• Tidak ada hasil yang ditemukan

REVIEW KAITAN PROGRAM WAJARDIKDAS 9 TAHUN DENGAN BEBERAPA ISU PEMBANGUNAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REVIEW KAITAN PROGRAM WAJARDIKDAS 9 TAHUN DENGAN BEBERAPA ISU PEMBANGUNAN"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

REVIEW KAITAN PROGRAM

WAJARDIKDAS 9 TAHUN DENGAN

(3)

KATA PENGANTAR

Sumber daya manusia merupakan faktor, unsur dan komponen terpenting dalam pembangunan. Dua sektor yang memiliki peran penting dan dominan dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah pendidikan dan kesehatan. Berkaitan dengan sektor pendidikan, fondasi utama pembangunan pendidikan adalah pendidikan dasar. Sejalan dengan itu, maka kami melakukan kajian terhadap Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajardikdas) 9 Tahun dikaitkan dengan isu-isu pembangunan.

Kajian ini merupakan pelengkap dari laporan Evaluasi Pelaksanaan Program Wajardikdas 9 Tahun. Tinjauan kajian difokuskan pada peran Wajardikdas 9 Tahun dikaitkan dengan tiga isu pokok, yaitu keberpihakan kepada masyarakat miskin, desentralisasi pendidikan, serta ketersediaan dan kualitas guru. Diharapkan kajian ini dapat menjadi masukan dalam kebijakan pembangunan pendidikan maupun sektor lainnya yang terkait di masa yang akan datang.

Kami menyadari kajian ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik, saran, dan masukan yang membangun sangat diharapkan. Akhirnya, terima kasih serta penghargaan kami ucapkan kepada semua pihak yang telah bekerja sama dan membantu dalam penyusunan kajian ini.

Jakarta, Desember 2009 Plt. Deputi Evaluasi Kinerja Pembangunan, Bappenas

(4)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ii

Daftar Isi iii

Daftar Tabel iv

Daftar Gambar v

BAB I LATAR BELAKANG 1

BAB II KEBERPIHAKAN KEPADA MASYARAKAT MISKIN 5

2.1. Kerangka Kebijakan Bantuan Operasional Sekolah 7

2.2. Analisa dan Pembahasan 15

2.3. Permasalahan 23

2.4. Implikasi Kebijakan 24

BAB III DESENTRALISASI PENDIDIKAN 26

3.1. Kerangka Kebijakan Desentralisasi Pendidikan 26

3.2. Pembiayaan Dalam Kerangka Desentralisasi Pendidikan 32 3.3. Capaian Wajardikdas dalam Kerangka Desentralisasi 44 3.4. Permasalahan 50

3.5. Implikasi Kebijakan 55

BAB IV KETERSEDIAAN dan KUALITAS GURU 57

4.1. Kebijakan untuk Peningkatan Kualitas Guru 57

4.2. Capaian 75

4.3. Permasalahan 89

4.4. Implikasi Kebijakan 94

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 98

5.1. Kesimpulan 98

(5)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Urusan Wajib Yang Menjadi Kewenangan

Pemerintah Daerah 27

Tabel 4.2 Persentase Kelayakan Mengajar Kepala Sekolah dan Guru menurut Jenjang

Pendidikan Tahun 2006 81

Tabel 4.3 Perkembangan Angka Mengulang SD/MI dan SMP/MTs Tahun

2001/2002-2005/2006 87

(6)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di

Indonesia 6

Gambar 2.2 Alokasi Anggaran BOS Periode Tahun 2005-200710

Gambar 2.3 Sasaran Jumlah Siswa Penerima BOS 10

Gambar 2.4 Alokasi Dana BOS dan Penduduk Miskin Tahun

2007 16

Gambar 2.5 APK SD dan BOS SD Tahun 2007 17

Gambar 2.6 APK SMP dan BOS SMP Tahun 2007 18

Gambar 2.7 Jumlah Siswa Mengulang SD 19

Gambar 2.8 Jumlah Siswa Mengulang SMP 20

Gambar 2.9 Jumlah Lulusan SD 22

Gambar 2.10 Jumlah Lulusan SMP 22

Gambar 3.1 Alur Pembiayaan Pendidikan Nasional 35

Gambar 3.2 Perkembangan Alokasi Anggaran Program Wajardiknas 9 Tahun Departemen Pendidikan

Nasional 37

Gambar 3.3 Komposisi Dana Alokasi Khusus (DAK) 2004-

2007 38

Gambar 3.4 Kontribusi Pemerintahan dalam Belanja

Pendidikan Dasar 9 Tahun 42

Gambar 3.5 Kontribusi DAU terhadap Total Penerimaan APBD

Kabupaten Kota 43

Gambar 3.6 Target dan Realisasi Disparitas APM Sekolah

Dasar dan SMP Antara Kabupaten dengan Kota 45

Gambar 3.7 APK dan APM Tingkat Sekolah Dasar 2007 47

Gambar 3.8 APK dan APM Tingkat Sekolah Menengah

Pertama 2007 47

(7)

Gambar 4.1 Rasio Siswa per Guru Tahun

2001/2002-2005/2006 77

Gambar 4.2 Rasio Siswa per Guru Tahun 2006 dan 2007 78

Gambar 4.3 Rasio Siswa per Guru Sekolah Dasar &

Menengah Tahun 2005 dan 2007 79

Gambar 4.4 Kepala Sekolah dan Guru menurut Tingkat

Pendidikan Tahun 2006 80

Gambar 4.5 Persentase Guru SD dan SMP yang Layak

Mengajar Tahun 2007 83

Gambar 4.6 Persentase Guru SD-SMP Negeri dan Swasta

yang Layak Mengajar Tahun 2006 84

Gambar 4.7 Persentase Guru yang Lulus Sertifikasi Tahun

(8)

BAB I

LATAR BELAKANG

Pembangunan ekonomi yang telah ditempuh di masa lalu telah menghasilkan berbagai kemajuan yang cukup berarti namun sekaligus juga mewariskan berbagai permasalahan yang mendesak untuk dipecahkan. Penitikberatan pembangunan masa lalu hanya kepada tercapainya tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah menciptakan peningkatan pendapatan perkapita, penurunan jumlah kemiskinan dan pengangguran, dan perbaikan kualitas hidup manusia secara rata-rata. Namun pembangunan ekonomi yang sangat berorientasi kepada peningkatan produksi nasional ini tidak disertai dengan pembangunan dan perkuatan insitusi-insitusi baik publik maupun insitusi pasar terutama institusi keuangan yang seharusnya berfungsi melakukan alokasi sumber daya secara efisien dan bijaksana. Hasil pembangunan yang dicapai justru menimbulkan akibat negatif dalam bentuk kesenjangan antar golongan pendapatan, antar wilayah, dan antar kelompok masyarakat. Oleh karena itu pembangunan nasional diarahkan tidak saja pada pada pertumbuhan ekonomi namun pada pembangunan manusia secara keseluruhan.

(9)

Tahun). Program ini dimulai pada tahun 1994 dengan

mentargetkan semua warga negara Indonesia memiliki

pendidikan minimal setara Sekolah Menengah Pertama dengan mutu yang baik. Sehingga diharapkan seluruh warga negara Indonesia dapat mengembangkan dirinya lebih lanjut yang akhirnya mampu memilih dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki, sekaligus berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ketika dicanangkan pada tahun 1994, Program Wajardikdas 9 Tahun diharapkan dapat tuntas pada tahun 2003/2004. Namun krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 menyebabkan target tersebut tidak dapat tercapai. Target penuntasan Wajar disesuaikan dari 2003/2004 menjadi 2008/2009

Program Wajardikdas 9 Tahun merupakan satu program yang sangat krusial dalam pembangunan nasional. Selain

sebagai pemenuhan hak dasar masyarakat Indonesia,

Wajardikdas 9 tahun diharapkan pula mempunyai dampak terhadap daya saing tenaga kerja hingga kesejahteraan

masyarakat secara umum. Beberapa permasalahan

pembangunan bisang pendidikan diantaranya: (1) Terbatasnya akses penduduk terhadap pendidikan dasar, yang bisa dilihat dari ketersediaan guru yang belum memadai (20:1); (2) Tingkat pendidikan penduduk rendah, dimana angka Partisipasi Sekolah (APS) 7-12 tahun sebesar 96,4 persen; 13-15 tahun sebesar 81 persen; 16-18 tahun (51 persen), masih terdapat sekitar 19 persen anak usia 13-15 tahun dan sekitar 49 persen anak usia

(10)

16-18 tahun yang tidak bersekolah baik karena belum/tidak pernah sekolah maupun karena putus sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi; serta (3) Kualitas pendidikan relatif masih rendah dan belum mampu memenuhi kebutuhan kompetensi peserta didik, yang bisa dilihat dari ketersediaan pendidik yang belum memadai baik secara kuantitas maupun kualitas, kesejahteraan pendidik yang masih rendah, fasilitas belajar belum tersedia secara mencukupi, dan biaya operasional pendidikan belum disediakan secara memadai.

Tahun 2008 merupakan pelaksanaan tahun keempat dari RPJMN 2004-2009 yang pelaksanaannya dituangkan dalam perencanaan tahunan yaitu Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Sebagai masukan dalam pelaksanaan RKP tahun 2009 dan juga penyusunan rancangan RPJMN periode berikutnya, pelaksaaan program-program pembangunan yang telah dilakukan selama kurun waktu 2004–2007 sangat diperlukan. Hal ini sangat penting terutama untuk melihat apakah selama kurun waktu tersebut dapat dicapai sasaran serta target-target yang telah ditetapkan dalam RKP dan juga perkiraan pencapaian pada akhir periode RPJMN 2004-2009. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pembangunan yang telah dilaksanakan dalam periode 2004-2007. Diharapkan evaluasi ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam peningkatan pencapaian sasaran khususnya bagi sektor-sektor

(11)

penyusunan RPJMN 2010–2014 baik kebijakan maupun sasaran serta program-program pembangunannya dapat lebih tepat lagi.

Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun

2002, dan ditindak lanjuti dengan Keputusan Menteri

PPN/Kepala Bappenas Nomor: KEP.050/M.PPN/03/2002

Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Meneg. PPN/Kepala Bapppenas disebutkan bahwa Bappenas mempunyai tugas membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang perencanaan pembangunan nasional. Di samping itu, Undang-Undang No.25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan bahwa pimpinan kementerian/lembaga harus melakukan evaluasi kinerja pelaksanaan rencana pembangunan kementerian/ lembaga.

Sejalan dengan itu, untuk mendukung keperluan di

atas pada tahun 2008 dilakukan evaluasi kinerja

pembangunan sektoral untuk periode 2004–2007. Evaluasi

memfokuskan pada evaluasi program Wajardikdas 9

Tahun. Evaluasi akan dilakukan dengan mengacu kepada

dokumen-dokumen perencanaan, yaitu RPJMN 2004–

2009, RKP 2005, RKP 2006, dan RKP 2007. Lebih lanjut,

laporan ini akan menggunakan analisa kualitatif dengan

tiga isu pokok, yaitu Wajardikdas dengan keberpihakan

kepada

masyarakat

miskin

(BOS),

desentralisasi

pendidikan serta ketersediaan dan kualitas guru.

(12)

BAB II

KEBERPIHAKAN KEPADA MASYARAKAT MISKIN

Studi literatur dan empiris telah menunjukkan bahwa peningkatan kuantitas dan kualitas pendidikan dapat dijadikan alat kebijakan untuk mengentaskan kemiskinan di suatu negara. Kenaikan harga BBM di Indonesia pada tahun 2005, telah meningkatkan persentase jumlah penduduk miskin yang cukup signifikan. Disisi lain, tingginya biaya pendidikan makin

mempersulit masyarakat yang kurang beruntung untuk

mengakses pendidikan yang bermutu. Jika hal ini tidak diantisipasi dengan baik oleh Pemerintah, maka pertumbuhan ekonomi di Indonesia semakin terpuruk di masa-masa yang akan datang. Dengan demikian, kebijakan yang terkait sektor pendidikan harus berpihak kepada masyarakat miskin, sehingga mereka dapat keluar dari kemiskinan dan berkontribusi bersama-sama dalam pembangunan.

Keberpihakan terhadap masyarakat miskin di sektor

pendidikan dilakukan oleh Pemerintah dengan cara

menghilangkan berbagai hambatan biaya bagi orangtua peserta didik, dalam rangka meningkatkan jumlah peserta didik SD-setara dan SMP-SD-setara yang berasal dari keluarga miskin sehingga wajib belajar 9 tahun dapat diselesaikan.

(13)

Gambar 2.1 Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 2000-2007 14 14,5 15 15,5 16 16,5 17 17,5 18 18,5 19 19,5 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin (%)

Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin (%)

Sumber: Departemen Keuangan, 2007, diolah.

Adapun, jenis biaya pendidikan yang dibebankan kepada orangtua peserta didik adalah biaya operasi satuan pendidikan, biaya pribadi dan biaya investasi. Sejalan dengan amanat Konstitusi dan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, Pemerintah secara bertahap membebaskan seluruh beban biaya operasi satuan pendidikan negeri dan swasta menuju pendidikan dasar bebas biaya. Dengan mengurangi biaya-biaya tersebut diatas, khususnya bagi keluarga miskin, diharapkan anak-anak dari keluarga miskin dapat menyelesaikan wajib belajar 9 tahun.

Namun demikian, pembebasan biaya diatas sepertinya kurang mencukupi karena masih banyak keluarga miskin yang

(14)

tidak mampu memenuhi biaya pribadi untuk anaknya pergi ke sekolah. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Pemerintah menyediakan bantuan beasiswa yang disalurkan melalui biaya satuan pendidikan ke sekolah untuk menutup biaya pribadi bagi siswa miskin agar tidak terhambat masuk sekolah. Dengan bantuan dari Pemerintah ini diharapkan dapat meningkatkan APK SD-SMP dan Setara. Sedangkan, untuk biaya investasi seperti lahan, prasarana pendidikan, sarana pendidikan, dan modal kerja yang diperlukan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang baik dan bermutu, sejak tahun 2005, Pemerintah dan Pemerintah Daerah telah menanggung sebagian besar dari biaya investasi satuan pendidikan. Biaya investasi tersebut berupa perbaikan sarana dan prasarana pendidikan yang telah rusak.

2.1. Kerangka Kebijakan Bantuan Operasional Sekolah

Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Tunai

Dalam rangka penuntasan Wajib Belajar 9 tahun, banyak program yang telah dilakukan oleh Pemerintah, dimana dikelompokkan menjadi 3 yaitu; (1) Pemerataan dan Perluasan Akses; (2) Peningkatan Mutu, Relevansi dan Daya Saing; dan (3) Tata Kelola, Akuntabilitas dan Pencitraan Publik. Salah satu program yang diharapkan berperan besar terhadap percepatan

(15)

untuk peningkatan mutu, relevansi dan daya saing serta untuk tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik.

Sejak bulan Juli 2005, Pemerintah telah meluncurkan program BOS kepada seluruh sekolah setingkat SD/MI/SDLB dan SMP/MTs/SMPLB di Indonesia untuk meringankan atau

menggratiskan biaya pendidikan yang ditanggung oleh

masyarakat. Melalui program BOS yang terkait dengan gerakan percepatan penuntasan Wajib Belajar 9 tahun, maka setiap pelaksana program pendidikan harus memperhatikan hal-hal berikut: (i) BOS harus menjadi sarana penting untuk mempercepat penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun, (ii) Melalui BOS tidak boleh ada siswa miskin putus sekolah karena tidak mampu membayar iuran/pungutan yang dilakukan oleh sekolah /madrasah/ponpes, (iii) Anak lulusan sekolah setingkat SD, harus diupayakan kelangsungan pendidikannya ke sekolah setingkat SMP. Tidak boleh ada tamatan SD/MI/setara tidak dapat melanjutkan ke SMP/MTs/SMPLB dengan alasan mahalnya biaya masuk sekolah, dan (iv) Kepala sekolah/madrasah/ponpes mencari dan mengajak siswa SD/MI/SDLB yang akan lulus dan berpotensi tidak melanjutkan sekolah untuk ditampung di SMP/MTs/SMPLB. Demikian juga bila teridentifikasi anak putus sekolah yang masih berminat melanjutkan agar diajak kembali ke bangku sekolah.

Dana BOS diberikan kepada seluruh sekolah

penyelenggara Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun baik negeri maupun swasta,yakni SD/MI/SDLB/Salafiyah

(16)

dan SMP/MTs/SMPLB/Salafiyah. Pada saat pertama kali dikucurkan dana BOS pada tahun 2005, dana BOS diberikan ke sekolah berdasarkan jumlah murid di masing-masing sekolah, dengan perhitungan Rp235.000 per murid per tahun untuk tingkat SD dan Rp324.500 per murid per tahun untuk tingkat SMP. Biaya per unit mengalami peningkatan pada tahun 2008 menjadi Rp 254.000 per murid per tahun untuk tingkat SD, Rp. 354.000 per murid per tahun untuk tingkat SMP dan Rp. 22.000 per murid per tahun untuk buku. Total alokasi APBN untuk dana BOS Depdiknas tahun 2007 mencapai Rp. 9.840.967.844.600,00 Selama periode tahun 2005-2006, alokasi dana BOS mengalami peningkatan yang sangat signifikan, melebihi 100% antara periode tahun 2005-2006, lalu mengalami penurunan yang tidak terlalu signifikan pada tahun 2007, seperti yang terlihat pada Gambar berikut. Adapun sasaran jumlah siswa penerima BOS, paling banyak dari SD/MI/SDLB/Salafiyah SD.

(17)

Gambar 2.2 Alokasi Anggaran BOS Periode Tahun 2005-2007 (dalam Juta Rupiah)

2005 2006 2007

5.136.932

10.320.204 9.841.118

Total Anggaran BOS

Total Anggaran BOS

Sumber: Depdiknas

Gambar 2.3 Sasaran Jumlah Siswa Penerima BOS

2005 2006 2007 28.887.886 29.432.530 26.046.328 10.740.249 10.488.627 9.111.160 SD/MI/SDLB/Salafiyah SD SMP/MTs/SMPLB/Salafiyah SMP Sumber: Depdiknas

(18)

Program BOS secara jelas menfokuskan pada subsidi pendidikan bagi keluarga miskin dan penuntasan wajib belajar 9 tahun, seperti yang tercantum pada tujuan program BOS menurut Buku Panduan 2006. Program BOS dapat dikatakan sebagai bantuan ”gratis terbatas”, dimana menggratiskan siswa miskin dan meringankan siswa tidak miskin. Sasaran program BOS mencakup sekitar 40 juta siswa setara SD dan SMP di seluruh Indonesia, dengan total dana lebih dari Rp. 11 trilyun per tahun. Dengan mempertimbangkan besarnya skala program dan besarnya dana, pengelolaan Program BOS dilakukan dengan mekanisme dekonsentrasi ke tingkat provinsi. Dana BOS diadministrasikan di DIPA (Dinas Pendidikan Provinsi), dan penyaluran dana BOS disalurkan dengan mekanisme perbankan langsung ke rekening sekolah. Teknis penyaluran BOS dirancang sedemikian rupa untuk menghilangkan potensi kebocoran dalam proses penyaluran. Dana dari Kantor Pembendaharaan Kas Negara (KPKN) di Departemen Keuangan disalurkan langsung ke rekening dana dekonsentrasi provinsi tanpa melalui Depdiknas, kemudian provinsi menyalurkannya langsung ke rekening sekolah tanpa melalui kabupaten/kota.

Menurut ketetapan yang berlaku, dana BOS hanya digunakan untuk biaya operasional sekolah non personel, misalnya uang pendaftaran, ATK, langganan daya dan jasa, membayar guru/pegawai honorarium, kegiatan kesiswaan, dan

(19)

prioritas utama didanai oleh pemerintah daerah (pemda). Sekolah yang menerima dana BOS diharuskan untuk mengikuti semua aturan yang ditetapkan oleh pengelola program, baik mengenai cara pengelolaan penggunaan, pertanggungjawaban dana BOS yang diterima maupun monitoring dan evaluasi. Sekolah berhak menolak BOS, jika sekolah mampu secara ekonomi dan memiliki pendapatan yang lebih besar dari dana BOS, yang harus disetujui oleh orang tua siswa dan komite sekolah. Untuk sekolah penerima BOS harus mengikuti aturan sebagai berikut:

 Sekolah yang jumlah penerimaan dari peserta didik (sebelum

BOS) lebih kecil dari BOS harus membebaskan siswa dari semua bentuk pungutan/sumbangan/iuran yang digunakan untuk membiayai pengeluaran yang dapat dibiayai dari dana BOS.

 Sekolah juga diminta untuk membantu siswa kurang mampu

yang mengalami kesulitan transportasi dari dan ke sekolah.

 Sekolah yang jumlah penerimaan dari peserya didik

(sebelum BOS) lebih besar dari BOS tetap dapat memungut biaya tambahan, tetapi harus membebaskan iuran sekolah bagi siswa miskin, apabila di sekolah tersebut ada siswa miskin.

 Bila masih ada sisa dana BOS, setelah digunakan untuk

mensubsidi siswa miskin, maka sisa dana tersebut dapat digunakan untuk mensubsidi siswa lain.

(20)

 Apabila di sekolah tersebut tidak ada siswa miskin, dana BOS dapat digunakan untuk mensubsidi semua siswa sehingga iuran siswa akan berkurang.

Berdasarkan penelitian Badan Penelitian dan

Pengembangan Depdiknas, dana BOS telah memberikan dampak positif sebagai berikut (Lakip 2005-2008): (i) Program BOS meningkatkan jumlah siswa yang terbebas dari pungutan biaya operasional sekolah/madrasah yaitu, dari 28.4% pada tahun 2004 menjadi 70.3% setelah digulirkannya program BOS sejak tahun 2005, (ii) Program BOS menurunkan angka putus sekolah dari 0.60% menjadi 0.40%, menurunkan tingkat kehadiran dari 2.71% menjadi 2.14%, dan menurunkan angka mengulang kelas dari 1.73% menjadi 1.24%, serta meningkatkan angka melanjutkan dari SD/MI ke SMP/MTs dari 94.27% menjadi 96.70%, jika dibandingkan antara kondisi setelah digulirkannya program BOS sejak tahun 2005, (iii) Penyelenggaraan program BOS pada tahun 2007 relatif lebih baik dibandingkan dengan

tahun 2006 dilihat dari aspek perencanaan dan

pengorganisasian, sosialisasi program, penyaluran dana, pemanfaatan dana, serta monitoring evaluasi dan pelaporannya. Namun demikian, masih ditemukan beberapa kelemahan yaitu pengadaan buku pedoman yang masih kurang efisien, waktu penyampaian buku pedoman, sosialisasi, dan penyaluran dana yang kadang terlambat, serta masih terjadinya kesalahan data

(21)

BOS Buku

BOS buku dimasudkan sebagai subsidi kepada semua peserta didik wajib belajar, yang disalurkan melalui satuan pendidikan, sehingga diharapkan siswa miskin dapat mengakses buku teks pelajaran yang digunakan satuan pendidikan melalui peminjaman buku di perpustakaan sekolah. BOS buku, diharapkan dapat meringankan beban biaya pendidikan bagi siswa miskin dan sekaligus meningkatkan mutu pendidikan. Seperti halnya BOS Tunai, BOS buku dialokasikan ke semua sekolah dan madrasah serta bentuk lainnya yang sederajat, baik negeri maupun swasta, yang melaksanakan program wajib belajar 9 tahun.

Besarnya alokasi BOS per satuan pendidikan ditentukan atas dasar jumlah peserta didik dengan biaya satuan Rp.22.000/siswa untuk tahun 2007. Dana bantuan BOS buku hanya ditujukan untuk membeli satu buku teks saja (diantara tiga mata pelajaran Matematika, Bahasa Inggris, atau Bahasa Indonesia). Total alokasi APBN untuk dana BOS Buku Depdiknas tahun 2007 mencapai Rp.595.141.537.400,00. Mulai tahun 2007, BOS buku juga diberikan kepada siswa SMP Terbuka. Tata cara pengalokasian BOS Buku mengikuti tata cara yang dipakai untuk BOS Tunai.

Menurut penelitian Balitbang Depdiknas, program BOS buku telah memberikan dampak positif sebagai berikut (Lakip 2005-2008): (i) BOS Buku telah menurunkan biaya pendidikan sebesar 11.77% (setelah memperhitungkan tingkat inflasi 2006

(22)

sebesar 6.6%) dibandingkan dengan sebelum program BOS Buku diluncurkan. Rerata jumlah dana yang dikeluarkan oleh orang tua untuk pembelian buku teks pada tahun ajaran 2005/2006 yang sebesar Rp.133.720 turun menjadi Rp.125.762 pada tahun 2006/2007, dan (ii) Sebanyak 97.3% orang tua menyatakan keberadaan program BOS Buku meringankan beban pembiayaan mereka.

2.2. Analisa dan Pembahasan

2.2.1. BOS dengan Keberpihakan terhadap Masyarakat Miskin

Sebagian besar penerima dana BOS tersebut terpusat di Pulau Jawa yaitu Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jika dilihat lebih lanjut, distribusi alokasi dana BOS antara periode tahun 2005-2007, masih menunjukkan tingginya disparitas antar wilayah penerima dana BOS.

Berdasarkan gambar berikut, terlihat bahwa program BOS belum banyak menyentuh orang miskin. Hal ini dapat dilihat dari propinsi-propinsi yang memiliki persentase penduduk miskin paling besar seperti Papua, Papua Barat, Maluku dan Gorontalo belum memanfaatkan program BOS secara optimal. Dengan perkataan lain, jika tujuan BOS adalah bertujuan untuk membebaskan biaya pendidikan bagi siswa miskin dalam rangka

(23)

untuk propinsi yang memiliki presentase penduduk miskin terbesar, seperti Papua dan Maluku.

Gambar 2.4 Alokasi Dana BOS dan Penduduk Miskin Tahun 2007

-200 400 600 800 1.000 1.200 1.400 1.600 1.800 N A D Su m u t Su m b a r R ia u Ja m b i Su m se l B e n g k u lu L a m p u n g B a b e l K e p ri DK I J a k a rt a Ja b a r Ja te n g DI Y Ja tim Ba n te n B a li N T B N T T K a lb a r K a lt e n g K a lse l K a lt im Su lu t Su lt e n g S u ls e l S u lt ra G o ro n ta lo S u lb a r M a lu k u M a lu k u U ta ra P a p u a P a p u a Ba ra t

Alokasi Dana BOS Presentase Penduduk Miskin Terhadap Total Penduduk Propinsi

Sumber: Depdiknas, diolah

2.2.2. BOS dan Percepatan Wajardikdas

Program BOS bertujuan untuk mempercepat penuntasan Wajib Belajar 9 tahun, dimana seperti diketahui salah satu indikator keberhasilan Wajardikdas adalah angka partisipasi kasar. Gambar berikut menunjukkan bahwa sepertinya tidak ada hubungan antara dana BOS dengan APK SD pada tahun 2007.

(24)

Hal ini terlihat bahwa propinsi seperti Bali, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Lampung dan Jambi yang memiliki APK SD diatas rata-rata nasional, walaupun mereka hanya menerima dana BOS sedikit.

Gambar 2.5 APK SD dan BOS SD Tahun 2007

NAD Sumut Sumbar R i a u; Jambi Sumsel Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jabar Jateng DIY Jatim B a l i NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sulbar Sultra Maluku Banten 105 107 109 111 113 115 117 119 121 123 125 40 240 440 640 840 1.040 1.240 1.440 1.640 1.840 A PK SD BOS SD

Sumber: Depdiknas, diolah

Hal yang serupa juga terjadi pada BOS SMP, dimana tidak terlihat adanya hubungan dana BOS SMP dengan APK SMP tahun 2007. Kasus yang sangat ekstrem dapat dilihat pada Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Propinsi Jawa Barat

(25)

menerima dana BOS terkecil pada tahun 2007, tetapi memiliki APK SMP paling tinggi dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain.

Gambar 2.6 APK SMP dan BOS SMP Tahun 2007

NAD Sumut Sumbar R i a u; Sumsel Lampung DKI Jakarta Jabar Jateng DIY Jatim B a l i NTB NTT Kalbar Kaltim Sulsel Banten 45 55 65 75 85 95 105 40 140 240 340 440 540 A PK SM P BOS SMP

Sumber: Depdiknas, diolah

Sehingga dapat disimpulkan bahwa dana BOS tidak terlalu signifikan dalam meningkatkan APK SD, masih banyak faktor lain yang mempengaruhi outcomes Wajardikdas. Hal ini sejalan dengan hasil temuan di lapangan dimana hanya sekitar 67,86% responden menyatakan bahwa program BOS

(26)

2.2.3. BOS dan Jumlah Siswa Mengulang

Jumlah siswa mengulang SD mengalami penurunan yang sangat drastis pada saat era BOS. Terjadi penurunan jumlah siswa mengulang SD sebesar 16,7 persen dibandingkan sebelum adanya program BOS, penurunan ini terus berlanjut sampai 2007, yaitu turun sekitar 67,2 persen. Jika dilihat lebih jauh, penurunan angka mengulang siswa SD Swasta lebih tinggi dibandingkan SD Negeri yaitu sebesar 22,2 persen pada tahun 2006, sedangkan SD Negeri hanya sebesar 16,3 persen. Namun demikian, kondisi ini berbalik pada tahun 2007, dimana penurunan angka mengulang SD Negeri jauh lebih besar dibandingkan SD Swasta, yaitu sebesar 68,72 persen.

Gambar 2.7 Jumlah Siswa Mengulang SD

Negeri Swasta Negeri Swasta Negeri Swasta

2004 2006 2007

Pra BOS Era BOS

1.118.678 71.628 935.452 55.723 292.608 32.262 Jumlah Siswa Mengulang SD

(27)

Lebih lanjut, jumlah siswa mengulang SMP mengalami penurunan menjadi 15.755 siswa pada tahun 2007 (era BOS). Jika dibandingkan dengan kondisi pra BOS pada tahun 2004, penurunannya sebesar 58.46 persen. Akan tetapi, pada tahun 2006, satu tahun setelah program BOS diluncurkan, angka mengulang siswa mengalami peningkatan sebesar 12.15 persen. Namun demikian, jika dilihat secara keseluruhan jumlah siswa mengulang SMP mengalami penurunan pada era BOS.

Gambar 2.8 Jumlah Siswa Mengulang SMP

Negeri Swasta Negeri Swasta Negeri Swasta

2004 2006 2007

Pra BOS Era BOS

27.837

10.088

30.645

11.887 11.362

4.393 Jumlah Siswa Mengulang SMP

Sumber: Depdiknas, diolah

Bila dibandingkan dengan antar SD dan SMP, maka penurunan angka mengulang SD jauh lebih besar dibandingkan SMP pada era BOS. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa ada indikasi program BOS berdampak pada penurunan jumlah siswa mengulang SD dan SMP. Namun demikian, hasil ini tidak dapat

(28)

mengatakan bahwa program BOS benar-benar berdampak pada penurunan angka mengulang SD dan SMP, diperlukan model lain untuk menerangkan lebih jauh hal tersebut. Karena keterbatasan data tidak dapat dilakukan dalam studi ini.

2.2.4. BOS dan Jumlah Lulusan

Jika dibandingkan pada saat pra BOS (tahun 2004), jumlah lulusan SD mengalami peningkatan pada saat era BOS (tahun 2006) sebesar 11,9 persen. Peningkatan terjadi paling besar di SD Swasta yaitu sebesar 4,4 persen. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah lulusan SD pada era BOS.

Berbeda dengan yang terjadi pada jenjang pendidikan sekolah dasar, jumlah lulusan mengalami penurunan pada era BOS menjadi 964.099 siswa pada tahun 2007 atau turun sekitar 59,29 persen pada pra BOS (tahun 2004). Walaupun pada tahun

2006, jumlah lulusan mengalami peningkatan, namun

perubahannya sangat sedikit sekali, sekitar 2,8 persen dibandingkan pada era BOS (tahun 2004). Sehingga dapat dikatakan bahwa adanya indikasi bahwa program BOS tidak berdampak pada jumlah lulusan SMP.

(29)

Gambar 2.9 Jumlah Lulusan SD

Negeri Swasta Negeri Swasta

2004 2006

Pra BOS Era BOS

3.411.647

245.614

3.444.374

256.498 Jumlah Lulusan SD

Sumber: Depdiknas, diolah

Gambar 2.10 Jumlah Lulusan SMP

Negeri Swasta Negeri Swasta Negeri Swasta

2004 2006 2007

Pra BOS Era BOS

1.769.617 598.722 1.800.587 635.919 666.275 297.824 Jumlah Lulusan SMP

(30)

2.3. Permasalahan

Berdasarkan temuan di lapangan, terdapat beberapa permasalahan dalam implementasi program BOS. Pertama, formula penentuan alokasi dana yang didasarkan pada jumlah siswa dirasa kurang adil bagi sekolah yang mempunyai jumlah siswa sedikit, memiliki banyak guru honorer, berlokasi di tempat terpencil, yang memiliki keterbatasan infrastruktur dan sekolah khusus (SDLB dan SMPLB). Kedua, secara umum program BOS cenderung dalam bentuk subsidi umum, dan manfaat yang dirasakan siswa miskin dan tidak miskin hampir sama, karena hanya sebagian kecil yang dialokasikan untuk siswa miskin. Ketiga, sekolah yang menolak BOS umumnya sekolah yang relatif kaya. Keputusan untuk menolak program BOS hanya dilakukan secara sepihak oleh pengelola sekolah, tanpa bermusyawarah dengan orang tua murid. Keempat, administrasi pelaksanaan di tingkat sekolah terlalu banyak menyita waktu dan perhatian kepala sekolah yang peranannya sangat krusial dalam manajemen kegiatan belajar-mengajar, sehingga dikhawatirkan justru akan berdampak negatif terhadap kegiatan belajar mengajar. Kelima, sering terjadinya ketelambatan pencairan dana BOS, yang mengakibatkan manajemen sekolah harus mencari dana talangan. Keenam, banyak persepsi dari orang tua murid yang salah bahwa program BOS membebaskan siswa dari semua biaya.

(31)

2.4. Implikasi Kebijakan

Secara umum Program BOS telah membantu

penyelenggaraan kegiatan belajar disekolah dan dalam batas-batas tertentu telah mengurangi biaya beban biaya pendidikan yang ditanggung orang tua murid. Dengan mempertimbangkan manfaat yang telah terwujud dan potensi manfaat program dimasa depan, disarankan agar program BOS terus dilanjutkan dengan berbagai penyempurnaan konseptual dan teknis agar manfaat program dapat lebih optimal. Selain itu, beberapa hal yang perlu disempurnakan dalam teknis pelaksanaan program adalah:

1. Kesamaan persepsi mengenai tujuan dan sasaran program yang akan menjadi landasan bagi pelaksanaan program, mulai dari tahap sosialisasi, pelaksanaan

sampai monitoring dan evaluasi. Agar tidak

membingungkan masyarakat dan pelaksana program. Ada dua hal yang perlu mendapat penekanan, yaitu: (1) bahwa program BOS hanya memenuhi pelayanan

minimum pendidikan, sehingga dalam rangka

peningkatan mutu pendidikan tidak menutup partisipasi dan kontribusi masyarakat, dan (2) sasaran utaama program adalah untuk membebaskan biaya pendidikan bagi masyarakat miskin sehingga tidak terjadi putus sekolah.

2. Perlu rumusan formulasi alokasi dana yang lebih proporsional dengan melibatkan variabel jumlah siswa,

(32)

jumlah guru honor, lokasi sekolah dan kondisi sekolah. Khusus untuk sekolah tertentu seperti yang mempunyai jumlah siswa sedikit, yang memiliki banyak guru honor, banyak siswa miskin, sekolah khusus (SDLB atau SMPLB), sekolah yang berlokasi di daerah terpencil perlu memperoleh program/alokasi khusus dari APBN atau APBD.

3. Untuk menjamin bahwa sekolah dan yayasan tidak membuat keputusan penolakan BOS secara sepihak, penolakan sekolah yang tidak bersedia menerima BOS harus disertai surat keputusan hasil musyawarah antara sekolah dengan dewan gurum komite sekolah dan perwakilan orang tua murid

4. Pencairan dana seharusnya tidak dibebani dengan persyaratan-persyaratan tambahan yang memperpanjang birokrasi, kecuali yang sudah ditetapkan dalam buku pedoman.

5. Tidak diperlukan adanya pengaturan batas waktu pengambilan dana, mengingat kebutuhan sekolah tiap bulan tidak selalu sama. Disamping itu, perlu dipertegas bahwa pencairan dan penggunaan dana tidak dibatasi hanya satu semester saja.

(33)

BAB III

DESENTRALISASI PENDIDIKAN

3.1. Kerangka Kebijakan Desentralisasi Pendidikan

Sejak ditetapkan Undang-Undang no.22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah, sistem pemerintahan di Indonesia mengalami reformasi sistem pemerintahan yang sentralistis kepada pemerintahan yang lebih otonom dan terdesetralisasi. Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah ini, ditetapkan pula Undang-Undang No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sejak saat itu, dinamika pembangunan Indonesia dari sisi pemerintahan dan keuangan mengalami perubahan yang fundamental. Pemerintah daerah dengan kewenangan yang lebih luas dituntut untuk dapat mengoptimalkan pembangunan di daerahnya, dengan sumber daya manusia dan sumber daya keuangan yang dimiliki untuk dapat menyelenggarakan otonomi daerah. Kemudian Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ditetap sebagai pengganti kedua undang-undang di atas.

(34)

Tabel 3.1 Urusan Wajib Yang Menjadi Kewenangan Pemerintah Daerah

Provinsi Kabupaten/ Kota

a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;

a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;

b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan

ketentraman masyarakat;

c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;

d. penyediaan sarana dan prasarana umum; d. penyediaan sarana dan prasarana umum;

e. penanganan bidang kesehatan; e. penanganan bidang kesehatan;

f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;

f. penyelenggaraan pendidikan;

g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;

g. penanggulangan masalah sosial; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas

kabupaten/kota;

h. pelayanan bidang ketenagakerjaan; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha

kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;

i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;

j. pengendalian lingkungan hidup; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan termasuk lintas

kabupaten/kota;

k. pelayanan pertanahan; l. pelayanan kependudukan, dan catatan

sipil;

l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;

m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;

m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;

n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;

n. pelayanan administrasi penanaman modal; o. penyelenggaraan pelayanan dasar

lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota;

o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya;

p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Sumber: Disarikan dari Undang-Undang No.32 Tahun 2004.

(35)

Berdasarkan Undang-Undang No.32 Tahun 2004, pemerintah daerah memiliki otonom yang seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya terkecuali kecuali urusan pemerintahan yang oleh

Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah Pusat1.

Sementara itu, urusan-urusan wajib yang menjadi kewenangan

daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota meliputi

perencanaan dan pengendalian pembangunan, pelayanan umum, pendidikan, kesehatan, kependudukan dan pelayanan dasar lainnya. Secara umum urusan wajib yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota adalah sama, yang membedakan adalah cakupan urusannya dimana untuk provinsi lebih pada urusan-urusan yang mencakup lintas kabupaten/kota. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota secara detail disajikan pada tabel di atas.

Berdasarkan undang-undang di ataslah desentralisasi pendidikan dilaksanakan. Sejumlah urusan dalam pembangunan bidang pendidikan didesentralisasikan kepada pemerintah

daerah baik pemerintah provinsi maupun pemerintah

kabupaten/kota. Gagasan desentralisasi pendidikan

sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru dalam

pembangunan pendidikan. Melalui Undang-Undang Nomor 3

tahun 1947 daerah diberikan kewenangan untuk

menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan kebutuhannya,

1

Urusan Pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah Pusat meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, agama, moneter dan fiskal nasional. (UU No.32

(36)

utamanya dalam bidang pertukangan dan kepandaian putri. Beberapa tahun kemudian melalui Undang-Undang No. 4 Tahun 1950 dan PP Nomor 65 Tahun 1951 kewenangan pengelolaan pendidikan dasar berada pada pemerintah daerah. Dengan landasan hukum yang sama pula pihak swasta dapat turut serta dalam mendirikan sekolah.

Secara konseptual desentralisasi pendidikan dapat diterjemahkan sebagai pendelegasian sebagian atau seluruh kewenangan di bidang pendidikan yang seharusnya dilakukan oleh pejabat pusat atau pejabat di bawahnya atau dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau dari pemerintah kepada masyarakat (Catur Ratna, 2008). Sementara

itu, Departemen Pendidikan Nasional mendefinisikan

desentralisasi pendidikan dalam 2 definisi. Pertama,

desentralisasi pendidikan dalam arti desentralisasi pemerintahan dalam bidang pendidikan. Dalam definisi ini diharapkan dengan desentralisasi pendidikan dapat mewujudkan pemerintahan daerah yang otonom dalam pengelolaan pendidikan. Kedua adalah desentralisasi pada satuan pendidikan. Dalam definisi ini

desentralisasi pendidikan ditujukan untuk mewujudkan

lembaga/satuan pendidikan yang mandiri dan profesional. Konsep desentralisasi pendidikan sendiri diharapkan dapat mencapai pengelolaan pendidikan yang efisien, demokratis dan berkeadilan.

(37)

penyelenggaraan pendidikan ditambah dengan kewenangan provinsi dalam hal alokasi sumber daya manusia potensial. Namun kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah (pusat), Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota; pemerintah merumuskan kebijakan yang lebih detail dan bersifat teknis terutama berkaitan dengan kewenangan dalam urusan pendidikan. Kewenangan urusan pendidikan ini sendiri dibedakan atas 4 bidang, yaitu: Kebijakan, Pembiayaan, Kurikulum, Sarana Prasana, Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, serta Pengendalian Mutu Pendidikan (Detail Pembagian Urusan dimaksud terlampir).

Dalam konteks pelaksanaan Program Wajardikdas 9 tahun, kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/ kota untuk pendidikan dasar dan menengah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 disusun sebagai berikut:

1. Bidang Kebijakan strategis di tingkat nasional menjadi kewenangan pemerintah pusat, kebijakan strategis di

tingkat provinsi kewenangan pemerintahan provinsi

sementara kebijakan yang bersifat operasional menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota.

2. Bidang Pembiayaan di tingkat nasional menjadi

kewenangan pemerintah pusat, pendidikan dasar dan

menengah yang bertaraf internasional kewenangan

(38)

menengah secara umum menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/ kota.

3. Bidang Kurikulum ditetapkan oleh pemerintah pusat

sementara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota

mempunyai kewenangan dalam hal sosialisasi kurikulum sesuai kewenangannya masing-masing.

4. Bidang Sarana dan Prasarana merupakan kewenangan pemerintah pusat utamanya dalam hal monitoring dan evaluasi sementara dalam hal pengawasan menjadi

kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan

kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

5. Bidang Pendidik dan Tenaga Pendidikan secara

nasional menjadi kewenangan pemerintah pusat,

pendidikan dasar dan menengah bertaraf internasional menjadi kewenangan pemerintahan provinsi sementara pendidikan dasar dan menengah menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota.

6. Bidang Pengendalian Mutu pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten mempunyai kewenangan dalam hal penetapan, supervisi dan monitoring evaluasi sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

(39)

mengurangi kesenjangan pembangunan antar daerah secara makro dan lebih mendekatkan pelayanan kepada masyarakat secara mikro. Hal Ini sejalan dengan sasaran Wajardikdas 9 tahun utamanya dalam perluasan dan pemerataan akses pendidikan dasar 9 tahun.

3.2. Pembiayaan Dalam Kerangka Desentralisasi

Pendidikan

3.2.1. Desentralisasi Fiskal

Sejalan dengan pembagian kewenangan di atas, juga dilaksanakan desentralisasi fiskal untuk mendukung pelaksanaan otonomi dan desentralisasi pendidikan. Desentralisasi fiskal dicerminkan oleh adanya pos dana perimbangan dalam APBD

daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Dana

perimbangan ini bersumber dari APBN dan dialokasikan kepada pemerintah daerah melalui beberapa mekanisme, yaitu: Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Perbantuan. Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan

pemerintah Daerah menyebutkan spesifikasi masing-masing komponen sebagai berikut:

 Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari

(40)

berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

 Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber

dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

 Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber

dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.

 Dana Dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN

yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah.

 Dana Tugas Perbantuan adalah dana yang berasal dari

APBN yang dilaksanakan oleh daerah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan.

(41)

daerah dan pendapatan lainnya. Sumber-sumber pembiayaan baik yang bersumber dari APBN maupun APBD inilah yang digunakan untuk membiayai pembangunan daerah sesuai dengan arah dan prioritas pembangunan di daerah. Mekanisme yang serupa juga berlaku bagi pembiayaan pembangunan pendidikan di daerah. Sumber-sumber seperti dana bagi hasil, DAU dan Pendapatan Asli Daerah dikumpulkan dalam pos pendapatan daerah dan dialokasikan ke tiap-tiap bidang- termasuk pendidikan- sesuai dengan arah dan prioritas daerah sementara sumber-sumber seperti DAK, Dana Dekonsentralisasi dan Dana Tugas Perbantuan dialokasikan pada bidang-bidang tertentu sesuai dengan peruntukkan yang telah ditentukan oleh pemerintah termasuk pembiayaan bidang pendidikan.

(42)

Gambar 3.1 Alur Pembiayaan Pendidikan Nasional

Pembiayaan bidang pendidikan secara umum sejalan dengan mekanisme pembiayaan pembangunan daerah dalam kerangka desentralisasi di atas. Melalui prioritas tertentu dalam pembangunan di masing-masing daerah, bidang pendidikan memperoleh sumber pembiayaan dari komponen PAD, DAU dan dana bagi hasil. Sementara itu, bidang pendidikan secara khusus

APBN

Belanja

Pusat Belanja Daerah Depdiknas Depag K/L

Lainnya

Satuan Pendidikan – Tenaga Pendidik – Peserta Didik DAU Bagi Hasil DAK

APBD-Prop

APBD-Kab/Kota

Tugas Perbantuan Diknasprop

Diknas Kab/Kota Bl ock G ra nt Perimbanga n Dekonsentrasi D ek on. Pro vi nsi APBD Pend id ik an D ek on. Kab/ ko ta

(43)

Dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan dialokasikan melalui mekanisme pembiayaan APBN kepada Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama yang dialokasikan kembali kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu, Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama mengalokasikan dana langsung kepada satuan pendidikan, tenaga pendidik maupun peserta didik melalui mekanisme block

grant. Melalui mekanisme yang serupa, pembiayaan pendidikan

juga dilaksanakan melalui mekanisme APBD Provinsi dan Kabupate/Kota sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Secara detail alur pembiayaan pembangunan bidang pendidikan seperti pada Gambar di atas.

3.2.2. Pembiayaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun

Program Wajardikdas 9 Tahun dapat dikatakan

sebagai program yang krusial dapat pembangunan

nasional utamanya dalam pembangunan jangka menengah

2005-2009. Bahkan Program Wajardikdas ini dapat

dikatakan sebagai program utama Departemen Pendidikan

Nasional. Hal ini dapat dilihat tidak saja dari alokasi

anggaran untuk program Wajardikdas 9 Tahun yang terus

meningkat setiap tahun tetap juga porsinya yang cukup

besar dibandingkan dengan program-program lainnya yang

dilaksanakan oleh Depdiknas. Dari Gambar berikut tampak

bahwa porsi anggaran untuk Wajardikdas 9 tahun terus

(44)

mengalami peningkatan tiap tahunnya, dari 41,9 persen di

tahun 2005 hingga mencapai 48,19 persen di tahun 2008.

secara nominal anggaran Program Wajardikdas juga terus

mengalami peningkatan dari Rp.10,82 Miliar di tahun 2005

hingga Rp.23,96 Miliar di tahun 2008.

Gambar 3.2 Perkembangan Alokasi Anggaran Program Wajardikdas 9 Tahun Departemen Pendidikan Nasional

48,19% 46,13% 50,15% 41,90% -10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000 70.000 80.000 2005 2006 2007 2008 Rp. Miliar 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% Wajardikdas 9 Tahun

Total Belanja Depdiknas % Anggaran Wajardikdas 9 Tahun

(45)

Gambar 3.3 Komposisi Dana Alokasi Khusus (DAK) 2004-2007 6,7% 4,2% 29,5% 42,1% 38,3% 33,0% 23,0% 30,4% 30,5% 25,3% 16,1% 19,8% 15,5% 20,8% 10,8% 6,4% 8,0% 9,5% 8,7% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% 2004 2005 2006 2007 Infrastruktur

Pendidikan

Kesehatan Kelautan Perikanan Pertanian Prasarana Pemerintahan Keterangan:

- Alokasi DAK bidang Pertanian sejak tahun 2005. - Alokasi DAK Bidang Lingkungan Hidup sejak 2006

- Alokasi Infrastruktur sejak tahun 2005 termasuk infrastruktur air bersih. Sumber: Departemen Keuangan, berbagai periode, diolah.

Salah satu komponen yang erat kaitannya dengan Pelaksanaan Wajardikdas dalam kerangka desentralisasi adalah DAK bidang Pendidikan. DAK bidang pendidikan ini bersumber dari APBN dan dialokasikan ke daerah untuk membantu pembangunan dan rehabilitasi fisik sarana pendidikan khususnya

(46)

pendidikan dasar 9 tahun. Porsi alokasi DAK Pendidikan relatif cukup besar dibandingkan alokasi DAK untuk bidang lainnya. Dari Gambar berikut ini tampak bahwa sepanjang 2004-2007, porsi alokasi DAK Pendidikan rata-rata adalah 27,28 persen dari total alokasi DAK setiap tahun. Porsi ini tertinggi setelah DAK bidang Infrastuktur dengan porsi rata-rata sebesar 35,71 persen setiap tahunnya.

DAK pendidikan sendiri sangat erat kaitannya dengan desentralisasi pendidikan. Pertama, karena alokasi DAK Pendidikan memprasyaratkan adanya Dana pendamping dari APBD yang besarnya minimal 10 persen dari alokasi dana DAK. Hal ini mendorong peran serta pemerintah daerah pembangunan bidang pendidikan, dalam hal ini rehabilitasi fisik. Kedua, DAK pendidikan diprioritaskan pada daerah-daerah yang memiliki kemampuan fiskal relatif lebih rendah dibandingkan daerah

lainnya di Indonesia2. Ketiga, DAK Pendidikan diprioritaskan bagi

daerah-daerah tertinggal dan terpencil, daerah pesisir dan kepulauan, daerah perbatasan, daerah rawan banjir, daerah rawan pangan serta kriteria-kriteria lainnya terkait dengan karakteristik daerah. Keempat, alokasi DAK Pendidikan dikelola langsung oleh sekolah sebagai satuan pendidikan terendah.

(47)

Salah satu tujuan desentralisasi pendidikan adalah untuk

lebih mengoptimalkan pembangunan bidang pendidikan.

Pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota memiliki kewenangannya masing-masing untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan pendidikan di daerahnya. Kewenangan yang lebih luas ini didukung pula oleh dukungan pembiayaan pemerintah, baik melalui kementerian/ lembaga terkait maupun melalui mekanisme dana perimbangan. Disamping itu, terdapat sumber-sumber pembiayaan baik yang bersumber dari APBD provinsi maupun APBD kabupaten/kota.

Sejalan dengan desentralisasi pendidikan, masing-masing instansi dan tingkatan pemerintahan memainkan peranannya masing-masing dalam pembiayaan pendidikan. Dengan kata lain dengan prinsip “money follow function”, desentralisasi pendidikan tidak saja dapat dilihat dari pembagian

kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi dan

kabupaten/kota tetapi juga dari kontribusi masing-masing tingkat pemerintahan terhadap pembiayaan bidang pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi pemerintah kabupaten terhadap total belanja pendidikan dasar 9 tahun secara nasional. Pada gambar di bawah ini dapat dilihat bahwa kontribusi rata-rata pemerintah kabupaten/ kota sepanjang 2004-2006 mencapai di atas 50 persen.

(48)

Data Anggaran pendidikan di Era Desentralisasi

Berbagai kebijakan juga dilahirkan dalam periode desentralisasi pendidikan. Salah satunya kebijakan dalam akuntansi pemerintahan. Berdasarkan Kepmendagri No.29 Tahun 2002, Struktur keuangan pemerintah daerah berubah dari sektoral-based menjadi economic-based. Hal ini menjadi isu tersendiri untuk menganalisis

anggaran pendidikan tidak saja pada tingkat

kabupaten/kota tetapi juga tingkat provinsi. Sebelum 2003, analisis terhadap anggaran sektoral lebih mudah dilaksanakan dengan data sekunder berupa pelaporan anggaran Provinsi atau kabupaten/kota yang terpublikasi di Departemen Keuangan (www.dijk.go.id). Namun setelah 2003, sejalan dengan kebijakan struktur anggaran pemerintah data sekunder tersebut tidak lagi disajikan dalam struktur sektoral, namun menurut ekonomi. Untuk dapat menganalisis anggaran pemerintah pada bidang pendidikan secara lebih baik, dibutuhkan rincian anggaran yang ada di masing-masing kabupaten/kota.

(49)

Gambar 3.4 Kontribusi Pemerintahan dalam Belanja Pendidikan Dasar 9 Tahun 7 1 ,4 % 6 4 ,4 % 6 7 ,2 % 6 4 ,5 % 6 5 ,7 % 6 7 ,9 % 6 8 ,7 % 6 4 ,9 % 6 7 ,5 % 2 1 ,9 % 2 9 ,6 % 2 7 ,5 % 1 9 ,7 % 1 8 ,3 % 1 7 ,9 % 2 1 ,0 % 2 5 ,5 % 2 4 ,0 % 3,2% 4,0% 4,0% 4,4% 5,5% 5,1% 2,5% 3,1% 3,3% 5,3% 5,6% 6,2% 9,7% 10,4% 10,7% 2,7% 2,9% 3,4% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% 2004 2005 2006 2004 2005 2006 2004 2005 2006 SD/MI SMP/MTs Total Pemerintah Provinsi Depag Depdiknas Pemerintah Kabupaten/ Kota

Sumber: Laporan Pencapaian MDGs 2007, Bappenas, 2007, diolah.

Besaran ini termasuk juga gaji tenaga pendidik dan tenaga kependidikan dimana dalam sistem keuangan antara pemerintah pusat dan daerah termasuk anggaran yang didesentralisasikan melalui Dana Alokasi Umum. Sementara itu, DAU masih merupakan sumber penerimaan utama keuangan pemerintah daerah. Baik di tingkat kabupaten maupun kota, DAU berkontribusi hampir 70 persen dari total penerimaan APBD pemerintah daerah. Dari Gambar di bawah ini tampak bahwa kontribusi DAU terhadap penerimaan pemerintah daerah kota relatif lebih rendah dibandingkan kabupaten, namun secara umum rata-rata kontribusi DAU hampir mencapai 70 persen. Hal

(50)

ini menjadi satu indikasi masih besarnya peran pemerintah pusat dalam pembiayaan pendidikan dasar, di luar belanja pemerintah pusat sendiri.

Gambar 3.5 Kontribusi DAU terhadap Total Penerimaan APBD Kabupaten Kota Kabupaten; 76,96% 69,30% 68,98% Kota; 68,23% 61,53% 61,51% 50% 55% 60% 65% 70% 75% 80% 2004 2005 2006

Sumber: Departemen Keuangan, diolah.

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 mengamatkan besaran anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total anggaran pemerintah baik APBN maupun APBD (Pasal 31 ayat 4). Bahkan Dalam UU No. 20 Tahun 2003, Pasal 49, tentang

(51)

indikator semakin besarnya perhatian pemerintah dalam memenuhi hak dasar masyarakat atas pendidikan dasar. Namun di sisi mikro hal ini menjadi tantangan baik bagi instansi teknis maupun pemerintahan daerah untuk dapat melaksanakan pelayanan pendidikan dasar lebih efektif dan efisien.

3.3. Capaian Wajardikdas dalam Kerangka Desentralisasi

Target pembangunan pendidikan sampai dengan tahun 2009 adalah mempertahankan APM-SD pada tingkat 95 persen, memperluas SMP/MTs hingga mencapai APK 98 persen serta menurunkan angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas hingga 5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerataan dan perluasan akses pendidikan difokuskan pada pendidikan dasar dan menengah.

Kebijakan pemerataan dan perluasan pembangunan pendidikan melalui program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun bertujuan untuk meningkatkan pemerataan dan perluasan pelayanan pendidikan dasar sehingga semua anak usia 7-15 tahun dalam memperoleh pendidikan, dapat memperoleh pendidikan setidak-tidaknya sampai sekolah menengah pertama atau sederajat. Sedangkan upaya mengurangi kesenjangan pambangunan antara daerah dilakukan melalui desentralisasi pendidikan.

Target penurunan kesenjangan pendidikan antar daerah untuk pendidikan dasar adalah penurunan disparitas APK antara kabupaten dan kota dari 2,49 persen pada tahun 2004 menjadi 2

(52)

persen pada tahun 2009. Sementara itu, untuk tingkat pendidikan menengah pertama menurunkan disparitas antara kabupaten dan kota dari 25,14 persen di tahun 2004 menjadi 13 persen di tahun 2009.

Gambar 3.6 Target dan Realisasi Disparitas APM Sekolah Dasar dan SMP Antara Kabupaten dengan Kota

19,0% 23,0% 25,1% 25,1% 23,4% 23,0% 25,1% 25,1% 2,49% 2,49% 2,40% 2,30% 2,49% 2,49% 2,43% 2,40% 10% 12% 14% 16% 18% 20% 22% 24% 26% 28% 2004 2005 2006 2007 Disparitas APK SD 2,0% 2,1% 2,2% 2,3% 2,4% 2,5% 2,6% 2,7% 2,8% 2,9% 3,0% Disparitas APK SMP

Target SMP Realisasi SMP Target SD Realisasi SD

Sumber: Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah, Departemen Pendidikan Nasional, 2007, diolah.

(53)

Kabupaten dengan Kota turun dari 2,49 persen pada tahun 2004 menjadi 2,4 persen di tahun 2007. Sedangkan disparitas APK SMP Kabupaten dengan Kota turun dari 25,1 persen di tahun 2004 menjadi 23 persen di tahun 2007. Namun, beberapa permasalahan masih menjadi kendala dan menyebabkan kurang

optimalnya pencapaian target-target dalam pemerataan

pendidikan dasar 9 tahun sehingga capaian belum memenuhi target.

Beberapa hal yang menunjukkan belum optimalnya pemerataan akses pendidikan 9 tahun khususnya dalam kerangka desentralisasi pendididikan adalah: Pertama, masih terdapat provinsi-provinsi dengan akses pendidikan di bawah rata-rata nasional. Pada tahun 2007, provinsi-provinsi yang memiliki APM dan APK di bawah rata-rata nasional sebanyak 14 provinsi, diantaranya adalah Papua, Sulawesi Barat, Riau, Bengkulu dan Sumatra Utara. Sedangkan provinsi yang memiliki APM dan APK di atas rata-rata nasional sebanyak enam provinsi, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Jawa Barat, Lampung, dan Sumatera Barat. Sementara itu, provinsi yang memiliki salah satu APK atau APM tingkat SD di atas rata-rata nasional sebanyak 13 provinsi, diantaranya adalah DKI jakarta, Sawesi Tenggara, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Utara.

(54)

Gambar 3.7 APK dan APM Tingkat Sekolah Dasar 2007

Sumber: Departemen Pendidikan Nasional, 2007, diolah.

Gambar 3.8 APK dan APM Tingkat Sekolah Menengah Pertama 2007 R i a u B a l i NTT Papua NAD Sumut Sumbar Kepri Jam bi Sumsel Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jabar Jateng DIY Jatim NTB Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sulbar Sultra Maluku Malut Papua Barat Banten Babel Gorontalo 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 105 107 109 111 113 115 117 119 121 123 125 APK SD A PM SD Indonesia: 94,90 Indonesia: 115,51

III

IV

I

II

Bali NAD Sumut Sumbar Riau Kepri Jambi Sumsel Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jabar Jateng DIY Jatim NTB Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sulbar Sultra Maluku Malut Papua Barat Banten Babel Gorontalo 59 61 63 65 67 69 71 73 75 77 79 81 83 85 87 89 A P M S M P Indonesia: 71,60 Indonesia: 85,15

III

IV

I

II

(55)

Untuk APK-APM tingkat SMP tahun 2007 menunjukkan provinsi-provinsi yang memiliki APK-APM di bawah rata-rata nasional sejumlah 16 provinsi diantaranya adalah Papua, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan NTT. Sedangkan provinsi-provinsi yang memiliki APK-APM di atas rata-rata nasional 12 provinsi diantaranya Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Riau dan Sumatra Utara. Sedangkan lima provinsi memiliki APK atau APM di bawah rata-rata nasional. Hal ini menunjukkan kesenjangan APK-APM di tingkat SMP masih cukup besar.

Kedua, masih banyak provinsi yang mempunyai disparitas pendidikan antara kabupaten-kota di dalam provinsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan disparitas kabupaten-kota secara nasional. Setengah lebih provinsi masih memiliki disparitas APK-APM tingkat SD kabupaten-kota dan disparitas APK-APM tingkat SMP kabupaten kota di atas rata-rata nasional.

(56)

Gambar 3.9 Disparitas APK-APM Antara Kabupaten-Kota Dalam Provinsi 2007

Disparitas APM SD/MI Kabupaten - Kota 2007

8,277,37 6,336,12 5,754,65 4,474,29 3,90 3,85 3,663,11 3,042,83 2,73 2,62 2,572,20 2,181,84 1,79 1,77 1,76 1,74 1,691,46 1,400,87 0,760,52 0,36 0,34 0,15 -10 20 30 40 50 Kepulauan Riau Papua Barat Papua Bengkulu M a l u k uNTT Sumatera Utara Kalteng NAD NTB Banten Bangka BelitungDKI Jakarta Sumatera Barat Kalimantan Barat GorontaloKalsel Indonesia Jawa Barat Jawa Timur Kalimantan Timur Sulawesi Tengah DI YogyakartaMaluku Utara B a l i Sulawesi Selatan Sumatera SelatanJ a m b i Sulawesi Tenggara Sulawesi Utara Jawa Tengah Lampung R i a u

Disparitas APM SMP/MTs Kabupaten - Kota 2007

40,14 36,22 27,31 26,92 26,58 26,31 26,06 25,09 24,84 24,73 24,71 23,98 23,66 23,58 21,94 21,93 21,87 20,53 20,06 19,49 19,29 19,24 18,70 18,39 18,11 16,49 15,02 11,41 10,95 10,76 9,94 6,78 1,23 - 10 20 30 40 50 Kalteng NTT Sumatera Barat Kalimantan Barat Sulawesi Tengah Banten Papua Papua Barat Sumatera Utara Gorontalo Bangka Belitung Jawa Barat DI Yogyakarta Bengkulu DKI Jakarta Kalsel Maluku NAD Indonesia Jawa Tengah Lampung Sumatera Selatan Kepulauan Riau Bali Kalimantan Timur Jawa Timur Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Jambi NTB Riau Sulawesi Utara Maluku Utara

(57)

Sumber: Departemen Pendidikan Nasional, 2007, diolah.

3.4. Permasalahan

Dari uraian di atas secara umum dapat dikatakan bahwa pelaksanaan program Wajardikdas utamanya sepanjang tahun 2004-2007 menunjukkan pencapaian-pencapaian yang cukup berarti. Dalam konteks desentralisasi, hal ini berarti pula

Disparitas APK SD/MI Kabupaten - Kota 2007

22,95 20,07 19,77 18,87 18,08 17,97 17,89 13,51 13,20 13,08 12,56 11,67 11,24 9,68 9,38 8,36 8,25 7,05 6,33 6,08 5,76 5,76 4,97 3,93 3,51 3,36 3,30 3,23 2,42 2,41 1,75 1,28 0,17 -10 20 30 40 50 60 Bengkulu Sumatera Barat DI Yogyakarta B a l i Sulawesi Tengah Gorontalo Kalimantan Timur Sulawesi Utara Kalimantan Barat Nusa Tenggara Barat Kalimantan Selatan Kepulauan Riau DKI Jakarta Papua Sulawesi Tenggara Jawa Timur Jawa Barat M a l u k u Nanggroe Aceh Darussalam Indonesia Sumatera Utara Kalimantan Tengah Papua Barat Nusa Tenggara Timur Bangka Belitung Sulawesi Selatan Sumatera Selatan Lampung Banten J a m b i Jawa Tengah R i a u Maluku Utara

Disparitas APK SMP/MTs Kabupaten - Kota 2007

51,6 45,3 34,1 33,3 33,1 32,8 32,2 32,1 32,0 30,8 30,4 30,1 29,4 28,7 28,3 27,1 25,7 25,6 23,9 23,5 23,5 23,2 22,8 22,6 22,6 18,4 17,9 13,7 12,1 11,6 11,0 8,6 1,3 - 10 20 30 40 50 60 Kalimantan Tengah Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Sumatera Barat Sulawesi Tengah Papua Papua Barat Banten Gorontalo Bangka Belitung DI Yogyakarta Sumatera Utara Bengkulu Jawa Barat DKI Jakarta Maluku

Nanggroe Aceh Darussalam Kalimantan Selatan Indonesia Sumatera Selatan Kepulauan Riau Jawa Tengah Kalimantan Timur Bali Lampung Sulawesi Tenggara Jawa Timur Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Barat Jambi Riau Sulawesi Utara Maluku Utara

(58)

menurunkan kesenjangan atau disparitas akses pendidikan antar daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Dengan kata lain, desentralisasi pendidikan dapat dikatakan mempunyai dorongan-dorongan yang positif terhadap pelaksanaan dan pencapaian program Wajardikdas 9 tahun. Namun, untuk catatan pelaksanaan dan pengembangan program Wajardikdas ke depan, beberapa permasalahan perlu menjadi perhatian pemerintah dan stakeholder pendidikan dasar secara umum.

Gambar 3.10 Dana Alokasi Khusus Bidang Pendidikan 2007

35,8 50,8 57,058,5 59,664,0 77,2 90,8 90,995,3 97,5 103,5108,0 114,1 125,4 127,6130,1 138,3 143,4 144,2 147,6 149,9161,2 162,4 218,7219,9 225,6 237,3 294,2314,8 323,3 482,6508,1

K e p u lau an R iauR iau G o ro n talo Y o g yak artaS u lb ar K altim B an g k a B e litu n gB an te n Malu k u Utara J amb i P ap u a B aratMalu k u B ali B e n g k u luS u lte n g NTB K als e l K alte n g S u ltraS u lu t S u ls e l L amp u n g K alb ar R ata-R ataNTT S u mb arNAD P ap u a S u ls e l S u mu t J awa B arat J awa Te n g ahJ awa Timu r

Gambar

Gambar 2.1 Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia  Tahun 2000-2007  1414,51515,51616,51717,51818,51919,5 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Gambar 2.2 Alokasi Anggaran BOS Periode Tahun 2005-2007  (dalam Juta Rupiah)
Gambar 2.4 Alokasi Dana BOS dan Penduduk Miskin Tahun 2007
Gambar 2.5 APK SD dan BOS SD Tahun 2007
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mammogram diagnostik digunakan untuk melihat bagian dari payudara dengan lebih spesifik yang dikenali sebagai cone atau spot view with magnification dimana

Breast Cancer Organisation, sign and symptom of invasive lobular carcinoma.. Available at

Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Desember 2014 di SDA Sei sirah, Besitang Hilir, Besitang Hulu dan Besitang Tengah, dengan menggunakan metode purposive sampling

Pengaruh Profesionalisme Kerja Agen Asuransi Beasiswa Terhadap Kualitas Layanan Di Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumi Putera 1912 Kantor Cabang Cimahi.. Universitas Pendidikan Indonesia

Yang bertanda tangan di bawah ini saya, Diah Ambarwati, menyatakan bahwa skripsi dengan judul : PENGARUH BEBAN KERJA TERHADAP STRES KERJA PERAWAT DENGAN DUKUNGAN SOSIAL

Profil Kesehatan Tahun 2016 ini merupakan salah satu wujud akuntabilitas dari Dinas Kesehatan Kota Depok yaitu sebagai salah satu keluaran dari upaya peningkatan sistem

Untuk pengembangan kegiatan budidaya ikan dalam KJA yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, hanya sekitar 10% dari potensi perairan pesisir yang secara efektif dimanfaatkan

integrasi ilmu agama dan ilmu umum ( sekuler) dalam level metodologis yang tentunya dalam aplikasinya berhubungan dengan integrasi ontologis dan klasifikasi ilmu... Al-Qur’an