MLANGUN
JURNAL KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN
VOLUME 8, NOMOR 2, DESEMBER 2014
Penanggungjawab
Kepala Kantor Bahasa Provinsi Jambi Pemimpin Redaksi
Fitria, S.S.,M.A.
Dewan Redaksi Sarwono, S.Pd. Lukman, S.Pd., M.A.
Penyunting Ahli (Mitra Bestari) Prof. Rusdi Muchtar, APU (LIPI)
Prof. Dr. Mujiono Wiryotinoyo, M.Pd. (Universitas Jambi) Dr. Herman Budiyono, M.Pd. (Universitas Jambi)
Dr. Sudaryono, M.Pd. (Universitas Jambi)
Administrasi M. Jul Adwin
Desain Cover dan Tata Letak Mhd. Zaki, S.Sos., M.H.
Penerbit
Kantor Bahasa Provinsi Jambi
Alamat Redaksi
Kantor Bahasa Provinsi Jambi
Jalan Arif Rahman Hakim No. 101 Telanaipura, Jambi 36124 Telepon/Faksimile (0741) 669466-61131
Laman: www.jurnalmlangun.com Pos-el: [email protected]
Jurnal Mlangun terbit dua kali dalam satu tahun, setiap bulan Juni dan Desember. Redaksi menerima tulisan ilmiah dari pakar, peneliti, dan dosen yang berkaitan dengan wilayah kajian
kebahasaan, kesastraan dan pengajaran. Pemuatan suatu tulisan tidak berarti bahwa redaksi menyetujui isi karangan tersebut. Setiap karangan dalam jurnal ini dapat diperbanyak setelah
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah karena izin-Nya jurnal Mlangun, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014 dapat diterbitkan. Pada edisi ini menampilkan delapan tulisan: dua kajian sastra, dua kajian linguistik, satu pengajaran BIPA, dan tiga kajian pengajaran yang ditulis oleh staf teknis dan peneliti Kantor Bahasa Provinsi Jambi dan luar Kantor Bahasa Jambi (Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan, Institut Pertanian Bogor, Universitas Negeri Semarang, dan Universitas Negeri Jambi).
Dua kajian sastra membahas ajaran budi pekerti yang terdapat dalam Serat Panitisastra dan kajian sosiologi sastra pada puisi “Duniaku Yang Alit” karya Nana Ernawati. Sementara itu, dua kajian linguistik membahas metafora dalam bahasa Banjar dan kajian sosiolinguistik pada interaksi bahasa tiga etnis yang berlainan (Jawa, Cina, Arab) di Sugihwaras Kota Pekalongan. Pengajaran BIPA mengkaji kemampuan berbicara bahasa Indonesia melalui teknik Riga, dan tiga kajian pengajaran lainnya membahas penggunaan kaidah bahasa Indonesia di sekolah, kemampuan menulis dasar argumen keyakinan guru di sekolah, dan pelatihan penggunaan alat peraga matematika dalam upaya peningkatan kompetensi menulis eksposisi pada guru di sekolah.
Terwujudnya Jurnal Mlangun edisi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu redaksi mengucapkan terima kasih yang tulus kepada penyunting ahli (mitra bestari) yang telah memberikan penilaian dan masukkan sehingga naskah ini layak diterbitkan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua dewan redaksi yang telah bekerja dengan maksimal sehingga jurnal ini dapat diterbitkan.
Semoga Jurnal Mlangun ini bermanfaat bagi pembaca dan menambah wawasan yang positif dalam bidang bahasa, sastra, dan pengajaran. Redaksi menerima kritik dan saran untuk penyempurnaan jurnal ini menjadi lebih baik pada edisi berikutnya.
Wassalam,
Ajaran Budi Pekerti dalam Serat Panitisastra
Andi Asmara ... Ketika Perempuan Memandang Perempuan Sebuah Kajian Sosiologi Sastra Puisi “Duniaku Yang Alit” Karya Nana Ernawati
Titik Wijanarti ... Bentuk Metafora dalam Mantra Banjar
Jahdiah ... Perwujudan Keberagaman Bahasa dan Budaya pada Interaksi Bahasa Tiga Etnis (Jawa, Cina, Arab) di Sugihwaras Kota Pekalongan
Nur Fateah, S.Pd., M.A. ... Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia Mahasiswa BIPA Melalui Teknik Riga
Krishandini ... Kesalahan Penggunaan Kaidah Bahasa Indonesia dalam Penulisan Soal Ulangan Umum Bersama Semester Genap SMA di Kabupaten Muaro Jambi
Sarwono ... Proses Pembelajaran Kemampuan Menulis dan Dasar Argumen
Keyakinan Guru di Sekolah Menengah Pertama Nusa
Herman Budiyono ... Pelatihan dengan Penggunaan Alat Peraga Matematika dalam Upaya Peningkatan Kompetensi Menulis Eksposisi pada Guru SMA Mata
Pelajaran Bahasa Indonesia
Hendry Akbar ... 93-108 109-115 116-126 127-141 142-156 157-170 171-183 184-199
ISSN 1979-049X Volume 8, Nomor 2, Desember 2014 Kata-kata kunci bersumber dari artikel Abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin DDC 807.2
Andi Asmara
Ajaran Buki Pekerti Dalam Serat Panitisastra
Mlangun, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, hlm ……
Ajaran budi pekerti yang adiluhung banyak tersimpan di dalam karya-karya sastra tradisional Jawa, seperti Serat Panitisastra. Tulisan ini bertujuan untuk mengupas ajaran budi pekerti yang terdapat dalam Serat Panitisastra. Terpahaminya ajaran budi pekerti tersebut diharapkan mampu memberikan pencerahan jiwa terhadap individu-individu di dalam masyarakat. Dengan demikian tercapailah tata kehidupan yang harmonis, seimbang lahir dan batin. Metode yang digunakan yaitu metode analisis wacana dan interprestasi, sedangkan teori yang dipakai ialah teori pragmatik. Teori pragmatik diterapkan berkait erat dengan manfaat karya sastra bagi pembaca dan masyarakat. Hasil pengkajian ini adalah diketahuinya ajaran budi pekerti dan manfaatnya bagi individu dalam hidup bermasyarakat. Kata kunci: Ajaran, budi pekerti, Serat Panitisastra
DDC 801.93 Titik Wijanarti
Ketika Perempuan Memandang Perempuan Sebuah Kajian Sosiologi Sastra Puisi “Duniaku yang Alit” Karya Nana Ernawati
Mlangun, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, hlm ……..
Sejarah sastra Indonesia mencatat bahwa masalah perempuan telah lama dipersoalkan jauh sebelum Marah Rusli menulis Siti Nurbaya. Perbincangan tentang perempuan dalam karya sastra terus menguat seiring dengan perkembangan dinamika sosial budaya masyarakat Indonesia. Penelitian ini mengkaji sebuah puisi yang ditulis oleh seorang penulis perempuan dan berbicara tentang perempuan dengan menggunakan teori sosiologi sastra. Di samping teori sosiologi sastra, penelitian ini juga menggunakan perspektif teori sastra feminis. Perspektif tersebut dinilai perlu dimasukkan di dalam penelitian ini karena dalam sebuah penelitian sosiologis suatu karya sastra tidak dapat dilepaskan dari masalah perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Berdasarkan analisis sosiologi sastra terhadap puisi “Duniaku yang Alit” karya Nana Ernawati dapat diperoleh simpulan bahwa perempuan dalam masyarakat masih diposisikan sebagai manusia nomor dua setelah laki-laki. Hal itu terungkap dalam berbagai ekspresi yang menggambarkan bahwa perempuan selalu berada dalam wilayah domestik untuk melayani kaum laki-laki. Perlawanan terhadap ketidakadilan gender telah dilakukan oleh kaum perempuan tetapi belum berarti apa-apa. Kata kunci: Perempuan,puisi,sosiologi sastra
ISSN 1979-049X Volume 8, Nomor 2, Desember 2014 Kata-kata kunci bersumber dari artikel Abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin DDC 889.253.3
Jahdiah
Bentuk Metafora dalam Mantra Banjar
Mlangun, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, hlm ……
Mantra yang berkembang dalam masyarakat memiliki fungsi sebagai pengungkap tata nilai sosial budaya dan sekaligus juga disebut tata kehidupan daerah Banjar. Bahkan lewat matra dapat digali nilai budaya yang lebih mendalam, yaitu kepercayaan atau religi serta kebergunaannya. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang difokuskan pada deskripsi tentang bentuk metafora dalam mantra Banjar. Penelitian ini tergolong jenis penelitian kualitatif. Sumber data penelitian ini berupa data utama dan data penunjang. Data utama penelitian ini diambil dari mantra Banjar yang ada dimasyarakat dan penunjang buka mantra Banjar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam mantra banjar diperoleh metafora yang berhubungan dengan manusia, hewan, tumbuhan, makhluk gaib, warna, dan keadaan alam.
Kata kunci: Masyarakat Banjar, mantra, metafora
DDC 491.41 Nur Fateah
Perwujudan Keberagaman Bahasa dan Budaya Pada Interaksi Bahasa Tiga Etnis (Jawa, Cina, Arab) di Sugihwaras Kota Pekalongan
Mlangun, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, hlm 46-53
Penelitian ini mengungkap keberagaman dalam masyarakat multi etnik yang hidup berdampingan dan dapat menciptakan keharmonisan. Perwujudan manifestasi budaya dan kehidupan masyarakat dapat dilihat dari bahasanya. Hal ini terlihat dalam interaksi bahasa tiga etnik (Jawa, Cina, Arab) di Sugihwaras Kecamatan Pekalongan Timur, Kota Pekalongan yang memunculkan banyak fenomena kebahasaan. Dengan menggunakan teori sosiolinguistik yang berkaitan dengan pemakaian bahasa pada masyarakat multi etnik ditemukan faktor-faktor yang menentukan pilihan bahasa masyarakat tutur tiga etnis (Jawa, Cina, Arab) di Sugihwaras Kota Pekalongan, yaitu faktor usia, faktor pendidikan, faktor lawan tutur, topik tuturan dan faktor kedudukan sosial dalam masyarakat. Penelitian ini menunjukkan Bahasa Jawa yang gunakan oleh warga Sugihwaras secara umum adalah bahasa Jawa ragam ngoko. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional digunakan oleh semua etnis di Sugihwaras. Penggunaan bahasa Indonesia lebih didominasi oleh etnis Arab dan Cina, terutama dalam ranah-ranah yang resmi dan agak resmi.
Kata kunci: Keberagaman bahasa, interaksi tiga bahasa, sosiolinguistik, bahasa Jawa Ragam Ngoko
ISSN 1979-049X Volume 8, Nomor 2, Desember 2014 Kata-kata kunci bersumber dari artikel Abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin DDC 481.5
Krishandini
Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia Mahasiswa Bipa Melalui Teknik Riga
Mlangun, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, hlm ………..
Pembelajaran bahasa asing pada saat ini lebih difokuskan pada pembelajaran dengan pendekatan komunikatif. Salah satu teknik pembelajaran dengan pendekatan komunikatif di antaranya: teknik role play, teknik interview , dan teknik games. Dalam penelitian ini digunakan metode Classroom Action Research (CAR) model Elliot. Penelitian ini bertujuan agar dapat meningkatkan kemampuan berbicara mahasiswa BIPA di Institut Pertanian Bogor. Berdasarkan hasil prestasi belajar yang dicapai mahasiswa BIPA dengan menerapkan teknik ini, terdapat peningkatan hasil belajar. Nilai rerata perolehan mahasiswa pada tes awal sebelum tindakan rerata nilai 52,34 berhasil naik menjadi 85,32 pada tes akhir siklus ketiga. Peningkatan kemampuan berbicara mahasiswa BIPA menggunakan tindakan dengan cara menggabungkan teknik roleplay, interview, dan games yang disebut teknik Riga. Kata kunci: Kemampuan berbicara,mahasiswa BIPA, dan teknik Riga
DDC 418.1 Sarwono
Kesalahan Penggunaan Kaidah Bahasa Indonesia dalam Penulisan Soal Ulangan Umum Bersama Semester Genap SMA di Kabupaten Muaro Jambi
Mlangun, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, hlm ……….
Banyak guru yang menganggap bahwa bahasa Indonesia tidak perlu dipelajari karena sudah biasa menggunakannya setiap hari. Hal ini menyebabkan terjadinya kesalahan penggunaan kaidah bahasa Indonesia terutama pada pembuatan soal ulangan umum di sekolah-sekolah. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan bentuk-bentuk kesalahan penggunaan kaidah bahasa Indonesia pada penulisan soal-soal ulangan umum bersama semester genap SMA di Kabupaten Muarojambi dan untuk menganalisis bentuk-bentuk kesalahan penggunaan kaidah bahasa Indonesia pada penulisan soal-soal ulangan umum bersama semester genap SMA di Kabupaten Muarojambi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan teknik observasi dan teknik catat atau rekam. Penganalisisan data penelitian ini menggunakan teknik kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penulisan soal-soal ulangan umum bersama semester genap SMA di Kabupaten Muarojambi masih banyak kesalahan. Kesalahan tersebut berupa kesalahan ejaan, pemilihan kata, dan struktur kalimat.
ISSN 1979-049X Volume 8, Nomor 2, Desember 2014 Kata-kata kunci bersumber dari artikel Abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin DDC 449.218.2
Herman Budiono
Proses Pembelajaran Kemampuan Menulis dan Dasar Argumen Keyakinan Guru di Sekolah Menengah Pertama Nusa
Mlangun, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, hlm …………
Proses pembelajaran menulis harus ditangani secara seksama sehingga pelaksanaannya dapat efektif dan efisien. Guru yang berkualitas akan menciptakan proses pembelajaran yang berkualitas. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan proses pembelajaran kemampuan menulis di SMP Nusa dan dasar argumen keyakinan guru tentang penerapan proses pembelajaran tersebut. Penelitian ini menggunakan penelitian kelas berpendekatan kualitatif. Proses pembelajaran kemampuan menulis dan dasar argumen keyakinan guru tersebut dideskripsikan sesuai dengan rinciannya masing-masing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pembelajaran kemampuan menulis di SMP Nusa dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan tahapan-tahapan proses menulis, yaitu prapenulisan, penulisan draf, revisi (isi, retorika,dan kalimat), dan revisi (ejaan dan tanda baca). Pada tiap-tiap tahapan itu digunakan beberapa strategi dan prosedur tertentu yang didasari oleh dasar argumen keyakinan guru. Menurut guru, strategi dan prosedur yang diterapkan dalam pembelajaran dapat melatih siswa berpikir kreatif, selektif, asosiatif, skematis, dan analitis Kata Kunci: Proses pembelajaran, kemampuan menulis, dasar argumen guru
DDC 410 Hendry Akbar
Pelatihan dengan Penggunaan Alat Peraga Matematika dalam Upaya Peningkatan Kompetensi Menulis Eksposisi pada Guru SMA Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
Mlangun, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, hlm …………
Pembelajaran menulis merupakan muara dari seluruh aspek keterampilan berbahasa. Sebagai seorang guru harus lebih meningkatkan kompetensi dirinya dalam menulis melalui pembelajaran maupun pelatihan agar siswa memiliki kompetensi yang tinggi dalam menulis. Penelitian ini bertujuan ingin membuktikan apakah dengan pelatihan menggunakan alat peraga matematika dapat meningkatkan kompetensi guru bahasa Indonesia dalam menulis eksposisi. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan sekolah dengan subjek penelitian dua puluh guru anggota MGMP Bahasa Indonesia SMA Kabupaten Muarojambi. Hasil penelitian tindakan menunjukkan bahwa pelatihan dengan penggunaan alat peraga matematika dapat meningkatkan kompetensi guru menulis eksposisi.
The Moral Teachings in Serat Panitisastra
Andi AsmaraBalai Bahasa Provinsi Jawa Timur Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Ajaran budi pekerti yang adiluhung banyak tersimpan di dalam karya-karya sastra tradisional Jawa, seperti Serat Panitisastra. Tulisan ini bertujuan untuk mengupas ajaran budi pekerti yang terdapat dalam Serat Panitisastra. Terpahaminya ajaran budi pekerti tersebut diharapkan mampu memberikan pencerahan jiwa terhadap individu-individu di dalam masyarakat. Dengan demikian tercapailah tata kehidupan yang harmonis, seimbang lahir dan batin. Metode yang digunakan yaitu metode analisis wacana dan interprestasi, sedangkan teori yang dipakai ialah teori pragmatik. Teori pragmatik diterapkan berkait erat dengan manfaat karya sastra bagi pembaca dan masyarakat. Hasil pengkajian ini adalah diketahuinya ajaran budi pekerti dan manfaatnya bagi individu dalam hidup bermasyarakat.
Kata kunci: Ajaran, budi pekerti, Serat Panitisastra ABSTRACT
The moral teaching are often foundt in the literary work of Java tradition. ‘Serat Panitisastra’ is one them. This paper is aimed to explore the moral teachings in ‘Serat Panitisastra’. By understanding the moral teaching, it was expected that it can light on the lives of individuals in society. Thus the system of harmonious life, both physically and spiritually balance can be reached. The method used is discourse analysis and interpretation methods, while the theory used in this paper is a pragmatic theory. Pragmatic theory applied because it is closely related to literary works for the benefit of readers and the community. The results of this assessment are knowledge of the moral teaching and its benefits to the individual in social life.
1. Pendahuluan
Dalam tatanan masyarakat modern yang konsumtif dan cenderung materialistis, norma-norma tradisional yang menekankan sifat kejujuran, kerendahan hati, kesederhanaan, tolong-menolong, dan tepa salira yang dilandasi oleh budi pekerti luhur tampak semakin ditinggalkan. Akibat pergeseran tuntutan hidup, cara hidup, dan norma hidup tersebut, manusia modern menjadi sangat individual. Rasa empati dan simpati atas penderitaan hidup sesamanya semakin menipis dan yang sangat disayangkan adalah diabaikannya sifat kejujuran.
Sifat jujur dan rendah hati yang menjadi ciri norma tradisional dewasa ini semakin sulit ditemukan di tengah masyarakat. Ironisnya, apabila ada individu yang dengan susah payah mempertahankan sikap hidup yang adiluhung, jujur, dan rendah hati, malah dianggap sebagai sifat nyleneh dan bodoh. Tidak jarang individu yang berwatak adiluhung tersebut malah tersisih dan dikucilkan.
Semakin menipisnya nilai-nilai kemanusiaan tersebut menjadi penyebab utama kian hampanya rasa hidup manusia. Kehampaan hidup itu mengakibatkan perilaku manusia menjadi tidak terkontrol, karena itu pelanggaran terhadap norma-norma kebenaran semakin jamak dilakukan. Manusia menjadi kehilangan arah tujuan hidupnya.
Nilai-nilai kehidupan yang penuh kelembutan dan cita kasih menjadi sulit di temukan di masyarakat. Karakter ketimuran yang santun dan rendah hati yang dahulu pernah dicontohkan oleh nenek moyang kita
dari hari kehari semakin tergerus zaman. Tata nilai dan norma-norma tradisional diangap ketinggalan dan tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Norma kehidupan yang mengacu pada budaya barat yang sejatinya tidak cocok dengan budaya ketimuran berangsur-angsur menggeser budaya bangsa yang adiluhung.
Dalam era globalisasi seperti sekarang ini seharusnya kita menyadari pentingnya nilai-nilai tradisional sebagai filter terhadap masuknya budaya asing yang tidak selaras dengan budaya bangsa. Menggali kembali nilai-nilai ketradisionalan bangsa sebagai bekal menghadapi tantang zaman menjadi keharusan apabila kita tidak ingin menjadi bangsa yang kehilangan jati diri.
Setiap masyarakat memiliki dan mengenal nilai-nilai dan norma-norma etis ( Bertens, 2011: 31). Nilai dan norma tersebut berkaitan erat dengan perilaku atau moralitas individu di dalam masyarakat. Masyarakat Jawa menyebut moral dengan istilah budi pekerti, unggah-ungguh, sopan santun, dan tata krama. Keseluruhan dari norma yang berlaku di masyarakat tersebut pada dasarnya adalah sebuah bentuk pengendalian diri. Pengendalian ego individu yang merugikan orang lain. Setiap hak yang dimiliki oleh individu bertalian dengan hak yang dimiliki oleh individu lain. Agar antara hak dan kewajiban setiap individu dapat terlaksana secara baik, dibuatlah norma atau etika.
Norma –norma di dalam masyarakat itu merupakan tuntunan moral bagi setiap individu agar dapat hidup bahagia lahir dan batin. Cita-cita terhadap kebahagiaan hidup seutuhnya itu tercermin dari prinsip-prinsip moral yang diberlakukan di dalam
masyarakat. Kebahagiaan hidup seutuhnya dapat tercapai apabila setiap individu di dalam masyarakat dapat memenuhi kebutuhan lahir dan batinnya.
Dua kebutuhan tersebut selayaknya dipenuhi secara seimbang. Akan tetapi, di dalam tatanan masyarakat modern ada kecenderungan pemenuhan kebutuhan lahiriah saja yang diutamakan dan diupayakan. Kebutuhan rohani, di sisi lain seperti diabaikan. Hal ini terbukti dengan semakin ditinggalkannya sifat jujur dan rendah hati oleh masyarakat modern.
Kejujuran merupakan jalan untuk menemukan kebenarn mengenai hal-hal yang substansial yang bersifat universal (Kusumohamidjojo, 2010:23). Dengan begitu akan tercapai sebuah kebebasan eksistensial yaitu kebebasan tertinggi ( Bertens, 2011: 122). Kebebasan eksistensial berkait dengan kebebasan batiniah dari belenggu nafsu.
Berpikir dan bertindak di bawah kendali budi akan membuat manusia menjadi arif bijaksana. Segala perilakunya senantiasa ditujukan untuk kebaikan diri dan orang lain sekaligus. Semua nafsu negatif mampu dikendalikan sehingga terbentuk pribadi
berbudi bawa laksana. Berpijak dari berbudi
pekerti luhur inilah nenek moyang Nusantara menjalani hidup bermasyakat, sehingga tercapai kehidupan yang tata tenteram kerta
raharja.
Ajaran budi pekerti yang adiluhung, yang merupakan warisan secara turun-temurun nenek moyang itu banyak tersimpan di dalam karya-karya sastra tradisional nusantara. Salah satu karya sastra tradisional nusantara yang kaya dengan ajaran budi pekerti
tersebut adalah karya satra tradisional Jawa. Sastra Jawa sarat dengan petuah-petuah dan tuntunan moral perihal ajaran budi luhur yang besar manfaatnya bagi bekal hidup lahir batin.
Serat Panitisastra digubah pada zaman
Kerajaan Surakarta mengambil babon
Nitisastra zaman Kerajaan Majapahit adalah
salah satu cipta sastra tradisional Jawa yang kaya dengan ajaran-ajaran moral atau budi pekerti luhur yang dapat dijadikan sebagai tuntunan hidup bermasyarakat. Apabila dihayati secara mendalam pesan-pesan tersebut akan mampu memberi pencerahan batin bagi individu dan masyarakat.
Pengkajian dan pengenalan kembali nilai-nilai budi pekerti luhur yang terekam di dalam karya sastra tradisional, khususnya
Serat Panitisastra sebagai sastra piwulang
perlu lakukan. Selain sebagai bentuk pelestarian budaya, penelitian terhadap
Serat Panitisastra juga sebagai sumbangsih
pemikiran kepada masyarakat dalam menghadapi arus globalisasi dan modernisasi yang tidak terelakkan agar masyarakat tidak kehilangan jati dirinya demi tercapainya kehidupan yang tata tenteram kerta raharja, bahagia lahir dan batin.
Kerangka Teori
Teori berfungsi untuk mendapatkan gambaran mengenai objek dan proses empirik secara spesifik (Faruk, 2012:20). Dalam mengkaji Serat Panitisastra ini diterapkan teori pragmatik. Kajian pragmatik menekankan aspek kegunaan karya sastra terahadp pembaca. Sejauh mana karya sastra tersebut dapat memengaruhi bahkan
mengubah sikap hidup pembaca. Sikap hidup tersebut adalah sikap hidup yang positif karena terinspirasi oleh karya sastra yang pernah dibacanya.
Karya sastra yang bermutu dan bernilai akan sanggup mengubah cara pandang dan cara hidup pembacanya. Melalui karya sastra yang dibacanya tersebut seseorang dapat melakukan introspeksi diri. Membandingkan dirinya dengan ajaran yang ada di dalam karya sastra sehingga tercapai pribadi yang ideal yang selaras dengan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Oleh karena itu, tidak salah kalau dikatakan bahwa karya sastra dipandang sebagai media yang sangat efektif dalam upaya membina moral dan kepribadian suatu masyarakat dalam hal ini diartikan sebagai suatu norma dan suatu konsep tentang kehidupan (Semi, 1989:49).
Dipandang melalui aspek pragmatik, teks sastra dikatakan berkualitas apabila dapat memenuhi keinginan dan harapan pembaca. Terpenuhinya harapan pembaca menjadi aspek penting dalam kajian pragmatik terhadap suatu karya sastra. Betapa pun hebatnya sebuah karya sastra, jika tidak dapat dipahami oleh pembaca boleh dikatakan teks tersebut gagal. Teks sastra tersebut hanya tergolong black literature (sastra hitam) yang hanya bisa dibaca dan dipahami oleh pengarangnya. Apabila ini terjadi, teks sastra menjadi tidak memiliki nilai guna dalam masyarakat.
Karya semacam ini hanya menara gading yang tidak pernah akrab dengan pembaca. Oleh karena itu, aspek pragmatik terpenting manakala teks sastra itu mampu menumbuhkan kesenangan bagi pembaca.
Pembaca menjadi faktor yang sangat dominan dalam pemaknaan karya sastra (Endraswara, 2003:115).
Kajian yang mengedepankan pentingnya karya sastra pembacanya ini mula-mula dikemukakan oleh Horace dalam bukunya yang berjudul Ars Poetica (Abrams, 1979: 16). Horace menyatakan manfaat karya sastra bagi pembacanya ini dengan istilah dulce et
utile ‘berguna dan menghibur’. Oleh karena
itu, sebuah karya sastra sepatutnya memiliki nilai guna dan hiburan atau kenikmatan bagi pembacanya (Teeuw, 1998: 183).
Kajian pragmatik mendorong pembaca dapat memetik nilai positif dari karya sastra yang dibacanya. Dengan begitu, karya sastra bukan sekadar memberi hiburan, tetapi mampu memengaruhi sikap pembaca. Pembaca Serat Panitisastra diharapkan tidak hanya menjadi penikmat pasif sebuah karya sastra. Melalui telaah ini, pembaca
Serat Panitisastra didorong serta diharapkan
mampu menghayati nilai-nilai budi pekerti luhur yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai budi pekerti luhur tersebut seyogyanya diterapkan dalam kehidupan dan perilaku sehari-hari sehingga mampu menjadi sumber pemahaman dalam berhubungan dengan sesama manusia dan Tuhan.
Tercapainya hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan manakala tercapai keseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan lahiriah dan batiniah, raga dan jiwa. Terpenuhinya secara berimbang kebutuhan raga dan jiwa adalah kunci tercapainya keharmonisan hidup individu dengan individu dan individu dengan Tuhan. Keharmonisan dalam berhubungan dengan sesama dan
Tuhan dapat tercapai apabila individu yang bersangkutan memiliki budi pekerti yang luhur. Memahami dan melaksanakan budi pekerti luhur tersebut dalam perilaku hidup sehari-hari.
Begitu pentingnya peran moral bagi manusia, sehingga dikatakan bahwa budi pekerti luhur adalah tuntunan utama hidup manusia. Budi perkerti pula yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Tanpa menggunakan budi pekerti sebagai landasan hidup, manusia tidak ada bedanya dengan binatang karena tanpa tuntunan budi pekerti hidup suatu makhluk berada di bawah kendali naluri atau nafsu rendah semata. Kesadaran moral merupakan dasar bagi tumbuhnya rasa tanggung jawab dalam memberi dan mengisi arti hidup dan kehidupan manusia. Tanpa kesadaran moral manusia akan mengalami ketidak harmonisan dalam hidupnya (Ardana, 1987: 88).
Metode Penelitian
Metode adalah cara atau strategi untuk memahami realitas secara sistematis (Ratna, 2012: 340). Dalam penelitian ini diterapkan metode analisis wacana dan interpretasi. Teks diinterpretasikan sedemikian rupa sesuai dengan tujuan penelitian. Interprestasi dilakukan seturut dengan makna teks secara konseptual sehingga interpretasi tersebut tidak menyimpang dari hakikat teks. Sumber data penelitian ialah teks Serat Panitisastra
yang berbentuk macapat yang terdiri atas 10 pupuh dan 153 pada atau bait. Penulisannya
menggunakan huruf latin dan bahasanya menggunakan bahasa Jawa baru.
Metode pengumpulan data secara umum dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu
metode pengamatan langsung, metode menggunakan pertanyaan, dan metode khusus. Metode pengamatan langsung adalah metode pengumpulan data dengan mengamati langsung objek penelitian.
Pada tahap pengumpulan data diterapkan metode pengamatan, yaitu mengamati secara langsung objek penelitian. Diterapkannya metode ini diharapkan data-data penunjang atau sekunder dapat diperoleh secara lengkap dan memadai. Pada tahap ini metode di atas dibantu dengan teknik catat. Teknik catat dilakukan untuk menjamin keakuratan data. Sehubungan dengan jenis penelitian, penelitian ini adalah penelitian kepustakaan yang menitikberatkan pada analisis teks
Serat Panitisastra.
Pada tahap analisis, diterapkan metode deskriptif kualitatif yang bertujuan memberikan gambaran secara jelas dan nyata tentang data-data yang bertautan. Data-data yang ada dianalisis secara mendalam dan secermat mungkin sehingga terjalin suatu kelogisan dan kesinambungan fakta.
2. Hasil dan Pembahasan
Ajaran Budi Pekerti Serat Panitisastra a. Wewaler
Pengertian wewaler adalah norma-norma terlarang di dalam masyarakat yang tidak boleh dilanggar. Wewaler yang dimaksud dapat berupa norma yang tidak tertulis yang berlaku di dalam masyarakat ataupun norma hukum negara yang diatur dalam undang-undang. Wewaler merupakan tata susila sehari-hari dalam hidup bermasyarakat. Tinggi-rendahnya derajat moral seseorang tergantung pada ketaatannya dalam mematuhi
Mematuhi wewalering bebrayan
adalah suatu keharusan bagi setiap warga masyarakat sebab wewaler merupakan dasar tata hidup bermasyarakat. Kesungguhan mentaati wewaler akan berdampak terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat secara umum. Oleh karena itu, wewaler memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keharmonis tata kehidupan. Adapun petuah-petuah yang berisi wewaler dalam teks Serat
Panitisastra dapat dijumpai pada
kutipan-kutipan berikut.
V.12
Kasektening sujanma Saha dayanipun Tan ana angluwihana
Lan sektining para dewa angluwihi Manusya tan tumibang
Kesaktian manusia
Dengan segala kekuatannya Tak ada yang melebihi
Kesaktian para dewa, kesaktian para dewa itu sangat lebih
Manusia tidak mampu menandinginnya
Pupuh V dhandhanggula bait 12 berisi
peringatan kepada manusia agar tidak sombong atau adigang-adigung merasa paling hebat. Dalam pupuh tersebut peringatan agar tidak bersikap jumowo ditujukan kepada orang-orang yang memiliki kesaktian. Sesakti apa pun manusia itu pasti masih kalah sakti dengan para dewa.
Implementasi ajaran tersebut dalam kehidupan modern sekarang ini dapat dikaitkan dengan pangkat, jabatan, dan harta benda. Seyogyanya manusia bersikap rendah hati meskipun memiliki pangkat dan jabatan yang tinggi serta harta benda yang berlimpah. Sikap sombong karena memiliki
pangkat, jabatan yang yang tinggi, dan harta yang berlimpah justru akan menjatuhkan martabatnya di hadapan sesama makhluk dan di hadapan sang Khalik. Oleh karena tidak seorang pun di dunia ini yang menyukai orang yang berwatak sombong, angkuh, dan tinggi hati.
Sehubungan dengan sikap hidup sehari-hari hendaknya jangan merasa diri lebih hebat dari yang lain. Menyatakan diri lebih unggul adalah kesombongan. Semestinya manusia tidak perlu minta pengakuan dari sesamanya atas kemapuan dirinya. Tanpa meminta pun, apabila seseorang mampu menunjukkan dan membuktikan kemanfaatannya terhadap sesama pengakuan itu pasti akan datang.
Sikap rendah hati dalam kehidupan sehari-hari adalah ciri utama manusia yang berbudi luhur. Kita dikatakan mempunyai sifat rendah hati apabila kita bisa membawa diri dengan ramah dan santun dalam hidup
bebrayan. Dengan sifat rendah hati dalam
hidup bebrayan, maka kita menjadi segan terhadap keinginan untuk menonjolkan diri (Tanpoaran, 1988:91).
X.15
Ring janma ywa memada Nanacad wong iku Tan ana kang tanpa cacad
Jangan memperbincangkan keburukan orang lain
Membicarakan cacat orang Tidak ada orang yang tanpa cacat
Membicarakan keburukan orang lain hakikatnya adalah mengungkapkan keburukan diri sendiri. Oleh karena itu, janganlah membicarakan dan mencela kekurangan orang lain karena tidak ada
seorang pun yang tanpa cacat demikianlah inti ajaran pupuh X dhandhanggula, bait 15.
Orang yang suka membicarakan keburukan orang lain adalah orang yang belum memahami hakikat diri pribadi. Mengungkap keburukan seseorang di hadapan orang lain adalah sikap batin yang salah. Hal ini menunjukkan kekotoran batin yang bersangkutan. Seseorang yang telah mawas diri dan mampu melepaskan diri dari jerat rasa iri dan dengki tidak akan mencela dan membicarakan keburukan orang lain. Orang yang pikiran dan hatinya masih dipenuhi hal-hal yang buruklah yang suka mencela dan membicarakan kesalahan orang lain.
Dalam upaya mencapai kehidupan rohani yang tata tenteram setiap individu harus mampu mengikis rasa serakah, iri, dengki, jahil, amarah, dan sombong. Perasaan-perasaan negatif yang mendorong perilaku sasar itu harus dilenyapkan dari batin manusia. Sirnanya perasaan-perasaan negatif itu membukakan tabir ketenteraman hati. b. Sopan-Santun
Sopan santun atau etika adalah tindak-tanduk atau tingkah laku seseorang dalam berinteraksi sosial di dalam masyarakat. Beretika berarti bagaimana seharusnya kita berperilaku dengan baik. Etika memberikan nasihat-nasihat mengenai perilaku. Biasanya dalam bentuk ungkapan, mutiara kata, peribahasa, dan sebagainya yang menyiratkan norma-norma positif yang berlaku di dalam masyarakat (Soelaeman, 1988:160).
Sopan-santun sebagai suatu norma pergaulan hidup sehari-hari diyakini akan membawa keharmonisan hidup
dalam hubungannya dengan lingkungan, sesama, dan Tuhan. Jadi, adat sopan-santun sebenarnya mencakup pengertian tata laksana kehidupan yang luas. Dalam hal yang sangat khusus, sopan-santun hanya mengatur tata pergaulan antar manusia.
Di dalam masyarakat Jawa, sikap andhap
asor yang merupakan pengejawantahan dari
sikap santun yang diajarkan dengan cara penanaman rasa malu. Rasa malu diartikan sebagai rasa malu untuk berbuat salah. Rasa malu ini harus menjadi sikap yang tertanam dalam-dalam hingga menjiwai seluruh tingkah laku. Rasa malu berperan untuk melatih penguasaan diri. Inti dari penanaman sikap malu berbuat salah ini adalah untuk mengembangkan penguasaan diri dan kebijaksanaan untuk saling hormat-menghormati sehingga tercipta kedamaian hidup dengan orang lain (Mulder, 1985:38). Dalam Serat Panitisastra ajaran sopan-santun tecermin pada kutipan-kutipan berikut.
I.2
Wuryaning reh janma kang datan wrin
Subasita yeku ingaranan Wong midha punggung yektine Tegesing midha punggung
Midha bodho tan wrin ing westhi Tegesing punggung janma
Sor pamilihipun Lan malih kang subasita
Ing tegese silakrma kang rumiyin Kapindho basakrama
Sebagai pembuka ajaran insan yang tidak maklum
Akan sopan santun orang demikian itu disebut
Orang midha punggung Arti midha punggung
Midha berarti bodoh tidak
Arti punggung ialah orang Yang rendah daya pilihnya Selanjutnya perihal sopan santun Dalam arti sila krama maknanya yang pertama
Makna yang kedua basa krama
Pada pupuh I dhandhanggula, bait 2 dikatakan bahwa orang yang tidak tahu sopan-santun adalah orang midha punggung, yaitu orang yang tidak memahami rasa hidup. Orang demikian itu, tutur katanya kasar dan segala tindak tanduknya jauh dari sifat santun. Oleh karena itu, dijelaskan lebih lanjut bahwasanya ciri-ciri insan utama itu dapat diketahui dari nada bicara dan tindak tanduknya.
Orang yang memahami rasa hidup, segala tutur katanya terdengar lembut dan meyenangkan hati yang mendengarkannya. Cara membawa diri juga demikian santun dan rendah hati. Tidak tampak sikap kasar dan tergesa-gesa dalam mengerjakan segala hal. Semua tutur kata dan perbuatannya senantiasa dipertimbangkan masak-masak dan dilakukan penuh hati-hati dengan harapan supaya tidak merugikan orang lain.
Halusnya perasaan akan membuat perilaku seseorang itu menjadi lemah lembut. Lemah lembut bukan berarti membuat seseorang menjadi lamban dan tidak bergairah. Sebaliknya, kelembutan rasa hati malah membuat sikap seseorang menjadi cermat, cepat, tanggap, dan gesit. Segala sesuatu yang dikerjakan menjadi terarah dan efesien. Hal ini terjadi karena pikiran dan perasaan fokus pada stu objek yang tengah dikerjakan. pikiran dan perasaan tidak terpencar atau mengembara ke mana-mana.
I.4
Lawan malih yen janma tan wrin
Ing subasita sasat Iyo nora weruh
Ing rhasa kang nem prakara Kecut pedhes asin pait legi gurih Jangkep aran sad rasa
Dan lagi apabila orang tidak memahami
Peri sopan santun sama saja seperti tidak mengenal
Rasa yang enam macamnya
Kecut, pedas, asin, pahit, manis, dan gurih
Yang disebut sad rasa itulah lengkapnya
Pupuh I dhandhanggula, bait 4
mengajarkan bahwa orang yang tidak tahu sopan santun sama saja dengan tidak mengenal sadrasa, yaitu rasa kecut, pedas, asin, pahit, manis, dan gurih. Enam rasa tersebut sebenarnya menyimbolkan hakikat dari rasa hidup. Oleh sebab itu, barang siapa yang tidak bersikap santun dalam kehidupannya, pastilah belum memahami rasa hidup. Rasa hidup, dalam hal ini rasa sejati hanya bisa dirasakan setelah manusia dapat melewati ambang pintu kelembutan hati yang teraktualisasikan dalam perilaku sehari-hari sebagai sopan-santun. Betapa pentingnya berperilaku santun, karena hanya perilaku santunlah yang mampu menuntun manusia menuju pencerahan hidup yang sejati.
Penghalang bagi manusia untuk bisa memahami rasa sejati adalah masih terikatnya perasaan terhadap sadrasa. Enam rasa yang dimaksud adalah rasa yang lahir dari pergerakan indra-indra. Indra-indra yang senantiasa aktif seiring dengan aktifnya pikiran itu begitu kuat membelenggu kesadaran manusia. Kuatnya belenggu kesadaran indra mengakibatkan rasa sejati
tidak mampu ditembus oleh kesadaran individu. Hanya dengan melepaskan diri dari belenggu sadrasalah manusia mampu memahami dan merasakan rasa sejati.
II.5
Yen panengraning manusya Susilarja lus ing budi Awasena ta dhingin
Tingkah kramaning pamuwus Ping kalih palenggahan Ruruh semune katawis
Yen wong becik ayem santosa trus ing tyas
Kalau tanda manusia
Yang sopan, baik, dan halus budi Perhatikanlah mula pertama
Tindak tanduknya sewaktu berbicara Kedua, cara duduknya
Yang menampakkan air muka tenang Bila orang yang baik pastilah damai, teguh, sampai lubuk hati
Pupuh II sinom, bait 5 mengajarkan
bahwa tanda-tanda orang yang sopan, baik, dan halus budi dapat dilihat dari mula pertama berbicara, tindak tanduknya sewaktu berbicara, dan cara duduknya yang menampakkan air muka tenang. Apa bila orang tersebut baik, pastilah damai, teguh, sampai lubuk hati. Dalam hal pandangan, sorot matanya tajam dan tidak telingkah. Dalam hal bersantap tampak pelan, tenang, dan tidak tergesa-gesa. Dalam hal berbicara, tidak tergagap, nadanya datar tapi jelas, dan penuturannya terinci.
Orang yang memiliki ciri-ciri tersebut pastilah memiliki kasih sayang yang besar terhadap semua makhluk. Hal ini karena hati nuraninya telah terbuka dan kesadaran rohaninya telah meningkat. Sifat kasih sayang yang tulus terhadap sesama adalah
hasil dari pengendalian diri yang secara lahiriah terwujud dalam bentuk sopan santun.
Kesantunan merupakan satu penanda bahwa seseorang telah mencapai taraf pengendalian diri yang baik. Kesantunan berarti pula penanda kemampuan individu dalam mengendalikan pergerakan pancaindra dan pikirannya. Terkendalinya pancaindra dan pikiran berarti pula terkendalinya nafsu-nafsu manusia karena dorongan nafsu teraktualisasi melalui pikiran dan pancaindera yang akhirnya melahirkan perbuatan.
c. Kemanusiaan
Kemanusiaan adalah sikap peduli terhadap sesama. Rasa kemanusiaan tersebut bisa terjadi pada saat sesama kita sedang tertimpa musibah atau sedang bahagia sekalipun. Pokoknya, pada saat itu sesame kita tengah butuh bantuan kita, entah bantuan yang berupa materi, tenaga, atau pun nasihat dan pemikiran kita. Dorongan rasa kemanusiaan sulit dipisahkan atau dibedakan dengan dorongan rasa kasihan.
Perasaan kasihan secara harfiah berarti ‘merasa dengan’. Dalam pengertian ini, perasaan-perasaan sosial kita yang paling dasar, dasar seluruh moralitas, dan merupakan perekat emosional yang menghimpun masyarakat dan akhirnya seluruh manusia secara bersama-sama. Adanya rasa kasihan yang ditanamkan dalam akhlak, membantu seseorang menjadi pemurah, sebab sering terdapat dikotomi antara tuntuan moralitas dan watak egois (Soelaeman, 1988:54).
Rasa kasihan merupakan sentimen yang kita rasakan terhadap orang lain. Sentimen dalam hal ini adalah suatu emosi yang
abstrak. Sentimen tersebut tidak membeda-bedakan orang yang kita kenal dengan yang tidak kita kenal. Rasa kasihan merupakan bibit dari apa yang dinamakan cinta. Pesan-pesan kemanusiaan dalam Serat Panitisastra dapat dijumpai pada kutipan-kutipan berikut.
II.9
Kalamun ana wong sugih Arta peni retnadi
Nanging ta panganggenipun Kusut busana datan
Amurwat ing sawatawis
Myang kalamun mangan kang datan mirasa
Jika ada orang kaya
Harta, perhiasan, emas manikam, Tetapi pakaiannya kusut
Tidak layak sedikit pun
Apabila makan dia makan makanan yang tidak enak
II.10
Tan meweh maring pandhita Tan loma ing pekir miskin Wong kang mangkono punika Tan wruh celeking kang dhiri Nyana tuwuhireki
Panjang nora nuli lupus Mungguh ing umur datan Ana kang bisa amasthi
Tidak berderma kepada pendeta Tidak bermurah hati kepada fakir-miskin
Orang yang demikian itu
Tidak maklum akan batas usianya yang pendek
Ia menyangka umurnya Panjang tidak segera mati Meskipun tentang hal umur
Tidak ada seorang pun yang dapat memastikan
Dalam hidup bermasyarakat manusia hendaknya bisa membawa diri secara wajar, maksudnya bisa menempatkan diri sesuai dengan status sosialnya. Menempatkan diri sesuai dengan status sosial bukan berarti
merasa lebih tinggi atau lebih penting dari yang lain apabila kebetulan memiliki kedudukan yang tinggi. Dalam berprilaku sesuai status sosial bersikap rendah hati tetap harus dilaksanakan sebagai prinsip hidup. Sebaliknya, bagi yang tidak memiliki kedudukan juga jangan sampai merasa rendah diri.
Bersikap sewajarnya juga berlaku dalam hal berbusana dan makanan. Sesuai dengan ajaran dalam pupuh II sinom bait 9 dan 10 etika berpakaian dan makan harus dijaga. Tidak pantas apabila orang yang kaya harta benda namun pakaiannya kusut dan compang-camping, makanannya pun juga seadanya, bahkan tidak layak.
Dipaparkan pula tidak pantas bagi orang yang berkelebihan harta benda apabila tidak mau berderma kepada para alim dan fakir miskin. Orang kaya semacam itu dikatakan orang kaya yang tidak sadar terhadap batas usianya yang pendek. Ia menyangka umurnya masih panjang dan tidak akan segera mati, meskipun soal umur tidak ada seorang pun yang tahu.
Secara batiniah sifat kikir manusia itu lahir dari keterikatannya yang begitu besar terhadap harta benda. Besarnya rasa kepemilikan membuat seseorang enggan mendermakan sebagain harta bendanya kepada sesama. Terlalu mencintai dunia adalah racun bagi kehidupan rohani. Dalam kerohanian kecintaan terhadap dunia yang berlebihan dalah penghalang. Bagi penghayat kerohanian, hal-hal yang bersifat keduniawain dianggap bukan suatu belenggu selama yang bersangkutan tidak terjerat olehnya. Harta benda hanyalah sarana untuk menghidupi raga.
Dalam kehidupan bermasyarakat sudah selayaknya apabila yang kuat membantu yang lemah dan yang kaya membantu yang miskin. Bagi manusia yang sadar terhadap hakikat kehidupan, kekayaan adalah sarana untuk berbuat amal kebajikan. Itu sebabnya, membantu sesama yang sedang dalam kesusuhan dan kekurangan menjadi sebuah kewajiban. Harus disadari seberapa pun banyak harta yang kita kumpulkan di dunia ini, tidak akan kita bawa mati. Harta adalah titipan Ilahi yang harus disedekahkan jika kita berkelebihan.
Pada pupuh VIII sinom, bait 10 ditegaskan bahwa harta dan emas yang berlimpah harus dijaga secara baik, namun jangan sampai lupa untuk disedekahkan sebagian kepada para pendeta dan fakir miskin, orang jompo, dan prajurit. Para pendeta adalah salah satu golongan yang wajib menerima sedekah karena mereka adalah para rohaniawan yang setia menjaga kebenaran. Selain itu, para pendeta umumnya adalah orang yang telah meninggalkan kepentingan duniawi, sehingga keperluan duniawinya perlu ditopang oleh anggota masyarakat yang berkelebihan d. Kerohanian
Kerohanian atau kebatinan adalah segala sesuatu yang berhubungan atau bersangkut paut dengan dunia batin. Kerohanian senantiasa berpusat pada pribadi yang menempatkan aku pada titik inti segala penilaian. Perkembangan dari rasa seseoranglah yang menjadi tolok ukur eksistensi. Lapangan pengujian terakhir dari pengalaman rohani seseorang adalah keyakinan yang berpusat pada diri sendiri
bahwa ia hidup sejalan dengan hakikat hidup dan bahwa ia telah menemukan jalan ke arah kebenaran secara langsung tanpa perantara. Terhadap kenyataan tersebut ia menarik kekuatan dari Tuhan, sehingga ia tidak bergantung lagi pada sumber-sumber kebenaran di luar batinnya sendiri (Mulder, 1985:32).
Dasar dari laku kerohanian adalah pengendalian nafsu amarah, aluamah, sufiyah, dan mutmainah yang menyertai manusia. Nafsu-nafsu tersebut merepresentasikan dorongan dalam diri manusia untuk memenuhi kebutuhan badaniah dan rohaniah (Endraswara, 2003:42). Manfaat dari menahan nafsu begitu besar artinya bagi kemajuan rohani seseorang. Adat yang pantas, laras, sepadan, dan budiman dari orang yang merasa puas adalah kemenangan besar atas nafsu, dan orang yang demikian itu sangat tertib dalam laku perbuatannya (Suryadipura, 1993:305).
Mengendalikan nafsu adalah jalan menuju kebahagiaan hidup, kesempurnaan, kebebasan untuk berhadapan muka dengan Tuhan, bermakrifat kepada tuhan sebagai insan kamil (Suryadipura, 1993:301). Adapun ajaran yang bernilai kerohanian dalam Serat
Panitisastra adalah sebagai berikut.
V.12
Lamun mungguh satruning agesang Tan ana nglewihi kabeh
Saking regeding kalbu Yeku dadya satruning urip
Adapun di antara musuh-musuh dalam hidup ini
Tidak ada yang melebihi Dari kekotoran kalbu
Itulah yang menjadi musuh dalam hidup ini
Pupuh V dhandhanggula, bait 12
mengajarkan bahwa kekotoran batin adalah musuh utama dalam hidup manusia. Oleh sebab itu, manusia harus berjuang sekuat tenaga membersihkan batinnya dari berbagai iktikad buruk yang dapat merusak harkat dan martabatnya. Kekotoran batin terjadi karena pikiran tunduk kepada nafsu-nafsu negatif. Pikiran yang tidak terjaga, akan dihinggapi oleh berbagai keinginan atau nafsu yang buruk. Nafsu negatif dapat mempengaruhi pikiran karena suara hati nurani atau budi diabaikan oleh manusia.
Supaya terhindar dari keinginan-keinginan yang buruk karena dorongan-dorongan nafsu negatif, manusia harus mengikuti kata hatinya. Kata hati senantiasa menyuarakan kebenaran, yang bermanfaat bagi diri pribadi dan sesama manusia. Kata hati hanya dapat disadari saat nafsu-nafsu negatif terkendali sepenuhnya. Tanpa pengendalian nafsu maka kata hati yang bersumber dari hati nurani tidak akan mampu ditangkap oleh kesadaran manusia. Untuk mampu menangkap getaran kata hati diperlukan kejernihan pikiran dan perasaan.
VI.1
Yen ana manusya iku Ngukuhi pakarti becik Ujaring sastra tinulad Mantep tan arsa rarenggi Ing tembe tanwun amanggya Kaluhuraning dumadi
Kalau ada orang
Yang kokoh berpegang pada pekerti baik
Segala ajaran sastra dijadikan teladan Mantap tanpa ada keraguan
Di hari kemudian pastilah akan mendapat
Keluhuran sebagai makhluk
Ngunduh wohing pakarti itulah inti
amanat yang disampaikan dalam pupuh VI kinanthi, bait 1. Perbuatan baik akan berbuah kebaikan dan perbuatan buruk akan berbuah bencana. Hukum sebab akibat adalah hukum kesejatian yang tidak terelakkan, yang mengikat semua makhluk hidup di jagat raya. Dinyatakan dalam bait di atas bahwasanya siapa saja yang berpegang teguh pada pekerti baik dan ajaran sastra kelak dikemudian hari akan mendapat kemuliaan. Kemuliaan yang dimaksud bisa kemuliaan di dunia berupa penghormatan, jabatan, atau harta benda, namun bisa juga kemuliaan rohani berupa pencerahan spiritual.
Bait tersebut menerangkan bahwasannya seisi jagat raya ini tunduk pada hukum sebab dan akibat. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini jelas memiliki suatu sebab dan suatu sebab menjadikan suatu akibat. Sebab dan akibat hadir silih berganti sebagaimana baik dan buruk yang terus bertautan. Perbuatan yang baik akan melahirkan akibat yang baik. Perbuatan buruk akan mengakibatkan hal yang buruk.
X.17
Myang maraganing anemu Ing kamukten tan liyan saking Pangucape priyangga
Mulaning anemu
Pawong sanak sih sinihin
Myang mulaning amanggih lara prihatin
Myang manggih pati gesang
Jalan untuk mendapatkan Kesejahteraan tak lain kecuali Tutur katanya sendiri
Sebab musabab mendapat
Sahabat adalah sayang menyayangi Sebab musabab mendapat sakit dan duka
Pupuh X asmaradana, bait 17
memaparkan bahwa tutur kata yang baik menyebabkan kebahagiaan, tutur kata yang buruk menyebabkan penderitaan, dan kasih sayang menyebabkan banyak mendapat sahabat. Apabila dicermati, apa yang disampaikan dalam bait tersebut tidak lain adalah kerja dari hukum karma atau sebab dan akibat.
Hukum karma memiliki tiga fase pembentukan. Pertama, hukum karma yang terjadi pada fase pikiran. Pada fase pikiran ini karma masih berbentuk benih berupa kehendak atau keinginan. Kedua, hukum karma terjadi pada fase lisan. Pada fase lisan ini karma sudah berbentuk tindakan berupa ucapan atau kata-kata. Ketiga, hukum karma terjadi pada fase tindakan. Pada fase tindakan ini karma yang terjadi sudah berbentuk perbuatan nyata. Fase tindakan ini disebut sebagai karma yang sempurna karena ketiga fase karma sangat mungkin telah dilakukan sepenuhnya.
Sesuai prinsip hukum sebab dan akibat, apa yang kita peroleh atau kita dapati saat ini adalah buah atas perbuatan kita di masa lalu. Bisa perbuatan kita sedetik yang lalu, sehari sebelumnya, seminggu, sebelun, setahun, 10 tahun, atau bahkan ratusan tahun silam dalam kehidupan kita yang terdahulu. Sesuatu hal yang tidak bisa diingkari adalah bahwa setiap makhluk hidup akan menerima akibat dari perbutannya, sekecil apa pun akan mendapat balasan yang setimpal.
X.10
Wong punika ywa manut Budining wong sudra tan becik Temahan winawasa
Ing para myang kayun
Janganlah orang menurut Pikiran orang sudra, tidak baik Akhirnya akan dikuasai
Oleh kehendak dan hal-hal yang buruk
Pupuh X dhandhanggula, bait 10 memuat
himbauan agar menjauhi dan tidak meniru pikiran orang sudra. Pikiran orang sudra maksudnya adalah pikiran yang tidak terpuji yang mendorong manusia berbuat hal-hal yang buruk, yang dilarang oleh negara dan agama. Pentingnya menjauhi pikiran yang buruk ditekankan dalam bait 10 tersebut, sebab pikiran yang dikuasai oleh sifat-sifat buruk akan menuntun manusia berbuat pada hal-hal yang buruk pula. Pikiran adalah komando dari segala tingkah laku manusia. Apa yang dipikirkan itu pulalah yang akan diperbuat.
Manusia agar terbebas dari perbuatan buruk, pertama-tama harus menghindarkan pikirannya dari hal-hal yang buruk. Berbagai hal yang buruk harus dilenyapkan dari alam pikiran, selanjutnya pikiran diisi dengan hal-hal yang baik. Berpikir positif atas apa yang terjadi terhadap diri dan sekeliling kita adalah kunci berperilaku benar. Tanpa berpikir positif niscaya bisa berbuat baik, sebab pikiran adalah akar dari perbuatan. Pikiran adalah pengendali dari setiap perkataan dan perbuatan kita. Oleh sebab itu, siapa saja yang tidak mampu mengendalikan pikirannya niscaya perkataan dan perbuatannya juga tidak akan terkendali. Apa saja yang dipikirkan itulah hal yang akan dikatakan dan diperbuat.
e. Ketuhanan
Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak lepas dari unsur keyakinan. Keyakinan
manusia terhadap pencipta semesta disebut ketuhanan. Manusia suatu keyakinan karena manusia dalam hidupnya selalu memunyai pengharapan dan cita-cita, sehingga ia berusaha mewujudkan keyakinan dan pengharapannya itu dalam karya yang nyata. Keyakinan begitu penting bagi manusia, dapat dikatakan keyakinan adalah salah satu syarat kehidupan manusia. Tanpa keyakinan manusia akan senantiasa diliputi oleh perasaan bimbang (Soelaeman, 1988:91).
Seseorang yang menganut agama atau suatu kepercayaan mengakui bahwa Tuhan adalah penguasa hidup dan mati (Soelaeman, 1988:90). Tuhan adalah pangkal dari segala peristiwa. Apa yang terjadi di dunia ini dan apa yang dialami manusia semata-mata adalah kehendak-Nya. Manusia memerlukan keyakinan dalam hidupnya karena keyakinan akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup budayanya.
Kepercayaan terhadap Tuhan memunyai pengaruh yang cukup besar di dalam upaya mencapai ketenangan jiwa. Ketenangan jiwa itu tidak dapat hanya dipupuk dengan suatu pemikiran yang logis-logis saja. Ketenangan jiwa perlu pula dipupuk dengan perasaan, emosi, dan kepercayaan kepada Tuhan. Tanpa unsure keyakinan kepada Tuhan jiwa akan menjadi kosong, yang berakibat pada hilangnya keharmonisan hidup seseorang (Ardana, 1987:78—79). Dalam Serat
Panitisastra nilai-nilai ketuhanan tercermin
pada kutipan-kutipan berikut. I.6
Wisaning wong anembah Ing Hyang Kang Maha Gung Yen carobo ing tyasira
Dadya reged kethuh amatuh mulintir Nembahe tan katrimah
Racun bagi orang yang berbakti Kepada Yang Maha Agung Bila ceroboh dalam hati
Lalu menjadi kotor, aib, manja, dan lengah
Puja baktinya tiada diterima Allah
Pupuh I dhandhanggula, bait 6
menguraikan tentang kendala bagi seseorang yang ingin mendekatkan diri kepada Tuhan. Dikatakan bahwa racun bagi orang yang berbakti kepada Yang Maha Agung adalah apabila ceroboh dalam hati. Kecerobohan adalah jalan bagi kesesatan, sebab kecerobohan akan menyebabkan pikiran dan perbuatan kita tidak bisa terkonsentrasi pada apa yang sedang dikerjakan. Kecerobohan membuat pikiran galau dan kalut dengan begitu perbuatan pun menjadi kacau balau.
Dalam hal berbakti kepada Tuhan, kecerobohan menyebabkan kekotoran batin yang menimbulkan kelengahan. Puja bakti kepada Tuhan menjadi kurang khusuk dan dilakukan hanya setengah hati. Oleh karena itu, betapa pentingnya mawas diri serta menjaga kesucian hati dan pikiran dalam upaya mendekatkan diri kepada sang Khalik.
II.14
Tan ngabekti ing Hyang Widi Katungkul ulah kawiryan
Tidak berpuja bakti kepada Hyang Widi
Karena terlena mengejar kemuliaan duniawi
Manusia dikatakan nista dalam hal budi apabila tidak suka berpuja bakti kepada Tuhan karena terlena mengejar kemuliaan duniawi. Pada pupuh II sinom, bait 14 awal dipesankan agar manusia tidak mengagung-agungkan kemuliaan dan kenikmatan
duniawi. Seseorang yang pandangan hidupnya terjebak dalam keduniawian, bisa dipastikan tingkat keimanannya tipis. Hal ini karena hampir seluruh waktu dalam hidupnya diabdikan untuk kepentingan duniawi. Sedikit waktu yang tersisa, baru digunakan untuk berbakti kepada Tuhan. Sejatinya manusia tidak bisa memilih satu di antara dua, keduniawian atau kerohanian, sebab kesadaran tidak bisa di tempatkan pada dua objek yang berbeda pada moment yang bersamaan.
Dalam masalah ini, manusia di hadapkan pada pilihan yang cukup dilematis, mengejar keduniawian di satu sisi tidak baik, namun melepaskan keduniawian sepenuhnya juga kurang baik. Menjaga keseimbangan antara keduniawian dan kerohanian adalah jalan yang terbaik.
Pada hakikatnya keduniawian itu bukan sesuatu yang harus dijauhi oleh para pelaku kerohanian. Keduniawian itu tidak ada bedanya dengan raga kita yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai derajat spiritual yang lebih dalam lagi. Keduniawian tidak perlu ditolak, namun jangan juga larut olehnya. Keduniawian adalah sarana hidup bagi raga yang harus dihayati sesuai dengan hukum duniawi. Dimanfaatkan sedemikian rupa tanpa rasa memiliki, tanpa rasa keterikatan.
3. Simpulan
Serat Panitisastra yang digubah pada
zaman Kerajaan Surakarta yang mengambil babon dari Panitisastra Jawa kuno yang ditulis pada zaman Kerajaan Majapahit sangat pantas apabila disebut sebagai salah satu karya sastra tradisional Jawa yang
memiliki keunggulan dalam hal pesan moral yang disampaikan.
Ajaran budi pekerti yang tersirat dan tersurat dalam Serat Panitisastra sarat dengan petuah-petuah yang bernilai wewaler, sopan-santun, kemanusiaan, kerohanian, dan ketuhanan. Ajaran-ajaran tersebut bersifat universal sehingga mampu mengarungi arus zaman. Oleh karena itu, pesan-pesan tersebut masih tetap relevan apabila diterapkan pada zaman modern sekarang ini.
Ajaran budi pekerti dalam Serat
Panitisastra bermanfaat sebagai katalisator
bagi masuknya budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya ketimuran. Diera globalisasi sekarang ini, kita perlu menanamkan dan memperkokoh kembali budaya bangsa agar tidak kehilangan jati diri. Penghayatan kembali nilai-nilai luhur warisan nenek moyang diyakini akan membawa keseimbangan hidup lahir dan batin tata tenteram kerta raharja sehingga tercapai kehidupan yang harmonis antara individu dengan individu dan individu dengan Tuhan..
Daftar Pustaka
Abrams, M.H. 1979. The Mirror and the
lamp: Romantic Theory and Critical Tradition. London: Oxford University
Press.
Ardana, I Gusti Gde. 1987. Ilmu Budaya
Dasar. Denpasar: Universitas
Udayana.
Bertens, K. 2011. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi
Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra
Sebuah Penjelajahan Awal.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kusumohamidjojo, Budiono. 2010. Filsafat Kebudayaan Proses Realisasi
Manusia. Yogyakarta: Jalasutra
Mulder, Niels. 1985. Pribadi dan Masyarakat
di Jawa. Jakarta: Sinar Harapan.
Ratna, Kutha Nyoman. 2012. Teori, Metode,
dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung. Angkasa.
Soelaeman, M. Munandar. 1988. Ilmu
Budaya Dasar Suatu Pengantar.
Bandung. PT Eresco.
Sudewa, Alexander. 1991. Serat Panitisastra:
Tradisi, Resepsi, dan Transformasi.
Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Suryadipura, Paryana R. 1993. Alam Pikiran. Jakarta: Bumi Aksara.
Tanpo Aran. 1988. Sangkan Paraning
Dumadi. Djojo Bojo: Surabaya.
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra:
Pengantar Teori Sastra. Jakarta:
Sebuah Kajian Sosiologi Sastra Puisi “Duniaku Yang Alit”
Karya Nana Ernawati
When Female Looking Female
a Sociological Study of Literary, Poetry “Duniaku yang Alit”
by Nana Ernawati
Titik WijanartiBalai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah Post-el : [email protected]
ABSTRAK
Sejarah sastra Indonesia mencatat bahwa masalah perempuan telah lama dipersoalkan jauh sebelum Marah Rusli menulis Siti Nurbaya. Perbincangan tentang perempuan dalam karya sastra terus menguat seiring dengan perkembangan dinamika sosial budaya masyarakat Indonesia. Penelitian ini mengkaji sebuah puisi yang ditulis oleh seorang penulis perempuan dan berbicara tentang perempuan dengan menggunakan teori sosiologi sastra. Di samping teori sosiologi sastra, penelitian ini juga menggunakan perspektif teori sastra feminis. Perspektif tersebut dinilai perlu dimasukkan di dalam penelitian ini karena dalam sebuah penelitian sosiologis suatu karya sastra tidak dapat dilepaskan dari masalah perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Berdasarkan analisis sosiologi sastra terhadap puisi “Duniaku yang Alit” karya Nana Ernawati dapat diperoleh simpulan bahwa perempuan dalam masyarakat masih diposisikan sebagai manusia nomor dua setelah laki-laki. Hal itu terungkap dalam berbagai ekspresi yang menggambarkan bahwa perempuan selalu berada dalam wilayah domestik untuk melayani kaum laki-laki. Perlawanan terhadap ketidakadilan gender telah dilakukan oleh kaum perempuan tetapi belum berarti apa-apa.
Kata kunci : perempuan,puisi,sosiologi sastra
ABSTRACT
History of Indonesian literature notes that women’s issues have long been questioned long before Marah Rusli wrote Siti Nurbaya. Discussion about women in literature has been getting stronger and stronger in line with the socio-cultural dynamics of the development of Indonesian society. This study examines a poem written by a female author and talks about women by using of sociology of literature theory. In addition to the sociology of literature theory, this study also uses the perspective of feminist literary theory. Perspective is considered necessary to be included in this study because in a sociological study, a literary work cannot be separated from the problem of role differences between men and women in the community. Based on the analysis of sociological literature on the poem “Duniaku yang Alit “ by Nana Ernawati, it can be concluded that women in society are still positioned as number two, after man. This
was revealed in a variety of expressions that illustrated that women are always in the domestic sphere to serve men. Resistance against gender injustice has been done by women but it does not mean anything.
Keywords: women, poetry, sociology of literature
1. Pendahuluan
Isu perempuan dalam sastra bukanlah sebuah hal yang baru dalam sastra Indonesia. Sejarah sastra Indonesia mencatat bahwa persoalan perempuan telah lama dipersoalkan jauh sebelum Marah Rusli menulis Siti
Nurbaya. Berbagai persoalan kehidupan
perempuan seperti diskriminasi berupa ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan hingga kekerasan di dalam rumah tangga merupakan persoalan yang banyak ditemukan dalam karya sastra Indonesia.
Perbincangan tentang perempuan dalam karya sastra terus menguat seiring dengan perkembangan dinamika sosial budaya masyarakat Indonesia. Era reformasi misalnya, melahirkan penulis-penulis perempuan yang juga cukup “fenomenal” dalam berbicara persoalan kaumnya. Novel
Saman (1998) karya Ayu Utami misalnya,
adalah sebuah contoh novel yang berani menampilkan persoalan perempuan dari wilayah dan perspektif yang berbeda jika dibandingkan dengan karya sastra sebelumnya. Jika era reformasi telah melahirkan novel-novel fenomenal seperti
Saman, lalu bagaimana dengan saat ini
setelah lebih dari satu dekade era reformasi? Masihkah persoalan perempuan menjadi topik yang menarik dalam karya sastra?
Penelitian ini mengkaji sebuah puisi yang ditulis oleh seorang penulis perempuan
dan berbicara berbicara tentang perempuan. Puisi “Duniaku yang Alit” ditulis oleh Nana Ernawati dan diterbitkan bersama puisi-puisi lain yang juga ditulis oleh perempuan dalam antologi Perempuan Langit. Pemilihan objek penelitian berupa puisi didasarkan pada alasan bahwa masih terbatasnya penelitian masalah perempuan dalam genre puisi jika dibandingkan dengan novel. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan masalah perempuan dalam puisi “Duniaku yang Alit” karya Nana Ernawati. Manfaat penelitian ini adalah untuk memperkaya khasanah penelitian sastra Indonesia khususnya kajian sastra feminis.
Kerangka Teori
Sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian, teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sosiologi sastra. Dalam konteks sosiologi sastra, Damono (1979:1) mengemukakan bahwa karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Senada dengan Damono, Ratna (2002:10-11) mengemukakan bahwa studi sosiologis didasarkan atas pengertian bahwa setiap fakta kultural lahir dan berkembang dalam kondisi sosiohistoris tertentu. Sistem produksi karya seni, karya sastra khususnya, dihasilkan melalui antarhubungan bermakna, dalam hal ini subjek kreator dengan masyarakat.
Bahan utama penciptaan sebuah karya sastra adalah ide cerita. Ide cerita dapat berasal dari realitas sosial yang terjadi. Hubungan antara karya sastra dan kenyataan dikemukakan oleh Teeuw (1982:18-26) bahwa ada empat cara yang mungkin dilakukan, yaitu: 1) afirmasi : dengan cara menetapkan norma-norma yang telah ada, 2)
restorasi : sebagai kerinduan terhadap norma
yang telah usang, 3) negasi : mengadakan pemberontakan terhadap norma yang berlaku, dan 4) inovasi : mengadakan pembaruan terhadap norma yang ada.
Rene Wellek dan Austin Waren (1995:111;1956:84) membuat klasifikasi terhadap studi sosiologi sastra ke dalam tiga dimensi. Pertama, sosiologi pengarang yang mempermasalahkan profesi pengarang dan ideologi yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra. Kedua, sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri. Ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra.
Berdasarkan apa yang dikemukakan Wellek dan Waren mengenai klasifikasi terhadap studi sosiologi sastra, penelitian ini menggunakan dimensi yang kedua yaitu studi yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri. Penelitian ini memfokuskan fakta-fakta sosial yang ditemukan dalam karya sastra yang menjadi objek penelitian yaitu puisi “Duniaku yang Alit”.
Di samping teori sosiologi sastra, penelitian ini juga menggunakan perspektif teori sastra feminis. Perspektif tersebut dinilai perlu dimasukkan di dalam penelitian ini karena dalam sebuah penelitian sosiologis
suatu karya sastra tidak dapat dilepaskan dari masalah perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Teori sastra feminis di dalam penelitian ini tidak dilihat sebagai sebuah teori yang lengkap dan mendasar, tetapi hanya digunakan sebagai cara pandang di dalam proses analisis karya secara sosiologis. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa teori sastra feminis dapat dilihat sebagai bagian dari teori sosiologi sastra itu sendiri.
Metode Penelitian
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif. Metode analisis deskriptif menurut Sudaryanto (1988 :57) adalah sebuah metode penelitian yang bertujuan mendeskripsikan suatu keadaan seacra empiris atau memaparkan fakta di lapangan secara apa adanya. Metode analisis deskriptif dalam penelitian ini diterapkan dalam bentuk pendeskripsian seluruh tulisan yang berkaitan dengan sastra yang dimuat dalam keempat koran lokal yang diteliti. Pendeskripsian tersebut dilengkapi dengan analisis yang menyangkut jenis tulisan, frekuensi kemunculan tulisan yang sejenis, dan juga analisis tematiknya.
2. Hasil dan Pembahasan Puisi “Duniaku yang Alit”
Duniaku yang Alit : hari perempuan
Aku menunggumu disini Tapi aku tak mau diam, Aku tak mau menyulam
Atau membuat panggang ayam Aku juga tak kan gilas kemejamu Itu tak mengubah apapun tentang aku,
Yang lama kau tindas, Lama sekali kau tindas
Aku silangkan kedua lenganku, Agar kau tak bisa mengurainya, Untuk memelukku, menganggapku Mudah kau peluk,
Mudah di-luk Kamu terlalu Kakiku panjang,
Kukitari ujung langit ke ujung langit Meski sesungguhnya
Kutelusuri pinggiran ranjang sampai ke kolong-kolongnya yang gelap Tapi spreinya tetap terlipat,terlipat tanpa cela
Dan kau duduk mencangkung di sana,
Menyaksikan malam datang Malam yang tanpa aba-aba Aku perempuan yang meneriaki langit
Yang memanah awan yang terus congkak
Menggulung hari
Aku perempuan yang tahu diri Tapi aku tetap tak akan menyulam Tak mau bikin panggang ayam Tak mau menggilas kemejamu Jakarta,10 Maret 2014 (Perempuan Langit, halaman 214-215)
Masalah Perempuan dalam Puisi “Duniaku Yang Alit”
Persoalan Judul
Frasa “Duniaku yang Alit” dipilih oleh Nana Ernawati sebagai judul yang disematkan dalam puisinya. Dalam frasa tersebut dapat dilihat tentang dua hal dari puisi tersebut. Pertama, kata “dunia” dalam judul tersebut menginformasikan bahwa puisi tersebut berbicara tentang sebuah “dunia”. Dunia adalah sesuatu yang besar. Ini berarti bahwa yang disampaikan Nana Eranawati
bukanlah sesuatu yang bersifat individu tetapi sebuah kolektivitas. Dalam konteks ini ,“dunia” yang dimaksud Nana Ernawati dapat dimaknai sebagai dunia perempuan karena kata dunia diikuti dengan kata ganti
-ku yang sama dengan kata aku. “Aku”
dalam konteks ini bisa dimaknai dengan aku sebagai perempuan. Jadi, kata “duniaku” dalam judul tersebut merujuk pada makna dunia perempuan. Dengan kata lain, dalam judul dapat ditemukan informasi bahwa puisi tersebut berbicara tentang dunia perempuan.
Kedua, kata “alit” dalam judul dapat dihipotesiskan berasal dari bahasa Jawa alit yang bermakna kecil. Dengan demikian, kata “alit” adalah kata sifat yang berfungsi menerangkan kata “duniaku”. Alit yang bermakna kecil tersebut mengindikasikan bahwa berawal dari judul, Nana Ernawati telah mengungkapkan dunia perempuan yang kecil. Kata kecil memiliki afiliasi makna dengan kata tertindas, lemah, memiliki ketergantungan, dan tak berdaya. Jika ada kata kecil, tentu ada kata besar yang memiliki makna berlawanan. Ini berarti bahwa puisi “Duniaku yang Alit” jika ditinjau dari judul sudah mengimplikasikan tentang dunia perempuan yang “kecil” yang tidak berdaya, yang bergantung pada dunia lain yang “besar”.
Perempuan Berada dalam Wilayah Domestik
Puisi tersebut menggambarkan dunia perempuan yang semuanya berada dalam wilayah domestik. Gambaran tersebut dapat dilihat dalam larik-larik bait pertama berikut : Aku menunggumu disini / Tapi aku