2
dan martabat manusia.2 Demikian juga dalam Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia telah jelas mengamanatkan bahwa pelanggaran HAM harus ditindaklanjuti.
Indonesia juga berkeinginan untuk menghargai hak asasi manusia. Hal ini dapat dilihat di dalam amandemen terakhir UUD 1945 yang lebih didominasi pasal-pasal tentang hak asasi manusia. Sejak Amandemen UUD 1945 yang dilakukan pada 1999-2002, HAM telah menjadi bagian yang integral dalam konstitusi. Jumlah pasal-pasalnya lebih banyak dibanding pasal yang berkenaan dengan keamanan dan pertahanan.3
Berdasarkan konstitusi-konstitusi tentang HAM yang ada di Indonesia berbanding terbalik dengan realitas yang terjadi di lapangan. Tindakan-tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di antaranya kasus Tanjung Priok tahun 1984, peristiwa penculikan para aktivis politik (1998), Peristiwa Trisakti dan Semanggi (1998), peristiwa kekerasan di Timor Timur pasca jajak pendapat (1999), Kasus Ambon (1999), Kasus Poso (1998-2000), Kasus Dayak dan Madura (2000), Kasus bom Bali (2002) dan pelanggaran HAM di Aceh yang merupakan salah satu konflik bersenjata yang sangat panjang di Indonesia.
Rentang masa kekerasan yang telah terjadi di Aceh sejak tahun 1950-an, yakni sejak periode DI/TII (1953-1963), konflik politik 1965 (1965-1970), pra DOM (1976-1989), DOM (1989-1998), hingga pasca DOM (1998-2005).4 Sehingga, Aceh merupakan wilayah dengan tingkat pelanggaran HAM yang tinggi, dimana tanggung jawab atas kejahatan-kejahatan ini ada pada otoritas yang sama pula yaitu Indonesia.5
Tidak berlebihan kiranya ketika dilihat sebagian besar pengalaman negeri yang mengalami konflik panjang seperti di Aceh, telah mengakibatkan berbagai permasalahan meski telah memasuki tahap pembangunan perdamaian. Masa konflik selalu menghasilkan sejumlah besar korban dan keluarga korban. Mereka mengalami kerugian fisik, mental dan materi, atau penderitaan secara sosial lewat berbagai
2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. 3 Otto Syamsuddin Ishak, Ikhtiar Mencuci ”Karpet Martti” di Aceh, Jurnal Dignitas, Volume
VIII, No. 1 Tahun 2012, hal. 28.
4 Tim Koalisi Pengungkap Kebenaran (KPK) Aceh, Tawaran Model Penyelesaian Pelanggaran Berat HAM Aceh, yayasan TIFA, 2007, hal. 17.
3
bentuk kejahatan kemanusiaan: pembunuhan, penghilangan secara paksa, penyiksaan, perkosaan, perampasan harta milik, atau diskriminasi politik. Semua sisa-sisa periode konflik ini kadang kala sulit untuk dijangkau atau ditangani oleh mekanisme penegakan hukum konvensional. Keterbatasan ini kadang kala bersifat teknis, seperti keterbatasan barang bukti, saksi maupun jumlah kejahatan yang tidak sesuai dengan kapasitas institusional lembaga hukumnya.
Keterbatasan ini bisa pula bersifat politis, dengan mempertimbangkan bahwa perdamaian membutuhkan pertimbangan tinggi dari pihak-pihak yang dulunya bertikai. Sementara itu kebutuhan korban atau keluarga korban untuk mencari tahu keberadaan sanak keluarganya yang hilang, kebutuhan untuk memahami mengapa mereka sampai menjadi korban tentu tidak bisa diabaikan begitu saja. Publik luas pun mempunyai hak untuk mengetahui penyebab, pola dan akibat dari konflik di masa lalu sebagai pembelajaran di hari ini untuk mencegahnya supaya tidak berulang lagi di masa depan.
Tentu saja mandegnya upaya mengadili pelanggar HAM ini tidak sejalan dengan cita-cita Republik Indonesia sebagai sebuah negara hukum sebagaimana termaktub dalam konstitusinya. Sangat disayangkan karena realitas yang terjadi sekarang seakan-akan merupakan penegasian eksistensi Republik Indonesia sebagai negara hukum, dan sebagai sebuah negara modern yang memiliki konstitusi yang mencerminkan penghormatan dan kehendak penegakan HAM.
Memang bila dilihat dari konteks historis, sejak berdirinya Indonesia pada 1945, Republik ini belum memiliki fondasi politik yang cukup kuat untuk mewujudkan penghormatan dan kemauan penegakan HAM sebagai sebuah realitas. Ini dibuktikan dengan amat sedikitnya proses peradilan terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan. Dengan kata lain, Republik Indonesia memiliki tradisi politik yang cukup kuat untuk mengakumulasi kejahatan kemanusiaan.
Salah satu cara penyelesaian HAM di Indonesia dan Aceh khususnya adalah dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) seperti tertuang dalam Pasal 47 UU No. 26 tahun 2000 tersebut. Dalam pelaksanaannya, KKR terbukti berhasil dilaksanakan di sejumlah negara, seperti Argentina, Afrika Selatan, Chili dan banyak negara lainnya. Lembaga ini diperuntukkan menangani kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.
4
Di dalam beberapa poin Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki juga memuat tentang penegakan hak asasi manusia di Aceh. Hal ini terlihat di dalam poin 2.3 yang menyataka bahwa Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi.
Seterusnya di dalam penerapan MoU tersebut mengenai KKR ini juga termuat di dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yaitu pasal 229 ayat (1) menyatakan bahwa untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi, dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh. Ayat (2) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian tidak terpisahkan dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Ayat (3) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh bekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dan ayat (4) Dalam menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia di Aceh, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh dapat mempertimbangkan prinsip-prinsip adat yang hidup dalam masyarakat. Di samping itu pula dimungkinkan terbentuknya pengadilan HAM di Aceh sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, namun tetap saja dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk faktor politik.
Sehingga tulisan ini ingin mengamati bagaimana hubungan dan perbandingan tujuan antara KKR dengan pengadilan HAM terhadap pelanggaran HAM di Aceh? Tulisan ini juga bertujuan untuk memperkaya khazanah berfikir kita untuk mengetahui tentang tujuan-tujuan KKR dan pengadilan HAM serta sebagai pembelajaran di hari ini untuk mencegahnya supaya tidak berulang lagi di masa depan.
B. KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI
Komisi kebenaran adalah komisi yang dibentuk untuk penelitian dan laporan tentang pelanggaran hak asasi manusia yang telah terjadi selama periode waktu tertentu di suatu negara tertentu di bawah rezim tertentu atau dalam kaitannya dengan konflik tertentu.6
6 Knoop. G.G.J. Truth and reconciliation commission models and international tribunals: a comparison, Symposium on “The Right to Self-Determination in International Law” Organised by Unrepresented Nations and Peoples Organization (UNPO), Khmers Kampuchea Krom Federation (KKF), Hawai‟i Institute for Human Rights (HIHR), The Hague, Netherlands, 2006, hal. 1.
5
Secara umum komisi kebenaran dan rekonsiliasi dapat dikatakan sebagai Sebuah institusi non-yudisial yang bersifat sementara yang didirikan oleh sebuah institusi resmi untuk menyelidiki pola pelanggaran HAM berat yang dilakukan selama kurun waktu tertentu pada masa lalu. Tujuan dibentuknya institusi ini adalah untuk menerbitkan sebuah laporan terbuka, termasuk data-data tentang korban,beberapa butir rekomendasi menuju pencapaian keadilan dan rekonsiliasi.7
Jika mengamati tentang definisi-definisi KKR menurut Priscilla Hayner terdapat lima elemen yang dapat dikatakan sebagai karakter umum KKR, yaitu: (1) fokus penyelidikannya pada kasus masa lalu; (2) terbentuk beberapa saat setelah rezim otoriter tumbang; (3) tujuannya ialah mendapatkan gambaran yang konprehensif mengenai kejahatan hak asasi manusia dan pelanggaran hukum internasional pada kurun waktu tertentu, dan tidak memfokuskan pada suatu kasus; (4) keberadaannya adalah untuk jangka waktu tertentu, biasanya berakhir setelah laporan akhirnya selesai dikerjakan; (4) ia memiliki kewenangan untuk mengakses informasi ke lembaga apapun dan mengajukan perlindungan untuk mereka yang memberikan kesaksian; (5) pada umumnya dibentuk secara resmi oleh negara baik melalui keputusan presiden atau melalui undang-undang.8
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi juga merupakan fenomena yang timbul di era transisi politik dari suatu rezim otoriter ke rezim demokratis9, terkait dengan persoalan penyelesaian kejahatan kemanusian yang dilakukan rezim sebelumnya. Pemerintahan transisi berusaha menjawab masalah tersebut dengan mencoba mendamaikan kecenderungan menghukum di satu sisi dengan kecenderungan memberi maaf atau amnesti di sisi yang lain. Sebagai ”jalan tengah” tentu saja upaya demikian tidak sepenuhnya memuaskan banyak pihak, terutama korban, keluarga korban dan organisasi masyarakat sipil, tetapi itulah usaha pemerintahan transisi yang dapat dilakukan, mengingat kejahatan kemanusian yang dilakukan rezim sebelumnya mengandung dimensi politik, psikologis dan hukum yang sangat kompleks.
7 Dan Bronkhorst, 'Truth Commissions and Transitional Justice: A Shrot Guide' Amnesty Internasional Netherlands Document, September 2003, www.amnesty.nl/downloads/truthcommission_guide.doc
8 Priscilla Hayner, Fifteem Truth Commssions 1974-1994 Comparative Study dalam Human Right Querterly, 16, hlm, 597.
9 Rhona K.M. Smith, dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008, hal, 385.
6
Berkenaan dengan pentingnya pengungkapan kebenaran secara lengkap, terdapat mekanisme yang dapat dilakukan dalam tataran nasional yaitu melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Konsep ini sebenarnya sudah mulai dikenal sejak lama di beberapa negara yang telah mempraktekkannya dalam menyelidiki kasus-kasus pelanggaran HAM di negara masing-masing dengan nama yang berbeda-beda.
Di Argentina10 misalnya, pada tahun 1983 lembaga ini dibentuk dengan nama
Comision Nacional sobre de la Desaparicion de Personas yang berfungsi menyelidiki raibnya 9.000 penduduk yang selama regime militer berkuasa pada 1976 hingga 1983, Ghana mengesahkan National Reconcilliation Commission pada 11 Januari 2002 untuk melakukan investigasi secara menyeluruh pelanggaran HAM berat yang terjadi mulai 6 Maret 1957 hingga 6 Januari 1993, di Peru, Truth and Reconciliation Commission yang diresmikan pada 13 Juli 2001 ditugaskan untuk menyelidiki kematian 30.000 orang, di samping 6.000 yang hilang, yang terjadi pada 3 rezim pemerintahan sebelumnya, namun yang paling dikenal luas adalah KKR Afrika Selatan yang dibentuk pada tahun 1995 yang bertugas meneliti semua kejahatan pelanggaran HAM yang terjadi dalam pemerintahan apartheid 1960-1994.11
Setidaknya dalam pembentukan KKR ini memiliki tiga elemen penting untuk dapat dibentuk dan bekerja secara efektif, yaitu12:
1. situasi (konflik) kekerasan sudah (relatif) damai. Situasi damai ini penting agar para korban, saksi termasuk para perlaku memiliki keberanian untuk mengungkapkan kesaksian atau pendapatnya secara publik dalam kerjasama dengan komisi.
2. Efektifitas komisi bergantung pada dukungan atau komitmen daripada pemerintah. Dukungan ini berupa dukungan finansial bagi kerja komisi dan membuka akses kepada komisi, keluarnya jaminan politik dan hukum bagi kerja komisi dan membuka akses kepada informasi.
10 Briefing Paper (Appendix), Series No. 1. Tahun 1 Juli 2000, ELSAM, Jakarta, hal. 11 dan Pricilla B Hayner , 2005, Kebenaran Tak Terbahasakan Refleksi Kebenaran komisi-komisi, kebenran, Kenyataan dan Harapan, Jakarta: Elsam.
11 Tjipta Lesmana. “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Permasalahan dan Prospeknya”. Law Review UPH Volume VIII No. 2 November 2008. Hal. 287-288.
7
3. Adanya kepercayaan khususnya dari para korban, keluarga korban atau saksi kepada komisi.
Adapun yang menjadi prinsip-prinsip dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah13:
1. Independen yaitu, komisi ini bekerja tidak tergantung dan tidak dipengaruhi oleh pihak lain.
2. Non diskriminasi yaitu, komisi ini bekerja dengan tidak melakukan pembedaan atau pengecualian atas dasar apapun: jender, ras, keyakinan, agama, atnis dan pembedaan lainya.
3. Partisipasi dan transparansi yaitu, memastikan masyarakat, khususnya korban pelanggaran HAM dan perempuan, berpartisipasi dalam perumusan, pelaksanaan dan evaluasi kerja komisi.oleh karenanya harus dipastikan tersedianya akses informasi bagi masyarakat terkait kerja-kerja komisi. Serta menjalankan organisasi secara transparan dan akuntabel kepada publik.
4. Mengutamakan perlindungan dan pemulihan korban yaitu, komisi mengutamakan perlindungan korban, khusunya untuk korban kekerasan seksual termasuk menjamin kerahasiaan identitas sesuai permintaan koban. Juga menjalankan program reparasi mendesak bagi korban yang paling membutuhkan. Serta merekomendasikan kepada pemerintah program reparasi yang komprehensif untuk korban sesuai dengan temuan-temuan dengan komisi. 5. Menolak impunitas yaitu menyebut dengan jelas mereka yang paling
bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang berat; tidak memberi rekomendasi amnesti kepada mereka yang paling bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang berat; komisi bekerja secara komplementer dengan pengadilan untuk pelanggaran HAM yang berat; yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida dan kejahatan perang; memberikan rekomendasi imunitas hukum hanya bagi pelaku yang telah mengakui perbuatan pelanggaran di dalam proses rekonsiliasi yang difasilitasi oleh komisi.
8
6. Due process hak jawab bagi pelaku yaitu demi proses yang adil, pelaku yang namanya disebut dalam proses pengungkapan atau di dalam hasil temuan oleh komisi mempunyai hak jawab atas kasus yang dituduhkan kepadanya.
7. Standard pembuktian „on the balance of probability‟ yaitu, sebagai mekanisme non yudisial, penetapan kebenaran tidak memerlukan standar pembuktian sebagaimanayang disyaratkan di proses yudisial. Karenanya komisidapat menggunakan kesaksian tidaklangsung, maupun bukti-bukti lain.
8. Pertanggung jawaban individu yaitu, proses rekonsiliasi berangkat dari pengakuan oleh secara individu.
C. PENGADILAN HAM
Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum. Selanjutnya ayat (2) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun. Sehingga pada tahun 2000 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam Pasal 1 angka (3) menyatakan bahwa Pengadilan Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia sebenarnya sudah sangat jelas berdasarkan sejumlah instrumen hukum yang telah dibentuk, di antaranya berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Penyelesaian tersebut, pada intinya berpijak pada dua mekanisme, yakni terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu melalui mekanisme penghukuman pengadilan HAM adhoc dan melalui mekanisme KKR,14 sedangkan pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah pembentukan UU Pengadilan HAM, dilakukan melalui Pengadilan HAM.
UU Pengadilan HAM mengatur mekanisme pengadilan untuk memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang termasuk dalam pelanggaran HAM berat, yaitu
14 Pasal 4, Pasal 43 dan Pasal 47 UU No. 26/2000. Pasal 43 menyebut pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum adanya UU No. 26/2000 dilakukan dengan Pengadilan HAM ad hoc.
9
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.15 Terhadap kejahatan-kejahatan yang masuk kategori pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000. UU juga menyebut bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh KKR yang dibentuk melalui UU. Berdasarkan UU tersebut, kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang termasuk dalam ”the most serious crimes” dan merupakan kejahatan internasional, akan dapat diadili di Pengadilan Indonesia.
Pada tahun 2006 pula, terbentuk UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang dapat dikatakan sebagai regulasi yang memperkuat mekanisme Pengadilan HAM. UU tersebut mengatur tentang perlindungan saksi dan korban yang lebih baik, dan memberikan penguatan pengaturan tentang kompensasi dan restitusi, termasuk hal atas bantuan medis dan rehabilitasi psikososial kepada korban. Namun, pada tahun 2006 pula, MK membatalkan Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tentang KKR, karena dianggap bertentangan dengan Konstitusi, hukum HAM internasional dan hukum humaniter internasional. MK kemudian merekomendasikan untuk membentuk UU KKR baru sesuai dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal, serta mendorong negara untuk melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik.
”Dengan dinyatakannya UU KKR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan, tidak berarti Mahkamah menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara lain dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum (undang-undang) yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal, atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum.”16
Dari kerangka hukum sebagaimana disebutkan di atas, konsep dan mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat telah jelas dan masih menggunakan dua mekanisme, yaitu melalui jalur pengadilan dan KKR. MK, meski membatalkan UU No. 27 tahun 2004 tentang KKR, tetap merekomendasikan pembentukan UU KKR baru dan melakukan rekonsilasi. Justru pada tataran
15 Lihat pasal 7, 8 dan 9 UU No. 26/2000.
10
implementasi kedua mekanisme tersebut yang mengalami hambatan dan stagnasi hingga saat ini.
Terkait dengan Pelanggaran berat HAM di Aceh mantan ketua MK, Jimly Asshidiqie, mengklarifikasinya dengan mengatakan bahwa: ”KKR NAD tidak terkait dengan UU KKR. Itu ada kaitannya dengan UU Pemerintahan Aceh sendiri... Kalau mau lewat mekanisme KKR, bisa dibuat lagi UU KKR yang sesuai dengan UUD dan instrumen hukum internasional. Ini (UU KKR lama) kok kompensasi dikaitkan dengan amnesti…”17
Di dalam UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memang menjamin keberadaan KKR di Aceh sebagaimana diatur dalam Pasal 229. Namun dicabutnya UU KKR oleh MK membuat KKR di Aceh tidak memiliki basis legalnya karena dalam Pasal 229 ayat (2) UU Pemerintahan Aceh dinyatakan bahwa KKR Aceh merupakan bagian tak terpisahkan dari KKR Nasional.
D. PERBEDAAN ANTARA PENGADILAN HAM DAN KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI
Ada perbedaan yang substansial antara mekanisme Pengadilan HAM dengan KKR:
1. Dilihat dari sifat penyelidikan, melalui Undang-undang Pengadilan HAM bersifat yudisial. Sedangkan penyelidikan melalui Undang-undang KKR bersifat non-yudisial. Untuk menentukan apakah suatu kejahatan masuk kedalam kategori pelanggaran berat HAM atau tidak, biasanya dilakukan penyelidikan oleh Komnas HAM. Sementara untuk mekanisme KKR penyelidikannya dilakukan oleh Sub-komisi Penyelidikan dan Klarifikasi.
2. Mekanisme Pengadilan HAM berfungsi untuk meminta tanggungjawab pidana atas kejahatan yang terjadi dengan mengadili dan menghukum pelaku serta memberikan kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi kepada korban. Sementara mekanisme KKR lebih bertujuan pada rekonsiliasi, meskipun faktor pengungkapan kebenaran amat penting.
17 Detikcom, 8 Desember 2006. Kajian Elsam atas Keputusan MK tentang pencabutan UU KKR menyatakan, antara lain, membuka jalan bagi terbentuknya kultur impunitas di Indonesia. Elsam, ”Menjadikan Hak Asasi Manusia sebagai Hak Konstitusional,” Seri Briefing Paper No. 01 Januari 2007.
11
3. Yuridiksi waktu. Mekanisme KKR hanya berlaku untuk kasus-kasus yang terjadi sebelum November 2000 sama seperti Yuridiksi waktu untuk Pengadilan HAM ad hoc. Sementara untuk UU No.26/2000 berlaku baik setelah November 2000 maupun berlaku surut (retroaktif) sebelum November 2000.
Selanjunya menurut Mark Freeman, Perbedaan Komisi kebenaran sendiri dengan pengadilan adalah dalam hal18:
1. Tidak adanya penggugat (plaintiff), tidak ada penuntutan (prosecution), tidak ada pembelaan, dan tidak ada pengadilan. Yang ada hanyalah semata-mata penyelidikan dan pelaporan atas fakta-fakta hasil penyelidikan
2. Temuan-temuan yang didapatkan oleh komisi kebenaran menghasilkan konsekuensi-konsekuensi yang sangat berbeda dari temuan-temuan dalam pengadilan. Pengadilan mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan sanksi yang mengikat pada individu-individu, yang seringkali melibatkan kehilangan properti tertentu atau kebebasan. Sebaliknya komisi kebenaran tidak dapat menjatuhkan hukuman perdata atau pidana, bahkan ketika sebuah komisi kebenaran mencantumkan nama seseorang dalam sebuah daftar para pelaku pelanggaran, pencantuman itu pada umumnya tidak dengan sendirinya memiliki dampak hukum 3. Komisi kebenaran memiliki fungsi yang umumnya tidak sesuai dengan pengadilan. Sebagai contoh, sebuah komisi kebenaran bisa diharapkan untuk menganalisis sebab-sebab sosial dari sebuah konflik, berkontribusi bagi rekonsiliasi nasional, atau lebih mementingkan para korban melalui acara dengar kesaksian publik yang berpusat pada korban.
Di beberapa Negara misalnya, hasil penemuan dari KKR mereka menjadi dasar bagi pembentukan Pengadilan bagi kasus tersebut, misalnya Sierra Leone. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Sierra Leone, setelah 4 tahun bekerja, pada 5 Oktober 2004 berhasil merampungkan laporan tentang latar belakang konflik bersenjata, bentuk pelanggaran HAM dan korban yang jatuh, serta rekomendasi mereka tentang perang saudara selama 10 tahun di Sierra Leone kepada Dewan Keamanan PBB.19 Laporan ini pada akhirnya menjadi dasar bagi Dewan Keamanan
18 Mark Freeman, 2008, Komisi-Komisi Kebenaran dan Kepatutan Prosedural, Jakarta: Elsam, Hlm, 76-77.
12
dalam pembentukan Pengadilan Campuran di Sierra Leone terkait kasus tersebut. Sesuai dengan pasal 7 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maka setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran HAM yang dijamin oleh hukum.
Hubungan antara mekanisme pengadilan KKR dan HAM yaitu KKR bersifat substitutif artinya kedua mekanisme tidak bisa digunakan untuk menangani kasus yang sama. Sedangkan mekanisme pengadilan HAM dan KKR hanya berhubungan ketika setelah dibuktikan terjadi pelanggaran berat HAM, si pelaku menolak kebenaran dan mengakui kesalahan.20
5. PERBANDINGAN TUJUAN KKR DAN PENGADILAN HAM
Secara umum komisi kebenaran adalah untuk menyelidiki dan memberikan catatan analisis yang akurat dari pelanggaran yang dilakukan selama konflik, dengan penyelidikan mendengarkan apa yang disampaikan oleh korban dan pelaku. Artinya bahwa sebuah komisi kebenaran juga dapat dilihat sebagai pendekatan non-yudisial untuk mencapai beberapa bentuk keadilan kepada korban karena menyediakan forum bagi para korban (serta pelaku) untuk memberikan bukti pelanggaran hak asasi manusia. Laporan itu sendiri membentuk pengakuan resmi pertama dari pelanggaran hak asasi manusia bagi korban masa lalu.
Dalam kebanyakan kasus, komisi kebenaran juga diperlukan untuk memberikan rekomendasi mengenai langkah-langkah untuk mencegah terulangnya pelanggaran tersebut. Rekomendasi Komisi Kebenaran juga dapat mencakup tujuan untuk memfasilitasi rekonsiliasi dengan cara pertukaran informasi, menciptakan dialog, mediasi oleh pihak ketiga (arbitrase) atau bahkan melalui prosedur pengadilan. Proses rekonsiliasi ini mungkin juga diperlukan.
Selain itu, KKR berdasarkan laporannya juga secara langsung atau tidak langsung berkontribusi memberikan bantuan terhadap pemulihan korban, bantuan keuangan, medis, sosial dan lainnya dari pelanggaran hak asasi manusia, setelah para korban memberikan jawaban atas semuanya.
Adapun tujuan utama dari pengadilan HAM adalah difokuskan pada pencegahan melalui retribusi dan penuntutan kejahatan. Komisi kebenaran dan
20 http://faikfariz-faik.blogspot.com/2011/11/pengadilan-hak-asasi-manusia-dan-komisi.html#ixzz2N5nJ8jEw