• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persepsi Pasangan Suami-Istri Terhadap Bentuk Komunikasi Simbolik Yang Diberikan Kepada Pengantin Dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Adat Batak Toba (Studi Kualitatif Terhadap Masyarakat Batak Toba Di Kelurahan Medan Tenggara Kecamatan Medan Denai)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Persepsi Pasangan Suami-Istri Terhadap Bentuk Komunikasi Simbolik Yang Diberikan Kepada Pengantin Dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Adat Batak Toba (Studi Kualitatif Terhadap Masyarakat Batak Toba Di Kelurahan Medan Tenggara Kecamatan Medan Denai)"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEPSI PASANGAN SUAMI-ISTRI TERHADAP BENTUK

KOMUNIKASI SIMBOLIK YANG DIBERIKAN KEPADA

PENGANTIN DALAM UPACARA PERKAWINAN

MASYARAKAT ADAT BATAK TOBA

(Studi Kualitatif Terhadap Masyarakat Batak Toba di Kelurahan Medan Tenggara Kecamatan Medan Denai)

SKRIPSI

Diajukan oleh:

SAHMAIDA LUBIS

090922015

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI EKSTENSI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

i ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Persepsi Pasangan Suami istri Terhadap Bentuk Komunikasi Simbolik yang Diberikan Kepada Pengantin Dalam Upacara Perkawinan Adat Batak Toba (Studi Kualitatifn Terhadap Masyarakat Batak Toba di Kelurahan Medan Tenggara Kecamatan Medan Denai). Ada beberapa bentuk komunikasi simbolik yang digunakan dalam adat masyarakat Batak Toba. Bentuk komunikasi simbolik tersebut adalah dekke (ikan mas), mandar hela (sarung menantu laki-laki), boras (beras), dan ulos hela (ulos menantu laki-laki). Simbol tersebut mengandung makna berupa nilai-nilai perkawinan dan kehidupan masyarakat Batak Toba yang menarik dan penting untuk diteliti di tengah kehidupan masyarakat yang multi kultural dan kemungkinan perbedaan persepsi masyarakat terhadap bentuk komunikasi simbolik tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk komunikasi simbolik yang diberikan kepada pengantin dalam upacara perkawinan adat Batak Toba dan untuk mengetahui persepsi berupa pemahaman pasangan suami-istri terhadap bentuk komunikasi simbolik yang diberikan kepada pengantin pada saat upacara adat perkawinan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bertujuan untuk menjelaskan persepsi pasangan suami istri terhadap bentuk komunikasi simbolik yang diberikan kepada pengantin dalam upacara adat perkawinan masyarakat adat Batak Toba. Data diperoleh melalui informan yang ditentukan secara purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang disesuaikan dengan kriteria tertentu yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian. Peneliti melakukan pengumpulan data di lapangan dengan melakukan wawancara mendalam terhadap informan.

(3)

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan skripsi ini, guna melengkapi syarat untuk mencapai gelar Sarjana pada Universitas Sumatera Utara. Adapun judul skripsi ini adalah “Persepsi Pasangan Suami istri Terhadap Bentuk Komunikasi Simbolik Yang Diberikan Kepada Pengantin

Dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Adat Batak Toba (Studi Kualitatif

Terhadap Masyarakat Batak Toba di Kelurahan Medan Tenggara

Kecamatan Medan Denai)”.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis mendapat banyak bimbingan, bantuan, dan masukan dari berbagai pihak. Terimakasih buat semua hal yang sudah penulis dapatkan sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis mengucapkan terimakasih banyak kepada Bapak S. Lubis Alm dan Mama H. Sihombing atas segala kasih sayang, dukungan serta perhatian baik moral maupun materil bahkan doa yang tiada habisnya kepada penulis. Terimakasih juga kepada “Lubis Family” abang dan kakak (Bang Tasya Lubis, Bang Dewi Lubis, Bang Michael Lubis, Bang Januari Lubis, Kak Dostina Lubis, Kak Serti Lubis, dan Kak Martina Lubis) yang selalu memberi dukungan, materil, doa dan semangat kepada penulis. Biarlah Tuhan terus memberkati keluarga kita dengan kasihNYA

(4)

iii

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Fatma Wardy, M.A selaku Ketua Departemen Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Dayana, M.Si selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Dosen Pembimbing yang telah sabar membimbing selama proses penyusunan skripsi ini. Terimakasih buat pengetahuan dan wawasan yang telah diberikan kepada penulis.

4. Bapak Drs.HR Danan Djaja, MA selaku dosen wali penulis. Terimakasih buat semua hal yang telah diberikan selama masa perkuliahan.

5. Seluruh Dosen dan pegawai di Departemen Ilmu Komunikasi, yang turut membantu proses pengerjaan skripsi ini.

6. Kak Icut, kak Ros, dan kak Maya yang membantu penulis dalam menyelesaikan urusan administrasi.

7. Bapak M. Ritonga selaku Lurah Kelurahan Medan Tenggara, sekretaris lurah Bapak A. Siregar dan seluruh pegawai kelurahan Medan Tenggara Kecamatan Medan Denai yang telah banyak membantu penulis dalam memperoleh data untuk skripsi penulis.

(5)

iv

9. Bapak dan Ibu di Kelurahan Medan Tenggara yang menjadi informan penelitian penulis dan banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10.Seluruh teman-teman di Departemen Ilmu Komunikasi, khusunya Ilmu Komunikasi stambuk 2009 (Lamhot, Benget, Frengki, Eva, Isan, Ester, kak Ria, kak Riris) yang sama-sama berbagi suka duka, pengalaman dan pengetahuan selama perkuliahan dan pengerjaan skripsi ini.

11.Kelompok Tumbuh Bersama JEHOVARAAH (kak Revi, kak Ida, kak Meity, , kak Dince, kak Elga, Yulis, dan Rut) Terimakasih buat dukungan, masukan, bahkan semangat dan doa yang memotivasi penulis dalam pengerjaan skripsi ini. Biarlah Allah yang mempersatukan kita, Dialah yang terus meneguhkan kita dalam menjalani kehidupan kita.

12.Terimakasih buat sahabat-sahabat penulis yang senantiasa meingatkan penulis ketika rasa jenuh dan sedih menghadang. Terimakasih buat support dan doa-doanya, dan terimakasih buat hati yang mengasihi. Terimakasih buat Herawati Lubis, kak Imelda, Vita, mila.

13.Terimakasih juga penulis ucapkan buat bang Sulasfri Andi Panjaitan Spd yang telah banyak membantu penulis dalam pengerjaan skripsi ini dan menjadi tempat sharing penulis dalam suka dan duka. Terimakasih buat dukungan, masukan, nasehat, bahkan perbedaan pendapat karena lewat semua itu, kita semakin didewasakan.

(6)

v

Terima kasih banyak untuk semua bantuan dan dukungan yang telah diberikan dari semua pihak, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Medan, Juni 2011 Penulis,

(7)

vi DAFTAR ISI

ABSTRAKSI.………....i

KATA PENGANTAR………..i

DAFTAR ISI………....v

DAFTAR TABEL………...viii

DAFTAR GAMBAR………...ix

LAMPIRAN………...x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah... ... 6

1.3 Pembatasan Masalah ... 6

1.4 Tujuan Penelitian ... 7

1.5 Manfaat Penelitian...8

1.6 Kerangka Teori...8

1.6.1 Persepsi...9

1.6.2 Komunikasi Simbolik Perkawinan Batak Toba...11

1.6.3 Teori Interaksi Simbolik...13

1.7 Kerangka Konsep...15

1.8 Analisis Data...17

BAB II URAIAN TEORITIS...23

2.1 Pengertian Komunikasi ... 23

2.1.1 Unsur-unsur Komunikasi ... 24

2.1.2 Tujuan dan Fungsi Komunikasi ... 25

2.2 Pengertian Persepsi ... 28

2.2.1 Tahap-tahap Pembentukan Persepsi ... 29

2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi ... 32

2.3 Komunikasi Simbolik ... 33

2.3.1 Komunikasi Simbolik Sebagai Komunikasi Nonverbal ... 34

2.4 Teori Interaksi Simbolik...35

(8)

vii

2.6 Perkawinan ... 45

2.7 Falsafah Dalihann Na Tolu ... 56

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 58

3.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 58

3.1.1 Sejarah Kelurahan Medan Tenggara ... 58

3.1.2 Batas-batas Wilayah Kelurahan ... 58

3.1.3 Luas Wilayah ... 58

3.1.4 Demografi Kelurahan Medan Tenggara... 59

3.1.5 Lembaga Pendidikan Kelurahan Medan Tenggara ... 62

3.1.6 Fasilitas Peribadatan Kelurahan Medan Tenggara ... 62

3.1.7 Sejarah Masyarakat Batak Toba Kelurahan Medan Tenggara .... 63

3.1.8 Gambaran Demografis Pasangan Suami-Istri di Kelurahan Medan Tenggara ... 64

3.1.9 Sejarah Perkawinan Masyarakat Batak Toba di Kelurahan MedanTenggara ... 64

3.1.10 Upacara Perkawinan Masyarakat Batak Toba di Kelurahan MedanTenggara ... 67

3.1.11 Tata Cara Adat Perkawinan Masyarakat Batak Toba di Kelurahan Medan Tenggara ... 68

3.1.12 Bentuk Komunikasi Simbolik Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Batak Toba di Kelurahan Medan Tenggara... 72

3.2. Metodologi Penelitian ... 75

3.2.1 Metode Penelitian... 75

3.2.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 76

3.2.3 Subjek Penelitian ... 77

3.2.4 Teknik Pengumpulan Data ... 77

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...78

4.1 Pelaksanaan Pengumpulan Data di Lapangan... 78

4.2 Teknik Pengolahan Data ... 79

4.3 Analisis Data Pada Studi Semiotika ... 79

4.4 Penyajian Hasil Penelitian ... 80

(9)

viii

4.5.1 Persepsi Informan Terhadap Simbol Dekke (ikan) ... 80

4.5.2 Persepsi Informan Terhadap Simbol Mandar Hela (sarung menantu laki-laki) ... 86

4.5.3 Persepsi Informan Terhadap Simbol Ulos Hela (ulos menantu laki-laki) ... 91

4.5.4 Persepsi Informan Terhadap Simbol Boras (beras) ... 95

4.6 Rangkuman Hasil Wawancara ... 98

4.7 Pembahasan Hasil Penelitian ... 99

V KESIMPULAN DAN SARAN ... 105

5.1 Kesimpulan ... 105

5.2 Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(10)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Luas Wilayah Kelurahan Medan Tenggara...………...58

2. Keadaan Penduduk Kelurahan Berdasarkan Jenis Kelamin...59

3. Keadaan Penduduk Kelurahann Berdasarkan Umur...59

4. Keadaan Penduduk Kelurahan Berdasarkan Tingkat Pendidikan...60

5. Keadaan Penduduk Kelurahan Berdasarkan Agama...61

6. Keadaan Penduduk Kelurahan Berdasarkan Mata Pencaharian...61

7. Lembaga Pendidikan Formal dan Swasta Kelurahan...62

8. Fasilitas Peribadatan Kelurahan...63

9. Jumlah Pasangan Suami-Istri yang Melaksanakan Upacara Perkawinan di Kelurahan...………...67

10. Tata Cara Adat Perkawinan yang Lazim Terjadi di Kelurahan...…...70

11. Bentuk Komunikasi Simbolik ... ...73

(11)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar

Halaman

(12)

xi LAMPIRAN

1. Transkrip Wawancara

2. Lembar Catatan Bimbingan Skripsi 3. Gambar 1 dan Gambar 2

(13)

i ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Persepsi Pasangan Suami istri Terhadap Bentuk Komunikasi Simbolik yang Diberikan Kepada Pengantin Dalam Upacara Perkawinan Adat Batak Toba (Studi Kualitatifn Terhadap Masyarakat Batak Toba di Kelurahan Medan Tenggara Kecamatan Medan Denai). Ada beberapa bentuk komunikasi simbolik yang digunakan dalam adat masyarakat Batak Toba. Bentuk komunikasi simbolik tersebut adalah dekke (ikan mas), mandar hela (sarung menantu laki-laki), boras (beras), dan ulos hela (ulos menantu laki-laki). Simbol tersebut mengandung makna berupa nilai-nilai perkawinan dan kehidupan masyarakat Batak Toba yang menarik dan penting untuk diteliti di tengah kehidupan masyarakat yang multi kultural dan kemungkinan perbedaan persepsi masyarakat terhadap bentuk komunikasi simbolik tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk komunikasi simbolik yang diberikan kepada pengantin dalam upacara perkawinan adat Batak Toba dan untuk mengetahui persepsi berupa pemahaman pasangan suami-istri terhadap bentuk komunikasi simbolik yang diberikan kepada pengantin pada saat upacara adat perkawinan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bertujuan untuk menjelaskan persepsi pasangan suami istri terhadap bentuk komunikasi simbolik yang diberikan kepada pengantin dalam upacara adat perkawinan masyarakat adat Batak Toba. Data diperoleh melalui informan yang ditentukan secara purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang disesuaikan dengan kriteria tertentu yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian. Peneliti melakukan pengumpulan data di lapangan dengan melakukan wawancara mendalam terhadap informan.

(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam kehidupan manusia, komunikasi merupakan sarana dalam berinteraksi sebagai suatu usaha atau kegiatan untuk menyampaikan ide atau gagasan kepada orang lain. Berdasarkan sifatnya lingkup komunikasi terbagi menjadi dua bagian, yaitu komunikasi verbal yang berupa bahasa dan komunikasi nonverbal sebagai subtitusi pesan verbal, pelengkap pesan verbal, dan sebagai aksentuasi pesan verbal.

Salah satu bentuk komunikasi nonverbal adalah simbol. Simbol berupa artefak adalah hasil kerajinan manusia (seni), baik yang melekat pada diri manusia maupun yang ditujukan untuk kepentingan umum. Selain berfungsi estetik, artefak juga dapat menunjukkan status atau identitas diri seseorang, misalnya baju, topi, pakaian dinas, cincin, gelang, alat transportasi, alat rumah tangga, arsitektur, patung, dan lain sebagainya (Cangara, 1998:109).

(15)

2

pemahaman terhadap simbol atau lambang tersebut serta sesuai dengan kesepakatan bersama.

Komunikasi merupakan salah satu aktifitas yang sangat fundamental dalam kehidupan umat manusia. Setiap aktifitas tidak lepas dari komunikasi, termasuk aktifitas adat istiadat. Sifat manusia untuk menyampaikan keinginannya dan untuk mengetahui hasrat orang lain, merupakan awal keterampilan manusia berkomunikasi secara otomatis melalui lambang-lambang isyarat, kemudian disusul dengan kemampuan untuk memberi arti setiap lambang-lambang itu dalam bentuk bahasa verbal (Cangara, 1998:4).

Semua perilaku manusia disertai dengan simbol-simbol sebagai media dalam berkomunikasi sebagai bentuk interaksinya. Penggunaan simbol ini dalam ilmu komunikasi dikaji dalam komunikasi nonverbal. Berdasarkan pada fungsinya sebagaimana yang dikatakan oleh Mark L. Knapp dalam Devito (1997 : 177), bahwa komunikasi nonverbal yang disampaikan melalui simbol berfungsi sebagai subtitusi komunikasi verbal, untuk melengkapi pesan verbal, dan aksentuasi pesan verbal. Simbol merupakan salah satu inti dari sebuah adat istiadat yang dapat terlihat pada setiap suku bangsa yang ada di Indonesia termasuk suku Batak.

(16)

3

Suku Batak khususnya sub suku Batak Toba tersebar ke berbagai daerah sebagai perantau termasuk ke provinsi Sumatera Utara, hal ini ditandai dengan adanya masyarakat Batak Toba yang bekerja sebagai parengge-rengge (pedagang), supir angkutan kota, pegawai negeri, pegawai swasta, dan lain-lain.

Sebagai masyarakat perantau tentunya masyarakat Batak Toba juga harus memenuhi keperluan kehidupan kekerabatan, meneruskan keturunan, dan mempertahankan silsilah. Salah satu cara untuk mewujudkan hal tersebut adalah melalui pranata perkawinan.

Sistem perkawinan masyarakat Batak Toba adalah bentuk keluarga yang berdasarkan monogami, yaitu satu suami dan satu istri dan garis keturunan ditarik berdasarkan garis ayah atau patrilineal. Sistem perkawinan masyarakat Batak Toba tidak terlepas dari falsafah Dalihan Na Tolu. Secara harafiah arti kata Dalihan Na Tolu ialah “Tungku Nan Tiga”, yang merupakan lambang jika

diasosiasikan dengan sistem sosial Batak yang mempunyai tiga tiang penopang, yaitu Hula-Hula atau pihak pemberi gadis (wife giving party), Dongan Tubu atau saudara semarga, dan Boru atau pihak penerima gadis (wife receiving party). Tiga tiang penopang inilah yang memegang peranan penting dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba (Siahaan, 1982:18).

(17)

4

daerah termasuk daerah perantauan. Apalagi ditambah dengan tingginya tingkat pendidikan yang menyebabkan meluasnya tingkat kognitif masyarakat, serta faktor agama dan status sosial yang banyak berperan dalam penentuan afeksi mereka terhadap upacara adat perkawinan serta simbol-simbol yang ada di dalamnya. Namun pada dasarnya pelaksanaan adat perkawinan itu tetap sama yaitu berdasarkan adat dalihan na tolu (tiga peranan penting dalam masyarakat adat Batak Toba) (Pasaribu, 2002:74-79).

Demikian halnya dengan masyarakat Batak Toba di perantauan khususnya masyarakat Batak Toba di Kelurahan Medan Tenggara Kecamatan Medan Denai telah banyak melakukan pengurangan terhadap upacara perkawinan sehingga menjadi lebih ringkas, seperti pengurangan tahapan-tahapan tata cara upacara perkawinan, sebagian tahapan upacara sebelum dan sesudah perkawinan disatukan dengan upacara pelaksanaan perkawinan. Namun penggunaan benda adat yang menjadi pelengkap dalam melaksanakan upacara perkawinan masih tetap dilakukan, khususnya benda adat yang diberikan kepada pengantin dengan bantuan seorang Tokoh adat (Raja Adat/ parhata), yaitu seseorang yang sudah dituakan dan benar-benar mengerti tentang adat. Tokoh adat sangat diperlukan dan berperan penting dalam upacara-upacara adat Batak Toba termasuk upacara perkawinan Batak Toba.

Sianipar (1991 : 222-241) menyebutkan benda adat yang diberikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada pengantin adalah sebagai berikut :

(18)

5

2. Mandar Hela (sarung pengantin laki-laki), simbol ini diberikan oleh orang tua pengantin perempuan atau pihak hula-hula (pemberi gadis) supaya pengantin laki-laki tersebut rajin mengikuti acara-acara adat.

3. Ulos Hela (ulos pengantin), simbol ini diberikan oleh orang tua pengantin perempuan atau pihak hula-hula (pemberi gadis). Ulos yang diberikan kepada pengantin disebut ulos hela artinya supaya pengantin laki-laki menjadi pemimpin

yang bijaksana dan dapat melindungi keluarga.

4. Boras (beras), merupakan simbol sumber kehidupan, supaya pengantin mempunyai mata pencaharian yang baik.

Penelitian ini penting dilakukan karena mengingat suku bangsa Batak Toba merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia yang banyak menggunakan simbol berupa benda adat dalam aktifitas adat istiadat termasuk adat perkawinan. Semua benda adat tersebut merupakan simbol komunikasi dan mengandung makna yang baik untuk pembinaan kehidupan rumah tangga dan kehidupan bermasyarakat sehingga perlu dilestarikan serta dipahami.

(19)

6

perkawinan adat Batak Toba dapat menimbulkan persepsi yang berbeda dari pasangan suami-istri yang telah melaksanakan upacara perkawinan tersebut termasuk pada pasangan suami istri yang telah melaksanakan upacara perkawinan adat Batak Toba di Kelurahan Medan Tenggara Kecamatan Medan Denai.

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

” Bagaimanakah persepsi pasangan suami-istri terhadap bentuk komunikasi simbolik yang digunakan pada upacara perkawinan masyarakat adat Batak Toba di Kelurahan Medan Tenggara Kecamatan Medan Denai?”

1.3. Pembatasan Masalah

Untuk menghindari ruang lingkup yang terlalu luas, maka peneliti perlu membuat pembatasan masalah yang akan diteliti. Hal ini juga berfungsi juga agar masalah yang diteliti dapat dilakukan dengan maksimal. Adapun pembatasan masalah yang ditetapkan adalah sebagai berikut :

1. Penelitian ini bersifat kualitatif yang bertujuan untuk mendeskripsikan persepsi pasangan suami istri terhadap bentuk komunikasi simbolik yang diberikan kepada pengantin dalam upacara perkawinan masyarakat adat Batak Toba di Kelurahan Medan Tenggara Kecamatan Medan Denai. 2. Subjek dari penelitian ini adalah dengan penentuan informan sebagai

berikut:

(20)

7

merupakan pasangan suami-istri yang bersuku Batak Toba dan telah melaksanakan upacara perkawinan secara adat Batak Toba. b. Informan kedua yang dipilih selain informan utama yaitu informan

pembanding yang berperan sebagai tokoh adat adalah penduduk Kelurahan Medan Tenggara Kecamatan Medan Denai.

3. Penelitian terbatas pada pasangan suami-istri di Kelurahan Medan Tenggara Kecamatan Medan Denai, usia perkawinannya antara 5 tahun keatas.

4. Penelitian hanya sampai kepada persepsi pasangan suami istri terhadap empat bentuk komunikasi simbolik yang diberikan kepada pengantin dalam upacara perkawinan masyarakat Adat Batak Toba di Kelurahan Medan Tenggara Kecamatan Medan Denai.

5. Penelitian dilakukan pada bulan April – Mei 2011. 1.4. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui empat bentuk komunikasi simbolik yang diberikan oleh pihak pengantin perempuan kepada pasangan pengantin pada upacara perkawinan masyarakat adat Batak Toba.

(21)

8 1.5. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

1. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi Ilmu Komunikasi khususnya tentang bentuk komunikasi tradisional berupa simbol yang terdapat pada masyarakat adat.

2. Menjadi sumbangan pemikiran bagi penelitian sejenis. 2. Secara Praktis

1. Diharapkan generasi muda, khususnya generasi muda masyarakat Batak Toba mempelajari serta melestarikan kebudayaan daerah sebagai bagian dari kebudayaan nasional.

2. Dapat digunakan sebagai literatur bagi masyarakat Batak Toba untuk mengetahui persepsi mayarakat Batak Toba terhadap bentuk komunikasi simbolik atau benda adat.

1.6. Kerangka Teori

(22)

9 1.6.1 Persepsi

Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atua hubungan-hubungan yang diperoleh dangan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli) (Rakhmat, 2004: 51). Gulo (1982: 207) mendefinisikan bahwa persepsi sebagai proses seseorang menjadi sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indra-indra yang dimilikinya. Bagi Atkinson, persepsi adalah proses saat kita mengorganisasikan dan menafsirkan pola stimulus dalam lingkungan. Menurut Verbeek (1978), persepsi dapat dirumuskan sebagai suatu fungsi yang manusia secara langsung dapat mengenal dunia riil yang fisik. Brouwer (1983; 21) menyatakan bahwa persepsi (pengamatan) ialah suatu replika dari benda di luar manusia yang intrapsikis, dibentuk berdasar rangsangan-rangsangan dari objek. Sedangkan Pareek (1996:13) memberikan definisi yang lebih luas ihwal persepsi ini; dikatakan “persepsi dapat di definisikan sebagai proses menerima, menyeleksi, mengorganisasikan, mengartikan, menguji, dan memberikan reaksi kepada rangsangan panca indra atau mata” (Sobur,2003: 465).

Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa persepsi merupakan suatu hal yang penting yang dialami setiap orang. Setiap orang akan menerima segala sesuatau berupa informasi ataupun segala rangsangan yang datang dari lingkungannya, dalam batas-batas kemampuannya, segala rangsangan yang diterimanya tersebut diolah, dan selanjutnya di proses.

(23)

10

jelas pada definisi John R. Wenburg dan William W. Wilmot: “persepsi dapat didiefinisikan sebagai cara organisme memberi makna”, sedangkan Rudolph F.Verderber: “Persepsi adalah proses menafsirkan informasi indrawi, atau J. Cohen: “Persepsi didefinisikan sebagai interpretasi bermakna atas sensasi sebagai representative objek eksternal; persepsi adalah pengetahuan yang tampak mengenai apa yang ada di luar sana” (Mulyana, 2005: 168).

Persepsi disebut inti komunikasi, karena jika persepsi kita tidak akurat, tidak mungkin kita berkomunikasi dengan efektif. Persepsilah yang menentukan kita memilih suatu pesan dan mengabaikan pesan yang lain. Semakin tinggi derajat kesamaan persepsi antar individu, semakin mudah dan semakin sering merka berkomunikasi, dan sebagai konsekuensinya semakin cenderung membentuk kelompok budaya atau kelompok identitas.

Persepsi merupakan bagian dari keseluruhan proses yang menghasilkan tanggapan setelah rangsangan diterapkan kepada manusia. Manusia secara ilmiah ingin mengetahui dunia di luar dirinya dan seberapa tepat mereka menggambarkannya. Dalam proses persepsi, terdapat tiga komponen utama, yaitu:

1. Seleksi, adalah sutu proses penyaringan oleh indra terhadap rangsangan dari luar, intensitas dan jenisnya dapat banyak atau sedikit.

(24)

11

diterimanya, yaitu proses mereduksi informasi yang kompleks menjadi sederhana.

3. Reaksi, yaitu persepsi yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku sebagai reaksi.

Persepsi seseorang tidak timbul begitu saja. Tentulah ada faktor yang mempengaruhi persepsi tersebut. Secara umum terdapat tiga faktor yang mempengaruhi timbulnya persepsi, yaitu:

1. Diri orang yang bersangkutan sendiri.

Apabila seorang melihat dan berusaha memberikan interpretasi tentang apa yang dilihatnya itu, ia dipengaruhi oleh karakteristik individual yang turut berpengaruh seperti sikap, motif, kepentingan, minat, pengalaman, dan harapannya.

2. Sasaran persepsi tersebut.

Sasaran itu mungkin berupa orang, benda, atau peristiwa. Sifat- sifat seperti itu biasanya berpengaruh terhadap persepsi orang yang melihatnya. Gerakan, suara, ukuran, tindak tanduk dan cirri-ciri lain dari sasaran persepsi turut menentukan cara pandang orang yang melihatnya.

3. Faktor situasi

Persepsi harus dilihat secara kontekstual yang berarti dalam situasi mana persepsi itu timbul perlu pula mendapat perhatian. Situasi merupakan faktor yang turut berperan dalam pertumbuhan persepsi seseorang.

I.6.2 Komunikasi Simbolik Perkawinan Batak Toba

(25)

12

memahami isi pesan yang terkandung di dalamnya. Hal ini disebabkan sifat simbol yang mempunyai fungsi sebagai media komunikasi dan dapat mengekspresikan emosi isi pesan yang tidak bisa disampaikan hanya dengan cara verbal.

Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang, yang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003 : 630) simbol atau lambang adalah sesuatu seperti tanda (lukisan, lencana, dan sebagainya) yang menyatakan suatu hal atau mengandung maksud tertentu.

Dari defenisi tersebut dapat disimpulkan komunikasi simbolik adalah proses komunikasi yang menggunakan simbol atau lambang yang mengandung maksud tertentu dan yang memimpin pemahaman terhadap simbol atau lambang tersebut serta sesuai dengan kesepakatan bersama. Bentuk komunikasi simbolik yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah komunikasi simbolik yang menggunakan benda atau artefak sebagai media penyampaian pesannya. Benda atau artefak tersebut mempunyai sifat tertentu yang dapat mempresentasikan pesan yang ingin disampaikan. Adapun bentuk komunikasi simbolik yang digunakan pada perkawinan adat Batak Toba yaitu:

1. Dekke (ikan mas), simbol ini diberikan oleh orang tua pengantin perempuan atau pihak hula-hula (pemberi gadis). Dekke (ikan mas) merupakan simbol kesuburan/keturunan yang banyak, simbol restu dari orang tua pengantin perempuan,mata pencaharian yang baik serta simbol kasih sayang

(26)

13

2. Mandar Hela (sarung pengantin laki-laki), simbol ini diberikan oleh orang tua pengantin perempuan atau pihak hula-hula (pemberi gadis). Sesuai dengan namanya mandar hela atau sarung ini diberikan kepada hela (menantu atau pengantin laki-laki), pemberian sarung ini mengandung pesan supaya pengantin laki-laki tersebut rajin mengikuti acara-acara adat.

3. Ulos Hela (ulos pengantin), simbol ini diberikan oleh orang tua pengantin perempuan atau pihak hula-hula (pemberi gadis). Ulos yang diberikan kepada pengantin disebut ulos hela dan jenis ulos yang lazim diberikan berupa

ulos ragi hotang. Dilihat dari bentuk ulos ini yang terdiri dari ragi pangolat

(pembatas) melambangkan keperkasaan pengantin laki-laki, artinya supaya

menjadi pemimpin yang bijaksana dan dapat melindungi keluarga, ragi

keturunan (keturunan) melambangkan supaya pengantin mempunyai keturunan

yang banyak sehingga regenerasi marga tetap terjaga.

4. Boras (beras), merupakan simbol sumber kehidupan, supaya pengantin mempunyai mata pencaharian yang baik. Simbol kekuatan, supaya pengantin

selalu sehat dan jiwanya selalu kuat dalam menghadapi hidup sehari-hari.

Sebagai simbol kasih sayang dari keluarga dekat pengantin perempuan kepada

pengantin.

I.6.3 Teori Interaksi Simbolik

(27)

14

Interaksi simbolik juga didefenisikan secara implicit melalui gerakan tubuh. Dalam gerakan tubuh ini akan terimplikasi ataupun terlihat seperti suara atau vokal, gerakan fisik, dan sebagainya yang mengandung makna. Hal-hal yang dicontohkan itu adalah simbol yang signifikan dari interaksi simbolik.

Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia yaitu komunikasi dan pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Defenisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek, dan bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka. Manusia hanya bertindak hanya berdasarkan defenisi atau penafsiran mereka atas objek-objek disekeliling mereka. Dalam pandangan interaksi simbolik, sebagaimana ditegaskan blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegakkan aturan-aturan, bukan sebaliknya. Dalam konteks ini makna sikonstruksikan dalam proses interaksi dan proses tersebut bukanlah sesuatu medium yang netral yang memungkinkan kekuatan sosial memainkan perannya melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial (Mulyana, 2001:68)

(28)

15

termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga makna diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu kewaktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.

1.8. Kerangka Konsep

Sebagai makhluk sosial dan juga makhluk komunikasi, manusia dalam menjalin suatu hubungan sosial dapat melalui berbagai bentuk interaksi sosial, salah satu interaksi tersebut adalah interaksi dengan menggunakan simbol sebagai media pengantar pesan, pelengkap pesan, aksentuasi pesan verbal, dan sebagai subtitusi pesan verbal tersebut. Manusia memiliki keterampilan berkomunikasi yang lebih canggih dibanding dengan makhluk lainnya, yaitu penggunaan simbol-simbol dalam menyampaikan maksud dan tujuan terhadap manusia lainnya, yang disertai dengan pemahaman makna simbolisasi tersebut. Inilah yang disebut dengan interaksi simbolik. Interaksi melalui simbol-simbol ini, dalam ilmu komunikasi dikaji sebagai komunikasi simbolik. Komunikasi simbolik ini merupakan landasan dari perilaku nonverbal yang diterapkan dalam aktifitas adat-istiadat masyarakat tertentu. Salah satunya adalah dalam masyarakat adat Batak Toba, yang menggunakan komunikasi simbolik dalam pelaksanaan upacara perkawinan.

(29)

16

boras (beras) (Sianipar,1991:222-241). Benda tersebut disampaikan terutama kepada kedua pengantin. Namun beberapa hal seperti seperti pengalaman, proses belajar, perhatian, dan pengetahuan dapat mempengaruhi tanggapan atau persepsi masyarakat Batak Toba terhadap bentuk komunikasi simbolik tersebut.

Adapun konsep-konsep yang akan diteliti adalah:

a. Persepsi pasangan suami istri terhadap simbol Ihan atau Dekke(ikan mas) Ihan atau Dekke (ikan mas) adalah simbol yang diberikan oleh orang tua pengantin perempuan atau pihak hula-hula (pemberi gadis). Ihan atau Dekke (ikan mas) merupakan simbol kesuburan/keturunan yang banyak, simbol restu dari orang tua pengantin perempuan, mata pencaharian yang baik serta simbol kasih sayang dari orang tua pengantin perempuan.

b. Persepsi pasangan suami istri terhadap simbol Mandar Hela(sarung pengantin laki-laki)

Mandar Hela (sarung pengantin laki-laki) adalah simbol yang diberikan oleh orang tua pengantin perempuan atau pihak hula-hula (pemberi gadis). Sesuai dengan namanya mandar hela atau sarung ini diberikan kepada hela (menantu atau pengantin laki-laki), pemberian sarung ini mengandung pesan supaya pengantin laki-laki tersebut rajin mengikuti acara-acara adat.

c. Persepsi pasangan suami istri terhadap simbol Ulos

(30)

17

pangolat (pembatas) melambangkan keperkasaan pengantin laki-laki, artinya supaya menjadi pemimpin yang bijaksana dan dapat melindungi keluarga, ragi keturunan (keturunan) melambangkan supaya pengantin mempunyai keturunan yang banyak sehingga regenerasi marga tetap terjaga.

d. Persepsi pasangan suami istri terhadap simbol Boras(beras)

Boras (beras) merupakan simbol sumber kehidupan, supaya pengantin mempunyai mata pencaharian yang baik. Simbol kekuatan, supaya pengantin selalu sehat dan jiwanya selalu kuat dalam menghadapi hidup sehari-hari. Sebagai simbol kasih sayang dari keluarga dekat pengantin perempuan kepada pengantin. 1.9. Analisis Data

Menurut Miles dan Huberman (1986) menyatakan bahwa analisis data kualitatif tentang mempergunakan kata-kata selalu disusun dalam sebuah teks yang diperluas dan dideskriptifkan. Pada saat memberikan makna pada data yang dikumpulkan, maka penulis menganalisis dan menginterpretasikan. Karena penelitian yang bersifat kualitatif maka dilakukan analisis data pertama hingga penelitian terakhir secara simultan dan terus menerus. Selanjutnya interpretasi atau penafsiran dilakukan dengan mengacu kepada rujukan teoritis yang berhubungan atau berkaitan dengan permasalahan penelitian dalam Endah Rundika (2011: 15).

(31)

18

ditafsirkan, dan diorganisasikan. Untuk kemudian dipaparkan sebagai hasil penelitian dan membuat kesimpulan.

Proses Analisis Data Kualitatif

Fakta Empiris

Sumber: Kriyantono (Bungin, 2008:195)

Model Analisis Semiotik Ferdinand Saussure

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis data semiotik Ferdinand Saussure di mana analisis semiotik Saussure berupaya menemukan makna tanda/simbol termasuk hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah tanda/simbol tersebut (Rachmat, 2009:264). Pemikiran pengguna tanda/simbol merupakan hasil pengaruh dari berbagai konstruksi sosial di mana pengguna tanda/simbol tersebut.

Dari model analisis semiotik Ferdianand, peneliti memilih semiotik kultural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam

Berbagai Data di Lapangan

Analisis/klasifika si/kategorisasi ciri-ciri umum

Pemaknaan/Interp retasi

Ciri-ciri umum

Kesahihan Data: -Kompetensi subjek -Authenticity

-Intersubjectivity

(32)

19

kebudayaan masyarakat tertentu. Telah diketahui bahwa masyarakat sebagai makhluk sosial memiliki sistem budaya tertentu yang telah turun temurun dipertahankan dan dihormati.

Model analisis semiotik dari Saussure dapat digambarkan sebagai berikut: SIGN

Composed of

Signifier Signification

Signified Referent

(Eksternal Reality) Sumber: Kriyantono (Bungin,2009:268)

Menurut Saussure, tanda terdiri dari:

1. Bunyi-bunyi dan gambar (Sounds and images), disebut ”Signifier”

Pada penelitian ini tanda atau gambar itu adalah ihan atau dekke(ikan mas), mandar hela (sarung pengantin laki-laki), ulos, dan boras(beras).

(33)

20

Dalam penafsiran tentang makna dari setiap benda adat tersebut tentulah berbeda-beda dari setiap orang yang berkaitan langsung dengan benda tersebut. Seperti halnya pasangan suami istri masyarakat Batak Toba yang melakukan perkawinan adat Batak Toba akan menerima keempat benda adat tersebut. Mereka akan memberikan persepsi yang berbeda-beda tentang keempat benda adat tersebut sesuai dengan defenisi persepsi sebagai proses menerima, menyeleksi, mengartikan, dan memberikan reaksi kepada benda adat tersebut sebagai rangsangan panca indra atau mata.

(34)

21

Pelaku komunikasi simbolik yang menjadi komunikator utama dalam upacara perkawinan adat Batak Toba adalah pihak pihak pengantin perempuan beserta unsur Dalihan Na Tolu dari pihak perempuan, dan yang menjadi komunikan utama adalah kedua pengantin. Adapun pesan-pesan simbolik yang melalui benda adat yang dikomunikasikan kepada kedua pengantin adalah sebagai berikut:

1. Ihan atau Dekke (Ikan Mas)

Ihan atau Dekke (ikan mas) adalah simbol yang diberikan oleh orang tua pengantin perempuan atau pihak hula-hula (pemberi gadis). Ihan atau Dekke (ikan mas) merupakan simbol kesuburan/keturunan yang banyak, simbol restu dari orang tua pengantin perempuan, mata pencaharian yang baik serta simbol kasih sayang dari orang tua pengantin perempuan

2. Mandar Hela (Sarung pengantin laki-laki)

Mandar Hela (sarung pengantin laki-laki) adalah simbol yang diberikan oleh orang tua pengantin perempuan atau pihak hula-hula (pemberi gadis). Sesuai dengan namanya mandar hela atau sarung ini diberikan kepada hela (menantu atau pengantin laki-laki), pemberian sarung ini mengandung pesan supaya pengantin laki-laki tersebut rajin mengikuti acara-acara adat.

3. Ulos

(35)

22

melambangkan keperkasaan pengantin laki-laki, artinya supaya menjadi pemimpin yang bijaksana dan dapat melindungi keluarga, ragi keturunan (keturunan) melambangkan supaya pengantin mempunyai keturunan yang banyak sehingga regenerasi marga tetap terjaga.

4. Boras (Beras)

Boras (beras) merupakan simbol sumber kehidupan, supaya pengantin mempunyai mata pencaharian yang baik. Simbol kekuatan, supaya pengantin selalu sehat dan jiwanya selalu kuat dalam menghadapi hidup sehari-hari. Sebagai simbol kasih sayang dari keluarga dekat pengantin perempuan kepada pengantin.

(36)

23 BAB II

URAIAN TEORITIS

2.1 Pengertian Komunikasi

Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa ingin berhubungan dengan manusia lainnya. Ia ingin mengetahui lingkungan sekitarnya, bahkan ingin mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya. Rasa ingin tahu ini memaksa manusia untuk berkomunikasi.

Pengertian komunikasi secara umum dapat dilihat dari dua segi, yaitu secara etimologis dan terminologis. Secara etimologis, istilah komunikasi berasal dari bahasa latin communicatio, dan perkataan ini bersumber pada kata communis. Arti communis disini adalah sama, dalam arti kata sama makna, yaitu sama makna mengenai suatu hal. Dari pengertian ini, komunikasi berlangsung apabila antara orang-orang yang terlibat terdapat kesamaan makna mengenai suatu hal yang dikomunikasikan.

Secara terminologis komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Dari pengertian itu jelaslah bahwa komunikasi melibatkan sejumlah orang, dimana seseorang menyatakan sesuatu kepada orang lain.

(37)

24

menyampaikan, apa yang disampaikan, melalui saluran apa, kepada siapa, dan apa pengaruhnya”.

2.1.1 Unsur-unsur Komunikasi

Untuk memahami pengertian komunikasi sehingga dapat dilaksanakan secara efektif, maka diperlukan pemahaman tentang unsur komunikasi.

Adapun unsur ataupun elemen yang mendukung terjadinya suatu komunikasi. (Cangara, 2006:23-26) sebagai berikut:

1. Sumber

Semua peristiwa komunikasi akan melibatkan sumber sebagai pembuat atau pengirim informasi. Sumber sering disebut pengirim, komunikator. (source, sender).

2. Pesan

Pesan yang dimaksud dalam proses komunikasi adalah sesuatu yang disampaikan pengirim kepada penerima. Pesan dapat disampaikan dengan cara tatap muka atau melalui media komunikasi. Isinya bisa berupa ilmu pengetahuan, hiburan, informasi, nasihat, atau propaganda.

2. Media

Media yang dimaksud disini adalah alat yang digunakan untuk memindahkan pesan dari sumber kepada penerima. Dalam komunikasi massa, media adalah alat yang dapat menghubungkan antara sumber dan penerima yang sifatnya terbuka, dimana setiap orang dapat melihat, membaca, dan mendengarnya.

4. Penerima

(38)

25

negara. Penerima adalah elemen yang penting dalam proses komunikasi, karena dialah yang menjadi sasaran dari komunikasi. Jika suatu pesan tidak diterima oleh penerima, akan menimbulkan berbagai macam masalah yang seringkali menuntut perubahan, apakah pada sumber, pesan, atau saluran.

5. Pengaruh

Pengaruh atau efek adalah perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan. Pengaruh ini bisa terjadi pada pengetahuan, sikap, dan tingkah laku seseorang. Karena itu, pengaruh bisa juga diartikan perubahan atau penguatan keyakinan pada pengetahuan, sikap, dan tindakan seseorang sebagai akibat penerimaan pesan.

6. Tanggapan balik

Ada yang beranggapan bahwa umpan balik sebenarnya adalah salah satu bentuk daripada pengaruh yang berasal dari penerima. Tetapi, sebenarnya umpan balik bisa juga berasal dari unsur lain seperti pesan dan media, meski pesan belum sampai pada penerima.

7. Lingkungan

Lingkungan atau situasi adalah faktor-faktor tertentu yang dapat mempengaruhi jalannya komunikasi.

2.1.2 Tujuan dan Fungsi Komunikasi

Tujuan komunikasi:

(39)

26 Fungsi komunikasi:

1. Menyampaikan informasi (to inform) 2. Mendidik (to educate)

3. Menghibur (to entertaint) 4. Mempengaruhi (to influence)

Sean MacBride dan kawan-kawan dalam buku Aneka Suara, Satu Dunia (Many Voices One World) menyatakan tentang fungsi komunikasi bila komunikasi dipandang dari arti yang lebih luas, tidak hanya diartikan sebagai pertukaran berita dan pesan, tetapi sebagai kegiatan individu dan kelompok mengenai tukar menukar data, fakta, dan ide, fungsi komunikasi dalam setiap system, yaitu sebagai berikut: (Effendy, 1995: 27-28)

1. Informasi

Pengumpulan, penyimpanan, pemrosesan, penyebaran berita, data, gambar, fakta dan pesan, opini dan komentar yang dibutuhkan agar orang dapat mengerti dan bereaksi secara jelas terhadap kondisi internasional, lingkungan, dan orang lain, dan agar dapat mengambil keputusan yang tepat.

2. Sosialisasi (Pemasyarakatan)

Penyediaan sumber ilmu pengetahuan yang memungkinkan orang bersikap dan bertindak sebagai anggota masyarakat yang efektif yang menyebabkan ia sadar akan fungsi sosialnya sehingga ia dapat aktif di dalam masyarakat. 3. Motivasi

(40)

27

mendorong kegiatan individu dan kelompok berdasarkan tujuan bersama yang akan dikejar.

4. Perdebatan dan diskusi

Menyediakan dan saling menukar fakta yang diperlukan untuk memungkinkan persetujuan atau menyelesaikan perbedaan pendapat mengenai masalah publik, menyediakan bukti-bukti yang relevan yang diperlukan untuk kepentingan umum dan agar masyarakat lebih melibatkan diri dalam masalah yang menyangkut kegiatan bersama di tingkat internasional, nasional, dan lokal.

5. Pendidikan

Pengalihan ilmu pengetahuan sehingga mendorong perkembangan intelektual, pembentukan watak, dan pendidikan keterampilan serta kemahiran yang diperlukan pada semua bidang kehidupan.

6. Memajukan Kebudayaan

Penyebarluasan hasil kebudayaan dan seni dengan maksud melestarikan masa lalu.

7. Hiburan

Penyebarluasan simbol, suara, dan citra (image) dari drama, tari, kesenian, kesusastraan, musik, komedi, olahraga, permainan, dan sebagainya untuk rekreasi dan kesenangan kelompok, dan individu.

8. Integrasi

(41)

28

saling kenal dan mengerti dan menghargai kondisi, pandangan, dan keinginan orang lain.

2.2 Pengertian Persepsi

Secara etimologis, persepsi atau dalam bahasa inggris perception berasal dari bahasa latin perception, dari percipere, yang artinya menerima atau mengambil (Sobur, 2003:445). Persepsi dalam arti sempit ialah penglihatan, bagaimana seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas ialah pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu (Sobur, 2003: 445).

Menurut Berel Son dan Steiner (1964) dalam Severin menyatakan bahwa persepsi merupakan “proses yang kompleks dimana orang memilih, mengorganisasikan dan menginterpretasikan respons terhadap suatu rangsangan ke dalam situasi masyarakat dunia yang penuh arti dan logis. Sedangkan menurut Bennett, Hoffman, dan Prakash (1989) dalam Severin menyatakan bahwa “persepsi merupakan aktivitas aktif yang melibatkan pembelajaran, pembauran cara pandang, dan pengaruh timbal balik dalam pengamatan.

(42)

29

Menurut Rakhmat, persepsi adalah pengalaman objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan, sedangkan menurut Cohen persepsi didefinisikan sebagai interorientasi terhadap berbagai sensasi sebagai representasi dari objek- objek eksternal. Jadi, persepsi adalah pengetahuan tentang apa yang dapat ditangkap oleh indera kita.

Persepsi meliputi penginderaan (sensasi) melalui alat – alat indera kita, atensi, dan interpretasi. Sensasi merujuk kepada pesan yang dikirimkan ke otak lewat penglihatan, pendengaran, sentuhan, penciuman, dan pengecapan.

2.2.1 Tahap-tahap Pembentukan Persepsi

Kenneth K. Sereno dan Edward M. Bodaken, juga Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson, menyebutkan bahwa persepsi terdiri dari tiga aktivitas, yaitu seleksi yang mencakup sensasi dan atensi, organisasi yang melekat pada interpretasi, yang dapat didefinisikan sebagai “ meletakkan suatu rangsangan bersama rangsangan lainnya sehingga menjadi suatu keseluruhan yang bermakna”.

Atensi tidak terelakkan karena sebelum kita merespons atau menafsirkan kejadian atau rangsangan apapun, kita harus terlebih dahulu memperhatikan kejadian atau rangsangan tersebut. Ini berarti bahwa persepsi mensyaratkan kehadiran suatu objek untuk dipersepsi, termasuk orang lain, dan juga diri sendiri.

(43)

30

tersebut. Jadi, pengetahuan yang kita peroleh melalui persepsi bukan pengetahuan mengenai objek yang sebenarnya, melainkan pengetahuan mengenai bagaimana tampaknya objek tersebut.

Dalam proses persepsi, banyak rangsangan sampai kepada kita melalui pancaindera kita, namun kita tidak dapat mempersepsi semua itu secara acak. Hal ini terjadi karena persepsi kita adalah suatu proses aktif yang menuntut suatu tatanan dan makna atas berbagai rangsangan yang kita terima.

Kita dapat mengilustrasikan bagaimana persepsi bekerja dengan menjelaskan tiga langkah yang terlibat dalam proses persepsi.

Gambar 3

Proses persepsi

Sumber: Devito, 1997 (Sobur, 2003: 449)

1. Terjadinya Stimulasi Alat Indra (Sensory Stimulation) Pada tahap pertama, alat-alat indra disimulasi (dirangsang). 2. Stimulasi terhadap alat indra diatur

Pada tahap kedua, rangsangan terhadap alat indra diatur menurut berbagai prinsip. Salah satu prinsip yang paling sering digunakan adalah prinsip proksimitas (proximity), atau kemiripan. Prinsip yang lain adalah kelengkapan (closure).

3. Stimulasi Alat Indra ditafsirkan-dievaluasi Terjadinya

stimulasi alat indra

Stimulasi alat indra diatur

Stimulasi alat indra

(44)

31

Langkah ketiga dalam proses persepsi adalah penafsiran-evaluasi. Langkah ketiga ini merupakan proses subjektif yang melibatkan evaluasi di pihak penerima. Penafsiran-evaluasi kita tidak semata-mata didasarkan pada rangsangan luar, melainkan juga sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, kebutuhan, keinginan, sistem nilai, keyakinan tentang yang seharusnya, keadaan fisik dan emosi pada saat itu, dan sebagainya yang ada pada kita.

Dari penjelasan proses persepsi diatas, cara penafsiran-evaluasi masing-masing individu berbeda.

Persepsi manusia sebenarnya terbagi dua, yaitu persepsi terhadap objek ( lingkungan fisik) dan persepsi terhadap manusia. Persepsi terhadap objek (lingkungan fisik) berbeda dengan persepsi terhadap lingkungan sosial. Perbedaan tersebut mencakup hal-hal berikut:

a. Persepsi terhadap objek melalui lambang-lambang fisik, sedangkan persepsi terhadap orang melalui lambang-lambang verbal dan nonverbal. Orang lebih aktif daripada kebanyakan objek dan sulit diramalkan.

b. Persepsi terhadap objek menanggapi sifat-sifat luar, sedangkan persepsi terhadap orang menanggapi sifat-sifat luar dan dalam (perasaan, motif, harapan, dan sebagainya).

(45)

32

2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Persepsi

Persepsi seseorang tidak dapat timbul begitu saja. Ada faktor –faktor yang mempengaruhi timbulnya persepsi itu. Bila Siagian menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi secara umum meliputi diri orang yang bersangkutan sendiri, sasaran persepsi tersebut, dan faktor situasi, David Krech dan Richard S. Crutchfield (1977:235) menyebutnya factor fungsional dan factor structural.

Faktor Fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu, dan hal-hal lain yang termasuk apa yang kita sebut sebagai faktor-faktor personal. Yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan respons pada stimuli tersebut.

Persepsi terkait dengan Field of Experience dan Frame of Reference. Field of Experince adalah sejumlah pengalaman yang tersimpan dalam memori, sedangkan Frame of Reference adalah pengetahuan atau pengertian yang dijadikan acuan untuk menafsirkan pesan. Field of Experince dan Frame of Reference adalah faktor fungsional yang mempengaruhi persepsi.

Faktor Struktural berasal semata-mata dari sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Para psikolog Gestalt, seperti Kohler, Wartheimer (1959), dan Koffka, merumuskan prinsip-prinsip persepsi yang bersifat struktural. Prinsip-prinsip ini menyatakan bahwa bila kita mempersepsi sesuatu, maka kita mempersepsinya sebagai suatu keseluruhan.

(46)

33 2.3 KOMUNIKASI SIMBOLIK

Salah satu kebutuhan manusia pokok manusia adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang, manusia memang satu-satunya makhluk yang menggunakan lambang, dan itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non verbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama, misalnya memasang bendera di halaman rumah untuk menyatakan penghormatan atau kecintaan kepada negara. Kemampuan manusia menggunakan lambang verbal memungkinkan perkembangan bahasa dan menangani hubungan antara manusia dan objek (baik nyata ataupun abstrak) tanpa kehadiran manusia dan objek tersebut.

Lambang adalah salah satu kategori tanda. Hubungan antara tanda dengan objek dapat juga direnpresentasikan oleh ikon dan indeks, namun ikon dan indeks tidak memerlukan kesepakatan. Ikon adalah suatu benda fisik (dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang direpresentasikannya. Representasi itu ditandai dengan kemiripan. Misalnya patung Soekarno adalah ikon Soekarno, dan foto kita pada KTP kita adalah ikon kita.

(47)

34

arti terhadap lambang-lambang tersebut semata-mata karena kesepakatan bersama.

Makna sebenarnya ada di kepala kita, bukan terletak pada lambang itu sendiri. Kalaupun ada orang yang mengatakan bahwa kata-kata mempunyai makna, Yang dimaksudkan sebenarnya bahwa kata-kata itu mendorong orang untuk memberi makna (yang telah disetujui bersama) terhadap kata-kata itu. Lambang bervariasi dari suatu budaya ke budaya lain, dari suatu tempat ke tempat lain, dan dari suatu konteks waktu ke konteks waktu lain. Begitu juga makna yang diberikan kepada suatu lambang. Akan tetapi makna yang diberikan kepada suatu lambang boleh jadi berubah dalam perjalanan waktu, meskipun perubahan makna itu berjalan lambat. Lambang menjadi sesuatu yang sentral dalam kehidupan manusia. Manusia memiliki kemampuan untuk mmenggunakan lambang dan manusia memiliki kebutuhan terhadap lambang yang sama pentingnya dengan kebutuhan makan atau tidur.

2.3.1 Komunikasi Simbolik Sebagai Komunikasi Nonverbal

Proses penyampaian pesan dengan menggunakan simbol, atau komunikasi simbolik, dalam ilmu komunikasi dikaji sebagai komunikasi nonverbal. Komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima.

Komunikasi nonverbal dapat diklasifikasikan dalam beberapa bagian, yaitu :

(48)

35

2. Sentuhan (haptics), meliputi tamparan, pukulan, cubitan, senggolan, tepukan, belaian, pelukan, pegangan, rabaan, hingga sentuhan lembut sekilas.

3. Parabahasa (vocalics), meliputi kecepatan berbicara, nada, intensitas suara, intonasi, kualitas vokal, warna suara, dialek, dan sebagainya.

4. Penampilan fisik, meliputi busana dan karakteristik fisik.

5. Artefak, dapat berupa rumah, kendaraan, patung, lukisan, kaligrafi, foto dan benda-benda lain sejauh benda tersebut dapat diberi makna.

Bentuk komunikasi yang ingin dikaji di sini adalah komunikasi nonverbal yang menggunakan benda atau artefak sebagai media penyampaian pesannya. Benda atau artefak tersebut mempunyai sifat tertentu yang dapat mempresentasikan pesan yang ingin disampaikan. Komunikasi simbolik ini ada pada upacara perkawinan adat batak Toba.

2.4 Teori Interaksi Simbolik

Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi, serta inti dari pandangan pendekatan ini adalah individu (Soeprapto. 2007). Banyak ahli di belakang perspektif ini yang mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi. Mereka mengatakan bahwa individu adalah objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain.

(49)

36

Penyampaian makna dan simbol inilah yang menjadi hal pokok dalam interaksi simbolik.

Interaksi simbolik juga didefenisikan secara implisit melalui gerakan tubuh. Dalam gerakan tubuh ini akan terimplikasi ataupun terlihat seperti suara atau vocal, gerakan fisik, dan sebagainya yang mengandung makna. Hal-hal yang dicontohkan itu adalah simbol yang signifikan dari interaksi simbolik.

Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia yaitu komunikasi dan pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Defenisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek, dan bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka. Manusia hanya bertindak hanya berdasarkan defenisi atau penafsiran mereka atas objek-objek disekeliling mereka. Dalam pandangan interaksi simbolik, sebagaimana ditegaskan blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegakkan aturan-aturan, bukan sebaliknya. Dalam konteks ini makna sikonstruksikan dalam proses interaksi dan proses tersebut bukanlah sesuatu medium yang netral yang memungkinkan kekuatan sosial memainkan perannya melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial (Mulyana, 2001:68)

(50)

37

interaksionalisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut: pertama individu merespons sebuah situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga makna diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu kewaktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.

Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) dalam West-Turner (2008: 96), interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia.

(51)

38

Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik, antara lain: 1. Pikiran (Mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang

mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain. 2. Diri (Self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya. 3. Masyarakat (Society) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan,

dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.

Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi simbolik antara lain:

1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia 2. Pentingnya konsep mengenai diri,

3. Hubungan antara individu dengan masyarakat.

(52)

”Self-39

Concept”. Dimana, pada tema interaksi simbolik ini menekankan pada pengembangan konsep diri melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya. Tema terakhir pada interaksi simbolik berkaitan dengan hubungan antara kebebasan individu dan masyarakat, dimana asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan yang ada dalam sosial kemasyarakatannya. Fokus dari tema ini adalah untuk menjelaskan mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial.

2.5 MASYARAKAT ADAT BATAK TOBA

a. Masyarakat

Menurut Koentjoroningrat dalam Muhammad Basrowi dan Soenyono (2004 : 46), istilah masyarakat berasal dari bahasa arab “syaraka” yang berarti ikut serta, berpartisipasi, atau “musyaraka” berarti “saling bergaul”. Di dalam bahasa inggris dipakai istilah “society” yang sebelumnya berasal dari kata latin “socious”, berarti “kawan”. Pendapat sejenis juga terdapat dalam buku karangan Abdul Syani, dijelaskan bahwa perkataan masyarakat berasal dari kata musyarak (arab), yang artinya bersama-sama, kemudian berubah menjadi masyarakat, yang artinya berkumpul bersama, hidup bersama dengan saling berhubungan dan saling mempengaruhi.

(53)

40

manusia yang kecil sampai dengan kelompok manusia dalam suatu masyarakat yang sangat besar.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang terdiri dari kelompok yang kecil sampai kelompok yang besar yang berkumpul bersama, hidup bersama dengan saling bergaul dan saling mempengaruhi. Kelompok manusia tersebut mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama.

b. Masyarakat Batak

Ada beberapa dugaan tentang asal orang Batak. Harahap dalam Bungaran Antonius (2006 : 25) yang mengatakan ada dua tempat asal orang Batak, yaitu 1) dari Utara (tidak dijelaskan yang mana), dari sana pindah ke Filipina, dari Filipina pindah ke Selatan, yakni Sulawesi bagian selatan, menurunkan orang Bugis dan Makassar. Kemudian bersama angin timur berlayar ke barat sampai ke Lampung, lalu melalui pantai barat Sumatera mendarat di Barus. Dari sana naik ke Pulau Samosir di Danau Toba. 2) Berasal dari India (Hindia muka) turun ke Burma, kemudian turun ke tanah genting kera di utara Malaysia, terus berlayar ke barat tiba di Sumatera. Kemudian melalui Tanjung Balai atau Batu Bara atau Pangkalan Berandan, Kuala Simpang naik ke Danau Toba.

(54)

41

Menurut Antonius (2006 : 18) suku Batak terbagi dalam berbagai sub suku yang didasarkan atas pemakaian bahasa Batak yang mempunyai perbedaan di antara masing-masing sub suku, yaitu 1) Batak Karo di bagian utara Danau Toba, 2) Batak Pakpak atau Dairi di bagian barat Tapanuli, 3) Batak Toba di tanah batak pusat dan di utara Padang Lawas, 4) Batak Simalungun di timur Danau Toba, 5) Batak Angkola/ Mandailing di Angkola, Sipirok, Padang Lawas Tengah dan Sibolga bagian selatan.

Sianipar (1991 : 12) menyatakan bahwa masyarakat Batak adalah masyarakat marga, sehingga dalam kegiatannya tidak dapat meninggalkan keterlibatan marga. Dalam masyarakat Batak norma umum dipakai untuk keperluan umum, namun untuk keperluan adat masyarakat Batak menggunakan norma dan adat istiadat orang Batak.

Dalam masyarakat Batak terdapat marga yang diikuti susunan silsilah orang Batak yang disebut Tarombo (silsilah). Hubungan sosial kemasyarakatan orang Batak tidak dapat berjalan tanpa marga dan tarombo (silsilah). Marga dan tarombo (silsilah) memudahkan hubungan sosial antar orang Batak dimanapun berada.

c. Masyarakat Batak Toba

(55)

42

Dalihan Na Tolu artinya tungku berkaki tiga, ketiga kaki tungku melambangkan pengakuan atas adanya pembagian masyarakat Batak dalam tiga kelompok utama. Pembagian inilah yang menjadi struktur kemasyarakatan bagi orang-orang Batak Toba. Ketiga kelompok tersebut terdiri dari Dongan Sabutuha, yaitu orang-orang yang berasal dari satu marga. Misalnya situmeang, Lumban Tobing, Sinaga, Situmorang, Siregar, dan sebagainya. Karena pernikahan diantara sesama Marga dilarang dan dianggap tabu (incest), maka pernikahan antar Marga merupakan perilaku yang diterima atau kelaziman. Sebagai akibat pernikahan tersebut, maka timbullah secara bersamaan kelompok Hula-hula, yaitu marga asal istri dan Boru marga asal suami.

(56)

43

Ada kalanya ketiga kelompok tersebut menemui konflik tertentu sehingga memerlukan orang ketiga sebagai juru damai atau mediator. Umumnya mereka dipilih dari tua-tua marga tetangga dari luar kelompok yang bersangkutan. Mediator inilah yang disebut dengan Sihal-sihal atau batu penyela. Dengan demikian batu penyela akan berfungsi jika dibutuhkan.

Dalihan Na Tolu tidak hanya sekedar menetapkan struktu sosial dan fungsi sosial masyarakat Batak tetyapi juga menetapkan sikap dan perilaku yang patut ditampilkan oleh setiap kelompok. Manat atau berhati-hati merupakan sikap terhadap Dongan Sabutuha. Somba atau hormat merupakan sikap yang patut ditampilkan terhadap Hula-hula dan Elek atau lemah lembut merupakan sikap yang patut ditampilkan terhadap Boru. Penjabaran dan pelaksanaan ketiga ketiga sikap tersebut telah dituangkan dalam Partuturan atau Sistem kekerabatan orang Batak. Partuturan telah menggariskan identifikasi seseorang berdasarkan fungsinya serta menetapkan kata panggilan kekerabatan yang akan dipakai. Kemudian sistem kekerabatan tersebut juga menetapkan jenjang dan tata sopan santun didalam kekerabatan dalam masyarakat Batak.

(57)

44

sebagai panduan dan pedoman pergaulan hidup Masyarakat Batak. Adat untuk perkawinan, kelahiran dan kematian.

d. Masyarakat Batak di Perantauan

Masyarakat Batak pada zaman penjajahan yang paling banyak pergi merantau di kalangan orang Batak ke daerah-daerah lain di Indonesia adalah Batak Mandailing. Hal ini dapat dimengerti karena pendidikan sekolah yang membuka mata penduduk lebih dulu tertanam di Tapanuli Selatan daripada di Tapanuli Utara. Sesudah zaman penjajahan mulailah mengalir para petani Batak Toba ke daerah perkebunan di dataran rendah Sumatera Utara. Mereka bekerja sama dengan orang Jawa bekas buruh perkebunan dan membuka areal pertanian. Para petani asal Toba terdapat juga di Aceh Tenggara. Selain sebagai pegawai, banyak juga pengusaha kecil dan buruh swasta, seperti supir angkutan kota, pedagang kaki lima (parengge-rengge) ikut merantau ke kota-kota di Sumatera dan Jawa (Siahaan, 1982:41-44).

(58)

45

Upacara perkawinan yang diadakan oleh masyarakat Batak Toba di perantauan adalah berdasarkan prinsip Dalihan Na Tolu (tungku nan tiga), sama seperti di bona pasogit (kampung halaman), yaitu seluruh masyarakat Batak Toba adalah bagaikan keluarga besar, ada dongan tubu (teman satu marga), ada boru (penerima gadis) dan ada hula-hula (pemberi gadis). Dalam pelaksanaan upacara perkawinan tersebut ada perbedaan-perbedaan kecil timbul di berbagai tempat di tanah Batak, demikian pula di perantauan, akan tetapi prinsipnya tetap sama. 2.6 PERKAWINAN

Perkawinan orang Batak adalah perkawinan dengan orang di luar marganya sendiri. Artinya, sistem eksogami, yaitu patrilokal dengan kekecualian khusus, misalnya adanya uksorilokal. Perkawinan semarga sangat terlarang. Sistem perkawinan yang ideal yang dilakukan sejak dahulu kala ialah marboru ni tulang atau pariban (putri dari saudara laki-laki ibu), atau disebut dengan sistem perkawinan matrilateral cross cousin (Antonius, 2006:108).

(59)

46

yang digunakan oleh pihak yang satu terhadap pihak yang lain, demikian pula sebaliknya adalah istilah kekerabatan berdasarkan Dalihan Na Tolu. Perkawinan bagi orang Batak bukanlah merupakan persoalan pribadi suami istri itu sendiri, termasuk orang tua dan saudara-saudara kandung masing-masing, akan tetapi merupakan ikatan juga dari marga orang tua si suami dengan marga orang tua si istri, ditambah lagi dengan boru dan pihak hula-hula dari masing-masing pihak. Akibatnya adalah kalau perkawinan sepasang suami istri cerai maka ikatan di kedua belah pihak tersebut akan putus. Kesimpulannya adalah perkawinan orang Batak haruslah diresmikan secara adat berdasarkan adat Dalihan Na Tolu, dan upacara agama serta catatan sipil (Siahaan, 1982:50).

Dalam Depdikbud (1987 : 34) menjelaskan tata cara perkawinan adat masyarakat Batak Toba, yaitu sebagai berikut :

a. Upacara-Upacara Sebelum Perkawinan (Pra Perkawinan)

1. Marhori-hori dingding (perkenalan keluarga), yaitu orang tua calon

(60)

47

keputusan tersebut sehingga perlu untuk mengadakan prosesi hori-hori dingding (perkenalan keluarga).

2. Patua hata (melamar), yaitu mengajukan lamaran resmi oleh pihak calon

pengantin laki-laki kepada pihak calon pengantin perempuan. Prosesi lamaran ini merupakan formalisasi kesepakatan langsung antara orang tua calon pengantin laki-laki dengan orang tua calon pengantin perempuan saja, karena sebenarnya kesepakatan antara kedua belah pihak ketika marhori-hori dinding (perkenalan keluarga) sudah dianggap keputusan terakhir. Prosesi patua hata (melamar) belakangan ini juga sudah disatukan dengan prosesi marhusip (perundingan diam-diam), karena patua hata (melamar) hanya formalisasi kesepakatan kedua belah pihak saja.

3. Marhusip/ Mangatik-atik (Perundingan diam-diam)

(61)

48

4. Marhata Sinamot/ Martumpol (Merundingkan mas kawin/ uang

mahar)

Belakangan ini, bagi masyarakat Batak Toba yang menganut agama Kristen, sebelum acara marhata sinamot (merindingkan mas kawin) lebih dulu dilakukan martumpol (menandatangani perjanjian antara calon suami dengan calon istri) di Gereja. Tetapi bagi yang menganut agama lain maka langsung melaksanakan acara marhata sinamot (merundingkan mas kawin). Pada acara ini pihak laki-laki beserta dongan sabutuha (kerabat dekat) datang ke rumah pihak perempuan. Pihak laki-laki menyediakan lauk daging babi/kambing/lembu dan tuak na tonggi (nira), sedang pihak perempuan menyediakan nasi dan ikan mas. Adapun hal-hal yang dibicarakan untuk kemudian diputuskan dalam acara ini ialah :

a. Pesta kawin ditaruhon jual (pesta di tempat pihak laki-laki) atau dialap jual (pesta di tempat pihak perempuan).

b. Kepastian jumlah mas kawin.

c. Pembayaran bohini sinamot (panjar mas kawin). d. Jenis hewan panjuhuti (lauk pesta).

e. Jumlah ulos yang akan diserahkan pihak perempuan kepada pihak laki-laki.

f. Waktu dan tanggal pesta kawin dilaksanakan, dan lain-lain.

(62)

49

peresmian perjanjian dan kesepakatan di antara kedua belah pihak yang akan berbesan.

b. Upacara Pelaksanaan Perkawinan

Pada umumnya upacara pelaksanaan perkawinan pada masyarakat Batak adalah di tempat orang tua pihak perempuan yang lazim disebut dialap jual (pesta di tempat pihak perempuan). Tetapi sering juga terjadi atas musyawarah kedua belah pihak pesta kawin secara taruhon jual (di tempat pihak laki-laki). Perbedaan kedua cara ini adalah soal tempat yakni di tempat pihak laki-laki atau di tempat pihak perempuan.

Urutan acara pada upacara perkawinan ini ialah :

1. Mambahen sibuha-buhai (makanan pendahuluan).

(63)

50

2. Masilehonan bunga (saling memberi bunga).

Selesai makan sibuhai-buhai (makanan pendahuluan), pengantin laki-laki dan perempuan dipertemukan dan saling memberi bunga yang didampingi oleh pandongani (pendamping pengantin) dari pengantin laki-laki dan perempuan. Belakangan ini acara saling memberi bunga ini dilakukan pada saat rombongan yang membawa makanan pendahuluan memasuki rumah orang tua pengantin perempuan. Yang pertama memberikan bunga adalah pengantin laki-laki dan bunga tersebut dipangku oleh pengantin perempuan. Sesudah itu pengantin perempuan meletakkan bunga ke kantong jas pengantin laki-laki. Saling memberi bunga melambangkan kedua pengantin saling melengkapi dan memberi satu sama lain dalam berumah tangga.

3. Acara keagamaan sesuai dengan agama masing-masing.

Acara ini disesuaikan dengan agama yang dianut oleh kedua pengantin. 4. Acara mangan di alaman (makan bersama di halaman).

Gambar

gambar adalah konsep atau makna dari gambar ihan atau dekke(ikan mas),
Gambar 3 Proses persepsi
Tabel 1. Luas wilayah Wilayah Berdasarkan Penggunaannya No. Jenis Wilayah Luas Wilayah
Tabel 2. Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
+7

Referensi

Dokumen terkait