayana Jl. PB Sudirman Denpasar

Telp. (0361) 222096 E-mail : mip_unud@telkom.net

(3)

PENDUGAAN BOBOT BADAN MELALUI ANALISIS MORFOMETRIK

DENGAN PENDEKATAN REGRESI TERBAIK

BEST - SUBSET PADA DOMBA

GARUT TIPE PEDAGING, TANGKAS DAN PERSILANGANNYA

A. GunAwAn., K. JAmAldAn C. SumAntri

Bagian Pemuliaan dan Genetika Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Jalan Agatis, IPB Darmaga, Bogor ABSTRACT

ESTIMATE OF BODY WEIGHT FIGHTING AND MEAT GARUT SHEEP AND CROSSBREED WITH MERFOMETRIC ANALYSIS APPROACH

The aims of this study were to estimate body weight and to determine the best equation which can be used to estimate body weight of fighting and meat Garut sheep and its crossbreed type at district and outdistrict Garut. This study used primary data of Garut sheepfrom Garut district consisting of Margawati, Wanaraja and Suka-wening. For outdistrict Garut, it was used Garut sheep from Bogor consisting of Ciomas and Cinagara.The total number of sheep collected were 531 heads. The differences of body measurements locations were analyzed by t-test, Correlation, and Regression Multiple Linear Regression and Polynomial Regression (Linear, Quadratic, and Cubic) Analyses. The results showed that body weight of fighting and meat rams and ewes from Wanaraja were the highset than another Garut sheep and crossbreed. The highest body measurements were found from Wanaraja (fighting and meat type) and Sukawening (fighting type) sheep and the lowest body measurements were found from Margawati and Cinagara. Whilst that some body measurements of rams were not different (P>0.05). Correlation coefficient between body weight and various body measurements body lenght, weither height, chest deep and chest circumference of Garut Sheep were highest at district and outdistrict of Garut. The best regression equations to describe the relation ship between body weight and body measurements for rams and ewes Garut sheep at district and outdistrict Garut were multiple regression equations. The highest determination coefficient (100%) was shown for meat type from Wanaraja and the lowest one (93.93%) was shown of fighting type from Sukawening.

Key words : garut sheep, body weight, body measurement, correlation, regression

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menduga bobot badan dan mencari model terbaik dalam menduga bobot badan domba Garut tangkas, pedaging dan persilangannya di daerah Garut dan luar Garut. Total domba yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 531 ekor domba Garut dari beberapa lokasi di kabupaten Garut (Mar-gawati, Wanaraja, Sukawening) dan di Luar Garut (Ciomas dan Cinagara). Data dari hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan Uji-t, Korelasi, dan Regresi meliputi Analisis Regresi Linier Ganda dan Analisis Regresi Polinomial (Linier, Kuadratik, dan Kubik). Hasil Uji-t menunjukkan, bahwa rataan bobot badan domba tangkas Garut baik jantan maupun betina dari Wanaraja memiliki bobot badan paling besar dibandingkan dengan domba Garut lain dan persilangannya. Ukuran tubuh tertinggi pada domba Garut ditunjukkan pada domba tangkas dan pedaging Wanaraja serta tangkas Sukawening dan ukuran tubuh terkecil ditunjukkan pada domba Garut di Margawati dan Cinagara. Koefisen Korelasi tertinggi antara bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh pada domba Garut tangkas, pedaging da persilanganya ditunjukkan antara bobot badan dengan panjang badan, tinggi pundak, dalam dada dan lingkar dada. Persamaan regresi yang paling baik digunakan menduga bobot badan berdasarkan ukuran-ukuran tubuh pada domba Garut tangkas, pedaging dan persilangannya adalah Persamaan Regresi Linier Ganda dengan tingkat akurasi berkisar antara 93,3%-100%. Tingkat akuras tertinggi ditunjukkan pada domba tangkas Wanaraja dengan tingkat akurasi 100% dan terendah ditunjukkan pada domba tangkas di Sukawening dengan tingkat akurasi 93,93%.

(4)

Pendugaan Bobot Badan Melalui Analisis Morfometrik dengan Pendekat an Regresi Terbaik Best - Subset pada Domba Garut...

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki keanekaragaman plasma nutfah yang berlimpah. Salah satu keanekaragaman plasma nut-fah yang dimiliki adalah keanekaragaman ternak diantaranya ternak domba yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai pemenuhan protein hewani masyarakat Indonesia. Salah satu jenis ternak domba yang dimiliki Indonesia dan sangat potensial untuk dikembangkan dimasa mendatang adalah domba Garut. Beberapa keunggulan domba Garut diantaranya memiliki produktivitas cukup baik dan relatif tahan terhadap penyakit; keunggulan komparatif terutama dalam hal performa dan sifat prolifik untuk dikembang-kanbiakkan (Gunawan dan Noor, 2005). Hal ini menjadi daya tarik tersendiri sebagai salah satu plasma nutfah ternak Indonesia yang perlu dilestarikan keberadaan-nya.

Pemeliharaan domba Garut tidak hanya ditujukan sebagai ternak pedaging saja, yang salah satu indikasinya berupa bobot badan yang akan mencerminkan bobot karkas yang akan dihasilkan. Akan tetapi, tujuan pemeliharaan lain yang merupakan ciri khas domba Garut adalah sebagai domba tangkas. Domba Garut tipe tangkas merupakan domba Garut yang dipelihara untuk tujuan aduan (Natasasmita et al., 1986). Meskipun pada domba tangkas lebih menonjolkan unsur seni dan kekuatan, akan tetapi bobot badan tetap merupakan salah satu parameter penting yang menentukan nilai jual domba Garut baik sebagai tipe tangkas, pedaging maupun persilangan .

Secara umum ada dua teknik penentuan bobot badan seekor ternak, yaitu penimbangan (weight scale) dan penak-siran. Kedua teknik tersebut memiliki keuntungan dan keterbatasannya masing-masing. Metode penimbangan merupakan cara paling akurat tetapi memiliki beberapa kelemahan, antara lain membutuhkan peralatan khusus dan dalam beberapa kasus membutuhkan operator relatif lebih banyak (terutama dalam peternakan besar dengan sistem ranch) sehingga menjadi kurang efisien, dan tidak semua ranch memiliki peralatan (weight scale) tersebut. Adapun metode penaksiran atau pendugaan umumnya dilakukan melalui ukuran-ukuran tubuh ternak, misalnya melalui lingkar dada, tinggi pundak, dan lain-lain. Metode pendugaan ini memiliki keunggulan dalam hal kepraktisan, akan tetapi memiliki kendala dengan tingkat akurasi pendugaannya dan masih perlu terus dikembangkan terutama dalam konteks ternak-ternak lokal di Indonesia.

Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan pendugaan bobot badan melalui ukuran-ukuran tubuh domba Garut. Salah satu pendekatan yang dilakukan

adalah pendugaan melalui pendekatan analisis regresi terbaik (best subset), yaitu suatu metode analisis regresi untuk mencari model terbaik dari suatu hubungan re-gresi berganda yang melibatkan lebih dari satu variabel penduga (Draper et al., 1992). Hasil penelitian ini diha-rapkan dapat diketahui model terbaik untuk menduga bobot badan berdasarkan ukuran-ukuran tubuh pada domba Garut tangkas, pedaging, dan persilangannya.

MATERI DAN METODE Materi

Jumlah total domba yang diamati sebanyak 528 ekor domba Garut yang terdiri dari 71 ekor domba dari Margawati, 79 ekor domba tangkas dari Wanaraja, 84 ekor domba pedaging dari Wanaraja, 87 ekor domba tangkas dari Sukawening, 62 ekor domba pedaging dari Sukawening, 66 ekor domba tangkas dari Ciomas, dan 71 ekor domba dari Cinagara. Domba dari Margawati dan Cinagara merupakan domba persilangan antara domba Garut tangkas dengan pedaging.

Metode

Penelitian dilakukan dengan melakukan pengukuran terhadap ukuran-ukuran tubuh domba Garut. Domba yang diamati dibedakan berdasarkan jenis kelamin dengan sejumlah peubah yang diamati diantaranya bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh, seperti tinggi pundak (TP), panjang badan (PB), lebar dada (LED), dalam dada (DD), lingkar dada (LID).

Domba Garut yang diamati memiliki umur yang bervariasi, maka menyeragamkan semua data hasil pengukuran standarisasi ke umur 2 tahun sesuai Sala-mena (2006) dengan rumus sebagai berikut :

i ke n pengamataa x terkoreksi i p p p p = 2∗ −

Pi terkoreksi = nilai pengamatan ukuran tubuh tertentu yang terkoreksi ke umur 2 tahun.

ppengamatan ke-i = nilai pengamatan awal ukuran tubuh tertentu pada kelompok umur tertentu

p23 = rataan nilai pengamatan ukuran tubuh tertentu pada kelompok umur 2 tahun

px = rataan nilai pengamatan awal ukuran tubuh tertentu pada kelompok umur ke-x

Uji t digunakan untuk mempelajari pengaruh perbedaan lokasi, umur, jenis kelamin terhadap bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh sesuai Sudjana (1996), modelnya sebagai berikut :

2 1 2 n / 1 n / 1 s x xi t + − =

Hubungan linier antara dua ukuran tubuh dihitung dengan menggunakan rumus Sudjana (1996), model

(5)

A. Gunawan., K. Jamal dan C. Sumantri

korelasinya adalah :

x1x2 =

Keterangan :

r = koefisien korelasi x1 = peubah bebas ke-1 x2 = peubah bebas ke-2

n = banyaknya pengulangan

Pemilihan Model Regresi Terbaik sebagai Penduga Bobot Badan

Pemilihan model terbaik sebagai penduga bobot badan melalui ukuran-ukuran tubuh yang digunakan adalah model yang berasal dari persamaan Regresi Linier Ganda atau Polinomial dengan kriteria memiliki derajat determinasi tertinggi (Rsq), kofisien determinasi teroreksi/Rs (adj) tertinggi dan Cp terendah/statistika

mallaow terendah (Draper et al., 1992).

Model Analisis Regresi Linier Ganda dan Polinomial yang digunakan sesuai Gasperz (1992).

1. Regresi Linier Ganda. Modelnya adalah : y = β0 + β1x1 + β2x2 +...+ βnxn

2. Regresi Polinomial. Modelnya adalah : y = â0 + â1x + â2x2 + â3x3+...+ ânxn Keterangan: y = Bobot badan â0 = Intersep â1 = Koefisien regresi bobot badan (y) terhadap ukuran tubuh 1 (x1) â2 = Koefisien regresi bobot badan (y) terhadap ukuran tubuh 2 (x2) ân = Koefisien regresi bobot badan (y) terhadap ukuran tubuh n (xn) x = peubah bebas HASIL

Bobot Badan Domba Garut Tangkas, Pedaging dan Persilanganya

Secara umum bobot badan kelompok domba Garut Wanaraja baik jantan maupun betina lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan domba Garut di daerah Garut maupun luar Garut. Pada domba jantan bobot badan tertinggi(P<0,05) ditunjukkan pada domba tangkas Garut dari Wanaraja. Sedangkan pada domba betina bobot badan tertinggi (P<0,05) ditunjukkan pada domba tangkas dari Wanaraja, pedaging dari Wanaraja dan tangkas dari Ciomas (Tabel 1).

Ukuran-ukuran Tubuh Domba Garut dan Luar Garut

Ukuran-ukuran tubuh tertinggi (P<0,05) pada domba Garut tangkas, pedaging dan persilangan ditunjukkan pada domba tangkas di Wanaraja, tangkas di Sukawen-ing dan pedagSukawen-ing di Wanaraja baik jantan maupun betina. Pada domba betina, ukuran dalam dada (P<0,05)

ditunjukkan pada domba tangkas di Ciomas. Sedangkan ukuran tubuh terendah (P<0,05) ditunjukkan pada domba di Cinagara dan Margawati yang merupakan domba persilangan (Tabel 2).

Keeratan Hubungan Bobot Badan Terhadap Ukuran-ukuran Tubuh

Panjang badan, lingkar dada, tinggi pundak, dan dalam dada, merupakan ukuran tubuh yang memiliki korelasi tertinggi dengan bobot badan pada domba Garut tangkas, pedaging dan persilangan baik pada jantan maupun betina (Tabel 3).

Tabel 1. Rataan, Simpangan Baku, Bobot Badan Domba Garut dan Per-silanganya pada jenis kelamin dan lokasi yang berbeda

Kelompok Domba Jantan Betina

x ± s (kg) x ± s (kg) Margawati 40,76±12,26a 27,57±3,79a Tangkas Sukawening 43,22±12,26a 27,68±4,71a Pedaging Sukaweing 33,60±8,28b 27,64±4,51a Tangkas Wanaraja 52,53±14,42c 30,73±4,06b Pedaging Wanaraja 45,80±13,75a 31,97±7,97b Tangkas Ciomas 42,72±8,21a 31,33±5,39b Cinagara 46,55±6,55a 25,99±3,56c

Keterangan : huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan berbeda nyata (P<0,05)

Tabel 2. Ringkasan hasil uji t ukuran tubuh domba Garut tangkas, peda-ging dan persilangnnya

JK Ukuran Tubuh Hasil Uji-t

Jantan

Tinggi Pundak B=A=W>S=C>T=M Panjang Badan B>A=W>T>S=C=M

Lebar Dada B=A=W>S=C>T=M

Dalam Dada B=A=W=C>S=T=M

Lingkar Dada B=A=W>S=C=T=M

Panjang Tengkorak B=W=C>A=S=T=M

Betina

Tinggi Pundak B=A>W= T=M>C>S Panjang Badan B>A=W =C=T=M>S Lebar Dada W=C>B=A=S> M>T

Dalam Dada C>A=W>B=S=C=T=M

Lingkar Dada B=A=W>S=C=T=M

Panjang Tengkorak C>A>W=B=S=T>M Tabel 3. Koefisien Korelasi antara Bobot Badan dan Ukuran Tubuh Domba

Garut Tangkas, Pedaging dan Persilangan

Kelompok Domba Jenis Kelamin Korelasi Nilai Korelasi

Margawati ♂ PB 0,970 ♂ LID 0,746 Tangkas Sukawening ♂ PB 0,782 ♂ PB 0,671 Pedaging Sukawening ♂ TP 0,858 ♂ DD 0,770 Tangkas Wanaraja ♂ TP 0,862 ♂ DD 0,688 Pedaging Wanaraja ♂ DD 0,925 ♂ PB 0,572

Tangkas Ciomas ♂ LID 0,766

♂ PB 0,888

(6)

Pendugaan Bobot Badan Melalui Analisis Morfometrik dengan Pendekat an Regresi Terbaik Best - Subset pada Domba Garut...

Pendugaan Bobot Badan melalui Ukuran-ukuran Tubuh Domba Garut Tangkas, Pedaging dan Persilangan dengan Persamaan Regresi

Model regresi terbaik dalam menduga bobot badan pada domba Garut tangkas, pedaging dan persilangan-nya adalah Regresi Linier Ganda dengan tingkat akurasi antara 93,93 – 100%, kecuali pada domba pedaging Sukawening adalah regresi polinomial dengan bentuk kubik.

Tingkat akurasi pendugaan bobot badan tertinggi ditunjukkan domba tangkas jantan di Sukawening dan pedaging betina di Wanaraja dan tangkas baik jantan maupun betina di Wanaraja yaitu sebesar 100%. Sebaliknya nilai akurasi terendah ditunjukkan domba tangkas betina di Sukawening sebesar 93,93% (Tabel 4).

PEMBAHASAN

Bobot Badan Domba Garut Tangkas, Pedaging, dan Persilangannya

Bobot badan domba Garut dari Wanaraja baik tangkas maupun pedaging terbesar dibandingkan domba lainnya. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Kertanugraha (2006) pada domba Garut di daerah Garut yang menyatakan bahwa rataan bobot badan terbesar pada domba Garut jantan adalah domba tangkas dari Wanaraja. Tingginya bobot badan badan pada domba tangkas Wanaraja dibandingkan domba Garut lainnya tidak lepas dari perannya sebagai domba tangkas yang merupakan hasil seleksi kearah bobot badan besar dan kuat untuk ketangkasan. Selain itu adanya motivasi yang tinggi dari para peternak di daerah Wanaraja dalam memelihara domba tangkas selain untuk ketangkasan juga karena harga jual yang tinggi. Kecamatan Wa-naraja memiliki tempat adu ketangkasan domba Garut, sehingga peternak lebih termotivasi lagi untuk membentuk performa domba tangkas yang bagus dan

berprestasi baik. Menurut Triwulaningsih et al. (1981), bahwa adanya unsur seleksi terhadap domba Garut tidak saja terarah terhadap sifat tangkas tetapi juga terhadap nilai ekonomis.

Pada domba betina, kelompok domba pedaging Wanaraja, tangkas Wanaraja dan tangkas Ciomas memiliki bobot badan yang lebih tinggi dibandingkan kelompok domba Garut lainnya. Hasil ini sesuai dengan penelitian Kertanugraha (2006) yang menyatakan bahwa bobot badan terbesar pada betina di daerah Garut adalah domba pedaging Wanaraja. Hal ini berbeda dengan kondisi jantan, bobot badan yang tinggi cenderung dimiliki oleh domba Garut tangkas. Perbedaan tersebut lebih disebabkan karena peternak kurang memperhatikan seleksi untuk domba betina. Dinyatakan pula kebanyakan peternak di daerah Garut kurang melakukan seleksi pada betina dan tidak membedakan pemeliharaan domba betina tangkas dan pedaging. Hal ini disebabkan karena domba betina dianggap tidak memiliki nilai ekonomis yang tinggi seperti pada domba tangkas jantan. Perbedaan bobot badan dari ketujuh kelompok domba Garut tersebut, mungkin disebabkan adanya perbedaan struktur genetiknya serta perbedaan lingkungan dan tatalaksana di masing-masing lokasi penelitian (Diwyanto et al., 1982).

Ukuran-ukuran Tubuh Domba Garut Tangkas, Peda-ging dan Persilangannya

Perbedaan ukuran-ukuran tubuh pada domba Garut disebabkan karena faktor genetik dan lingkungan. Domba Garut baik tangkas maupun pedaging dari Wa-naraja genetik lebih unggul dibandingkan domba Garut lainnya sesuai menurut Kertanugraha (2006) domba Garut di Wanaraja memiliki ukuran tubuh paling besar dibandingkan dengan domba Garut di Sukawening dan Margawati. Domba tangkas merupakan domba hasil seleksi yang diarahkan untuk mendapatkan domba tipe aduan yang secara performa baik bobot badan maupun mendapatkan domba tipe aduan yang secara performa baik bobot badan maupun ukuran-ukuran tubuh akan lebih tinggi dibandingkan domba tipe pedaging atau persilangannya.

Selain disebabkan karena faktor genetik perbedaan ukuran-ukuran tubuh yang terjadi disebabkan perbedaan lingkungan diantaranya manajemen pemeliharaan. Pe-meliharaan domba tangkas lebih istimewa dibandingkan dengan domba pedaging dan persilangan. Pemberian pakan yang istimewa, pengurutan pada badan untuk merangsang pertumbuhan diduga berpengaruh terhadap ukuran-ukuran tubuh domba. Hal ini yang menyebabkan domba tangkas Garut dari Wanaraja dan Sukwening lebih tinggi dibandingkan dengan domba Garut lainnya. Performa merupakan penampilan dari ekspresi genetik Tebel 4. Hasil Analisis Regresi Terbaik pada Domba Garut Tangkas,

Peda-ging dan Persilangannya.

Lokasi/Asal JK Analisis Regresi R-Sq(%) R-Sq adj (%) Akurasi (%)

Margawati Betina Linier ganda 68 65,8 97,4

Jantan Linier ganda 100 100 99,53

Tangkas

Sukawening BetinaJantan Linier GandaLinier Ganda 63,478,2 60,274,9 93,93 100 Pedaging

Sukawening

Betina Linier Ganda 70,4 67,6 99,5

Jantan Kubik 77,3 74,4 98,45

Tangkas

Wanaraja JantanBetina Linier gandaLiner ganda 99,189,7 97,588,7 100100 Pedaging

Wanaraja

Betina Linier ganda 57,4 53,7 100

Jantan Linier ganda 90,8 89,6 98,90

Tangkas Ciomas

Betina Linier ganda 97,3 95,7 99,61

Jantan Linier ganda 64,9 62,4 97,46

Cinagara Betina Linier ganda 86,9 83,4 99,92

(7)

A. Gunawan., K. Jamal dan C. Sumantri

dan lingkungan (Martojo, 1992). Ternak yang secara genetik unggul tidak akan menampilkan keunggulan optimal jika tidak didukung oleh faktor lingkungan yang baik atau sebaliknya (Noor, 2004). Domba tangkas dari Wanaraja dan Sukawening secara genetik unggul ditunjang dengan lingkungan pemeliharaan yang baik menampilkan performa baik, baik bobot badan maupun ukuran-ukuran tubuh lebih tinggi dibandingkan dengan domba Garut lainnya.

Keeratan Hubungan Bobot Badan Terhadap Ukuran-ukuran Tubuh

Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa korelasi antara bobot badan terhadap ukuran-ukuran tubuh adalah sangat beragam. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya (Wijonarko, 2007; Takaendangan, 1998; Diwyanto et al., 1984) yang mendapatkan bahwa ukuran tubuh dalam dada, tinggi pudak dan lingkar dada mempunyai korelasi tertinggi dengan bobot badan domba. Hasil penelitian ini juga mengindikasikan bahwa lingkar dada tidak selalu mempunyai korelasi tertinggi dengan bobot badan seperti penelitian sebelumnya baik pada domba maupun pada sapi (Takaendangan, 1998; Diwyanto et

al., 1984, Saladin, 1983; Abubakar dan Harmaji, 1980).

Selain tinggi pundak dan dalam dada, panjang badan merupakan ukuran tubuh yang memiliki koefisien tertinggi pada domba Garut baik tipe tangkas, pedaging dan persilangannya. Hal ini menujukkan bahwa panjang badan merupakan peubah yang dapat digunakan dalam menduga bobot badan domba Garut selain lingkar dada, tinggi pundak dan dalam dada. Perbedaan keeratan bobot badan terhadap ukuran-ukuran tubuh tersebut kemungkinan disebabkan karena jenis domba.

Pendugaan Bobot Badan Melalui Ukuran-ukuran Tubuh Domba Garut Tangkas, Pedaging, dan Persi-langan dengan Persamaan Regresi

Model Regresi Linier Ganda merupakan model regresi terbaik dalam menduga bobot badan domba Garut. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Wi-jonarko (2007) pada Domba Ekor Gemuk (DEG) yang menyatakan model Regresi Linier Ganda merupakan model yang paling tepat dalam menduga bobot badan. Zubaidah (1984) menambahkan dengan menggunakan regresi linier ganda akan lebih tepat dibandingkan dengan persamaan regresi linier sederhana dab regresi eksponensial. Namun hanya peubah ukuran tubuhnya saja yang berbeda sebagai penduga bobot badan. Pada penelitian ini panjang badan menjadi penduga bobot badan yang lebih banyak ditemukan disamping tinggi pundak, dalam dada dan lingkar dada. Sedangkan pada penelitian sebelumnya panjang badan tidak ditemukan.

Perbedaan pendugaan bobot badan ini lebih disebabkan karena perbedaan genetik ternak dan lingkungan peme-liharaan.

Tingkat akurasi pendugaan bobot badan antara bobot badan dugaan dengan bobot badan sebenarnya pada penelitiann ini sukup tinggi.

Hasil penelitian ini secara umum sangat tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan Wijonarko (2007) pada domba Ekor Gemuk Madura dan Rote yang mendapatkan tingkat akurasi pendugaan bobot badan dengan analisis Regresi Linier Ganda sebesar 88,03% - 98,23%, serta Sho-likhah (2003) pada sapi Pesisir sebesar 88,80%. Hal ini menunjukkan persamaan Regresi Linier Ganda dapat digunakan sebagai penduga bobot badan pada domba Garut tangkas, pedaging dan persilangannya. Selain itu berdasarkan penelitian sebelumnya dapat disarankan Analisis Regresi Linier Ganda mempunyai tingkat akurasi yang cukup tinggi dibandingkan ternak lain. Sehingga dalam aplikasi dilapangan peternak domba Garut tangkas, pedaging dan persilangannya dapat menggunakan Analisis Regresi Linier Ganda dalam menduga bobot badan apabila adanya kesulitan dalam pemeliharaan dan keterbatasan fasilitas penimbangan.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan secara umum domba Garut tangkas dan pedaging Wanaraja dan tangkas Sukawening memiliki bobot badan dan ukuran-ukuran lebih tinggi dibandingkan domba Garut lainnya. Nilai korelasi yang berpengaruh tinggi dalam pendugaan bobot badan domba Garut tangkas, pedaging dan persilangannya adalah panjang badan, tinggi pundak, dalam dada dan lingkar dada.Persamaan Regresi Linier Ganda merupakan penduga bobot badan terbaik berdasarkan ukuran-ukuran tubuh pada domba Garut tangkas, pedaging dan persilangannya.

DAFTAR PUSTAKA

Abubakar dan Harmaji. 1980. Korelasi antara berat hidup dengan lingkar dada, panjang badan dan tinggi gumba pada sapi PO di daerah Wonosari. Penelitian Peternakan Bogor III:14-16.

Diwyanto, K., Martojo, H. dan Siswandi. 1984. Pengamatan ukuran permukaan tubuh domba di Kabupaten Garut serta hubungannya dengan bobot badan. Prosiding. Pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil. Hal : 143-146.

Draper, Norman dan Smith, H. 1992. Analisis Regresi Terapan. Terjemahan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Gasperz, V. 1992. Teknik Analisis Dalam Penelitian Percobaan. Tarsito. Bandung

Gunawan, A dan Noor, R.R. 2005. Pedugaan nilai heritabilitas bobot lahir dan bobot sapih domba Garut tipe laga. Media Peternakan. Vol 29:7:15

(8)

Pendugaan Bobot Badan Melalui Analisis Morfometrik dengan Pendekat an Regresi Terbaik Best - Subset pada Domba Garut...

Jarak Genetik Antar Domba Garut di BPPTD Marga-wati, Kecamatan Wanaraja dan Kecamatan Sukawening Kabupaten Garut.Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Martojo, H. 1992. Peningkatan Mutu Genetik. PAU IPB. Bogor. Natasasmita, A. Sugana, N. Duldjaman, M. Amsar. 1986.

Penentuan Parameter Seleksi dan Pengarahan Metode Pem-bibitan Domba Dikalangan Petani. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Noor, R.R. 2004. Genetika Ternak. Edisi 3. Penebar Swadaya. Jakarta.

Rahayu, B. S. T. 2003. Studi Bobot Badan dan Ukuran-Ukuran Tubuh Sapi Pesisir di Kabupaten Pesisir Selatan dan Padang Pariaman Sumatera Barat. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Peternakan Bogor, Bogor.

Saladin, R. 1983. Penampilan Sifat-sifat Produksi dan Reproduksi Sapi Lokal Pesisir Selatan di Propinsi Sumatera Barat. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Salamena, J.F. 2006. Karakterisasi Fenotipik Domba Kisar di Kabupaten Maluku Tenggara Barat Propinsi Maluku

Sebagai Langkah Awal Konservasi dan Pengembangannya. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sudjana. 1996. Metode Statistika. Edisi Keenam. Tarsito. Bandung.

Takaendengan, B. J. 1998. Kemajuan Genetik Beberapa Sifat Kualitatif Domba Ekor Gemuk. Tesis. Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Triwulaningsih, E., Sitorus, P., Batubara, P. L., Suradisastra. K.,1981. Performans Domba Garut. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Ternak. Bogor.

Wijonarko, K. 2007. Pendugaan Bobot Badan Melalui Ukuran-ukuran Tubuh pada Domba Ekor Gemuk di Pulau Madura dan Pulau Rote. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Zubaidah, S. 1984. Pengkajian Berbagai Cara Pendugaan Bobot Badan Sapi Perah Fries Holland dengan Parameter Tubuh. Karya Ilmiah. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

(9)

PENGARUH TIPE LANTAI KANDANG DAN KEPADATAN TERNAK

TERHADAP TABIAT MAKAN AYAM PEDAGING UMUR 2-6 MINGGU

Eny PuSPAni, i m. nuriyASA, A.A.P PutrA wibAwA, dAn d.P.m.A. CAndrAwAti

Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar

ABSTRAK

Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh tipe lantai dan kepadatan ternak yang berbeda terhadap tabiat makan ayam pedaging telah dilaksanakan di Tabanan, Bali. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan pola faktorial 3×3 dalam 3 blok. Faktor pertama adalah tipe lantai kandang yang terdiri dari litter sekam di tanah (L1), lantai slat bambu (L2) dan lantai litter panggung (L3). Faktor kedua adalah kepadatan ternak yang terdiri dari 10 ekor/m2 (P1), 12 ekor/m2 (P2), dan 14 ekor/m2 (P3). Hasil penelitian tabiat makan menunjukkan bahwa frekuensi makan, frekuensi minum, frekuensi istirahat pada L1 nyata lebih tinggi (P<0,05) dari L2. Lama makan pada L2 lebih lama dari L1 dan L3 tetapi tidak berbeda nyata (P>0,05). Lama minum pada L3 nyata lebih lama (P<0,05) dari L1 dan L2. Lama istirahat pada L1 nyata lebih lama (P<0,05) dari L2. Lama

panting pada L2 nyata lebih sedikit (P<0,05) dari L1 dan L3. Frekuensi makan pada P1 nyata lebih tinggi (P<0,05) dari P2 dan P3. Frekuensi minum, frekuensi istirahat pada P1 lebih tinggi dari P2 dan P3 tetapi tidak berbeda nyata (P>0,05). Lama makan pada P1 nyata lebih lama (P<0,05) dari P2 dan P3. Lama minum pada P2 nyata lebih lama (P<0,05) dari P1 dan P3. Lama istirahat dan lama panting pada P3 lebih lama dari P1 dan P2 tetapi tidak berbeda nyata (P>0,05). Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi interaksi antara tipe lantai dan kepadatan ternak terhadap tabiat makan, lantai slat bambu dan litter panggung menghasilkan tabiat makan yan lebih baik dibandingkan litter sekam di tanah. Kepadatan ternak 10 ekor/m2 menghasilkan tabiat makan lebih baik daripada 12 ekor/m2 dan 14 ekor/m2.

Kata kunci : kepadatan kandang, tipe lantai kandang, tabiat makan, ayam pedaging

THE EFFECT OF FLOOR TYPE AND BIRDS DENSITY ON FEEDING BEHAVIOUR OF BROILER AGED 2-6 WEEKS

ABSTRACT

The experiment aimed to study the effect of floor type and birds density on feeding behaviour of broilers. This experiment was carried out at Tabanan, Bali. The experiment used a completely randomized block design (CRBD) with factorial arrangement (3x3) in tree blocks. The first factor was floor type consisted of deep litter in the ground (L1), bamboo slat floor (L2) and litter podium floor (L3). The second factor was birds density consisted of 10 birds/ m 2 (P1), 12 birds/m2 (P2), and 14 birds/m2 (P3). The results of the experiment showed that the frequency of the eating, the drinking, and the resting at L1 were significantly higher (P<0.05) than L2. Time of feeding at L 2 was longer than L1 and L3 but there were no significant differences (P>0.05). The time for drinking at L3 was signifi-cantly longer (P<0.05) than L1 and L 2 and the time for resting at L1 was significantly longer (P<0.05) than L2 and also time for painting at L2 was significantly shorter (P<0.05) than L1 and L3. The frequencies of feeding at P1 was significantly higher (P<0.05) than P2 and P3. However, there were no significant differences on drinking and resting frequencies (P>0.05). The time feeding of P1 were significantly longer (P<0.05) than P2 and P3 and time for drinking at P2 were significantly longer than P1 and P3. Time for resting and panting at P3 were longer (P<0.05) than P1 and P2, but no significant differences (P>0.05). It was concluded that bamboo slat floor and litter podium make feeding behaviour better than chaff litter in the ground. There were no differences between density of 10 birds/m2, and 14 birds/m2 at bamboo slat floor and litter podium in feeding behaviour of broilers.

(10)

Pengaruh Tipe Lantai Kandang dan Kepadatan Ternak Terhadap Tabiat Makan Ayam Pedaging Umur 2-6 Minggu

PENDAHULUAN

Penampilan ayam pedaging optimal dapat dicapai dengan sistem peternakan intensif modern yang bercirikan pemakaian bibit unggul, pakan sempurna (seimbang) serta perkandangan yang memperhatikan aspek kenyamanan dan kesehatan ternak (Nuriyasa, 2003).

Rasa nyaman (comfortable) ternak dalam kandang dipengaruhi oleh tingkat kepadatan ternak dan jenis lantai kandang yang dipergunakan sedangkan angka

comfortable zone berkisar antara 60-70 (Esmay, 1978).

Nuriyasa dan Astiningsih (2002) menyatakan semakin tinggi kepadatan ternak dalam kandang semakin banyak pula panas dan uap air yang dilepaskan ke lingkungan kandang. Kandang yang panas dan lembab akan menyulitkan ternak menyeimbangkan panas tubuhnya. Untuk itu maka kepadatan kandang optimum 8 ekor/ m2 (Nuriyasa, 2003).

Ada dua macam lantai yang biasa dipakai oleh peternak di Indonesia, yakni lantai rapat (litter) dan lantai berlubang. Keuntungan dari lantai litter antara lain keadaan kandang lebih hangat dan pengelolaannya lebih mudah. Kerugiaannya adalah terjadinya fermentasi litter yang menghasilkan gas metan dan amonia yang dapat meningkatkan suhu udara dalam kandang sehingga dapat menyebabkan perubahan tingkah laku yaitu timbulnya sifat agresif (Duncan dan Wood-Gush, 1971). Segi positif lantai berlubang adalah keadaan lantai lebih bersih, peredaran udara lebih terjamin sehingga suplai O2 ke dalam kandang dan pembuangan CO2 dan NH3 lebih lancar. Dilain pihak lantai panggung baik untuk tempat lembab untuk mencegah cacing dan menjaga kekeringan kandang. Kekurangan-kekurangan pada tipe lantai kandang diatas yang dapat merugikan ternak tentunya dapat menurunkan hasil akhir yang ingin dicapai, karena itu perlu diperhatikan kenyamanan serta rasa aman pada ternak yang dapat tercermin melalui tabiat makan ternak yang menghuni kandang tersebut.

Beberapa masalah yang telah disampaikan merupakan dasar dilakukan penelitian mengenai pengaruh tipe lantai kandang dan kepadatan ternak terhadap tabiat makan ayam pedaging.

MATERI DAN METODA Ayam

Ayam yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam pedaging CP 707 unsexed yang berumur dua minggu, produksi Charoen Pokphand Jaya Farm. Jumlah ayam yang digunakan sebanyak 162 ekor, dengan rincian sebagai berikut : Tipe lantai × kepadatan ternak × blok {3× (5/6/7)×3}.

Kandang dan Perlengkapannya

Kandang yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 27 petak kandang dimana dinding kandang terbuat dari bilah-bilah bambu. Kandang yang digunakan terdiri dari tiga tipe lantai yaitu litter sekam di tanah, lantai slat bambu dan lantai litter panggung. Tiap tipe lantai kandang terdiri dari sembilan petak kandang, tiap petak memiliki ukuran panjang 1 m, lebar 0,5 m, dan tinggi 1 m. Tinggi kandang lantai slat bambu dan litter panggung adalah 0,75 m dari tanah. Kandang pada setiap blok dibatasi dengan kertas koran agar udara tidak bercampur. Lantai kandang litter sekam di tanah dan litter panggung diisi sekam setebal 5 cm, sedangkan kandang slat bambu, lantainya terbuat dari bilah bambu berjarak ± 2 cm. Kandang dibuat memanjang arah timur dan barat. Setiap petak kandang dilengkapi dengan pakan dan air minum. Sebagai penerangan, digunakan lampu 60 watt sebanyak dua buah.

Ransum dan Air Minum

Ransum yang diberikan selama penelitian adalah ransum 512 produksi PT. Charoen Pokphand. Air minum yang diberikan bersumber dari air PDAM. Ransum dan air minum diberikan secara ad libitum.

Tempat dan Lama Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Banjar Pande, Desa Malkangin, Kelurahan Dajan Peken, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan, berlangsung selama empat minggu.

Rancangan Percobaan

Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak kelompok, dengan pola Fakto-rial 3×3 dalam 3 blok. Faktor pertama adalah tipe lantai kandang yang terdiri dari lantai litter sekam di tanah (L1),

slat bambu (L2) dan litter panggung (L3). Faktor kedua adalah kepadatan ternak yang terdiri dari kepadatan 10 ekor/m2 (P1), kepadatan 12 ekor/m2 (P2) dan kepadatan 14 ekor/m2 (P3).

Variabel Yang Diamati

Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah frekuensi ke tempat makan, frekuensi ke tempat minum, frekuensi istirahat, lama makan, lama minum, lama istirahat, dan lama panting.

Pencatatan

Pencatatan tabiat makan dilakukan lima kali dalam seminggu. Dalam satu hari dilakukan tiga kali pengamatan dimana tiap kali pengamatan pada masing-masing sembilan petak kandang dilakukan secara acak. Pengamatan dilakukan pada pukul 07.30-

(11)

Eny Puspani, I.M. Nuriyasa, A.A.P Putra Wibawa, dan D.P.M.A. Candrawati

09.45 Wita, 11.30-13.45 Wita, dan 15.30-17.45 Wita. Lama pengamatan pada masing-masing petak kandang adalah 15 menit.

Analisis Statistik

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan bila terdapat perbedaan yang nyata diantara perlakuan (P<0,05) maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan (Steel dan Torrie, 1989).

HASIL Interaksi

Tidak terjadi interaksi yang nyata (P>0,05) antara tipe lantai dan kepadatan kandang yang berbeda terhadap parameter tabiat makan.

Frekuensi ke Tempat Makan

Rata-rata frekuensi ke tempat makan ayam dengan perlakuan lantai litter sekam di tanah (L1) adalah 1,782 kali/ekor/15 menit pengamatan. Ayam dengan perlakuan lantai slat bambu (L2) dan lantai litter panggung (L3) masing-masing 17,172% dan 12,346% nyata lebih rendah (P<0,05) dari perlakuan (L1), sedangkan ayam dengan perlakuan (L2) 5,506% tidak nyata lebih rendah (P>0,05) dari perlakuan (L3).

Rata-rata frekuensi ke tempat makan ayam dengan perlakuan kepadatan 10 ekor/m2 (P1) adalah 1,714 kali/ ekor/15 menit pengamatan. Ayam dengan perlakuan kepadatan 12 ekor/m2 (P2) dan perlakuan kepadatan 14 ekor/m2 (P3) masing-masing 7,99% dan 10,79% nyata lebih rendah (P<0,05) dari perlakuan (P1), sedangkan ayam dengan perlakuan (P2) 3,044% nyata lebih tinggi (P<0,05) dari perlakuan (P3).

Frekuensi ke Tempat Minum

Rata-rata frekuensi ke tempat minum pada (L1) adalah 1,477 kali/ekor/15 menit pengamatan. Frekuensi ke tempat minum pada (L1) 21,869% nyata lebih tinggi (P<0,05) dari (L2) dan 10,900% nyata lebih tinggi (P<0,05) dari (L3), sedangkan (L2) 12,310% nyata lebih rendah (P<0,05) dari (L3).

Rata-rata frekuensi ke tempat minum pada (P1) adalah 1,354 kali/ekor/15 menit pengamatan. Frekuensi ke tempat minum pada (P1) 0,148% tidak nyata lebih tinggi (P>0,05) dari (P2) dan 8,346% tidak nyata lebih tinggi (P>0,05) dari (P3), sedangkan (P2) 8,210% tidak nyata lebih besar (P>0,05) dari (P3).

Frekuensi Istirahat

Rata-rata frekuensi istirahat pada (L1) adalah 1,917 kali/ekor/15 menit pengamatan. Frekuensi istirahat pada (L1) 38,863% nyata lebih tinggi (P<0,05) dari

(L2) dan 36,202% nyata lebih tinggi (P<0,05) dari (L3), sedangkan (L2) 4,170% tidak nyata lebih rendah (P>0,05) dari (L3).

Rata-rata frekuensi istirahat pada (P1) adalah 1,500 kali/ekor/15 menit pengamatan. Perlakuan (P2) dan (P3) masing-masing 8,800% dan 7,733% tidak nyata lebih rendah (P>0,05) dari (P1), sedangkan (P2) 5,263% tidak nyata lebih rendah (P>0,05) dari (P3).

Lama Makan

Rata-rata lama makan pada (L1) adalah 7’.6”/ ekor/15 menit pengamatan. Perlakuan (L2) dan (L3) masing-masing 2,054% dan 0,434% tidak nyata lebih lama (P>0,05) dari (L1). Perlakuan (L2) 1,627% tidak nyata lebih lama (P>0,05) dari (L3).

Tabel 1. Pengaruh Tipe Lantai dan Kepadatan Ternak Terhadap Tabiat Makan Ayam Pedaging Umur 2-6 Minggu (ekor/15 menit pengamatan). Faktor Parameter Frekuensi Makan (kali) Frekuensi Minum (kali) Frekuensi Istirahat (kali) Lama Makan (menit) Lama Minum (menit) Lama Istirahat (menit) Lama Panting (menit) Tipe Lantai L1 L2 L3 SEM Kepadatan P1 P2 P3 SEM 1,782a 1,476b 1,562b 0,042 1,714a 1,577b 1,529b 0,042 1,477a 1,154c 1,316b 0,051 1,354a 1,352a 1,241a 0,051 1,917a 1,172b 1,223b 0,048 1,500a 1,368a 1,444a 0,048 7’.6”a 7’.18”a 7’.12”a 0,195 7’.36”a 7’.6”b 6’.48”b 0,195 1’.24”c 2’30”b 2’54”a 0,101 2’.6”b 2’.30”a 2’.12”b 0,101 5’.54”a 4’.54”b 4’.36”b 0,215 4’.6”a 5’.0”a 5’.30”a 0,215 0’.36”a 0’.18”b 0’.30”a 0,042 0’.24”a 0’.30”a 0’.35”a 0,042 Keterangan L1 = Lantai Litter sekam di tanah L2 = Lantai Slat bambu L3 = Lantai Litter panggung

P1 = Kandang dengan kepadatan 10 ekor/m2

P2 = Kandang dengan kepadatan 12 ekor/m2

P3 = Kandang dengan kepadatan 14 ekor/m2

Nilai dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).

SEM = Standard Error of Treatment Means.

Tabel 2. Temperatur Udara Kandang, Temperatur Lantai Kandang dan Kelembaban Kandang Selama Penelitian.

Faktor Kandang (TemperaturoC) Temperatur LantaiKandang (oC) KelembabanKandang (%)

Tipe Lantai L1 L2 L3 Kepadatan P1 P2 P3 28,6 a 27,9 b 28,4 a 28,1 b 28,4 a 28,9 a 29,6855 a 27,6167 b 29,6488 c 28,8567 a 28,8799 a 29,2146 a 91 a 88 b 89 b 89 a 89 a 90 a Keterangan : 1) L1 = Lantai Litter sekam di tanah L2 = Lantai Slat bambu L3 = Lantai Litter panggung

P1 = Kandang dengan kepadatan 10 ekor/ m2

P2 = Kandang dengan kepadatan 12 ekor/ m2

P3 = Kandang dengan kepadatan 14 ekor/ m2

2)Nilai dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

(12)

Pengaruh Tipe Lantai Kandang dan Kepadatan Ternak Terhadap Tabiat Makan Ayam Pedaging Umur 2-6 Minggu

Rata-rata lama makan pada (P1) adalah 7’.36”/ ekor/15 menit pengamatan. Perlakuan (P2) dan (P3) masing-masing 7,670% dan 10,489% nyata lebih rendah (P<0,05) dari (P1), sedangkan (P2) 3,053% tidak nyata lebih lama (P>0,05) dari (P3).

Lama Minum

Rata-rata lama minum pada (L1) adalah 1’.24”/ ekor/15 menit pemgamatan. Perlakuan (L2) dan (L3) masing-masing 43,561% dan 52,025% nyata lebih lama (P<0,05) dari (L1), perlakuan (L3) 14,997% nyata lebih lama (P<0,05) dari (L2).

Rata-rata lama minum pada (P1) adalah 2’.6”/ ekor/15 menit pengamatan. Perlakuan (P2) 14,588% nyata lebih lama (P<0,05) dari (P1) dan (P1) 0,280% tidak nyata lebih lama (P>0,05) dari (P3), sedangkan (P2) 14,827% nyata lebih lama (P<0,05) dari (P3).

Lama Istirahat

Rata-rata lama istirahat pada (L1) adalah 5’.54”/ ekor/15 menit pengamatan. Lama istirahat pada (L1) 16,815% nyata lebih lama (P<0,05) dari (L2) dan 22,606% nyata lebih lama (P>0,05) dari (L2), sedangkan (L2) 6,961% tidak nyata lebih lama (P>0,05) dari (L3).

Rata-rata lama istirahat pada (P1) adalah 4’.06”/ ekor/15 menit pengamatan. Perlakuan (P2) dan (P3) masing-masing 0,779% dan 9,873% tidak nyata lebih lama (P>0,05) dari (P1), sedangkan (P3) 9,165% tidak nyata lebih lama (P>0,05) dari (P2).

Lama Panting

Rata-rata lama panting pada (L1) adalah 0’.36”/ ekor/15 menit pengamatan. Lama panting pada (L1) 40,653% nyata lebih lama (P<0,05) dari (L2) dan 13,975% tidak nyata lebih lama (P>0,05) dari (L3), sedangkan (L3) 31,013% nyata lebih lama (P<0,05) dari (L2).

Rata-rata lama panting pada (P1) adalah 0’.24”/ ekor/15 menit pengamatan. Perlakuan (P2) dan (P3) masing-masing 13,318% dan 26,996% tidak nyata lebih lama (P<0,05) dari (P1), sedangkan (P3) 15,780% tidak nyata lebih lama (P>0,05) dari (P2).

PEMBAHASAN

Frekuensi ke tempat makan ayam pada kandang lantai

litter sekam di tanah nyata lebih tinggi dibandingkan

dengan kandang lantai slat bambu dan litter panggung. Hal ini disebabkan karena keadaan kandang lantai

lit-ter sekam di tanah lebih tidak nyaman dibandingkan

dengan kandang lantai slat bambu dan litter panggung yang diindikasikan oleh suhu dan kelembaban udara dalam kandang yang nyata lebih tinggi (Tabel 2).

Gesekan aliran udara pada permukaan tanah lebih besar sehingga aliran udara pada kandang litter sekam di tanah terhambat yang menyebabkan terhalangnya pertukaran udara dari kandang ke lingkungan. Faktor lain yang menyebabkan kandang lantai litter sekam di tanah lebih panas adalah feses yang tertampung pada

lit-ter mengalami proses fermentasi dapat menghasilkan gas

metan dan amonia. Panas yang dihasilkan dari fermen-tasi litter ini dapat meningkatkan suhu udara kandang yang akan mengakibatkan bertambahnya beban panas ayam yang menghuni.

Kandang lantai litter panggung keadaannya akan lebih nyaman dibandingkan kandang litter sekam di tanah karena gaya gesek udara pada lantai liter panggung lebih rendah. Kandang dengan lantai slat bambu, aliran udaranya lebih lancar karena dari sela-sela bilah bambu angin dapat masuk. Nuriyasa dan Astiningsih (2002) menyatakan pada kecepatan angin dalam kandang 0,8 m/dt menyebabkan tingkat kenyamanan kandang lebih tinggi dari pada kecepatan angin 0,4 m/dt. Tingkat kelembaban udara berpengaruh nyata pada tingkat pelepasan panas terutama saat suhu tubuh ternak tinggi (Esmay, 1978).

Temperatur lingkungan yang tinggi disertai kelembaban yang tinggi akan menyebabkan berkurangnya kemampuan lingkungan untuk mengabsorbsi uap air yang berasal dari ternak, sehingga ternak akan mengalami cekaman panas yang sangat hebat. Keadaaan ini akan menyebabkan waktu makan ayam pada lantai

litter sekam di tanah lebih sedikit karena ayam akan

menjauhi tempat makan yang panas, disebabkan karena ayam akan berdesak-desakan di tempat makan. Ayam pada lantai litter sekam di tanah akan lebih sering beristirahat baik frekuensi dan lama istirahatnya, seperti pada Tabel 1. Cekaman panas pada perlakuan L1 dapat mengakibatkan ayam takut bersesak-desakan di tempat makan dan akan memilih waktu makan. Kebutuhan akan makanan dipenuhi dengan meningkatkan frekuensi ke tempat makan. Hal ini sesuai dengan pendapat Schein (1975) bahwa respon fisiologi hewan pada temperatur lingkungan yang tinggi tergantung pada tingkat kelembaban udara sekitar. Frekuensi ke tempat makan dan lama waktu yang dihabiskan untuk makan tidak mencerminkan jumlah makanan yang dimakan karena kemungkinan ayam hanya mempermainkan makanannya (Masic et al., 1974). Hal ini dapat dibuktikan dari jumlah konsumsi ransum pada ketiga tipe lantai yang tidak berbeda nyata.

Lama panting pada lantai litter sekam di tanah nyata lebih tinggi dari lantai slat bambu karena suhu kandang lantai litter sekam di tanah yang nyata lebih tinggi. Semakin kecil perbedaan temperatur kandang dengan temperatur tubuh ternak, maka pelepasan panas oleh

(13)

Eny Puspani, I.M. Nuriyasa, A.A.P Putra Wibawa, dan D.P.M.A. Candrawati

ternak akan semakin sulit. Keadaan ini lebih buruk lagi karena tingkat kelembaban yang juga nyata lebih tinggi. Ini akan menimbulkan cekaman panas bagi ternak dan ternak akan berusaha mengatasi keadaan dengan melepaskan panas melalui saluran pernafasan (panting).

Frekuensi dan lama makan ayam dengan kepadatan 10 ekor/m2 nyata lebih tinggi dibandingkan kepadatan 12 ekor/m2 dan 14 ekor/m2. Hal ini disebabkan semakin tinggi kepadatan pada luas kandang yang sama maka sifat agonistik akan makin tinggi. Sifat agonistik meningkat menyebabkan agresivitas ternak meningkat sehingga persaingan diantara individu meningkat. Kandang dengan kepadatan 12 ekor/m2 dan 14 ekor/ m2 sifat agonistiknya akan lebih tinggi dibandingkan kepadatan 10 ekor/m2. Ayam pedaging memiliki sifat yang lebih tenang dibandingkan ayam petelur (Tanaka dan Yoshimoto, 1986). Karena sifat ayam pedaging yang tenang inilah maka ayam dengan tingkat sosial yang rendah pada kepadatan tinggi akan mengalah dan menunggu ayam dengan tingkat sosial lebih tinggi selesai makan, sehinggi frekuensi dan lama makan pada kepadatan ternak yang tinggi akan lebih jarang. Tingginya frekuensi ke tempat minum dan banyak air yang dikonsumsi ada hubungannya dengan aktivitas ayam dan banyak makanan yang dimakan. Makin banyak makanan yang dimakan maka jumlah air yang diminum juga makin banyak (Tillman et al., 1986). Hasil pengamatan yang bervariasi antara perbandin-gan frekuensi dan lama makan denperbandin-gan frekuensi dan lama minum disebabkan karena frekuensi ke tempat makan dan lama waktu yang dihabiskan untuk makan tidak mencerminkan jumlah makanan yang dimakan karena kemungkinan ayam hanya mempermainkan makanannya saja (Masic et al., 1974).

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah tidak terjadi interaksi antara lantai kandang dan kepadatan kandang terhadap tabiat makan. Lantai slat bambu dan litter panggung menghasilkan tabiat makanan yang lebih baik dibandingkan litter alas tanah. Kepadatan kandang 10 ekor/m2 menghasilkan tabiat makan lebih baik dari pada 12 ekor/m2 dan 14 ekor/m2.

UCAPAN TERIMA KASIH

Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Prof. Ir. Ketut Astiningsih, M.Rur.Sc. atas bimbingan dan sarannya selama penelitian, dan Ibu Nuriyasa yang telah memberikan fasilitas kandang, serta para mahasiswa yang telah dengan tekun ikut serta dalam proyek penelitian sampai selesai.

DAFTAR PUSTAKA

Duncan, I.J.H. dan Wood-Gush, D.G.M. 1971. Frustation and aggression in the domestic fowl. J. Anim. Behav. 19 : 500-504.

Esmay, M.L. 1978. Principles of Animal Environment. Avi Publish-ing Company, Inc. Westport, Connecticut.

Masic, B., Wood-Gush, D.G.M., Duncan, C., McCorquodale and Savory, C.J. 1974. A Comparison of the Feeding Behaviour of Young Broiler and Layer Males. Agricultural Research Council’s Poultry Research Center. Roslin, Midlothian EH2S, GPS, Scotland.

Nuriyasa, I M. 2003. Pengaruh tingkat kepadatan dan kecepatan angin dalam kandang terhadap indeks ketidaknyamanan dan penampilan ayam pedaging pada dataran rendah. Majalah Ilmiah Peternakan, Fakultas Peternakan Unud. 2 (6) : 40 - 45.

Nuriyasa, I M. dan Astiningsih, N.K. 2002. Pengaruh tingkat kepadatan ternak dan kecepatan angin dalam kandang terhadap tabiat makan ayam pedaging. Majalah Ilmiah Peternakan, Fakultas Peternakan Unud. 3 (5) : 99-103. Schein, M.W. 1975. The Physical Environment and Behaviour. In

: The Behaviour of Domestic Animal. Edited by E.S.E. Hafez P. 82-95. 3nd Ed. Bailliere Tindal, London.

Steel, R.G.D. dan Torrie, J.H. 1989. Principles and Procedures of Statistics. 2nd Ed. McGraw-Hill International Book Com-pany, London.

Tanaka, T. and Yoshimoto, T. 1986. Effects of feeding frequency on the feeding behaviour of laying hens. J. Zootech. Sci. Japan

Tillman, A.D., Hartadi, H. Reksohadiprodjo S., dan Lebdo-soekojo S. 1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-3. Fakultas Peternakan Gadjah Mada. Yogyakarta.

(14)

KOEFESIEN CERNA BAHAN KERING DAN NUTRIEN RANSUM KAMBING

PERANAKAN ETAWAH YANG DIBERI HIJAUAN DENGAN SUPLEMENTASI

KONSENTRAT MOLAMIK

i G. l. O. CAKrAdAn n.w Siti Fakultas Peternakan Universitas Udayana Denpasar Bali

e-mail: lanangcakrafapet@yahoo.com HP. 08123674289

ABSTRAK

Penelitian ini dilaksanakan di Padanggalak, Denpasar. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh suplementasi konsentrat Molamik terhadap koefesien cerna bahan kering dan nutrien ransum kambing PE yang diberi hijauan berbasis leguminosa. Penelitian menggunakan tancangan acak kelompok (RAK) dengan tiga perlakuan dan tiga kelompok (blok) sebagai ulangan. Ternak yang digunakan berjumlah 9 ekor, rata-rata berat badan awal 15,56±1,63 kg. Ketiga perlakuan tersebut adalah: perlakuan A: 100% ransum hijauan (20% Rumput lapangan, 60% Gamal dan 20% Waru), perlakuan B: 92,5% ransum A + 7,5% konsentrat Molamix dan perla-kuan C: 85% ransum A+15% konsentrat Molamix. Peubah yang diamati adalahk oefisien cerna bahan kering, dan nutrien ransum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa koefisien cerna bahan kering, bahan organik, protein kasar pada perlakuan B dan C nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan A. Koefesien cerna serat kasar pada perlakuan B dan C nyata lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan dengan perlakuan A. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pemberian ransum hijauan berbasis leguminosa dengan suplementasi 7,5% dan 15% konsentrat Molamik pada kambing Peranakan Etawah secara nyata dapat meningkatkan koefisien cerna bahan kering dan nutrien ransum (bahan organik, protein kasar dan serat kasar).

Kata kunci: koefesien cerna, molamik, kambing PE.

COEFESIEN DIGESTIBILITY OF DRY MATTER AND NUTRITION CONTENT OF ETAWAH CROSS BREED GOAT RATION WITH FORAGE AND MOLAMIK CONSENRAT

ABSTRACT

This experiment was conducted to find out the effect of suplement molamik consentrat on digestibility of dry matter and nutrien content on etawah cross breed goat ration with leguminosa forage.The experiment used nine goats that had an average initial weight of 15.56 ±1.63 that were alocated into three treatment group of diets i. e. Diet A =100% forage (20% grass, 60 % Gliricidia sepium and 20% Hibiscus teilleaceus) ; Diet B = 92,5% diet A + 7.5%

Molamik consentrat ; Diet C = 85 % diet A + 15 % Molamik consentrat in Randomized Block Design consisting

of three treatment and three replicates.

Result of the experiment indicated that suplementation of Molamik consentrat 7.5% and 15% significanly increase digestibility of dry matter, organic matter crude protein, and crude fiber.

Key words: digestibility, molamik, goat

PENDAHULUAN

Kambing termasuk jenis ternak perambah (browser), yakni dapat memanfaatkan 60-70% daun-daunan (Kearl, 1982). Namun kenyataannya, banyak kambing yang diberi pakan berupa rumput lapangan, perlakuan ini sudah pasti menyimpang dari sifat dasarnya sebagai

ternak browser. Hal ini dapat mempengaruhi tingkat kon-sumsi dan kecernaan pakan, juga dikhawatirkan dapat mengakibatkan terganggunya keseimbangan nutrien. Sukanten et al. (1996) menyatakan bahwa pemberian pakan rumput lapangan secara tunggal pada kambing menghasilkan pertumbuhan negatif yakni -8,69 g/ekor/ hari. Rumput lapangan memiliki sifat amba (bulky),

(15)

I G. L. O. Cakra dan N.W Siti

sehingga belum mampu mengontrol aktivitas mikroor-ganisme rumen dalam mencerna pakan, sebagai akibat dapat menurunkan daya cerna pada pakan.

Berdasarkan fenomena tersebut, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan pertumbuhan kambing sesuai dengan potensi genetiknya. Salah satu langkah tersebut adalah dengan memodifikasi campuran ransum hijauan berbasis leguminosa pohon agar sesuai dengan sifat dasar kambing sebagai ternak browser. Daun gamal (Gliricidia sepium) dan waru (Hibiscus tilleaceus) sebagai hijauan pakan pilihan diduga mampu meningkatkan ke-cernaan pakan pada kambing. Putra (1999) menyatakan bahwa daun gamal dapat berfungsi sebagai sumber protein bagi mikroba, sedangkan waru berfungsi sebagai agen defaunasi untuk menciptakan suasana rumen yang lebih kondusif. Sukanten et al. (1996) menyatakan bahwa pemberian gamal pada kambing secara tunggal, menghasilkan pertumbuhan yang positif yakni +80,12 g/ekor/hr. Selain kandungan energinyayang tinggi, gamal juga menyediakan sumber protein yang mudah didegradasi (DIP) dan lolos degradasi (UIP).

Pemberian pakan pada kambing berupa hijauan saja masih mempunyai kelemahan yaitu kurangnya energi maupun protein . Selain itu, jika ditinjau dari segi kualitas berbagai macam hijauan yang tumbuh di daerah tropis seperti Indonesia, pemberian pakan hijauan saja masih kurang berarti untuk memenuhi kebutuhan nu-trien ternak kambing, oleh karena itu Murtidjo (1993) menyarankan pemanfaatan hijauan pakan sebaiknya diikuti dengan suplementasi konsentrat. Lebih lanjut dinyatakan pula tambahan konsentrat ini berfungsi untuk meningkatkan daya guna pakan, serta dapat meningkatkan konsumsi dan kecernaan pakan.

Suplementasi konsentrat yang mengandung mo-lasis dan mineralmix (Molamix) diharapkan mampu meningkatkan kecernaan nutrien pakan pada kambing Peranakan Etawah (PE). Dasar penggunaan bahan ini karena molasis dapat berfungsi sebagai sumber karbohidrat mudah tercerna dan mengandung energi siap pakai untuk pertumbuhan mikroba rumen. Preston dan Leng (1987) menyatakan bahwa salah satu fungsi molasis adalah sebagai penyedia karbohidrat mudah di-fermentasi dan sebagai bahan palatabel pembawa nutrien esensial bagi ternak ruminansia. Kandungan mineralmix pada konsentrat Molamix merupakan gabungan bahan sumber penyedia mineral yang sangat dibutuhkan dalam proses fisiologis ternak.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suplementasi konsentrat Molamix terhadap koefisien cerna bahan kering dan nutrien ransum kambing Per-anakan Etawah yang diberi ransum hijauan berbasis leguminosa pohon.

MATERI DAN METODE Materi

Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah kambing Peranakan Etawah (PE) lepas sapih (umur ±3 bulan) berjumlah 9 ekor, dengan berat badan awal rata-rata15,56±1,63 kg. Ternak ini merupakan ras kambing Kaligesing Purworejo Jawa Tengah. Kandang yang digunakan adalah kandang individu berbentuk panggung, yang berjumlah 9 petak, masing-masing petak berukuran panjang 175 cm, lebar 120 cm dan tinggi 170 cm. Tempat pakan berukuran panjang 120 cm, lebar 40 cm dan tinggi 40 cm. Tempat air minum kapasitas 5 liter, tempat konsentrat Molamix dengan kapasitas 2 liter.

Alat-alat yang digunakan antara lain: timbangan merek “Five Goats” buatan China kapasitas 5 kg dengan kepekaan 20 g dan timbangan roti kapasitas 10 kg dengan kepekaan 200 g, timbangan duduk merek “Indocacin” buatan Indonesia memiliki kapasitas 150 kg dengan kepekaan 50 g, timbangan digital merek “Soehnel” buatan Swiss dengan kapasitas 2 kg dengan kepekaan 2 g.

Ransum yang diberikan pada ternak penelitian terdiri dari ransum basal dan konsentrat. ransum basal berupa 20% rumput lapangan, 60% gamal dan 20% waru. Ransum konsentrat Molamix terdiri dari campuran bahan-bahan sebagai berikut 45% dedak padi, 45% pollar, 5,5% molasis, 3,5% mineralmix dan 1% garam dapur. Bahan ransum didapat dari pabrik pakan ternak “Nandini” yang berlokasi di Desa Munggu, Mengwi, Badung. Air minum berasal dari sumur bor.

Tempat dan waktu penelitian

Penelitian dilaksanakan selama 20 minggu di areal kandang peternakan kambing Peranakan Etawah (PE) berlokasi di Gg. Ulun Carik Jl. By Pass Ngurah Rai, Padanggalak Sanur Denpasar. Analisis proksimat dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman Denpasar.

Rancangan percobaan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga perlakuan dan tiga kelompok(blok) sebagai ulangan. Ketiga perlakuan tersebut adalah:perlakuan A (100% ransum hijauan), perlakuan B (92,5% ransum A + 7,5% konsentrat Mola-mix) dan perlakuan C (85% ransum A + 15% konsentrat Molamix). Pembagian kelompok (blok) percobaan ini didasarkan pada berat badan kambing, dimana blok I memiliki berat badan 17,42±2,27 kg (kelompok berat), blok II memiliki berat badan 14,87±0,48 kg (kelompok sedang) dan blok III memiliki berat badan 14,4±0,095

(16)

Koefesien Cerna Bahan Kering dan Nutrien Ransum Kambing Peranakan Etawah yang Diberi Hijauan dengan Suplementasi Konsentrat Molamik

kg (kelompok ringan).

Komposisi bahan ransum disajikan pada Tabel 1 dan kandungan nutrien ransum disajikan pada Tabel 2. Ransum konsentrat Molamix dicampur seminggu sekali sesuai dengan proporsinya. Cara mencampur konsentrat tersebut adalah dengan cara manual.

Pemberian ransum dan air minum

Penentuan kebutuhan konsumsi bahan kering atau

Dry Matter Intake (DMI) didasarkan pada rekomendasi

Kearl (1982) dengan mempertimbangkan hasil evaluasi pada masa adaptasi yakni 3,6 persen dari berat badan ternak. Pemberian pakan hijauan dilakukan dua kali sehari, yaitu pada pagi hari sekitar jam 07.00 Wita dan sore hari pada jam 17.00 Wita. Pemberian konsentrat Molamix dilakukan pada pagi hari sekitar dua jam setelah kambing diberi pakan hijauan, pemberian kon-sentrat dicampur sedikit air hingga konkon-sentrat tidak beterbangan dan mengganggu pernafasan ternak ketika dimakan. Air minum diberikan ad libitum dan diganti setiap hari pada pagi hari.

Peubah yang diamati

Peubah yang diamati selama penelitian adalah koefisien cerna bahan kering, bahan organik, protein kasar dan serat kasar.

Pengukuran koefesien cerna dilakukan dengan me-tode koleksi total, selanjutnya perhitungan menggunakan

rumus berikut:

Koefisien cerna bahan kering (KCBK) dihitung dengan rumus: KCBK= 100% dikonsumsi yang kering Bahan feses dalam kering Bahan � dikonsumsi yang kering Bahan ×

Koefisien cerna bahan organik (KCBO) dihitung dengan rumus: KCBO= 100% dikonsumsi yang organik Bahan feses dalam organik Bahan � dikonsumsi yang organik Bahan ×

Koefisien cerna protein kasar (KCPK) dihitung dengan rumus: KCPK = 100% dikonsumsi yang kasar Protein feses dalam kasar Protein � dikonsumsi yang kasar Protein ×

Koefisien cerna serat kasar (KCSK) dihitung dengan rumus:

KCSK=Serat kasar yangSerat dikonsumsikasar yangdikonsumsi �Serat kasar dalamfeses x100%

Pengambilan dan analisis sampel

Pengambilan data dan sampel dilakukan pada tahap koleksi total selama tujuh hari pada minggu ke sebelas. Pencatatan data meliputi: jumlah produksi feses, kon-sumsi pakan dan sisa pakan, sedangkan sampel yang diambil adalah sampel pakan diberikan, sisa pakan dan feses masing-masing sebanyak 200 g

Prosedur analisis penentuan Bahan Kering (BK), Bahan Organik (BO), Protein Kasar (PK), dan Serat Kasar (SK) sampel sesuai dengan metode “Association of Official Analytic Chemist” (A.O.A.C., 1990).

Analisis statistik

Data yang diperoleh dianalisis sidik ragam (Analyse

Of Variance) berdasarkan paket program Costat (1990).

Apabila pengujian sidik ragam terdapat hasil berbeda nyata (P<0,05) antar perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Steel and Torrie, 1991).

HASIL DAN PEMBAHASAN Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa koefisien cerna bahan kering (KCBK) pada ransum kambing yang mendapat perlakuan A (100% ransum hijauan) adalah 62,207% (Tabel 3). KCBK pada kambing yang mendapat perlakuan B (92,5% ransum A + 7,5% konsentrat Mo-Tabel 1. Komposisi Ransum Perlakuan

Bahan Perlakuan1) A B C Rumput Lapangan (%) Gamal (%) Waru (%) Konsentrat Molamix (%) 20,00 60,00 20,00 -18,50 55,50 18,50 7,50 17,00 51,00 17,00 15.00 Total (%) 100,00 100,00 100,00

Tabel 2. Kandungan Nutrien Ransum Perlakuan

Nutrisi Perlakuan1) Standar

A B C Makro Nutrien3): BK (%) GE (Kkal) PK (%) SK (%) BO (%) Abu (%) Mikro Nutrien4): Ca (%) P (%) S (%) Zn (ppm) 20,87 4032,20 17,59 20,35 89,94 10,06 1,11 0,03 0,18 26,53 24,68 4013,10 17,69 19,55 89,99 10,01 1,04 0,04 0,17 30,5 28,49 3994,07 17,79 18,75 90,04 9,96 0,97 0,04 0,16 34,47 -9,78-13,782) -0,44-0,562) 0,31-0,392) 0,202) 20,605) Keterangan : 1). Perlakuan A (kontrol) : 100% pakan hijauan (gamal 60%+ rumput 20%+ waru 20% ) Perlakuan B : 92,5% ransum A + 7,5% konsentrat Molamix. Perlakuan C : 85% ransum A + 15% konsentrat Molamix. 2). NRC (1981).

3). Hasil Analisis Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana

4). Hasil Analisis Laboratorium Analitik Universitas Udayana 5). Georgievskii (1982).

(17)

I G. L. O. Cakra dan N.W Siti

lamix) dan kambing yang mendapat perlakuan C (85% ransum A + 15% konsentrat Molamix) masing-masing 6,765% dan 13,416% nyata lebih tinggi (P<0,05) daripa-da kambing padaripa-da perlakuan A. Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO) pada perlakuan A adalah 64,251%, sedangkan KCBO pada perlakuan B dan perlakuan C masing-masing 5,846% dan 11,962% nyata lebih tinggi (P<0,05) daripada perlakuan A

Kecernaan Protein Kasar

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Koefisien Cer-na Protein Kasar (KCPK) pada kambing yang mendapat perlakuan A adalah 70,358% (Tabel 3). KCPK pada kambing yang mendapat perlakuan B dan kambing yang mendapat perlakuan C masing-masing 6,741% dan 12,419% nyata lebih tinggi (P<0,05) daripada kambing yang mendapat perlakuan A.

Kecernaan Serat Kasar

Hasil penelitian menunjukkan bahwa koefisien cerna serat kasar (KCSK) pada kambing yang mendapat perlakuan A adalah 32,251% (Tabel 3). KCSK pada kambing yang mendapat perlakuan B dan kambing yang mendapat perlakuan C masing-masing 19,967% dan 36,207% nyata lebih tinggi (P<0,05) daripada perlakuan A.

PEMBAHASAN

Koefisien cerna bahan kering dan nutrien ransum berbasis leguminosa pohon pada kambing Peranakan Etawah, dapat ditingkatkan dengan penambahan konsentrat Molamix dengan level 7,5% dan 15% dari total jumlah ransum hijauan yang diberikan. Koefisien cerna Bahan Kering (BK) dan Bahan Organik (BO) ransum tertinggi pada kambing yang mendapat perlakuan C, kemudian diikuti dengan kambing yang mendapat perlakuan B. Hal ini membuktikan bahwa secara kuantitas maupun kualitas konsentrat Molamix mampu memberikan nutrisi bagi mikroba rumen sehingga dapat meningkatkan koefisien cerna.

Komposisi ransum yang diberikan bervariasi yang terdiri dari hijauan dan kosentrat yang memiliki kegunaan dan bentuk fisik yang berbeda-beda. Campbell et al. (2003) dan Anggorodi (1979) menyatakan bahwa di antara faktor yang mempengaruhi kecernaan ransum adalah bentuk fisik dari bahan penyusun ransum, komposisi ransum, laju aliran pakan melalui saluran pencernaan dan perbandingan zat makanan di dalamnya.

Pada perlakuan C, ransum terdiri dari konsentrat Molamix yang memiliki persentase paling tinggi. Konsentrat Molamix memiliki berbagai macam bahan penyusun yang memiliki zat-zat mudah larut seperti pati dan gula-gula sederhana pada molasis. Kelarutan bahan-bahan ini dalam cairan rumen akan mempercepat laju aliran pakan, sehingga kesempatan mikroba rumen dalam mencerna pakan konsentrat hanya sesaat dan selanjutnya pakan konsentrat akan mengalir ke pasca rumen yang pada akhirnya dapat diserap oleh hewan inang. Hal ini sangat mempengaruhi koefisien cerna pakan.

Dalam bahan pakan ternak hijauan maupun kon-sentrat tersusun dari fraksi bahan kering dan bahan organik (McDonald et al., 1995). Bahan organik tersusun atas nutrien utama yang sangat diperlukan oleh ternak dalam proses metabolisme untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Karena meningkatnya kecernaan bagian bahan organik yang ada di dalamnya yaitu protein dan karbohidrat, maka secara otomatis bahan organik juga meningkat, sehingga mengarah pada peningkatan bahan kering.

Perlakuan pemberian konsentrat Molamix menambah komposisi bahan makanan yang mudah larut. Sifat kelarutan bahan makanan ini selain dapat meningkatkan penyerapan bahan makanan bagi hewan inang, juga menyediakan makanan yang siap pakai bagi mikroba rumen. Oleh karena makanan mikroba rumen tersedia, maka aktivitas mikroba rumen meningkat untuk mencerna materi penyusun pakan hijauan terutama serat kasar atau selulosa.

Koefisien cerna Protein Kasar (PK) tertinggi pada ransum perlakuan C yang diikuti dengan perlakuan B. Hal ini disebabkan pada ransum perlakuan C suple-mentasi konsentrat Molamix relatif tinggi dibanding perlakuan lainnya. Selain komposisi sumber protein yang mudah didegradasi (DIP) dan lolos degradasi (UIP) terdapat pada ransum basal, juga disediakan protein mudah larut yang terkandung dalam konsentrat Molamix. Molasis yang terkandung dalam konsentrat memiliki fungsi sebagai penyedia karbohidrat mudah larut dan energi (Preston dan Leng, 1987). Oleh karena itu konsentrat Molamix mampu merangsang mikroba rumen untuk lebih aktif dalam mencerna pakan hi-jauan.

Peubah Perlakuan1) Signifikansi

A B C KCBK (%) 62.207a 66.415ab 70.552b 2) P<0,05 KCBO (%) 64.251a 68.007ab 71.936b 2) P<0,05 KCPK (%) 70.358a 75.101ab 79.096b 2) P<0,01 KCSK (%) 32.251a 38.690ab 43.928b 2) P<0,01 Keterangan : 1). Perlakuan A (kontrol) : 100% pakan hijauan (gamal 60%+ rumput 20%+ waru 20% ) Perlakuan B : 92,5% ransum A + 7,5% konsentrat Molamix. Perlakuan C : 85% ransum A + 15% konsentrat Molamix. 2) Nilai dengan huruf/notasi berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) dan sangat nyata (P<0,01).

Gambar

Tabel 2.   Ringkasan hasil uji t ukuran tubuh domba Garut tangkas, peda- peda-ging dan persilangnnya
Tabel 2.   Temperatur Udara Kandang, Temperatur Lantai Kandang dan  Kelembaban	Kandang	Selama	Penelitian.
Tabel 2. Kandungan Nutrien  Ransum Perlakuan
Tabel	3.		 Nilai	Koefisien	Cerna	Bahan kering dan Nutrien Ransum
+7

Referensi

Dokumen terkait

Waktu hasil konversi biaya dibandingkan dengan volume sortimen yang dihasilkan selama waktu tersebut sehingga diperoleh biaya produksi penebangan per satuan unit (Rp/m

Salah satu metode pembelajaran yang dilatarbelakangi permainan dalam salah satu situs Depdiknas adalah metode Crush Word (tebak kata )(www.dikmegnum.go.id ). Tebak

Financing Bank Umum Syariah Di Indonesia: Pendekatan Unbalanced Panel Data.

Teknik Analisis Data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara

Pada pe nelitian lain dengan klaisfikasi masa kerja &lt; 10 tahun dan ≥ 10 tahun yang dilakukan oleh L D Permaningtyas, A Budi Dermawan, dan Diah Krisnansari

Dinyatakan selanjutnya bahwa yang dimaksud dengan Konservasi sumber daya air adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi sumber daya air agar