• Tidak ada hasil yang ditemukan

URAIAN TEORITIS 2.1 Pengertian Komunikasi

2.5 MASYARAKAT ADAT BATAK TOBA a.Masyarakat

Menurut Koentjoroningrat dalam Muhammad Basrowi dan Soenyono (2004 : 46), istilah masyarakat berasal dari bahasa arab “syaraka” yang berarti ikut serta, berpartisipasi, atau “musyaraka” berarti “saling bergaul”. Di dalam bahasa inggris dipakai istilah “society” yang sebelumnya berasal dari kata latin “socious”, berarti “kawan”. Pendapat sejenis juga terdapat dalam buku karangan Abdul Syani, dijelaskan bahwa perkataan masyarakat berasal dari kata musyarak (arab), yang artinya bersama-sama, kemudian berubah menjadi masyarakat, yang artinya berkumpul bersama, hidup bersama dengan saling berhubungan dan saling mempengaruhi.

Sementara menurut John Lewis Gillin dan John Philip Gillin mengatakan bahwa masyarakat itu adalah kelompok manusia yang terbesar yang mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama. Masyarakat itu meliputi pengelompokan-pengelompokan yang lebih kecil. Pengertian yang dikemukakan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat itu meliputi kelompok

40

manusia yang kecil sampai dengan kelompok manusia dalam suatu masyarakat yang sangat besar.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang terdiri dari kelompok yang kecil sampai kelompok yang besar yang berkumpul bersama, hidup bersama dengan saling bergaul dan saling mempengaruhi. Kelompok manusia tersebut mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama.

b. Masyarakat Batak

Ada beberapa dugaan tentang asal orang Batak. Harahap dalam Bungaran Antonius (2006 : 25) yang mengatakan ada dua tempat asal orang Batak, yaitu 1) dari Utara (tidak dijelaskan yang mana), dari sana pindah ke Filipina, dari Filipina pindah ke Selatan, yakni Sulawesi bagian selatan, menurunkan orang Bugis dan Makassar. Kemudian bersama angin timur berlayar ke barat sampai ke Lampung, lalu melalui pantai barat Sumatera mendarat di Barus. Dari sana naik ke Pulau Samosir di Danau Toba. 2) Berasal dari India (Hindia muka) turun ke Burma, kemudian turun ke tanah genting kera di utara Malaysia, terus berlayar ke barat tiba di Sumatera. Kemudian melalui Tanjung Balai atau Batu Bara atau Pangkalan Berandan, Kuala Simpang naik ke Danau Toba.

Untuk sementara Harahap mereservasi dugaan di atas sebagai pegangan. Namun tetap bersikap bahwa faktanya orang Batak sudah ada di tanah Batak dan mereka sudah beratus tahun tinggal di wilayah itu. Tentang dari mana asal, bagaimana sampai di sana, dianggap suatu spekulasi yang mungkin benar, tapi mungkin juga salah.

41

Menurut Antonius (2006 : 18) suku Batak terbagi dalam berbagai sub suku yang didasarkan atas pemakaian bahasa Batak yang mempunyai perbedaan di antara masing-masing sub suku, yaitu 1) Batak Karo di bagian utara Danau Toba, 2) Batak Pakpak atau Dairi di bagian barat Tapanuli, 3) Batak Toba di tanah batak pusat dan di utara Padang Lawas, 4) Batak Simalungun di timur Danau Toba, 5) Batak Angkola/ Mandailing di Angkola, Sipirok, Padang Lawas Tengah dan Sibolga bagian selatan.

Sianipar (1991 : 12) menyatakan bahwa masyarakat Batak adalah masyarakat marga, sehingga dalam kegiatannya tidak dapat meninggalkan keterlibatan marga. Dalam masyarakat Batak norma umum dipakai untuk keperluan umum, namun untuk keperluan adat masyarakat Batak menggunakan norma dan adat istiadat orang Batak.

Dalam masyarakat Batak terdapat marga yang diikuti susunan silsilah orang Batak yang disebut Tarombo (silsilah). Hubungan sosial kemasyarakatan orang Batak tidak dapat berjalan tanpa marga dan tarombo (silsilah). Marga dan tarombo (silsilah) memudahkan hubungan sosial antar orang Batak dimanapun berada.

c. Masyarakat Batak Toba

Masyarakat Batak Toba sebagai salah satu suku bangsa di bumi Indonesia memiliki tatanan sosial kemasyarakatan yang disebut Dalihan Na Tolu. Pengaruh dan cengkeramannya sudah sedemikian mendalam sehingga tidak salah menyebutkan orang Batak sebagai masyarakat Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu sudah menjadi warisan orang Batak.

42

Dalihan Na Tolu artinya tungku berkaki tiga, ketiga kaki tungku melambangkan pengakuan atas adanya pembagian masyarakat Batak dalam tiga kelompok utama. Pembagian inilah yang menjadi struktur kemasyarakatan bagi orang-orang Batak Toba. Ketiga kelompok tersebut terdiri dari Dongan Sabutuha, yaitu orang-orang yang berasal dari satu marga. Misalnya situmeang, Lumban Tobing, Sinaga, Situmorang, Siregar, dan sebagainya. Karena pernikahan diantara sesama Marga dilarang dan dianggap tabu (incest), maka pernikahan antar Marga merupakan perilaku yang diterima atau kelaziman. Sebagai akibat pernikahan tersebut, maka timbullah secara bersamaan kelompok Hula-hula, yaitu marga asal istri dan Boru marga asal suami.

Tanpa pernikahan antar marga maka Hula-hula dan Boru tidak akan timbul. Dengan timbulnya kelompok tersebut, terciptalah struktur sosial masyarakat yang baku, dimana ketiga kelompok tersebut bgergerak, berhubungan selaras, seimbang dan teguh dalam suatu tatanan masyarakat. Dengan kata lain ketiga kelompokm tersebut selalu berinteraksi anta kelompok yang satu dengan kelompok yanmg lain. Antara pribadi dari kelkompok yang satu dengan kelompok lainnya dan juga diantara pribadi dengan pribadi di dalam kelompok sendiri. Selain struktur sosial, pengelompokan tersebut juga menetapkan fungsi sosial dari setiap kelompok. Dengan demikian akan ditemukan tiga fungsi sosial, yaitu fungsi sosial sebagai Dongan Sabutuha, fungsi sosial sebagai Hula-hula, dan fungsi sosial sebagai Boru. Ketiga fungsi tersebut terus berinter relasi dan berinteraksi kedalam dan keluar kelompok sehingga Dalihan Na Tolu tersebut dikategorikan sebagai sistem yang sempurna.

43

Ada kalanya ketiga kelompok tersebut menemui konflik tertentu sehingga memerlukan orang ketiga sebagai juru damai atau mediator. Umumnya mereka dipilih dari tua-tua marga tetangga dari luar kelompok yang bersangkutan. Mediator inilah yang disebut dengan Sihal-sihal atau batu penyela. Dengan demikian batu penyela akan berfungsi jika dibutuhkan.

Dalihan Na Tolu tidak hanya sekedar menetapkan struktu sosial dan fungsi sosial masyarakat Batak tetyapi juga menetapkan sikap dan perilaku yang patut ditampilkan oleh setiap kelompok. Manat atau berhati-hati merupakan sikap terhadap Dongan Sabutuha. Somba atau hormat merupakan sikap yang patut ditampilkan terhadap Hula-hula dan Elek atau lemah lembut merupakan sikap yang patut ditampilkan terhadap Boru. Penjabaran dan pelaksanaan ketiga ketiga sikap tersebut telah dituangkan dalam Partuturan atau Sistem kekerabatan orang Batak. Partuturan telah menggariskan identifikasi seseorang berdasarkan fungsinya serta menetapkan kata panggilan kekerabatan yang akan dipakai. Kemudian sistem kekerabatan tersebut juga menetapkan jenjang dan tata sopan santun didalam kekerabatan dalam masyarakat Batak.

Demikianlah garis besar asal mula timbulnya inspirasi pembentukan tatanan sosial masyarakat Batak Toba yang bertumpu diatas tiga kelompok Daalihan Na Tolu. Tua-tua generasi pendahulu telah menjadikan Dalihan Na Tolu tersebut sebagai kerangka dasar acuan dan pijakan tatanan sosial bagi keturunannya. Mereka telah berhasil melakukan sebuah tatanan sosial yang diterima dan dipedomani dengan sadar oleh masyarakat Batak Toba dari generasi ke generasi hingga sekarang. Hal itu membuktikan bahwa tatanan sosial Dalihan Na Tolu masih tetap dianggap layak dan berguna untuk diberlakukan atau relevan

44

sebagai panduan dan pedoman pergaulan hidup Masyarakat Batak. Adat untuk perkawinan, kelahiran dan kematian.

d. Masyarakat Batak di Perantauan

Masyarakat Batak pada zaman penjajahan yang paling banyak pergi merantau di kalangan orang Batak ke daerah-daerah lain di Indonesia adalah Batak Mandailing. Hal ini dapat dimengerti karena pendidikan sekolah yang membuka mata penduduk lebih dulu tertanam di Tapanuli Selatan daripada di Tapanuli Utara. Sesudah zaman penjajahan mulailah mengalir para petani Batak Toba ke daerah perkebunan di dataran rendah Sumatera Utara. Mereka bekerja sama dengan orang Jawa bekas buruh perkebunan dan membuka areal pertanian. Para petani asal Toba terdapat juga di Aceh Tenggara. Selain sebagai pegawai, banyak juga pengusaha kecil dan buruh swasta, seperti supir angkutan kota, pedagang kaki lima (parengge-rengge) ikut merantau ke kota-kota di Sumatera dan Jawa (Siahaan, 1982:41-44).

Pada umumnya mayarakat Batak Toba di perantauan selalu mendirikan perhimpunan marga, khususnya untuk keperluan adat. Urgensi dari perhimpunan marga ini adalah memelihara nilai-nilai yang terkandung dalam Dalihan Na Tolu (tungku nan tiga). Karena urusan marga yang terpenting ialah upacara perkawinan. Marga di sini seolah-olah masih turunan satu ayah karena sebagai turunan satu leluhur tidak boleh saling mengawini. Sesuai dengan prinsip itulah, apabila timbul keretakan di dalam rumah tangga, yang diresmikan perkawinannya menurut adat Dalihan Na Tolu (tungku nan tiga), maka patut dicampuri oleh para pengetua adat dalam marga itu untuk mencegah sedapat mungkin perceraian.

45

Upacara perkawinan yang diadakan oleh masyarakat Batak Toba di perantauan adalah berdasarkan prinsip Dalihan Na Tolu (tungku nan tiga), sama seperti di bona pasogit (kampung halaman), yaitu seluruh masyarakat Batak Toba adalah bagaikan keluarga besar, ada dongan tubu (teman satu marga), ada boru (penerima gadis) dan ada hula-hula (pemberi gadis). Dalam pelaksanaan upacara perkawinan tersebut ada perbedaan-perbedaan kecil timbul di berbagai tempat di tanah Batak, demikian pula di perantauan, akan tetapi prinsipnya tetap sama. 2.6 PERKAWINAN

Perkawinan orang Batak adalah perkawinan dengan orang di luar marganya sendiri. Artinya, sistem eksogami, yaitu patrilokal dengan kekecualian khusus, misalnya adanya uksorilokal. Perkawinan semarga sangat terlarang. Sistem perkawinan yang ideal yang dilakukan sejak dahulu kala ialah marboru ni tulang atau pariban (putri dari saudara laki-laki ibu), atau disebut dengan sistem perkawinan matrilateral cross cousin (Antonius, 2006:108).

Pesta perkawinan adalah adat yang paling terpenting bagi orang Batak, oleh karena orang yang sudah kawin berhak mengadakan upacara adat, dan upacara-upacara adat lainnya seperti menyambut lahirnya seorang anak, pemberian nama kepadanya dan sebagainya adalah sesudah pesta perkawinan itu. Tambahan lagi adapun pesta perkawinan dari sepasang pengantin merupakan semacam jembatan yang mempertemukan Dalihan Na Tolu dari orang tua pengantin laki-laki dengan Dalihan Na Tolu dari orang tua pengantin perempuan. Artinya karena perkawinan itulah maka Dalihan Na Tolu dari orang tua pengantin laki-laki merasa dirinya berkerabat dengan Dalihan Na Tolu dari orang tua pengantin perempuan, demikian pula sebaliknya. Segala istilah sapaan dan acuan

46

yang digunakan oleh pihak yang satu terhadap pihak yang lain, demikian pula sebaliknya adalah istilah kekerabatan berdasarkan Dalihan Na Tolu. Perkawinan bagi orang Batak bukanlah merupakan persoalan pribadi suami istri itu sendiri, termasuk orang tua dan saudara-saudara kandung masing-masing, akan tetapi merupakan ikatan juga dari marga orang tua si suami dengan marga orang tua si istri, ditambah lagi dengan boru dan pihak hula-hula dari masing-masing pihak. Akibatnya adalah kalau perkawinan sepasang suami istri cerai maka ikatan di kedua belah pihak tersebut akan putus. Kesimpulannya adalah perkawinan orang Batak haruslah diresmikan secara adat berdasarkan adat Dalihan Na Tolu, dan upacara agama serta catatan sipil (Siahaan, 1982:50).

Dalam Depdikbud (1987 : 34) menjelaskan tata cara perkawinan adat masyarakat Batak Toba, yaitu sebagai berikut :

a. Upacara-Upacara Sebelum Perkawinan (Pra Perkawinan)

1. Marhori-hori dingding (perkenalan keluarga), yaitu orang tua calon

pengantin laki-laki mengunjungi orang tua calon pengantin perempuan dengan maksud untuk memperkenalkan diri dan menetapkan tanggal dan hari untuk mengajukan lamaran. Belakangan ini, hori-hori dingding (perkenalan keluarga) sudah jarang dilakukan, yang dilaksanakan sekarang adalah pertemuan dan pembicaraan langsung antara orang tua calon pengantin laki-laki dengan orang tua calon pengantin perempuan. Biasanya, kesepakatan calon pengantin untuk menikah sudah disampaikan kepada orang tua masing-masing dan orang tua menerimanya sebagai keputusan terakhir. Namun, ada kalanya orang tua tidak menerima

47

keputusan tersebut sehingga perlu untuk mengadakan prosesi hori-hori dingding (perkenalan keluarga).

2. Patua hata (melamar), yaitu mengajukan lamaran resmi oleh pihak calon

pengantin laki-laki kepada pihak calon pengantin perempuan. Prosesi lamaran ini merupakan formalisasi kesepakatan langsung antara orang tua calon pengantin laki-laki dengan orang tua calon pengantin perempuan saja, karena sebenarnya kesepakatan antara kedua belah pihak ketika marhori-hori dinding (perkenalan keluarga) sudah dianggap keputusan terakhir. Prosesi patua hata (melamar) belakangan ini juga sudah disatukan dengan prosesi marhusip (perundingan diam-diam), karena patua hata (melamar) hanya formalisasi kesepakatan kedua belah pihak saja.

3. Marhusip/ Mangatik-atik (Perundingan diam-diam)

Marhusip atau mangatik-atik (perundingan diam-diam) ialah masing-masing utusan dari kedua belah pihak, yakni pihak parboru (pihak calon pengantin perempuan) dan pihak paranak (pihak calon pengantin laki-laki) bertemu untuk merundingkan ancar-ancar mas kawin yang akan diserahkan pihak laki-laki kepada pihak perempuan, dan sebaliknya berupa ulos yang akan diserahkan kepada pihak laki-laki. Hasil mufakat sewaktu marhusip ini dicatat oleh masing-masing utusan yang menjadi bahan penting pada acara marhata sinamot (membicarakan mas kawin dan ulos). Tempat marhusip (perundingan diam-diam) ini adalah di rumah pihak orang tua calon pengantin perempuan dan biasanya dilaksanakan pada waktu malam.

48

4. Marhata Sinamot/ Martumpol (Merundingkan mas kawin/ uang

mahar)

Belakangan ini, bagi masyarakat Batak Toba yang menganut agama Kristen, sebelum acara marhata sinamot (merindingkan mas kawin) lebih dulu dilakukan martumpol (menandatangani perjanjian antara calon suami dengan calon istri) di Gereja. Tetapi bagi yang menganut agama lain maka langsung melaksanakan acara marhata sinamot (merundingkan mas kawin). Pada acara ini pihak laki-laki beserta dongan sabutuha (kerabat dekat) datang ke rumah pihak perempuan. Pihak laki-laki menyediakan lauk daging babi/kambing/lembu dan tuak na tonggi (nira), sedang pihak perempuan menyediakan nasi dan ikan mas. Adapun hal-hal yang dibicarakan untuk kemudian diputuskan dalam acara ini ialah :

a. Pesta kawin ditaruhon jual (pesta di tempat pihak laki-laki) atau dialap jual (pesta di tempat pihak perempuan).

b. Kepastian jumlah mas kawin.

c. Pembayaran bohini sinamot (panjar mas kawin). d. Jenis hewan panjuhuti (lauk pesta).

e. Jumlah ulos yang akan diserahkan pihak perempuan kepada pihak laki-laki.

f. Waktu dan tanggal pesta kawin dilaksanakan, dan lain-lain.

Akhir dari penutup acara ini kedua belah pihak menyerahkan uang ingot-ingot (uang ingat-ingat) dengan ketentuan dari pihak laki-laki dua dan dari pihak perempuan satu (2 : 1) yang akan diserahkan kepada dongan sahuta (teman sekampung). Merundingkan mas kawin merupakan simbol

49

peresmian perjanjian dan kesepakatan di antara kedua belah pihak yang akan berbesan.

b. Upacara Pelaksanaan Perkawinan

Pada umumnya upacara pelaksanaan perkawinan pada masyarakat Batak adalah di tempat orang tua pihak perempuan yang lazim disebut dialap jual (pesta di tempat pihak perempuan). Tetapi sering juga terjadi atas musyawarah kedua belah pihak pesta kawin secara taruhon jual (di tempat pihak laki-laki). Perbedaan kedua cara ini adalah soal tempat yakni di tempat pihak laki-laki atau di tempat pihak perempuan.

Urutan acara pada upacara perkawinan ini ialah :

1. Mambahen sibuha-buhai (makanan pendahuluan).

Pada pesta kawin yang telah ditentukan ketika merundingkan mas kawin/uang mahar, pagi-pagi pihak laki-laki beserta rombongan sanak famili datang ke rumah pihak perempuan sambil membawa makanan sibuha-buhai (makanan pendahuluan). Makanan ini adalah makanan khusus (daging babi/ lembu/ kambing dan nasi) bagi pihak perempuan karena pada acara makan bersama nanti pihak perempuan tidak mungkin makan dengan tenang. Selesai pihak perempuan makan, barulah pihak laki-laki makan dengan lauk ikan mas dari pihak perempuan. Tetapi belakangan ini sudah sama-sama makan, hanya lauknya yang berbeda. Mambahen sibuha-buhai (makanan pendahuluan) ini merupakan simbol permulaan ikatan kekerabatan atau berbesanan (mamuhai partondongan) antara pihak perempuan dengan pihak laki-laki serta antara unsur Dalihan Na Tolu (tungku nan tiga) kedua belah pihak.

50

2. Masilehonan bunga (saling memberi bunga).

Selesai makan sibuhai-buhai (makanan pendahuluan), pengantin laki-laki dan perempuan dipertemukan dan saling memberi bunga yang didampingi oleh pandongani (pendamping pengantin) dari pengantin laki-laki dan perempuan. Belakangan ini acara saling memberi bunga ini dilakukan pada saat rombongan yang membawa makanan pendahuluan memasuki rumah orang tua pengantin perempuan. Yang pertama memberikan bunga adalah pengantin laki-laki dan bunga tersebut dipangku oleh pengantin perempuan. Sesudah itu pengantin perempuan meletakkan bunga ke kantong jas pengantin laki-laki. Saling memberi bunga melambangkan kedua pengantin saling melengkapi dan memberi satu sama lain dalam berumah tangga.