• Tidak ada hasil yang ditemukan

URAIAN TEORITIS 2.1 Pengertian Komunikasi

3. Acara keagamaan sesuai dengan agama masing-masing

Acara ini disesuaikan dengan agama yang dianut oleh kedua pengantin. 4. Acara mangan di alaman (makan bersama di halaman).

Selesai acara keagamaan diadakanlah makan bersama di halaman rumah pihak perempuan setelah terlebih dahulu parhobas (pelayan) membagikan nasi dan daging serta air minum. Dalam acara ini pihak laki-laki dan pihak perempuan mempunyai tempat tersendiri. Pihak laki-laki bersama undangannya berada dalam satu kelompok dan pihak perempuan beserta undangannya berada dalam satu kelompok lain. Acara mangan di alaman merupakan simbol kebersamaan antara kedua belah pihak, baik pihak laki-laki maupan pihak perempuan beserta keluarga besar.

51

5. Pasahathon dekke parboru (penyampaian ikan oleh pihak

perempuan).

Setelah acara makan dimulai, maka pihak orang tua pengantin perempuan beserta famili terdekat menyampaikan dekke (ikan mas) kepada pihak laki-laki. Dekke (ikan mas) ini sebagian diberikan kepada pengantin dan sebagian lagi kepada famili terdekat dari pihak laki-laki. Upacara pemberian simbol ikan ini melambangkan sarana pemberian pasu-pasu (berkat) kepada pengantin perempuan oleh orang tua dan hula-hula (pemberi gadis) beserta kerabat pihak pengantin perempuan.

6. Manjalo tumpak paranak (menerima sumbangan).

Sehabis makan bersama maka protokol dari pihak laki-laki memanggil undangan pihak laki-laki, karena pihak laki-laki segera akan mengadakan acara papungu tumpak (mengumpulkan sumbangan). Semua undangan yang menyampaikan tumpak (sumbangan) meletakkan sumbangannya pada sebuah baskom besar yang terletak di depan pengantin dan orang tua pengantin laki-laki. Setelah memberikan sumbangan pengantin dan pihak laki-laki disalami dan pada saat itulah pihak laki-laki mengenal para penyumbang sambil mengucapkan terima kasih.

7. Mambagi parjambaron (pembagian berkat berupa daging)

Setelah pihak laki-laki dan perempuan berhadap-hadapan di halaman rumah pihak perempuan, diangkatlah namar goar/jambar (berkat berupa daging) ke tengah-tengah mereka masing-masing diadakanlah musyawarah bagaimana pembagian berkat daging tersebut untuk pihak

52

laki-laki dan perempuan. Sesudah musyawarah dibagikanlah daging itu kepada orang-orang yang berhak menerimanya.

8. Masisesaan di alaman (membicarakan mas kawin yang tinggal).

Selesai pembagian namar goar (daging), kemudian masuk ke acara masisesaan (bertanya-jawab) atau mangkatai (membicarakan mas kawin yang tinggal). Dalam pembicaraan ini pihak perempuan dan pihak laki-laki masing-masing mempunyai raja parhata (protokol). Protokol inilah yang langsung bertanya jawab, tetapi bila ada hal-hal yang sulit baru ditanyakan kepada pihak perempuan dan pihak laki-laki.

Inti pembicaraan ini adalah, pihak laki-laki menyampaikan jambar hepeng (uang) kepada pihak perempuan

9. Mangalehon ulos dohot mandar hela (pemberian ulos dan sarung

pengantin laki-laki oleh pihak perempuan).

Selesai pihak laki-laki memberikan jambar hepeng (berkat uang) kepada pihak perempuan, maka pihak perempuan pun mempunyai kewajiban memberikan ulos kepada pihak laki-laki. Setelah ulos disediakan pihak perempuan, maka protokol pihak laki-laki menyebut satu per satu siapa yang akan diberikan ulos, yang telah tertentu urutannya. Untuk ini pihak perempuan langsung berdiri untuk menyematkan ulos tersebut dengan cara dari kiri ke kanan yang memberikan ulos. Ulos yang diharuskan ialah :

a. Ulos hela atau ulos pengantin berupa ulos ragi sibolang/ragi hotang untuk pengantin.

b. Ulos panggomgom untuk ibu pengantin laki-laki. c. Ulos pansamot untuk ayah pengantin laki-laki.

53

d. Ulos paramanan untuk seorang saudara ayah pengantin laki-laki. e. Ulos tutup ni ampang, untuk salah seorang boru pihak laki-laki

yang menjinjing ampang (bakul) tempat nasi atau sibuha-buha i. Selain ulos hela dan ulos boru yang diterima pengantin, maka famili terdekat dari pihak perempuan juga menyampaikan ulos kepada pengantin sehingga kadang-kadang pengantin menerima ulos sampai lima puluh buah. Kemudian pihak laki-laki meminta lagi ulos naso ra buruk atau pausean (yang tidak akan rusak) yakni sawah atau ladang. Ulos naso ra buruk (yang tidak akan rusak) ini bisa saja tidak dikabulkan, sebab hal itu bergantung kepada besarnya mas kawin dan keadaan pihak perempuan.

Selain pemberian ulos, orang tua pengantin perempuan juga memberikan mandar hela (sarung pengantin laki-laki) kepada pengantin laki-laki. Maksud pemberian sarung ini adalah agar pengantin laki-laki tersebut rajin mengikuti acara-acara adat.

10.Mangolophon raja huta (menyambut raja huta) dan acara penutup

Selesai memberikan ulos, pihak perempuan dan pihak laki-laki memberi upa domu-domu (uang jasa perantara) kepada orang yang berjasa mempertemukan kedua belah pihak. Sebagai penutup hadirin mengucapkan horas tiga kali, maka selesailah pesta unjuk (pesta peresmian perkawinan).

c. Upacara-Upacara Sesudah Perkawinan (Pasca Perkawinan)

Upacara-upacara sesudah perkawinan pada masyarakat Batak Toba ada dua bagian yaitu paulak une (berkunjung) dan maningkir tangga ni boru (melihat rumah pengantin baru).

54

1. Paulak une (berkunjung).

Beberapa hari sesudah pesta kawin berlalu, pihak laki-laki dan pengantin yang sudah resmi menjadi pasangan suami - istri beserta beberapa orang famili terdekat berkunjung ke rumah orang tua pihak perempuan yang disebut paulak une atau mebat (berkunjung), yakni kunjungan resmi pertama setelah pesta kawin. Paulak une (berkunjung) ini harus terlebih dahulu diberitahukan kepada pihak perempuan agar mereka juga bersedia dan berada di tempat bila pihak laki-laki datang.

Makanan yang dibawa pada waktu mebat (berkunjung) ini ialah lomok-lomok (babi/kambing), nasi dan tuak (nira) lengkap dengan namargoar. Dalam upacara paulak une (berkunjung) ini pun pihak laki-laki dan perempuan masing-masing mempunyai protokol agar upacara tersebut berjalan dengan baik menurut adat. Selesai paulak une (berkunjung) pasangan suami istri ini sudah bebas keluar masuk rumah tersebut.

2. Maningkir tangga ni boru (melihat rumah pengantin baru).

Maningkir tangga ni boru (melihat rumah pengantin baru) ialah melihat rumah tempat anak, artinya pihak orang tua pengantin perempuan datang berkunjung ke tempat tinggal anak menantunya. Biasanya setelah paulak une (berkunjung) pengantin baru itu dipajae (disuruh mandiri) oleh orang tua pengantin laki-laki. Untuk itu orang tua laki-laki memberikan modal baik berupa uang atau pun tanah untuk diusahakan oleh pengantin baru ini. Hal ini masih tetap terjadi sampai sekarang bagi sebagian masyarakat Batak Toba.

55

Orang tua pengantin perempuan berkunjung ke rumah anak dan menantunya untuk mengetahui bagaimana kehidupan mereka sebenarnya, untuk ini dibawalah dekke simudurudur (ikan mas) beserta nasi. Tetapi kunjungan ini harus diberitahukan terlebih dahulu agar orang tua pihak laki-laki bersedia menyambut kunjungan orang tua pihak perempuan. Pihak laki-laki harus menyediakan lomok-lomok (babi/kambing), nasi dan tuak (minuman yang terbuat dari nira) lengkap dengan namargoar. Hal ini masih kewajiban orang tua pihak laki-laki sebab pasangan suami-istri yang baru manjae (belajar mandiri) masih belum mampu menghadapinya. Isi dalam acara maningkir tangga ni boru (melihat rumah pengantin baru) ialah tentang kunjungan dan terutama adalah memberi nasehat-nasehat kepada pasangan suami-istri tersebut, agar rajin-rajin bekerja, tabah, dan berkelakuan baik/sopan pada orang tua serta pada famili. Pihak perempuan mengharapkan agar pihak laki-laki tetap membimbing pasangan suami-istri baru itu dalam berumah tangga.

Adapun tahapan adat perkawinan yang dikaji dalam penelitian ini adalah pada tahapan pemberian benda adat atau simbol oleh orang tua pengantin perempuan kepada kedua pengantin yaitu pada tahapan pelaksanaan perkawinan tepatnya pada tata cara yang kelima pasahathon dekke parboru (penyampaian ikan oleh pihak perempuan) dan pada tata cara yang kesembilan mangalehon ulos dohot mandar hela (pemberian ulos dan sarung pengantin laki-laki oleh pihak perempuan). Pada tahapan pasca perkawinan yaitu pada tata cara paulak Une (kunjungan yang dilakukan oleh pihak laki-laki beserta pengantin ke rumah pihak perempuan) dan pada tata cara maningkir tangga ni boru (kunjungan yang

56

dilakukan oleh pihak perempuan ke rumah pihak laki-laki untuk melihat keadaan pengantin baru). Benda adat yang diberikan pada keempat tata cara tersebut berupa dekke (ikan mas), mandar hela (sarung pengantin/menantu laki-laki), ulos hela (ulos pengantin/menantu laki-laki), dan boras (beras).

2.7 Falsafah Dalihan Na Tolu

Dalihan Na Tolu secara harfiah adalah tungku nan tiga yang merupakan lambang jika diasosiasikan dengan sistem sosial Batak yang mempunyai tiga tiang penopang yaitu Hula-hula, Dongan Tubu, dan Boru. Arti kata ini secara berturut-turut adalah: 1) Pihak pemberi gadis.2) Pihak yang semarga.3) Pihak penerima gadis.

Dalam Depdikbud (1987 : 15) menyebutkan Dalihan Na Tolu (tungku nan tiga) yang terdiri dari Hula-hula (pemberi gadis), Dongan Tubu (saudara semarga), dan Boru (penerima gadis), yang mempunyai falsafah sebagai berikut :

a. Somba marhula-hula, artinya hormat kepada Hula-hula atau pemberi gadis (wife giving party). Sikap somba (hormat) yang ditetapkan terhadap hula-hula (pemberi gadis) didasarkan kepada pemikiran bahwa putri hula-hula (pemberi gadis) adalah ibu yang melahirkan keturunan yang disebut hagabeon (keturunan) dalam bahasa Batak. Karena hula-hula (pemberi gadis) telah dianggap sebagai pangkal atau sumber hagabeon (keturunan yang banyak) yang akan meneruskan garis keturunan, maka sikap sembah atau hormat kepada hula-hula (pemberi gadis) mutlak dilakukan.

b. Manat mardongan Tubu, artinya hati-hati bersaudara laki-laki atau saudara/ teman semarga. Sikap manat atau hati-hati terhadap dongan tubu (saudara semarga) dapat disejajarkan dengan ungkapan “benang jangan terputus,

57

tepung jangan terserak”. Dongan tubu adalah orang-orang yang satu marga, diikat kesatuan hubungan darah dan merupakan kesatuan keturunan leluhur yang mewariskan marga kepada mereka. Oleh karena itu hubungan dengan teman semarga harus dijaga.

c. Elek marboru, artinya membujuk kepada anak boru atau penerima gadis (wife receiving party). Sikap elek (lemah- lembut) dan bujuk rayu kepada boru (penerima gadis) didasarkan kepada suasana kasih sayang yang biasa diterima seorang putri dari orang tuanya sebelum menikah. Menyadari perasaan tersebut, maka tua-tua pendahulu telah menetapkan sikap elek atau lemah-lembut dan bujuk rayu sebagai kepatutan menghadapi boru (penerima gadis). Selain sikap, tutur kata terhadap boru (penerima gadis) hendaknya dijaga agar selalu menyenangkan hati.

58 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN