• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ANALISIS DATA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II ANALISIS DATA"

Copied!
261
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

ANALISIS DATA

A. Kajian Filologis

Kajian Filologis (dalam filologi tradisional) bertujuan untuk menunjukkan kondisi naskah beserta teksnya dalam bentuk mulanya, dan ketika teks naskah itu sudah disajikan dalam bentuk yang terbaca oleh masyarakat masa kini, yakni dalam bentuk suntingan (Siti Baroroh Baried, 1994: 8). Pada transmisi penyalinannya, suatu teks profan sudah barang tentu tidak setia, banyak terdapat varian bahkan bacaan yang korup dalam teks, meskipun dalam judul yang sama. Seperti halnya naskah SSMM yang menjadi objek pokok dalam penelitian kali ini. Naskah tersebut merupakan naskah profan yang secara garis besar isinya bersifat menghibur, sudah barang tentu penyalin sadar akan sifat karya yang disalinnya. Artinya, karya yang bersifat menghibur disalin tidak seserius ketika penyalin menyalin sebuah karya yang serius. Sebuah karya yang serius harus ditransmisi dengan cermat dan tepat namun karya yang bersifat menghibur tidak harus demikian (Robson, 1994: 30). Jadi, perbedaan tulis antar naskah SSMM (A,B, dan C) dimungkinkan dipengaruhi oleh ketidaktelitian penulis pada saat transmisi penyalinannya. Berbagai faktor manusiawi, seperti kesalahan tulis secara tidak sengaja oleh penulis ketika mentransmisi sebuah tulisan merupakan hal yang wajar dalam tradisi kesusastran, karena bagaimana pun seorang penulis tetaplah manusia. Terkadang ditemui beberapa penyalin yang dengan setianya dan amat berhati-hati dalam menyalin teks dari awal hingga akhir dengan

(2)

tidak sama sekali mengubah struktur frasa maupun kalimatnya bahkan hanya satu huruf. Meskipun penyalin tahu bahwa ada beberapa kata yang mungkin kurang pas di hati penyalin. Penyalin yang setia, yang menyalin dengan secermat mungkin, tetap juga ia adalah manusia, yang tidak pernah luput dari kesalahan, dan dengan demikian bisa saja membuat suatu kesalahan di dalam menyalin, namun teori kita berdasar pada asumsi bahwa setiap penyalin betul-betul teliti, dan tidak membuat suatu kesalahan yang disengaja (Robson, 1994: 17).

Sebagaimana tujuan utamanya, dalam penelitian kali ini akan disajikan bentuk teks yang telah disunting, yang dipandang asli sebagai bentuk mulanya, yang nantinya tidak akan membingungkan atau menyesatkan pembaca teks kemudian, dan menjawab penyebab dari perbedaan teks ketiga saksi naskah di atas. Melalui langkah-langkah kerja filologis, maka suntingan teks akan disajikan sebaik mungkin sebagaimana yang diinginkan.

Penerapan langkah-langkah kerja filologis adalah sebagai berikut:

1. Identifikasi Naskah

Identifikasi naskah ialah gambaran umum dan jelas serta terperinci tentang aspek-aspek yang terdapat di dalam naskah, dengan tujuan mempermudah pengenalannya terhadap naskah beserta konteks isinya (Emuch Hermansoemantri, 1986: 2). Deskripsi naskah akan diterapkan pada semua naskah yang ditemukan, yang meliputi poin-poin penting seperti: (1) Judul naskah, (2) Nomor naskah, (3) tempat penyimpanan naskah, (4) Asal naskah, (5) keadaan naskah, (6) ukuran naskah, (7) tebal naskah, (8) jumlah baris perhalaman, (9) huruf, aksara tulisan, (10) cara

(3)

penulisan, (11) bahsan naskah, (12) bahasa maskah, (13) bentuk teks, (14) umur naskah, (15) pengarang / penyalin, (16) asal-usul naskah, (17) fungsi sosial naksah, (18) ikhtisar teks. Identifikasi dari ke- lima naskah yang ditemukan adalah sebagai b a berkut:

a. Naskah SSMM A 1) Judul naskah

Sêrat Srikandhi Maguru Manah

Judul serat tersebut terdapat pada halaman judul naskah. Pada cover naskah tidak terdapat sama sekali judul naskah. Judul naskah ditulis dengan menggunakan aksara Jawa carik dengan ukuran besar, teks ditulis pada rata tengah, serta huruf Latin kapital dengan menggunakan pensil (huruf Latin asumsi ditulis oleh petugas perpustakaan) di bawah aksara carik tersebut, sedangkan angka 192 diasumsi sebagai nomor target microfilm.

Gambar 12. Judul naskah pada cover dalam naskah.

(4)

2) Nomor naskah

SMP – RP 259

Tercantum pada cover naskah bagian pinggir, apabila pada katalog milik Nancy K.Florida Javanese Literarure in Surakarta Manuscripts Volume 3 (manuscripts of the Radyapustaka museum and the Hardjonegaran library)

tertulis RP 259 192 (808.543 Sri s) Reel 16-40/17.

Gambar 14. Nomor lama dan nomor baru naskah pada halaman depan naskah.

3) Tempat penyimpanan naskah

Naskah tersimpan di museum Radyapustaka Surakarta. Berikut ditampilkan cap museum versi baru maupun yang lama.

Gambar 15. Cap lama dan cap baru musem terdapat pada halaman pertama naskah.

(5)

4) Asal naskah

Belum diketahui secara pasti darimana naskah itu diperoleh, dari hibah ataupun koleksi museum sendiri. Terdapat cap museum pada cover maupun halaman pertama naskah, yang mengasumsikan bahwa naskah memang sudah sejak lama berada di museum Radyapustaka (hal ini diperkuat dengan cap lama Museum)

Gambar 16. Cap lama pada halaman 1 naskah.

Panah merah menunjukkan angka tahun dalam cap lama milik Museum, bertuliskan angka tahun 1931.

5) Keadaan naskah

Cover naskah masih baik karena sudah direcover dari pihak museum. Mulai halaman judul naskah hingga halaman terakhir tidak ada satupun halaman yang tercicir/hilang. Terdapat beberapa halaman naskah yang robek, akan tetapi sebagian sudah direstorasi sehingga sebagian teks masih bisa terselamatkan serta masih dapat terbaca, sedangkan teks yang terlanjur hilang

(6)

karena kertas yang berlubang hingga saat ini belum mendapatkan perlakuan khusus.

Gambar 17. Tampilan naskah dari muka serta bagian lembar naskah yang direstorasi. 6) Ukuran naskah Panjang naskah : 32 cm Lebar naskah : 21 cm Tebal naskah : 2cm 7) Ukuran teks Panjang teks : 26 cm Lebar teks : 14 cm Margin atas teks : 3 cm Margin bawah teks : 3 cm Margin kanan rekto : 4,5 cm Margin kiri rekto : 2,5 cm

(7)

Margin kanan verso : 2,5 cm Margin kiri verso : 4,5 cm

8) jumlah halaman dan jumlah rata-rata baris per halaman

Jumlah halaman keseluruhan naskah adalah 221 halaman isi dan 9 lembar atau 18 halam rekto verso yang kosong, serta satu halaman yang berisi kolofon tentang asal usul naskah.

Jumlah rata-rata tiap halaman adalah 23 baris pada tiap halaman.

9) Huruf, aksara, tulisan

a) Aksara yang digunakan adalah aksara Jawa carik (manuskrip)

b) Ukuran huruf sedang dan semakin besar (pada halaman permulaan hingga bagian tengah, namun semakin maju pada halaman terakhir huruf semakin besar/tidak konsisten)

c) Bentuk huruf semi miji ketumbar, agak condong ke kanan.

d) Keadaan tulisan jelas, dan mudah dibaca, namun pada bagian belakang ada beberapa huruf yang samar akibat tinta yang tembus.

e) Jarak antar huruf sedang, jarak antar baris renggang.

f) Mayoritas bekas pena membekas pada halaman berikutnya. 10)Cara penulisan :

a) Penulisan dilakukan dengan cara bolak balik yaitu lembaran naskah yang ditulis pada kedua halaman, muka dan belakang (rekto dan verso).

(8)

b) Penulisan dilakukan dari kiri ke kanan (seperti mayoritas naskah jawa) artinya teks ditulis sejajar dengan lebar lembaran naskah.

c) model tulisan semi miji ketumbar sedikit condong ke kanan, penulis tidak konsisten pada tulisannya sendiri, pada halaman awal tertulis rapi dengan ukuran huruf sedang, akan tetapi pada halaman pertengahan (halaman 111) penulis mulai tidak konsisten, ukuran huruf mulai agak membesar, hingga pada halaman terakhir ukuran huruf semakin bertambah besar serta goresan tinta yang semakin menebal hingga pada halaman terakhir (halaman 221).

d) Penggunaan sasmita têmbang pada setiap pergantian pupuh.

e) Awal penulisan ditandai dengan mandrawapada bukan purwapada sebagaimana mestinya.

Gambar 18. Mandrawapada diletakkan pada awal penulisan.

f) Setiap akhir bait ditandai dengan penanda bait sebagai tanda pergantian bait tembang.

Gambar 19. Penada bait sebagai tanda tiap pergantian bait.

g) Setiap pergantian pupuh tembang diberi tanda mandrawapada yang dihiasi wêdanarenggan sederhana.

(9)

Gambar 20. Mandrawapada penanda pergantian pupuh.

h) Pada akhir pupuh menggunakan wasanapada seperti pada umumnya akhir penulisan manuskrip Jawa.

Gambar 21. Wasanapada penanda akhir pupuh.

i) Penomoran halaman teks naskah ditulis dengan menggunakan angka Jawa.

Gambar 22. Penomoran halaman naskah A

11) Bahan naskah : kertas HVS kecoklatan, warna kecoklatan dimungkinkan karena usia naskah.

12) Bahasa teks :

Bahasa naskah yang digunakan adalah bahasa Jawa Baru, yang disisipi kata arkais sebagai penghias kata seperti puisi Jawa klasik pada umumnya.

13) Bentuk teks :

Teks berbentuk puisi Jawa baru (Sekar Macapat/Sekar Alit) yang di dalamnya mencakup 37 pupuh sêkar macapat, adapun perinciannya sebagai berikut:

(10)

(1) Asmaradana 20 bait, (2) Mijil 38 bait, (3) Asmaradana 31 bait, (4) Sinom 27 bait, (5) Dhandhanggula 31 bait, (6) Mijil 35 bait, (7) Dhandhanggula 29 bait, (8) Asmaradana 31 bait, (9) Pangkur 36 bait, (10) Sinom 27 bait, (11) Kinanthi 36 bait, (12) Asmaranada 31 bait, (13) Pangkur 31 bait, (14) Durma 37 bait, (15) Dhandhanggula 26 bait, (16) Asmaradana 32 bait, (17) Kinanthi 29 bait, (18) Pangkur 28 bait, (19) Durma 34 bait, (20) Pangkur 29 bait, (21) Asmaradana 26 bait, (22) Durma 24 bait, (23) Pangkur 25 bait, (24) Durma 34 bait, (25) Asmaradana 33 bait, (26) Kinanhti 36 bait, (27) Sinom 30 bait, (28) Asmaradana 32 bait, (29) Sinom 28 bait, (30) Pocung 41 bait, (31) Kinanthi 33 bait, (32) Pangkur 31 bait, (33) Durma 34 bait, (34) Dhandhanggula 23 bait, (35) Sinom 28 Bait, (36) Asmaradana 33 bait, (37) Pocung 23 bait.

14) Umur naskah :

Secara eksplisit tidak sama sekali tertera angka tahun yang menandakan waktu mulainya atau akhir dari penulisan naskah tersebut, akan tetapi terdapat sebuah informasi pada lembar setelah halaman terakhir (bagian verso halaman 221) yang menginformasikan tentang induk naskah, yakni naskah disalin dari naskah milik G.K.R Pembayun putra PB VII. G.K.R Pambayun sendiri lahir pada tahun 1825 M dan meninggal dunia pada tahun 1917 M. Nancy yang mengatakan bahwa gaya huruf yang digunakan merupakan model huruf yang digunakan pada karya sastra era Pakubuwana X, PB X memerintah pada tahun 1893-1939 M (Nancy K. Florida, 2012: 200). Artinya, secara terminus a quo naskah pasti disalin antara tahun 1893 sampai tahun 1939 M.

(11)

15) Pengarang / penyalin :

Naskah berjudul Sêrat Srikandhi Maguru Manah dikarang oleh R.Ng Sindusastra di Surakarta pada tahun 1883 (Nancy K. Florida, 2012: 200). Mengenai nama penyalin belum dapat diketahui secara pasti, dikarenakan tidak ditemukan sama sekali mengenai informasi yang menunjukkan nama penyalin teks naskah.

Naskah tersebut diperkirakan disalin oleh juru tulis keraton kasunanan Surakarta pada masa pemerintahan Pakubuwana X, mengingat gaya tulisan yang mirip dengan gaya tulisan juru tulis keraton pada era Pakubuwana X (Nancy K. Florida, 2012: 200).

16) Asal-usul naskah :

Sebagaimana kolofon yang terdapat pada akhir penulisan naskah yang tertulis sebagai berikut:

Gambar 23. Kolofon pada halaman verso akhir.

Sêrat punika têdhakan saking kagunganipun Gusti Kangjêng Ratu Pambayun, putri dalêm ingkang sinuhun Ki Jêng Susuhunan Pakubuwana ingkang kaping pitu.

(12)

Terjemahan: Serat (karya sastra) ini salinan dari kepunyaan Gusti Kanjeng Ratu Pambayun, anak perempuan baginda raja Ki Jeng Susuhunan Pakubuwana yang ke tujuh.

Artinya naskah ini merupakan naskah têdhakan atau salinan dari naksah kepunyaan Gusti Ratu Pambayun, putra dari Susuhunan PB VII, yang mana naskah ini dulunya (naskah induknya) berasal dari keraton kasusnanan Surakarta.

17) Fungsi sosial naskah :

Naskah ini merupakan naskah yang mengandung ceritera pewayangan Jawa, teks naskah ini diasumsikan sempat populer di zamannya, karena terbukti naskah ini diperbanyak, bukan hanya disalin secara manual, namun juga secara cetak. Hal ini menandakan naskah tersebut dulunya pernah populer, entah dalam kalangan sastrawan ataupun para praktisi kesenian khususnya pedalangan sebagai sumber referensi lakon wayang (wayang orang ataupun wayang kulit), serta tidak menutup kemungkinan sebagai bahan bacaan sehari-hari entah dari kalangan keraton maupun luar tembok keraton. Pada era sekarang, Lakon/ ceritera ini juga masih banyak dipentaskan pada panggung-panggung kesenian, entah dalam bentuk wayang kulit ataupun wayang orang.

18) Ikhtisar teks/ceritera :

Sêrat Srikandhi Maguru Manah ini berisi tentang ceritera pewayanangan Jawa, yang mengisahkan tentang liku-liku kisah asmara kesatria Pandhawa bernama Arjuna, dengan putri raja negara Pancalaradya atau Cêmpalarêja yang bernama Wara Srikandhi. Kisah cinta mereka diceriterakan bermula ketika keduanya bertemu di

(13)

negara Dwaraka atau negara Dwarawati. Sejak pertemuanya dengan Arjuna itu, Srikandhi mulai jatuh hati kepada salah satu kesatria Pandhawa tersebut. Kasih tak sampai mengancam Srikandhi, dikarenakan tidak lama dari pertemuannya dengan Arjuna itu ada seorang Raja dari negara Paranggubarja melamarnya. Seorang raja dari tanah sabrang yang melamar Srikandhi itu bukanlah orang sembarangan, melainkan seorang yang sakti keturunan dari seorang brahmana yang sangat sakti, di negaranya raja yang bernama Jungkung Mardeya itu tiada tanding. Situasi kerajaan yang kurang mendukung cinta mereka, mengakibatkan Srikandhi dijodohkan oleh Prabu Drupada ayahnya dengan raja Jungkung Mardeya. Srikandhi adalah wanita berjiwa prajurit, ia tidak menyetujui penjodhohan itu, ia tetap ingin mengejar cintanya, hingga pada suatu malam Srikandhi kabur dari keraton dan pergi ke Kasatrian Madukara tempat Arjuna berada.

Sesampainya di Madukara, ia bertemu dengan pujaan hatinya hingga pada suatu malam mereka saling mengungkapkan perasaan masing-masing. Srikandhi tidak hanya memburu kesenangnya semata, ia juga belajar memanah selayaknya seorang prajurit. Keberadaanya semakin lama diketahui oleh permaisuri Amarta yang tidak lain adalah kakaknya sendiri yakni Drupadi. Pada awalnya Drupadi tidak marah jika lasan Srikandhi ke madukara adalah untuk belajar memanah dengan Arjuna, akan tetapi ketika Drupadi mengetahui yang dilakukan adiknya bersama Arjuna, seketika Drupadi sangat marah kepada adiknya, akhirnya Srikandhi pulang ke Pancala. Arjuna yang dianggap menyembunyikan Srikandhi juga tidak luput dari kemarahan kakanya yakni Yudhistira, akhirnya Sang Prabu Yudhistira melalui sri Krisna yang bijak bergi

(14)

ke Pancala untuk meminta maaf atas kelakuan Arjuna. Setibanya di Pancala Prabu Dropada tidak marah, justri sang prabu mengakui kesalahanya karena kepergian Srikandhi dari keraton tidak lain karena sang prabu memaksakan kehendak untuk menjodohkan Srikandhi dengan prabu Jungkung Mardeya. Prabu Dropada juga mengutarakan alasan penjodohan tersebut karena demi keamaan kerajaan dan rakyat Pancala, sifat orang sabrang jika tidak dituruti keinginannya akan menggempur perang.

Sang Wrêkodara yang mendengar kerjaan milik saudaranya diancam perang oleh raja sabrang langsung berpamitan undur diri dari pasewakan dan mengajak putranya yakni Gathotkaca dan pemimpin pasukan Wrêsni yakni Setyaki bersama prajuritnya masing-masing untuk menggempur perang prabu Jungkung Mardeya. Setibanya di tempat persinggahan Jugkung Mardeya, kedua kubu saling merapatkan barisan, perang besarpun tidak terelakkan. Pada awalnya pasukan Bima tidak terkalahkan, bahkan banyak prajurit bahkan tumenggung dari pihak mungsung yang mati, akan tetapi ketika Prabu Jungkung Mardeya maju ke medan perang, banyak prajurit Bima Yang kocar-kacir, termasuk Sêtyaki dan Gathotkaca juga kuwalahan, Jungkung Mardeya sangat sakti, ia mampu mengeluarkan ajian sakti yang dapat mengeluarlan angina besar dan ribuan senjata dari pusaka saktinya, hal itulah yang mengakibatkan Bima dan prajuritnya kuwalahan. Matahari sudah tenggelam, perangpun berhenti sejenak dan akan diteruskan pada esok harinya. Malam itu Krisna mendapatkan firasat buruk, ia bersama Arjuna menyusul Wrêkodara ke pasanggrahan dimana tempat Bima dan para prajurit istirahat, kepergian Krisan juga

(15)

disusul oleh seorang putra Raja Dropada bernama Drêsthajumêna bersama seribu prajuritnya.

Pagi harinya perangpun dilanjutkan, kesaktian Jungkung Mardeya dapat diimbangi oleh Arjuna, tiba-tiba pada saat perang berlangsung ayah Jungkung Mardeya datang, Brahmana sakti itu mengeluarkan angina besar disertai petir menyambar nyambar, akhirnya atas bantuan Krisna, arjuna mampu memanah leher sang brahmana sehingga sang brahmana itupun tewas, Jungkungmardeya beserta prajuritnya juga dihempaskan kembali ke negaranya dengan angina besar yang keluar dari ajian Arjuna.

Pertandingan dimenangkan pihak Pancala, akan tetapi Srikandhi justru menolak dinikahkan dengan Arjuna, Srikandhi mempunyai permintaan, apabila seorang itu ingin menikahinya maka orang tersebut harus mampu mengalahkannya dalam memanah. Arjuna tidak mau menandingi Srikandhi, hingga pada akhirnya salah seorang istri Arjuna yakni Rarasati mengajukan diri untuk melawan Srikandhi. Arjuna memarahi Rarasati dan meremehkan kemampuan Rarasati dalam menandingi kemampuan Srikandhi dalam memanah, karena sepengetahuan Arjuna Rarasati tidak bisa memanah apalagi berperang. Rarasati memang tidak pernah diajari Arjuna memanah, akan tetapi ia mengintip Srikandhi dan Arjuna ketika mereka sedang berlatih memanah. Pertandinganpun dimulai, tidak disangka Srikandhi yang semula diremehkan Arjuna ternyata mampu mengalahkan Srikandhi dalam memanah, bahkan tidak hanya memanah, ketika Srikandhi marah dan menantang untuk berperang

(16)

dengan keris, Rarasati mampu mengimbanginya. Akhirnya Srikandhi menikah dengan Arjuna dan diboyong ke Kasatrian Madukara.

B. Naskah SSMM B 1) Judul naskah

Sêrat Srikandhi Maguru Manah

Judul naskah terdapat pada cover luar naskah :

Gambar 24. Judul naskah B pada cover depan.

Judul naskah juga disebutkan secara eksplisit pada kalimat pembuka yang ditulis di awal sebelum penulisan ceritera, adapun kalimatnya adalah sebagai berikut :

Ing ngandhap punika dumuginipun sêrat Partakrama inggih nama sêrat Srikandhi Maguru Manah.

Gambar 25. Judul naskah B pada awal penulisan.

(17)

2) Nomor naskah

270 Na

Tercantum pada cover luar naskah.

Gambar 26. Nomor naskah pada cover depan naskah.

Pada katalog Nancy K. Florida Javanese Literature in Surakarta Manuscripts volume I tertulis dengan nomor katalog KS 412 / 270 Na.

3) Tempat penyimpanan naskah

(18)

4) Asal naskah

Belum diketahui secara pasti darimana naskah itu diperoleh, karena tidak ada keterangan apapun dari naskah mengenai asal naskah, hanya terdapat cap perpustakaan yang menunjukan kepemilikan bahwa naksah tersebut adalah milik Sasanapustaka.

Gambar 27. Cap perpustakaan pada naskah.

5) Keadaan naskah

Keadaan naskah baik, dan utuh. Artinya tidak ada satupun lembaran yang hilang maupun robek, serta tulisan masih dapat dibaca dengan jelas.

6) Ukuran naskah

Mengenai ukuran naskah akan didasarkan pada katalog Nancy K. Florida Javanese Literature in Surakarta Manuscripts volume I, hal dikarenakan peneliti tidak diperkenankan oleh petugas perpustakaan berhadapan langsung dengan naskah dengan alasan apapun, melainkan hanya diperbolehkan berhadapan dengan data berbentuk digitalnya.

Panjang naksah : 32,3 cm Lebar naskah : 20,6 cm

(19)

7) jumlah halaman

a) Jumlah halaman : 151 halaman

b) Satu lembaran kosong, yakni pada lembar pertama. 8) Jumlah rata-rata baris per halaman

rata-rata 35 baris pada tiap halaman

9) Huruf, aksara, tulisan

a) Aksara yang digunakan adalah aksara jawa carik (manuskrip) b) Ukuran huruf sedang

c) Bentuk huruf semi miji ketumbar, agak condong ke kanan (cursive Surakarta script).

d) Estetika bentuk tulisan sedang (hal ini didasarkan pada komparasi terhadap naskah lain dalam tempat koleksi yang sama ), tidak terlalu bagus dan tidak terlalu jelek.

e) Jarak antar huruf di halaman bagian awal sedang, namun pada halaman akhir jarak antar huruf mulai agak renggang, jarak antarbaris rapat (kurang konsisten).

f) Mayoritas bekas pena tidak membekas pada halaman disebaliknya (meskipun ada beberapa yang membekas di halaman bagian awal), karena kualitas kertas yang baik dan penekanan pena tidak terlalu keras sehingga tidak membekas pada halaman disebaliknya.

(20)

10)Cara penulisan :

a) Penulisan dilakukan dengan cara bolak balik yaitu lembaran naskah yang ditulis pada kedua halaman, muka dan belakang (rekto dan verso).

b) Penulisan dilakukan dari kiri ke kanan (seperti mayoritas naskah jawa) artinya teks ditulis sejajar dengan lebar lembaran naskah.

c) Bentuk tulisan jelas, dan mudah dibaca, namun kurang konsisten dalam mempertahankan keindahan tulisannya. Pada halaman bagian awal nampak bagus, namun ketika sudah memasuki halaman akhir jarak antar huruf mulai agak renggang dari sebelumnya dan sedikit kurang rapi dari sebelumnya.

d) Penggunaan sasmita têmbang pada setiap pergantian pupuh.

e) Awal penulisan ditandai dengan mandrawa pada bukan purwa pada sebagaimana lazimnya pada penulisan karya sastra Jawa baru umumnya.

Gambar 28. Mandrawapada sebagai penanda awal bait

f) Setiap akhir bait ditandai dengan penanda bait sebagai tanda pergantian bait tembang.

Gambar 29. Penada bait sebagai tanda tiap pergantian bait.

g) Disetiap pergantian pupuh tembang diberi tanda mandrawapada yang dihiasi dengan wêdanarênggan sederhana.

(21)

Gambar 30. Mandrawapada penanda pergantian tiap pupuh.

g) Akhir pupuh tetap menggunakan mandrawapada, bukan wasana pada sebagaimana mestinya.

Gambar 31. Mandrawapada digunakan sebagai penanda akhir pupuh.

h) Penomoran halaman ditulis dengan menggunakan angka Arab.

Gambar 32. Penomoran halaman naksah B menggunakan angka Arab.

i) Setiap pergantian bait terdapat penanda bait yang disertai angka Arab yang menandakan urutan bait.

Gambar 33. Penggunaan penanda bait disertai angka Arab.

11) Bahan naskah :

kertas bergaris (seperti folio), dan terdapat garis tipis sebagai garis bantu pada batas margin kiri dan kanan.

(22)

12) Bahasa teks :

Bahasa naskah yang digunakan adalah bahasa Jawa baru yang disisipi dengan kata-kata arkais.

13) Bentuk teks :

Bentuk teks puisi Jawa baru (Sekar Macapat/Sekar Alit) yang di dalamnya mencakup 36 pupuh tembang macapat, adapun perinciannya sebagai berikut:

(1) Asmaradana 20 bait, (2) Mijil 38 bait, (3) Asmaradana 31 bait, (4) Sinom 27 bait, (5) Dhandhanggula 31 bait, (6) Mijil 35 bait, (7) Dhandhanggula 29 bait, (8) Asmaradana 31 bait, (9) Pangkur 36 bait, (10) Sinom 27 bait, (11) Kinanthi 36 bait, (12) Asmaranada 31 bait, (13) Pangkur 31 bait, (14) Durma 37 bait, (15) Dhandhanggula 26 bait, (16) Asmaradana 32 bait, (17) Kinanthi 28 bait, (18) Pangkur 28 bait, (19) Durma 34 bait, (20) Pangkur 29 bait, (21)

Asmaradana 26 bait, (22) Durma 24 bait, (23) Pangkur 24 bait, (24) Durma

34 bait, (25) Asmaradana 33 bait, (26) Kinanhti 36 bait, (27) Sinom 30 bait, (28) Asmaradana 32 bait, (29) Sinom 28 bait, (30) Pocung 41 bait, (31) Kinanthi 33 bait, (32) Pangkur 31 bait, (33) Durma 34 bait, (34) Dhandhanggula 23 bait, (35) Sinom 28 Bait, (36) Asmaradana 33 bait.

14) Umur naskah :

Secara eksplisit tidak sama sekali tertera angka tahun yang menandakan waktu mulainya atau akhir dari penulisan naskah tersebut, serta tidak dijumpai kolofon apapun yang mungkin dapat dijadikan penanda waktu penulisan naskah tersebut. Namun Nancy K.

(23)

Florida dalam katalog Javanese Literature in Surakarta Manuscripts volume I mengatakan bahwa Sêrat Srikandhi Maguru Manah tersebut dikarang oleh R.Ng Sindusastra di Surakarta pada tahun 1883 (1993: hal. 229).

15) Pengarang / penyalin :

Pengarang SSMM adalah R.Ng Sindusastra, akan tetapi untuk penyalin/penulis naskah ini belum dapat diketahui secara pasti.

16) Asal-usul naskah :

Secara tekstual naskah, belum diketahui naskah tersebut disalin dari induk yang mana, serta siapa pemilik naskah tersebut sebelum pada akhirnya ditaruh di Perpustakaan Sasanapustaka.

17) Fungsi sosial naskah :

Sebagaimana isi daripada teks naskah, yang mengadung sebuah ceritera pewayangan Jawa yang dikutip dari induk ceritera dalam epos mahabarata, sudah barang tentu bahwa teks naskah ini sering dijadikan sebagai babon lakon atau sumber ceritera yang akan diangkat dalam sebuah pertunjukan wayang kulit ataupun wayang orang. Pada era sekarang, juga tidak sedikit ditemui sebuah karya-karya seni yang mengangkat judul Srikandhi Maguru Manah, seperti pertunjukan wayang orang dari goroup wayang orang Sriwedari Sala. Substansi dari pada teks juga sering dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam berbagai karya literer lainnya, seperti Pesona Wanita dalam Khasanah Pewayangan karya Sri Wintala Achmad.

(24)

18) Ikhtisar teks/ceritera:

Secara garis besar ikhtisar ceritera pada naskah B ini sama persis dengan naskah A, yakni menceriterakan tentang liku-liku kisah Asmara Srikandhi dengan Arjuna yang, dimulai keika pertemuan mereka di Dwaraka, dilamar oleh Prabu Jungkung Mardeya raja negara Paranggubarja, perginya Srikandhi dari keraton, pertandingan memanah antara Srikandhi dengan Rararsati, hingga pada pernikahan Arjuna dengan Srikandhi dan diboyongnya Srikandhi ke Madukara (selengkapnya lihat iktisar naskah A). Perbedaan ceritera hanya terdapat pada bagian akhir ceritera, karena pada naskah C tidak terdapat pupuh ke- 36, pada pupuh tersebut berisi tentang suasana di kasatrian Madukara ketika kedatangan Srikandhi sebagai tamu agung, selebihnya sama persis dengan naskah A.

c). Nasakah SSMM C

1) Judul naskah

Serat Cariyos Srikandhi Maguru Manah

Judul serat tersebut terdapat pada lembar tengah naskah, tepatnya terletak setelah ceritera Partakrama usai.

Gambar 34. Judul naskah C pada halaman tersendiri setelah ceritera sebelumnya (Partakrama) selesai.

(25)

Hal ini dikarenakan naskah tersebut nerupakan naskah bendel yang mana di dalam satu naskah terdapat dua judul sêrat. Naskah bendel ini berjudul Sêrat Partakrama dumugi Srikandhi Maguru Manah.

2) Nomor naskah

D 59b, terletak pada cover depan naskah.

Gambar 35. Nomor naskah C terdapat pada cover depan naskah.

Pada katalog Nancy K.Florida Javanese Literature in Surakarta Manuscripts, Volume 2 Manuscripts of the Mangkunegaran Palace tertulis dengan nomor katalog MN 436.2 / D59b.

3) Tempat penyimpanan naskah

Perpustakaan Reksapustaka Pura Mangkunegaran Surakarta.

4) Asal naskah

Sebagaimana informasi yang termuat pada kolofon yang terdapat pada lembar tambahan (satu lembar sendiri bukan satu kesatuan naskah) yang terselip pada lembar utama naskah yang menyatakan bahwa naskah ini dulunya kepunyaan

(26)

seorang Belanda bernama Ir. Moen, yang pada akhirnya naskah tersebut dihibahkan kepada pihak Perpustakaan Reksapustaka Pura Mangkunegaran Surakarta.

“Srikandhi Maguru Manah kagungan dalêm ugi wontên kirangipun. Kathah cariyosanipun Srikandhi Maguru Manah ingkang saking Tuwan Ir. Moen. Kalêtipun wiwit ing kaca purwaka – 106 (kaot 19 :ska)”…

Terjemahan: Srikandhi Maguru Manah milik beliau juga terdapat kekurangan. Banyak ceritera Srikandhi Maguru Manah yang dari Tuan Ir. Moen. Yang dimulai pada halaman pembuka sampai halaman 106

….

“Nuwun, ing sarèhning kagungan dalêm buku wau wontên kirangipun saking panimbangipun pangagênging Kantor Rêksapustaka, amrayogèkakên kapundhut”. Artinya: Terimakasih, dikarenakan buku milik beliau tadi terdapat kesalahan dari perimtimbangan pimpinan Kantor Reksapustaka, diharapkan dijadikan maklum.

5) Keadaan naskah

Keadaan naskah tidak cukup baik, naskah sudah mengalami suatu upaya pelestarian naskah yakni restorasi naskah. Kover naskah sudah direkover ulang, jilidan sudah terlepas, kertas sebagian sudah dilaminasi karena kertas banyak yang patah dikarenakan faktor pemakaian terdahulu dan faktor usia, terdapat beberapa huruf yang hilang dikarenakan kondisi tersebut.

6)Ukuran naskah

Panjang naksah : 29 cm Lebar naskah : 19 cm Tebal naskah : 5 cm

(27)

7) Ukuran teks

Panjang teks : 22 cm Lebar teks : 12 cm Margin atas teks : 3, 5 cm Margin bawah teks : 3, 5 cm Margin kanan rekto : 4, 5 cm Margin kiri rekto : 2, 5 cm Margin kanan verso : 2, 5 cm Margin kiri verso : 4, 5 cm

8) Jumlah halaman dan jumlah rata-rata baris tiap halaman

a) Jumlah halaman keseluruhan (satu naskah utuh) : 614 halaman + satu halaman keterangan dari petugas Perpustakaan Reksa Pustaka.

b) Jumlah halaman Serat Srikandhi Maguru Manah : 204 halaman. c) Jumlah rata-rata baris tiap halaman adalah 19 baris per halaman. 9) Huruf, aksara, tulisan

a) Aksara yang digunakan adalah aksara jawa carik (manuskrip) b) Ukuran huruf sedang

c) Bentuk huruf semi miji ketumbar, agak condong ke kanan. d) Keadaan teks jelas, dan mudah dibaca.

e) Jarak antar huruf sedang. f) Jarak antar baris renggang.

(28)

g) Mayoritas bekas pena tidak membekas pada halaman disebaliknya, dikarenakan penekanan pena tidak terlalu keras sehingga tidak membekas pada halaman disebaliknya.

10)Cara penulisan :

a) Penulisan dilakukan dengan cara bolak balik yaitu lembaran naskah yang ditulis pada kedua halaman, muka dan belakang (recto dan verso).

b) Penulisan dilakukan dari kiri ke kanan (seperti mayoritas naskah jawa) artinya teks ditulis sejajar dengan lebar lembaran naskah.

c) model dan bentuk tulisan konsisten dari awal hingga akhir penulisan termasuk kerapian dan keindahan dalam penulisan setiap hurufnya.

d) Penggunaan sasmita têmbang pada setiap pergantian pupuh. e) Awal penulisan ditandai dengan purwapada.

Gamabar 36. Purwapada penanda awal penulisan

h) Tiap pergantian bait diberi tanda pembatas bait yang disertai dengan angka Arab sebagai penanda pergantian bait sekaligus penomoran urutan bait.

Gambar 37. Penada bait disertai angka Arab sebagai tanda tiap pergantian bait.

(29)

i) Pada setiap pergantian pupuh tembang diberi tanda mandrawapada yang dihiasi wêdanarênggan sederhana, dan disertai angka Arab sebagai penomoran pupuh.

Gambar 38. Mandrawapada disertai angka Arab pada tiap pergantian pupuh

i) Akhir pupuh menggunakan wasanapada dengan style yang berbeda (berdasarkan pada perbandingan teks jawa klasik pada umumnya) yakni tidak menggunakan aksara swara “i” melainkan menggunakan sandhangan “wulu”.

Gambar 39. Bentuk wasanapada yang berbeda pada akhir pupuh.

j) Penomoran halaman ditulis dengan menggunakan angka Arab

Gambar 40. Penomoran halaman naskah menggunakan angka Arab.

11) Bahan naskah :

kertas dluwang sebagimana kertas asli dari Indonesia yang digunakan sebagai media penulisan pada era Jawa klasik.

(30)

12) Bahasa teks :

Bahasa naskah yang digunakan adalah bahasa Jawa Baru, yang disisipi kata arkais seperti puisi Jawa klasik pada umumnya.

13) Bentuk teks :

Teks berbentuk puisi Jawa baru (Sekar Macapat/Sekar Alit) yang di dalamnya mencakup 37 pupuh tembang macapat, adapun perinciannya sebagai berikut:

(1) Asmaradana 20 bait, (2) Mijil 38 bait, (3) Asmaradana 31 bait, (4) Sinom 27 bait, (5) Dhandhanggula 31 bait, (6) Mijil 35 bait, (7) Dhandhanggula 25 bait, (8) Asmaradana 31 bait, (9) Pangkur 24 bait, (10) Sinom 27 bait, (11) Kinanthi 36 bait, (12) Asmaranada 31 bait, (13) Pangkur 31 bait, (14) Durma 37 bait, (15) Dhandhanggula 26 bait, (16) Asmaradana 32 bait, (17) Kinanthi 27 bait, (18) Pangkur 28 bait, (19) Durma 34 bait, (20) Pangkur 29 bait, (21) Asmaradana 26 bait, (22) Durma 24 bait, (23) Pangkur 24 bait, (24) Durma 34 bait, (25) Asmaradana 33 bait, (26) Kinanhti 36 bait, (27) Sinom 30 bait, (28) Asmaradana 29 bait, (29) Sinom 28 bait, (30) Pocung 41 bait, (31) Kinanthi 33 bait, (32) Pangkur 31 bait, (33) Durma 34 bait, (34) Dhandhanggula 23 bait, (35) Sinom 28 bait, (36) Asmaradana 33 bait, (37) Pocung 23 bait.

14) Umur naskah :

Secara eksplisit tidak sama sekali tertera angka tahun yang menandakan waktu mulainya atau akhir dari penulisan naskah tersebut, serta tidak dijumpai kolofon berupa sêngkalan ataupun sandiasma yang mungkin dapat dijadikan

(31)

penanda waktu penulisan naskah tersebut. Namun Nancy K. Florida dalam katalog Javanese Literature in Surakarta Manuscripts volume 2 mengatakan bahwa Serat Srikandhi Maguru Manah itu ditulis pada tahun 1899, mungkin asumsi Nancy berdasar pada gaya huruf khas naskah Yogyakarta (2000: 306).

15) Pengarang / penyalin :

Menurut katalog Nancy K. Florida Sêrat Srikandhi Maguru Manah dikarang oleh R.Ng Sindusastra di Surakarta. Akan tetapi pada data naskah sama sekali tidak tercantum nama pengarang maupun penyalinya (baik secara eksplisit maupun implisit).

16) Asal-usul naskah :

Tidak ditemukan kolofon ataupun petunjuk lainnya mengenai induk dari naskah ini (dari mana naskah ini disalin).

17) Fungsi sosial naskah :

Naskah ini merupakan naskah yang mengandung ceritera pewayangan Jawa, naskah ini diasumsikan sempat populer di zamannya, karena terbukti naskah ini diperbanyak, bukan hanya disalin secara manual, namun juga secara cetak. Hal ini menandakan naskah tersebut dulunya pernah populer, entah dalam kalangan sastrawan ataupun para praktisi kesenian khususnya pedalangan. Lakon/ ceritera ini juga sudah banyak dipentaskan pada panggung kesenian, entah dalam bentuk wayang kulit atau wayang orang.

(32)

18) Ikhtisar teks/ceritera :

Jalan ceritera maupun urutan pupuh pada naskah C sama persis dengan naskah A dan B (selengkapnya lihat iktisar nasah A). Letak perbedaan hanya terdapat pada pemotongan adegan, penulis naskah C banyak melakukan pemotongan adegan yang dirasanya tidak perlu ada, karena mungkin adegan tersebut dianggap tidak mempengaruhi esensi substansi ceritera. Naksah C memotong beberapa adegan dan menggantinya dengan sekelompok kalimat sebagai penyambung ceritera sebelum dengan sesudah adegan yang dipotong tersebut, sehingga terkesan tidak ada adegan yang hilang dan ceritera terus mengalir (lihat perbandingan bait). Akhir ceritera pun naskah C ini juga sama persis dengan akhir ceitera pada naskah A, oleh karena itulah naskah C ini dianggap masih dalam versi yang sama dengan naskah A maupun B.

2. Perbandingan Naskah

Sebagaimana yang telah tersebut pada bab sebelumnya, bahwa dalam rangka kritik teks harus terlebih dahulu melalui tahap perbandingan naskah, hal ini dikarenakan metode yang digunakan adalah legger atau sering disebut dengan istilah metode landasan. Metode landasan ini digunakan apabila salah satu dari objek penelitian disinyalir sebagai naskah terbaik dari pada naskah lainya yang sejenis dan seversi. Langkah kerja perbandingan naskah inilah yang sangat diperlukan guna menentukan salah satu naskah yang dijadikan sebagai naskah landasan atau dasar suntingan.

(33)

Perbandingan naskah pada penelitian kali ini, dilakukan dengan cara mengambil teks naskah dari sepuluh bait pertama, sepuluh bait tengah dan sepuluh bait akhir sebagai sempel data perbandingan. Perbandingan naskah dilakukan melalui tahapan perbandingan umur naskah, perbandingan bait, kelompok kata, kata per kata, dan bacaan. Hal ini dilakukan guna menemukan naskah yang paling baik sebagai dasar suntingan.

a. Perbandingan Umur Naskah

Perbandingan umur naskah dilakukan guna mengetahui ketuaan naskah, naskah yang tua biasanya disinyalir sebagi naskah yang lebih dekat dengan autograph, meskipun tidak mutlak demikian. Banyak ditemukan naskah yang muda akan tetapi mengandung teks yang tua dan lebih baik secara bacaan, dan diasumsi sebagai naskah yang lebih dekat dengan aslinya.

Umur naskah A belum dapat ditentukan secara pasti, dikarenakan tidak terdapat informasi yang akurat untuk dijadikan dasar penentuan kapan teks tersebut ditulis. Berdasarkan pada style huruf, huruf yang digunakan seperti model huruf yang digunakan oleh juru tulis keraton Kasunanan Surakarta pada masa pemerintahan PB X yang memerintah pada tahun 1839-1939 M, oleh karenanya naskah diasumsi disalin dari induknya sekitar tahun tersebut (Nancy K. Florida, 2012: 200).

Naksah B juga tidak dapat diperkirakan secara pasti mengenai waktu penulisan teks tersebut. Hal ini dikarenakan pada teks naskah tidak dijumpai sama sekali kolofon yang memberikan informasi mengenai waktu penulisan atau apapun yang dapat membantu menentukan umur naskah, selain itu adanya kendala mengenai

(34)

tidak diperbolehkannya peneliti berhadapan langsung dengan objek oleh petugas perpustakaan, sehingga tidak dapat diketahui ketuaan naskah ditinjau dari bahan naskahnya.

Umur naskah C diperkirakan ditulis pada tahun 1899 M, perkiraan ini didasarkan pada pendapat Nancy yang mengatakan bahwa naskah ditulis pada tahun tersebut (Nancy K Florida, 2000: 306).

Perbandingan angka tahun penulisan sebagai penentu ketuaan naskah akan disajikan dalam table berikut:

Tabel 1

Perbandingan Umur Naskah

Naskah A Naskah B Naskah C

±1893-1939 M - ±1899M

Pada data naskah A tidak sama sekali ditemukan informasi dari berbagai sumber (termasuk katalog) yang menginformasikan mengenai kepastian tahun penulisan teks naskah salinan tersebut, hanya diterangkan mengenai sumber salinan (babon) dari naskah tersebut, yang mana sumber arketip diasumsi sangat dekat dengan autograph.

(35)

Naskah B belum diketahui kapan waktu penulisannya, dikarenakan sama sekali tidak diperoleh informasi dari sumber manapun yang menginformasikan mengenai waktu penulisan naskah, hanya saja berdasarkan bentuk tulisannya yang khas keraton Surakarta (Cursive Surakarta Script) diasumsi naskah ini disalin dari induk yang sama dengan naskah A.

Naskah B secara pasti belum diketemukan kapan penulisan naskah tersebut, dikarenakan pada data naskah tidak disebutkan secara pasti kapan waktu penulisan teks naskah salinan tersebut, hanya tertuliskan mengenai asal naskah, yakni dari mana naskah tersebut berasal. Namun demikian, diperkirakan teks naskah disalin pada tahun 1899 yang mana perkiraan tersebut didasarkan pada pendapat Nancy pada katalognya (Nancy K. Florida, 2000: 306).

b. Perbandingan Urutan Pupuh dan Jumlah Bait

Terlebih dahulu untuk mempermudah perbedaan jumlah bait pada tiap-tiap naskah yang akan dijadikan sebagai objek pokok penelitian, dibuatkan tabel sebagai berikut:

(36)

Tabel 2

Perbandingan Urutan Pupuh dan Jumlah Bait pada Tiap Naskah No

Pupuh

Jenis Tembang Jumlah Bait Tiap-Tiap Naskah

A B C 1 Asmaradana 20 20 20 2 Mijil 38 38 38 3 Asmaradana 31 31 31 4 Sinom 27 27 27 5 Dhandhanggula 31 31 31 6 Mijil 35 35 35 7 Dhandhanggula 29 29 25 8 Asmaradana 31 31 31 9 Pangkur 36 36 24 10 Sinom 27 27 27 11 Kinanthi 36 36 36 12 Asmaradana 31 31 31 13 Pangkur 31 31 31 14 Durma 37 37 37

(37)

15 Dhandhanggula 26 26 26 16 Asmaradana 32 32 32 17 Kinanthi 29 28 27 18 Pangkur 28 28 28 19 Durma 34 34 34 20 Pangkur 29 29 29 21 Asmaradana 26 26 26 22 Durma 24 24 24 23 Pangkur 25 24 25 24 Durma 34 34 34 25 Asmaradama 33 33 33 26 Kinanthi 36 36 36 27 Sinom 30 30 30 28 Asmaradana 32 32 29 29 Sinom 28 28 28 30 Pocung 41 41 41 31 Kinanthi 33 33 33 32 Pangkur 31 31 31

(38)

33 Durma 34 34 34 34 Dhandhanggula 23 23 23 35 Sinom 28 28 28 36 Asmaradana 33 33 33 37 Pocung 23 - 23 Jumlah 37 36 37 Keterangan :

…: perbedaan jumlah bait pada naskah B.

… : perbedaan jumlah bait pada naskah C.

- : bait tembang tidak ada

Berdasarkan tabel perbandingan di atas, dapat diketahui berbagai penyimpangan yang mencolok dari jumlah bait pada masing-masing pupuh, serta perbedaan jumlah pupuh dari tiap-tiap naskah. Perbedan-perbedaan tersebut antara lain (1) perbedaan jumlah pupuh pada naskah A, B, dan C. Naskah A = C, sedangkan naskah B ≠ A dan C. Disamping itu juga terdapat perbedaan lainnya yaitu (2) perbedaan jumlah bait pada naskah A yang terjadi pada urutan bait ke 11 dan 32, nasakh B perbedaan terjadi pada urutan bait ke 17 dan 23, pada naskah C terdapat banyak perbedaan kuantitas bait yakni pada urutan bait ke 7, 9, 17 dan 28.

(39)

c. Perbandingan Bait

Selanjutnya adalah perbandingan isi naskah yang diawali dengan perbandingan bait terlebih dahulu. Sebelumnya pada tabel I telah ditampilkan beberapa pupuh yang berbeda pada tiap-tiap naskah, yakni pada pupuh ke-7, 9, 11, 17, 23, 28, 32, dan 37. Secara lebih terperinci perbedaan-perbedaan jumlah bait pada tiap-tiap pupuh tersebut ditampilkan pada tabel berikut:

Tabel 3

Perbandingan Bait pada Pupuh ke- 7 Tembang Dhandhanggula

Bait ke- Naskah A Naskah B Naskah C

1 V V V 2 V V V 3 V V V 4 V V V 5 V V V 6 V V V 7 V V V 8 V V V

(40)

9 V V V 10 V V V 11 V V V 12 V V V 13 V V V 14 V V - 15 V V - 16 V V - 17 V V - 18 V V V 19 V V V 20 V V V 21 V V V 22 V V V 23 V V V 24 V V V

(41)

25 V V V

26 V V V

27 V V V

28 V V V

29 V V V

Melalui table 3 perbandingan bait pada pupuh 7 di atas, nampak perbedaan jumlah bait naskah C dibandingkan dengan naskah A dan B, naskah A dan B berjumlah 29 bait, sedangkan naskah C berjumlah 25 bait saja. Perbedaan tersebut sebenarnya terjadi pada bait 5 (lima) sampai dengan bait ke- 17 (tujuh belas), isi dari teks pada bait-bait tersebutlah yang mengakibatkan perbedaan jumlah bait, teks tidak hilang dan ceriteranya pun tidak terputus, dalam artian terjadi sebuah penyederhaan ceritera namun tidak menghilangkan esensi dari pada ceritera itu sendiri. Pada bait ke- 5-17, penulis naskah C lebih memadatkan ceritera, dengan menggunakan kosa kata yang berbeda dan mengurangi beberapa adegan akan tetapi ceritera berujung pada titik temu yang sama, seperti contoh pada naskah A dan B bait lima dan enam yang tertulis sebagai berikut:

5. Sang kusuma alon anauri/ kula bibi wong sajaban kitha/ padesan pinggir alase/ anguruh kadang sêpuh/ nguni wontên ing Dwarawati/ suwita amawongan/ mangkya wartinipun/ umiring mring Madukara/ ing gustine kusuma Banoncinawi/ kagarwa Dyan Janaka//

(42)

6. Kula bibi pan dèrèng udani/ Madukara pundi prênahira/ kang darbe bango saure/ pan wus cêlak nakingsun/ lurung ingkang ngidul puniki/ têrusan Madukara/ marga gêng jumujug/ anjog Taman Maduganda/ pan ing mangke Kusuma Banoncinawi/ sampun ambabar putra//

Sebagai teks pembanding ialah bait lima pada naskah C yang tertulis sebagai berikut:

5. Sang kusuma angandika aris/ lah ta bibi ingsun atêtanya/ wong agung Madukarane/ lah apa karyanipun/ anèng dalêm garwanirèki/ matur ingkang tinanya/ gustiku sang bagus/ wong agung ing Madukara/ kalangênan lan garwa putra puniki1/ sawêg ambabar anyar//

Pada naskah A dan B adegan pertemuan antara Srikandhi dengan Mbok Nganten diwarnai dengan pertanyaan yang kompleks hingga dua bait tembang, akan tetapi pada naskah C, adegan tersebut hanya tercakup dalam satu bait tembang saja. Meskipun pertanyaan yang disodorkan Srikandhi kepada mbok bakul dalam naskah A dan B berbeda dengan naskah C, akan tetapi esensi ceritera teteap sama, yakni menanyakan seputar kasatrian Madukara dan Raden Arjuna yang mana diselimuti kegembiraan atas kelahiran putra pertamanya yakni Angkawijaya.

Bait yang berbeda susunan kalimatnya akan tetapi masih tetap dalam satu esensi ceritera yang sama, terjadi pada naskah C ditulis pada bait 5-13, untuk memperjelas perbedaannya berikut ditampilkan bait tembang yang dimaksud:

1

(43)

Tabel 4

Perbandingan Susunan Kalimat Pada Pupuh ke- 7 Tembang Dhandahnggula

Bait ke- Naskah A dan B Bait ke- Naskah C 4

Lamun iku putraning narpati/ sang kusuma sayah lampahira/ rarywan pinggir lurung gedhe/ ngaub ana ing warung/ ingkang darbe bango lon angling/ ing riki den sakeca/ mbok ngantèn alungguh/ ing pundi wisma andika/ ayu anom têka lêlampah pribadi/ pundi ingkang sinêdya//

4

Lamun iku putraning narpati/ sang kusuma sayah lampahira/ rarywan pinggir lurung gedhe/ ngaub ana ing warung/ ingkang darbe bango lon angling/ ing riki den sakeca/ mbok ngantèn alungguh/ ing pundi wisma andika/ ayu anom têka lêlampah pribadi/ pundi ingkang sinêdya// 5

Sang kusuma alon anauri/ kula bibi wong sajaban kitha/

padesan pinggir alase/ anguruh kadang sêpuh/ nguni wontên ing Dwarawati/ suwita amawongan/ mangkya wartinipun/ umiring mring Madukara/ ing gustine kusuma Banoncinawi/ kagarwa dyan Janaka//

5 Sang kusuma angandika aris/ lah ta bibi ingsun atatanya/ wong agung Madukarane/ lah apa karyanipun/ anèng dalêm garwanirèki/ matur ingkang tinanya/ gustiku sang bagus/ wong agung ing Madukara/ kalangênan lan garwa putra puniki/ sawêg ambabar anyar//

6

Kula bibi pan dèrèng udani/ madukara pundi prênahira/ kang darbe bango sahure/ pan wus cêlak nakingsun/ lurung ingkang ngidul puniki/ têrusan madukara/ marga gêng

jumujug/ anjog taman

maduganda/ pan ing mangke kusuma Banoncinawi/ sampun ambabar putra//

6 Putranipun kalangkung apêkik/ cahyanipun anuksmèng sasangka/ Angkawijaya parabe/ ling malih sang rêtnayu/ wus kariya bibi sirèki/ laju sang rêtnaning dyah/ tan

kawarnèng ngênu/ wus Prapta ing Madukara/ nulya jujug kusuma Wara

(44)

Madukara//

7

Miyos kakung warnane apêkik/ sinung nama dyan

Angkawijaya/ puniki lurung kang ngalèr/ anjag ing dalêmipun/ satriya gung ing Jodhipati/ radèn Sadewa wetan/ de kilèn kadhatun/ dalême Radèn Nakula/ ari catur dalêm ngubêngi nagari/ pura madya Ngamarta//

7 Sapraptaning jroning tamansari/ juru taman tan ana uninga/ sang rêtna duk malêbune/ nulya

kusumaningrum/ mêthik sêkar ing taman sari/ jaluki sumarsana/ argulo nojèku/ kanikir wora-wari bang/ ambêlasah pinêthikan urut margi/ sagung kang

kêmbang-kêmbang//

8

Pan wong agung Madukara mangkin/ salamine kanggowa ambabar/ awis kundur mring dalême/ kêkuwu taman santun/ kalangênan lesan jêmparing/ sang rêtna duk miyarsa/ mèsêm ngandika rum/ nggih bibi bangêt tarima/ tuduh dika lah bibi kari ya laris/ sang dyah lajêng tumédhak//

8 Supayane sang rêtnaning rêtnaning putri/ mrih nêpsune kang darbe taman/ wong agung Madukarane/ nulya sang rêtnaningrum/ duk umiyat marang botrawi/ wus praptèng…7a./

…6u/…8a/ nèng botrawi ting kulacar ting kulicir/ mina gêng samya

ngambang//

9

Saking bangu anurut ing margi/ kang mangidul tan dangu lampahnya/ katon munggul gapurane/ pucuk mutyara mancur/ nawung sunaring surya kadi/ sasmita angenggalna/ sang dyah lampahipun/ wontên witing naga puspa/ ngapit kori pangira kanginan kadi/ angawe sang lir rêtna//

9 Eram mulat kacaryan ningali/ rêrênggane taman Madukara/ kadya Suwarga rakite/ urange runtung-runtung/ wadêr bange bayak ngulincir/ urang sapucang-pucang/ kutuknya

malumpuk/ kunêng sang rêtna nèng taman/ kawuwusa satriya

Madukarèki/ arsa têdhak mring taman//

(45)

10

Lampahira sang kusuma prapti/ lajêng manjing salêbêting taman/ pan maksih mênga korine/ sang dyah eram andulu/ rêrênggane kang taman sari/ sarwa mas lan sêsotya/ lir taman swarga gung/ bot rawi binale kambang/ sri kawuryan kêmbang-kêmbange ngubêngi/ kang samya jinêmbangan//

10 Sêmar Bagong wau kang umiring/ tan kawarna wus prapta ing taman/ satriya Dananjayane/ jroning taman wus rawuh/ amung Sêmar Bagong kang ngiring/ anèng ing jawi taman/ lawan sutanipun/ sami angampil woh-wohan/ Dananjaya wau sarêng aningali/ sagung kang kêmbang-kêmbang//

11

Eram mulat wêninging kang warih/ umbul mijil tuke saking sela/ udal andêdêl ganggênge/ urangi arêruntung/ wadêr bange bayak ngêbyaki/ ucêng sapucang-pucang/ kutuke anglumpuk/ urut lêbinging balumbang/ puspawarna sangkêp sawarnaning sari/ sru nilan sumarsana//

11 Sami rubuh balasah nèng siti/ kocar-kacir pan saurut marga/ kêkêmbangan sadayane/ rahadyan langkung bêndu/ sapa ingkang angrusak iki/ iya têka mêjana/ mring

sariraningsun/ sapa wonge ingkang karya/ amêthiki kakêmbangan urut margi/ apa warnane baya//

12

Nêdhêng panjrah ingkang sarwa sari/ kamarutan

gandanya mrik ngambar/ sang dyah ayêm ingtyas rèrèh/ kataman maruta rum/ midêr mêthik kang sarwa sari/ kang samya jinêmbangan/ satêpining ranu/ karsanya sang lir

kusuma/ marma dangu ngayêmkên sarira dingin/ nadyan mangke marêkta//

12 Laju sarwi angandika aris/ yèn lananga iya kang mêjana/ sun tugêl-tugêl gulune/ tan lêga ing tyas ingsun/ yèn wadona ingsun kauli/ sun kungkung pitung dina/ iya pitung dalu/ anèng sajroning paprêman/

Dananjaya sarêng wau aningali/ marang putri Cêmpala//

13

Mring sang Parta manawa wus aring/ dene juru taman kalih wêlas/ kang nyiram

pêpêthètane/ lawan ingkang angangsu/ datan wontên ngaruh-aruhi/ kinandêlkên kewala/ sang dyah solahipun/

13 Dene iku kangbok dèwi Ratih/ kang mêthiki

kêmbang urut marga/ nora kêjamah anggêpe/ angrusak taman santun/ mêjanani marang ing mami/ sang rêtna pinarpêkan/ wus cêlak nggènipun/ marang putri ing

(46)

denira angambil sêkar/ nyana lamun parêkan dinutèng gusti/ angundhuh

kêmbang-kêmbang//

Cêmpala/ Dananjaya ningali dèrèng anggalih/ lamun putri cêpala//

14

Marma datan ana kang

malangi/ ing sasolahira sang lir rêtna/ denya angalap sêkare/ wauta kang winuwus/ radyan Dananjaya marêngi/ tedhak marang ing taman/ kang umiring namung/ ki lurah Bagong lan Sêmar/ pan gumêdêr gêguyon samargi-margi/ sang dyah kagyat miyarsa//

-

15

Gugup minggah marang ing botrawi/ saklèbatan sang parta tumingal/ wanudya têmah ciptane/ apa ta sibok ayu/ dewi ratih prapta ing ngriki/ wus sabêne mangkana/ yèn tuwi anjujug/ jroning botrawi kewala/ gya sang parta ngubêngi kêmbang sarya ngling/ mirungu kang umpêtan//

-

16

Sapa iki kang angalap sari/ kocar-kacir kaliwat mêjana/ mèt nora nêmbung kang duwe/ kaya pawarnanipun/ yèn wanodya punagi mami/ sun kungkung pitung dina/ ana ing jinêmrum/ hèh Sêmar Bagong kariya/ anèng jaba sadhela sun arsa guling/ ana ing Yasakambang//

-

17

Sang kusuma têtela miyarsi/ sang Arjuna dènira ngandika/ tambuh-tambuh ing solahe/

(47)

arsa medal kabutuh/ Dananjaya mêngakên kori/ sang dyah dheprok karuna/ anèng ngarsanipun/ jungkêl nutupi wadana/ Dananjaya ningali dèrèng andugi/ lamun putri cêmpala//

18

Maksih nyana lamun dèwi ratih/ sarwi gumujêng dènya ngandika/ hèh babo iki ta wonge/ kang ngrusak taman ingsun/ liwat saking amêjanani/ marang kang duwe taman/ yêkti kênèng ukum/ wus dadi punaginingwang/ ingsun kungkung nèng paprêman pitung bêngi/ sang dyah

sinambut sigra//

14 Maksih nyana lamun dèwi ratih/

sarwi gumujêng dènya ngandika/ hèh babo iki ta wonge/ kang ngrusak taman ingsun/ liwat saking amêjanani/ marang kang duwe taman/ yêkti kênèng ukum/ wus dadi punaginingwang/ ingsun kungkung nèng paprêman pitung bêngi/ sang dyah

sinambut sigra//

Berdasar pada table diatas, dapat dilihat bahwa adanya selisih empat bait antara naskah C berjumlah 25 bait dengan naskah A dan B berjumlah 29 bait, dikarenakan mulai bait ke- 5 sampai dengan 17 oleh penulis naskah C ceritera dirangkum hanya dalam sembilan bait saja (bait 5-13 pada teks cetak tebal), sedangkan naskah A dan B ceritera ditulis dalam tiga belas bait (bait 5-17 pada teks cetak tebal), sehingga terjadi selisih empat bait pada jumlah bait pupuh ke-7 tersebut.

Selanjutnya adalah perbandingan bait ke- 9 tembang Pangkur yang mana juga mengalami perbedaan jumlah bait antara naskah C dengan naskah B dan C. perbedaan tersebut ditampilkan pada tabel berikut:

(48)

Tabel 5

Perbandingan bait pada pupuh ke- 9, bait tembang Pangkur

Bait ke- Naskah A Naskah B Naskah C

1 V V V 2 V V V 3 V V V 4 V V V 5 V V V 6 V V V 7 V V V 8 V V V 9 V V V 10 V V V 11 V V V 12 V V V 13 V V V

(49)

14 V V V 15 V V V 16 V V V 17 V V V 18 V V V 19 V V V 20 V V - 21 V V - 22 V V - 23 V V - 24 V V - 25 V V - 26 V V - 27 V V - 28 V V - 29 V V -

(50)

30 V V - 31 V V - 32 V V V 33 V V V 34 V V V 35 V V V 36 V V V

Kasus yang terjadi pada pupuh ke- 9 ini hampir sama dengan pupuh 7 di atas. Pada pupuh ke- 9 ini, ada beberapa adegan yang dihilangkan oleh penulis naskah C, disinyalir penulis naskah C menganggap adegan tersebut tidak begitu penting sehingga dihilangkan. Kutipan dua bait teks (bait ke- 18 dan 19) sebagai penyambung ceritera sebagai berikut:

18. Antara samadya candra/ dènira nèng Madukara sang putri/ langkung rêpit tingkahipun/ sanadyan wadyanira/ Madukara sadaya apan dèrèng wruh/ anyana gustine samya/ iya tapa kang sayêkti//

19. anèng sajrone ing taman/ wadyanira datan ana udani/ kunêng wau kang winuwus/ ingkang lumampah kuma/ sabanira pramèswari Ngamartèku/ wus prapta ing Madukara/ momor sagung para cèthi//

Pada naskah A dan B (lihat suntingan teks), konflik ceritera mengalami sedikit pengembangan, dimulai dari bait ke- 19-31 terdapat percakapan antara Rarasati

(51)

dengan Sembadra, yang mana Rarasati menggosipkan Arjuna yang sedang tapa nendra di taman kasatriyan Madukara ditemani dengan Srikandhi dan melakukan hal yang tidak senonoh disertai sendau gurau lainya. Nampaknya penulis naskah C menganggap hal itu tidak begitu penting, peristiwa yang ditulis sepanjang 13 (tigas belas) bait itu ditiadakan, diganti dengan dua bait tembang saja, yakni pada bait ke sembilan belas dan dua baris bagian akhir pada bait ke delapan belas sebagai jembatan penyambung ceritera dari ceritera sebelumnya menuju setelahnya tanpa merusak jalannya ceritera.

Tabel 6

Perbandingan Bait Pupuh ke- 17, tembang Kinanthi.

Bait ke- Naskah A Naskah B Naskah C

1 V V V 2 V V V 3 V V V 4 V V V 5 V V V 6 V V V 7 V V V

(52)

8 V V V 9 V V V 10 V V V 11 V V V 12 V V V 13 V V V 14 V V V 15 V V V 16 V - - 17 V V - 18 V V V 19 V V V 20 V V V 21 V V V 22 V V V 23 V V V

(53)

24 V V V

25 V V V

26 V V V

27 V V V

28 V V V

Perbedaan jumlah bait pada pupuh ke- 17 tembang Kinanthi ini terjadi pada bait ke- 16 dan 17. Naskah B tidak mempunyai bait ke- 17 dan naskah C tidak mempunya bait ke- 16 dan 17.

Berikut ditampilkan empat bait, yang mana dua dari bait tersebut merupakan bait ke- 16 dan 17.

15. Narendra Krêsna andhêku/ pan inggih sami basuki/ paman aji lampah kula/ mring Cêmpala pan tinuding/ ing putra Tuwan Ngamarta/ ngaturkên[…91] lêpatirèki//

16. Miwah pêjah gêsangipun/ putra tuwan pun Prêmadi/ kurêbêna ing abahan/ dadosa tontonan nagri/ putra tuwan ing Ngamarta/ sumangga ing asta kalih//

17. Botên ing grantês sarambut/ suka lila lair batin/ saking sangêt merangira/ putra puwan yayi aji/ Ngamarta dhatêng paduka/ mèh kêdhik arinirèki//

18. Pun Dananjaya pukulun/ dipuntélasi pribadi/ dene sangêt dènya karya/ saru-saruning praja di/ pocapan kang tan sayogya/ kapyarsa liyan nagari//

(54)

Bait tembang yang dicetak tebal di atas merupakan bait tembang yang di maksud sebagai bait yang tidak ada pada naskah C. Pada bait-bait tersebut berisi kalimat-kalimat penegas penyesalan Yudhistira atas perbuatan adiknya si Arjuna. Bait tersebut dirasa harus ada, mengingat watak Yudhistira raja agung yang selalu menjunjung tinggi nilai kejujuran dan keadilan, melihat kelakuan adiknya yang melanggar norma seorang kesatria negara maka pantaslah untuk dihukum setimpal dengan kesalahan yang diperbuat. Sehingga, apabila kedua bait tersebut dhilangkan dirasa kurang mengena pada penggambaran watak seorang Yudhistira.

Selanjutnya adalah perbandingan bait pada pupuh ke- 23, tembang Pangkur. Pada pupuh ini terjadi perbedaan kuantitas bait antara naskah B dengan naskah A dan naskah C. Berikut akan ditampilkan table untuk mempermudah dalam mengetahui letak perbedaan tersebut

Tabel 7

Perbandingan Bait pada Pupuh ke- 23 Tembang Pangkur.

Bait ke- Naskah A Naskah B Naskah C

1 V V V

2 V V V

3 V V V

(55)

5 V V V 6 V V V 7 V V V 8 V V V 9 V V V 10 V V V 11 V V V 12 V V V 13 V V V 14 V V V 15 V - V 16 V V V 17 V V V 18 V V V 19 V V V 20 V V V

(56)

21 V V V

22 V V V

23 V V V

24 V V V

25 V V V

Terjadi kekurangan jumlah bait pada naskah B pupuh ke- 23, kekurangan ini diakibatkan karena hilangnya satu bait tembang yakni urutan bait ke-15. Berikut kutipan bait tembang yang dimaksud:

5. Ingkang padha ling-ulingan/ hèh ta bapa kabèh prajurit mati/ mêngku têmpuh ing prang pupuh/ dèn ajêg barisira/ aja owah mung sun pundhut surakipun/ sira bae dèn waspada/ patih sandika tur nèki//

6. […121] sang prabu ngêtap ratanya/ gumrit nêngah gêbyar-gêbyar tulya sri/ rêganing rata mas murub/ kataman diwangkara/ prabawaning makutha muncar ngênguwung/ pan sarwi ngiwa gandhewa/ èndhong pamungkasing tandhing//

7. Pantês wanguning prabawa/ asêmbada pêkike sri bupati/ sri Krêsna mulat

lingnya rum/ hèh yayi mungsuhira/ sida ngajak mungkasi ing aprang pupuh/ iya wus nêngahkên rata/ lah yayi dèn ngati-ati//

Bait tembang yang ditebalkan merupakan bait tembang yang tidak dimilliki oleh naskah B. Hilangnya satu bait tembang ini bukan dari faktor kesengajaan, karena dilihat dari segi isi, ketiga bait tersebut saling berkaitan antara satu dengan lainnya, sehingga apabila salah satu dari bait-bait tersebut hilang dirasa ceritera tidak utuh dan runtut, oleh karena itu hal ini memang dianggap sebagai kelalaian penyalin naskah,

(57)

bukan karena penyalin dengan sengaja ingin menghilangkan bait tersebut karena dirasa tidak penting.

Perbandingan selanjutnya adalah perbandingan jumlah bait pada pupuh ke- 28. Terjadi perbedaan kuantitas bait yang cukup banyak, antara naskah C dengan naskah A dan naskah B. adapun perinciaanya akan ditampilkan pada table perbandingan berikut:

Tabel 8

Perbandingan Bait pada Pupuh ke- 28 Tembang Asmaradana.

Bait ke- Naskah A Naskah B Naskah C

1 V V V 2 V V V 3 V V V 4 V V V 5 V V V 6 V V V 7 V V V 8 V V V

(58)

9 V V V 10 V V V 11 V V V 12 V V V 13 V V V 14 V V V 15 V V V 16 V V V 17 V V V 18 V V V 19 V V V 20 V V V 21 V V V 22 V V V 23 V V - 24 V V -

(59)

25 V V - 26 V V V 27 V V V 28 V V V 29 V V V 30 V V V 31 V V V 32 V V V

Kasus yang terjadi pada pupuh 28 ini hampir sama dengan kasus yang terjadi pada pupuh ke- 7, terdapat beberapa adegan yang dihilangkan serta adanya beberapa kalimat baru, akan tetepi ceritera berujung pada titik temu yang sama serta penggunaan konvensi tembang dan kalimat yang sama pula. Berikut ditampilkan perbedaan dari pernyataan yang dimaksut, sebagai contoh dari naskah A dimuai dari bait ke- 18 hingga bait ke- 26, sedangkan naskah C dari bait ke- 18 hingga 23:

(60)

Tabel 9

Perbandingan Susunan Kalimat Pada Pupuh yang Sama

Bait ke- Naskah A Bait ke- Naskah C

18 Kapan nggonmu anjêmparing/

nggepok gandhewa kewala/ durung tau saêjêge/ mangka putri ing Cêmpala/ nguni lamun mêmanah/ kang kinarya lesan rambut/ anggêr wruh prênahe kêna//

18 Kapan nggonmu anjêmparing/

nggepok gandhewa kewala/ durung tau saêjêge/ mangka putri ing Cêmpala/ nguni lamun mêmanah/ kang kinarya lesan rambut/ anggêr wruh prênahe kêna//

19 Miwah manah dhoging pêking/ sipat katon bae kêna/ nora luput pangarahe/ samêngko pasthi sangsaya/ wuwuh awas wasisnya/ sanadyan ingsun kang muruk/ rumasa yèn wus kasoran//

19 Mèsêm nikèn Rarasati/ dyan Parta maringi sigra/ gandhewa lan jêmparinge/ karsanira kinèn nyoba/ Rarasati tur nêmbah/ mbok sampun tanggêl pukulun/ inggih lesanipun pisan//

20 Têkarsa sira ayoni/ dêstun si wong tanpa ngrasa/ dhêmên gawe wiranging ngong/

Rarasati aturira/ inggih yêktos kawula/ dèrèng nate asinau/ ananging manah kawula//

20 Rema lan terong gêlathik/ dhoging pêking pinasangan/ pan kawula salamine/ sapisan dèrèng tumingal/ gèn tuwan lesan liyan/ inggih namung lesan rambut/ terong lan dhoging kukila//

21 Kadi-kadi yèn kadugi/ ulah sanjata mung kadya/ putri ing Cémpala bae/ Dananjaya sru

21 Sang Parta ngêmpus sarya ngling/ ewa têmên sun miyarsa/ ing ature si mêngkono/ lesane

(61)

anyêntak/ pintêrmu saka ngapa/ yèn nora lawan winuruk/

Rarasati aturira//

nulya pinasang/ terong gêlathik lawan/ tiganing pêking

ginantung/ rema pinasang nèng têngah

22 Inggih dèrèng anglampahi/ winulang nanging kawula/ asring ngintip sayêktine/ nggèn tuwan mulang nyanjata/

dhatêng putri Cêmpala/ wontên ing taman rumuhun/ manah kawula kaduga//

22 Sinami longkangirèki/ terong lan doging kukila/ angapit rema ênggone/ nikèn Rarasati nulya/ ngewahi lungguhira/ rêspati pangêmbatipun/ gandhewa pamawasira//

23 Rakite dènya jêmparing/ panyêpêngirèng gandhewa/ miwah ta ing pamawase/ kaduga lamun nelada/ mring rakite kang mulang/ Dananjaya sigra mundhut/ jêmparing lawan gandhewa//

-

24 Sun dêlênge si kumini/

tandange dènya amanah/ dene lipat kumênèse/ lah iya iki gandhewa/ lawan panah manaha/ arahên wit randhu iku/ samana apa ta kêna//

-

25 Mèsêm nikèn Rarasati/ denya nampèni gandhewa/ sarta lawan jêmparinge/ kêndhênge sampun pinasang/ ngewahi lungguhira/ rêspati

pangêmbatipun/ gandhewa mawas sanjata//

Gambar

Gambar 13. Judul naskah dengan huruf latin kapital oleh petugas museum.
Gambar 15. Cap lama dan cap baru musem terdapat pada halaman pertama naskah.
Gambar 16. Cap lama pada halaman 1 naskah.
Gambar  17.  Tampilan  naskah  dari  muka  serta  bagian  lembar  naskah  yang  direstorasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

It also attempts to identify whether the economy experienced positive deindustrialization (i.e., showed signs of economic maturity where service sector substituted the role

Belajar sosial unsur utamanya adalah pengamatan (mengamati model) dan peniruan. Dari pengamatan dilanjutkan dengan proses peniruan model. b) Tingkah laku model boleh dipelajari

tentang Perlindungan K"nsumen, K"nsumen dide*inisikan sebagai “Setiap "rang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan

Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Materi Membandingkan dan Mengurutkan Pecahan di K elas IV SD GKST Hanggira”pada Volume 5 No 11 mampu meningkatkan hasil belajar

Walaupun saat ini evaluasi terhadap strategi perusahaan dapat dilihat secara kualitatif, seperti kelengkapan, konsistensi internal, rasional dan relevansi), namun

1) Secara vertikal, prinsip penalaran yang digunakan adalah derogasi yaitu, menolak suatu aturan yang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, yaitu: Undang-Undang Dasar

dikeluhkan oleh 67 mahasiswa yang mengisi kuesioner survey awal bahwa pelayanan pemeliharan smartphone Samsung miliknya lambatnya pelayanan yang dilakukan service

Menjalani bisnis ebay sebagai reseller, yaitu kita menjual kembali produk yang telah dijual oleh perusahaan lain (dropshipper), sehingga kita tidak perlu memiliki