• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan Identitas Diri Pada Remaja di SMA Pusaka 1 Jakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan Antara Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan Identitas Diri Pada Remaja di SMA Pusaka 1 Jakarta."

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Antara Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan Identitas Diri Pada Remaja di SMA Pusaka 1 Jakarta. Amie Ristianti Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma Abstraksi Daftar pustaka 1983 - 2008

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial teman sebaya dengan identitas diri pada remaja di SMA Pusaka 1 Jakarta. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SMA Pusaka 1 Jakarta dengan jumlah subjek penelitian sebanyak 150 responden.

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dengan kuesioner. Untuk mengukur dukungan sosial teman sebaya digunakan skala dukungan sosial yang berbentuk skala likert, yang disusun berdasarkan komponen dukungan sosial menurut Weiss (dalam Cutrona, 1994). Untuk mengukur identitas diri pada remaja digunakan skala identitas yang berbentuk skala likert, yang disusun berdasarkan komponen identitas diri menurut Rogow (dalam Rice, 1996). Uji validitas dan reliabilitas untuk skala dukungan sosial diketahui memiliki validitas korelasi total item antara 0,318 sampai dengan 0,644, dengan reliabilitas sebesar 0,932. Untuk skala identitas diri diketahui memiliki validitas korelasi total item antara 0,319 sampai dengan 0,541, dengan reliabilitas sebesar 0,930. Nilai normalitas untuk skala dukungan sosial pada Kolmogorov Smirnov sebesar 0,200 (p > 0,05) dan untuk skala identitas diri 0,200 (p > 0,05) sehingga dapat diketahui bahwa data dari kedua skala tersebut adalah normal. Linearitas yang diperoleh dari signifikansi anova untuk kedua skala sebesar 0,000 (p < 0,05) sehingga dapat juga diketahui bahwa data dari kedua skala tersebut adalah linier.

Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji hubungan diketahui koefisien korelasi (r) yang diperoleh sebesar 0,565 dengan signifikansi 0,000 (p < 0,01). Hasil tersebut menunjukkan bahwa hipotesis yang berbunyi “terdapat hubungan antara dukungan sosial teman sebaya dengan identitas diri pada remaja di SMA Pusaka 1 Jakarta diterima. Dengan demikian “terdapat hubungan antara dukungan sosial teman sebaya dengan identitas diri pada remaja di SMA Pusaka 1 Jakarta.

(2)

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Tuhan menciptakan setiap manusia dengan ciri khasnya masing-masing. Manusia tidak ada yang sama persis di dunia ini walaupun dengan saudara kembarnya sendiri. Manusia kembar memiliki wajah yang sama seperti halnya kembar identik, namun kepribadian, kemampuan dalam mengatur orientasi hidup dan lain-lain pasti ada perbedaannya (Erikson dalam Cremers, 1989).

Waktu yang diperlukan manusia sebagai individu untuk dapat menyadari persamaan dan perbedaan dirinya dengan orang lain tidaklah singkat. Individu membutuhkan proses yang panjang untuk dapat memahami siapa dirinya. Menurut Cremers (1989), pertanyaan mengenai ”siapakah aku” seringkali muncul di dalam proses pemahaman diri, namun untuk memberi jawaban atas pertanyaan ”siapakah aku” sangat sulit, karena jawaban ’siapa aku’ ini berkaitan dengan identitas yang dimiliki oleh individu.

Identitas, jelas diperlukan individu agar dapat menjalankan kehidupannya. Individu yang tidak memiliki pemahaman yang baik mengenai dirinya, akan lebih besar kemungkinannya hidup dalam ketidakpastian serta tidak mampu menyadari keunggulan maupun kekurangan yang ada pada dirinya. Individu tersebut akan menjadi individu yang tidak percaya diri dan tidak memiliki kebanggaan pada dirinya sendiri (Gardner, 1992).

Erikson (dalam Cremers, 1989) mengatakan bahwa, individu berusaha membenarkan penegasannya bahwa ’aku adalah seseorang’. Selanjutnya Erikson (dalam Cremers,

1989) juga mengatakan bahwa, menjadi seseorang berarti juga bahwa oleh rang lain dan masyarakat dirinya diakui sebagai ’seorang pribadi’, yang memiliki peranan yang jelas dan berarti. Oleh karena itu individu tersebut akan berusaha membentuk identitas dirinya. Identitas diri pada setiap individu dibentuk ketika individu mulai memasuki masa remaja.

Menurut Santrock (2003), masa remaja adalah periode transisi, saat seorang individu mengalami perubahan fisik dan psikologis dari kanak-kanak menjadi dewasa. Santrock (2003) juga mengatakan bahwa, pada masa transisi ini, remaja dipandang dari dua sisi yang berlainan, di satu sisi remaja ingin menjadi seorang yang mandiri tanpa bantuan orang tuanya lagi namun di sisi lain remaja masih membutuhkan bantuan dari orang tuanya. Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan Agustiani pada tahun 2002 yang mengatakan bahwa, remaja masih menunjukkan ketergantungan terhadap orang tua terutama jika dihadapkan pada masalah penting yang menyangkut kehidupannya.

Meskipun remaja masih bergantung pada orang tuanya, namun intensitas ketergantungan tersebut telah berkurang dan remaja mulai mendekatkan diri pada teman-teman yang memiliki rentang usia yang sebaya dengan dirinya. Remaja mulai belajar mengekspresikan perasaan-perasaan dengan cara yang lebih matang dan berusaha memperoleh kebebasan emosional dengan cara menggabungkan diri dengan teman sebayanya (Desmita, 2005). Hal senada dikemukakan oleh Mappiare (dalam Manan, 1993) yang mengatakan bahwa, selain dengan orang tua, remaja dapat memenuhi

(3)

kebutuhan-kebutuhan dirinya melalui teman sebayanya.

Benimof (dalam Al-Mighwar, 2006) menegaskan bahwa kelompok teman sebaya merupakan dunia nyata remaja yang menyiapkan tempat remaja menguji dirinya sendiri dan orang lain. Keberadaan teman sebaya dalam kehidupan remaja merupakan keharusan, untuk itu seorang remaja harus mendapatkan penerimaan yang baik untuk memperoleh dukungan dari kelompok teman sebayanya. Melalui berkumpul dengan teman sebaya yang memiliki kesamaan dalam berbagai hal tertentu, remaja dapat mengubah kebiasan-kebiasan hidupnya dan dapat mencoba berbagai hal yang baru serta saling mendukung satu sama lain (Cairns & Neckerman, 1988). Hal senada dikemukakan oleh Tarakanita (2001) yang mengatakan bahwa, teman sebaya selain merupakan sumber referensi bagi remaja mengenai berbagai macam hal, juga dapat memberikan kesempatan bagi remaja untuk mengambil peran dan tanggung jawab yang baru melalui pemberian dorongan (dukungan sosial).

Dukungan sosial adalah bantuan yang diterima individu dari orang lain atau kelompok di sekitarnya, dengan membuat penerima merasa nyaman, dicintai dan dihargai (Sarafino, 1994). Konsep operasional dari dukungan sosial adalah

perceived support (dukungan yang dirasakan), yang memiliki dua elemen dasar diantaranya adalah persepsi bahwa ada sejumlah orang lain dimana seseorang dapat mengandalkannya saat dibutuhkan dan derajat kepuasan terhadap dukungan yang ada (Dimatteo, 2004).

Melalui dua elemen dasar dari dukungan yang dirasakan remaja yang diperoleh dari teman sebaya, remaja dapat merasa lebih tenang apabila

dihadapkan pada suatu masalah. Hal tersebut dapat menimbulkan keyakinan pada diri remaja bahwa apapun yang dilakukan oleh remaja akan mendapatkan dukungan dari teman sebayanya. Menurut Tarakanita (2001), dukungan sosial yang bersumber dari teman sebaya dapat membuat remaja memiliki kesempatan untuk melakukan berbagai hal yang belum pernah mereka lakukan serta belajar mengambil peran yang baru dalam kehidupannya. Remaja mampu menjalankan peran sosialnya di masayarakat apabila remaja tersebut telah berhasil membentuk identitas dirinya.

Identitas diri adalah perasaan-perasaan yang berasal dari apa yang individu pikirkan mengenai dirinya dan apa yang individu pikir orang lain pikirkan mengenai diri individu tersebut (Gardner, 1992). Individu yang sedang membentuk identitas diri adalah individu yang ingin menentukan siapakah dan apakah dirinya pada saat ini serta siapakah atau apakah yang individu inginkan di masa yang akan datang.

Menurut Erikson (dalam Pudjijogyanti, 1988), perubahan psikologis dan tuntutan dari lingkungan untuk dapat bersikap mandiri juga dialami oleh remaja. Hal inilah yang membuat remaja merasa perlu untuk mencari tahu tentang siapa dirinya dan apa yang membedakan dirinya dari orang lain. Pembentukan identitas diri yang terjadi pada remaja merupakan salah satu cara untuk mengatasi kegoncangan yang dialami setiap individu dalam melalui masa remajanya.

Kegoncangan yang dialami oleh remaja merupakan bagian dari krisis identitas yang harus dilewati dan diselesaikan (Junir, 1996). Selanjutnya Junir (dalam Cremers, 1989) juga menyatakan, bahwa kesadaran dalam diri akan

(4)

kepastian jalan yang ditempuh dan keyakinan tentang pengakuan dari orang lain akan diperoleh remaja apabila remaja mampu melewati dan menyelesaikan krisis identitas. Sebaliknya, apabila krisis gagal diatasi dan diakhiri dengan baik maka selama masa dewasanya remaja tersebut akan mengalami kekaburan tentang peranan dirinya dalam masyarakat, sehingga pada akhirnya remaja tersebut tidak mengetahui akan menjadi apa dirinya kelak dan siapakah dirinya dalam pengamatan orang lain (Erikson dalam Cremers, 1989).

Oleh karena itu untuk dapat menyelesaikan krisis identitas dalam upaya membentuk identitas dirinya, remaja sangat membutuhkan dukungan dari teman sebayanya. Dirgagunarsa (1989) menyatakan bahwa, dari dukungan sosial yang didapat melaui teman sebayanya remaja dapat memperoleh timbal balik atas apa yang remaja lakukan dalam lingkungan sosialnya sehingga remaja menjadi tahu kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya, selain itu remaja dapat memperoleh informasi-informasi penting terkait dengan hal apa saja yang harus remaja lakukan agar remaja mampu membentuk identitas dirinya.

Melalui informasi yang diperoleh melalui teman sebaya dalam bentuk dukungan sosial, remaja dapat mengetahui dan mengerti mengenai siapa dirinya, apakah yang remaja inginkan di masa yang akan datang serta peran sosial apa yang harus dijalankan dalam kehidupan sosialnya. Dalam hal ini remaja sudah mampu membentuk identitas dirinya yang optimal. Senada dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Erikson (dalam Thornburg, 1982) yang menyatakan bahwa, remaja yang telah berhasil

membentuk identitas dirinya yang stabil akan memperoleh suatu pandangan yang jelas tentang dirinya, memahami perbedaan dan persamaannya dengan orang lain, menyadari kelebihan dan kekurangan dirinya, penuh percaya diri, tanggap terhadap berbagai situasi, mampu mengantisipasi tantangan masa depan serta mengenal perannya dalam masyarakat. Oleh karena itu, dukungan sosial merupakan salah satu hal penting untuk pembentukan identitas diri seorang remaja. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Elleny (2007), bahwa dukungan sosial yang bersumber dari kelompok teman sebaya dapat membantu remaja mengatasi krisis dalam upaya pencapaian identitas.

Hilman (2002) menjelaskan bahwa, dukungan dari teman sebaya membuat remaja merasa memiliki teman senasib, teman untuk berbagi minat yang sama, dapat melaksanakan kegiatan kreatif sifatnya , saling menguatkan bahwa mereka dapat berubah ke arah yang lebih baik dan memungkinkan remaja memperoleh rasa nyaman, aman serta rasa memiliki identitas diri. Hilman (2002) juga memaparkan bahwa, dukungan teman sebaya biasanya terjadi dalam interaksi sehari-hari remaja, misalnya melalui hubungan akrab yang dijalin remaja bersama teman sebayanya melalui suatu perkumpulan di kehidupan sosialnya, salah satunya ialah lingkungan sekolah.

Berbagai macam perkumpulan maupun organisasi terdapat di sekolah, salah satunya melalui kegiatan ekstra kulikuler (Pudjijogyanti,1988). Selanjutnya Pudjijogyanti (1988) juga menyatakan bahwa, melalui ekstra kulikuler, remaja dapat saling berinteraksi dan saling mengakarabkan diri. Ditinjau dari sudut

(5)

perasaan saling berbagi dan pemberian dukungan melalui perkumpulan maupun organisasi yang ada di sekolah, maka penelitian ini menggunakan sampel siswa-siswi SMA Pusaka 1 Jakarta.

SMA Pusaka 1 Jakarta merupakan sekolah umum swasta yang terletak di Jl. Pahlawan Revolusi No. 89 Pondok Bambu, menyediakan waktu yang cukup banyak bagi remaja siswa-siswinya untuk dapat saling berinteraksi dengan lingkungan sosial sekolahnya. Waktu untuk kegiatan belajar sekitar delapan jam setiap hari, ditambah waktu untuk ekstra kulikuler setelah waktu belajar memberikan kesempatan bagi para siswa-siswi SMA Pusaka 1 untuk dapat berinteraksi serta mengakrabkan diri melalui berbagai macam organisasi dan ekstra kulikuler yang ada. Di dalam organisasi sosial tersebut remaja bersama teman-temannya dapat saling bertukar informasi, memberikan perhatian dan saling memberikan dukungan sosial satu sama lain yang pada akhirnya dapat membantu dalam proses pembentukan identitas diri remaja.

Dari uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara dukungan sosial teman sebaya dengan identitas diri pada remaja di SMA Pusaka 1 Jakarta.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial teman sebaya dengan identitas diri pada remaja di SMA Pusaka 1 Jakarta.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki 2 manfaat, yaitu :

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi perkembangan kemajuan ilmu psikologi, khususnya psikologi perkembangan dan memperkaya hasil penelitian yang telah ada. Hal ini dilakukan dengan cara memberi tambahan data empiris yang telah teruji secara ilmiah mengenai hubungan antara dukungan sosial teman sebaya dengan identitas diri pada remaja di SMA Pusaka 1 Jakarta.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran mengenai peranan dukungan sosial teman sebaya terhadap identitas diri remaja, sehingga diharapkan para remaja dapat menyadari arti dan makna pemberian dukungan sosial oleh kelompok teman sebayanya serta lebih meningkatkan interaksi dengan teman sebayanya guna memperoleh dukungan tersebut, sehingga dapat membantu remaja dalam mencapai identitas diri yang optimal.

TINJAUAN PUSTAKA Identitas Diri

Pengertian Identitas Diri

Identitas diri merupakan kesadaran individu untuk menempatkan diri dan memberikan arti pada dirinya dengan tepat di dalam konteks kehidupan (Zanden, 1990). Desmita (2005) merumuskan identitas diri sebagai suatu kesadaran akan

(6)

kesatuan dan kesinambungan pribadi, serta keyakinan yang relatif stabil sepanjang rentang kehidupan, sekalipun terjadi berbagai perubahan. Pernyataan lain menyebutkan bahwa identitas diri adalah proses menjadi seorang yang unik dengan peran yang penting dalam hidup (Erikson dalam Papalia & Olds, 2001).

Dari beberapa pendapat ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa identitas diri adalah kesadaran individu untuk menempatkan diri dan memberi arti pada dirinya sebagai seorang pribadi yang unik, memiliki keyakinan yang relatif stabil, serta memiliki peran penting dalam konteks kehidupan bermasyarakat.

Proses Pembentukan Identitas Diri Marcia (dalam Rice, 1996) mengemukakan bahwa, individu yang telah melalui masa krisis dan telah menetapakan komitmen di dalam hidupnya berarti individu tersebut sudah mencapai identitas dirinya dengan optimal (achieved identity). Krisis menyangkut suatu masa dimana secara aktif terlibat dalam proses pemilihan beberapa alternatif, sedangkan komitmen menyangkut suatu ketetapan dalam pemilihan yang diekspresikan oleh individu (Marcia dalam Rice, 1996).

Individu dengan achieved identity

berarti telah mengalami krisis dan menyelesaikannya. Penyelesaian krisis dilakukan dengan cara mengevaluasi secara hati-hati dan cermat berbagai alternatif dan pilihan yang tersedia. Individu membuat sendiri kesimpulan dan keputusan yang tepat

dengan memperhatikan kemampuan serta keterbatasan yang dimilki.

Achieved identity akan menjadi inti pribadi individu yang telah berhasil melewati proses dari kebingungan tentang siapa dirinya dan apa yang diinginkan dalam hidupnya (diffused), menerima pilihan-pilihan dari orang tua tanpa mempertimbangkan alternatif lain (foreclosure), kemudian melakukan usaha aktif dalam menghadapi krisis (moratorium) dan akhirnya dapat memahami pilihan yang realistik, membuat pilihan dan berperilaku sesuai dengan pilihannya tersebut (Marcia dalam Rice, 1990).

Komponen-komponen dalam Identitas Diri

Yang termasuk ke dalam komponen identitas menurut Rogow dkk (dalam Rice, 1996) adalah:

a. Fisik (physical)

Papalia & Olds (1988) mengemukakan perkembangan fisik pada umumnya ditandai oleh perkembangan:

1) Kelamin primer; yakni perkembangan pada alat kelamin dan alat-alat reproduksi baik remaja pria maupun wanita. Pada remaja pria misalnya perkembangan pada testes, penis, scrotum, seminal vesides dan prostat glands. Sedangkan pada remaja wanita misalnya perkembangan pada

ovarium, tube falopi, uterus dan

vagina.

2) Kelamin sekunder; yakni perkembangan seperti perubahan

(7)

suara, perubahan kulit, dan tumbuhnya rambut-rambut halus. Pada aspek perkembangan fisik remaja juga ditandai dengan adanya perasaan puas dan tidak puas terhadap keadaan tubuhnya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Gunn dkk (dalam Santrock, 2003) bahwa pada umumnya remaja putri lebih kurang puas dengan keadaan tubuhnya, dikarenakan lemak tubuhnya bertambah, sedangkan remaja putra menjadi lebih puas mungkin karena massa ototnya meningkat (Gross dalam Santrock, 2003).

Ketika remaja mampu melihat perbedaan dengan orang lain dalam hal ciri kondisi fisiknya, remaja telah mampu membentuk identitas dirinya. b. Peran jender

Peran jender merupakan deskripsi atau gambaran masyarakat mengenai karakteristik, cara berpikir dan tingkah laku yang tepat untuk dilakukan oleh seorang laki-laki atau perempuan (Sarwono, 2007).

Bem (dalam Sarwono, 2007) meyatakan ada dua macam manusia ditinjau dari peran seksualnya:

1) Tipe maskulin, yaitu sifat kelaki-lakiannya di atas rata-rata, sifat kewanitaannya kurang dari rata-rata. 2) Tipe feminin, yaitu yang sifat

kewanitaannya di atas rata-rata, sifat kelaki-lakiannya kurang dari rata-rata.

Dalam kaitannya dengan identitas, laki-laki diharapkan untuk aktif, agresif,

mandiri dan beroreientasi pada prestasi, sedangkan perempuan diharapkan untuk lebih memberikan pengasuhan, penghormatan, kurang mandiri, empati dan mempertahankan hubungan (Papalia & Olds, 2001). Dengan perkataan lain, laki-laki diarahkan menjadi seorang yang maskulin dan seorang perempuan diarahkan menjadi seorang feminin. Semua ini tidak terlepas oleh pengaruh yang ditimbulkan dari proses mengamati orang-orang yang ada di sekitarnya, baik orang tua dan khususnya teman-teman sebaya.

Dalam hubungannya dengan pengaruh teman sebaya, terlihat mereka dapat saling mengajarkan satu dengan yang lainnya perilaku maskulin bagi remaja laki-laki dan feminin bagi remaja perempuan (Santrock, 2003). Ketika remaja tersebut telah membentuk suatu kepribadian (baik maskulin atau feminin) dalam diri dan perilakunya maka remaja tersebut telah berhasil menentukan identitas dirinya sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan.

c. Sosial (Social)

Remaja dalam dunia sosialnya berusaha untuk mencapai kedewasaan, ia ingin melibatkan diri dalam berbagai macam kegiatan dan berusaha semampu mungkin untuk mendapatkan pengakuan dari orang yang berada di sekitarnya (Panudju & Umami, 1999). Dengan mendapatkan pengakuan dari

(8)

orang di sekitarnya, maka remaja tersebut telah membentuk identitas dirinya yang diakui dalam masyarakat tempat tinggalnya.

d. Pemilihan Karir (vocational)

Menurut Ginzberg (dalam Santrock, 2003) individu akan melewati tiga tahap dalam pemilihan karir antara lain:

1) Tahap Fantasi (Fantasy Period): yakni pada tahun-tahun awal masuk sekolah, dimana pemilihan karir lebih pada hal yang aktif dan menyenangkan serta tidak realistis. Keputusan diambil secara emosional daripada praktis dan berkisar dari anak-anak hingga memasuki usia 11 tahun.

2) Tahap Tentatif (Tentative Period): yakni pada masa remaja memasuki Sekolah Lanjutan (SMA), dimana pemilihan karir sudah disesuaikan dengan keinginan dan kemampuan yang ada dalam dirinya.

3) Tahap Realistik (Realistic Period): yakni pada masa lulus dari Sekolah Lanjutan (SMA), dimana remaja telah merencanakan pendidikan yang dapat menunjang karirnya. Remaja memfokuskan diri pada satu bidang dan akhirnya memilih pekerjaan tertentu dalam karir tersebut (seperti menjadi dokter umum atau ahli bedah dalam karir kedokteran). Dengan kata lain mereka sudah mulai berpikir bidang pekerjaan apa yang mereka

inginkan dan sanggup mereka jalani untuk kehidupan di masa depannya. Pada tahap ini pemikiran berubah dari yang kurang subjektif hingga pilihan karir yang lebih realistis.

Perkembangan karir berhubungan dengan perkembangan identitas dalam masa remaja (Vondracek dalam Santrock 2003). Remaja yang lebih jauh terlibat dalam proses pembentukan identitas lebih sanggup memilih karirnya dan menentukan langkah berikut untuk mencapai tujuan jangka pendek maupun jangka panjang mereka (Raskin dalam Santrock, 2003).

e. Moral dan Agama

Pada aspek moral, remaja mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada disekitarnya. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap pemberontakan remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterimanya (Putri & Hadi, 2008). Oleh karena itu masa remaja disebut sebagai masa pemberontakan, hal ini didukung oleh teori belajar sosial yang menyatakan bahwa remaja merupakan masa mencari identitas diri, atau biasa disebut dengan masa pemberontakan. Pada masa pencarian identitas ini, kebanyakan remaja menghabiskan waktu dengan teman sebayanya dimana mereka dapat merasa lebih bebas, terbuka, bersemangat dan termotivasi.

(9)

Salah satu moral yang penting adalah agama. Agama menawarkan perlindungan dan rasa aman, khususnya bagi remaja yang sedang mencari eksistensi dirinya (Adam dalam Wirawan, 2007). Dalam kaitannya dengan masa remaja sebagai masa mencari identitas diri, remaja berada pada tahap pemikiran operasional formal dimana mereka tidak lagi melihat perwujudan identitas keagamaan dalam tingkah laku individu namun lebih memperhatikan bukti keberadaan keyakinan dan pendirian dalam diri seseorang.

Dimensi-dimensi Identitas Diri

Menurut Erikson (dalam Santrock, 2003) identitas melibatkan tujuh dimensi, antara lain:

a. Genetik

Hal ini bekaitan dengan suatu sifat yang diwariskan oleh orang tua pada anaknya. Orang tua sangat mempengaruhi sifat yang akan dimiliki anaknya di kemudian hari. Sifat inilah yang akan memberikan sesuatu yang berbeda antara individu satu dengan individu lainnya, terutama di dalam menjalankan kehidupannya.

b. Adaptif

Identitas adalah penyesuaian remaja mengenai keterampilan-keterampilan khusus, dan bagaimana remaja tersebut dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Sejauh mana keterampilan

atau kemampuannya tersebut dapat diterima oleh masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya ataukah masyarakat tidak menerima keterampilan yang dimilikinya.

c. Struktural

Hal ini terkait dengan perencanaan masa depan yang telah disusun oleh remaja, atau dengan kata lain remaja telah mempersiapkan kehidupan di masa depannya. Namun bukan berarti tidak ada hambatan dalam menjalankan rencana masa depannya ini. Seringkali apa yang telah direncanakan tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, bisa jadi rencana tersebut mengalami suatu kemunduran (deficit structural) atau bahkan bisa tidak sama sekali terwujud.

d. Dinamis

Proses ini muncul dari identifikasi masa kecil individu dengan orang dewasa yang kemudian dapat membentuk suatu identitas yang baru di masa depannya ataukah sebaliknya, proses identifikasi tersebut tidak berpengaruh pada identitasnya melainkan yang berpengaruh adalah pemberian peran dari masyarakat terhadap remaja. e. Subyekif atau berdasarkan Pengalaman

Individu yang mempunyai pengalaman akan berbeda dengan individu yang sama sekali belum memiliki pengalaman. Hal ini dijelaskan oleh Erikson (dalam Santrock, 2003) bahwa individu yang telah memiliki pengalaman sebelumnya, individu

(10)

tersebut akan merasakan suatu kepastian dalam dirinya. Dengan adanya pengalaman maka akan banyak alternatif yang dapat kita jadikan pedoman untuk melangkah dengan lebih yakin ke arah depan atau semakin banyak pengalaman maka akan semakin timbul antisipasi dalam melakukan berbagai hal yang belum kita ketahui secara pasti konsekuensinya.

f. Timbal balik Psikososial

Erikson (dalam Santrock, 2003) menekankan hubungan timbal balik antara remaja dengan dunia dan masyarakat sosialnya. Perkembangan identitas tidak hanya terbentuk oleh diri kita sendiri melainkan melibatkan hubungan dengan orang lain, komunitas dan masyarakat.

g. Status Eksistensial

Erikson (dalam Santrock, 2003) berpendapat bahwa remaja mencari arti dalam hidupnya sekaligus arti dari hidup secara umum. Dalam hal ini remaja ingin merasakan apa yang dinamakan dengan makna hidup, ingin diakui keberadaanya di dalam masyarakat dengan peran sosial yang dijalankan serta keterampilan yang dimilikinya.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Identitas Diri

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi identitas diri menurut Fuhrman (1990), adalah:

a. Pola Asuh

Pola asuh demokratis dikatakan dapat membantu berkembangnya identitas diri yang lebih optimal, dikarenakan remaja dengan pola asuh demokratis dapat mengembangkan dan mengekspresikan ide-idenya dengan orang tua sebagai pengawas bukan sebagai pengekang kebebasan.

b. Model Identifikasi

Model identifikasi biasanya adalah orang yang sukses dalam hidupnya. Individu memiliki suatu harapan bahwa dengan menjadi seperti model identifikasinya maka dirinya akan meraih sukses yang sama sehingga memotivasi individu untuk melakukan hal-hal yang dilakukan oleh model tersebut.

c. Homogenitas Lingkungan

Individu yang berada pada lingkungan yang homogen cenderung lebih mudah membentuk identitas dirinya dibandingkan dengan yang berada pada lingkungan heterogen. Individu yang berada pada lingkungan heterogen lebih lama menghadapi krisis karena terlalu banyak alternatif yang ada di hadapannya.

d. Perkembangan Kognisi

Menurut Papalia & Olds (2001), perkembangan kognisi masa remaja adalah bilamana individu mampu berpikir secara operasional formal dan lebih sistematis terhadap hal-hal yang abstrak. Dalam tahap ini pola berpikir menjadi lebih fleksibel dan mampu melihat persoalan dari berbagai sudut

(11)

pandang yang berbeda, individu cenderung lebih mempunyai komitmen yang kuat dan konsisten.

e. Sifat Individu

Remaja memiliki sifat ingin tahu dan keinginan untuk eksplorasi yang besar dimana hal ini dapat membantu pencapaian identitas.

f. Pengalaman Masa Kanak-kanak Individu yang di masa kanak-kanak telah berhasil menyelesaikan konflik-konfliknya cenderung lebih mudah menyelesaikan krisis dalam mencapai identitas diri.

g. Pengalaman Kerja

Pengalaman kerja individu dapat menstimuli pembentukan identitas diri. Individu menjadi lebih matang dengan menghadapi permasalahan yang ada di lingkungan kerjanya sehingga individu mengetahui kelebihan atau kekurangan apa yang dimiliki untuk menghadapi permasalahan tersebut.

h. Interaksi Sosial

Weigert (1983) meyatakan bahwa individu akan mendapatkan identitas dirinya setelah melakukan interaksi dengan orang lain. Individu dapat mengatakan segala sesuatu tentang dirinya, lingkungan di sekitarnya akan membantu membentuk identitas dirinya. Individu harus berinteraksi jika ingin menjadi sesuatu.

i. Kelompok Teman Sebaya

Kelompok teman sebaya merupakan kelompok acuan bagi seorang anak untuk mengidentifikasikan dirinya dan

untuk mengikuti standar kelompok. Sejak seorang remaja menjadi bagian dari kelompok teman sebaya tersebut, identitas dirinya mulai terbentuk (Thornburg, 1982).

Papalia & Olds (2001) mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup. Selanjutnya Conger dalam Shanti, 2007) mengatakan bahwa, teman-teman bagi remaja dapat menjadi sumber informasi misalnya mengenai bagaimana cara berpakaian yang menarik, musik atau film apa yang bagus, dan sebagainya. Erikson (dalam Sprinthall & Collins, 1995) mengemukakan bahwa remaja menerima dukungan sosial dari kelompok teman sebaya. Pemberian dukungan sosial dan penyediaan tempat untuk melakukan segala uji coba membuat teman sebaya merupakan bagian yang penting dalam pembentukan identitas diri.

Dukungan Sosial

Pengertian Dukungan Sosial

Sarafino (1994) menggambarkan dukungan sosial sebagai suatu kenyamanan, perhatian, penghargaan ataupun bantuan yang diterima individu dari orang lain maupun kelompok.

Dalam pengertian lain disebutkan bahwa dukungan sosial adalah kehadiran orang lain yang dapat membuat individu

(12)

percaya bahwa dirinya dicintai, diperhatikan dan merupakan bagian dari kelompok sosial, yaitu keluarga, rekan kerja dan teman dekat (Casel dalam Sheridan&Radmacher, 1992).

Siegel (dalam Taylor, 1999) mengemukakan, dukungan sosial sebagai informasi dari orang lain yang menunjukan bahwa ia dicintai dan diperhatikan, memiliki harga diri dan dihargai serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan kewajiban bersama. Hal senada dikemukakan oleh Thoits (dalam Rutter, 1993) yang menyatakan bahwa, dukungan sosial adalah derajat dimana kebutuhan dasar individu akan afeksi, persetujuan, kepemilikan dan keamanan didapat melalui interaksi dengan orang lain.

Dari beberapa pendapat tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial merupakan ketersediaan sumber daya yang memberikan kenyamanan fisik dan psikologis yang didapat melalui interaksi individu dengan orang lain sehingga individu tersebut merasa dicintai, diperhatikan, dihargai dan merupakan bagian dari kelompok sosial.

Bentuk-bentuk Dukungan Sosial

House, dkk (dalam Sarafino, 1994) mengemukakan beberapa bentuk dukungan sosial, antara lain:

a. Dukungan Emosional (Emotional Support)

Dinyatakan dalam bentuk bantuan yang memberikan dorongan untuk memberikan kehangatan dan kasih sayang, memberikan perhatian, percaya

terhadap individu serta pengungkapan simpati.

b. Dukungan Penghargaan (Esteem Support)

House (dalam Smet, 1994) menyatakan bahwa, dukungan penghargaan dapat diberikan melalui penghargaan atau penilaian yang positif kepada individu, dorongan maju dan semangat atau persetujuan mengenai ide atau pendapat individu serta melakukan perbandingan secara positif terhadap orang lain. c. Dukungan Instrumental (Tangible or

Instrumental Support)

Mencakup bantuan langsung, seperti memberikan pinjaman uang atau menolong dengan melakukan suatu pekerjaan guna menyelesaikan tugas-tugas individu.

b. Dukungan Informasi (Informational Support)

Memberikan informasi, nasehat, sugesti ataupun umpan balik mengenai apa yang sebaiknya dilakukan oleh orang lain yang membutuhkan.

c. Dukungan Jaringan Sosial (Network Support)

Jenis dukungan ini diberikan dengan cara membuat kondisi agar seseorang menjadi bagian dari suatu kelompok yang memiliki persamaan minat dan aktivitas sosial. Dukungan jaringan sosial juga disebut sebagai dukungan persahabatan (Companioship Support) yang merupakan suatu interaksi sosial yang positif dengan orang lain, yang memungkinkan individu dapat

(13)

menghabiskan waktu dengan individu lain dalam suatu aktivitas sosial maupun hiburan.

Komponen-komponen Dukungan Sosial Weiss (dalam Cutrona, 1994) mengemukakan adanya enam komponen dukungan sosial yang disebut sebagai “The Social Provision Scale” dimana masing-masing komponen da[at berdiri sendiri, namun satu sama lain saling berhubungan. Adapun komponen tersebut antara lain: a. Instrumental Support

1) Reliable Alliance (Ketergantungan yang dapat diandalkan)

Dalam dukungan sosial ini, individu mendapat jaminan bahwa ada individu lain yang dapat diandalkan bantuannya ketika individu membutuhkan bantuan, bantuan tersebut sifatnya nyata dan langsung. Individu yang menerima bantuan ini akan merasa tenang karena individu menyadari ada individu lain yang dapat diandalkan untuk menolongnya bila individu mengalami masalah dan kesulitan. 2) Guidance (Bimbingan)

Dukungan sosial ini berupa nasehat, saran dan informasi yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan dan mengatasi permasalahan yang dihadapi. Dukungan ini juga dapat berupa

feedback (umpan balik) atas sesuatu yang telah dilakukan individu.

b. Emotional Support

1) Reassurance of Worth

(Pengakuanpositif)

Dukungan sosial ini berbentuk pengakuan atau penghargaan terhadap kemampuan dan kualitas individu. Dukungan ini akan membuat individu merasa dirinya diterima dan dihargai.

2) Emotional Attachment (Kedekatan emosional)

Dukungan sosial ini berupa pengekspresian dari kasih sayang, cinta, perhatian dan kepercayaan yang diterima individu, yang dapat memberikan rasa aman kepada individu yang menerima.

3) Social Integration ( Integrasi sosial)

Dukungan sosial ini memungkinkan individu untuk memperoleh perasaan memiliki suatu kelompok yang memungkinkannya untuk membagi minat, perhatian serta melakukan kegiatan secara bersama-sama. Dukungan semacam ini memungkinkan individu mendapatkan rasa aman, nyaman serta merasa memiliki dan dimiliki dalam kelompok yang memiliki persamaan minat.

4) Opportunity to Provide Nurturance

(Kesempatan untuk mengasuh) Suatu aspek penting dalam hubungan interpersonal adalah perasaan dibutuhkan oleh orang

(14)

lain. Dukungan sosial ini memungkinkan individu untuk memperoleh perasaan bahwa orang lain tergantung padanya untuk memperoleh kesejahteraan.

Sumber Dukungan Sosial

Goetlieb (1983) menyatakan ada dua macam hubungan dukungan sosial, yaitu hubungan

professional yakni bersumber dari orang-orang yang ahli di bidangnya, seperti konselor, psikiater, psikolog, dokter maupun pengacara, serta hubungan non professional, yakni bersumber dari orang-orang terdekat seperti teman, keluarga maupun relasi.

Faktor-faktor terbentuknya Dukungan Sosial

Myers (dalam Hobfoll, 1986) mengemukakan bahwa sedikitnya ada tiga faktor penting yang mendorong seseorang untuk memberikan dukungan yang positif, diantaranya:

a. Empati, yaitu turut merasakan kesusahan orang lain dengan tujuan mengantisipasi emosi dan memotivasi tingkah laku untuk mengurangi kesusahan dan meningkatkan kesejahteraan orang lain.

b. Norma dan nilai sosial, yang berguna untuk membimbing individu untuk menjalankan kewajiban dalam kehidupan.

c. Pertukaran sosial, yaitu hubungan timbal balik perilaku sosial antara cinta, pelayanan, informasi. Keseimbangan dalam pertukaran akan menghasilkan

hubungan interpersonal yang memuaskan. Pengalaman akan pertukaran secara timbal balik ini membuat individu lebih percaya bahwa orang lain akan menyediakan bantuan.

Dukungan Sosial Teman Sebaya

Masa remaja merupakan masa penyesuaian yang lebih dikenal dengan masa strom and stress, masa penuh gejolak yang selalu ingin mencari identitas diri, ingin selalu merasa diakui dan dihargai oleh orang lain dalam kelompoknya (Yusnita, 2004). Selanjutnya Yusnita (2004) juga mengatakan bahwa, di masa pencarian identitas ini remaja seringkali dihadapkan pada berbagai masalah menyangkut pilihan-pilihan penting yang akan menentukan kehidupannya di masa yang akan datang. Purnama (1998) membenarkan hal tersebut dengan mengatakan bahwa, di masa ini remaja akan menghadapi berbagai macam persoalan yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri tanpa adanya bimbingan dan dukungan dari orang-orang terdekatnya, dalam hal ini teman sebayanya. Erikson (dalam Sprinthall & Collins, 1995) mengemukakan bahwa remaja menerima dukungan sosial dari kelompok teman sebaya. Oleh karena itu, remaja berusaha menggabungkan diri dengan teman-teman sebayanya.

Hal ini dilakukan remaja dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan dan dukungan dari kelompok teman sebayanya. Melalui berkumpul dengan teman sebaya yang memiliki

(15)

kesamaan dalam berbagai hal tertentu, remaja dapat mengubah kebiasan-kebiasan hidupnya dan dapat mencoba berbagai hal yang baru serta saling mendukung satu sama lain (Cairns & Neckerman, 1988). Hal senada dikemukakan oleh Tarakanita (2001) yang mengatakan bahwa, teman sebaya selain merupakan sumber referensi bagi remaja mengenai berbagai macam hal, juga dapat memberikan kesempatan bagi remaja untuk mengambil peran dan tanggung jawab yang baru melalui pemberian dorongan (dukungan sosial).

Dukungan sosial yang bersumber dari teman sebaya dapat memberikan informasi terkait dengan hal apa yang harus dilakukan remaja dalam upaya membentuk identitas dirinya., selain itu dapat pula memberikan timbal balik atas apa yang remaja lakukan dalam dalam kelompok dan lingkungan sosialnya serta memberikan kesempatan bagi remaja untuk menguji coba berbagai macam peran dalam menyelesaikan krisis guna membentuk identitas diri yang optimal. Junir (dalam Cremers, 1989) menyatakan bahwa, identitas diri akan timbul setelah krisis diselesaikan dan diakhiri dengan baik.

Oleh karena itu, terlihat jelas bahwa dukungan sosial dari teman sebaya dapat memberikan pengaruh terhadap pembentukan identitas diri pada remaja. Hal ini sesuai dengan pendapat Sullivan (dalam Manan, 1993) dan Johnson & Johnson (dalam Elleny, 2007) teman sebaya bagi remaja mempunyai arti psikologis yang penting, karena selain sebagai wadah diskusi

teman sebaya juga dapat merupakan sumber dukungan sosial yang penting bagi proses pembentukan identitas diri remaja. Pernyataan ini juga dipertegas oleh Erikson (dalam Sprinthall & Collins, 1995) yang mengatakan bahwa, pemberian dukungan sosial dan penyediaan tempat untuk melakukan segala uji coba membuat teman sebaya merupakan bagian yang penting dalam pembentukan identitas diri remaja.

Remaja

Pengertian Remaja

Menurut Papalia & Olds (2001), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.

Sprinthall & Collins (1995) memberikan definisi tentang remaja sebagai transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang terjadi secara bertahap, penuh dengan ketidakpastian dan berbeda antara individu yang satu dengan yang lainnya.

Ali & Asrori (dalam Monks dkk, 2007) mengungkapkan bahwa Remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Mereka sudah tidak termasuk golongan anak-anak tetapi belum juga di terima secara penuh untuk masuk ke golongan orang dewasa. Remaja ada diantara anak- anak dan orang dewasa. Oleh karena itu remaja sering kali di kenal dengan fase “mencari identitas diri” atau fase “topan dan badai”. Remaja masih belum mampu

(16)

menguasai dan memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya”.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa secara bertahap, yang dimulai pada usia 12 tahun dan berakhir pada usia awal dua puluhan tahun dan pada masa ini penuh dengan ketidakpastian yang berbeda antara individu satu dengan yang lainnya karena pada masa ini individu mulai mencari identitas dirinya.

Ciri-ciri Remaja

Beberapa ciri-ciri khusus remaja menurut Dwimukti (2007) adalah:

a. Perubahan Peranan

Perubahan dari masa anak ke masa remaja membawa perubahan pada diri seorang individu. Kalau pada masa anak ia berperan sebagai seorang individu yang bertingkah laku dan bereaksi yang cenderung selalu bergantung dan dilindungi, maka pada masa remaja ia diharapkan untuk mampu berdiri sendiri dan ia pun berkeinginan mandiri. Akan tetapi sebenarnya ia masih membutuhkan perlindungan dan tempat bergantung dari orang tuanya dalam hal tertentu.

b. Daya Fantasi yang Berlebihan

Keterbatasan kemampuan yang ada pada diri remaja menyebabkan ia tidak selalu mampu untuk memenuhi berbagai macam dorongan kebutuhan dirinya. Hal ini mendorong remaja untuk berpikir secara egosentris. Egosentrisme remaja menggambarkan

meningkatnya kesadaran diri remaja yang terwujud pada keyakinan mereka bahwa orang lain memiliki perhatian sangat besar terhadap diri dan keunikan mereka (Santrock, 2003).

c. Ikatan Kelompok yang Kuat (Konformitas)

Konformitas muncul ketika individu meniru sikap orang lain dikarenakan adanya tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan oleh mereka (Santrock, 2003). Konformitas terhadap tekanan teman sebaya pada remaja dapat berbentuk positif seperti misalnya berpakaian seperti teman-temannya dan ikut bersama teman-temannya dalam suatu aktifitas sosial atau bahkan berbentuk negatif seperti misalnya perilaku merokok remaja dengan alasan agar mereka diakui di dalam kelompoknya (Camarena dkk dalam Santrock, 2003).

d. Krisis Identitas

Krisis identitas merujuk pada saat masa remaja ketika individu terlibat secara aktif dalam pemilihan alternatif pekerjaan atau kepercayaan (Erikson dalam Alfian & Suminar. Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Marcia (dalam Alfian & Suminar, 2003) di dalam kriteria pencapaian identitas, diantaranya identity achievement yakni individu yang telah mengalami krisis pribadi tetapi telah diselesaikan menurut pola pikirnya sendiri dengan membuat komitmen pribadi, moratorium yakni terlihat pada individu

(17)

yang sedang berupaya aktif menemukan identitasnya namun belum membuat suatu komitmen atau paling tidak hanya membuat beberapa komitmen yang sifatnya sementara, foreclosure yakni individu yang belum mengalami krisis identitas tetapi sudah ada komitmen serta identity-diffussion yakni individu yang belum mengalami suatu krisis identitas dan belum pula ada suatu komitmen terhadap suatu bentuk kepecayaan.

Hubungan Antara Dukungan Sosial Teman Sebaya Dengan Identitas Diri Pada Remaja

Masa remaja merupakan masa yang penuh dengan kegoncangan dan kebimbangan serta ketidakstabilan di dalam dirinya (Purnama, 1998). Pada masa ini remaja mengalami perubahan drastis, baik dalam fisik, psikis maupun sosial. Purnama (1998) juga mengatakan bahwa, di masa ini remaja akan menghadapi berbagai macam persoalan yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri tanpa adanya bimbingan dan dukungan dari orang-orang terdekatnya. Oleh karena itu, remaja berusaha menggabungkan diri dengan teman-teman sebayanya.

Hal ini dilakukan remaja dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan dan dukungan dari kelompok teman sebayanya sehingga akan tercipta rasa aman, terutama ketika remaja dihadapkan pada suatu masalah. Beberapa studi telah memperlihatkan bahwa dukungan sosial

teman sebaya memiliki pengaruh penting terhadap pembentukan identitas diri remaja. Kelompok teman sebaya merupakan lingkungan sosial pertama dimana remaja belajar untuk hidup bersama dengan orang lain yang bukan angota keluarganya (Mu'tadin, 2002).

Hal tersebut senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Al-Mighwar (2006), bahwa kelompok teman sebaya memberikan dunia tempat remaja muda bisa melakukan sosialisasi dalam suasana dimana nilai-nilai yang berlaku adalah nilai-nilai yang ditentukan oleh teman-teman seusianya. Keberadaan teman sebaya dalam kehidupan remaja merupakan keharusan, untuk itu seorang remaja harus mendapatkan penerimaan yang baik untuk memperoleh dukungan sosial dari kelompok teman sebayanya.

Dukungan sosial yang didapatkan remaja dari teman sebayanya dapat dapat memberikan informasi terkait dengan hal apa yang harus dilakukan remaja dalam upaya membentuk identitas dirinya, selain itu dapat pula memberikan timbal balik atas apa yang remaja lakukan dalam dalam kelompok dan lingkungan sosialnya serta memberikan kesempatan bagi remaja untuk menguji coba berbagai macam peran dalam menyelesaikan krisis guna membentuk identitas diri yang optimal. Thoits (dalam Rutter, 1993) menyatakan bahwa, dukungan sosial adalah derajat dimana kebutuhan dasar individu akan afeksi, persetujuan, kepemilikan dan keamanan didapat melalui interaksi dengan orang lain. Menurut Weiss

(18)

(dalam Cutrona dkk, 1994), dukungan sosial memiliki berberapa komponen salah satunya adalah Reliable alliance (ketergantungan yang dapat diandalkan). Dalam dukungan sosial ini, individu mendapat jaminan bahwa ada individu lain yang dapat diandalkan bantuannya ketika individu membutuhkan bantuan, bantuan tersebut sifatnya nyata dan langsung, misalnya ketika remaja sedang kesulitan dalam mengerjakan tugas sekolah yang rumit, maka remaja dapat bertanya pada temannya yang lebih mengerti dan temannya tersebut bersedia memberikan penjelasan mengenai materi pelajaran yang sulit tersebut. Sehingga remaja dapat menyelesaikan tugas sekolah yang rumit tersebut atas bantuan dari temannya.

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh House, dkk (dalam Sarafino, 1994) dukungan sosial memiliki beberapa bentuk, salah satunya adalah dukungan emosional. Fungsi dari dukungan emosional adalah, misalnya ketika seorang teman sedang mengalami kesedihan, kita siap menjadi tempat untuk bisa menceritakan dan mengurangi kesedihannya tersebut dengan cara menghiburnya. Dengan begitu, teman yang mengalami kesedihan tersebut akan merasa bahwa jika remaja mengalami kesedihan, temannyalah yang dapat menghilangkan kesedihannya. Secara perlahan kondisi ini akan menimbulkan kedekatan interaksi yang akan menimbulkan saling percaya di antara remaja dan kelompoknya.

Faktor-faktor terbentuknya dukungan sosial menurut Myers (dalam Hobfoll, 1986)

adalah empati, norma & nilai sosial dan pertukaran sosial. Empati merupakan faktor utama dalam mempengaruhi pemberian dukungan sosial. Misalnya, ketika kita memiliki seorang teman yang baru saja ditinggal pergi oleh orang tuanya, ketika remaja bercerita dan mengeluh tentang kesedihan yang dirasakannya, kita seolah-olah merasakan juga kesedihan yang teman kita rasakan. Hal tersebut dinamakan dengan empati, dimana kita dapat memberikan dukungan sosial agar kesedihan yang dirasakan tidak berlarut-larut. Dengan demikian terlihat jelas bahwa teman sebaya dapat memberikan dukungan sosial bagi diri remaja.

Dukungan sosial teman sebaya merupakan ketersediaan teman sebaya sebagai sumber daya yang memberikan kenyamanan fisik dan psikologis yang didapat melalui interaksi remaja dengan teman sebaya sehingga remaja tersebut merasa dicintai, diperhatikan, dihargai dan merupakan bagian dari kelompok sosial. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Achir (dalam Manan, 1993) bahwa, remaja seolah-olah mendapat kekuatan apabila remaja berada di dalam suatu kelompok seusianya karena memperoleh dukungan sosial dari teman sebayanya. Manan (1993) juga mengatakan bahwa, remaja akan merasa menjadi lebih berarti ketika remaja mendapatkan dukungan sosial dari teman-teman dalam kelompoknya. Manan (1993) melanjutkan bahwa, dengan dukungan yang remaja terima dari teman sebayanya, remaja akan merasa bahwa

(19)

keberadaan dan kemampuan dirinya diakui. Oleh karena itu, remaja menjadi tahu siapa dan apa dirinya melalui dukungan yang ia peroleh dari teman sebayanya, sehingga dukungan sosial yang diterima oleh remaja dari teman sebayanya itu akan membawa pengaruh pada pembentukan identitas dirinya.

Pembentukan identitas diri merupakan tugas perkembangan utama individu ketika memasuki usia remaja. Zanden (1990) mengatakan bahwa identitas diri adalah kesadaran individu untuk menempatkan diri dan memberikan arti pada dirinya dengan tepat di dalam konteks kehidupan. Kesadaran manusia tersebut memiliki kesamaan dengan penilaian orang lain tentang siapa individu tersebut, dimana tempat individu tersebut saat ini dan disaat yang akan datang serta apa peran individu tersebut di dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut Josselson (dalam Desmita, 2005) proses pembentukan identitas dinamakan dengan individuasi, salah satu tahapannya yaitu differensiasi. Differensiasi yakni ketika remaja menyadari perbedaan secara psikologis dengan orang tuanya. Kesadaran ini sering membuatnya mempertanyakan dan menolak nilai-nilai dan nasehat-nasehat orang tuanya, sekalipun nilai-nilai dan nasehat tersebut masuk akal. Remaja meyakini kalau orang tua tidak dapat merasakan apa yang ia alami karena pemikiran orang tua yang berbeda dengan pemikiran mereka dikarenakan perbedaan usia dan pandangan. Remaja meyakini yang dapat melakukan hal itu adalah teman

sebayanya karena mereka memiliki persamaan usia, cara berpikir dan pandangan yang sama dalam berbagai hal (Santrock, 2003).

Rogow dkk (dalam Rice, 1996) mengungkapakan beberapa komponen yang mempengaruhi identitas diri remaja, salah satunya adalah sosial dan moral. Pada komponen sosial, untuk mencapai kedewasaan remaja melibatkan diri dalam suatu organisasi sosial. Di dalam organisasi sosial tersebut remaja bersama teman-temannya dapat saling bertukar informasi, memberikan perhatian dan saling memberikan dukungan sosial satu sama lain. Komponen sosial ini juga terkait dengan dengan komponen social integration

(integrasi sosial) dari dukungan sosial, yakni dengan adanya remaja dalam suatu organisasi sosial maka remaja akan memperoleh perasaan memiliki dan dimiliki dalam kelompok yang memiliki persamaan minat. Selanjutnya, pada komponen moral remaja mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara apa yang ditanamkan oleh orang tua mereka dengan kenyataan yang ada disekitarnya. Oleh karena itu intensitas ketergantungan remaja dengan orang tua semakin berkurang dan remaja lebih mendekatkan diri dengan teman sebayanya. Bersama dengan teman sebayanya remaja menghabiskan waktu dengan melakukan berbagai kegiatan dimana mereka dapat merasa lebih bebas, terbuka, bersemangat dan termotivasi. Komponen moral juga terkait dengan komponen guidance (bimbingan) dari

(20)

dukungan sosial, yakni dari kelompok teman sebaya, remaja dapat memperoleh nasehat, saran dan informasi yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan guna mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam upaya pembantukan identitas diri remaja.

Menurut Erikson (dalam Santrock, 2003) identitas melibatkan tujuh dimensi, salah satunya adalah adaptif, yakni sejauh mana keterampilan atau kemampuannya tersebut dapat diterima oleh masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Hal ini terkait pula dengan komponen reassurance of worth (pengakuan positif), yaitu adanya pengakuan atau penghargaan terhadap kemampuan dan kualitas individu. Dukungan ini akan membuat remaja merasa dirinya diterima dan dihargai, misalnya remaja yang memiliki prestasi yang baik di sekolah, maka teman-temannya memberikan pujian atas prestasi yang diperolehnya. Fuhrman (1990) mengatakan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi identitas diri remaja salah satunya adalah kelompok teman sebaya. Teman sebaya juga termasuk sumber dukungan sosial yang bersumber dari hubungan non professional (Goetlieb, 1983). Teman sebaya dianggap lebih mudah memberikan pengertian, penampungan dan dukungan bagi masalah-masalah pribadinya. Dari teman sebaya remaja sering merasa mendapat dukungan sosial karena perasaan senasib, oleh karena itulah pada umumnya teman sebaya mendapat perhatian dan prioritas utama lebih dari perhatian dan prioritas bagi keluarga (Achir dalam Manan, 1993).

Melihat kondisi di atas, terlihat jelas bahwa dukungan sosial dari teman sebaya dapat memberikan pengaruh terhadap pembentukan identitas diri pada remaja. Hal ini sesuai dengan pendapat Sullivan (dalam Manan, 1993) dan Johnson & Johnson (dalam Elleny, 2007) teman sebaya bagi remaja mempunyai arti psikologis yang penting, karena selain sebagai wadah diskusi teman sebaya juga dapat merupakan sumber dukungan sosial yang penting bagi proses pembentukan identitas diri remaja.

Pemberian dukungan sosial dan penyediaan tempat untuk melakukan segala uji coba membuat teman sebaya merupakan bagian yang penting dalam pembentukan identitas diri remaja. Keakraban dengan cara membagi pikiran dan perasaan dapat mempengaruhi identitas diri pada diri individu menjadi tahu siapa, apa dan dimana tempat dirinya (Erikson dalam Papalia & Olds, 1987).

Hipotesis

Berdasarkan beberapa uraian dari teori-teori di atas, maka hipotesis yang penulis ajukan adalah adanya hubungan antara dukungan sosial teman sebaya dengan identitas diri pada remaja di SMA Pusaka 1 Jakarta.

METODOLOGI PENELITIAN

Pada penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah kuantitatif berupa uji hubungan (korelasi). Untuk mengukur variabel dukungan sosial dan identitas diri digunakan kuesioner berbentuk skala Likert yang disusun berdasarkan masing-masing

(21)

komponennya. Adapun teknik yang digunakan untuk menganalisis data adalah Teknik Korelasi Product Moment dari Karl Pearson.

Subjek penelitian ini adalah siswa-siwi kelas X1, X2, X3 dan kelas XI IPA sebanyak 150 respondent yang diolah menggunakan teknik Proportional Random Sampling

. Jumlah sampel tersebut diperoleh

dari perhitungan menggunakan rumus Slovin serta dipilih secara acak melalui undian.

HASIL PENELITIAN Uji Validitas dan Reliabilitas

Jumlah item untuk angket skala Dukungan Sosial ada 60 item dan hasil analisis menunjukkan 56 Item valid dan 4 item gugur. Korelasi skor item dengan skor total item yang valid antara 0.318 – 0.644. Adapun jumlah item untuk angket skala Identitas Diri ada 60 item dan hasil analisis menunjukkan 54 Item valid dan 6 item gugur. Korelasi skor item dengan skor total item

Uji realiabitas pada penelitian ini dilakukan dengan teknik Alpha Cronbach dan diperoleh angka koefisien reliabilitas 0,932 pada skala Dukungan Sosial, sedangkan pada skala identitas dir sebesar 0,930. Pengujian reliabilitas ini dilakukan dengan program SPSS versi 13,0 for windows.

Korelasi antara dukungan sosial teman sebaya dengan identitas diri

Berdasarkan hasil analisis data dapat dilihat ada hubungan yang sangat signifikan antara dukungan sosial teman sebaya dengan identitas diri pada remaja di SMA Pusaka 1 Jakarta, karena koefisien korelasi adalah 0,565 dengan tingkat signifikasi sebesar 0.000 (P < 0,01) sehingga dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial teman sebaya dengan identitas diri remaja di SMA Pusaka 1 Jakarta

Uji Asumsi Uji normalitas

Dukungan Sosial Teman Sebaya memiliki nilai signifikansi pada Kolmogorov Smirnov

sebesar 0,200 (p > 0,05) dan variabel Identitas Diri sebesar 0,200 (p > 0,05). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa distribusi skor Dukungan Sosial Teman Sebaya dan distribusi skor Identitas Diri pada sampel yang diambil adalah normal.

Uji linearitas

Dari hasil uji linearitas diperoleh nilai F sebesar 69.553 dengan signifikansi sebesar 0.000 (P < 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara dukungan sosial teman sebaya dengan identitas diri linear.

Deskripsi data

1) Dukungan Sosial Teman Sebaya

1. Jumlah item valid = 56

2. Rentang Min = 1 x 56 = 56 3. Rentang Max = 4 x 56 = 224 4. Jarak Sebaran = 224 – 56 = 168 5. Standar Deviasi = 168 / 6 = 28

(22)

6. Mean Hipotetik = 56 x 2,5 = 140 Dibawah ini adalah pengkategorian Dukungan sosial Teman Sebaya

ME < MH – 2SD = < 84 : Sangat Rendah MH – 2SD < ME < MH – SD = 84 – 112 : Rendah MH – SD < ME < MH + SD = 112 – 168 : Rata-rata MH + SD < ME < MH + 2SD = 168 – 196 : Tinggi ME > MH + 2SD = > 196 : Sangat Tinggi

Bagan Perbandingan Mean Empirik dan Mean Hipotetik Skala Dukungan Sosial

Berdasarkan kurva distribusi normal diatas diketahui bahwa Dukungan Sosial Teman Sebaya yang diterimapada subjek penelitian berada pada taraf tinggi.

2) Identitas Diri

1. Jumlah item valid = 54

2. Rentang Min = 1 x 54 =54 3. Rentang Max = 4 x 54 =216 4. Jarak Sebaran = 216 – 54 =162 5. Standar Deviasi = 162 / 6 = 27 6. Mean Hipotetik = 54 x 2,5 = 135 Dibawah ini adalah pengkategorian Dukungan sosial Teman Sebaya

ME < MH – 2SD = < 81: Sangat Rendah MH – 2SD < ME < MH – SD = 81 – 108: Rendah MH – SD < ME < MH + SD = 108 – 162: Rata-rata MH + SD < ME < MH + 2SD = 162 – 189: Tinggi ME > MH + 2SD = > 189 : Sangat Tinggi

Bagan Perbandingan Mean Empirik dan Mean Hipotetik Skala Identitas Diri

Berdasarkan kurva distribusi normal diatas diketahui bahwa Identitas Diri pada subjek penelitian berada pada taraf tinggi.

PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial teman sebaya dengan identitas diri pada remaja. Berdasarkan hasil uji hipotesis atau uji hubungan diketahui bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara dukungan sosial teman sebaya dengan identitas diri pada remaja di SMA Pusaka 1 Jakarta.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa hipotesis diterima, hal ini berarti terdapat hubungan yang sangat

(23)

signifikan antara dukungan sosial teman sebaya dengan identitas diri pada remaja. Arah hubungan adalah positif yakni semakin tinggi dukungan sosial teman sebaya yang diterima atau dirasakan maka akan semakin optimal pembentukan identitas dirinya, begitu pula sebaliknya apabila tingkat dukungan sosial teman sebaya rendah maka pembentukan identitas dirinya akan menjadi kurang optimal. Hal ini dikarenakan dengan adanya dukungan sosial yang bersumber dari teman sebaya dapat memberikan informasi terkait dengan hal apa yang harus dilakukan remaja dalam upaya membentuk identitas dirinya, selain itu dapat pula memberikan timbal balik atas apa yang remaja lakukan dalam dalam kelompok dan lingkungan sosialnya serta memberikan kesempatan bagi remaja untuk menguji coba berbagai macam peran dalam menyelesaikan krisis guna membentuk identitas diri yang optimal. Junir (dalam Cremers, 1989) menyatakan bahwa, identitas diri akan timbul setelah krisis diselesaikan dan diakhiri dengan baik. Selanjutnya Junir (dalam Cremers, 1989) juga mengatakan bahwa, identitas diri yang optimal dapat menimbulkan kesadaran dan keyakinan akan kepastian jalan yang ditempuh dan keyakinan tentang pengakuan dari orang lain. Sedangkan remaja yang kurang merasakan adanya dukungan sosial dari teman sebayanya akan lebih sedikit informasi yang diperoleh oleh remaja, tidak dapat memperoleh timbal balik dari kelompok dan lingkungan sosialnya, serta memiliki sedikit kesempatan untuk menguji

coba berbagai peran yang ada di hadapannya sehingga akan kesulitan mengatasi krisis identitas. Apabila krisis gagal diatasi dan diakhiri dengan baik maka selama masa dewasanya remaja tersebut akan mengalami kekaburan tentang peranan dirinya dalam masyarakat, sehingga pada akhirnya remaja tersebut tidak mengetahui akan menjadi apa dirinya kelak dan siapakah dirinya dalam pengamatan orang lain (Erikson dalam Cremers, 1989).

Kelompok teman sebaya merupakan dunia nyata remaja yang menyiapkan tempat remaja menguji dirinya sendiri dan orang lain. Kelompok teman sebaya memberikan kesempatan remaja untuk melakukan sosialisasi dalam suasana dimana nilai-nilai yang berlaku adalah nilai-nilai yang ditentukan oleh teman-teman seusianya. Keberadaan teman sebaya dalam kehidupan remaja merupakan keharusan, untuk itu seorang remaja harus mendapatkan penerimaan yang baik untuk memperoleh dukungan sosial dari kelompok teman sebayanya.

Seperti halnya yang diungkapkan oleh Hilman (2002) yang menjelaskan bahwa, dukungan sosial dari teman sebaya membuat remaja merasa memiliki teman senasib, teman untuk berbagi minat yang sama, dapat melaksanakan kegiatan kreatif sifatnya, saling menguatkan bahwa mereka dapat berubah ke arah yang lebih baik dan memungkinkan remaja memperoleh rasa nyaman, aman serta rasa memiliki identitas diri. Pemberian dukungan sosial dan penyediaan tempat untuk melakukan segala

(24)

uji coba membuat teman sebaya merupakan bagian yang penting dalam pembentukan identitas diri remaja. Manan (1993) megatakan bahwa, dukungan sosial yang diterima remaja dari teman sebayanya akan membuat remaja merasa bahwa keberadaan dan kemampuan dirinya diakui. Keakraban dengan cara membagi pikiran dan perasaan dapat mempengaruhi identitas diri pada diri individu menjadi tahu siapa, apa dan dimana tempat dirinya (Erikson dalam Papalia & Olds, 1987). Oleh karena itu, terlihat jelas bahwa dukungan sosial dari teman sebaya dapat memberikan pengaruh terhadap pembentukan identitas diri remaja.

Berdasarkan hasil perhitungan dan kurva distribusi normal dapat diketahui bahwa dukungan sosial teman sebaya dan identitas diri pada subjek penelitian berada pada taraf tinggi. Hal ini kemungkinan dikarenakan oleh subjek penelitian yang berada pada kelas X dan XI tersebut mampu menjalin hubungan akrab bersama teman sebayanya melalui suatu perkumpulan, organisasi atau ekstra kulikuler yang disediakan oleh sekolah tempat berlangsungnya penelitian ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Hilman (2002) bahwa, dukungan teman sebaya biasanya terjadi dalam interaksi sehari-hari remaja, misalnya melalui hubungan akrab yang dijalin remaja bersama teman sebayanya melalui suatu perkumpulan di kehidupan sosialnya, salah satunya ialah lingkungan sekolah. Sekolah menyediakan berbagai macam sarana agar para siswanya mampu berinteraksi lebih dekat, seperti

adanya ekstra kulikuler dan organisasi sosial (Pudjijogyanti, 1988). Di dalam organisasi sosial tersebut remaja bersama teman-temannya dapat saling bertukar informasi, seperti memberikan informasi mengenai bagaimana menjaga penampilan agar tetap menarik atau informasi mengenai gaya berpakaian yang sedang popular saat ini, selain itu dapat memberikan perhatian, seperti ketika ada teman yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan administrasi sekolah maka teman sebaya dapat membantu memberikan pinjaman dalam bentuk materi serta dapat saling memberikan dukungan sosial satu sama lain, seperti selalu memberikan persetujuan terhadap apapun yang akan dilakukan oleh teman sebayanya atau pengakuan terhadap kemampuan yang dimiliki teman sebayanya yang pada akhirnya dapat membantu dalam proses pembentukan identitas diri remaja.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa hipotesis dalam penelitian ini diterima, hal ini berarti terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara dukungan sosial teman sebaya dengan identitas diri pada remaja di SMA Pusaka 1 Jakarta.

Saran

Saran untuk subjek penelitian

Pada masa pencarian identitas diri ini remaja akan mengalami kebimbangan dalam menentukan pilihan mana yang akan dijadikan tujuan hidupnya di masa yang

(25)

akan datang. Pada masa ini pula ikatan remaja dengan orang tua semakin berkurang dan semakin mendekatkan diri pada teman sebayanya. Oleh karena itu dukungan yang diperoleh remaja dari teman sebayanya dapat memberikan informasi terkait dengan hal apa yang harus dilakukan remaja dalam upaya membentuk identitas dirinya., selain itu dapat pula memberikan timbal balik atas apa yang remaja lakukan dalam dalam kelompok dan lingkungan sosialnya serta memberikan kesempatan bagi remaja untuk menguji coba berbagai macam peran dalam menyelesaikan krisis guna membentuk identitas diri yang optimal. Sehingga disarankan kepada subjek penelitian untuk lebih mengakrabkan diri dan mempererat intensitas pertemanan, karena dengan pengakrabkan diri bersama dengan teman sebaya, remaja dapat memperoleh dukungan sosial guna pencapaian identitas diri.

Saran untuk pihak sekolah

Bagi pihak sekolah disarankan dapat memperbanyak sarana interaksi antar siswanya selain ekstrakulikuler, misalnya dengan membuat organisasi Lingkar Siswa Sekolah. Hal ini sangat diperlukan karena melalui organisasi sosial remaja bersama teman-temannya dapat saling bertukar informasi, memberikan perhatian dan saling memberikan dukungan sosial satu sama lain yang pada akhirnya dapat membantu dalam proses pembentukan identitas diri remaja.

Saran untuk penelitian lebih lanjut Bagi penelitian selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian dengan subjek yang bukan hanya berasal dari tingkat SMA dan kelas X dan XI saja, tetapi peserta didik dari tingkat SMP dan SMA kelas XII, sehingga hasil penelitian dapat digeneralisasikan pada populasi yang lebih luas dan diperoleh hasil penelitian yang lebih beragam dan komprehensif.

(26)

DAFTAR PUSTAKA

Agustiani, H & Suminar. (2002). Perkembangan remaja menurut pendekatan ekologi serta hubungannya dengan konsep diri pada remaja. Dalam Jurnal Psikologi Perkembangan, 9, 1. 13-21.

Alfian, I. N. & Suminar (2003). Perbedaan tingkat kebermakanaan hidup remaja akhir pada berbagai status identitas ego dengan jenis kelamin sebagai kovariabel. Dalam

Jurnal Perkembangan : Insan media, 5, 2, 87-109.

Arendra. (2007). Remaja. Diperoleh dari http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/ remaja.html

Al-Mighwar. (2006). Psikologi remaja. Bandung : Pustaka Setia.

Azwar, S. (1997). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Cairns, R.B, & Neckerman. (1988). Social network and aggressive behavior : peer support or peer rejection?. Developmental Psychology Journal, 24, 6, 815-823.

Cremers, A. (1989). Bunga rampai :Identitas dan siklus hidup manusia. Jakarta : PT. Gramedia.

Cutrona, C. E, et. Al. (1994). Peceived parental social support and academic achievement : an attachment theory perspective. Journal of Personality and Social Psychology. 66, 2, 369-378.

Desmita. (2005). Psikologi perkembangan. Bandung : Rosda.

Dimmateo, M. R. (1991). The psychology of health, illness and medical care: an individual perspective. California : Pasific Grove.

Dimatteo, M. R. (2004). Social support and patient adherence to medical treatment : a meta analysis. Health Psychology Journal, 23, 2, 207-218.

Dirgagunarsa, Y. S. (1989). Mengenal msa remaja. Anima, 02, 11 . 10-21.

Dwimukti, Y. (2007). Kasus penyalahgunaan narkoba khususnya pada remaja. Diperoleh dari

http://www.wikimu.com/News/DisplayNew sSekolah.aspx?id=5309.

Elleny. (2007). Dukungan sosial dan harga diri. Diperoleh dari http://www.skripsi- tesis.com/07/02/dukungansosial-dan-harga-diri-pada pembantu-rumah-tangga-di-yogyakarta-pdf-doc.htm.

Fuhrman, B. S. (1990). Adolescence, adolescents

2nd edition. Illinois : Scott, Foresman & Company.

Gardner, J. E. (1992). Memahami gejolak masa remaja. Jakarta : Mitra Utama.

Goetlieb, B. H. (1983). Social support and

strategies. California : Sage Publication, inc.

Gunarsa, S, D. & Gunarsa, Y. S. (2000).

Psikologi remaja. Jakarta : BPK Gunung Mulia.

Hadi, S. (2000). Statistik 2. Yogyakarta : Andi Offset.

Hilman. (2002). Kemandirian remaja yang tinggal dip anti asuhan ditinjau dari persepsi pelayanan sosial dan dukungan sosial. Tesis. Universitas Gadjah Mada.

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian kuasa menjual yang mengikuti suatu perjanjian utang piutang sudah sering dilakukan dalam praktik perbankan dimana pada saat debitor menandatangani

Berdasarkan penelitian tindakan kelas yang dilakukan, hasil penelitian menyimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran Direct Instruction dengan media peta konsep

Pedoman Penyusunan Tugas Akhir Skripsi (TAS) ini disusun sebagai panduan untuk membantu dalam menyusun pra proposal, proposal, dan laporan akhir penelitian TAS bagi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui spesies tumbuhan paku yang berada di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat yang dilakukan pada tanggal 3 -

 Pneumonia adalah suatu inflamasi pada parynchema paru, pada umumnya pneumonia pada masa anak digambarkan sebagai broncho pneumonia, yang mana

Respon output sistem saat dalam keadaan beban minimum, nominal maupun maksimum telah dibahas pada bab sebelumnya, dimana saat terjadi pembebanan pada generator maka

 Maka Muncul Tampilan menu baru Pilih Options.  Kemudian Pilih

Pada kasus anak autis yang memasuki masa puber, orang tua dituntut untuk dapat menciptakan komunikasi yang baik agar dapat membantu perkembangan sang anak dalam