• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIOEKOLOGI DAN PENGENDALIANTUNGAU KUNING Polyphagotarsonemus latus (Banks) DENGAN PESTISIDA NABATI PADA TANAMAN WIJEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BIOEKOLOGI DAN PENGENDALIANTUNGAU KUNING Polyphagotarsonemus latus (Banks) DENGAN PESTISIDA NABATI PADA TANAMAN WIJEN"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Perspektif Vol. 11 No. 1 /Juni 2012. Hlm 69 - 78 ISSN: 1412-8004

BIOEKOLOGI DAN PENGENDALIANTUNGAU KUNING

Polyphagotarsonemus latus (Banks) DENGAN PESTISIDA NABATI

PADA TANAMAN WIJEN

Bioecology and control technique of yellow mite (Polyphagotarsonemus latus Banks)

on Sesame (Sesamum indicum L.) Crop.

TUKIMIN SW

Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Indonesia Sweetener and Fibre Crops Research Institute

Jl. Raya Karangploso, Kotak Pos. 199 Malang 65152. e-mail: tukimin_suryawitono@yahoo.co.id

Diterima : 13 Januari 2011; Disetujui : 20 November 2012

ABSTRAK

Tanaman wijen (Sesamum indicum L.) termasuk famili Pedaliaceae, diperkirakan berasal dari benua Afrika dan pertama kali dibudidayakan di Ethiopia. Tanaman wijen dibudidayakan untuk bahan baku industri, termasuk industri makanan dan minyak goreng. Di Indonesia tanaman wijen yang banyak dikembangkan adalah spesies Sesamum indicum. Pada akhir tahun 2000 tanaman wijen memperoleh perhatian besar karena kegunaannya yang sangat baik untuk kesehatan. Budidaya tanaman wijen sudah lama dikenal di Indonesia, luas areal rata-rata 3.341 ha, dengan produksi 1.475 ribu ton, dengan rata-rata produktivitas 464 kg/ha. Rendahnya produktivitas disebabkan oleh benih yang digunakan kurang baik, lahan terbatas, budidaya belum intensif dan tidak lepas dari gangguan hama. Hama utama tanaman wijen adalah tungau kuning Polyphagotarsonemus latus yang menyerang daun muda. Intensitas kerusakan akibat hama dapat mencapai 75% yang mengakibatkan penurunan produkstivitas. Makalah ini bertujuan untuk menginformasikan pengembangan wijen, pengendalian hama tungau P. latus yang merupakan pembatas produktivitas pada tanaman wijen.

Kata kunci : bioekologi, pengendalian,

Polyphagotar-sonemus latus (Banks), pestisida nabati, Sesamum indicum.

ABSTRACT

Sesame crop (Sesamum indicum L.) belonging to Pedaliaceae, famili originates from the African continent and was first cultivated in Ethiopia. It is cultivated for industrial raw materials, including food industry and cooking oil. In Indonesia, the species of S. indicum is widely cultivated. At the end of 2000,

sesame crop reecivet great attention because of its usefulness for health. Cultivation of sesame crop has long been known in Indonesia, the average area of 3.341 ha, with a production of 1.475 thousand tons, with an average of 464 kg/ha productivity. The low productivity is caused by lack of good seeds used, limited land, not intensive farming and pests attacks. The main pests of sesame is yellow mite, Polyphagotarsonemus. latus that attack young leaves. The intensity of damage caused by mites P. latus can reach 75%. This paper aims to inform the control of P. latus, one of the major limiting factor in sesame cultivartion.

Keywords: bioecology, control, Polyphagotarsonemus

latus (Banks), vegetable pesticides,

Sesamum indicum.

PENDAHULUAN

Tanaman wijen (Sesamum indicum L.) termasuk famili pedaliaceae diperkirakan berasal dari benua Afrika dan pertama kali dibudidayakan di Ethiopia. Jumlah spesies dalam genus Sesamum cukup banyak, namun yang berhasil diidentifikasi baru 18 spesies. (Van Rheemen, 1981). Tanaman wijen merupakan tanaman semusim yang tahan kering, berumur 2,5 – 5 bulan, dan selama pertumbuhan menghendaki curah hujan antara 400 – 600 mm. Wijen menghasilkan biji sebagai bahan baku industri, termasuk industri makanan dan minyak goreng. Minyak wijen mempunyai asam lemak jenuh rendah, sehingga tidak berbahaya jika dikonsumsi oleh penderita kolesterol tinggi.

(2)

(Soenardi, 1996; Kaul dan Das, 1986). Pada tahun 1977 -1987, Indonesia dikenal sebagai negara pengekspor wijen, namun pada tahun 1988 kedudukan Indonesia berubah dari negara pengekspor menjadi negara pengimpor. Pada tahun 2001 nilai impor Indonesia mencapai 3.722.472 ton biji dan 218.081 ton minyak. Produksi wijen di Indonesia sekitar 0.06% terhadap produksi dunia. (FAO, 1990; BPS, 2001; Rachman, 2006).

Di Indonesia yang banyak dikembangkan adalah spesies S. indicum, dan pada tahun 1977 Balittas telah melepas dua varietas wijen yaitu Sumberrejo 1 (Sbr 1) termasuk wijen putih, tanaman bercabang, umur panen 90-110 hari dengan produktivitas 1000- 1600 kg/ha. Varietas ini sesuai untuk pertanaman monokultur maupun polikultur. Kedua adalah Sumberrejo 2 (Sbr 2) termasuk sebagai wijen putih, tanaman tidak bercabang, umur panen 75-100 hari produktivitas 800- 1400 kg/ha.

Nilai ekonomis wijen yang ditanam di antara baris jagung dapat menghasilkan keuntungan bersih Rp.6.880.000,-/ha. Tanaman wijen mempunyai keunggulan komparatif, karena tahan kering, mutu hasil biji tetap baik, dapat dibudidayakan secara ekstensif, mempunyai nilai ekonomis relatif tinggi (Suprijono dan Mardjono, 2002; Soenardi, 1996; Basuki, 2007). Akhir- akhir ini tanaman wijen memperoleh perhatian besar karena keunggulannya yang sangat baik untuk kesehatan. Minyak wijen mengandung antioksidan, sesamin dan sesamolin, sehingga dapat disimpan lebih dari 1 tahun tanpa mengalami kerusakan/tengik (Sudhiyam dan Meneekhao, 1997).

SERANGAN HAMA PADA WIJEN Rendahnya produktivitas wijen di Indonesia disebabkan antara lain benih yang digunakan kurang baik, lahan terbatas, budidaya belum intensif dan tidak lepas dari gangguan hama. Berdasarkan estimasi Cramer dalam Deacon (1983) pada tanaman wijen kehilangan hasil karena hama mencapai 52,50%. Hasil survey Subiyakto dan Harwanto (1996) ada sejumlah serangga yang sering dijumpai pada tanaman wijen, diantaranya adalah jenis tungau yaitu

Polyphagotarsonemus latus, jenis kepik Nezara viridula, jenis kutu Aphis gossypii, Myzus persicae,

dan masih banyak yang lain. Kerugian yang diakibatkan oleh hama tungau dapat menurunkan hasil sekitar 75% (Weiss,1971; Kalshoven, 1981; Subiyakto dan Harwanto, 1996; Sintim,2010). Tukimin et al. (2005) melaporkan bahwa intensitas kerusakan daun wijen yang disebabkan oleh serangan tungau P. latus di Bojonegoro mencapai 80,67%. Di Chili penurunan produksi akibat kerusakan oleh tungau P. latus pada tunas muda mencapai 50% (Vichitbandha, dan Chandrapatya, 2011).

Langkah awal penggunaan varietas tahan adalah dasar dari konsep pengendalian hama secara terpadu (PHT), karena dapat dikombinasikan dengan komponen pengendalian yang lain, mudah dilaksanakan, murah dan tidak berdampak negatif terhadap lingkungan.

Kerusakan daun yang disebabkan oleh serangan tungau P. latus mengakibatkan

pertumbuhan tanaman menjadi terhambat, cacat, kerdil dan mengalami staknasi (Denmark, 2000). Tukimin dan Heliyanto, (2008a) mengutarakan bahwa intensitas kerusakan oleh hama tungau P.

latus bisa mengakibatkan penurunan produksi

lebih dari 50%. Tungau kuning P. latus (Helmitarsonemus latus (Banks) termasuk Acarina: Tarsonemidae bukan insekta. Tungau ini ditemukan pertamakali oleh Banks pada tahun 1904 pada tunas mangga di rumah kaca (Waterhouse dan Norris, 1987; Beker, 1997; Denmark, 2000; Anonymous, 2004). Ukuran tungau ini sangat kecil 0,8 mm, dapat dijumpai pada tanaman sayuran, tomat, cabe, tanaman teh, karet, pepaya, tanaman jeruk, bunga dahlia, bunga krisan, stroberi dan Gossypium sp. (Kalshoven, 1981; Brown and Jones, 1983; Denmark, 2000; Pena and Cambell, 2005). Keberadaan populasi tungau P. latus

menunjukkan sebaran dan tingkat serangan yang berbeda pada masing-masing tanaman inang alternatif. Tungau menyerang dengan cara menghisap cairan sel daun. Serangan awal biasanya hanya berupa bintik-bintik pada permukaan daun bagian bawah. Serangan tungau mengakibatkan daun menjadi keriting, menggulung dan akhirnya kering, pada kuncup

(3)

bunga dan bunga, mengakibatkan tidak terbentuk buah dan penurunan produksi.

INTENSITAS KERUSAKAN DAUN Kerusakan daun yang diakibatkan serangan tungau P. latus pada tanaman wijen sudah terlihat pada pengamatan 25 hari setelah tanam (HST) dengan gejala daun mulai tidak normal, kelihatan bintik-bintik bekas tusukan tungau/ stilet. Rata-rata serangan lebih dari 10% pada umur 25 HST tahun 2006, 2007 dan 2008 (Gambar 1). Data tersebut menunjukkan bahwa di daerah KP Sumberrejo telah menjadi daerah endemik untuk tungau P. latus. Hasil penelitian (Tukimin dan Winarno, 2008b) mengutarakan ada 27 tanaman inang yang cocok untuk perkembangbiakan tungau P. latus. Tanaman inang tersebut diantaranya : jarak pagar (Jatropha

curcas L.), jarak kepyar (Risinus communis L.),

wijen (Sesamum indicum), rosella (Hisbiscus

sabdariffa), Kapas (Gossypium hirsutum), jagung

(Zea mays), ketela pohon/ubi kayu (Manihot

utilisima), cabai (Capsicum annum), kangkung

(Ipomoea aquatica), kacang panjang (Vigna

sinensis), tomat (Lycopersicon esculentum), jeruk

purut (Citrus hystrix), bunga krisan (Chrysanthemum morifolium), melati (Jasminum

sambac), bunga sepatu (Hisbiscus rosasinnensis)

dan gulma anting-anting (Fushsia) dan masih banyak yang lain.

Gambar 1. Grafik intensitas kerusakan dan populasi P. latus

Kerusakan tanaman wijen yang mengakibat-kan penurunan produksi pada umur 45 – 65 HST saat pembentukan kuncup bunga, bunga dan buah (Gambar 2 dan 3). Pada 75 HST populasi

tungau mulai berkurang, karena tanaman sudah tua dan sebagian daun telah kuning, menggulung, dan melengkung kebawah, sehingga kandungan nutrisi untuk perkembang biakan tungau sudah tidak cocok lagi. Tungau P.

latus mulai pindah/ migran ke tanaman inang

yang lain.

Gambar 2. Serangan tungau P. latus 35 HST

Gambar 3. Serangan tungau P. Latus menjelang berbunga (45 HST)

BIOLOGI TUNGAU KUNING P. LATUS Tungau kuning P. latus (Helmitarsonemus) latus (Banks) Ukurannya relatif kecil, yaitu 0,8 mm, banyak ditemukan pada permukaan daun bagian bawah, berkembangbiak dengan cara kopulasi/kawin, akan tetapi ada juga yang tidak mengalami kopulasi. Apabila tidak mengalami kopulasi biasanya telur yang dihasilkan betina saja. Seekor imago betina dapat meletakkan telur antara 36- 40 butir atau 5-8 butir per hari. Siklus

(4)

hidup tungau kuning P. latus mengalami metamorfose tidak sempurna, yaitu telur, larva, nimfa dan imago .

Gambar 4. Siklus hidup tungau kuning

Polyphagotarsonemus latus Telur

Telur P. latus banyak dijumpai pada permukaan daun bagian bawah di antara ranting tulang daun, disisipkan di antara bulu daun yang warnanya hampir sama dengan bintik-bintik kristal daun wijen. Telur berbentuk oval, transparan, berwarna putih bening dan pada bagian kulit luar terdapat tonjolan yang rata-rata berjumlah 9 baris. Telur mudah pecah, ukuran panjang 0,7 mm, diameter 0,14 mm (Hill, 1983; Waterhouse dan Norris, 1987; Denmark, 2000). Telur menetas menjadi larva berukuran sangat kecil 0,1 mm (Brown dan Jones, 1983). Tukimin, et

al., (2007a) melaporkan fase telur pada tanaman wijen berkisar 1 -2 hari.

Larva

Larva yang baru menetas sangat kecil berbentuk oval berukuran 0,1 mm berwarna putih, mempunyai tiga pasang kaki yang belum sempurna. Selama pertumbuhan, warna berubah dari kuning kehijauan atau hijau gelap sampai kuning kecoklatan. Ukuran larva 0,1 mm, setelah dua hari akan berubah menjadi nimfa. Tukimin (2004) melaporkan fase larva pada tanaman wijen 1- 3 hari, dan pada masa larva pergerakannya tidak terlalu aktif.

Nimfa

Pada masa nimfa, tungau P. latus mempunyai tiga pasang kaki yang sudah sempurna dan akan tumbuh sepasang kaki baru (menjadi empat

pasang kaki). Pada ujung kaki keempat nimfa jantan terbentuk kuku yang berfungsi sebagai pengait, sedang pada nimfa betina pada satu pasang kaki keempat terbentuk seperti cambuk (satu pasang kaki keempat tereduksi/ semu). Saat pergantian kulit/ekdisis nimfa jantan banyak ditemukan membawa nimfa betina pada tungkai belakang (Gambar 4), apabila nimfa tersebut telah menjadi dewasa/imago siap untuk kopulasi/kawin, dan dijadikan pasangan kopulasi. Nimfa jantan tersebut menandakan telah dewasa dan siap untuk kopulasi (Gambar 5) (Tukimin et al., 2007a).

Gambar 5. Nimfa jantan membawa larva betina. Sumber: Pena and Cambell, 2005.

Fluktuasi populasi tungau kuning sangat dipengaruhi oleh ketersediaan pakan untuk kelangsungan hidup dan berkembang biak. Hubungan antara populasi hama dan lingkungan, suhu dan kelembaban berpengaruh positif terhadap fluktuasi populasi hama. (Montasser et al., 2011; Gerson dan Weintraub, 2012). Tanaman yang sudah mulai tua dan kandungan nutrisi mulai berkurang, tidak cocok untuk perkembangan tungau. Kandungan nutrisi terletak pada jaringan pengangkut yaitu floem atau jaringan yang tersusun atas tapis, sel sel parenkim dan sklereid. Sel-sel parenkim ini mempunyai fungsi khusus yaitu tempat cadangan makanan (Pudjoarianto dan Sumardi, 1992). Pada fase nimfa aktivitasnya sangat tinggi sampai fase imago/ dewasa, yang mengakibatkan intensitas kerusakan daun menjadi parah. Intensitas kerusakan pada daun, kuncup bunga, Telur1- 2 hari

Larva 1-3 hari

Nimfa 3-4 hari Imago P. latus 10-18 hari

(5)

bunga dan buah dapat mengakibatkan penurunan produksi.

Pada tahun 2005 pada tanaman wijen umur 35 hari setelah tanam (HST) populasi imago mencapai 9,33 ekor/daun contoh, dan pada tahun 2006 umur tanaman 35 HST, populasi meningkat hingga mencapai 187,67 ekor/daun contoh. Fluktuasi populasi imago dari tahun 2005 – 2006 pada musim tanam wijen dipengaruhi oleh faktor suhu dan kelembaban. Tertariknya tungau untuk meletakkan telur dibagian bawah permukaan daun, dan berkembangbiak pada tanaman wijen dipengaruhi oleh tersedianya cukup makanan (faktor abiotik), yang ditentukan oleh organ peraba dan reseptor kimia, sifat fisik tanaman, dan rangsangan kimia untuk berkembangbiak (Sjafrida, 1991; Smith, 1989; Pena and Cambell, 2005).

Imago

Ciri fisiologis tungau dewasa yaitu ukurannya 1,5 mm panjang, transparan, warna kuning kecoklatan. Lama masa hidup 5-6 hari, seekor tungau betina meletakkan telur antara 36-40 butir atau 5 -8 butir per hari pada suhu 300 C dan kelembaban 73 %. Perbandingan sex ratio antara jantan dan betina 1: 2 atau 1 ekor jantan dan 2 ekor betina (Tukimin, 2004). Menurut Hill, (1983); Brown dan Jones, (1983) juga melaporkan bahwa tungau P. latus dewasa betina hidup hampir mencapai 10 hari dan menghasilkan telur rata-rata 2-5 butir per hari (20-50 butir) dan dapat dipengaruhi oleh faktor kesuburan tungau. Siklus hidup tungau P. latus pada tanaman wijen berkisar antara 10,27 -18,64 hari (Tukimin et al., 2007b).

Pada tahun 2005 pada tanaman wijen, umur 35 hari setelah tanam (HST) rata-rata ditemukan 9,1 ekor nimfa/daun, dan umur 45 HST mencapai 13,87 ekor/daun yang mengakibatkan daun menjadi keriting dan melengkung kebawah akhirnya kering. Pada tahun 2006 pada umur tanaman yang sama (35 HST) jumlah nimfa mencapai 47,33 ekor/daun dan pada 45 HST mencapai 94,67 ekor/daun (Tukimin, 2010). Pada tahun 2007 populasi nimfa turun dibanding tahun 2006, yaitu pada umur 35 HST ditemukan 0,36/daun, dan 45 HST ditemukan 5,49 ekor/daun, fluktuasi populasi tersebut dipengaruhi curah hujan, suhu (27,680C) dan

kelembaban (79,03%) yang sesuai untuk berkembang biak dengan cepat (Gambar 6). (Tukimin et al., 2007a).

Gambar 6. Grafik populasi tungau P. latus. (ekor/daun contoh).

PENGENDALIAN P. latus DENGAN PESTISIDA NABATI

Pemanfaatan bahan tumbuhan sebagai sumber bahan pengendalian hama tanaman bukanlah hal yang baru, mungkin sejak awal peradaban manusia. Contoh nyata Sulfur telah digunakan sejak jaman Romawi dan pada abad XI. Pada tahun 1960 garam asenat, ekstrak daun tembakau (nikotin), ekstrak piretrum (piretrin) telah digunakan sebagai insektisida botani, menyusul kemudian ekstrak Deris (retenon), Bubur bordeux juga dimanfaatkan sebagai fungisida dan populer pada tahun 1883.(Klocke, 1987). Indonesia adalah salah satu dari 8 pusat keragaman genetik di dunia yang memiliki kira-kira 3.000 spesies tanaman, 15.000 spesies hewan dan 10.000 spesies mikroba. (Ahmed dan Grainge, 1986; Rupprecht et al., 1990). Saat ini penggunaan insektisida sintetis/insektisida kimia tidak banyak memberikan hasil yang baik bahkan dapat mengakibatkan dampak terhadap lingkungan, salah satu contoh hama menjadi resisten, residu yang ditinggalkan mengakibatkan pencemaran lingkungan (Sitepu, 2000; Untung, 2006; Zeledon, 1997). Insektisida jenis akarisida dilaporkan efektif untuk mengendalikan hama tungau, namun hingga kini belum dimanfaatkan secara baik untuk mengendalikan hama tungau P. latus. Jenis mitisida untuk pengendalian hama tungau juga tidak menunjukkan efektivitas terhadap mortalitas tungau, sehingga penggunaannya

(6)

dengan cara memperpendek interval penyemprotan (Stumpt and Nauen, 2001).

Penggunaan insektisida nabati dengan menggunakan ekstrak Daun paitan + Daun tembakau + Daun sirsak sudah pernah digunakan untuk pengendalian hama daun P. latus dan

Eriophyidae pada tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.). Hasil penelitian menunjukkan perlakuan maserasi dengan konsentrasi 1 Bagian ekstrak + 1 bagian air (1:1) dapat membunuh hama daun P. latus dan Eriophyidae 75,90% pada 48 jam setelah penyemprotan LC50 = 2,68 ml/l air. Akhir-akhir ini pemanfaatan bahan tanaman untuk pestisida telah berkembang dengan menggunakan bahan tanaman yang potensial mengandung racun untuk pestisida, bahan tanaman tersebut antara lain:tanaman paitan yang mengandung asam palmitat; 9-pentadekadien-1-0l; benzyl benzoate; steraldehida dan metilamina; tanaman tembakau senyawa utama adalah nikotin dan daun sirsak mengandung senyawa asetogenin, antara lain asimisin, bulatocin dan squamosin, (Tukimin dan Asbani, 2007c). Pestisida nabati memiliki potensi besar untuk digunakan dalam pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT) (Hamid dan Anggraini, 1987; Oka, 1993; Sitepu dkk, 1997). Kebangkitan kembali minat dalam memanfaatkan insektisida nabati sejak dasawarsa yang lalu, dan telah menghasilkan informasi berharga mengenai kandungan sekunder tumbuhan yang dapat dimanfaatkan untuk pengendalian hama dan penyakit, misalnya dari family Meliaceae, Annonaceae, Nicotin, Rutaceae, Labiarae, piperraceae, dan Coneliaceae yang sekarang digunakan sebagai sumber bahan baku insektisida botani (Alkofahi et al., 1989; Champagne et al., 1989; Jacobson, 1989; Miyakado

et al., 1989)

Peluang yang cukup besar untuk mengembangkan hasil-hasil penelitian dengan memanfaatkan pestisida nabati sudah menunjukkan efektivitasnya sebagai insektisida dari bahan metabolik sekunder (secondary

metabolic) bioaktif, terutama terhadap serangga,

misalnya Srikoyo, Sirsak (Annonaceae), daun paitan (Tithonia diversifolia) bagian yang mengandung racun pada bagian daun, akar, buah/minyak biji, Mimba (Azadirachtin), tanaman

Tembakau (Nicotiana tabacum), daun gamal (Gliricidia sepium), bagian yang mengandung racun pada bagian daun, ubi gadung (Dioscorea

hispida), akar tuba (Derris eliptica) biji jarak pagar/

minyak (Jatropha curcas), dan masih banyak yang lain. (Mandhava, 1986; Alkofahi et al., 1989; Ahmed dan Grainge, 1986 ; Rupprecht et al., 1990; Tukimin, 2007). Penggunaan bahan alam yang lain sebagai insektisida alami adalah kalium polisulfida dari bahan alami belerang dan kapur dengan perbandingan 2 bagian belerang dan 1 bagian kapur. Jenis insektisida ini dapat membunuh hama kutu daun yaitu kutu sisik hijau (Cucus viridis), tungau dan jamur pada tanaman hortikultura. Penelitian yang lain digunakan untuk membunuh kutu Eriophyidae pada tanaman jarak pagar, dengan bahan alami yaitu belerang dan kapur yang mengandung bahan baku kalium polisulfida, menggunakan perbandingan 2 bagian belerang dan 1 bagian kapur, pada konsentrasi 5- 10 ml/l air, sudah cukup efektif membunuh kutu Eriophyidae. LC50 = 5,87 ml/L air dan LC95 = 12,86 ml/L air (Amir dan Asbani, 2008). Di Cuba penggunaan agensia hayati seperti predator Amblyseius largoensis (Muma)(Acari:Phytyoselidae) untuk mengendali-kan hama P. latus pada tanaman kentang, buncis, cabai, jeruk dan lada. (Rodriguez, et al., 2011; Montasser et al., 2011.)

PRODUKSI

Serangan tungau P. latus pada tanaman wijen dapat mempengaruhi penurunan produktivitas, pada tahun I (2005) produksi wijen tertinggi pada aksesi Si 3 (837 kg/ha) dengan tingkat serangan mencapai 33%. Produksi terendah pada aksesi Si 8 (115 kg/ha), dengan tingkat serangan mencapai 51% pada 75 HST. Pada tahun II (2006) produksi wijen tertinggi pada aksesi Si 48 (771 kg/ha) dengan tingkat serangan mencapai 60%. Produksi terendah pada aksesi Si 29 (122 kg/ha), dengan tingkat serangan mencapai 68% pada 75 HST. Pada tahun III (2007) produksi wijen terus turun karena serangan tungau P. latus cukup tinggi hingga mencapai 79% (Gambar 7) (Tabel 1).

(7)

Gambar 7. Grafik Penurunan Produksi akibat serangan hama tungau P. latus.r Tukimin SW, 2007.

Penurunan produksi dari tahun 2005, 2006 dan 2007 pada tanaman wijen di KP. Sumberrejo menunjukkan indikasi bahwa daerah penelitian di KP. Sumberrejo sering ditemukan hama tungau. Daerah endemik hama tungau

pada tanaman inang non wijen dapat berkembangbiak pada saat tanaman wijen dibudidayakan. Pada umur 25 HST telah ditemukan serangan hama tungau P. latus. Langkah awal untuk untuk mendapatkan varietas tahan terhadap serangan hama tungau P.

latus mutlak diperlukan dari sumber ketahanan

plasma nutfah yang tersedia di Balittas.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Bioekologi tungau Polyphagotarsonemus latus, pada tanaman wijen sangat singkat. Siklus hidup tungau P. latus berlangsung dari telur 1-2 hari, larva 1-3 hari, nimfa 3-4 hari dan imago 10-18 hari, dapat mengakibatkan kerusakan tanaman wijen dengan cepat.

2. Faktor yang mempengaruhi bioekologi

tungau P. latus adalah: tanaman inang tersedia dengan nutrisi yang sesuai untuk berkembangbiak, suhu berkisar 300 C dan kelembaban 73-79%.

3. Intensitas kerusakan pada tanaman wijen

oleh tungau P. latus dapat mencapai 75%, yang dapat mengakibatkan kerusakan daun, bunga, buah /polong dan penurunan produksi.

4. Pengendalian dengan menggunakan pestisida nabati, insektisida alami polisulfida, efektif mengendalikan hama tungau dan kutu daun pada tanaman wijen.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2004. Polyphagotarsonemus latus (Banks) Common Name Broad Mite. Tabel 1. Produksi wijen kg/ha (Tahun 2005-2007)

Tahun I (2005) Tahun II (2006) Tahun III (2007)

No. Perla Kuan (aksesi) Kg/ha Tingkat serangan (%) No. Perla Kuan (aksesi) Kg/ha Tingkat serangan (%) No. Perla Kuan (aksesi) Kg/ha Tingkat serangan (%) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. Si 1 Si 2 Si 3 Si 4 Si 5 Si 6 Si 7 Si 8 Si 9 Si 10 Si 11 Si 12 Si 13 Si 14 Si 15 Si 16 Si 17 Si 18 Si 19 Si 20 Si 21 Si 24 Si 25 Si 28 Sbr 1 502 687 837 628 440 444 377 115 439 109 285 390 491 361 425 558 450 345 455 469 254 498 645 630 780 57 32 33 44 50 43 57 51 67 54 33 34 33 44 41 39 42 51 49 33 60 62 43 33 29 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. Si 22 Si 23 Si 26 Si 27 Si 29 Si 30 Si 31 Si 33 Si 34 Si 35 Si 36 Si 37 Si 38 Si 39 Si 40 Si 41 Si 42 Si 43 Si 44 Si 45 Si 46 Si 47 Si 48 Si 49 Sbr1 331 768 677 744 122 155 454 564 561 332 497 224 226 182 292 271 537 232 161 424 591 297 771 770 686 45 52 55 45 68 72 71 45 57 45 58 66 74 56 49 50 50 50 68 40 68 48 60 75 61 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. Si 50 Si 51 Si 52 Si 53 Si 54 Si 55 Si 56 Si 57 Si 58 Si 59 Si 60 Si 61 Si 62 Si 63 Si 64 Si 65 Si 66 Si 69 Si 45 Cina Hitam Sbr 1 Sbr 2 Sbr 3 Sbr 4 Si 75 121 116 120 145 143 142 68 163 138 126 146 89 116 385 75 116 68 137 57 83 102 139 157 92 73 35 41 40 64 71 79 55 44 35 29 40 45 63 38 68 40 40 45 58 25 40 50 50 50 35 Sumber Tukimin SW, 2007.

(8)

Exotic Pre Sent, http://www.ento.cairoav/aren/ name.s /3344.htm. Juni2004.

Andi M. Amir dan N. Asbani. 2008. Toksisitas pestisida Kalsium polisulfida terhadap tungau Eriophyidae pada tanaman Jarak pagar (Jatropha curcas L.) Lokakarya Nasional III Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat Malang. 2008. Hlm. 265- 269.

Beker,J.R. 1997. Cyclamen mite and Broad mite . Ornamental and Turf insect Information Notes.Http://www.Ces.Nesu.edu/depts./e nt /Notes

/O&T/flawer/Nate28.html. (14 September 2005).

BPS. 2001. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. BPS. Jakarta. Indonesia.

Basuki,T. 2007. Laporan Perjalanan Dinas Balittas. Perhitungan nilai ekonomis budidaya wijen ditanam di antara baris jagung. Prima Tani, 2007. 2 hlm.

Brown, R.D, and V.P. Yanes. 1983. The Broad mite on lemons in Southern California. California Agriculture. 37 (7/8): 21- 22 p. Denmark. H.A. 2000. Broad Mite,

Polyphagotarsonenus latus (Banks) (Arachnidae: Acarina: Tarsonemidae) University of Florida Published December 2000. http://creatures.ifas.uft.edu.

Deacon, J.W. 1983. Microbial control of plant pests and diseases Van Nostrand Reinhold (VK) Co. Ltd.

FAO, 1990. FAO Production Year book. Vol 44. Food and Agriculture Organization of the United Nation Rome.

Gerson,U, and Weintraub,P.G. 2012. Mites (Acarina) as a Factor in Greenhouse Management. Journal Entomology 57:229-247.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia III Terjemahan Badan Litbang Kehutanan. Jakarta. Hlm 1747- 1753.

Hill, D.S. 1983. Polyphagotarsonemus latus (Banks) Agricultur Insect Pest of Tropies and Their Control. Cambridge University Press. 746 p.

Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest of crop in Indonesia. Rev. Translated by P.A. Van der Laan. PT. Ichtiar Baru van Hoeve. Jakarta. 701p. Kaul, A.K, and M.L. Das. 1986. Oil seeds in Bangladesh. Bangladesh, Canada Agric. Sector Team Ministry of Agric Gov of the People Rep of Bangladesh. 13 p.

Manuwoto,S., 1991. Interaksi Serangga- tanaman, Tanaman Resisten dan Pengendalian Hayati. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, 17 hlm.

Mardjono,R., Suprijono, dan Hadi-Sudarmo. 2007. Pelepasan Varietas Unggul wijen Sbr 3 dan Sbr 4. SK Mentan No. 113/kpts/SK/120/2/

2007. Jakarta. 20 Pebruari 2007.

Montasser, A.A., Marzouk, A.S., Hanafy, A.R.I., and Hassan, G.M, 2011. Seasonal fluctuation of the broad mite

Polyphagotarsonemus latus (Acari: Tarsonemidae) and its predatory mite on some pepper cultivars in Egypt. International journal of environmental Science and Engineering (IJESE). 2 : 9-20. Pena, J. E, and Cambell.C.W. 2005. Broad mite

Edis. http://www.edis.ifas.

ufl.edu/ch020. (13 September 2005). Pudjoarianto,A., dan Sumardi. 1992. Struktur dan

Perkembangan Tumbuhan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Hlm 66-75. Rachman,A.H. 2006. Status wijen (Sesamum

indicum L.) di dalam dan luar negeri.

Prosiding Seminar Memacu Pengembangan Wijen untuk Mendukung Agroindustri. Malang, 9 Nopember 2006. 5 hlm.

Rodriques, H., Ramos, M., Montoya, A., Rodriques, Y., Chico, R., Miranda, I., and Depestre, T.L., 2011. Development of Amblyseius largoensis as biological control agent of the broad mites (Polyphagotarsonemus latus). Cuba, Biomol April 28 (3): 1-7.

Rupprecht, J.K, Hui,Y.H, and Melaughlin, J.L. 1990. Annonaceous scetogeninms; a review. J. Niat. Prod 53: 237-278p.

Smith, R.C. 1989. Plant Resistence to insects. Departement of plant, soil and

(9)

Entomologi col sciences . University of Idoko Moskow, Idoko. 286p.

Sudhiyam, P, and S. Maneekhao. 1997. Sesame (Sesamum indicum L.) A.Guide Book for Field Crops Production in Thailand. Field crops Research Institute. Departement of Agriculture. 166p.

Subiyakto dan Harwanto. 1996. Hama Tanaman Wijen dan Pengendaliannya. Monograf Balittas (2) : 31- 37

Soenardi, 1996. Budidaya Tanaman Wijen. Monograf Balittas (2): 14-25.

Sitepu, D., A. Kardinan dan A. Asnan, 2000. Pemanfaatan Pestisida nabati. Jurnal Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 11 (2): 24-33.

Suprijono dan R, Mardjono, 2002. Inovasi teknologi untuk pengembangan wijen. Makalah Lokakarya dan Pameran Pengembangan kapas, jarak dan wijen. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat Malang. Oktober 2002. 6 hlm. Stumpt, N. and R. Nauen, 2001. Cross resisteance,

inheritance, and biochemistry of mito-chondrial electron transport inhibitor-acaricide resistance in Tetranychus urticae (Acari: Tetranychidae). Journal Econ. Entomol, 94: 1577-1583.

Sintim, H,O. and Badu V.I.Y, 2010. Evaluation of Sesame (Sesamum indicum) production in Gana. Journal of Animal and Plant Sciences, Issue 6(3): 653-662.

Tukimin,S.W., 2007. Beberapa aspek biologi tungau kuning Polyphagotarsonemus latus (Banks) pada beberapa aksesi wijen (Sesamum indicum L.) Journal Agritek, April 2007. 15 (2) : 297 – 304.

Tukimin, S.W., Suprijono, Rusim Mardjono, A.M. Amir dan Suhartono, 2005. Laporan Hasil Evaluasi Ketahanan plasma nutfah wijen terhadap hama utama

Polyphagotarso-nemus latus (Banks) di KP. Sumberrejo.

Laporan Balittas. 20 hlm.

Tukimin, S.W., Titiek Yulianti, dan Nur Wakhidah., 2007a. Siklus hidup tungau kuning Polyphagotarsonemus latus (Banks) pada beberapa aksesi wijen (Sesamum

indicum L.) Journal Agritek Vol. 15.No. 2

April 2007. 448- 452 hal.

Tukimin,S.W., Rusim Mardjono, dan Suhartono, 2007b. Laporan Hasil Evaluasi Ketahanan plasma nutfah wijen terhadap hama utama Polyphagotarsonemus latus (Banks) di KP. Sumberrejo. Laporan Balittas. 23 hlm.

Tukimin,S.W., dan Dwi-Winarno., 2008b. Observasi Hama Tungau kuning

Polyphagotarsonemus latus (Banks) pada

beberapa tanaman inang alternatif. Jurnal Agritek. Pebruari 16 (2):171-176.

Tukimin,S.W., R.D. Purwati,dan Widi Rumini, 2009. Resistensi beberapa Aksesi Wijen terhadap Serangan Hama tungau (Polyphagotarsonemus latus Banks). Jurnal Litri , Desember 15 (4):184-191.

Tukimin, S.W., dan B. Heliyanto, 2008a. Pengaruh intensitas kerusakan daun terhadap penurunan produksi pada empat varietas wijen (Sesamum indicum L.). Jurnal Agritek, Juli, Vol 17.

Tukimin,S.W., dan N. Asbani, 2007c. Pemanfaatan Ekstrak Daun Paitan dan Ekstrak Daun Tembakau + Daun Sirsak untuk Pengendalian Hama Tungau Eriophyidae pada Jarak pagar (Jatropha curcas L.) Jurnal Agritek. Edisi Ulang Tahun ke 15 Juli, Vol 15

Untung, K., 2006. Pengantar Pengelolaan Hama terpadu. Yogyakarta. Gajah Mada University Press. 250-252.

Untung, K., 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gajah Mada Press. Edisi II, Yogyakarta. 132-150 hlm.

Verna, J.P. 1986. Botanical Blight of cotton CRC. Pres inc Boca Reton, Florida. 278 p. Van-Rhaemen, H.A., 1981. Genetic resources of

Sesame in Afrika: collection and exploration, sesame status and 191 improvement. Proc of export consultation. 8-12 December 1980. FAO, Rome, Italy. 170 -172p.

Vichitbandha,P., and A, Chandrapatya, 2011. Broad mite effects on Chili Shoot damage and Yield. Pakistan J. Zool., 43(4) : 637-649.

Weiss, E.A., 1971. Castor, sesame and safflower leonard Hill, London, 876 p.

(10)

Waterhouse,D.F. and K.R,Norris, 1987. Chaper 31: Polyphagotarsonemus latus (Banks). In : Biological Control Pacific Prospects. Inkata Press: Melbourne,454p.

Zeledon, I.H., 1997. Alternatives to synthetic Pesticides were Emphasis on neem. Proc National conference on Bio pesticides, Surabaya 11- 13 Agustus 1977. 10p.

Gambar

Gambar  1.  Grafik  intensitas  kerusakan  dan  populasi P. latus
Gambar 5.  Nimfa jantan membawa larva betina.
Gambar  6.  Grafik  populasi  tungau  P.  latus.
Tabel 1. Produksi wijen kg/ha (Tahun 2005-2007)

Referensi

Dokumen terkait

organisasi pada Sanggar Seni Seulaweuet menjadi sangat komplek seperti halnya peluang, salah satu peluang yang anggap sangat baik adalah motivasi pengurus untuk melakukan

Tujuan dari penelitian ini adalah pertama, untuk mengetahui pengaruh dari modifikasi jarak antara choke bean dengan elbow terhadap laju erosi yang dihasilkan di

Pada penelitian ini dugunakan sistem pemompaan untuk pengaliran ke daerah Sam-sam atau Kandis Pasar Minggu yang melewati daerah Telaga Sam-sam, dikarenakan kondisi

Saham dalam kelompok JII merupakan saham syariah yang mempunyai batasan hutang yang berbasis bunga adalah kurang dari delapan puluh dua persen sehingga dengan

(Suatu hal yang dapat diterapkan secara umum untuk semua persaingan tidak jujur atau curang dalam perdagangan dan bisnis, tetapi terutama diterapkan pada praktik berusaha

~ Integrated fine mesh water filter ~ Garden hose adapter A3/4” ~ High-pressure hose 6 m ~ Detergent suction hose with filter ~ Trigger gun with Quick Connect ~ Vario-power spray

Namun Penelitian ini memiliki pengaruh positif hasilnya sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Endang Unigoro dengan judul Analisis Kontribusi Sektor Industri Pengolahan

Gaya gesek antara kantong ( interlocking ) yang relatif kecil merupakan penyebab stabilitas susunan kantong pasir peka terhadap perubahan gaya gelombang. Perubahan gaya gelombang