• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hidayat Nataatmadja Dan Dekolonisasi Pemikiran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hidayat Nataatmadja Dan Dekolonisasi Pemikiran"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

LANSKAP

| Jl. Jati No. 50 B Sambilegi Baru RT 01/RW 53, Maguwoharjo, Yogyakarta 55281 Telp. +62.817.660.5082, Faks. 0274-566171 e-mail: melanjutkan.indonesia@gmail.com

dengan nasib negerinya. Jadi, Ekonomi Pancasila... bukanlah kapitalisme atau sosialisme yang diubah sedikit-sedikit...

2010

30 Tahun Ekonomi Pancasila

Dari Karsa ke Filsafat,

dari Filsafat ke Ilmu

Hidayat Nataatmadja dan Dekolonisasi Pemikiran

Tarli Nugroho

(2)

Dari Karsa ke Filsafat,

dari Filsafat ke Ilmu

Hidayat Nataatmadja dan Dekolonisasi Pemikiran

*

Tarli Nugroho

Lembaga Analisis Sosial & Kajian Ekonomi Politik,

Yogyakarta; Anggota Dewan Pengurus Mubyarto Institute dan Peneliti Ekonomi di Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM

Bagi generasi yang dilahirkan pada dan sesudah dekade 1980-an, Hidayat Nataatmadja (lahir 1932) adalah nama yang mungkin “hampir tidak mungkin dikenal”. Keberadaannya sangat sulit ditelusuri, bukan hanya dalam risalah-risalah yang terbit di lingkungan ilmu ekonomi—tempat dimana ia berkiprah secara profesional, melainkan juga di belantara filsafat, dimana sebagian besar buah pikirnya tertanam. Agaknya, apa yang pernah dikeluhkan Kuntowijoyo (1943-2005) terbukti benar adanya, bahwa sejarah kesarjanaan kita selalu berjalan terputus-putus, lupa untuk “mengakumulasikan” dirinya.1 Keterputusan itu terus-menerus bersambung

salah satunya dikarenakan para sarjana kita masih memelihara keengganan untuk saling mendengar dan belajar. Sehingga, kerja-kerja di masa yang telah lampau akan selalu silap ditenggelamkan waktu, di-nol-kan kembali, karena setiap generasi yang muncul belakangan lebih suka merayakan kegelisahannya sendiri, tanpa merasa perlu menautkannya dengan pencapaian di kelampauan.

Sulitnya menelusuri jejak Hidayat dalam banyak risalah yang pernah terbit di sini membuktikannya. Kuntowijoyo sendiri termasuk salah satu dari

*Tulisan ini merupakan salah satu Kata Pengantar untuk buku Hidayat Nataatmadja,Melampaui

Mitos & Logos: Pemikiran ke Arah Ekonomi-Baru (Yogyakarta: LANSKAP, 2007). Kata Pengantar

lainnya ditulis oleh Sri-Edi Swasono (Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia), Revrisond Baswir (Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada), dan Mahmud Thoha (Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).

1 Kuntowijoyo, “Integrasi Sains Sosial dengan Nilai-nilai Islam: Sebuah Upaya Perintisan”,

makalah dalam Seminar “Islam in ASEAN’s Institution of Higher Learning II: Islam & Social Science” di

Universitas Kebangsaan Malaysia, 10-13 November 1990. Dimuat kembali dalam Kuntowijoyo,

(3)

beberapa orang saja sarjana kita yang pernah membahas dan menyebut hasil kerja Hidayat. Selainnya, dan barangkali yang paling banyak, tentu saja adalah Mubyarto (1938-2005),2satu dari sedikit ekonom Yogya yang sering

diaku Hidayat sebagai karibnya (nama lain yang kerap disebut adalah Ace Partadiredja [1935-2002], keduanya kebetulan sama-sama mahaguru di Universitas Gadjah Mada).3

Hilangnya nama Hidayat dari literatur keilmuan kita, seandainya tetap dibiarkan demikian, tentu saja adalah sebuah kecerobohan besar. Dari tak kurang enam belas buku tebal-tebal karangannya, serta berbagai tulisan lainnya yang tersebar baik sebagai semacam monografi,4 makalah seminar,

atau dalam berbagai bunga rampai dan jurnal, Hidayat adalah salah satu dari sedikit pemikir yang membangun sistem gagasannya secara utuh.5 Ia,

misalnya, tak hanya mengkritik dan—meminjam istilah Tempo—mencabik-cabik filsafat (Barat),6 melainkan mencoba merumuskan secara terstruktur

landasan berpikir baru “penggantinya”. Dalam karya-karya Hidayat pula rasanya pengertian berfilosofi bisa kita tapis arti sesungguhnya, dimana bagi sarjana kita lainnya praktik ini telah melorot menjadi sekadar “mempelajari filsafat”.

Oleh karena itu, tentu saja menarik untuk memeriksa kenapa karya-karya Hidayat bisa punah—atau hampir punah—begitu mudah, terluputkan dari pencatatan hikayat keilmuan di tanah air. Sketsa ini secara umum tidak akan membahas seluruh bangunan pikiran Hidayat—yang sebagiannya telah juga disinggung dalam pengantar lain yang dimuat buku ini—melainkan terutama untuk mencoba mencari bingkainya: dalam semesta yang bagaimana gagasan-gagasan Hidayat telah dikemukakan dan dirasa cukup

2Meski cukup banyak disebut dalam karangan-karangan Mubyarto, karya Hidayat yang sering

dirujuk umumnya terbatas pada bukuPemikiran ke Arah Ekonomi Humanistik (1984) yang memang

lebih bersifat teknis-ekonomi. Ketika Mubyarto berhasil mendirikan Pusat Studi Ekonomi Pancasila di UGM (2002), Hidayat termasuk salah satu tokoh yang pernah diundang untuk memberikan ceramah di pusat studi tersebut. Sejauh yang bisa ditelusuri, buku lain yang umpamanya pernah menyinggung nama Hidayat adalah karangan A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran tentang Pancasila (Jakarta: CSIS, 1985); Arief Budiman, Sistem Perekonomian Pancasila dan Ideologi Ilmu Sosial di Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1989); Save M. Dagun, Sosio Ekonomi: Analisis Eksistensi Kapitalisme dan Sosialisme (Jakarta: Rineka Cipta, 1992); serta karangan Kepala Pusat

Penelitian Ekonomi LIPI, Mahmud Thoha, Paradigma Baru Ilmu Pengetahuan Sosial & Humaniora

(Bandung: Teraju, 2004). Buku yang disebut terakhir mungkin satu-satunya buku yang pernah terbit yang telah menilai gagasan Hidayat sebagai “faktor penting” dalam alam filsafat negeri kita.

3Ace Partadiredja adalah salah satu penganut ekonomi kelembagaan (institutional economics) dan

ekonomi moral. Dia menamatkan pendidikan doktoral dalam bidang ekonomi pertanian di Universitas Wisconsin, tempat dimana John R. Commons (1862-1945), salah satu pemikir utama mazhab ekonomi kelembagaan, menjadi pengajar. Pada pidato pengukuhannya sebagai guru besar Fakultas Ekonomi UGM, 23 Mei 1981, Profesor Ace membawakan topik “Ekonomika Etik”.

4Di antaranyaLandasan Filsafat Ilmu Pengetahuan Keperiadaan (1978), yang volume tiganya saja lebih

dari 300-an halaman.

5Dengan tanpa memperhatikan kualifikasinya sekalipun, keutuhan kerangka pikirnya tersebut

adalah sebuah kelangkaan tersendiri dalam tradisi kesarjanaan kita yang sepenuhnya menghambakan diri sebagai epigon tradisi kesarjanaan Barat.

(4)

penting untuk disimak. Dari telaah atas karya-karyanya, paling tidak ada dua semesta pembicaraan yang merupakan frame penting untuk menjelaskan gagasan-gagasannya, yaitu belantara keindonesiaan dan belantara filsafat. Keduanya sebenarnya bersifat saling kait-mengait, namun untuk memudahkan akan coba diurai satu-persatu. Sketsa ini akan mengawalinya dari frame belantara Indonesia.

Kurungan Historisisme

“Hidup kita adalah kutipan dari hidup orang Barat; suara kita adalah kumandang Eropa; kita ini yang seharusnya seorang intelek tidak boleh lebih daripada sebuah tas penuh keterangan-keterangan; dalam jiwa kita ada kekosongan, hingga kita tidak sanggup untuk meresapkan apa-apa yang indah dan bernilai.” (Ki Hadjar Dewantara)7

Seandainya Indonesia adalah sebuah “akibat”, di manakah titik tolak yang bisa diandaikan menjadi “sebab” dari mana perbincangan mengenai keindonesiaan berawal mula? Pertanyaan ini, dari banyak kemungkinan jawaban yang telah dan dapat dikemukakan, pertama-tama ternyata lebih banyak dikaitkan dengan persoalan “historisisme” ketimbang kemungkinan lainnya. Dan oleh karena didudukkan sebagai pertanyaan historik, meskipun

varian jawabannya bermacam-macam, jawaban-jawaban itu pada

kenyataannya hampir seragam: ia berada dalam buhul “kronologi-rentang-waktu” atau “sekuens-peristiwa”. Ya, pertanyaan mengenai “titik tolak”, atau “dari mana”, sebagaimana terdapat dalam pertanyaan di muka, memiliki kecenderungan kuat untuk selalu berasosiasi dengan imaji kronologi-waktu-peristiwa: ia adalah pertanyaan dalam dimensi historik, dan karenanya jawaban-jawabannya pun akan berupa seleksi atas titik-titik pendirian yang-mungkin dari sebuah rentang kejadian.

Seandainya pertanyaan di muka memang bersifat historik, maka titik keberangkatan favorit di mana perbincangan mengenai keindonesiaan memiliki kejelasan yang terang nampaknya adalah kolonialisme. Titik berupa bab tentang kolonialisme inilah yang nampaknya paling disukai sebagai semacam “awal mula” untuk memulai penjelasan mengenai Indonesia: babad Indonesia Modern pertama-tama adalah imbasan dari praktik kolonial, dan dari pertautan demikian itu kemudian banyak persoalan memintakan penjelasannya. Kolonialisme telah menjadi semacam ufuk-kemungkinan bagi bagaimana sebuah sejarah hari kemudian akan dicatatkan. Dan tentu saja, maksud yang dirujuk dari kolonialisme di sini adalah persinggungan kita dengan Eropa.

7Disampaikan dalam sebuah ceramah mengenai pendidikan di Yogyakarta, tertanggal Juli 1938.

Dimuat kembali dalam bunga rampai Karja Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan

(Yogyakarta: Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1962), hal. 52, translasi dengan EYD oleh penulis—TN.

(5)

Dalam kerangka ini pula nampaknya kita akan lebih jernih menilai Polemik Kebudayaan yang terjadi pada kuartal kedua abad ke-20 silam. Dalam polemik terdini dalam risalah kemodernan bangsa kita itu, dimana apa dan bagaimana keindonesiaan untuk pertama kalinya dirumuskan— sekaligus dipertengkarkan, jantung historisisme menyembur deras. Baik Takdir (Sutan Takdir Alisjahbana, STA) yang memproklamirkan dirinya sebagai “anak kandung kebudayaan dunia”, maupun Sanusi Pane dan kawan-kawannnya yang teguh menandaskan pertautannya dengan jiwa-jiwa yang melahirkan Borobudur, kedua kubu yang terlibat silat lidah itu sebenarnya sedang berbicara mengenai garis yang sama: sejarah sebagai sebuah kitab kejadian.

Kita ingat, Takdir mewakili generasi yang terlampau bersemangat dalam pertaliannya dengan Barat, sementara Sanusi Pane, Sutomo, Ki Hadjar Dewantara, dan lain-lain, meski di satu sisi mewakili kematangan pandangan yang mampu mendudukkan persoalan keadaban dan kebudayaan di tempat semestinya, tetapi di sisi lain mereka tidak mampu mengemukakan bentuk yang terang mengenai masa depan kebudayaan Indonesia sebagaimana dipacak Takdir.

Polemik tersebut awalnya disulut oleh tulisan Takdir yang menggugat historisisme dan memproklamirkan bahwa Indonesia tidak menjadi persambungan atas masa lalu yang dinamainya prae-Indonesia.8 Menurut

Takdir, semangat ke-Indonesia-an merupakan ciptaan abad kedua puluh yang ditandai oleh kelahiran generasi baru Nusantara yang dengan sadar memilih suatu jalan baru bagi bangsa dan negerinya. Semangat itu merupakan sesuatu yang baru, baik isi maupun bentuknya, dan tidak bersangkut paut dengan jiwa-jiwa yang melahirkan Borobudur. Periode sebelum abad kedua puluh disebutnya sebagai zaman jahiliah ke-Indonesia-an, yang hanya mengenal sejarah Mataram, Aceh, ataupun VOC.9

Apa yang dikemukakan Takdir, meski tulisannya itu lebih didominasi oleh retorika ketimbang sebuah denotasi yang jernih, telah melontarkan dua hal penting pada titik ketika semangat keindonesiaan masih mencari-cari alasan. Pertama, Takdir telah mengajukan pertanyaan yang tajam mengenai logika persambungan masanya dengan masa silam. Sebagaimana dituliskannya secara implisit (karena silap dalam retorika gugatan) dalam tulisan pertamanya yang menyulut polemik, atau dalam tanggapan-tanggapannya yang lahir kemudian, dia tidak mengingkari persambungan kronologis Indonesia abad kedua puluh dengan prae-Indonesia, tetapi Indonesia yang sedang merumuskan dirinya itu tidak boleh dianggap sebagai sambungan atau terusan yang biasa dari kesilaman.10 Takdir mampu 8 Sutan Takdir Alisjahbana, “Menudju Masjarakat dan Kebudajaan Baru:

Indonesia—Prae-Indonesia” dalam Achdiat K. Mihardja, Polemik Kebudajaan (Jakarta: Perpustakaan Perguruan

Kementerian PP dan K, 1954, cetakan ketiga). Selanjutnya, kutipan mengenai tulisan-tulisan yang terlibat dalam polemik tersebut dikutip dari kumpulan karangan yang disusun Achdiat tersebut.

9Mihardja,Ibid., hal. 13-15. 10Ibid., hal. 15, 27-28, 31.

(6)

menangkap keotentikan semangat Indonesia yang sedang mencari bentuk itu, yang dilihatnya berbeda dan bahkan belum pernah ada pada masa sebelumnya. Sehingga, persambungan kronologis—sebagaimana kemudian dituliskan Sanusi Pane dalam tanggapannya—itu tak ada kaitannya sama sekali dengan eksistensi ide keindonesiaan yang dalam kediriannya merupakan bentuk keterputusan dari masa lalu.

Kedua, berangkat dari gugatannya terhadap persambungan kronologis tadi, Takdir memancangkan sebuah visi kebudayaan (yang menurutnya lebih dinamis dan progresif), dan visi itu menurutnya tidak dicari di keagungan masa lalu—seperti pada masa kejayaan Sriwijaya atau Majapahit, melainkan harus sebuah visi dalam bentuknya yang baru, modern.

Dua pokok perkara tadi, yang menjadi ruh dari keseluruhan tulisan Takdir untuk Polemik Kebudayaan, sebenarnya bisa diringkus menjadi “bagaimana menafsirkan eksistensi ke-Indonesia-an dalam tautannya dengan Dunia Awal dan persinggungannya dengan Barat”, serta perkara “visi bagaimana yang layak untuk diperjuangkan ke depannya untuk membentuk Indonesia yang baru itu”.

Sanusi Pane, yang menjadi penanggap pertama tulisan Takdir, mengemukakan ketidaksepakatannya atas pendapat mengenai eksistensi ke-Indonesia-an yang terlepas dari masa lalu dengan penegasan bahwa yang seharusnya dipersoalkan Takdir adalah bagaimana memperbarui kebudayaan agar sesuai dengan perkembangan kebangsaan abad kedua puluh.11 Retorika Takdir agaknya telah memancing para penanggap (tak

hanya Sanusi Pane) untuk pertama-tama mengkonversi retorika tersebut ke dalam premis-premis lalu mengkritik susunan logikanya. Cara yang demikian membuat beberapa kritik kemudian terjebak pada pengulangan-pengulangan sebelum lari ke inti persoalan. Bahkan, Takdir sendiri dalam tanggapan baliknya tak urung terjebak pada klarifikasi atas retorika-retorikanya terdahulu.

Dalam tulisan yang sama, setelah menguraikan kelebihan dan kekurangan baik kebudayaan Barat maupun Timur, Sanusi Pane mengajukan bahwa haluan yang sempurna adalah dengan menyatukan keduanya. Dia menyebutnya sebagai penyatuan antara Faust dengan Arjuna.12 Manusia

Barat, dalam tinjauan Sanusi Pane, lebih mengutamakan aspek jasmani dan mengabaikan aspek rohani. Akalnya didayagunakan untuk menaklukan alam dengan jalan menguasai ilmu pengetahuan, tak berbeda dengan Faust, karakter ciptaan Goethe,13 yang berani mengorbankan jiwanya demi

mencicipi kenikmatan ilmu pengetahuan. Sementara itu, manusia di Timur lebih mementingkan rohani ketimbang jasmani. Akalnya dipakai guna mencari jalan untuk menyatu dengan alam, seperti layaknya Arjuna yang

11Ibid., hal. 21-22. 12Ibid., hal. 24.

13Goethe menulis Faust pada 1790. Dikisahkan Faust nekad mengontrakkan jiwanya selama 24

tahun kepada setan Mephistopheles untuk “sekadar” memperoleh secuil kebahagiaan ilmu pengetahuan yang kebetulan didagangkan sang setan secara kontrakkan.

(7)

bertapa di Indrakila. Ke arah penyatuan itulah, menurut Sanusi Pane, kebudayaan Indonesia harus pergi. Jadi, bukan dengan mengubah dasar kebudayaan sebagaimana yang ditadaruskan Takdir, melainkan dengan memperluasnya, alias mengawinkan Barat dengan Timur.14

Selain Sanusi Pane, ada beberapa tokoh lainnya yang mengkritik pandangan Takdir mengenai bagaimana seharusnya menautkan diri dengan Barat. Mereka adalah Purbatjaraka, Sutomo, Adinegoro, M. Amir, Tjindar Bumi, dan Ki Hadjar Dewantara. Masing-masing mengemukakan pendapat yang pada prinsipnya kurang lebih sama dengan Sanusi Pane. Secara keseluruhan, mereka berusaha mendudukkan soal Timur dan Barat dalam kerangka “sebagaimana adanya”, penilaian yang “kurang-lebih”, atau meminjam kalimat yang dipakai Sanusi Pane, “kedua-duanya sama belum hidup dengan cara yang sebaiknya”.15

Ditinjau dari sudut kematangan pandangan dan kejernihan analisis, mereka yang tak bersepakat dengan Takdir memang lebih mampu menghadirkan “kewajaran” dalam tulisannya. Mereka bisa menerangkan duduk perkara secara jelas dengan referensi lebih luas dan pengetahuan yang lebih dalam ketimbang Takdir yang, meminjam Subagio, sekadar menang dalam “kefasihan berbahasa Indonesia” dan “kegigihan berargumentasi”.16 Sayangnya, kedalaman pandangan itulah yang justeru

membuat mereka berkutat terus-menerus dalam conventional wisdom dan abai menanggapi visi kebudayaan Takdir. Anjuran agar jangan mabuk kebudayaan kuno tetapi di sisi lain jangan juga mabuk kebudayaan Barat, sebagaimana disampaikan Purbatjaraka,17 pada dasarnya tidak

menyampaikan visi kebudayaan apapun, kecuali anjuran normatif yang dalam kederasan arus perubahan yang terjadi pada dekade 1930-an bersifat netral belaka.

Dalam polemik tersebut bisa kita lihat, meski uraian-uraian Adinegoro, Sutomo, Ki Hadjar, dan M. Amir berhasil memperjelas banyak miskonsepsi dalam tulisan-tulisan Takdir, tapi uraian-uraian itu tidak mengandung penegasan yang sepadan dengan pernyataan Takdir yang demikian terang mengenai gagasan keindonesiaan: bahwa Indonesia harus meninggalkan kultur Hindu yang tidak progresif dan merengkuh Barat yang sedang berjaya. Takdir memilih bahwa persinggungan dengan Barat menjadi titik perpisahan dengan kebudayaan prae-Indonesia, dan untuk selanjutnya ke-Indonesia-an menautkan dirinya ke sana. Sebaliknya, Sanusi Pane dan tokoh-tokoh sepuh memilih bahwa titik referensial ke-Indonesia-an haruslah mencakup ke zaman prae-Indonesia itu.

Secara keseluruhan, jejak Polemik Kebudayaan memang mengerak pada perkara historisisme, dimana gagasan mengenai Timur dan Barat banyak

14Mihardja,op.cit. 15Mihardja,Ibid., hal. 29.

16 Subagio Sastrowardoyo, Pengarang Indonesia sebagai Manusia Perbatasan: Seberkas Catatan

Sastra (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hal. 69.

(8)

didominasi oleh kesan-kronologis. Dalam perjalanannya, pendirian Takdir agaknya lebih mampu memancing dukungan dan tampil di hadapan publik ketimbang pendirian para pengkritiknya. Dalam periodisasi kesusastraan, pendirian Takdir—yang merupakan pentolan angkatan Pujangga Baru, meninggalkan jejak yang jelas hingga ke beberapa angkatan sesudahnya, yaitu Angkatan ’45 dan angkatan 1960-an. Jejak itu terlihat, misalnya, pada tonggak pernyataan yang menandai angkatan yang lahir belakangan, yaitu

“Surat Kepercayaan Gelanggang” (Angkatan ’45) dan “Manifes

Kebudayaan”—yang meskipun turut dibidani H.B. Yasin, tapi bisa dianggap menyuarakan pandangan para sastrawan muda angkatan 1960-an.

Dalam pertautannya dengan buhul historisisme itulah, terutama maksudnya lewat persinggungan dengan Eropa (baca: kolonialisme) sebagai titik referensi, wajah keindonesiaan ditata dan dilahirkan.

Lahirnya Hibriditas

Meski Takdir memulai provokasinya lewat gugatan terhadap historisisme, tapi tampaknya prosais avant garde ini tak menyadari kalau

pendirian-pendirian yang kemudian dikemukakannya justru

menenggelamkannya ke palung historisisme yang lain. Ketika ia menolak pertautan dengan prae-Indonesia, Takdir melemparkan pendirian yang jenial mengenai bagaimana gagasan tentang Indonesia harus menautkan diri dengan masa silamnya. Pertautan Indonesia abad ke-20 dengan zaman prae-Indonesia hanyalah pertautan kronologis dan bukannya pertautan gagasan. Sebab, sebagai sebuah gagasan, Indonesia adalah gagasan baru yang otentik, ciptaan abad ke-20, meskipun sebagai bab kejadian, ia menjadi kelanjutan dari prae-Indonesia. Dengan membuat distingsi antara “otentisitas-gagasan” dan “kronologi-waktu-peristiwa”, Takdir sedang berusaha membongkar romantisisme dalam imaji kesejarahan Indonesia sebagaimana, misalnya, menubuh secara kuat dalam karya-karya sejarah Mohamad Yamin.

Sebagaimana kita tahu, Takdir adalah pentolan dari angkatan Pujangga Baru, yang menjadi tonggak modernitas dalam sejarah kesusastraan kita. Jika pada angkatan sebelumnya, yaitu Balai Pustaka, kesusastraan kita masih berkutat dengan “kedirian” dan “kesendiriannya”, yang berlara-lara, sentimentil, dan bersifat “Melayu”, maka Pujangga Baru menandai pergulatan yang intim para pengarang Indonesia dengan kesusastraan dunia, lengkap dengan ide-ide besarnya. Perubahan-perubahan yang demikian, terutama keintiman dengan ide-ide modernisasi, tentunya juga turut menyeret Takdir yang pada dekade 1930-an telah cukup eksis sebagai hamba kebudayaan.

Pembongkaran Takdir atas pertautan dengan masa silam yang romantik, misalnya sangat jelas terbaca dalam tulisan pertamanya yang menyulut polemik,

“Dalam masyarakat Indonesia akan terdapat bahagian-bahagian yang berasal dari masyarakat prae-Indonesia, meskipun bahagian-bahagian itu

(9)

akan mendapat arti yang lain, yang modern dan sesuai dengan semangat yang baru itu.”18

Dalam tulisan keduanya, setelah tulisannya yang pertama ditanggapi oleh Sanusi Pane, Takdir menerang-jelaskan apa yang dimaksudnya dengan perceraian Indonesia Modern dengan prae-Indonesia, sekaligus bagaimana seharusnya yang silam itu dipertautkan dengan otentisitas gagasan Indonesia di abad ke-20.

“Ke-Indonesiaan yang dimaksud oleh tuan Sns. Pn. (maksudnya Sanusi Pane—TN) sudah terdapat dalam zaman Mojopahit, Diponegoro dan Tengku Umar itu, ialah keindonesiaan menurut ahli-ahli bangsa, ke-Indonesiaan yang dimaksudnya itu ialah ke-ke-Indonesiaan yang tidak insyaf, ke-Indonesiaan yang terdapat juga di Filipina, di Malaka d.l.l.

Tetapi Indonesiaan yang saya ceraikan dari prae-Indonesia itu ialah ke-Indonesiaan yang sadar dan insyaf, yang lahir dalam abad kedua puluh ini. Ke-Indonesiaan seperti yang saya maksud ini sampai sekarang belum terdapat di Malaka d.l.l.”19

Pada titik-titik ini, Takdir masih mengemukakan pendapat jenial berkaitan dengan kedudukan masa silam dari sebuah gagasan baru. Terminologi “Indonesia Insyaf” dan “Indonesia Tidak Insyaf” secara konseptual sangat memadai untuk menjelaskan perbedaan kedudukan antara gagasan Indonesia yang sedang digubah di abad dua puluh, dengan “ke-Indonesia-an” sebagaimana yang (diidamkan) mungkin telah berkembang pada zaman Majapahit atau sebelumnya. Baginya, andaipun imaji mengenai “Indonesia”—mengenai sebuah nasion yang menyatukan Nusantara—telah ada di masa lalu, persambungannya dengan Indonesia abad kedua puluh hanyalah persambungan kronologis-waktu-peristiwa, bukan persambungan sebab-akibat. Jadi, imaji di masa lalu itu bukan merupakan sebab yang melahirkan bayi Indonesia, melainkan imaji yang cuma kebetulan mendahului belaka. Oleh karenanya, sebagaimana telah dituliskan Takdir, ia merupakan kategori Indonesia “yang tidak insyaf”, sebentuk penghayatan yang tidak disadari. Sebagai tokoh yang belakangan sangat dihormati dalam dunia filsafat, Takdir agaknya memahami benar kemungkinan terjadinya sesat pikir dalam urai-mengurai pertautan peristiwa semacam itu. Sebuah peristiwa A mendahului peristiwa B; belum tentu A merupakan penyebab B (Post Hoc Ergo Propter Hoc Fallacy).

Tapi “keinsyafan” Takdir sepertinya tidak terlalu konsisten dipertahankan. Sebab, Takdir kemudian mencangkokkan keinsyafannya itu ke Barat: ke haribaan Barat-lah kita harus mendakukan kultur Indonesia Modern.

18Mihardja, hal. 19. Susunan kalimat seperti aslinya, tapi huruf-huruf ditranslasikan ke EYD. 19Mihardja, hal. 27-28.

(10)

Setelah mengurai pendirian yang memikat mengenai kedudukan masa lalu—dan barangkali ini yang kemudian membuat kenapa gagasan Takdir cukup disegani oleh generasi setelahnya, Takdir menjadi limbung ketika harus merumuskan kedirian Indonesia setelah “ada”-nya. Dekonstruksinya terhadap persambungan ke masa silam itu—terhadap Filsafat India (baca: kultur Hinduisme) yang melenakan—ternyata tidak dilanjutkan dengan eksplorasi gagasan yang lebih jenial. Visi “Indonesia Futura” Takdir tersaruk pada kekinian yang banal, historisisme dan kelenaan yang lain: karena Barat memiliki kedigdayaan yang tidak kita miliki, kita harus minta tolong kepada kultur dan filsafat Barat untuk membentuk Indonesia yang sedang digagas. Persis pada titik inilah keinsyafan Takdir melorot menjadi kebingungan— lebih tepatnya kekacauan—epistemologis. Keinsyafan mengenai “aku yang melihat” sebagaimana awalnya diduga hendak dikemukakan Takdir, ternyata berubah menjadi “aku yang ingin ‘diperlihatkan’”. Pada titik ini pula Indonesia sebagaimana yang dibayangkan Takdir gagal merengkuh kediriannya lalu terperosok menjadi hibrid. Sebab, keinsyafan ke-Indonesia-an itu pada akhirnya harus tetap dilahirkke-Indonesia-an oleh Eropa. Kirke-Indonesia-anya ske-Indonesia-angat beralasan kenapa dalam bukunya yang telah menjadi klasik, Orientalism (1978), Edward Said perlu mencuplik Marx di halaman pembuka: “Mereka tidak bisa tampil sendiri; mereka harus ditampilkan.” Sebab persis di sanalah memang Si Liyan (baca: Timur) selalu terjerumus dan gagal melahirkan dirinya. Dalam kurungan besar hibriditas itu pula kita kini meringkuk.

Determinasi Waktu

Hibriditas sejatinya tidak mengabarkan denotasi apapun, selain hanya menunjukkan bahwa ia, si hibrid itu, adalah buah persilangan dari inang yang berlainan. Hanya saja, kehadiran Eropa agaknya memang berbeda dengan kehadiran peradaban-peradaban lain yang lebih dulu singgah di Nusantara. Eropa datang tak hanya membawa misi kebudayaan, termasuk di antaranya sabda Tuhan—sebuah praktik diaspora yang lazim terjadi, melainkan agenda penaklukan akal budi. Salah satu bab mahapenting dalam agenda penaklukan itu adalah kuasi subyek-obyek yang diangkut bersama bedil dan moncong meriam. Sejak itu pula hibriditas tak lagi dapat dicerna lewat denotasi yang gamblang.

Barat, demikian ditulis Said, secara intelektual memang telah menciptakan Timur. Penciptaan itu, tulisnya, bahkan telah dimulai sejak zaman Iliad. Dari naskah sandiwara Athena tertua yang bisa diketemukan, The Persians, karangan Aeschylus, sejak itu pula Asia telah dicatatkan sebagai “sedang berbicara melalui dan dalam kerangka imajinasi Eropa”.20Sandiwara

itu menukilkan ratapan orang-orang Persia atas kekalahan balatentara Xerxes, raja mereka, yang berhasil dipecundangi tentara Yunani. Bisa dianggap, lewat naskah itu, Eropa sedang memproklamirkan hak

20Edward Said,Orientalisme, diterjemahkan oleh Asep Hikmat (Bandung: Pustaka, 1994, cetakan

(11)

prerogatifnya untuk berbicara atas nama Asia—termasuk menyuarakan tangisnya—hak yang hanya mungkin sepenuhnya dimiliki Eropa dalam kedudukannya sebagai “pencipta tulen”, yang berkuasa untuk memberi kehidupan, menghidupkan kembali, atau menghancurkan segala sesuatu yang berada di luar garis batas geografi imajinatifnya. Timur memang adalah kenyataan dalam kediriannya, tapi dia harus dilahirkan lewat rahim pemikiran Eropa.

Sebagai obyek kolonialisme, menarik untuk mencermati dinamika yang terjadi di Amerika Latin. Sebagai obyek, mereka sepenuhnya menanggung keterciptaan, seperti halnya warga kolonial di jazirah Asia dan Afrika. “Kami adalah orang Eropa, walaupun bukan!” Kalimat ironik ini dilontarkan Octavio Paz, penyair terkemuka Amerika Latin, pada kuliah Nobel Kesusastraan tujuh belas tahun silam. Memang, sampai sebelum kedatangan para conquistadores yang menghancurkan kebudayaan Indian Pra-Kolombia, kebudayaan orang-orang kulit berwarna yang mendiami benua itu mungkin bisa disebut merupakan salah satu kebudayaan paling “murni” dalam sejarah peradaban manusia. Terisolir oleh himpitan dua samudera besar, sangat memungkinkan mereka untuk “bermula dan berakhir sebagai dirinya sendiri”.21 Tapi

kedatangan Eropa segera mengubah segala kelampauan itu menjadi artefak. Memang, perjumpaan lewat penaklukan selalu berarti pertautan yang secara bersamaan juga memisahkan. Dalam peta kala, Amerika Latin telah dipisahkan dari Dunia Lama-nya, tapi di sisi lain mereka tak bisa sepenuhnya menjadi Eropa. Itulah petaka yang senantiasa menguntit pergunjingan soal identitas. Lalu, ke manakah mereka harus menginduk? Mereka bergumam dalam bahasa Eropa, kesusastraan mereka juga dicetak dengan huruf yang diangkut oleh kapal-kapal Eropa, tapi kesemua-miripan itu tak menjadikan mereka Eropa. Mereka adalah tanaman yang sama, tapi sekaligus lain. Mereka adalah hibrida, cangkokan.

Tapi, dan ini barangkali yang membedakannya dengan jazirah kolonial lain, Amerika Latin cepat tersadar untuk segera berhenti menguntit Barat, menjadi bayang-bayang Eropa. Meski kuil-kuil dan dewa-dewa Meksiko Pra-Kolombia tinggal onggokan artefak, kata Paz, namun roh yang meniupkan kehidupan ke dunia itu belum punah; ia berbicara kepada mereka dalam bahasa hermetik: mitos, legenda, pelbagai bentuk ko-eksistensi sosial, seni rakyat, dan adat istiadat.22 Dan lewat bahasa hermetik itu Amerika Latin

diam-diam melakukan pemberontakan atas inangnya, Eropa. Benar kata Pablo Neruda, Spanyol boleh saja telah mengambil emas mereka, tapi mereka juga mendapatkan emas Eropa: kata-kata. Tidak heran, jika pemberontakan itu secara sengit kemudian, terutama, dikerjakan lewat kesusastraan.

21Lihat Nirwan Dewanto,Senjakala Kebudayaan (Yogyakarta: Bentang, 1996), hal. 142; dan Nirwan

Dewanto, “Mengolah Pinggiran: Jorge Luis Borges dan Khazanah Amerika Selatan”, kata pengantar untuk Jorge Luis Borges, Labirin Impian, terjemahan Hasif Amini (Yogyakarta: LKIS,

1999).

22“Pencarian Waktu Kini”, kuliah Nobel Kesusastraan 1990, dalam Octavio Paz, Puisi dan Esai

(12)

Dalam keterciptaan, mereka ibarat hidup dalam dunia “pasca-bahasa”: benda-benda telah diberi nama dan mereka tinggal mengimaninya. Pada keterciptaan semacam itu, yaitu ketika sejarah yang konkret sulit ditapis dari sejarah yang dinyatakan, untunglah mereka masih memiliki mitos sebagai penawar realisme-borjuis-Eropa. Dengan mementaskan kembali kekayaan seni rakyat, yang kembung dengan mitos, fantasi, dan mimpi, mereka sedang melancarkan serangan pada rasionalitas Barat. Nyatalah, dalam impitan kurungan hibriditas, fantasi memberi ruang strategis untuk memacak karsa kemerdekaan. Dan yang dimaksud dengan kemerdekaan bagi Amerika Latin tentu saja sangat gamblang: kebebasan dari nama-nama dan rumus-rumus yang diberikan Eropa, serta kebebasan sekaligus kegilaan untuk mencipta dan menafsir ulang seluruh warisan sejarah—baik yang ditinggalkan Eropa maupun artefak yang telah lama lantak.

Karsa untuk menciptakan sendiri dunia mereka, atau pemugaran hikayat yang telah lampau, di antaranya bisa kita baca dari puisi Borges dan tetalu novel Gabriel Garcia Marquez yang kesohor, Seratus Tahun Kesunyian (Cien Anos de Soledad, 1967):

Terberai di kota-kota berjauhan sendiri dan berlaksa

kita bermain sebagai Adam (atau Hawa)

memberi nama segala.

Di lereng panjang malam hari di tapal batas dini hari

kita mencari (masih kuingat) kata-kata untuk bulan, untuk maut, untuk pagi —Jorge Luis Borges23

Bertahun-tahun kemudian, ketika Kolonel Aureliano Buendia menghadapi regu tembak, ia terkenang akan sebuah sore yang jauh, tatkala ia bersama ayahnya menyaksikan es untuk pertama kali. Pada waktu itu Macondo adalah sebuah desa dengan dua puluh rumah batu, berada di tepi sungai teramat jernih yang dasarnya dihuni oleh batu-batu berwarna putih, berkilauan dan besar-besar seperti telur-telur zaman purba. Dunia seakan baru saja diciptakan sehingga segala sesuatu belum mempunyai nama, dan untuk menyebut suatu benda, orang harus langsung menunjuknya.24

23Dari Jorge Luis Borges,Labirin, op.cit.

24Gabriel Garcia Marquez,Seratus Tahun Kesunyian, terjemahan Helmi Mahadi dkk. (Yogyakarta:

Benteng Press, 2001), hal. 9. Ejaan dalam kutipan ini telah diperbaiki merujuk kutipan sejenis oleh Nirwan Dewanto,Senjakala, op.cit., hal. 140.

(13)

Menyimak Amerika Latin, lalu menilik lagi usulan Takdir untuk mendatangkan peradaban Barat sepenuh-penuhnya—lengkap dengan filsafat dan kebudayaannya—untuk merengkuh modernitas, nampak benar perbedaan itu.

“Maka telah sepatutnya pula alat untuk menimbulkan masyarakat yang dynamisch itu teristimewa teristimewa sekali kita cahari dinegeri yang dynamisch pula susunan masyarakatnya. Bangsa kita perlu alat-alat yang menjadikan negeri-negeri yang berkuasa didunia dewasa ini mencapai kebudayaannya yang tinggi seperti sekarang; Eropah, Amerika, Jepang.”25

Dalam pandangan Takdir, mengambil kebudayaan luar sebagai alat untuk menapaki kemajuan bukanlah sebuah kehinaan. Sebab, dengan menyebut kebudayaan Hindu dan Arab yang lebih dulu eksis, berarti ini bukan kali pertama kita melakukan itu. “Dan sekarang ini tiba waktunya kita mengarahkan mata kita ke-Barat,” demikian Takdir.

Setelah berhasil meloloskan diri dari masa silam dengan cantik, Takdir agaknya masih terlalu bersemangat, sehingga lupa untuk berdiri barang sejenak pada kekinian. Ia langsung melancong ke masa depan dan mendakwa kekinian sebagai “kurang individualis”, “kurang materialis”, dan “kurang egois”.26Apa yang dimaksud dengan “masa depan” tentunya tiada lain adalah

Barat. Dan dengan begitu, persis pada titik sebagaimana dikemukakan Takdir, Barat telah menjadi bukan lagi kategori geografis ataupun sosial dalam pengertiannya yang wajar, melainkan sebuah kategori waktu-superior: ia adalah masa depan dari kekinian yang tersebar di koloni-koloni. Ia adalah tempat kemana kita akan beranjak. Imaji waktu yang demikian, hadir tanpa ironi dalam tulisan-tulisan Takdir. Karena yang modern ada di luar sana, maka ia harus diimpor. Lalu dimulailah gerilya pengejaran terhadap modernitas.

Memang, kebaikan tak mengenal penjuru mata angin. Gagasan mengenai “Yang Baik” adalah mimpi manusia di segala zaman dan jazirah. Tapi pengejaran terhadap Barat sebagaimana terendus dari gagasan Takdir, lebih merupakan sebentuk ketersanderaan ketimbang proses pencarian yang dipandu akal budi. Sebabnya sederhana saja. Barat dianggap dan telah didudukkan sebagai referensi universal dalam tatanan hal-ihwal. Dan universalitas di sana tak ada kaitannya dengan gagasan Yang Baik sebagaimana diimani oleh anak manusia sejak zaman batu, melainkan, sebagaimana telah ditegaskan sebelumnya, sebentuk determinasi waktu:

25Mihardja, hal. 17.

26 Istilah-istilah ini tentu saja sepenuhnya digunakan Takdir sekadar untuk ikon bagi

konsep-konsep kemajuan, tidak dipergunakan dalam pengertiannya yang dangkal. Meskipun demikian, dalam proses mendudukkan konsep-konsep itu, Takdir “terlalu bersemangat”. Celah inilah yang dibidik para pengkritiknya, meskipun kritik mereka hanya sampai di sana, tidak memberikan tawaran yang sepadan dengan “tantangan Takdir”.

(14)

Barat adalah ukuran karena mereka lebih dulu merintis jalan sejarah pada garis dimana kita kini membebek di belakangnya.

Lantas, apakah modernitas itu?

Pertanyaan menyelidik ini sayangnya tidak dikemukan oleh Takdir. Adalah Octavio Paz yang melontarkannya. Dengan keinsyafan dan pengalaman Amerika Latin, Paz sampai pada simpulan bahwa modernitas sejatinya adalah istilah yang ambigu: ada banyak tipe modernitas sebanyak jumlah masyarakat.27 Ia adalah kata yang tidak jelas dan arbitrer,

sebagaimana juga nama periode yang mendahuluinya: Abad Pertengahan. Pertanyaannya, andaikan kita dianggap modern dibandingkan dengan zaman pertengahan, mungkinkah kita Abad Pertengahan dari modernitas masa depan? Apakah nama yang berubah seiring waktu adalah nama yang sesungguhnya? Apakah kita anak-anak modernitas, ataukah penciptanya?

Arus balik dari pertanyaan-pertanyaan itu cukup tegas, bahwa modernitas sejatinya adalah kata yang mencari makna, sebuah konsep yang minta dibentuk. Jelasnya, ia bukanlah sesuatu yang selesai dalam kediriannya. Perengkuhan atas modernitas, sebagaimana sudah dilakukan Amerika Latin, alih-alih menemukannya di luar, mereka justru menemukannya di dalam, terkubur namun hidup.

“Dalam ziarah mencari modernitas, saya tersesat di banyak tempat hanya untuk menemukan diri saya lagi. Saya kembali kepada sumber dan menemukan bahwa modernitas bukan di luar, tapi di dalam diri kita. Ia adalah hari ini dan kelampauan yang paling lampau; ia adalah kelak dan permulaan dunia; ia berumur ribuan tahun sekaligus belum lahir.”28

Pencarian modernitas dengan begitu akan mengingatkan kita pada dongeng tentang Santiago, sebagaimana ditlatahkan Paulo Coelho—seorang pengarang Brazil, dalam novelnya yang memikat, Sang Alkemis (O Alquimista, 1988). Pemuda Santiago dan harta karun yang diimpikannya—tepatnya harta karun yang minta ditemukan, sebagaimana dikabarkan mimpinya— sangat mirip dengan Amerika Latin dalam kemudaannya yang sedang menghasrati modernitas. Santiago muda membatalkan niatnya untuk menjadi pastur lantas memilih jadi penggembala domba sembari mendaras buku-buku. Kehidupannya sangat tenang sampai dia disinggahi mimpi itu berkali-kali: seseorang mengenalkannya pada Piramida Mesir lalu memberitahukan, kalau dia pergi ke sana maka ia akan menemukan harta terpendam. Santiago tak memiliki keyakinan yang cukup akan mimpi-mimpinya sampai dia berkenalan dengan seorang Moor yang mengaku sebagai raja dan menceritakan ihwal Legenda Pribadi. Legenda Pribadi adalah tentang apa yang selalu ingin kita tunaikan dan sekaligus satu-satunya kewajiban riil dari keberadaan kita di dunia, katanya. Sebuah provokasi yang memikat.

27Octavio Paz,Puisi, op.cit., hal. 134-37. 28Ibid., hal. 145.

(15)

Lalu berangkatlah Sang Penggembala menunaikan Legenda Pribadinya, meninggalkan Andalusia, juga domba-dombanya, dan puteri si penjual kain yang didambanya. Dia menyeberangi teluk, melintasi gurun, singgah di banyak tempat, untuk kemudian sampai ke Piramida. Dan dia menemukan kenyataan bahwa harta terpendam itu tak berada di bawah gurun pasir Mesir.

Salahkah mimpinya? Gagalkah Legenda Pribadinya?

Tentunya tidak. Santiago meninggalkan negerinya, menjugjug Mesir, untuk menemukan bahwa harta yang dicarinya ternyata berada di bawah pohon sikamor di samping gereja tua tempat dia biasa tertidur saat menggembala. Ya, harta yang diimpikan ternyata ada di kampung halamannya, bukan di jazirah Afrika. Ia ditakdirkan mengembara hanya untuk kembali. Barangkali, persis semacam itulah pencarian modernitas. Ia adalah sejenis perjalanan turun ke muasal, menggiring kita ke sumber awal mula, ke kedalaman kelampauan yang silap. Dan seperti halnya Santiago, barangkali setiap pendamba modernitas yang telah mengelana ke banyak tempat dalam dunia mental perlu untuk menegaskan kediriannya kembali, sebelum lupa, bahwa:

“Tak ada orang yang berasal dari banyak tempat. Aku ini gembala, dan aku pernah ke banyak tempat, tapi aku berasal dari satu tempat saja— dari sebuah kota dekat kastil kuno. Di sanalah aku lahir.”29

Dalam pernyataan Santiago itulah kekerabatan post-kolonial kita dengan Amerika Latin terputus. Amerika Latin telah menyatakan diri berhenti sebagai bayang-bayang, sehingga dengan penuh percaya diri, sebagaimana diwakili Paz, mereka bisa menyatakan bahwa Barat tengah menemukan apa yang sudah ditemukan Timur beberapa milenium silam, seperti juga Timur sedang menemukan sesuatu yang pertama kali ditemukan Barat.30Itu adalah

pernyataan mengenai pertemuan waktu, dimana Eropa tidak lagi menjadi masa depan bagi Amerika Latin. Amerika Latin telah menemukan waktu lain, yang selama ini tak diketahuinya, yaitu waktu asali: waktu kini, kehadiran. Mereka tidak lagi menguber-uber Eropa, karena baik Eropa maupun mereka, sama-sama berada dalam kekinian.

Sementara itu, sampai detik ini kita mungkin, baik dengan histeria ataupun diam-diam, masih saja berusaha mengejar Barat. Sayangnya, pengejaran itu, meminjam puisi Amir Hamzah, selalu bertukar tangkap dengan lepas. Barat adalah mimpi yang selalu melarikan diri setiap kali hendak direngkuh, serta bentuk yang selalu malih rupa begitu mau ditiru. Meminjam Octavio Paz, “ia di sini dan ia sudah lewat”.31Ada dan punah. Tapi

kita masih saja bersikeras mengejar Barat dan absurditas semacam itu

29Paulo Coelho,Sang Alkemis, terjemahan (Jakarta: Alvabet, 1999), hal. 22.

30Wawancara Octavio Paz, “Berpaling ke Timur: Barat di Akhir Sejarah (West Turns East at the End

of History)”, dimuat kembali oleh Horison, No. 1-2/XXIX, edisi Januari-Februari 1995, hal. 14.

(16)

tampaknya tak terlihat akan segera dimuseumkan. Jarum waktu kita dan Eropa masih belum dicocokan

Batin Indonesia

Setelah melawat ke Amerika Latin, ada baiknya kita mengingat kembali pertanyaan yang dilontarkan di awal tulisan ini: seandainya Indonesia adalah sebuah “akibat”, maka apakah yang bisa diandaikan sebagai “sebab”-nya— titik tolak dimana mata air Indonesia pertama kali menganak-sungai? Sebagaimana telah diuraikan, dalam Polemik Kebudayaan, baik Takdir maupun Sanusi Pane—serta lain-lainnya yang terlibat baku dalih, rumusan pertanyaan mengenai hal-ihwal Indonesia ini didudukkan sebagai pertanyaan historis, dimana kemungkinan jawabannya mengalir seturut sungai sejarah.

Untuk menyelidiki perkara ini, kita barangkali perlu menelaah lagi posisi pertanyaan tersebut, untuk memeriksa kalau-kalau duduk perkaranya tidak diletakkan secara tepat benar. Kita bisa mengawalinya dari pertanyaan: dalam dimensi apakah sebenarnya pertanyaan mengenai hal-ihwal itu berada?

Pertanyaan mengenai titik tolak, awal mula, adalah pertanyaan dasar yang berkaitan dengan eksistensi, hakikat keberadaan, pelacakan terhadap kodrat. Ia mengandaikan adanya sebuah penjelas yang menerangkan (explanans), bukan penjelas yang perlu diterangkan (explanandum). Dalam kaitannya dengan eksistensi, cakrawala historis sesungguhnya tidak memadai untuk dijadikan konteks penggeledahan. Pertanyaan mengenai hal-ihwal, dalam ruang historisisme, senantiasa akan menggiring kita pada jawaban-jawaban yang bersifat fragmentaris, partikular, padahal yang kita perlukan adalah jawaban paripurna. Oleh karenanya, kita memang memerlukan ruang lain.

Lantas, ruang apakah yang kita perlukan untuk menjawab pertanyaan mengenai hal-ihwal Indonesia?

Dengan keteguhan yang tak terbayangkan, Hidayat Nataatmadja menyodorkan hasil permenungannya: filsafat. Ya, pertanyaan mengenai hal-ihwal Indonesia adalah sebuah pertanyaan filsafat yang juga harus dijawab secara falsafi. Dan Hidayat tak hanya menyodorkan ruang kosong filsafat, melainkan sekaligus titik pusatnya: eling. Persis dari jantung ke-eling-an itulah karsa Indonesia dilahirkan, dan dari eling itu pula Hidayat memulai kerja intelektualnya—membangun landasan filsafat yang menurutnya sesuai dengan karsa keagamaan dan karsa keindonesiaan. Eling merupakan kata kunci untuk memahami bangunan gagasan Hidayat. Paling tidak, melalui konsep ini, Hidayat telah menyumbangkan dua khazanah penting: yaitu, pertama, ruang batin bagi bagaimana karsa Indonesia bertitik tolak dan akan menyusun bentuknya yang lebih lanjut; serta, kedua, sebuah landasan filsafat ilmu pengetahuan baru. Dua hal tersebut saling kait-mengait dan menguntit

(17)

keseluruhan karya Hidayat. Kita akan membahas pertautan keduanya mulai dari belantara filsafat.

Keluar dari Kemelut Kesangsian

Filsafat Barat modern, tak bisa dimungkiri, memulai telatahnya dari Descartes (1596-1650). Dalam arti tertentu, bahkan dapat disebutkan kalau seluruh bangunan filsafat modern bergumul dengan masalah-masalah yang gagasan pokoknya diintrodusir oleh filsuf Perancis tersebut. Tidak heran jika Hegel kemudian menyebut bahwa di tangan Descarteslah untuk pertama kalinya kedudukan otonom filsafat benar-benar dimulai. “Baru pada Descartes, dapat dikatakan, kita merasa kerasan. Seperti seorang pelaut yang sudah lama diombang-ambingkan gelora laut, di sini kita dapat berteriak ‘darat!’.”32

Sumbangan terbesar Descartes bagi filsafat adalah temuannya atas subyek. Dialah yang telah menemukan “aku”, sebuah fakta yang menjadi dasar keseluruhan bangunan filsafat Barat. Menurut Bertrand Russel, apa yang dikerjakan oleh Descartes merupakan rintisan bangunan filsafat baru, sesuatu yang tak pernah muncul sejak Aristoteles mentadaruskan gagasannya.33

Kenapa “aku” dianggap sebagai penemuan penting, dan kenapa pula ia disebut sebagai fakta dasariah? Dalam Discours de la Mèthode (1637), Descartes menyebut bahwa tidak ada fakta yang tak bisa dibantah dalam filsafat daripada kenyataan bahwa “saya yang berfilsafat menyadari diri saya sendiri”. Dengan begitu, ia mulai merintis jalur subyektivitas sebagai landasan filsafat.

Gagasan Descartes berangkat dari latar belakang ketidakpuasan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan pada zamannya. Segala sesuatu dipersoalkan oleh para ahli dan tak pernah ada kata sepakat. Tidak ada orang yang mengupayakan metode yang serasi untuk mencapai derajat kepastian ilmu yang memuaskan, terutama filsafat. Metode, sebagaimana tersurat dalam judul karyanya, memang menjadi kata kunci untuk memahami gagasan Descartes. Dan dia mengusulkan metode untuk menggali kepastian dari persembunyiannya, menemukan kebenaran yang tak mungkin disangkal, yaitu lewat “penyangsian metodis”, atau yang kini sering kita sebut sebagai “keraguan Cartesian”. Segala sesuatu disangsikan, sampai kita menemukan hal yang sedemikian pastinya sehingga tidak mungkin disangsikan kebenarannya.

Lantas, adakah kebenaran yang tak bisa disangsikan itu? Ada, jawab Descartes. Kebenaran yang tak bisa disangsikan adalah ada-nya aku. Aku

32Hegel, “Vorlesungen über die Geschichte der Philosophie”, sebagaimana disitir Martin Heidegger. Lihat

Kees Bertens, “Masalah ‘Dunia’ dalam Filsafat Manusia”, dalam Soerjanto Poespowardojo dan Kees bertens,Sekitar Manusia: Bunga Rampai tentang Filsafat Manusia (Jakarta: Gramedia, 1985), hal. 15.

33Bertrand Russel,A History of Western Philosophy (New York: Simon and Schuster, 1946), hal.

(18)

yang sedang menyangsikan, ada. Dan adanya aku tidak dapat disangsikan, seberapapun besarnya usaha untuk itu. Jika aku menyangsikan, mau tidak mau aku menyadari kalau akulah yang menyangsikan. Sehingga, dengan begitu, ketika aku menyangsikan keberadaan diriku, mau tidak mau aku ada. Dari sini lahirlah diktum Descartes yang terkenal, “cogito ergo sum”, yang secara harfiah berarti saya berpikir maka saya ada. Yang dimaksud dengan berpikir oleh Descartes sebenarnya adalah “menyadari”—dimana pernyataan tadi kemudian menjadi: saya sadar akan diri saya, maka saya ada. Hanya saja, karena keterbatasan kosakata dalam bahasa Latin dan Perancis pada waktu itu, kata yang merujuk pada konsep “menyadari” dan “kesadaran” belum digunakan.34

Hasrat untuk menemukan daratan, sebagaimana diistilahkan Hegel, dan keyakinan akan adanya titik perhentian bagi kesangsian, bukan hanya digelisahkan oleh Descartes. Kegelisahan serupa juga menjadi titik pangkal dari gagasan-gagasan Hidayat Nataatmadja. Sama seperti halnya Descartes yang pikiran-pikirannya sangat dipengaruhi oleh perkembangan sains pada

zamannya—terutama fisika dan astronomi—tapi dengan tetap

mempertahankan banyak hal dari tradisi skolastik,35 begitu pula dengan

Hidayat Nataatmadja. Pikiran Hidayat sangat dipengaruhi oleh minatnya yang besar terhadap fisika dan sains kontemporer, tetapi itu semua dilakukan dengan tanpa melepaskan pertautan dirinya dari tradisi kesarjanaan Islam klasik. Latar yang demikian, yaitu bahwa dia adalah seorang muslim yang dibesarkan di pedesaan Banten yang terkenal religius dan fanatik, serta latar pendidikan Barat yang ditempuhnya, sangat mempengaruhi corak pikiran bekas guru Fisika di Bogor ini. Dengan minat kesarjanaan yang merentang dari Al Ghazali hingga Einstein, dari Ihya Ulumiddin sampai mekanika kuantum, bisa dikatakan, bahwa pikiran Hidayat merupakan bentuk pertemuan antara tradisi kesarjanaan Islam klasik dengan sains dan filsafat Barat kontemporer. Dua tradisi kesarjanaan tersebut melebur sepenuhnya dalam gagasan-gagasan yang dilontarkan Hidayat.

Jika Descartes memulai pekerjaannya dengan mencari kebenaran yang tak bisa disangsikan, maka Hidayat juga menyelidiki pertanyaan yang sama. Tentu saja dia tidak perlu mengawali lagi semua itu dari ruang kosong, melainkan dengan memanfaatkan segala pemikiran yang pernah lahir. Salah satu gagasan yang dimanfaatkan untuk memulai usaha penyelidikannya adalah teorema Gödel yang menyatakan bahwa mustahil ilmu pengetahuan bisa membuktikan kebenaran dirinya sendiri. Kurt Gödel (1906-1978), seorang matematikawan Austria, pada 1931 mempublikasikan makalah

34 Poespowardojo dan Bertens,op.cit., hal. 17. Lihat catatan kaki nomor 10. Baca juga K. Bertens,

Filsafat Barat Kontemporer Jilid II (Jakarta: Gramedia, 2006), hal. 244.

35 Jorge Secada, Cartesian Metaphysics: The Scholastic Origins of Modern Philosophy

(19)

berisi gagasan yang kemudian membuatnya terkenal.36 Makalah tersebut

berisi penyelidikan perihal ada atau tidaknya kemungkinan suatu sistem apriori bisa menjadi lengkap. Gödel mempublikasikan makalah tersebut ketika Eropa sedang dilanda kegairahan untuk melakukan penyelidikan dasar (foundational research) pada semua disiplin ilmu. Pada waktu itu, penyelidikan mengenai aksioma mana yang bekerja sebagai landasan dari suatu teori dalam sains dan matematika menjadi pekerjaan banyak ilmuwan. Lewat makalahnya, Gödel mengemukakan simpulan mendasar berkaitan dengan sistem aksioma. Menurutnya, untuk sembarang sistem matematika selalu terdapat proposisi-proposisi yang tak dapat dibuktikan ataupun disangkal oleh aksioma yang digunakan oleh sistem tersebut. Secara partikular, konsistensi dari aksioma juga tidak dapat dibuktikan.37

Pendapat tersebut dikemukakan Gödel berdasarkan kerangka gagasan yang dibangun atas dua teorema. Pertama, setiap teori matematika yang memuat bilangan asli bersifat tidak lengkap (incomplete). Kedua, setiap teori tidak mengandung pembuktian atas konsistensinya sendiri; konsistensi suatu teori hanya bisa dibuktikan oleh teori yang lebih besar. Karena pembuktian konsistensi suatu teori selalu membutuhkan teori yang lebih besar, dan demikian berlaku seterusnya, maka diperlukan teori yang lebih besar dan lebih besar lagi hingga mencapai tak-hingga (nending sequence of ever-larger theories). Dengan kedua kerangka itu, secara matematis Gödel kemudian bisa membuktikan bahwa setiap sistem apriori tidak memiliki kemungkinan untuk bisa menjadi lengkap. Dengan kata lain, matematika tidak dapat diungkapkan secara tuntas dalam satu sistem formal manapun. Simpulan Gödel ini memupus keyakinan yang telah tertanam ratusan tahun bahwa matematika adalah obyek yang selesai pada kediriannya (finished object). Kita kini mengenal gagasan yang diintrodusir Gödel tersebut sebagai “Teorema Gödel”, atau secara lebih memadai disebut “Gödel Incompleteness Theorems”.

Implikasi dari gagasan tersebut bukan hanya merombak pandangan para ahli matematik, melainkan juga cecabang keilmuan lain. Dan yang jelas, gagasan tersebut mempengaruhi semesta cara pandang ihwal ilmu pengetahuan. Jika ilmu pengetahuan tidak bisa membuktikan kebenarannya sendiri, lantas apa yang bisa memberikan validasi bagi kebenaran ilmu

36 Gödel mempublikasikan makalahnya, Über Formal Unentscheidbare Satze der Principia

Mathematica und Verwandter Systeme (On Formally Undecidable Proposition of Principia Mathematica and Related Systems), pada usia 25 tahun, saat masih menjadi matematikawan di Universitas Wina. Makalah tersebut merupakan tonggak penting dalam sejarah logika modern, sekaligus membuat Gödel diundang untuk bergabung dalam Institute for Advanced Study di Princeton. Lihat misalnya David M. Burton, The History of Mathematics: An Introduction (Boston: McGraw-Hill, 1999), hal. 564-65. Lihat juga William P. Berlinghoff, Mathematics: The Art of Reason (Boston: D.C. Heath and Company, 1967), hal. 227.

(20)

pengetahuan? Dari sinilah Hidayat mulai memecah samudera tanda tanya dan menyusun gagasan-gagasannya.38

Mencari Ilmu Subyektif

Menurut Hidayat, manusia modern sering kali lupa bahwa landasan yang dijadikan dasar tempat manusia membangun ilmu pengetahuan adalah subyektivitas. Meskipun matematika tidak bisa membenarkan matematika, sebagaimana telah dibuktikan Gödel, manusia dengan subyektivitasnya dapat mengambil keputusan mengenai benarnya matematika, sama seperti halnya pembenaran terhadap rasionalisme, empirisme, obyektivitas, serta relativisme dalam dunia ilmiah. Hanya saja, menurut Hidayat, kita tidak menyadari bahwa prinsip-prinsip atau azas-azas yang melandasi bekerjanya sains sudah ada sebelum sains ada, sehingga dengan demikian sains tidak

mungkin mampu membenarkan ataupun menyangkal prinsip

pendahulunya.39

Pada titik inilah kita harus menginsyafi benar jika fundamen sains adalah subyektivitas—alias “keyakinan kita akan kebenaran sains”. Karena sains dimulai dari keyakinan, subyektivitas, maka penyelidikan mengenai kebenaran sains pertama-tama harus dimulai dari pencarian mengenai apa yang disebutnya sebagai ilmu subyektif. Subyektivitas yang dimaksud Hidayat berbeda dengan subyektivitas yang lazim kita pahami, yaitu subyektivitas Cartesian. Yang dimaksud dengan ilmu subyektif oleh Hidayat adalah “ilmu mengenai manusia sebagai subyek; subyek yang bisa berpikir, subyek yang sadar, subyek yang bisa merefleksikan dirinya, subyek yang bisa—dalam batas-batas tertentu—menciptakan hari depannya”.40 Karena ilmu subyektif

adalah ilmu tentang manusia sebagai subyek, maka ilmu yang mempelajari benda-benda, serta segala yang bersifat non-manusia tapi menjadi bagian dari pengalaman manusia, disebutnya sebagai ilmu obyektif. Dalam konsepsi tersebut, sains masuk kategori ilmu obyektif. Sebagai ilmu obyektif, sains tidak bisa dipakai untuk menerangkan atau mempelajari manusia sebagai subyek. Wujud fisik manusia memang bisa dipelajari dengan ilmu-ilmu obyektif, seperti kedokteran, biologi, atau fisika, tapi manusia sebagai subyek berada sepenuhnya di luar daya jangkau ilmu obyektif. Di sinilah Hidayat menilai kekeliruan fatal manusia modern ditanam, yaitu memaksakan penggunaan ilmu obyektif untuk mempelajari manusia sebagai subyek.

38Sejauh yang bisa ditelusuri, lema tentang Gödel dalam literatur berbahasa Indonesia hanya bisa

ditemukan dalam karangan-karangan Hidayat sejak dekade 1970-an, serta sedikit dikupas oleh C. Verhaak dan R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah atas Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta:

Gramedia, 1991), dan dihidupkan kembali oleh Mahmud Thoha,Paradigma Baru, op.cit.(lihat catatan

kaki kedua). Bisa dikatakan, Hidayatlah yang pertama mendudukkan Gödel sebagai lema penting dalam kajian filsafat ilmu di Indonesia.

39Hidajat Nataatmadja,Krisis Global Ilmu Pengetahuan dan Penyembuhannya [Al Furqan] (Bandung: Iqra,

1982), hal. 5-6.

(21)

Ilmu subyektif sebagai validasi dari prinsip-prinsip dasar yang dipakai untuk membangun sains—seperti empirisme, rasionalisme, dll.—mutlak diperlukan. Tanpanya, kita tidak akan bisa memeriksa apakah prinsip-prinsip yang diyakini dalam kerja ilmu pengetahuan berada dalam posisi benar ataukah keliru. Menurut Hidayat, pertanyaan mengenai kebenaran prinsip dasar ini penting dikemukakan. Sebab, salah satu tiang pokok ilmiah yang paling tua adalah konsistensi logika, yang berarti bahwa perangkat penalaran ilmiah tidak boleh mengandung kontradiksi, menimbulkan kontradiksi, atau menjurus pada implikasi “brengsek” (absurd).41Dalam perjalanannya, terang

Hidayat, tiang ini ternyata tak selalu ditegakkan oleh para ilmuwan. Sebagai gantinya, mereka mengimani “Doktrin Instrumentalisme Friedman”. Doktrin tersebut merujuk pada gagasan Milton Friedman (1912-2006) yang berpendapat bahwa ilmuwan tidak perlu menguji konsistensi logika dari suatu perangkat aksiomatika dan asumsi dari suatu teori, melainkan cukup menguji implikasi empiris yang diturunkan dari perangkat aksiomatika tersebut.42Gagasan Friedman merupakan semacam pernyataan pungkas dari

para pemikir positivis yang menganggap perdebatan mengenai metodologi, sebagaimana yang pernah terjadi di Eropa pada abad ke-19, hanyalah membuang-buang waktu. Baginya, satu-satunya tes yang relevan bagi sebuah model ekonomi, misalnya, semata-mata adalah kekuatan prediktifnya, bukan realisme asumsi yang dipakainya. Lebih jauh, dia bahkan mengatakan bahwa “semakin signifikan suatu teori, semakin tidak realistis asumsinya”. Dengan kata lain, sebuah teori dengan asumsi yang realistis menurut Friedman adalah tidak berguna. Asumsi boleh palsu, ujarnya, asalkan teori bisa menghasilkan prediksi yang cukup akurat.43

Hidayat menyebut gagasan Friedman tersebut sebagai “ilmu sulap”, dimana orang tidak perlu menerangkan atau bertanya mengenai apa yang sebenarnya terjadi, cukup diterima saja apa yang nampak. Bagaimana tukang sulap bisa mengubah batu menjadi merpati tidak penting untuk ditanyakan, sama seperti halnya kita tidak tidak perlu menanyakan dasar aksioma yang

digunakan dalam Teori Relativitas Einstein. Dengan doktrin

instrumentalisme, kita tidak perlu mengerti dan tidak harus mengerti. Pakai saja rumusnya secara operasional, seperti halnya sopir mobil yang hanya perlu menginjak rem atau gas untuk menjalankan kendaraan. Menurut Hidayat, kita berada dalam status quo penalaran semacam itu, penalaran yang kemudian melahirkan apa yang disebutnya sebagai “kebrengsekan gereja ilmiah”.44

41 Hidajat Nataatmadja, Landasan Filsafat Ilmu Pengetahuan Keperiadaan: Volume III (Bogor: Bagian

Sosial Ekonomi Lembaga Pusat Penelitian Pertanian, 1978).

42Milton Friedman,Essay in Positive Economics, ninth edition (Chicago-London: The University of

Chicago Press, 1976), hal. 3-43. Lihat juga Bruce J. Caldwell,Beyond Positivism: Economic Methodology in the Twentieth Century (London: Routledge, 1994), hal. 173-86. Penjelasan sekaligus kritik keras atas

doktrin Friedman banyak disampaikan Hidayat dalam karya-karya awalnya.

43Friedman,Essay, op.cit., hal. 14-15, lihat juga Mark Skousen, Sang Maestro Teori-teori Ekonomi Modern

(Jakarta: Prenada, 2005), hal. 504.

(22)

Instrumentalisme mengabaikan sama sekali kemungkinan terdapatnya kontradiksi dan inkonsistensi dalam sistem penalaran. Dia mencontohkan model manusia homo oeconomicus dengan fungsi kesejahteraan dalam teori ekonomi. Dengan meminjam temuan Kenneth J. Arrow (1921-), Hidayat menyatakan bahwa model homo oeconomicus mustahil bisa mengenal dan melahirkan konsep kesejahteraan sosial. Teori Arrow, yang dikenal sebagai Theory of Social Choice atau juga Impossibility Theorem, menyatakan bahwa preferensi sosial bukanlah merupakan penjumlahan dari preferensi individual; sehingga, jika dikaitkan dengan preferensi individual, pilihan sosial sepenuhnya bersifat irasional. Menurut Arrow, transitivitas tidak berlaku dalam teori mengenai pilihan sosial. Implikasinya bagi teori ekonomi sangat jelas, walaupun ilmu ekonomi dapat secara canggih menerangkan perilaku individu, tetapi ekonomi tidak dapat menjelaskan pembuatan keputusan kelompok. Dengan demikian, asumsi homo oeconomicus Adam Smith (1723-1790), yang merupakan dasar bangunan ilmu ekonomi, pun tidak mungkin merengkuh konsep kesejahteraan sosial.45 Kritik serupa

terhadap model manusia-ekonomi Smith juga dilontarkan oleh John Forbes Nash Jr. (1928-). Menurut Nash, motif mengenai kepentingan bersama harus mengada secara bersamaan dengan motif untuk kepentingan pribadi agar kegiatan ekonomi bisa melahirkan kebaikan bersama. Dengan begitu, tentu saja model homo oeconomicus-nya Smith tidak lengkap sebagai asumsi yang bisa melahirkan konsep kesejahteraan. Sayangnya, ketidak-konsistenan teoritik semacam ini tidak pernah dipersoalkan oleh kebanyakan ekonom, karena mereka semua tenggelam dalam doktrin instrumentalisme Friedman.

Kritik terhadap Subyektivitas Cartesian

Untuk memupus kontradiksi-kontradiksi—atau “kebrengsekan”, dalam bahasa Hidayat—dalam dunia ilmu seperti contoh di atas, mau tidak mau kita harus mencari Ilmu Subyektif. Seperti apakah ilmu subyektif yang dimaksud oleh Hidayat? Karena ilmu subyektif yang sedang dicari berurusan dengan soal kebenaran ilmu pengetahuan, mau tidak mau maka ia harus ditelusuri hingga ke akar ilmu pengetahuan itu sendiri. Dan meskipun akar ilmu pengetahuan pada dasarnya bisa ditelusuri sampai ke permulaan kejadian adanya manusia, akar pikiran yang dimaksud oleh Hidayat tiada lain adalah Descartes, lengkap dengan diktumnya yang terkenal, cogito ergo sum.

Bukan tanpa sebab jika Hidayat memulai perbincangan mengenai ilmu subyektif dari Descartes. Selain karena ia (Descartes) adalah inang dari filsafat modern, yang turut membidani kelahiran sains kontemporer, ini juga berkaitan dengan prinsip subyektivitas dari filsafat Descartes. Sebagaimana telah disinggung, menurut Descartes, eksistensi aku yang berpikir merupakan fakta dasariah yang tak bisa disangkal dalam filsafat. Adanya aku

45 Ibid., hal. 1.9. Lihat juga Steven Pressman, Lima Puluh Pemikir Ekonomi Dunia (Jakarta: Murai

Kencana, 2000), hal. 256; serta penjelasan pribadi Arrow atas teorinya dalam William Breit dan Roger W. Spencer,10 Pemenang Nobel Ekonomi (Jakarta: Gramedia, 1993), hal. 49-67.

(23)

tidak merupakan kebenaran yang diturunkan dari kebenaran lain. Oleh karenanya, fakta dasariah ini harus dijadikan titik pangkal bagi filsafat dan seluruh ilmu pengetahuan. Salah satu simpulan Descartes yang penting untuk dikaji adalah bahwa “aku” secara langsung hadir pada dirinya sendiri.46

Pendirian ini dapat disebut sebagai imanenisme Descartes.

Bila proses penyangsian metodis dilanjutkan, yaitu dengan menanyakan siapakah “aku”, satu-satunya kebenaran yang diketahui pasti hanyalah bahwa “aku-ada”. Bagaimana keberadaan dunia luar, dunia materi, atau keberadaan orang lain, sama sekali belum bisa dipastikan. Dan karena pada kodratnya “aku” adalah kesadaran, maka semua proses yang berlangsung dalam kesadaran sama sekali bersifat imanen. Kesadaran tidak memerlukan sesuatu yang lain di luar untuk mencapai taraf sadarnya, karena kesemua itu masih berada dalam penyangsian. Kesadaran sendiri adalah serba lengkap, serba swasembada dan tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk berada sebagai dirinya. Pada Descartes, “aku” adalah “aku-tanpa-dunia”.47

Dalam kaitannya dengan pikiran Descartes, Hidayat pertama-tama berusaha lebih memperjelas kedudukan term “sadar” dan “ada”. Apakah sadar berpijak pada ada, ataukah ada yang berpijak pada sadar? Ada dan sadar sebagaimana terungkap sebagai landasan cogito Cartesian, ulas Hidayat, seharusnya bukan ada dan sadar sebagai hasil penjelasan, hasil pikiran, melainkan ada dan sadar yang mendahului pikiran, yang merupakan landasan tempat pikiran berpijak.48 Jadi, bukan pikiran kita yang harus

menerangkan ada, melainkan ada-lah yang menerangkan bagaimana kita berpikir dan menyadari. Dan, sebut Hidayat, pikiran Descartes tidak mampu menangkap itu secara gamblang. Seekor binatang juga mungkin mengenal sadar dan ada, tapi sadar dan ada-nya binatang merupakan hasil dari pengalaman dan pikirannya, padahal ada merupakan pangkal pikiran, bukan hasil pikiran. Sehingga, persoalannya kemudian adalah: apakah yang menjadi pijakan dari pikiran dan kesadaran itu? Jika pikiran dan kesadaran binatang seluruhnya berpijak pada dunia rasionalitas empiris, apakah demikian juga dengan pikiran dan kesadaran manusia? Inilah yang dimaksud dengan kebimbangan Descartes oleh Hidayat. Imanenisme Descartes hanya mampu merengkuh soal innate ideas, ide-ide yang terbawa sejak lahir, untuk menjelaskan terpenuhinya unsur obyek dari aktus kesadaran.49 Jadi,

meskipun menurut Descartes dalam proses kesadaran tidak dibutuhkan benda-benda di luar, karena ia hanya memerlukan obyek berupa idea-idea dalam pikiran yang terbawa sejak lahir, Descartes tidak mampu menerangkan apa yang dimaksudkannya dengan unsur-unsur kesadaran

46Posepowardojo dan Bertens,op.cit., hal. 17. 47Ibid., hal. 18-19.

48 Hidajat Nataatmadja, Karsa Menegakkan Jiwa Agama dalam Dunia Ilmiah: Versi Baru Ihya

Ulumiddin (Bandung: Iqra, 1982), hal. 41.

49Edmund Husserl (1859-1938), misalnya, pernah mengungkapkan kritik bahwacogito Descartes

“tidak lengkap”. Menurut Husserl, tidak pernah “saya (bisa) berpikir” begitu saja, karena setiap aktus kesadaran memerlukan obyek. Artinya, “saya sadar” selalu memerlukan “sesuatu yang disadari”, alias “saya sadarakan sesuatu”.

(24)

yang mendahului kesadaran itu. Hakikat keperiadaan yang dikemukakan Descartes masih bersifat remang-remang untuk tidak dikatakan telah melorot kepada empirisme yang bersifat material.

Menurut Hidayat, dengan landasan cogito-nya, Descartes sebenarnya sedang berusaha menelusuri hakikat keperiadaan spiritual—atau metafisik menurut filsafat Kantian—mengikuti jalur pikiran yang telah dirintis Ibnu Sina (980-1037). Sayangnya, baik Descartes maupun Ibnu Sina tidak menyadari bahwa jalur berpikir mereka pada titik yang berseberangan sebenarnya juga bisa dipakai untuk meragukan dan menolak keperiadaan spiritual. Bahwa kemudian baik Ibnu Sina maupun Descartes melalui jalur berpikirnya bisa sampai pada kesimpulan mengenai keperiadaan spiritual, sebenarnya itu terjadi karena mereka “sudah percaya” pada keperiadaan spiritual itu terlebih dahulu, sebelum mereka mengambil kesimpulan dari jalur berpikir.50 Pada titik inilah, kita perlu menyadari adanya beberapa

fakultas mental dalam totalitas kedirian manusia. Kritik Hidayat terhadap cogito Cartesian-pun dimulai.

“Sadar” dan “Ada”, menurut Hidayat, berada dalam dua dimensi yang berbeda. Karena setiap aktus kesadaran memiliki obyek, maka ia berada dalam dimensi material yang bersifat empiris. Dengan sifat empiris ini, mustahil modus kesadaran (consciousness) bisa merengkuh “ada”, yang berada dalam dimensi lebih tinggi, yaitu dunia hakikat yang bersifat metafisik, atau yang sering disebut Hidayat sebagai ghaib. Jadi, baik berpikir ataupun sadar, sebagaimana dirujuk oleh cogito Cartesian, sama-sama berada dalam dimensi yang berbeda dengan “ada”, sehingga karenanya tidak akan sampai pada “ada”. Dengan demikian, terma cogito yang dipakai Descartes harus dipugar. Sebagaimana telah diuraikan, cogito Cartesian adalah cogito tertutup, aku-tanpa-dunia, yang sepenuhnya bersifat immanen. Konsep berpikir dan sadar sebagaimana dirujuk oleh gramatika cogito Cartesian seharusnya merupakan kata kerja intransitif: berpikir dan sadar tanpa melibatkan obyek.51 Masalahnya, baik berpikir maupun sadar,

tidak-bisa-tidak sama-sama memerlukan obyek. Oleh karena itu, cogito Cartesian tidak-bisa-tidak berhasil memberikan penegasan yang jelas mengenai distingsi ihwal yang bersifat empiris dengan yang metafisis sebagaimana yang dihasrati hendak direngkuhnya.

Proses berpikir atau kesadaran yang tidak melibatkan obyek, alias tanpa rujukan kepada sesuatu yang bersifat materil dan empiris, sebenarnya secara konseptual telah dikenal dalam beberapa kosa-kata. Dalam kosa-kata Jawa, misalnya, kesadaran intransitif semacam itu menubuh pada kata eling, atau apa yang dalam bahasa Al Quran disebut sebagai dzikir. Eling dan dzikir

50 Nataatmadja, Karsa, op.cit., hal. 42. Russel menyebut bahwa bukti-bukti Descartes tentang

keberadaan Tuhan tidak merupakan bagian dari gagasannya yang orisinal, dan melontarkan bahwa “jika eksistensi Tuhan telah dibuktikan, selebihnya memang akan lebih mudah”. Lihat Russel,A History, op.cit., hal 566.

51Hidayat Nataatmadja,Ilmu Humanika [Al Inshirah] (Bandung: Risalah, 1984), hal. 251. Lihat juga

(25)

inilah yang berada dalam satu dimensi dengan “ada” dan membentuk kesatuan paritas dengannya.52 Sehingga, lewat kritik terhadap subyektivitas

Cartesian, Hidayat merumuskan filsafat keperiadaannya dalam ringkasan diktum “saya eling maka saya ada”.

Eling, menurut Hidayat, adalah inti dari kemampuan berpikir manusia. Eling tidak diciptakan oleh manusia, melainkan manifestasi keperiadaan manusia.53 Secara konseptual, dia mendefinisikan eling sebagai “keyakinan

mutlak pada kebenaran yang menyangkut pada keperiadaan diri”; “keyakinan bahwa diri bukan ada yang ada dengan sendirinya, melainkan ada yang di-ada-kan”; “keyakinan bahwa diri yang diadakan adalah hamba dari Allah yang meng-ada-kan, Allah sebagai manifestasi Rahman-Rahim yang setiap saat selalu memberikan bimbingan pada manusia-manusia yang eling”.54 Lebih jauh dia menjelaskan, bahwa eling menyatakan suatu “tingkat

keadaan” dari aktuasi keperiadaan manusiawi. Inti keelingan bukanlah proses, melainkan hakikat keperiadaan. Eling bukan produk atau hasil pikiran, melainkan hasil olah batin, sesuatu yang muncul dengan sendirinya, sebuah kemampuan a priori sebagai manifestasi manusia yang mengemban nafs Allah. Dia merupakan hasil perjuangan untuk membebaskan diri dari dominasi relativisme dunia empiris. Oleh karenanya, eling tidak bisa ditegakkan oleh kemampuan rasio, sebagaimana isi cogito Cartesian, karena mustahil rasio bisa menjangkau dunia keperiadaan. Dengan begitu, eling tidak merujuk pada suatu tingkat keadaan dalam proses berpikir. Sebab, nyatanya, sebagaimana banyak diulang Hidayat dalam buku-bukunya, banyak orang yang berpikir tapi tidak eling, ataupun orang eling yang tidak berpikir. Padahal manusia, menurutnya, harus bisa eling sekaligus berpikir pada waktu yang bersamaan/serentak.55

Secara konseptual, eling yang dimaksudkan Hidayat juga dibicarakan oleh E.F. Schumacher (1911-1977) dalam bukunya, A Guide for the Perplexed (1977).56 Hanya saja, Schumacher menyebut eling dengan istilah self

awareness, kesadaran-diri. Konsepsi ini, menurut Hidayat, sejalan dengan ajaran Al Ghazali yang menyebut “mustahil manusia mengenal Allah, sebelum ia mengenal dirinya sendiri”. Artinya, kesadaran diri merupakan jalan pembuka kepada keperiadaan, sesuatu yang bersifat adikodrati. Dalam bab

52Ibid.

53Nataatmadja,Krisis Global, op.cit., hal. 33. 54Ibid., hal. 60.

55Ibid., hal. 163. Dengan mengulang-ulang hal ini, Hidayat barangkali sedang berusaha menegaskan

kritik ke dua penjuru “gereja”, yaitu pada “gereja ilmiah” dan “gereja agama” sebagaimana terwakili oleh fakultas kesadaran dan fakultas keelingan dalam eksistensinya yang terpisah, tak berupa paritas (menyatu-serempak) sebagaimana ditadaruskan Hidayat.

56 Telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia; E.F. Schumacher,Keluar dari Kemelut: Sebuah

Peta Pemikiran Baru, diterjemahkan oleh Mochtar Pabottingi (Jakarta: LP3ES, 1981). Schumacher,

bersama dengan Krishnamurti, Fritjof Capra dan Gunnar Myrdal (1898-1987), merupakan pemikir yang pikiran-pikirannya banyak disebut dalam karya-karya Hidayat. Gagasan-gagasan filsafat mereka, merupakan sejenis gelombang perlawanan sekaligus kritik terhadap—meminjam Galbraith—conventional wisdom dalam dunia paradigma keilmuan. Dan Hidayat berada setangkup

Referensi

Dokumen terkait

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) adalah semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sebagai pelatihan untuk menerapkan teori yang

Hasil uji fisika sabun menunjukkan busa yang dihasilkan banyak dan stabil, sedangkan untuk kekerasan sabun menunjukkan bahwa konsentrasi sari buah karika berbanding

Peningkatan level konsentrasi penggunaan asam asetat dalam proses produksi kolagen berbahan baku tulang komposit broiler menurunkan nilai viskositas dan pH produk

IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAM GAME TOURNAMENT (TGT) UNTUK MENINGKATKAN KERJASAMA DAN KETERAMPILAN BERMAIN SEPAKBOLA.. Universitas Pendidikan Indonesia |

al, paradigm pendidikan Islam upaya mengefektifkan pendidikan agama Islam di sekolah , (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hlm.75-80.. Pembelajaran merupakan suatu kombinasi

Based on the results and discussion that has been obtained, it can be concluded that: The process of application of learning models of children learning in

While the first and second baroclinic modes have comparable contribution to the intraseasonal oceanic variations in the eastern equatorial Indian Ocean and in the Ombai Strait,

Selain itu, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan bahan masukan yang bermanfaat kepada pihak Dinas Bina Marga dan Pengairan dan pemerintah daerah Kota Bandung agar bisa