• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Kajian Teori

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Kajian Teori"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

6

KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Pengertian Atletik

Istilah “Atletik” berasal dari kata dalam bahasa Yunani athlo yang berarti “berlomba” atau “bertanding”.” Kita dapat menjumpai dari kata “pentathlon” yang terdiri dari kata penta berarti “lima” atau “panca” dan athlon berarti “lomba” arti selengkapnya adalah “panca lomba” atau perlombaan yang terdiri dari lima nomor. Demikian juga pada kata “decathlon” yang terdiri dari kata “deca” berarti “sepuluh” atau “desa” dan “athlon” berarti “lomba”. Istilah atletik ini juga kita jumpai dalam berbagai bahasa antara lain dalam bahasa Inggris “athletic”, dalam bahasa Prancis “ateletique”, dalam bahasa Blanda “atletiek” dalam bahasa Jerman “athletik”. (Aip Syarifuddin, 1992: 1) menyatakan bahwa:

“Atletik adalah salah satu cabang olahraga yang tertua, yang telah dilakukan manusia sejak zaman purba sampai dewasa ini. Bahkan boleh dikatakan sejak adanya manusia di mukabumi ini atletik sudah ada, karena gerakan-gerakan yang terdapat dalam olahraga atletik, seperti berjalan, berlari, melompat, dan melempar adalah gerakan yang dilakukan manusia didalam kehidupan sehari-hari.”

Kalo kita mengatakan perlombaan atletik, pengertiannya adalah meliputi perlombaan jalan cepat, lari, lompat dan lempar, yang dalam bahasa Inggris digunakan istilah track and fieldatau kalo diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah: perlombaan yang dilakukan di lintasan (track) dan di lapangan (field): atau kalau menggunakan istilah dalam bahasa Jerman “Leicht athletik”. Istilah “athletic”, dalam bahasa Inggris dan “athletik” dalam bahasa Jerman mempunyai pengertian yang lebih luas meliputi berbagai cabang olahraga yang bersifat perlombaan atau pertandingan termasauk renang, bola basket, tenis, sepak bola, senam dan lain-lain.

(2)

Untuk dapat memahami pengertian tentang atletik, tidaklah lengkap kalau tidak diketahui sejarah atau riwayat istilah atletik serta perkembangannya sebagai sesuatu cabang olahraga mulai zaman purbakala seperti zaman moderen ini. Memahami sejarah tidak hanya sekedar pengertian atau pengetahuan. Dengan mengetahui kejadian-kejadian masa lampau, dapat diambil hikmahnya untuk menentukkan langkah-langkah yang akan datang.

Atletik yang meliputi jalan, lari, lompat dan lempar boleh dikatakan cabang olahraga yang paling tua. Berdasarkan sejarahnya atletik itu dinamakan “Ibu dari semua cabang olahraga”. Hal ini dapat dipahami, sebagai gerakan-gerakan yang terdapat dalam cabang olahraga atletik seperti jalan, lari, lompat dan lempar semua merupakan gerakan manusia sehari-harinya. Hal tersebuat sesuai dengan pendapat Giri Wiarto (2013:2) :

“Lari, lompat, dan lempar adalah suatu bentuk gerakan yang tidak ternilai artinya bagi hidup manusia. Gerakan itu semuanya ada dalam olahraga atletik. Bahkan gerakan–gerakan tersebut menjadi dasar dan intisari dari semua cabang olahraga. Itulah sebabnya atletik disebut sebagai ibu olahraga .”

Atletik merupakan cabang olahraga yang diperlombakan pada olimpiade yang pertama pada 776 M. Induk organisasi atletik dunia adalah IAAF (International Association of Athletics Federations) yang diterjemahkan sebagai federasi atletik internasional. Sedangkan induk organisasi untuk olahraga atletik di Indonesia adalah PASI (Persatuan Atletik Seluruh Indonesia)

2. Atletik pada Zaman Purba

Sebenarnya gerakan-gerakan dasar atletik dalah: jalan, lari, lompat, dan lempar, telah dikenal oleh bangsa-bangsa primitif pada zaman prasejarah. Bahkan dapat dikenal sejak adanya manusia, gerakan-gerakan itu telah dikenal. Jika kita pada zaman moderen ini melakukan atletik dengan berjuang untuk meningkatkian prestasi, lain halnya dengan bangsa-bangsa primitif pada zaman prasejarah. Mereka melakukan gerakan-gerakan jalan, lari, lompat dan

(3)

lempar semata-mata untuk mempertahankan kelangsungan hidup ini mereka harus:

- mencari makan

- mempertahankan diri dari serangan-serangan binatang buas

- mengamankan diri terhadap keganasan-keganasan alam (banjir, gempa bumi, letusan gunung berapai dan lain-lain).

Di dalam usaha ini mereka sangat bergantung dari efesiensi jasmaninya. Mereka yang kurang trampail kurang tahan lama berjalan, kurang tahan lama berjalan, kurang cepat larinya, kurang tangkas melompat atau melemparnya, akan mati karena kelaparan atau menjadi mangsa binatang buas bahkan menjadi korban bencana alam.

Jadi sejak zaman manusia telah menyadari akan manfaat: ketahanan berjalan jauh, kecepatan, ketangkasan melompat dan melempar, sehingga ada sementara orang yang menganggap bahwa atletik adalah cabang olahraga yang tertua.

3. Macam-macam Nomor Atletik

Nomor yang diperlombakan dalam atletik ada beberapa macam, diantaranya adalah jalan, lari, lompat dan lempar. Menurut Giri Wiarto (2013: 6) dalam cabang olahraga atletik, cabang-cabang yang diperlombakan adalah:

a. Nomor jalan cepat

- Wanita (3 km,5 km,10 km,20 km) - Putra (10 km, 20 km, 30 km, 50 km) b. Nomor lari

- Wanita (110 m, 200 m, 400m, 800 m, 1500m, 3000m, 5000m, 10000 m, 100m gawang, marathon, 4x400m estafet, dan 4x100m estafet)

- Putra (110 m, 200 m, 400 m, 800 m, 1500 m, 3000 m, 5000 m, 10000 m, 110 m gawang, marathon, 4x 400 m estafet, dan 4x100 m estafet)

c. Nomor lempar

- Wanita (lempar lembing, cakram, tolak peluru, dan lontar martil)

- Putra (lempar lembing, cakram,tolak peluru, dan lontar martil) d. Nomor lompat

(4)

- Pria (lompat jauh, lompat tinggi, lompat jangkit, dan lompat tinggi galah)

e. Nomor panca lomba

- Wanita (lari 100 m gawang, tolak peluru, lompat tinggihari ke-1, lompat jauh dan lari 800 m hari ke-2)

f. Nomor sapta lomba

- Wanita (lari 100 m gawang, lompat jauh, lempar lembing, lari 200 m hari ke-1) dan (lompat tinggi, tolak peluru, lari 800 m hari ke-2)

g. Nomor dasar lomba

- Pria (lari 100 m, lompat jauh, tolak peluru, lompat tinggi, dan lari 400 m hari ke-1) dan (lari 110 m gawang, lempar cakram, lompat tinggi galah, lempar lembing, dan lari 1500 m hari ke-2) 4. Lompat Tinggi

a. Sejarah Lompat Tinggi

Meskipun event lompat tinggi di ikut sertakan pada olimpiade kuno, kompetisi lompat tinggi tercatat berlangsung pada awal abad ke-19 tepatnya di Skotlandia dengan ketinggian 1,68 meter. Pada masa itu peserta menggunaka metode pendekatan langsung atau tehnik gaya gunting. Lompat tinggi tidak dilakukan secara sembarangan. Ada gaya-gaya tertentu yang harus dikuasai agar peserta terhindar dari kecelakaan. Pada abad ke-19 peserta lompat tinggi mendarat dan jatuh diatas tanah yang berumput dengan gaya guntin, yaitu dengan cara membelakangi. Gaya ini ternyata banyak mengakibatkan banyak cidera pada peserta. Sementara kini, lompat tinggi dilakukan dengan mendarat di atas matras sehingga kecelakaan dapat di minimalisir.

Dalam pertandingan, mistar akan dinaikan setelah peserta berhasil melewati ketinggian mistar. Peserta haruslah melompat dengan sebelah kaki. Peserta boleh melompat dimana ketinggian dapat ia atur apabila sudah tidak ada lawan baginya. Sesuatu lompatan akan gagal jika peserta menyentuh mistar dan tidak melompat. Pserta yang gagal melompat sebanyak tiga kali berturut-turut akan keluar dari pertandingan. Seorang peserta berhak meneruskan lompatan (walau semua peserta lain gagal) sehingga dia tidak dapat meneruskannya lagi. Ketinggian mistar lompatan diukur secara vertikal dari atas tanah hinga bagian tengah disebelah atas

(5)

mistar. Setiap peserta akan diberikan kesempatan sebanyak tiga kali untuk melakukian lompatan. Jika peserta tidak berhasil melakukan lompatan secara berturut-turut, dia dinyatakan gagal. Untuk menentukan kemenangan, para peserta harus melompat setinggi mungkin yamg dapat dilakukan. pemenang ditentukan dengan lompatan tertinggi yang dilewati. b. Pengertian Lompat Tinggi

Menurut Aip Syarifuddin (1992: 106) bahwa penjelasan atletik cabang lompat tinggi adalah:

“Lompat tinggi adalah suatu bentuk gerakan melompat ke atas dengan cara mengangkat kaki ke depan atas dalam upaya membawa titik berat badan setinggi mungkin dan secepat mungkin jatuh (mendarat) yang dilakukan dengan cepat dan dengan jalan melakukan tolakan pada salah satu kaki untuk mencapai suatu ketinggian tertentu.”

Perlu diketahui bahwa pengertian tersebut di atas, terutama untuk lompat tinggi gaya gunting, gaya guling sisi dan gaya gulinag perut. Unsur-unsur dasar bagi suatu prestasi pada lompat tinggi adalah, “(1) faktor-faktor kondisi: perkembangan khusus dari tenaga lompat yang mutlak, perasaan irama, keterampilan reaksi dan gerakan bagi lebarnya langkah serta penyebaran. (2) faktor-faktor tekhnik: dalam hubungannya dengan perkembangan kondisi, pengambilan secara tuntas fase-fase gerakan yang paling penting (ancang-ancang, persiapan melompat dan pemindahan titik berat badan, saat melewati bilah dan pendaratan).

c. Lompat Tinggi Gaya Straddle

Berdasarkan sikap tubuh di atas mistar, pelaksanaan lompat tinggi dibagi menjadi dua golongan besar yaitu lompatan secara gunting dan lompatan secara guling. Berdasarkan golongan pelaksanaan lompat tinggi, lompatan tinggi gaya straddle merupakan jenis lompatan secara guling. lompatan secara guling yaitu si pelompat melakukan tolakan dengan kaki yang terdekat dengan mistar. Lompat tinggi gaya straddle pada awalnya muncul pada tahun 1956 yang dilakukan Charlie Dumas pada Olympiade di Melbourne setinggi 2,12 meter. Munculnya gaya straddlememunculkan

(6)

atlet-atlet kenamaan dan mampu memecahkan rekor pada tahun 1960-1640 di antaranya V. Brumel, J.Thomas dan R. Shavlakadze. Gaya lompat tinggi pada prinsipnya merupakan suatu cara agar pelompat mampu melompati mistar setinggi-tingginya. Lompat tinggi gaya straddle sering disebut juga gaya kang-kang, karena pada saat melewati mistar berposisi kang-kang. Lompat tinggi ini memberikan beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan gaya gunting dan guling sisi.

d. Tekhnik Lompat Tinggi Gaya Straddle

Mencapai prestasi yang tinggi dalam lompat tinggi merupakan tujuan dari semua atlet lompat. Namun untuk mencapai prestasi lompat tinggi harus menguasai tekhnik lompat tinggi yang baik dan benar.

Gambar 1 : Serangkaian Urutan Lompat Tinggi Gaya Straddle (Soegito, Bambang Wijanarko, dan Ismaryati, 1994: 72) 1) Lompat tinggi terbagi dalam fase-fase:

a) lari awalan b) Betumpu/betolak c) Melayang d) Mendarat.

2) Pada fase awalan, pelompat melakuna lari percepatan dan siap-siap melakukan tolakan.

(7)

3) Pada fase bertolak, pelompat membangun kecepatan vertikal dan mengawali gerakan memutar untuk melewati mistar.

4) Pada fase melayang, pelompat naik ke mistar kemudian melewatinya.

5) Pada fase mendarat, pelompat menyelesaikan lompatannya dengan aman.

Beberapa hal yang patut diperhatikan dalam tahap lari bagi para atlet loncat tinggi antara lain:

1) Jarak lari harus cukup panjang, sehingga memungkinkan peningkatan kecepatan sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan kepada saat take off.

2) Dalam keadaan lari, atlet harus tetap mampu mengontrol posisi tubuhnya, sehingga dapat melakukan take offyang efektif. 3) Gerakan lar harus konsisten, sehingga atlet dapat mencapai titik

take offdengan tepat.

4) Latihan jenis lain dapat digunakan untuk tehnik straddle dan flop.

5) Gerakan lari untuk staddleadalah lurus dengan sudut 25o-35o. 6) Gerakan lari untuk flopadalah kurva (lengkungan) sedemikian

rupa, sehingga kaki yang take off mendarat hamper sejajar dengan mistar.

7) Gerakan kaki pada kedua titik loncatan tersebut, dipercaya dengan merendahkan sedikit pusat gaya gerak tubuh peloncat kira-kira pada 2 atau 3 langkah lari yang terakhir.

Berbagai hal yang patut diperhatikan dalam latihan take off pada cabang lompat tinggi antara lain:

1) Perubahan gerak maju ke muka ke gerakan bersudut diperoleh dengan menerakan tenaga penaikan (lifting) maksimum melaluai kaki take offyang masih menyentuh tanah.

2) Percepatan vertical tergantung pada saat (timing) tenaga tersebut disalurkan.

(8)

3) Gerakan take off dibantu dengan gerakan keatas dari kaki senbelahnya dan kedua tangan.

4) Idealnya, kaki yang memimpin harus mencapai kecepatan bergerak ke atas yang maksimum pada sat tubuh sudah take off. 5) Rotasi untuk melintasi mistar dibentuk dengan memperhatikian

gerakan linier ketika take off masi menyentuh tanah, dan dengan memindahkan momentum anguler ke pusat gaya berat tubuh.

6) Momentum anguler dibentuk oleh gaya dorong diluar pusat kedua tangan dan kakin yang memimpin.

7) Perubahan arah pusat gaya berat tubuh, yaitu dari arah ke depan menuju ke atas, dibantu dengan melambatkan beberapa langkah lari terakhir sebelum take off.

Hal yang perlu diperhatikan dalam latihan melintasi mistar bagi para atlet loncat tinggi antara lalin sebagai berikut:

1) Persiapan untuk melakuakan loncatan dimulai sesaat setelah take off secara lengkap.

2) Persiapan ini didapat dengan cara mentesuaikan dengan cara menyesuaikan posisi tubuh peloncat dengan gaya berat tubuhnya sendiri.

3) Efisiensi dari loncatan ini sangat tergantung pada kemampuan atlet meminimalkan jarak antara mistar dan pusat gaya berat tubuhnya.

4) Posisi tertinggi dari pusat gaya berat tubuh atlet, hendaknya terletak langsug di atas mistar.

5) Cara melintasi mistar secara ekonomis dan di terima secara universal adalah tehnik loncatanstraddledan flop.

6) Kedua tehnik tersebut, staddledan flop, mengunakan gerakan take offdari tanah untuk melintasi mistar.

Saran perbaikan atas beberapa kesalahan yang sering terjadi dalam tahap melintasi mistar:

(9)

1) Untuk mencegah jatuhnya mistar karena tersangkut kaki yang memimpin, lakukan ayuna sejauh mungkin ke samping atas. 2) Untuk mencegah pinggul yang terlalu rendah, usahakan agar

kepala serendah munkin (mengarah kebawah).

3) Untuk mencegak jatuhnya mistar karena tersentuh kaki yang menggantung, usahakan untuk mengangkat lutut setinggi mungkin pada saat melintasi mistar.

Adapun tekhnik lompat tinggi gaya straddle menurut Aip Syarifuddin (1992: 107) yaitu terdiri dari empat bagian: “(1) awalan atau ancang-ancang (aproach run), (2) tolakan (take off), (3) sikap badan di atas mistar (clearance of the bar) dan (4) sikap mendarat atau sikap jatuh (landing)”.

Tekhnik lompat tinggi pada dasarnya terdiri dari empat tahapan yaitu awalan atau ancang-ancang, tolakan, sikap badan di atas mistar dan sikap mendarat atau sikap jatuh. Lompat tinggi dapat dilakukan dengan baik, jika tekhnik-tekhnik lompat tinggi tersebut dikuasai dengan baik dan benar, serta mampu dilaksanakan secara baik, harmonis, luwes dan lancar. Untuk lebih jelasnya tekhnik pelaksanaan lompat tinggi gaya straddle diuraikan secara singkat sebagai berikut:

1) Awalan atau Ancang-ancang (Aproach Run)

Menurut Ken Dohrty (1971) yang dikutip Aip Sarifuddin (1992: 107), gerakan awalan yang akan menghinpun kekeuatan tolakan merupakan unsur gerak yang penting pada waktu melakukan lompat tinggi, yang akan berpengaruh terhadap sikap tubuh pada waktu berada pada atas mistar. Schmolinsky (1977) yang dikutip Aip Sarifuddin (1992: 107) mengemukakan, bahwa gerakan lompat tinggi pada dasarnya terdiri dari dua bagian , yaitu :

“Awalan yang diakhiri dengan tolakan dan melayang yang diakhiri dengan mendarat. Arah awalan pada lompat tinggi gaya straddle dengan sudut antara 350 sampai 450 terhadap letak mistar. Panjang awalan atau jarak awalan tergantung dari masing-masing pelompat, menyesuaikan ketinggian mistar.”

(10)

Seperti dikemukakan Aip Syarifuddin dan Muhadi (1992: 77) bahwa:

“Pengambilana walan dalam lompat tinggi biasanya dengan mempergunakan langkah misalnya 3 langkah, 5 langkah, 7 langkah dan seterusnya sesuai dengan ketinggian mistar yang akan dilompatinya. Kecepatan awalan dalam lompat tinggi bisanya dilakukan secara berangsunr-angsur, artinya mulai dari pelan makin lama makin cepat.”

Pada dasarnya jarak awalan dalam lompat tinggi menyesuaikan ketinggian mistar. Hal terpenting yaitu, pada tiga atau empat langkah terakhir saat akan melakukan tolakan langkah harus lebih panjang dan cepat serta badan agak direndahkan dan agak dikendangkan atau dicondongkan ke belakang. Agar selalu bertumpu pada titik tumpu yang tepat dianjurkan menggunakan tanda. Kalau tumpuan dilakukan dengan kaki kiri, maka awalan dimulai dari sebelah kiri bak lompat. Untuk lebih jelasnya berikut ini disajikan ilustrasi awalan lompat tinggi gaya straddlesebagai berikut:

Gambar 2 : Awalan Lompat Tinggi Gaya Straddle (Soegito, Bambang Wijanarko, dan Ismaryati, 1994: 166)

(11)

2) Tolakan (Take Off)

Tolakan adalah perpin dahan gerakan dari gerakan horisontal ke arah vertikal yang dilakukan secara cepat. Tolakan kaki tumpu harus kuat agar menghasilkan gerakan naik yang maksimum. Untuk mencapai hal tersebut, maka langkah terakhir agak lebar dengan sikap badan agak menengadah disertai gerakan ayunan ke atas untuk membantu mengangkat titik berat badan lebih tinggi. Sikap badan yang agak menengadah menyebabkan sudut tumpuan yang besar sehingga akan mempermudah gerakan mengayun kaki yang juga membantu gerakan ke atas. Gerakan kaki ayun dalam keadaan lurus tetapi tidak kaku. Setelah kaki kanan diayunkan ke atas dan badan terangkat dengan kaki tumpu lepas dari tanah, kaki ayun tidak lurus lagi. Ayunan kaki lebih tinggi dari kepala dan melewati mistar lebih dulu dari bagian badan yang lain. Agar diusahakan lengan kiri tidak sampai menyentuh mistar. Untuk lebih jelasnya berikut ini disajikan ilustrasi gerakan tolakan atau menumpu lompat tinggi gaya straddlesebagai berikut:

Gambar 3 : Tumpuan dan Tolakan

(12)

3) Sikap Badan Di Atas Mistar (Clearance of The Bar)

Sikap badan di atas mistar sangat erat kaitannya dengan sudut awalan pada waktu akan melakukan tolakan. Setelah mencapai titik tinggi maksimum badan diputar ke kiri penuh (bertumpu kaki kiri) dengan kepala mendahului melewati mistar, perut dan dada menghadap ke bawah. Kaki tumpuan yang semula bergantung, ditarik dalam sikap kangkang. Pada saat ini kaki kanan sudah turundan tangan bersiap-siap membantu pendaratan. Untuk lebih jelasnya berikut ini disajikan ilustrasi sikap badan di atas mistar lompat tinggi gaya straddle sbegai berikut:

Gambar 4 : Melayang Diatas Mistar

(Soegito, Bambang Wijanarko, dan Ismaryati, 1994: 71) 4) Sikap Mendarat (Landing)

Sikap mendarat merupakan fase terakhir dari lompat tinggi. Jika tempat pendaratan dari karet busa yang tebal, maka pendaratan dapat langsung jatuh pada punggung. Tetapi kalau tempat pendaratan bak pasir, pendaratan dilakukan dengan kaki kanan (kaki ayun) dan dibantu oleh kedua tangan. Kalau badan terpaksa dijatuhkan, terlebih dahulu pundak bagian kanan dilanjutkan berguling. Yang terpenting dalam

(13)

lompat tinggi adalah berhasilnya melampaui mistar. Pendaratan tidak menjadi maslaah, bagaimanapun caranya asal tidak menimbulkan bahaya bagi pelompat. Untuk lebih jelasnya berikut ini disajikan ilustrasi gerakan mendarat lompat tinggi gaya straddlesebagai berikut:

Gambar 5 : Mendarat

(Soegito, Bambang Wijanarko, dan Ismaryati, 1994: 71) 5. Hakikat Belajar Keterampilan

a. Pengertian Belajar Keterampilan

Belajar gerak atau keterampilan mempunyai pengertian yang sama seperti belajar pada umumnya. Tetapi dalam belajar keterampilan memiliki karakteristik tertentu. Belajar gerak mempelajari pola-pola gerak keterampilan tubuh. Proses belajarnya melalui pengamatan dan mempraktekkan pola-pola gerak yang dipelajari. Intensitas keterlibatan unsur domain kemampuan yang paling tinggi adalah domain psikomotor yang berarti juga termasuk domain fisik. Di dalam belajar gerak bukan berarti domain kognitif dan domain afektif tidak terlibat didalamnya. Semua unsur kemampuan individu terlibat di dalam belajar gerak, hanya saja intensitas keterlibatannya berbeda-beda. Intensitas keterlibatan domain kognitif dan domain afektif relatif lebih kecil dibandingkan

(14)

keterlibatan domain psikomotor. Keterlibatan domain psikomotor tercermin dalam respon-respon muskular yang di ekspresikan dalam gerak-gerakan tubuh secara keseluruhan atau bagian-bagian tubuh. Berkaitan dengan belajar gerak, Sugiyanto (1996: 27) menyatakan, “Belajar gerak adalah belajar yang di wujudkan melalui respon-respon muskular yang di ekspresikan dalam gerakan tubuh atau bagian tubuh”. Menurut Rusli Lutan (1988: 102) bahwa, “Belajar motorik adalah seperangkat proses yang bertalian dengan latihan atau pengalaman yang mengantarkan ke arah perubahan permanen dalam perilaku terampil”. Berdasarkan dua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa, belajar gerak (motorik) merupakan perubahan perilaku motorik berupa keterampilan sebagai hasil dari latihan dan pengalaman. Upaya menguasai keterampilan gerak diperlukan proses belajar yaitu proses belajar gerak.

Dalam pelaksanaan belajar gerak harus direncanakan dengan baik, disusun secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pembelajaran yang baik, terencana dan terus menerus, maka siswa akan memperoleh pengalaman belajar yang baik sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Tujuan belajar gerak adalah, siswa memiliki keterampilan gerak sesuai dengan yang diharapkan. Perkembangan gerak yang terampil merupakan sasaran pembelajaran keterampilan gerak. Jika siswa telah menguasai keterampilan yang dipelajari, maka akan terjadi perubahan-perubahan pada diri siswa yang mengarah pada gerakan yang efektif dan efisien. Seperti dikutip Rusli Lutan & Adang Suherman (2000: 56) menyatakan ada tiga indikator gerak terampil yaitu: “(1) efektif artinya sesuai dengan produk yang diinginkan dengan kata lain product oriented, (2) efisien artinya sesuai dengan proses yang seharusnya dilakukan dengan kata lain process oriented, dan (3) adaptif artinya sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan dimana gerak tersebut dilakukan”.

(15)

b. Tahap-tahap Belajar Gerak

Proses yang terjadi dalam belajar gerak memiliki karakteristik yang berbeda dengan belajar pada umumnya. Dalam belajar gerak terlibat suatu proses yaitu, terjadinya perubahan dalam perilaku motorik sebagai hasil dari belajar yang lebih baik dari sebelum belajar. Dalam proses belajar gerak terjadai beberapa tahapan. Menurut Fitts & Posner (1967) yang dikutip Sugiyanto (1996: 44) bahwa, "Proses belajar gerak keterampilan terjadi dalam 3 fase belajar yaitu: (1) fase kognitif, (2) fase asosiatif,(3) fase otonom". Untuk lebih jelasnya tahap-tahap belajar gerak dapat diuraikan sebagai berikut :

1) Fase Kognitif

Fase kognitif merupakan fase awal dalam belajar gerak keterampilan. Fase awal ini disebut fase kognitif karena perkembangan yang menonjol terjadi pada diri pelajar menjadi tahu tentang gerakan yang dipelajari, sedangkan penguasaan geraknya sendiri masih belum baik karena masih dalam taraf mencoba gerakan. Pada fase kognitif diawali dengan aktif berpikir tentang gerakan yang dipelajari. Anak berusaha mengetahui dan memahami gerakan dari informasi yang diberikan kepadanya. Informasi bisa bersifat verbal atau visual. Menurut Sugiyanto (1996: 45) bahwa, “Informasi verbal adalah informasi yang berbentuk penjelasan dengan menggunakan kata-kata. Informasi visual informasi yang dapat dilihat”. Informasi yang diterima tersebut kemudian diproses dalam mekanisme perseptual sehingga memperoleh gambaran tentang gerakan yang dipelajari untuk selanjutnya mengambil keputusan melakukan gerakan sesuai dengan informasi yang diterima. Namun gerakan yang dilakukan seringkali salah atau tidak benar. Pada tahap ini anak hanya sebatas mencoba-coba gerakan yang dipelajari tanpa memahami bentuk gerakan yang baik dan benar. Agar gerakan yang dilakukan menjadi benar dan tidak kaku, harus dilakukan secara berulang-ulang dan kesalahan-kesalahan segera dibetulkan agar gerakannya menjadi lebih baik dan benar. Jika gerakan

(16)

sudah dapat dilakukan dengan lancar dan baik berarti sudah meningkat memasuki fase selanjutnya.

2) Fase Asosiatif

Fase asosiatif merupakan tahap kedua dalam belajar keterampilan atau disebut juga fase menengah. Pada fase asosiatif ditandai dengan peningkatan kemampuan penguasaan gerakan keterampilan. Gerakan-gerakan keterampilan yang dipelajari dapat dilakukan dalam bentuk yang sederhana atau tersendat-sendat. Gerakan keterampilan tersebut dapat dilakukan dengan lancar, apabila dilakukan secara berulang-ulang, sehingga pelaksanaan gerakan akan menjadi semakin efisien, lancar, sesuai dengan keinginannya. Menurut Rusli Lutan (1988:306) bahwa,

“Permulaan dari tahap asosiatif ditandai oleh semakin efektif cara-cara siswa melaksanakan tugas gerak, dan mulai mampu menyesuaikan diri dengan keterampilan yang dilakukan. Akan nampak penampilan yang terkoordinasi dengan perkembangan yang terjadi secara bertahap, lambat laun gerakan semakin konsisten”.

Pendapat tersebut menunjukkan bahwa, pada fase asosiatif penguasaan dan kebenaran gerakan anak meningkat, namun masih sering melakukan kesalahan dan harus diberitahu. Kesalahan bisa diketahui melalui pemberitahuan orang lain yang mengamatinya atau rekaman gambar pelaksanaan gerakan. Dengan mengetahui kesalahan yang dilakukan, anak perlu mengarahkan perhatiannya untuk membetulkan selama mempraktekkan berulang-ulang. Pada fase asosiatif ini merangkaikan bagian-bagian gerakan menjadi rangkaian gerakan secara terpadu merupakan unsur penting untuk menguasai berbagai gerakan keterampilan.

3) Fase Otonom

Fase otonom bisa dikatakan sebagai fase akhir dalam belajar gerak. Faseini ditandai dengan tingkat penguasaan gerakan, dimana anak mampu melakukan gerakan keterampilan secara otomatis. Menurut Sugiyanto (1996: 47) bahwa,"Dikatakan fase otonom karena pelajar mampu melakukan gerakan keterampilan tanpa terpengaruh walaupun

(17)

pada saat melakukan gerakan itu pelajar memperhatikan hal-hal lain selain gerakan yang dilakukan". Tahap otomatis merupakan tahap akhir dari belajar gerak. Dikatakan tahap otonom karena anak mampu melakukan gerakan keterampilan tanpa terpengaruh walaupun saat melakukan gerakan. Tahap otomatis ditandai dengan tingkat penguasaan gerakan keterampilan yang sudah baik, dimana anak mampu melakukan gerakan keterampilan secara otomatis serta energi yang dikeluarkan lebih efektif dan efisien. Untuk mencapai fase otonom diperlukan praktek berulang-ulang secara teratur. Dengan mempraktekkan gerakan secara berulang-ulang, gerakan yang dilakukan menjadi otomatis, lebih baik dan benar, serta lancar pelaksanaannya.

c. Hukum-Hukum Belajar Gerak

Dalam pelaksanaan proses belajar gerak, ada beberapa hukum-hukum belajar motorik yang harus dipahami dan dimengerti oleh seorang guru. Hukum-hukum belajar motorik tersebut akan berpengaruh terhadap keberhasilan tujuan proses belajar mengajar keterampilan. Menurut Thorndike yang dikutip Sugiyanto & Agus Kristiyanto (1998: 2-3) hukum-hukum belajar gerak dibedakan menjadi 3 yaitu, “(1) hukum-hukum kesiapan, (2) hukum latihan dan (3) hukum pengaruh”. Hukum kesiapan (law of readines) merupakan tahap kesiapan, dimana dalam pelaksanaan belajar keterampilan siswa harus betul-betul siap untuk menerimanya. Lebih lanjut Sugiyanto & Agus Kristiyanto (1998: 2) menyatakan, "Hukum kesiapan (law of readinees) menyatakan bahwa belajar akan berlangsung sangat efektif jika pelaku belajar berada dalam suatu kesiapan untuk memberikan respons".

Hal ini artinya, belajar akan berlangsung efektif bila siswa yang bersangkutan telah siap untuk menyesuaikan diri dengan stimulus dan telah siap untuk memberikan respon. Dengan kata lain siswa akan belajar dengan cepat dan efektif apabila telah siap dan telah ada kebutuhan untuk hal tersebut. Proses belajar akan berjalan lancar jika materi yang diberikan

(18)

sesuai dengan kebutuhan siswa. Hukum latihan (law exercise) merupakan tahap pengulangan gerakan yang dipelajari. Mengulang-ulang respon tertentu sampai beberapa kali akan memperkuat koneksi antara stimulus dan respon. Sugiyanto & Agus Kristiyanto (1998: 3) menyatakan, “Hukum latihan mengandung dua hal yaitu:

(1) Law of useyang menyatakan bahwa hubungan stimulus respon menguat kalau ada latihan

(2)Law od useyang menyatakan bahwa hubungan stimulus respon melemah kalau latihan dihentikan.

Hukum pengaruh (law of effect) menyatakan, penguatan atau melemahnya suatu koneksi merupakan akibat dari proses yang dilakukan. Hubungan stimulus respon menguat bila muncul respon disertai oleh keadaan menyenangkan atau memuaskan. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembelajaran hendaknya materi pelajaran yang disajikan dapat mendatangkan kesenangan sehingga menimbulkan motivasi yang tinggi pada siswa. Keadaan yang demikian akan membuat siswa lebih aktif melakukan gerakan yang dipelajari dan mampu melakukannya secara berulang-ulang sehingga akan memberi pengaruh yang lebih baik terhadap hasil belajar.

d. Ciri-ciri Perubahan dari Belajar Gerak

Tujuan utama dalam proses belajar mengajar yaitu terjadi perubahan yang lebih baik pada diri siswa. Sebagai contoh, pada awalnya siswa tidak mampu melakukan lompat tinggi gaya straddle, setelah melalui proses belajar maka siswa mampu melakukan lompat tinggi gaya straddle. Prinsip perubahan pada siswa dari belajar suatu keterampilan bersifat permanen. Hasil belajar bersifat permanen maksudnya, keterampilan yang telah dikuasai siswa tidak mudah hilang sesudah kegiatan selesai dilakukan atau dalam waktu tertentu. Tetapi jika tidak belajar lagi (latihan secara rutin) kemampuan atau keterampilan yang telah dikuasai akan menurun. Menurut Schmidt (1982) yang dikutip Rusli Lutan (1988: 102-107) karakteristik dari belajar gerak yaitu:

(19)

1) Belajar sebagai sebuah proses.

2) Belajar motorik adalah hasil langsung dari latihan. 3) Belajar motorik tak teramati secara langsung.

4) Belajar menghasilkan kapabilitas untuk bereaksi (kebiasaan). 5) Belajar motorik relatif permanen.

6) Belajar motorik bisa menimbulkan efek negatif dan, 7) Kurve hasil belajar.

Pendapat tersebut menunjukkan bahwa, ciri-ciri perubahan akibat belajar gerak (motorik) ada tujuan macam. Untuk lebih jelasnya ciri-ciri perubahan dariproses belajar keterampilan diuraikan secara singkat sebagai berikut:

1) Belajar Sebagai Proses

Proses adalah seperangkat kejadian atau peristiwa yang berlangsung bersama, menghasilkan beberapa prilaku tertentu. Sebagai contoh dalam membaca, proses diasosiasikan dengan gerakan mata, menangkap kode dan simbol di dalam teks, memberikan pengertian sesuai dengan perbendaharaan kata yang tersimpan dalam ingatan, dan seterusnya. Demikian halnya dalam belajar keterampilan motorik, di dalamnya terlibat suatu proses yang menyumbang kepada perubahan dalam perilaku motorik sebagai hasil dari belajar atau berlatih dalam organisme yang memungkinkannya untuk melakukan sesuatu yang berbeda dengan sebelum belajar atau berlatih. Proses perubahan yang terjadi akibat dari belajar harus disadari oleh siswa, sehingga siswa dapat merasakan bahwa dirinya telah mencapai peningkatan keterampilan yang lebih baik dari sebelumnya. Seperti dikemukakan Sadiman, dkk., (1986) yang dikutip Waluyo (2013: 12) “Bahwa belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada semua orang dan berlangsung seumur hidup sejak ia masih bayi sampai ke liang lahat”. Dengan kemampuan siswa menyadari akan perubahan yang terjadi dalam dirinya, ini artinya telah terjadi proses belajar gerak dalam diri siswa. Dengan terjadinya proses belajar maka akan dicapai hasil belajar yang lebih baik.

(20)

2) Belajar Motorik adalah Hasil Langsung dari Latihan

Perubahan perilaku motorik berupa keterampilan dipahami sebagai hasil dari latihan dan pengalaman. Hal ini perlu dipertegas untuk membedakan perubahan yang terjadi karena faktor kematangan dan pertumbuhan. Faktor-faktor tersebut juga menyebabkan perubahan perilaku (seperti anak yang dewasa lebih terampil melakukan suatu keterampilan yang baru dari pada anak yang muda), meskipun dapat disimpulkan perubahan itu karena belajar. Sugiyanto dan Agus Kristiyanto (1998: 33) menyatakan bahwa, “Perubahan-perubahan hasil belajar gerak sebenarnya bukan murni dari hasil suatu pengkondisian proses belajar, melainkan wujud interaksi antara kondisi belajar dengan faktor-faktor perkembangan individu”. Ini artinya, perubahan kemampuan individu dalam penguasaan gerak ditentukan oleh adanya interaksi yang rumit antara faktor keturunan dan pengaruh lingkungan. Perkembangan individu berproses sebagai akibat adanya perubahan anatomis-fisiologis yang mengarah pada status kematangan. Pertumbuhan fisik yang menunjukkan pada pembesaran ukuran tubuh dan bagian-bagiannya, terkait dengan perubahan-perubahan fungsi faal dan sistem lain dalam tubuh. Pola-pola perubahan tersebut pada gilirannya akan selalu mewarnai pola penguasaan gerak, sebagai hasil proses belajar gerak.

3) Belajar Motorik Tak Teramati secara Langsung

Belajar motorik atau keterampilan olahraga tak teramati secara langsung. Proses yang terjadi dibalik perubahan keterampilan sangat kompleks dalam sistem persyarafan, seperti misalnya bagaimana informasi sensori diproses, diorganisasi dan kemudian diubah menjadi pola gerak otot-otot. Perubahan itu semuanya tidak dapat diamati secara langsung, tetapi hanya dapat ditafsirkan eksistensinya dariperubahan yang terjadi dalam keterampilan atau perilaku motorik.

(21)

4) Belajar Menghasilkan Kapabilitas untuk Bereaksi (Kebiasaan) Pembahasan belajar motorik juga dapat ditinjau dari munculnya kapabilitas untuk melakukan suatu tugas dengan terampil. Kemampuan tersebut dapat dipahami sebagai suatu perubahan dalam sistem pusat syaraf. Tujuan belajaratau latihan adalah untuk memperkuat atau memantapkan jumlah perubahan yang terdapat pada kondisi internal. Kondisi internal ini sering disebut kebiasaan. Menurut Rusli Lutan (1988: 104) kapabilitas ini penting maknanya karena berimplikasi pada keadaan yaitu, “jika telah tercipta kebiasaan dan kebiasaan itu kuat, keterampilan dapat diperagakan jika terdapat kondisi yang mendukung, tetapi jika kondisi tidak mendukung (lelah) keterampilan yang dimaksud tidak dapat dilakukan”.

5) Belajar Motorik Relatif Permanen

Perubahan yang bersifat sementara atau temporer terjadi hanya untuk beberapa saat saja, seperti berkeringan, lelah dan lain sebagainya, tidak dapat digolongan sebagai perubahan akibat belajar. Perubahan yang terjadi akibat proses belajar bersifat menetap atau permanen. Hasil belajar gerak relatif bertahan hingga waktu relatif lama. Sebagai contoh, kemampuan siswa melakukan lempar lembing gaya jengket tidak akan hilang begitu saja, melainkan akan semakin berkembang jika terus dipergunakan atau berlatih secara teratur. Memang sukar untuk menjawab, berapa lama hasil belajar itu akan melekat. Meskipun sukar ditetapkan secara kuantitatif, apakah selama satu bulan, bertahun-tahun atau hanya dua atau tiga hari. Untuk kebutuhan analisis dapat ditegaskan bahwa, belajar akan menghasilkan beberapa efek yang melekat pada diri siswa setelah melakukan belajar gerak.

6) Belajar Motorik Bisa Menimbulkan Efek Negatif

Dilihat hasil yang dicapai dari belajar gerak menunjukkan bahwa, belajardapat menimbulkan efek positif yaitu, penyempurnaan keterampilan atau penampilan gerak seseorang. Namun di sisi lain, belajar dapat menimbulkan efek negatif. Sebagai contoh, seorang

(22)

pesenam belajar gerakan salto ke belakang. Pada suatu ketika lompatannya kurang tinggi dan putaran badannya terlampau banyak sehingga jatuh terlentang. Akibatnya ia mengalami rasa sakit pada punggungnya dan menyebabkan tidak berani lagi melakukan gerakan salto ke belakang. Rasatakut ini mungkin berlangsung beberapa lama, sampai kemudian keberaniannya muncul kembali. Contoh semacam ini dapat dipakai sebagai ilustrasi gejala kemunduran suatu keterampilan sebagai rangkaian akibat kegiatan belajar pada waktu sebelumnya. Kesan buruk terhadap pengalaman masa lampau, kegagalan pahit dalam suatu kegiatan atau tidak berhasil melakukan suatu jenis keterampilan dengan sempurna justru bukan berakibat negatif, tetapi hendaknya dijadikan pendorong ke arah perubahan positif. Pengalaman semacam ini hendaknya menjadi pendorong untuk lebih giat belajar hingga mencapai hasil yang lebih baik.

7) Kurva Hasil Belajar

Salah satu persoalan yang paling rumit dalam proses belajar gerak adalah tentang penggambaran perkembangan hasil belajar dan kecermatan dalam hasil penafsirannya. Kurva hasil belajar adalah gambaran penguasaan kapabilitas untuk bereaksi (yaitu kebiasaan) dalam satu jenis tugas setelah dilakukan berulang-ulang. Kurva hasil belajar ini biasanya dibuat grafik, dimana grafik tersebut menampilkan perkembangan penampilan kemampuan gerak sebagai cerminan dari proses belajar internal yang berlangsung dalam diri seseorang. Meskipun kurva belajar tidak mampu sepenuhnya mencerminkan perubahan internal pada diri seseorang, tetapi untuk kebutuhan praktis atas dasar penampilan nyata dapat ditafsirkan kemajuan, kemajuan atau kemunduran hasil belajar yang dicapai seseorang pada suatu waktu.

(23)

6. Pembelajaran

a. Pengertian Pembelajaran

Pembelajaran merupakan seperangkat tindakan yang dirancang kemudian dipakai oleh guru untuk mendukung proses belajar peserta didik. M. Sorbry Sutikno (2013: 32) menyatakan bahwa,” pembelajaran adalah upaya yang dilakukan oleh guru (pendidik) agar terjadi proses belajar pada diri siswa. Sedangkan menurut Waluyo (2013: 18) mengutip simpulan Depdiknas dalam UU No. 20 Tahun 2013 tentang sisdiknas pasal 1 ayat 20 menyatakan bahwa “Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Berdasarkan uraian di atas dapat diartikan bahwa pembelajaran bukan sekedar trasfer ilmu dari guru kepada siswa, melainkan suatu proses kegiatan yang ditandai dengan adanya interaksi antara guru dengan siswa serta antara siswa dengan siswa pada suatu lingkungan belajar. Siswa sebagai peserta didik merupakan subyek utama dalam proses pembelajaran. Menurut M. Sorbry Sutikno (2013: 34) menyatakan bahwa pembelajaran akan terjadi jika memenuhi ciri-ciri sebagai berikut :

1) Memiliki tujuan, yaitu untuk membentuk siswa dalam suatu perkembangan tertentu

2) Terdapat mekanisme, langkah-langkah, metode dan tekhnik yang direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan

3) Fokus materi jelas, terarah dan terencana dengan baik

4) Adanya aktivitaas siswa merupakan syarat mutlak bagi berlangsungnya kegiatan pembelajaran

5) Tindakan guru yang cermat dan tepat

6) Terdapat pola aturan yang ditandai guru dan siswa dalam proporsi masing-masing

7) Limit waktu untuk mencapai tujuan pembelajaran 8) Evaluasi, baik evaluasi proses maupun evaluasi produk b. Komponen Pembelajaran

Ada beberapa komponen dalam pembelajaran, komponen pembelajaran sebagai berikut :

(24)

1) Tujuan Pembelajaran

Adalah kemampuan-kemampuan yang diharapkan dimiliki siswa setelah memperoleh pengalaman belajar. Dengan kata lain tujuan pembelajaran merupakan suatu cita-cita yang ingin dicapai dari pelaksanaan pembelajaran.

2) Materi Pembelajaran

Mediam untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diperoleh oleh siswa. Karena itu, penentuan materi pembelajaran harus berdasarkan tujuan yang hendak dicapai, misalnya berupa pengetahuan, ketrampilan, sikap, dan pengalaman lainya.

3) Kegiatan pembelajaran

Dalam kegiatan pembelajaran, guru dan siswa terlibat dalam sebuah interaksi dengan materi pembelajaran sebagai mediumnya. Dalam interaksi itu siswalah yang lebih aktif, bukan guru. Oleh karena itu interaksi dikatakan maksimal bila terjadi antara guru dengan semua siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa dengan siswa, antara siswa dengan pembelajaran, bahkan siswa dengan dirinya sendiri, namun tetap dengan kerangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama.

4) Metode

Merupakan suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kegiatan pembelajaran, metode diperlukan oleh guru dengan penggunaan yang bervariasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

5) Media

Media merupaka segala sesuatu yang dapat digunakan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.

(25)

6) Sumber belajar

Sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai tempat dimana materi pembelajaran terdapat.

7) Evaluasi

Evaluasi adalah suatu tindakan atau proses untuk menentukan nilai dari suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Evaluasi merupakan aspek yang sangat penting, yang berguna untuk menguur dan menilai seberapa jauh tujuan pembelajaran telah dicapi atau hingga mana terdapat kemajuan belajar siswa, dan bagaiman tingkat keberhasilan sesuai dengan tujuan pembelajaran tersebut.

Menurut Suryosubroto (1990) yang dikutip Muhammad Robman dan Sofan Amri (2013: 92), tujuan pembelajaran adalah “rumusan secara terperinci apa saja yang harus dikuasai oleh peserta belaraj sesudah ia melewati kegiatan instruksional yang bersangkutan dengan berhasil”.

Adapun tujuan pembelajaran sebagaimana dikemukakan oleh para ahli, diantaranya Ely dan Gerlach yang dikutip Muhammad Robman dan Sofan Amri (2013: 61). ”Tujuan pembelajaran sebagai suatu deskripsi perubahan tingkah laku atau hasil perubahan yang memberi petunjuk bahwa suatu proses belajar telah berlangsung”, dan menurut Bringgs yang dikutip Muhammad Robman dan Sofan Amri (2013: 61), “ tujuan pembelajaran adalah suatu pernyataan tentang apa yang harus dilakukan siswa atau tingkah laku yang bagaimana yang diharapkan dari siswa setelah ia menyelesaikan suatu program pembelajaran tertentu.

Para ahli memberikan rumusan tujuan pembelajaran yang beragam, tetapi semua menunjuk esensi yang sama, bahwa: (1) tujuan pembelajaran adalah tercapainya tujuan perilaku atau kopetensi pada siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran; (2) tujuan dirumuskan dalam bentuk pernyataan atau deskripsi yang spesifik.

(26)

7. Penggunaan Alat Bantu dalam Pembelajaran a. Hakikat Alat Bantu

Penggunaan alat bantu dalam pembelajaran pendidikan jasmani merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan. Kelancaran kegiatan pembelajaran pendidikan jasmani dapat dipengaruhi oleh tersedianya alat yang baik dan memadai. Berkaitan dengan alat bantu mengajar Srijono Brotosuryo (1994: 294) menyatakan, “Alat-alat yang digunakan oleh guru sebagai sarana untuk membantu pelaksanaan kegiatan mengajar”. Menurut H.J. Gino dkk., (1998: 37) bahwa, “Alat bantu belajar atau pembelajaran adalah semua alat yang digunakan dalam dalam kegiatan belajar mengajar dengan maksud untuk menyampaikan pesan (informasi) pembelajaran dari sumber (guru maupun sumber lain) kepada penerima (siswa)”.

Alat bantu mempunyai arti penting dalam pembelajaran pendidikan jasmani. Alat bantu dapat dijadikan sarana untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswa. Di samping itu juga, alat bantu akan memudahkan siswa dalam mempelajari metari pembelajaran. Hal ini sesuai pendapat Srijono Brotosuryo dkk., (1994: 297) bahwa, “Dengan menggunakan alat bantu mengajar atau media, pengajaran dapat menjadi lebih konkrit dan menarik, sehingga mudah untuk dimengerti dan dipahami anak didik”.

Pentingya peranan alat bantu dalam pembelajaran pendidikan jasmani, maka menyediakan alat sesuai dengan kebutuhan pembelajaran pendidikan jasmani harus diusahakan. Dengan tersedianya alat bantu dalam pembelajaran pendidikan jasmani akan memudahkan guru dalam menyampaikan materi pelajaran dan siswa akan senang dan mengerti dan memahami materai yang disampaikan guru.

b. Penggunaan Alat Bantu dalam Pembelajaran Lompat Tinggi

Prasarana dan sarana pembelajaran pendidikan jasmani merupakan kendala yang dihadapi sekolah-sekolah. Pada umumnya prasarana dan saranapen didikan jasmani kurang diperhatikan dibandingkan dengan pelajaran lainnya. Kurangnya prasarana dan sarana pendidikan jasmani di

(27)

sekolah, sehingga halyang mustahil akan menyediakan alat bantu lainnya yang dapat mendukung proses pembelajaran pendidikan jasmani. Hal ini sesuai pendapat Rusli Lutan (2000: 45) bahwa, “Keluhan umum guru pendidikan jasmani yakni keterbatasan alat. Tidak tersedianya alat dapat menjadi faktor penghambat karena berpengaruh langsung terhadap struktur pelajaran dan pengaturan siswa”. Tidak tersedianya alat bantu dalam pembelajaran pendidikan jasmani akan berdampak terhadap hasil belajar yang tidak maksimal. Bahkan dapat dikatakan, pembelajaran tidak dapat dilaksanakan, sehingga materi-materi dalam kurikulum pendidikan jasmani tidak tersampaikan kepada siswa. Tidak tersedianya alat bantu menuntut seorang guru berkreativitas agar pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan diperoleh hasil belajar yang optimal. Hal ini sesuai pendapat Rusli Lutan (2000: 46) bahwa, “Terbuka kesempatan guru pendidikan jasmani untuk membuatsendiri alat-alat sesuai dengan kebutuhan guna menyampaikan bahan pelajaran”. Kreativitas dan inisiatif seorang guru untuk menciptakan alat bantu dalam pembelajaran pendidkan jasmani termasuk lompat jauh gaya jongkok sangat penting. Jika siswa mengalami kesulitan dalam penguasaan tekhnik lompat jauh, maka perlu dibantu menggunakan alat bantu. Penggunaan alat bantu tersebut pada prinsipnya untuk merangsang gerak siswa agar tekhnik lompat tinggi gaya straddledapat dikuasai dengan baik. Menurut Yoyo Bahagia, Ucup Yusuf dan Adang Suherman (2000: 85-89) memberikan bentuk-bentuk pembelajaran nomor lompat menggunakan alat bantu antara lain: “(1) Tali dengan berbagai formasi pembelajaran, (2) Kardus dengan berbagai formasi”.

Penggunaan alat bantu dalam pembelajaran lompat tinggi dapat bermacam-macam bentuknya sesuai dengan kebutuhan dalam pembelajaran. Alat bantu dalam pembelajaran lompat tinggi antara lain menggunakan tali, kotak atau kardus. Dari alat-alat tersebut seorang guru dapat menciptakan kondisi belajar sesuai dengan kebutuhan.

(28)

Aip Syarifuddin (1992: 122-123) memberikan metode pembelajaran lompat tinggi sebagai berikut:

Sesuai dengan unsur-unsur pokok untuk nomor lompat dan tekhnik mengenai bentuk-bentuk gerakan pada lompat tinggi, maka untuk melakukan latihannya antara lain sebagai berikut:

1) Latihan awalan

Pelompat harus melakukan latihan secara berulang-ulang untuk mendapatkan ketepatan di antara jarak awalan dengan batas atau tempat untuk melakukan tolakan dengan membuat tanda (chermark).

2) Latihan tolakan

Untuk latihan tolakan dapat dilakukan dengan berbagai variasi dan kombinasi gerakan antara lain:

Lompat-lompat ke depan ke atas dengan satu kaki. Lari sambil melompati gawang atau rintangan rendah Lari naik turun tangga (trap) atau naik bukit.

3) Sikap badan di atas mistar

Sikap badan di atas mistar sangat erat kaitannya dengan awalan, oleh karena itu lakukan latihan lompat secara berulang-ulang melewati ketinggian mistar dengan gaya lompatannya. Untuk atlet-atlet pemula dapat dilakukan tanpa awalan, dengan awalan satu langkah atau tiga langkah dengan ketinggian mistar antara 75 cm sampai 100 cm.

4) Pendaratan

Pendaratan dapat diajarkan dengan cara berguling atau menjatuhkan badan yang benar agar tidak terjadi cidera. Berdasarkan pendapat tersebut menunjukkan bahwa, dalam membelajarkan lompat tinggi kepada siswa harus didasarkan unsur-unsur pokokatau tekhnik lompat tinggi yang dipelajari. Penggunaan modifikasi alat hanya sebagai sarana untuk mengatasi kendala dalam belajar lompat tinggi. Namun secara prinsip dari penggunaan modifikasi alat tersebut, pelaksanaan pembelajarannya harus mengacu pada karakteristik gerakan lompat tinggi.

8. Modifikasi Alat dalam Pembelajaran Lompat Tinggi a. Hakikat Modifikasi Pembelajaran

Dalam membelajarkan keterampilan olahraga seperti lompat tinggi hendaknya guru harus mampu mencermati kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa dalam belajaran lompat tinggi gaya straddle hendaknya dicarikan solusi yang tepat sesuai dengan kondisi siswa. Menurut Yoyo Bahagia dan Adang Suherman

(29)

(1999/2000: 1) bahwa: Penyelenggaraan program pendidikan jasmani hendaknya mencerminkan karakteristik program pendidikan jasmani itu sendiri, yaitu: “Developmentally Appropiate Practice” (DAP). Artinya adalah, tugas ajar yang diberikan harus memperhatikan perubahan kemampuan anak dan dapat membantu mendorong perubahan tersebut. Dengan demikian tugas ajar tersebut harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak didik yang sedang belajar.

Tugas ajar yang sesuai ini harus mampu mengakomodasi setiap perubahan dan perbedaan karakteristik setiap individu serta mendorongnya ke arah perubahan yang lebih baik. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa, dalam melaksanakan pembelajaran pendidikan jasmani (termasuk lompat tinggi) harus diperhatikan kondisi siswa. Jika dalam membelajaran lompat tinggi gaya straddle secara langsung siswa mengalami kesulitan, makaguru dapat merubah atau memodifikasi ke dalam bentuk gerakan yang sederhana dan mudah dilakukan siswa.

Lebih lanjut Yoyo Bahagia dan Adang Suherman (1999/2000: 1) menyatakan maksud dan tujuan modifikasi yaitu:

Esensi modifikasi adalah menganalisa sekaligus mengembangkan materi pelajaran dengan cara meruntunkannya dalam bentuk aktivitas belajar yang potensial dapat memperlancar siswa dalam belajarnya. Cara ini dimaksudkan untuk menuntun, mengarahkan dan membelajarkan siswa dari yang tadinya tidak bisa menjadi bisa, dari tingkat yang tadinya lebih rendah menjadi memiliki tingkat yang lebih tinggi.

Prinsip dari modifikasi pembelajaran merupakan suatu cara mengajar yang berorientasi pada keadaan siswa (body scaling), dimana kemampuan atau keadaan siswa merupakan faktor utama yang harus diperhatikan dalam proses belajar mengajar keterampilan. Di samping itu juga, dalam proses pembelajaran yang sederhana atau mudah dan disesuaikan dengan kondisi siswa agar terjadi perubahan-perubahan pada diri siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.

(30)

b. Hakikat Modifikasi Alat dalam Pembelajaran Lompat Tinggi

Memodifikasi peralatan dalam pembelajaran pendidikan jasmani pada prinsipnya untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa. Pembelajaran lompat tinggi secara langsung siswa mengalami kesulitan, sehingga kemampuan lompat tinggi tidak dapat meningkat. Upaya mengatasi hal tersebut, maka dapat diciptakan kondisi belajar lompat tinggi yang lebih sederhana dengan memodifikasi peralatannya. Berdasarkan peralatan yang dimodifikasi dalam pembelajaran lompat tinggi gaya straddle, maka modifikasi ini termasuk modifikasi kondisi lingkungan pembelajaran.

Dalam hal ini modifikasi kondisi lingkungan pembelajaran menurut Yoyo Bahagia dan Adang Suherman (1999/2000: 7) bahwa:

Modifikasi pembelajaran dapat dikaitkan dengan kondisi lingkungan pembelajarnnya. Modifikasi lingkungan pembelajaran ini dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa klasifikasi seperti peralatan. Guru dapat mengurangi atau menambah tingkat kompleksitas dan kesulitan tugas ajar dengan cara memodifikasi peralatan yang digunakan untuk melakukan skill. Misalnya berat-ringanya, tinggi rendahnya, panjang pendeknya peralatan yang digunakan.

Berdasarkan pendapat tersebut menunjukkan bahwa, modifikasi alat dalam pembelajaran lompat tinggi gaya straddle yaitu merubah peralatan yang digunakan dan cara melakukannya tidak sama dengan gerakan lompat tinggi gaya straddle. Namun dari modifikasi alat ini dimaksudkan mengarah pada karakteristik gerakan lompat tinggi, sehingga dari pembelajaran lompat tinggi dengan memodifikasi alat ini dapat mendukung gerakan lompat tinggi gaya straddle. Berdasarkan tujuan modifikasi pembelajaran, maka modifikasi alat termasuk tujuan penghalusan gerakan. “Tujuan penghalusan maksudnya adalah tujuan pembelajaran yang lebih menekankan pada perolehan pengetahuan dan kemampuan melakukan efisiensi gerak atau keterampilan yang dipelajarinya”. (Yoyo Bahagia & Adang Suherman, 1999/2000: 3)

(31)

9. Pembelajaran Lompat Tinggi Gaya Straddle dengan Modifikasi Tali a. Pelaksanaan Pembelajaran Lompat Tinggi dengan Modifikasi Tali

Pembelajaran lompat tinggi gaya straddle dengan modifikasi tali pada dasarnya merupakan suatu strategi pembelajaran lompat tinggi yang bertujuan agarsiswa dapat menampilkan gerakan lompat vertikal. Pembelajaran ini dimaksudkan agar siswa menguasai tekhnik melompat ke atas yang baik. Seperti dikemukakan Mochamad Djumidar A. Widya (2005: 67) bahwa,“Pembelajaran lompat menggunakan tali bertujuan agar dapat merangsang siswa untuk melakukan lompatan agar badan terangkat ke atas depan”. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa, dengan pembelajaran lompat tinggi dengan modifikasi tali siswa dapat mengembangkan lompatan ke atas semaksimal mungkin sehingga dapat mendukung gerakan lompat tinggi gayastraddle.

Gunter Bernhard (1993: 156) berpen dapat: “Semua tekhnik lompat tinggi mempunyai tujuan untuk memenangkan ketinggian sebesar mungkin, karena itu mempertahankan titik berat badan serendah mungkin”. Faktor-faktor kondisi harus mengambil syarat-syarat yang tidak hanya dibutuhkan untuk penguasaan tekhnik, tetapi harus memberikan kemungkinan untuk mengangkat badan setinggi mungkin dari tanah (absolute spongkratch = tenaga loncat yang mutlak). Pendapat tersebut menunjukkan bahwa, pembelajaran lompat tinggi gaya straddle dengan modifikasi tali bertujuan untuk mengembangkan lompatan keatas, dimana lompatan ke atas setinggi mungkin sangat penting dalam gerakan lompat tinggi. Sedangkan ditinjau dari prinsip-prinsip modifikasi pembelajaran pendidikan jasmani bahwa, pembelajaran lompat tinggi dengan modifikasi tali merupakan prinsip perluasan isi.

Rusli Lutan dan Adang Suherman (2000: 68) berpendapat, “Perluasan isi atau materi maksudnya adalah penyusunan aktivitas belajar secara progresive dari yang mudah ke yang sukar atau dari yang sederhana ke yang kompleks”. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa, pembelajaran lompat tinggi gayastraddle dengan modifikasi tali merupakan cara belajar

(32)

yang dimulai dari yang sederhana atau mudah, kemudian secara bertahap ditingkatkan ke bentuk keterampilan yang lebih sulit. Melalui pembelajaran lompat tinggi gaya straddle dengan modifikasi tali diharapkan siswa akan memiliki daya loncat vertikal yang maksimal serta memiliki konsep gerakan melompat yang benar.

Pelaksanaan pembelajaran lompat tinggi dengan modifikasi tali yaitu, dibentangkan tali dengan ketinggian tertentu dan diatur sedemikian rupa. Sebelum pembelajaran dimulai, guru menjelaskan cara pelaksanaan pembelajaran lompat tali dari tekhnik awalan, menumpu untuk menolak, melewati tali dan pendaratan. Untuk selanjutnya guru mendemonstrasikannya agar siswa memiliki konsep gerakan melompat tali yang baik dan benar. Adapun ketinggian tali yang dibentangkan dalam pembelajaran lompat tinggi dengan modifikasi tali menurut Mochamad Djumidar A. Widya (2005: 67) yaitu:

“Tali dibentangkan dengan ketinggian 30 cm, 40 cm, 50 cm diatur ketinggiannya, sehingga anak-anak tidak merasa jenuh dalam mengikuti proses pembelajaran lompat. Bidang pendaratan harus lembut, tidak keras”.

Pembelajaran lompat tinggi dengan modifikasi tali dilakukan secara berulang-ulang dan ketinggian tali ditingkatkan secara bertahap. Agar siswa dapat mentransfer dari pembelajaran yang dilakukan dengan gerakan lompat tinggi gaya straddle, maka sebelum pembelajaran selesai siswa diberi pembelajaran lompat tinggi gaya straddle.

b. Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Lompat Tinggi dengan Modifikasi Tali

Pembelajaran lompat tinggi gaya straddle dengan modifikasi tali merupakan bentuk pembelajaran yang mengarah pada pengembangan tekhnik lompat tinggi di antaranya awalan dan tumpuan. Di samping itu juga pembelajaran ini mengembangkan kemampuan lompatan vertikal yang dibutuhkan dalam lompat tinggi. Berdasarkan pelaksanaan pembelajaran lompat tinggi gaya straddle dengan modifikasitali tersebut di atas dapat diidentifikasi kelebihan dan kelemahannya. Kelebihan

(33)

pembelajaran lompat tinggi gaya straddle dengan modifikasi tali antara lain:

1) Dapat meningkatkan motivasi belajar siswa karena alat yang digunakan lebih sederhana.

2) Dapat mengembangkan unsur tekhnik awalan, menumpu untuk menolak.

3) Siswa tidak takut dengan alat yang digunakan karena bila menubruk tidak menimbulkan cidera.

4) Dapat meningkatkan kemampuan lompat vertikal semaksimal mungkin yang dapat membantu gerakan lompat tinggi.

Selain kelebihan seperti di atas, pembelajaran lompat tinggi dengan modifikasi tali juga memiliki kelemahan. Kelemahan pembelajaran lompat tinggi gaya straddle dengan modifikasi taliantara lain:

1) Dibuthkan proses waktu yang lama untuk beradaptasi dengan gerakan lompat tinggi gayastraddle yang sebenarnya.

2) Unsur tekhnik melewati tali dan pendaratan tidak dikembangkan, sehingga siswa akan mengalami kesulitan dalam memperagakan tekhnik melewati mistar dan pendaratan pada lompat tinggi gaya straddle.

10. Pembelajaran Lompat Tinggi Gaya Straddle dengan Modifikasi Kotak a. Pelaksanaan Pembelajaran Lompat Tinggi dengan Modifikasi Kotak

Prinsipnya pembelajaran lompat tinggi gaya straddle menggunakan kotak sama dengan pembelajaran lompat tinggi gaya straddle dengan modifikasi tali. Perbedaannya terletak pada alat yang digunakan yaitu dengan kotak atau peti. Kotak yang harus dilompati tersebut pada prinsipnya untuk mengembangkan kemampuan lompat vertikal. Ditinjau dari prinsip-prinsip pengaturan belajar gerakbahwa pembelajaran lompat tinggi dengan modifikasi kotak merupakan bentuk pembelajaran yang dilakukan dari cara yang mudah untuk selanjutnya ditingkatkan secara bertahap. Berdasarkan pertimbangan tingkat kesulitan dan tingkat

(34)

kompleksitas, penyusunan materi pelajaran hendaknya mengikuti prinsip-prinsip:

1) Dimulai dari materi belajar yang mudah dan ditingkatkan secara berangsur-angsur ke materi yang lebih sukar.

2) Dimulai dari materi belajar yang sederhana dan ditingkatkan secara berangsur-angsur ke materi yang semakin kompleks.

Melalui pembelajaran lompat tinggi dengan modifikasi kotak, siswa akan memiliki konsep gerakan melompat dan berkembang penguasaan tekhnik lompat tinggi. Dengan memiliki konsep gerakan melompat dan dikembangkannya tekhnik lompat tinggi, maka akan mendukung kemampuan lompat tinggi gaya straddle. Pelaksanaan pembelajaran lompat tinggi dengan modifikasi kotak yaitu, diletakkan kotak sedemikian rupa dengan ketinggian antara 50-100 cm. Guru menerangkan tekhnik awalan, menumpu untuk menolak, melewati kotak dan pendaratan, selanjutnya guru mendemosntrasikan.

Sebelum pembelajaran selesai, pembelajaran ditingkatkan dengan lompat tinggi gaya straddle. Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat menstrafer bentuk pembelajaran yang diterimanya kepola gerakan lompat tinggi gaya straddle. Adapun yang dimaksud dengan transfer belajar gerak menurut Sugiyanto (1996: 82) bahwa,

“Transfer bukan merupakan materi pelajaran yang harusdiajarkan, melainkan merupakan suatu kondisi yang harus diciptakan agar materi pelajaran yangtelah dikuasai murid bisa memberikan kemudahan bagi murid untuk mempelajari hal-hal yang baru dalam situasi yang baru atau situasi yang lain”.

b. Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Lompat Tinggi dengan Modifikasi Kotak

Pembelajaran lompat tinggi dengan modifikasi kotak merupakan bentuk pembelajaran untuk merangsang kemampuan melompat setinggi mungkin. Dengan dikembangkannya lompatan yang setinggi mungkin, maka akan mendukung lompat tinggi gaya straddle. Ditinjau pelaksanaan pembelajaran lompat tinggi dengan modifikasi kotak di atas dapat

(35)

diidentifikasi kelebihan dan kelemahannya. Kelebihan pembelajaran lompat tinggi dengan modifikasi kotak antara lain:

1) Dapat meningkatkan movitasi belajar siswa karena bentuk pembelajarannya berbeda dengan pembelajaran lompat tinggi.

2) Dikembangkan unsur tekhnik awalan, menumpu untuk menolak. 3) Siswa akan saling berlomba untuk melakukan lompatan setinggi

mungkin melewati kotak.

Kelemahan pembelajaran lompat tinggi dengan modifikasi kotak antara lain:

1) Lompatan yang kurang tinggi dapat mengenai bahkan menubruk kotak.

2) Unsur tekhnik melewati mistar dan pendaratan lompat tinggi gaya straddle tidak dikembangkan.

3) Dibutuhkan waktu yang agak lama untuk beradaptasi dengan tekhnik gerakan lompat tinggi gaya starddle.

11. Hasil Belajar

a. Pengertian Hasil Belajar

Hasil belajar sering kali digunakan sebagai ukuran untuk mengetahui seberapa jauh seseorang menguasai bahan/materi yang sudah diajarkan. Dengan berakirnya suatu proses belajar, maka siswa memperoleh suatu hasil belajar. Menurut Dimyati dan Mujiyono (2009: 3) “Menyatakan bahwa hasil belajar merupaka hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar diakiri dengan proses evalusi hasil belajar”. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan berakirnya proses belajar. Sedangkan menurut Sudjana (2008: 22) menyatakan bahwa “hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya”. Lebih lanjut Sutikno mengutip simpulan bloom tahun 1976 (2013: 79) menyatakan bahwa “hasil belajar dibagi menjadi 3 kawasan, yaitu kognitif berkenaaan dengan ingatan dan pengetahuan dan kemampuan intelektual

(36)

serta ketrampilan-ketrampilan”. Kawasan afektif menggambarkan sikap dan nilai. Kawasan psikomotorik adalah kemampuan-kemampuan menggiatkan dan mengkoordinasikan gerak. Hasil belajar dapat dikategorikan kedalam 3 ranah yaitu :

1) Ranah Kognitif

Berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari 6 aspek yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan penilaian.

2) Ranah afektif

Berkenaan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif meliputi lima jenjang kemampuan yang menerima, merespon, memberi niali, mengorganisasi, dan memberi karakter.

3) Ranah psikomotorik

Memiliki kaitan yang erat dengan kemampuan dalam melakukan kegiatan-kegiatan ayng bersifat fisik, meliputi : imitasi, manipulasi, presiasi dan artikulasi.

Salah satu tugas pokok guru adalah mengevaluasi taraf keberhasilan rencana pelaksanaan pembelajaran, untuk dapat melihat sejauh mana taraf keberhasilan guru dan belajar siswa secara tepat dan dapat dipercaya maka diperlukan informasi yang di dukung oleh data yang obyektif dan memadai tentang indikator perubahan perilaku dan pribadi siswa. Hasil belajar digunakan untuk menjadikan ukuran atau kriteria dalam mencapai suatu tujuan pendidikan.

Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat disimpulkan hasil belajar adalah proses perubahan perilaku atau kemampuan manusia akibat stimulus-stimulus yang baru yang berasal dari interaksi belajar dan mengajar setelah menerima pengalaman belajar yang menyangkut aspek kognitif, afektif, psikomotorik. Sebagai tujuana yang hendak dicapai, ketiganya harus nampak sebagai hasil belajar siswa di sekolah. Oleh sebab

(37)

itu aspek tersebut harus dipandang sebagai hasil belajar siswa dari proses pembelajaran.

b. Prinsip-Prinsip Belajar

Prinsip belajar merupakan petunjuk atau cara yang perlu diikuti untuk melakukan kegiatan belajar. siswa yang berhasil dalam belajarnya jika memperhatikan prinsip-prinsip belajar. Menurut Sobry Sutikno (20013:7) prinsip belajar ada 8 prinsip yang harus diketahui yaitu:

1) Belajar perlu memiliki pengalaman dasar. Pada dasarnya, seseorang akan mudah belajar sesuatu jika sebelumnya memiliki pengalaman yang memepermudahkan dalam memperoleh pengalaman baru. Contonya anak akan mudah mengerjakan pengurangan, jika sebelumya anak sudah mengetahui angka 0,1.2.3, dan seterusnya.

2) Belajar harus memiliki tujuan yang jelas dan terarah. Adanya tujuan-tujuan akan dapat membantu dalam menuntun guna tercapainya tujuan-tujuan. Tujuan ialah sasaran khusus yang hendak dicapai oleh seseorang.

3) Belajar harus memiliki situasi yang problemmatis. Situasi yang problematis ini akan membantu membangkitkan semangat belajar. semakin sungkar problem yang dihadapi, semakin keras usaha berfikir untuk memecahkan.

4) Belajar harus memiliki tekat yang kuat dan kemauan yang keras dan tidak putus asa.

5) Belajar memerlukan bimbingan, arahan, serta dorongan. Ini akan mempermudah dalam hal penerimaan serta pemahaman akan suatu materi. Seseorang yang mengalami kelelahan dalam belajar akanbanyak mendatangkan hasil yang membangun jika deberi bimbingan, arahan, serta dorongan yang baik.

6) Belajar memerlukan latihan. Efek yang positif dari memperbanyak latihan adalah dapat mampu menguasai segala sesuatu yang dipelajari, mengurangi kelupaan, dan memperkuat daya ingat.

(38)

7) Belajar memerlukan metode yang tepat. Metode belajar yang tepat memungkinkan siswa belajar lebih efektif dan efisien.

8) Belajar membutuhkan waktu dan tempat yang tepat. Karena faktor waktu dan tempat ini merupakan faktor yang sangat mempengaruhi siswa dalam belajar, dengan demikian faktor ini memerlukan perhatian lebih serius.

B. Kerangka Berpikir

Berdasarkan kajian teori yang telah dikemukakan, untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai arah penelitian, maka disajikan kerangka pemikiran sebagai berikut.

Masalah yang dihadapai dalam pembelajaran pendidikan jasmani yaitu pada model atau cara guru dalam menyampaikan pelajaran yang kurang memodifikasi alat bantu dan akibatnya siswi kurang percaya diri dengan alat yang standar siswi takut dan ragu-ragu saat melakukan lompatan, siswi kurang tertarik karena pembelajaran kurang menarik dan akibatnya siswi kurang aktif dan interaktif, baik dengan siswi yang lain maupun dengan guru. Permasalahan tersebut muncul dalam pembelajaran lompat tinggi gaya straddle di SMK Negeri 1 Sukoharjo khususnya pada lompat tinngi gaya straddle, terlihat kurang maksimal yang dikarenakan padatnya jam guru, sehingga guru kurang waktu untuk mendesain pembelajaran yang kreatif dalam melakukan pembelajaran.

Permasalahan umum dalam pembelajaran adalah kurangnya model atau strategi pembelajaran sehingga mempengaruhi peran aktif siswi dalam kegiatan belajar kususnya lompat tinggi gata straddle. Selama pengamatan, metode yang digunakan guru belum sesuai dengan karakteristik pembelajaran yang di inginkan siswi. Seperti yang telah diuraikan di atas, di mana karakteristik pembelajaran penjas bagi siswi SMK Negri 1 Sukoharjo melalui pendekatan interdisipliner yang melibatkan ilmu lain.

Pendekatan interdisipliner dapat dilakukan dengan menggunakan modifikasi alat bantu yang sesuai dengan karakteristik materi pembelajaran.

(39)

Guru dapat mendesain pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswi dengan alat bantu. Salah satu model pembelajaran yang dipakai untuk memudahkan siswi melakukan lompat tinggi gaya straddle adalah menganti alat bantu yang sesungguhnya (mistar lompatan) dengan memodifikasi alat bantu berupa tali dan kotak dalam pembelajaran lompat tinggi gaya straddle. Alat bantu tali dan kotak merupakan salah satu pembelajaran yang dapat diterapkan dalam mata pelajaran penjas, karena mengunakan alat bantu tali dan kotak akan memudahkan siswi melakukan lompatan dengan tidak ragu-ragu supaya tidak menimbulkan kesalahan sesaat melompati mistar atau sebelumnya. Alat bantu pembelajaran ini digunakan dengan maksut mempermudah siswi belajar lompat tinggi gaya straddle dengan baik, diharapkan hasil lompat tinggi gaya straddle yang di capai juga akan lebih meningkat.

C. Hipotesis

Melalui kerangka berfikir yang telah disusun sebelumnya maka dapat dirumuskan hipotesis adalah sebagai berikut :

Ada pengaruh penerapan alat bantu pembelajaran terhadap peningkatan kemampuan lompat tinggi gaya straddle pada Siswi Kelas XI SMK Negeri 1 Sukoharjo Tahun Pelajaran 2015/2016.

Gambar

Gambar 1 : Serangkaian Urutan Lompat Tinggi Gaya Straddle (Soegito, Bambang Wijanarko, dan Ismaryati, 1994: 72)
Gambar 2 : Awalan Lompat Tinggi Gaya Straddle (Soegito, Bambang Wijanarko, dan Ismaryati, 1994: 166)
Gambar 3 : Tumpuan dan Tolakan
Gambar 4 : Melayang Diatas Mistar
+2

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan beberapa pendapat mengenai kerjasama tersebut dapat disimpulkan bahwa kerjasama merupakan kegiatan yang dilakukan antara siswa dengan guru maupun siswa

Hal yang terpenting untuk memiikirkan suatu rencana ialah mencari soal atau unsur pengetahuan lain yang sehubungan, dan dengan persoalan yang diajukan terdapat kaitan yang

Grafik perbandingan efisiensi Dari perhitungan diatas dapat dilihat bahwa efisiensi line axle shaft A meningkat dimana efisiensi awal line sebelum perbaikan sebesar 72%

mulai dari kebiasaan, tatacara, sampai adat. Perilaku tak bermoral adalah perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial dikarenakan pelanggaran terhadap rambu-rambu

Sehingga saat suatu gambar atau tulisan yang memiliki hyperlink di klik, maka akan menuju ke sumber lain sesuai alamat tujuan dari link tersebut.. Bagaimana cara memberi label

Minyak ini dapat di daur ulang menjadi metil ester dengan reaksi transesterifikasi, sehingga minyak jelantah yang sebelumnya merupakan limbah yang berbahaya jika

/indakan yang dapat menyebabkan in$ersio uteri adalah perasat @rede pada korpus uteri yang tidak berkontraksi baik dan tarikan pada tali pusat dengan plasenta yang belum lepas

Jawab : iya betul, di LP kita tidak mencantumkan tujuan, namun sudah bisa dilhat dari indikator yang susunannya ABCD. Indikator harus menggambarkan secara lengkap. i) Apa