PERTIMBANGAN FAKTOR ERGONOMI DALAM PENJADWALAN
TENAGA KERJA
Danang Setiawan1), Sri Gunani Partiwi2)dan Dyah Santhi Dewi3)
Pascasarjana Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Indonesia
e-mail: 1) d.setiawan.i25@gmail.com, 2) srigunani@ie.its.ac.id, 3) dyah_sd@yahoo.au
ABSTRAK
Penjadwalan tenaga kerja merupakan area implementasi strategis ergonomi, dimana manfaat yang dapat diperoleh selaras dengan dua tujuan utama ergonomi, performansi sistem keseluruhan dan kesejahteraan pekerja. Penjadwalan tenaga kerja telah diteliti secara luas, namun sebagian besar masih mengabaikan faktor-faktor yang berkaitan dengan ergonomi. Pertimbangan faktor manusia dalam sistem berperan penting dalam meningkatkan performansi sistem keseluruhan dan menjamin kesejahteraan pekerja di saat yang bersamaan. Kontribusi penelitian berada pada pemaparan dan pemodelan penjadwalan tenaga kerja pada kasus pekerjaan monoton dan berulang, yang mempertimbangkan risiko tugas kerja. Melaksanakan tugas kerja yang sama secara berulang, dapat meningkatkan stress pekerja, kelelahan, kejenuhan dan cedera apabila dilakukan pada periode yang lama. Penelitian terdiri dari tiga tahapan utama, yaitu: identifikasi faktor ergonomi, pemodelan matematis, dan pengujian numerik model. Model diformulasikan dengan pendekatan mixed integer programming dengan mempertimbangkan produktivitas sebagai fungsi tujuan. Model matematis difokuskan pada risiko pekerja ketika melaksanakan tugas kerja, yang diukur menggunakan cumulative trauma
disorders (CTD). Perbandingan output model pada pengujian numerik memberikan hasil bahwa
penjadwalan tenaga kerja mempertimbangkan risiko tugas kerja memberikan hasil yang lebih baik ditinjau dari jaminan kesejahteraan bagi pekerja dan peningkatan produktivitas pekerja. Kata kunci: ergonomi, risiko tugas kerja, penjadwalan tenaga kerja, rotasi kerja
PENDAHULUAN
Ergonomi (human factor) memiliki potensi besar untuk dapat berkontribusi pada perancangan sistem yang melibatkan manusia, baik dalam sistem kerja, produk, maupun sistem interaksi lainnya. International Ergonomic Association (IEA) mendefinisikan ergonomi sebagai disiplin ilmu yang mempelajari interaksi antara manusia dengan elemen lain dalam sistem dengan tujuan untuk mengoptimalkan kesejahteraan manusia (human well-being) dan performansi sistem keseluruhan (overall system performance). Namun, tingginya potensi ergonomi dalam sistem kerja sampai sekarang belum dieksploitasi secara maksimal (Dul et al., 2012). Perancangan sistem kerja tanpa mempertimbangkan ergonomi akan mengarah pada sistem yang kurang optimal, akibat adanya penurunan kualitas, efisiensi, munculnya keluhan kesehatan, ketidakpuasan, dll. (Dul et al., 2012).
Beberapa penelitian menyatakan penyebab utama rendahnya implementasi ergonomi adalah sedikitnya integrasi ergonomi dengan sistem keseluruhan organisasi. Menindaklanjuti kondisi tersebut upaya sosialisasi dan implementasi secara optimal perlu dilakukan untuk mendapatkan keuntungan dari segi sosial dan ekonomis. Dul et al., (2012) menyatakan bahwa ergonomi harus menunjukkan nilai-nilai yang dimiliki disiplin ilmu ergonomi pada stakeholder utama perancangan sistem.
Penjadwalan tenaga kerja merupakan salah satu area implementasi strategis ergonomi dalam sistem organisasi. Hal ini karena adanya 2 (dua) hasil utama yang mungkin didapat, yaitu: meningkatkan performansi sistem keseluruhan dan disaat bersamaan menjamin kesejahteraan pekerja. Meskipun penjadwalan tenaga kerja telah diteliti secara luas, sangat sedikit penelitian yang mempertimbangkan isu ergonomi dalam permasalahan penjadwalan tenaga kerja (Wongwien dan Nanthavanij, 2012; Bentefout, 2013). Padahal, pertimbangan faktor ergonomi berperan penting dalam meningkatkan performansi sistem keseluruhan dan menjamin kesejahteraan pekerja di saat yang bersamaan.
Occupational safety and health administration (OSHA) telah merekomendasikan
pendekatan bertahap untuk mengatasi bahaya di tempat kerja, yaitu: pendekatan teknis, administratif, dan penggunaan alat pelindung diri. Diantara pendekatan-pendekatan tersebut, pendekatan administratif memberikan kompromi yang baik antara biaya yang digunakan dan efektifitas hasil yang didapat. Rotasi kerja (job rotation) merupakan salah satu solusi yang sering direkomendasikan dalam pendekatan administratif. Mekanisme kontrol administratif rotasi kerja memberikan konsekuensi pada rotasi pekerja apabila telah melebihi batas yang diijinkan. Atas dasar inilah, dalam penelitian ini digunakan pendekatan rotasi kerja untuk menyelesaian permasalahan pada jenis pekerjan yang bersifat monoton dan berulang. Melaksanakan tugas kerja yang sama secara berurutan dapat meningkatkan risiko stress pekerja, kelelahan, memicu kejenuhan dan dalam jangka panjang dapat berakibat buruk pada kesehatan pekerja (Tharmmaphomphilas, 2004).
METODE
Penelitian secara garis besar terdiri atas tiga tahap, yaitu identifikasi faktor ergonomi, yang terdiri dari faktor manusia, karakteristik tugas kerja dan batasan lingkungan, perumusan model matematis dan pengujian numerik model.
Tahap Identifikasi Faktor Ergonomi
Tahap identifikasi faktor ergonomi dilakukan dengan peninjauan terhadap penelitian terdahulu di bidang penjadwalan dan/atau penelitian di bidang ergonomi. Informasi yang diperoleh dari hasil identifikasi penelitian terdahulu selanjutnya dianalisa untuk ditentukan faktor penting yang layak dipertimbangkan dalam penjadwalan tenaga kerja.
Tahap Formulasi Model Matematis
Tahap formulasi model matematis ditujukan untuk mendapatkan model penjadwalan tenaga kerja dengan mempertimbangkan faktor-faktor ergonomi. Formulasi model matematis dilakukan dengan 3 (tiga) tahap, yaitu: penurunan nilai parameter, perumusan model matematis dan verifikasi model matematis. Penurunan nilai parameter dilakukan untuk merubah nilai input yang diperoleh dengan formulasi yang dikembangkan. Nilai input ergonomi seringkali berbentuk data kualitatif (misal: beban kerja rendah sedang dan tinggi), sehingga perlu dilakukan kuantifikasi sehingga dapat digunakan dalam model. Model matematis dirumuskan dengan terlebih dahulu menyatakan batasan dan asumsi yang digunakan. Uji verifikasi dilakukan dengan membandingkan nilai fungsi tujuan yang dihasilkan software dengan nilai dari perhitungan manual dan pemenuhan terhadap batasan yang telah ditentukan.
Tahap Uji Numerik Model
Pada tahap ini akan dilakukan percobaan numerik untuk mengilustrasikan cara penggunaan model yang telah dikembangkan. Percobaan numerik terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu: perumusan parameter percobaan numerik, perbandingan model dan analisis terhadap hasil yang diperoleh. Parameter percobaan numerik terdiri dari karakteristik tugas kerja, jadwal
operasi kerja, dan data karakteristik pekerja. Nilai parameter diperoleh dari data sekunder operasi perakitan sepeda motor. Nilai awal parameter diturunkan untuk mendapatkan input yang sesuai dengan formulasi matematis yang dikembangkan. Perbandingan model penjadwalan tenaga kerja dilakukan dengan membandingkan performansi model ditinjau dari pencapaian fungsi tujuan, pemenuhan fungsi kendala dan waktu penyelesaian. Adapun model yang akan dibandingkan adalah model penjadwalan yang mempertimbangkan ergonomi dan model penjadwalan tenaga kerja klasik yang mengabaikan faktor ergonomi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Faktor Ergonomi dalam Penjadwalan Tenaga Kerja
Model penjadwalan tenaga kerja seringkali tidak mendefinisikan hubungan antara karakteristik manusia dan kondisi tugas kerja, serta pengaruhnya terhadap performansi sistem keseluruhan dan kesejahteraan pekerja (Bentefout, 2013). Penyelesaian penjadwalan tenaga kerja, perlu diawali dengan identifikasi faktor ergonomi relevan. Baines et al. (2005) menyatakan bahwa performansi pekerja ketika beraktivitas dipengaruhi oleh faktor personal dan faktor lingkungan. Hasil identifikasi faktor manusia menunjukkan bahwa learning &
forgetting, beban kerja, kelelahan dan variabilitas kerja merupakan faktor dasar yang
mempengaruhi produktivitas pekerja.
Identifikasi terhadap faktor lingkungan kerja, dapat dikategorikan dalam karakteristik tugas kerja dan batasan lingkungan kerja. Penelitian Aryanezhad et al. (2009) mempertimbangkan risiko cedera tulang belakang (musculoskeletal disorders-MSDs) dalam model rotasi kerja. Model rotasi kerja yang dihasilkan lebih difokuskan pada aktivitas kerja yang mengandung manual material handling. Dalam konsep rotasi kerja, pekerja dirotasikan sehingga dalam satu hari kerja pekerja tidak dipekerjakan melebihi batas yang diijinkan. Aryanezhad et al. (2009) menggunakan job severity index (JSI) sebagai ukuran dari risiko cedera. Apabila dilakukan peninjauan terhadap aktivitas kerja di industri, risiko tugas kerja tidak hanya diakibatkan oleh beban kerja, tetapi juga postur dan frekuensi pengulangan tugas kerja. Atas dasar inilah, dalam penelitian ini dilakukan peninjauan terhadap risiko tugas kerja secara komprehensif.
Formulasi Model
Model diformulasikan dalam bentuk mixed integer linier programming (MILP). Model dalam penelitian ini lebih difokuskan pada pertimbangan terhadap risiko tugas kerja. Nilai risiko tugas kerja diperoleh dari hasil evaluasi cumulative trauma disorder (CTD). Penelitian ini menggunakan software Ergo Intelligence untuk mendapatkan nilai CTD dari tugas kerja yang dilakukan. Model diformulasikan dengan terlebih dahulu menentukan batasan dan asumsi khusus. Adapun batasan yang digunakan dalam model adalah sebagai berikut:
1. Dalam setiap periode kerja, setiap pekerja hanya dapat ditugaskan pada satu tugas kerja. 2. Alokasi pekerja harus sesuai dengan kebutuhan dari setiap tugas kerja yang
dilaksanakan.
3. Setiap pekerja harus ditugaskan untuk bekerja pada hari kerja yang diberikan selama periode kerja
4. Batasan yang berkaitan dengan faktor manusia, batasan lingkungan dan karakteristik tugas kerja harus terpenuhi.
5. Rotasi kerja hanya difokuskan pada satu hari kerja, karena aktivitas kerja yang dievaluasi sama untuk setiap harinya.
Sedangkan model matematis diformulasikan dengan asumsi berikut:
1. Hari kerja dibagi kedalam periode kerja yang sama. Rotasi kerja terjadi hanya pada akhir dari periode kerja.
2. Jumlah tugas kerja yang dapat dilaksanakan pekerja diketahui dan tidak harus sama. 3. Semua pekerja dalam area kerja menerima jumlah bahaya yang sama dari tugas kerja
yang dilaksanakan.
4. Setiap pekerja memiliki biaya yang sama, meskipun memiliki tingkat keahlian, waktu kerja dan aktivitas kerja yang berbeda.
Berikut ini adalah notasi yang digunakan dalam model penjadwalan tenaga kerja mempertimbangkan faktor manusia, kondisi lingkungan dan karakteristik tugas kerja.
Parameter,
= jumlah pekerja tersedia, ∈ {1, … , } = jumlah tugas kerja, ∈ {1, … , }
= jumlah periode per hari kerja, ∈ {1, … , } = nilai risiko tugas kerja selama 1 periode,
= nilai maksimum risiko tugas kerja selama 1 periode,
= bernilai 1 apabila pekerja i dapat melaksanakan tugas kerja j, bernilai 0 apabila sebaliknya,
= jumlah pekerja yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas kerja j = nilai kerja untuk pekerja j ketika melaksanakan tugas kerja j,
Variabel keputusan,
= bernilai 1, apabila pekerja i ditugaskan untuk tugas kerja j selama periode rotasi
k,
Penelitian ini menggunakan fungsi tujuan memaksimalkan produktivitas (Persamaan 1). Produktivitas dihitung berdasarkan nilai (score) yang dimiliki pekerja i ketika melaksanakan tugas kerja j. Setiap pekerja memiliki nilai (0-100%), didasarkan pada tingkat skill pekerja ketika melaksanakan tugas kerja.
∑ ∑ ∑ ×
Pekerja dialokasikan ke tugas kerja dengan memenuhi batasan yang ditentukan, baik batasan tentang rotasi kerja maupun batasa risiko tugas kerja. Berikut adalah batasan yang digunakan dalam model.
1. Penugasan pekerja untuk setiap periode
Pekerja hanya dapat ditugaskan pada 1 (satu) tugas kerja untuk setiap periode.
∑ ≤ 1 ∀ ,
2. Keseimbangan alokasi dan kebutuhan pekerja
Ketika tugas kerja dilaksanakan, jumlah pekerja yang ditugaskan harus bernilai sama dengan jumlah pekerja yang dibutuhkan tugas kerja.
∑ = ∀ ,
3. Alokasi pekerja didasarkan pada skill pekerja
Pekerja hanya dapat ditugaskan pada tugas kerja yang dapat dilaksanakan. Fungsi kendala ini ditujukan untuk mengakomodasi variabilitas keahlian pekerja.
≤ ∀ , ,
4. Tingkat risiko tugas kerja
Risiko tugas kerja merupakan ukuran yang digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik tugas kerja. Tingkat risiko tugas kerja diukur berdasarkan nilai
cumulative trauma disorders (CTD) menggunakan software Ergo-intelligence.
∑ ∑ × ≤ ≤ 1 (1) (2) (3) (4) (5)
5. Nilai variabel keputusan
Variabel keputusan bernilai 0 atau 1, yang menunjukkan apakah pekerja dialokasikan atau tidak. Berikut ini adalah fungsi kendala yang digunakan:
, ∈ {0,1} ∀ , ,
Pengujian Numerik Model
Parameter percobaan numerik terdiri dari karakteristik tugas kerja, jadwal operasi kerja, dan data karakteristik pekerja. Nilai parameter diperoleh dari data sekunder operasi perakitan sepeda motor. Nilai awal parameter diturunkan untuk mendapatkan input yang sesuai dengan formulasi matematis yang dikembangkan.
Pengujian numerik dilakukan dengan membandingkan model penjadwalan klasik dengan model penjadwalan yang mempertimbangkan faktor risiko tugas kerja. Model penjadwalan klasik menggunakan fungsi kendala 1,2,3 dan 5, sedangkan model penjadwalan mempertimbangkan risiko tugas kerja menggunakan fungsi kendala 1,2,3,4, dan 5. Perbandingan model penjadwalan tenaga kerja dilakukan dengan membandingkan performansi model ditinjau dari pencapaian fungsi tujuan, pemenuhan fungsi kendala dan waktu penyelesaian. Perbandingan kedua model ditunjukkan pada Tabel 1.
Table 1. Perbandingan Model Penjadwalan Tenaga Kerja
Pekerja
Penjadwlaan Tenaga Kerja Klasik Penjadwalan Tenaga Kerja + Risiko Tugas Kerja
Periode kerja Risiko
tugas kerja
Periode kerja Risiko tugas
kerja P1 P2 P3 P4 P1 P2 P3 P4 W1 T1 T1 T1 T1 0,57 T1 T1 T1 T1 0,57 W2 T3 T3 T3 T3 0,38 T3 T8 T8 T3 0,85 W3 T5 T5 T5 T5 0,94 T5 T5 T5 T5 0,94 W4 T6 T6 T6 T6 0,57 T6 T3 T6 T8 0,71 W5 T7 T3 T6 T7 0,71 T7 T3 T6 T7 0,71 W6 T8 T8 T8 T8 1,31 T4 T4 T4 T8 0,89 W7 T2 T2 T2 T2 0,75 T2 T8 T2 T6 0,85 W8 T7 T5 T5 T5 0,94 T5 T7 T5 T7 0,94 W9 T1 T1 T1 T1 0,57 T1 T1 T1 T1 0,57 W10 T8 T2 T2 T2 0,89 T8 T2 T2 T2 0,89 W11 T5 T5 T5 T5 0,94 T5 T5 T5 T5 0,94 W12 T3 T6 T3 T6 0,47 T6 T6 T3 T6 0,52 W13 T6 T7 T7 T4 0,8 T3 T6 T3 T3 0,43 W14 T4 T4 T4 T4 0,75 T8 T7 T7 T4 0,99 W15 T2 T8 T8 T8 1,17 T2 T2 T8 T2 0,89 W16 T5 T7 T7 T7 0,94 T7 T5 T7 T5 0,94
Ket: melebihi batas toleransi
Pemenuhan fungsi tujuan, model penjadwalan klasik memberikan nilai yang lebih baik (53,2) dibandingkan model penjadwalan mempertimbangkan risiko tugas kerja (52,7). Nilai lebih terjadi akibat fungsi tujuan model dikompromikan terhadap batasan yang telah ditentukan. Sedangkan peninjauan terhadap pemenuhan fungsi kendala, menunjukkan bahwa model penjadwalan yang mempertimbangkan risiko tugas kerja memberikan hasil yang lebih baik dengan tidak ada pekerja yang menerima paparan bahaya yang melebihi batas toleransi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan percobaan numerik dan analisis yang dilakukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1) Model penjadwalan yang dikembangkan telah mempertimbangkan faktor risiko tugas kerja yang diukur menggunakan cumulative trauma disorders (CTD).
2) Hasil percobaan numerik menunjukkan bahwa penjadwalan tenaga kerja mempertimbangkan faktor ergonomi memberikan hasil yang lebih baik ditinjau dari pemenuhan terhadap batas kemampuan pekerja. Namun, apabila ditinjau dari pencapaian fungsi tujuan dan waktu penyelesaian, model memiliki nilai total kerja yang lebih rendah dan waktu penyelesaian yang lebih lama.
Adapun saran yang dapat diberikan sebagai rekomendasi untuk penelitian selanjutnya adalah: 1) Pengembangan heuristik untuk mendapatkan solusi yang memuaskan dengan waktu
penyelesaian yang lebih cepat.
2) Pengembangan decision support system (DSS) untuk mempermudah penggunaan model dalam aplikasi yang lebih luas.
3) Evaluasi penerapan kebijakan rotasi kerja, untuk mengetahui feasibilitas dari implementasinya di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Ayanezhad et al. (2009), “Designing safe job rotation schedules based upon worker's skills”, Int J Adv Manuf Technol, Vol. 41, hal. 193-199.
Baines et al. (2005), “Towards a theoretical framework for human performance modeling within manufacturing systems design”,Simulation Modeling Practice and Theory, Vol. 13, No. 6, hal. 486–504.
Dul et al. (2012), “A Strategy for Human Factor/Ergonomics: Developing the Discipline and Profession”,Ergonomics, hal. 1-27.
IEA (2000), The Discipline of Ergonomics", International Ergonomics Association [www.iea.cc).
Occupational Safety and Health Administration (1983), Guidelines for noise enforcement, US Department of Labor, Washington, DC.
Bentefout, F. (2013), Workforce Scheduling In The Context Of Human Performance
Variability: The Worker Approach, Disertasi Ph.D, The Pennsylvania State
University, Pennsylvania, USA.
Tharmmaphornphilas, W. (2004), Developing worker rotation schedule based upon worker skills to minimize occupation injury, International conference on computers and industrial engineering, Istanbul, Turkey.
Wongwien, T. dan Nanthavanij, S. (2012), “Ergonomic workforce scheduling under complex worker limitation and task requirements: Mathematical model and approximation procedure”,Songklanakarin J. Sci. Technol, Vol. 34, hal. 541-549