i
KATA PENGANTAR
Modul Penanganan Residu dari WtE ini disusun untuk pegangan bagi setiap peserta pelatihan sebagai materi pendukung agar peserta dapat mengevaluasi pemahamannya terhadap materi yang diajarkan di kelas. Modul ini menggambarkan pengelolaan residu berbagai macam teknologi WtE.Modul Penanganan Residu dari WtE ini bertujuan agar peserta pelatihan mampu memahami prinsip, mengidentifikasi, dan memilih teknologi Waste to
Energy untuk pengolahan sampah dengan mempertimbangkan aspek teknis dan
non-teknis. Modul ini merupakan Modul ke-12 dari 14 Modul.
Modul ini disusun dalam 4 (empat) Bab, meliputi Pendahuluan, Residu Padat Insinerator, Residu Cair Insinerator dan Residu Padat Pirolisis. Modul ini disusun secara sistematis agar peserta pelatihan dapat mempelajari materi dengan lebih mudah.
Ucapan terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada tim penyusun dan Para Narasumber atas tenaga dan pikiran yang dicurahkan untuk mewujudkan modul ini. Penyempurnaan maupun perubahan modul di masa mendatang senantiasa terbuka dan dimungkinkan mengingat akan perkembangan situasi, kebijakan dan peraturan yang terus menerus terjadi. Semoga modul ini dapat membantu dan bermanfaat bagi peningkatan kompetensi ASN dalam pengolahan sampah dengan konsep WtE.
Bandung, Oktober 2018
Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Jalan, Perumahan, Permukiman, dan Pengembangan Infrastruktur Wilayah
ii | Modul 12 – Penanganan Residu Dari WtE
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI ... ii DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR GAMBAR ... vPETUNJUK PENGGUNAAN MODUL ... ix
A Deskripsi ... ix B Persyaratan ... x C Metode ... x D Alat Bantu/Media ... x BAB 1 PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 2 B. Tujuan ... 2 C. Kompetensi Dasar ... 3
D. Indikator Hasil Belajar ... 3
E. Materi Dan Submateri Pokok ... 3
F. Estimasi Waktu ... 4
G. Mind Mapping ... 4
BAB 2 RESIDU PADAT INSINERATOR ... 5
A. Indikator Keberhasilan ... 6
B. Tujuan ... 6
C. Jenis residu padat dari insinerator ... 6
D. Kuantitas abu insinerator ... 8
E. Karakteristik abu insinerator ... 8
F. Pengelolaan abu insinerator ... 11
G. Aspek Lingkungan ... 31
H. Latihan... 32
I. Rangkuman ... 32
BAB 3 LIMBAH CAIR INSINERATOR ... 33
A. Indikator Keberhasilan ... 34
iii
C. Air buangan dari insinerator ... 34
D. Kuantitas dan Kualitas Air Lindi ... 36
E. Pengelolaan lindi ... 36
F. Pengolahan lindi ... 37
G. Latihan ... 46
H. Ringkasan ... 46
BAB 4 RESIDU PADAT PIROLISIS ... 49
A. Indikator Keberhasilan ... 50
B. Tujuan ... 50
C. Pendahuluan ... 50
D. Kuantitas dan Karakteristik Residu Padat Proses Pirolisis ... 50
E. Penanganan Residu ... 51
F. Potensi Pemanfaatan Residu... 53
G. Latihan ... 55
iv | Modul 12 – Penanganan Residu Dari WtE
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Karakteristik abu dasar dan abu terbang residu insinerator ... 9
Tabel 2. Kandungan logam berat yang ditemukan pada abu terbang dan abu dasar ... 10
Tabel 3. Karakteristik air lindi dari bunker insinerator sampah perkotaan di Cina ... 36
Tabel 4. Baku mutu lindi ... 37
Tabel 5. Jenis-jenis pengolahan air lindi ... 38
Tabel 6. Kriteria desain unit komponen sistem kolam ... 40
Tabel 7. Efisiensi penyisihan beberapa polutan pada lindi oleh berbagai jenis proses biologi ... 46
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Lokasi terbentuknya residu padat insinerator ... 7
Gambar 2. Neraca massa residu padatan dari insinerator sistem grate ... 8
Gambar 3. Kisaran konsentrasi beberapa logam berat pada abu insinerator .... 11
Gambar 4. Peletakan simbol dan label pada kemasan limbah B3 ... 14
Gambar 5. Jenis-jenis pengolahan abu insinerator ... 16
Gambar 6. Prinsip kerja proses elektrokimia dalam penyisihan logam ... 18
Gambar 7. Pembakaran abu insinerator dalam fixed-bed furnace ... 19
Gambar 8. Prinsip kerja stabilisasi/solidifikasi ... 21
Gambar 9. Sistem pelapisan penimbunan akhir ... 30
Gambar 10. Contoh landfill limbah B3 kelas I ... 31
Gambar 11. Bunker insinerator ... 35
Gambar 12. Perbandingan komposisi sampah perkotaan ... 35
Gambar 13. Skema sistem kolam pengolah lindi ... 39
Gambar 14. Wetland kombinasi tanaman dan media berbutir ... 41
Gambar 15. Rotating biological contactor ... 42
Gambar 16. Tahapan proses pada sistem Sequencing Batch Reactor ... 43
Gambar 17. Skema reaktor anaerobic fixed bed ... 44
Gambar 18. Skema reaktor UASB ... 45
Gambar 19. Hubungan antara temperatur pirolisis dan komposisi produk ... 51
vii
POSISI MODUL DALAM KURIKULUM PELATIHAN
ix
PETUNJUK PENGGUNAAN MODUL
A Deskripsi
Modul Penanganan Residu dari WtE ini terdiri atas tiga materi pokok. Materi pokok pertama membahas mengenai “Residu Padat InsInerator”, terdiri atas materi mengenai jenis, kuantitas, karakteristik, pengelolaan dan pemanfaatan residu. Materi pokok kedua menjelaskan tentang “Residu Cair Insinerator”, melingkupi kuantitas, kualitas, pengelolaan dan pengolahan residu. Materi pokok ketiga menjelaskan tentang “Residu Padat Pirolisis”, melingkupi kuantitas, karakteristik, penanganan dan pemanfaatan. Modul ini bertujuan untuk memberikan pemahaman lebih mendalam kepada peserta terkait proses dan teknologi penanganan residu dari teknologi WtE.
Peserta pelatihan mempelajari keseluruhan modul ini dengan cara yang berurutan. Pemahaman setiap materi pada modul ini sangat diperlukan karena materi ini menjadi dasar pemahaman sebelum mengikuti pembelajaran modul- modul berikutnya. Hal ini diperlukan karena masing-masing modul saling berkaitan. Sebagaimana tujuan pembelajaran kegiatan belajar dalam Modul ini, yaitu untuk memberikan pemahaman lebih mendalam kepada peserta terkait penanganan residu dari teknologi WtE, maka diperlukan metoda pengajaran interaktif yang mampu menyentuh kesadaran para peserta pelatihan. Karena itu, modul ini dilengkapi dengan materi berupa tayangan visual sebagai dasar untuk membangun diskusi interaktif antar peserta.
Untuk menanamkan pemahaman yang lebih kuat, modul ini akan berkaitan erat dengan kegiatan kunjungan lapangan dan seminar. Kegiatan tersebut merupakan latihan bagi peserta untuk mengetahui fungsi seluruh prasarana dan sarana dari teknologi WtE dengan cara melakukan observasi langsung di sebuah instalasi teknologi WtE. Sebagai evaluasi akan capaian pemahaman peserta, dilakukan presentasi hasil kunjungan lapangan dengan menugaskan peserta untuk menganalisa permasalahan yang ditemukan. Evaluasi dilakukan langsung saat presentasi dan diskusi berlangsung, oleh Narasumber terhadap peserta. Latihan atau evaluasi ini menjadi alat ukur tingkat penguasaan peserta pelatihan setelah mempelajari materi dalam modul ini.
x | Modul 12 – Penanganan Residu Dari WtE
B Persyaratan
Dalam mempelajari buku ini peserta pelatihan telah mengikuti diklat dasar tentang pengelolaan sampah.
C Metode
Dalam pelaksanaan pembelajaran modul ini, metode yang dipergunakan adalah metoda pemaparan di dalam kelas, yang diberikan oleh narasumber yang akan menjadi bahan bagi diskusi interaktif yang harus terbangun antara diantara peserta pelatihan. Paparan yang diberikan juga dilengkapi dengan beberapa film singkat mengenai teknologi WtE.
D Alat Bantu/Media
Untuk menunjang tercapainya tujuan pembelajaran ini, diperlukan alat bantu/media pembelajaran tertentu, yaitu :
1. LCD/projector 2. Laptop
3. Papan tulis atau whiteboard dengan penghapusnya 4. Flip chart
5. Bahan tayang
6. Modul dan/atau Bahan Ajar 7. Video
1
BAB 1
PENDAHULUAN
2 | Modul 12 – Penanganan Residu Dari WtE
PENDAHULUAN
A Latar Belakang
Penimbunan sampah di landfill memiliki banyak aspek lingkungan yang perlu diperhatikan. Untuk mengelola sampah perkotaan yang jumlahnya ribuan ton setiap harinya, pemerintah kota harus menyediakan lahan yang cukup luas untuk dijadikan fasilitas landfill. Emisi gas metana, timbulan air lindi, dan potensi pencemaran tanah oleh bahan-bahan berbahaya yang terkandung dalam sampah merupakan aspek-aspek yang menyebabkan metode landfill dalam hierarki pengelolaan sampah berada pada tingkatan paling bawah atau menjadi pilihan terakhir. Waste to Energy (WTE) atau pengolahan sampah menjadi energi adalah opsi yang menarik untuk ditindaklanjuti, karena sebenarnya sampah masih memiliki energi yang dapat diperoleh kembali dan peluangnya untuk menjadi sumber energi sangat besar. Beberapa contoh teknologi WTE yang melibatkan proses termal adalah insinerasi, pirolisis dan gasifikasi. Walaupun pirolisis dan gasifikasi belum banyak diterapkan untuk pengolahan sampah skala kota, tetapi teknologi ini hingga saat ini terus dikembangkan, sehingga penting juga untuk diketahui.
Insinerasi adalah metode yang umum digunakan untuk mengolah sampah kota karena dapat mengurangi volume sampah hingga 90% dan panas yang dihasilkan dapat dikonversi menjadi listrik (Lam, et al., 2010). Insinerasi sampah kota menghasilkan 2 residu utama yang dapat digolongkan menjadi abu terbang dan abu dasar. Sedangkan residu dari proses pirolisis dan gasifikasi yang sering tidak termanfaatkan adalah char. Selain isu pengelolaan residu ini, hal lain yang menjadi perhatian adalah strategi penggunaan abu insinerator agar penanganan akhir abu tidak berujung pada penimbunan, tetapi dijadikan produk yang bermanfaat.
B Tujuan
Mata pelatihan ini bertujuan untuk mengenalkan proses dan teknologi pengendalian residu dari luaran hasil pemrosesan sampah terkait WtE kepada peserta melalui ceramah interaktif, diskusi dan latihan soal.
3
C Kompetensi Dasar
Setelah mengikuti mata pelatihan ini peserta diharapkan mampu menjelaskan jenis-jenis residu padat dan limbah cair dari teknologi WTE seperti insinerator dan pirolisis/gasifikasi, memperkirakan volume timbulan residu dan karakteristiknya. Materi ajar ini bertujuan pula untuk memberikan pemahaman mengenai tata cara penyimpanan, pengumpulan, alternatif pengolahan, termasuk metode yang dapat diaplikasikan jika residu akan dimanfaatkan.
D Indikator Hasil Belajar
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu:
a. Memahami dan menjelaskan residu padat dari teknologi WtE yaitu insenerator.
b. Memahami dan menjelaskan limbah cair yang berasal dari fasilitas insenerator
c. Memahami dan menjelaskan residu padat dari teknologi WtE yaitu Pirolisis.
E Materi Dan Submateri Pokok a. Materi Pokok
1) Residu padat insinerator 2) Limbah cair insinerator 3) Residu padat proses pirolisis
b. Sub Materi Pokok
1) Residu padat insinerator meliputi:
Jenis residu padat dari insinerator
Kuantitas residu padat insinerator
Karakteristik residu padat insinerator
Pengelolaan residu padat insinerator
Aspek lingkungan
2) Limbah cair insinerator meliputi:
Air lindi dari insinerator
Kuantitas dan Kualitas Lindi
Pengelolaan lindi
4 | Modul 12 – Penanganan Residu Dari WtE
3) Residu padat proses pirolisis meliputi:
Kuantitas dan Karakteristik Residu Padat Proses Pirolisis
Penanganan Residu
Potensi Pemanfaatan Residu
F Estimasi Waktu
Untuk mempelajari mata pelatihan Pengantar Pengolahan Sampah Secara Umum ini, dialokasikan waktu sebanyak 2 (dua) jam pelajaran.
5
BAB 2
RESIDU PADAT INSINERATOR
6 | Modul 12 – Penanganan Residu Dari WtE
Residu Padat Insinerator
A Indikator Keberhasilan
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu memahami dan menjelaskan residu padat dari teknologi WtE yaitu insenerator.
B Tujuan
Mata pelatihan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada peserta mengenai jenis-jenis residu padat dari insinerator, perkiraan volume timbulan yang dihasilkan dan karakteristiknya. Materi ajar ini bertujuan pula untuk memberikan pemahaman mengenai tata cara penyimpanan, pengumpulan, penimbunan, alternatif pengolahan, termasuk metode yang dapat diaplikasikan jika abu akan dimanfaatkan.
C Jenis residu padat dari insinerator
Proses pembakaran sampah kota di insinerator akan menghasilkan beberapa jenis residu padat, cair, maupun gas buang dan partikel debu yang tidak tertangkap oleh filter pada alat pengendali pencemaran udara. Gas buang dan partikel ini akan teremisikan ke udara melalui cerobong setelah melalui serangkaian alat pengendalian pencemaran udara. Sekitar seperempat bagian dari berat basah sampah yang diumpankan ke insinerator adalah residu padat. Pada umumnya, residu padat yag dihasilkan dari proses insinerasi menggunakan sistem grate adalah sebagai berikut:
Abu dasar (bottom ash); terdiri dari material yang tidak dapat terbakar, karena seringkali sampah perkotaan mengandung material inert seperti kerikil dan logam. Sampah organik yang tidak terbakar dan terkumpul pada outlet ruang bakar yaitu pada cooling tank juga merupakan bagian dari abu dasar. Ukuran partikel abu dasar memiliki rentang diameter yang lebar yaitu berbentuk serbuk halus hingga lebih dari 4,75 mm. Oleh karena rentang ukuran partikelnya yang lebar ini, abu dasar dikelompokkan menjadi partikel halus (<0,18 mm), partikel sedang (0,18-1,4 mm), dan partikel kasar (>(0,18-1,4 mm) (Yu, et al., 2013).
Grate siftings merupakan material berukuran kecil yang jatuh dari grate
7 tercampur dengan abu dasar. Pada aplikasi insinerator di negara maju, grate siftings ini akan diumpankan balik ke dalam insinerator setelah melalui proses pemilahan logam.
Abu boiler terdiri dari partikulat berukuran agak besar yang terbawa bersama gas buang dari ruang bakar. Abu ini merupakan partikel debu yang melekat pada permukaan boiler yang dapat dihilangkan dengan proses mekanis.
Abu terbang (fly ash) merupakan partikel halus berukuran sangat kecil yang terbawa oleh gas buang dan terperangkap oleh alat pengendali pencemar udara yang bernama electrostatic precipitators (ESP-filters) setelah gas buang meninggalkan boiler. Ukuran partikel abu terbang lebih halus dari abu dasar, dimana 90% dari abu terbang berukuran lebih kecil dari 197,39 µm (Yu, et al., 2013).
Residu dari alat pengendalian pencemaran udara, terdiri dari partikulat yang tertangkap setelah perlakuan injeksi bahan kimia untuk mengolah gas yang bersifat asam sebelum gas buang diemisikan ke atmosfer. Residu ini dapat berbentuk padatan, cairan, maupun lumpur, bergantung pada sistem pengolahan yang digunakan pada alat pengendali pencemaran udara apakah menggunakan proses kering, semi kering atau basah.
Residu yang terakhir tidak dibahas pada modul ini, melainkan pada modul Pengendalian Emisi Partikulat dan Gas dari Fasilitas WtE Termal. Gambar 1 menunjukkan gambaran umum posisi terbentuknya (generator point) residu padat pada insinerator.
8 | Modul 12 – Penanganan Residu Dari WtE
D Kuantitas abu insinerator
Gambar 2 menyajikan tipikal perbandingan residu padat yang dihasilkan dari
insinerator untuk pengolahan sampah kota di beberapa negara maju. Pada umumnya, insinerator menghasilkan abu dasar pada kisaran 150-250 kg per ton sampah yang dibakar pada insinerator. Sedangkan jumlah grate siftings jauh lebih sedikit daripada abu dasar, yaitu berada pada kisaran 1-3 kg/ton sampah yang diumpankan ke insinerator. Selain abu dasar dan grate siftings terdapat juga residu padat lain yang berasal dari boiler. Jumlah timbulan abu boiler bergantung pada tipe boiler dan jumlah partikulat yang terlepas sebagai hasil pembakaran selama di grate. Jumlah timbulan abu boiler pada umumnya adalah 2-5 kg per ton sampah masuk. Residu lain adalah abu terbang yang jumlahnya 1,5-5 gram/m3
gas buangan yang masuk ke ESP filter.
Gambar 2. Neraca massa residu padatan dari insinerator dengan teknologi
sistem grate (Vehlow, et al., 2007)
E Karakteristik abu insinerator
Karakteristik abu insinerator bervariasi tergantung dari komposisi sampah yang dibakar pada insinerator. Karakteristik abu dapat dibedakan menjadi dua yaitu: karakteristik fisika dan karakteristik kimiawi. Karakteristik abu insinerator ini penting untuk menentukan tata kelola limbah dan potensi pemanfaatan. Karakteristik fisik yang penting untuk diketahui yaitu: distribusi ukuran partikel, kadar air, densitas, kekuatan tekan, permeabilitas dan porositas. Sedangkan karakteristik kimiawi yang penting yaitu: loss of ignition (LOI), logam berat dan
9 keterlindiannya, komposisi oksida logam, kandungan organik dan klorida. Komponen unsur kimia yang banyak ditemukan pada abu insinerator adalah Si, Al, Fe, Mg, Ca, K, Na dan Cl. Tabel 1 menyajikan contoh beberapa karakteristik fisik dan kimiawi dari abu dasar dan abu terbang.
Abu terbang dari proses insinerasi sampah perkotaan juga mengandung klorida lebih tinggi daripada abu dasar (Tabel 1). Hal ini dikarenakan pada proses pemurnian gas buang dari gas yang bersifat asam seperti HCl, dihasilkan klorida dalam konsentrasi yang tinggi yang terikut bersama abu terbang yang telah meninggalkan alat pengendali pencemaran udara. Pada proses insinerasi, terjadi pengurangan massa dan volume sampah yang menyebabkan konsentrasi logam berat pada abu dasar lebih tinggi daripada yang terkandung pada sampah kota yang belum melalui proses insinerator. Tabel 1 menunjukkan contoh komposisi logam berat pada abu terbang dan abu dasar.
Tabel 1. Karakteristik abu dasar dan abu terbang residu insinerator
(Pan, et al., 2008; Ariningsih, 2011)
Parameter Satuan Abu Dasar Abu Terbang
Kadar air % 57,18 pH 9,43 Oksida logam: SiO2 % berat 13,44 13,60 Al2O3 % berat 1,26 0,92 CaO % berat 50,39 45,42 Fe2O3 % berat 8,84 3,83 MgO % berat 2,26 3,16 K2O % berat 1,78 3,85 Na2O % berat 12,66 4,16 SO3 % berat 0,5 6,27 P2O5 % berat N/A TiO2 % berat 2,36 Klorida ton/kg 5,749 2,876
Loss of ignition (LOI) % berat 3,24
Dari Tabel 2 diketahui bahwa Zn dan Pb merupakan dua logam utama penyusun abu dasar dan abu terbang. Keberadaan logam berat pada abu insinerator dapat mengakibatkan masalah pelindian dan sangat berbahaya bagi lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. Pada umumnya, kandungan logam berat pada abu terbang lebih tinggi daripada abu dasar dikarenakan oleh terjadinya penguapan
10 | Modul 12 – Penanganan Residu Dari WtE
logam selama proses pembakaran dan adanya proses adsorpsi logam pada permukaan abu terbang. Pengelolaan abu terbang, abu dasar, dan abu boiler seharusnya tidak dicampur. Di beberapa negara maju, sudah ada peraturan yang melarang pencampuran pengelolaan abu dasar dengan abu terbang atau abu boiler.
Dapat dilihat pada Tabel 2 bahwa konsentrasi beberapa logam berat pada abu terbang seperti As, Ba, Cd, Hg, Mn, dan Zn lebih tinggi daripada konsentrasi logam-logam tersebut pada abu dasar. Pencampuran kedua jenis abu ini dapat memperumit prosedur perlakuan ketika pemanfaatan akan dilakukan.
Tabel 2. Kandungan logam berat yang ditemukan pada abu terbang dan abu
dasar (mg/kg) (Transportation Research Board, 2000)
Logam berat Abu terbang Abu dasar
Ag ND-700 2-38 As 15-751 1,3-45 Ba 88-9001 47-2.000 Cd 5-2211 0,3-61 Co 2,3-1.671 22-706 Cr 21-1.901 13-1.400 Cu 187-2.381 80-10.700 Hg 0,9-73 0,003-2 Mn 171-8.500 50-3.100 Ni 10-1.970 9-430 Pb 200-2.600 98-6.500 Se 0,48-16 ND-3,4 Zn 2.800-152.000 200-12.400
Sedangkan perbandingan kandungan logam berat pada abu boiler dengan 2 jenis abu lainnya ditampilkan pada Gambar 3, dimana untuk beberapa logam berat, konsentrasi pada abu boiler lebih tinggi daripada konsentrasi yang terkandung dalam abu dasar.
11
Gambar 3. Kisaran konsentasi beberapa logam berat pada abu boiler, abu dasar
dan abu terbang (Vehlow, et al., 2007)
F Pengelolaan abu insinerator
Menurut Peraturan Pemerintah No 101 Tahun 2014, abu terbang dan abu dasar yang terbentuk dari insinerator pengolahan limbah termasuk dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dari sumber spesifik umum, dengan kode limbah A-347-1 untuk abu terbang, dan A 347-2 untuk abu dasar. Kegiatan penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengangkutan, penimbunan abu terbang dan abu dasar ini membutuhkan izin pengelolaan limbah B3 dari pemerintah setempat. Sedangkan abu terbang dan abu dasar dari pengoperasian insinerator pemrosesan sampah tidak diatur dalam PP No 101 Tahun 2014. Untuk mengidentifikasi apakah abu insinerator tersebut dikategorikan sebagai limbah B3 atau tidak, harus dilakukan serangkaian pengujian di laboratorium untuk karakteristik limbah B3 dengan prosedur seperti tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 101 Tahun 2014.
Apabila hasil dari pengujian di laboratorium abu insinerator digolongkan menjadi limbah B3, konsep pengelolaan abu insinerator harus mengikuti hierarki sebagai berikut:
12 | Modul 12 – Penanganan Residu Dari WtE i. Reduce (mengurangi limbah B3)
Mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 56 tahun 2015, setiap penghasil limbah B3 wajib melakukan upaya pengurangan dan pemilahan limbah B3. Upaya ini dapat dilakukan menggunakan teknologi bersih dan metode baru sehingga limbah yang akan muncul relatif sedikit.
ii. 3R (reuse, recycle, recovery) limbah B3 melalui upaya pemanfaatan kembali limbah B3 yang telah muncul sebagai bahan baku atau bahan bakar
iii. Penimbunan limbah B3 sebagai solusi terakhir.
Tetapi jika dari hasil pengujian karakteristik limbah B3 abu insinerator tidak termasuk limbah B3, maka pengelolaannya mengikuti tata cara pengelolaan sampah. Di bawah ini akan dibahas tahapan pengelolaan abu insinerator jika masuk dalam kategori limbah B3 dimulai dari tahapan penyimpanan dan pengumpulan hingga pemanfaatan, pengolahan, dan penimbunan.
1. Penyimpanan dan pengumpulan
Tempat penyimpanan abu dasar dan abu terbang sebelum dikelola lebih lanjut harus memenuhi persyaratan lokasi penyimpanan limbah B3 seperti tertuang Kep-03/BAPEDAL/09/1995, diantaranya sebagai berikut:
Lokasi penyimpanan limbah B3 merupakan daerah bebas banjir dan tidak rawan bencana alam
Jarak antara lokasi pengelolaan limbah B3 dengan lokasi fasilitas umum minimum 50 meter
Mempunyai tanda yang mudah terlihat dari jarak 10 meter dengan Tulisan “Berbahaya” yang dipasang pada bangunan penyimpanan, serta tanda “Yang Tidak Berkepentingan Dilarang Masuk” yang ditempatkan di pintu masuk ke dalam fasilitas dan pada setiap jarak 100 meter di sekeliling lokasi
Tersedianya sistem pemadam kebakaran dan memasang peralatan pendeteksi bahaya kebakaran yang bekerja secara otomatis selama 24 jam terus menerus
Memasang tanda peringatan, yang jelas terlihat dari jarak 10 meter dengan tulisan “Awas Berbahaya”, “Limbah B3 (Mudah terbakar, dll), “Dilarang keras menyalakan api atau merokok”
13
Fasilitas penyimpanan limbah B3 memiliki lantai yang kedap dengan sistem drainase yang baik serta mudah dibersihkan
Mudah diakses untuk penyimpanan limbah
Dapat dikunci untuk menghindari akses oleh pihak yang tidak berkepentingan
Mudah diakses oleh kendaraan yang akan mengangkut limbah
Terlindungi dari sinar matahari, hujan, angin kencang, banjir, dan faktor lain yang berpotensi menimbulkan kecelakaan atau bencana kerja
Tidak dapat diakses oleh hewan, serangga, dan burung
Dilengkapi dengan ventilasi dan pencahayaan yang baik dan memadai
Berjarak jauh dari tempat penyimpanan atau penyiapan makanan
Peralatan pembersihan, pakaian pelindung dan wadah atau kantong limbah harus diletakkan sedekat mungkin dengan lokasi fasilitas penyimpanan
Dinding, lantai, dan langit-langit fasilitas penyimpanan senantiasa dalam keadaan bersih, termasuk pembersihan lantai setiap hari. Peraturan di atas juga mengatur persyaratan durasi penyimpanan limbah B3, yaitu jika limbah B3 yang dihasilkan sebesar 50 kg per hari atau lebih, maksimal waktu penyimpanan sebelum limbah B3 dikelola lebih lanjut adalah 90 hari, selain itu, limbah B3 dapat disimpan paling lama 180 hari sebelum dimanfaatkan atau diangkut ke pihak pengolah.
Izin Lingkungan untuk penyimpanan Limbah B3 diterbitkan oleh Bupati/Walikota (PP No 101/2014)
14 | Modul 12 – Penanganan Residu Dari WtE
Selain PP 101 Tahun 2014 dan Kep-03/BAPEDAL/09/1995, tata laksana penyimpanan limbah B3 juga diatur pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 30 Tahun 2009.
Selain penyimpanan, pengemasan limbah B3 pun harus mengikuti persyaratan yang telah ditentukan dalam peraturan yaitu pada PP No 101 Tahun 2014 dan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Lingkungan (Bapedal) KEP-01/BAPEDAL/09/1995, diantaranya yaitu kemasan harus terbuat dari bahan yang dapat mengemas limbah B3 sesuai dengan karakteristik limbah B3 yang akan disimpan, kemasan harus mampu mengungkung limbah B3 untuk tetap berada dalam kemasan, memiliki penutup yang kuat untuk mencegah terjadinya tumpahan saat dilakukan penyimpanan, pemindahan, atau pengangkutan, dan kemasan harus berada dalam kondisi baik, tidak bocor, tidak berkarat, atau tidak rusak. Kemasan limbah B3 pun wajib dilekati label dan simbol limbah B3.
Gambar 4 menunjukkan tata cara peletakan simbol dan label pada
kemasan limbah B3.
15 Dalam hal pengelola fasilitas insinerator tidak mempunyai Izin Lingkungan untuk penyimpanan abu insinerator, maka abu insinerator yang dihasilkan wajib diserahkan paling lambat dua hari sejak abu tersebut dihasilkan kepada pemegang izin pengelolaan limbah B3 untuk kegiatan penyimpanan limbah B3.
Jika pengelolaan abu insinerator diserahkan ke pihak ketiga yang memiliki Izin Lingkungan untuk pengolahan/penimbunan/pemanfaatan, pengelola insinerator harus memastikan bahwa pihak pengangkut sudah mendapatkan persetujuan pengangkutan limbah B3 dari Kepala Instansi Lingkungan Hidup.
Abu insinerator yang belum diolah tidak diperbolehkan untuk dicampur dengan limbah non B3 misalnya sampah domestik dan tidak diperbolehkan melakukan penimbunan abu insinerator pada fasilitas penimbunan yang diperuntukkan untuk limbah non B3.
2. Pengolahan limbah B3
Pengolahan limbah B3 adalah proses untuk mengurangi dan/atau menghilangkan sifat bahaya dan/atau sifat racun.
Terdapat beberapa teknik pengolahan residu abu insinerator, yaitu:
Proses pemisahan
Pengolahan termal
Stabilisasi/solidifikasi
Pada prakteknya, untuk mengurangi dampak lingkungan dari kegiatan pengolahan limbah B3 seperti abu insinerator dari pemrosesan sampah, proses pemisahan umumnya diperlukan, karena abu insinerator mengandung logam berat, senyawa garam, klorida dan pencemar organik dalam konsentrasi yang cukup tinggi Gambar 5 menunjukkan jenis-jenis pengolahan yang bisa dilakukan untuk abu insinerator dari pemrosesan limbah.
16 | Modul 12 – Penanganan Residu Dari WtE
Gambar 5. Jenis-jenis pengolahan abu incinerator a. Proses pemisahan
Proses pemisahan ditujukan untuk memperbaiki kualitas abu insinerator dan meningkatkan potensi pemanfaatannya. Teknik pemisahan ini dapat dilakukan melalui pencucian, proses melindikan (leaching), dan proses elektrokimia.
Proses pencucian
Proses pencucian umumnya digunakan sebagai pengolahan pendahuluan sebelum proses stabilisasi/solidifikasi abu insinerator dilakukan. Proses ini ditujukan untuk menurunkan kandungan beberapa senyawa yang terkandung dalam abu insinerator seperti klorida, garam, alkali, dan logam berat menggunakan air atau larutan asam. Jenis zat pencemar yang ditemukan pada abu insinerator bergantung pada proses, khususnya temperatur. Logam berat dan alkali banyak ditemukan pada abu dasar, sedangkan klorida dan senyawa garam banyak ditemukan pada abu terbang. Kandungan senyawa garam pada abu terbang yaitu sekitar 20%. Sebuah studi menemukan bahwa keterlindian senyawa garam dari abu insinerator telah menurunkan aktivitas dari bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi yang terdapat di tanah. Selain itu, metode solidifikasi yang banyak
17 digunakan untuk mengimobilisasi logam berat, tidak dapat menstabilisasi senyawa garam seperti garam klorida. Kerugian lain yang ditimbulkan oleh kandungan garam yang tinggi adalah kemampuan material mengabsorpsi air menjadi lebih tinggi, dimana karakteristik ini pada produk solidifikasi tidak diinginkan. Selain senyawa garam, kandungan klorida yang tinggi pada abu insinerator dapat menyebabkan korosi yang serius jika pengelolaannya dilakukan di kiln semen. Atas alasan inilah proses pencucian di awal banyak dilakukan.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, pencucian abu dengan perbandingan air dan abu sebesar 10:1 dapat menyisihkan 72,8% Ca, Na, K, dan Cl serta 12,3% Cr. Pencucian dengan larutan asam memiliki efisiensi penyisihan yang tinggi, namun metode ini kurang ramah lingkungan dan tidak ekonomis. Pencucian dengan air adalah alternatif yang lebih feasible untuk dilakukan, namun memiliki kelemahan yaitu sejumlah logam berat akan ikut terlepas bersama garam yang terlarut. Salah satu cara untuk mengantisipasi masalah ini adalah dengan melakukan kontrol pH.
Proses elektrokimia
Tujuan dari proses elektrokimia yaitu untuk menyisihkan logam berat dan memperoleh kembali logam berat untuk penggunaan lain. Proses ini melibatkan energi potensial listrik untuk mendorong terjadinya reaksi reduksi/oksidasi pada permukaan katoda dan anoda. Selama proses berlangsung, logam akan terkumpul pada permukaan katoda. Proses ini tidak melibatkan penambahan bahan kimia apapun dan efisiensi penyisihannya rendah. Kombinasi pengolahan dengan pencucian dan proses elektrokimia dapat memperbaiki efisiensi penyisihan ini. Gambar 6 menampilkan prinsip kerja dari proses elektrokimia untuk menyisihkan logam berat.
18 | Modul 12 – Penanganan Residu Dari WtE
Gambar 6. Prinsip kerja proses elektrokimia dalam penyisihan
logam (Lam, et al., 2010)
b. Pengolahan termal
Pengolahan termal diklasifikasikan menjadi 3 jenis pengolahan, yaitu vitrifikasi, pelelehan, dan sintering. Pengolahan termal untuk residu padat insinerator dapat menurunkan volume abu insinerator hingga lebih dari 60%. Selain itu, proses termal juga dapat menurunkan peluang keterlindian zat-zat pencemar saat produk mengalami kontak dengan air. Oleh karena kemungkinan terlindikannya logam berat menjadi lebih sedikit, produk dari proses termal bersifat dan lebih stabil sehingga pemanfaatannya di akhir akan lebih mudah. Pada proses termal dengan pelelehan (melting), produk yang terbentuk berupa lelehan slag yang memiliki potensi pemanfaatan. Temperatur yang digunakan dalam pengolahan termal ini rata-rata 1.400 oC dan dengan temperatur setinggi ini, zat-zat beracun seperti
dioksin dan furan yang masih terkandung dalam abu insinerator dapat dimusnahkan. Pada proses pelelehan, tidak ada penambahan material lain dan produk dari proses ini dapat berupa logam cair atau padat. Pada akhir proses, produk logam dapat untuk dipisahkan dengan lelehan abu untuk didaur ulang. Gambar 7 menyajikan ilustrasi dari pembakaran abu insinerator dalam furnace dengan tipe fixed-bed.
Vitrifikasi adalah proses termal dimana residu padatan dicampur dengan material gelas pada temperatur yang tinggi (1.000-1.500oC)
19 yang pada akhirnya akan membentuk amorf/produk kaca. Pada temperatur ini, semua bahan orgnaik dan beberapa bahan anorganik seperti sianida nitrat telah hancur. Senyawa organik akan membentuk gas (CO2, uap air, nitrogen oksida, sulfur) saat
berinteraksi dengan senyawa organik lain dalam lelehan, atau dengan oksigen saat keluar dari proses. Mekanisme yang terjadi pada proses vitrifikasi adalah proses pengikatan secara kimiawi antara senyawa anorganik pada abu insinerator dengan material pembentuk kaca seperti silika dan enkapsulasi abu insinerator oleh lapiran material gelas. Keuntungan vitrifikasi adalah:
Vitrifikasi ex situ merupakan teknologi yang berkembang dengan baik
Mobilitas kontaminan dikurangi/dihilangkan
Massa yang sudah tervitrifikasi mampu menahan pelindian untuk periode waktu geologis.
Gambar 7. Pembakaran abu insinerator dalam fixed-bed furnace
(Lam, et al., 2010)
Jenis proses termal yang terakhir yaitu sintering, dimana abu insinerator dipanaskan hingga terjadi pengikatan antar partikel. Proses ini akan menghasilkan produk dengan kerapatan yang lebih tinggi, porositas yang lebih kecil, dan lebih kuat. Temperatur yang digunakan pada proses sintering umumnya sekitar 900oC. Proses
sintering ini terjadi juga pada proses insinerasi sampah kota yang menggunakan sistem kiln berputar (rotary kiln).
20 | Modul 12 – Penanganan Residu Dari WtE
Kelebihan dari pengolahan abu insinerator dengan proses termal yaitu kualitas produk akhir dari proses lebih homogen, memiliki kerapatan lebih tinggi dengan potensi keterlindian yang lebih kecil. Kelemahan utama dalam proses termal adalah biaya operasional yang besar karena proses melibatkan temperatur yang tinggi. Selain itu, peralatan pengendalian polusi udara juga diperlukan.
c. Stabilisasi/solidifikasi
Berdasarkan Kep-03/BAPEDAL/09/1995, teknologi stabilisasi/solidifikasi dapat diterapkan untuk mengolah limbah yang mengandung logam. Stabilisasi/solidifikasi dilakukan untuk limbah B3 yang tidak memenuhi persyaratan penimbunan langsung seperti yang diatur pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kahutanan No 63 Tahun 2016, sehingga harus dilakukan pengolahan awal limbah. Selain itu, stabilisasi/solidifikasi juga dapat digunakan sebagai alternatif pengolahan limbah B3 yang akan dimanfaatkan, misalnya untuk pelapis jalan (road base) dan bahan bangunan (contoh: paving block, batako, batu bata).
Secara umum stabilisasi dapat didefinisikan sebagai proses pencampuran limbah dengan bahan aditif yang bertujuan untuk menurunkan laju migrasi bahan pencemar dari limbah serta untuk mengurangi toksisitas limbah tersebut. Sedangkan solidifikasi didefinisikan sebagai proses pemadatan suatu bahan berbahaya dengan penambahan aditif. Kedua proses tersebut seringkali terkait sehingga sering dianggap mempunyai arti yang sama.
Langkah-langkah proses stabilisasi/solidifikasi
Prinsip kerja dari stabilisasi/solidifikasi adalah mengubah sifat fisik dan kimia limbah dengan cara penambahan senyawa pengikat (binder) sehingga pergerakan senyawa-senyawa berbahaya dapat dihambat atau terbatasi dan membentuk ikatan massa monolit dengan struktur yang kekar (massive) (Gambar 8). Bahan pengikat kontaminan yang sering digunakan dalam teknik solidifikasi adalah bahan yang bersifat pozzolan. Pozzolan adalah bahan alam atau buatan yang sebagian besar kandungannya terdiri atas unsur-unsur
21 silika dan alumina atau keduanya. Bahan-bahan yang biasa digunakan untuk proses stabilisasi/solidifikasi (bahan aditif) limbah B3 antara lain:
Bahan pencampur/pengisi: agregat seperti pasir atau kerikil
Bahan perekat/pengikat (binder): bahan yang akan menyebabkan produk stabilisasi/solidifikasi menjadi lebih kuat, contohnya semen, kapur, tanah liat, dan lain-lain
Sorben: bahan yang berfungsi untuk menahan komponen pencemar dalam matrik yang stabil.
Pada proses stabilisasi/solidifikasi, limbah dapat berfunsi sebagai pengganti sebagian dari bahan pengikat atau bahan pengisi. Interaksi limbah dan aditif terjadi secara fisika atau kimia, namun interaksi kimia lebih diinginkan karena bahan pencemar yang terikat akan bersifat lebih stabil sehingga keluaran dari proses ini adalah limbah yang bersifat lebih stabil atau padat dan dapat digunakan sebagai bahan bangunan.
22 | Modul 12 – Penanganan Residu Dari WtE
Mekanisme proses stabilisasi/solidifikasi
Pengkapsulan makro: komponen berbahaya dari limbah terperangkap secara fisik dalam sebuah struktur matriks. Komponen tersebut berada dalam ruang atau pori dari sebuah produk yang stabil. Bila terjadi destabilisasi secara fisik, komponen limbah akan bermigrasi ke luar, misalnya karena faktor cuaca atau masuknya air dari luar.
Pengkapsulan mikro: komponen limbah terperangkap secara fisik dalam bahan stabilisasi/solidifikasi pada level yang lebih mikro (misalnya dalam level kristal). Bila bahan stabilisasi/solidifikasi tersebut mengalami kerusakan dan ukuran menjadi lebih kecil, komponen limbah masih tetap terperangkap. Keberadaan komponen dalam limbah tidak terikat secara kimia, naiknya laju kelolosan dalam limbah sejalan dengan menurunnya ukuran partikel.
Absorpsi: kontaminan ditahan di dalam sorben (bersifat fisik), seperti halnya spons menahan air. Proses ini membutuhkan bahan padat sebagai sorben untuk menyerap komponen limbah.
Adsorpsi: kontaminan terikat tetap (fix) secara kimia dalam matriks padat stabilisasi/solidifikasi. Adsorben yang biasa digunakan adalah tanah liat, abu terbang, semen, mineral liat, dll. Di samping pemerangkapan fisik, dalam adsorpsi terdapat ikatan yang bersifat elektrokimia. Ikatan secara adsorpsi lebih kuat daripada absorpsi, sehingga lolosnya komponen berbahaya dapat lebih dikurangi.
Pengendapan: beberapa proses stabilisasi mengendapkan kontaminan limbahnya
Detoksifikasi: beberapa reaksi kimia dapat terjadi selama proses stabilisasi berlangsung, termasuk kemungkinan detoksifikasi, dimana terjadi reduksi toksisitas sehingga menjadi lebih tidak toksik. Contoh: Cr6+ mengalami reduksi menjadi Cr3+ pada saat
stabilisasi dengan semen.
Tujuan stabilisasi/solidifikasi
Tujuan dari proses stabilisasi/solidifikasi adalah mengkonversi limbah beracun menjadi massa yang secara fisik inert, memiliki daya pelindian rendah, serta kekuatan mekanik yang cukup aman untuk dibuang ke landfill limbah B3 atau mendapatkan bahan yang baik
23 untuk bahan bangunan, serta untuk mengurani sifat toksik. Pelindian adalah proses dimana kontaminan ditransfer dari matriks yang stabil menjadi sebuah zat cair seperti air.
Karakteristik yang diharapkan dimiliki oleh produk stabilisasi diantaranya: stabil, mampu menahan beban, toleran terhadap kondisi basah dan kering yang silih berganti, permeabilitas rendah, tidak menghasilkan lindi yang berkualitas
buruk.
Proses stabilisasi/solidifikasi terhadap abu insinerator ditujukan untuk pemanfaatan misalnya untuk material sekunder untuk konstruksi jalan atau material substitusi dalam pembuatan bahan bangunan (paving block, batako, dll). Proses stabilisasi/solidifikasi dilakukan dengan cara:
1. Limbah B3 sebelum distabilisasi/solidifikasi harus dianalisa karakteristiknya guna menentukan resep stabilisasi/solidifikasi yang diperlukan terhadap limbah B3 tersebut
2. Setelah dilakukan stabilisasi/solidifikasi, selanjutnya terhadap hasil olahan tersebut dilakukan uji Toxicity Characteristics Leaching Procedure (TCLP) yang dilakukan menggunakan metode US EPA SW-846-METHOD 1311 untuk mengukur kadar/konsentrasi parameter dalam lindi sebagaimana yang tercantum dalam Keputusan Kepala Bapedal No KEP-03/BAPEDAL/09/1995. Hasil uji TCLP sebagaimana dimaksud, kadarnya tidak boleh melewati nilai ambang batas sebagaimana yang telah ditetapkan
3. Melakukan pengujian kuat tekan (compressive strength) dengan “soil penetrometer test” dengan nilai tekanan minimum sebesar 10 ton/m2 dan lolos uji “paint filter test”
4. Limbah B3 olahan yang memenuhi persyaratan kadar TCLP, nilai uji kuat tekan dan lolos paint filter test, selanjutnya harus ditimbun di tempat penimbunan yang ditetapkan pemerintah atau yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
Stabilisasi/solidifi kasi dapat digunakan untuk memanfaatkan abu insinerator sebagai material substitusi dalam pembuatan bahan bangunan
24 | Modul 12 – Penanganan Residu Dari WtE
Beberapa keuntungan pengolahan limbah B3 dengan teknik stabilisasi/solidifikasi antara lain:
kemudahan dalam penerapan dan pengolahannya
mempunyai stabilitas fisik dan kimia jangka panjang yang baik
mempunyai kekuatan kompresi yang baik
resisten terhadap biodegradasi
memiliki permeabilitas air yang rendah
Pengujian produk stabilisasi/solidifikasi
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa teknik stabilisasi/solidifikasi dapat dilakukan untuk limbah B3 yang akan ditimbun tetapi belum memenuhi persyaratan penimbunan ataupun terhadap limbah B3 yang akan dimanfaatkan, misalnya untuk menjadi bahan bangunan. Untuk produk stabilisasi/solidifikasi yang akan dimanfaatkan, pengujian kelayakan teknis diperlukan sebagai bagian dari studi kelayakan yang diajukan untuk mendapatkan izin pemanfaatan limbah B3. Beberapa pengujian kelayakan teknis yang dibutuhkan adalah:
a) Uji durabilitas
Pengujian ini dilakukan mengacu pada ASTM D 4843-88 R09 untuk produk stabilisasi/solidifikasi berumur 28 hari. Uji durabilitas dilakukan untuk mengetahui konsistensi kemampuan permeabilitas dari produk stabilisasi/solidifikasi. Metodenya dilakukan dengan merendam produk selama 24 jam dan dikeringkan dalam oven selama 24 jam, yang disebut dengan 1 siklus. Uji durabilitas ini dilakukan untuk 13 siklus berturut-turut dan batas persentase maksimum kehilangan massa yang diatur pada ASTM D 4843-88 R 04 adalah 30%.
b) Uji absorpsi
Uji absorpsi ditujukan untuk mengetahui kemampuan produk dalam menyerap air. Produk dikeringkan dalam oven bersuhu 100-110oC selama 24 jam atau lebih. Kemudian produk
didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya. Pengeringan diulangi hingga beratnya tidak berbeda lebih dari 5% dengan berat sebelumnya. Selanjutnya, produk direndam dalam air tidak kurang dari 48 jam. Perendaman diulangi hingga
25 beratnya tidak berbeda lebih dari 5% dengan berat sebelumnya. Persentase absorpsi merupakan selisih berat sampel basah dan kering yang dibandingkan dengan berat sampel kering. Penyerapan air yang tinggi dihubungkan dengan banyaknya rongga udara yang dapat mengurangi nilai kuat tekan. Hasil uji absorpsi tiap produk akan dibandingkan dengan persyaratan absorpsi maksimum yang diperbolehkan untuk lantai beton mengacu pada standar dalam ARTO Brick, yaitu 12%.
c) Uji kuat tekan
Kuat tekan beton mengidentifikasikan mutu dari sebuah struktur. Semakin tinggi tingkat kekuatan struktur yang dikehendaki, semakin tinggi pula mutu beton yang harus dihasilkan. Mengacu pada ASTM, uji kuat tekan dilakukan pada produk berumur 3,7, dan 28 hari secara terpisah. Pelaksanaan uji kuat tekan pada produk menggunakan alat Universal Testing
Machine (UTM), dengan menambahkan beban secara bertahap
dan konstan pada produk yang diuji. Pembebanan tersebut dinaikkan sampai produk uji hancur dan terdeteksi beban maksimum yang dapat ditanggung produk tersebut. Hasil dari kuat tekan dari produk berumur 28 hari akan dibandingkan dengan klasifikasi lantai atau bahan bangunan (diatur dalam Standar Nasional Indonesia) yang menjadi tujuan pemanfaatan produk stabilisasi/solidifikasi.
d) Uji TCLP
Pelaksanaan uji TCLP mengikuti standar USEPA SW-846 Test Method 1311 untuk produk dengan kuat tekan terbesar. Hasil uji TCLP kemudian dibandingkan dengan baku mutu TCLP A dan TCLP B pada Lampiran III PP No 101 Tahun 2014.
3. Pemanfaatan lain abu insinerator
Pemanfaatan limbah B3 adalah kegiatan penggunaan kembali, daur ulang, dan/atau perolehan kembali yang bertujuan untuk mengubah limbah B3 menjadi produk yang dapat digunakan sebagai substitusi bahan baku, bahan penolong, dan/atau bahan bakar yang aman bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup.
26 | Modul 12 – Penanganan Residu Dari WtE
a. Industri semen
Abu insinerator hasil pembakaran sampah kota mengandung CaO, SiO2, Fe2O3 dan Al2O3, dimana komposisinya menyerupai komposisi
daru bahan baku untuk pembuatan semen. Oleh karena itu, abu insinerator mempunyai potensi untuk menggantikan bahan baku pembuat semen. Keuntungan dari pemanfaatan abu insinerator sebagai bahan substitusi sebagian dari bahan baku semen adalah penurunan emisi karbondioksida, sebagai bagian dari upaya mitigasi terhadap efek rumah kaca. Pada proses pembuatan semen tanpa penggunaan abu insinerator, diperlukan energi dalam jumlah yangs angat besar untuk mendekomposisi kalsium karbonat (CaCO3)
menjadi kapur (CaO), mengakibatkan teremisikannya karbondioksida dalam jumlah yang sangat besar. Sedangkan, abu dasar dan abu terbang mengandung kapur, oleh karena itu, tidak lagi diperlukan energi untuk mendekomposisi kalsium karbonat menjadi kapur, dimana hal ini akan berkontribusi dalam penurunan sejumlah emisi karbondioksida. Namun, dalam aplikasi pemanfaatan abu insinerator pada produksi semen, ditemukan sejumlah kendala teknik, seperti tingginya kandungan klorida yang akan berdampak pada kualitas produk dan dapat menyebabkan korosi dan penyumbatan pada peralatan. Konsentrasi logam berat yang tinggi juga menjadi isu yang harus dipertimbangkan dalam penggunaan abu insinerator sebagai bahan baku pembuatan semen. Pengolahan pendahuluan untuk abu insinerator sangat direkomendasikan untuk menyisihkan klorida dan logam berat.
b. Pembuatan keramik
Abu dasar dan abu terbang dapat digunakan sebagai bahan baku dalam proses pembuatan gelas dan keramik dalam kondisi temperatur tinggi (>1000oC). Abu dasar dan abu terbang terdiri dari
SiO2, Al2O3 dan CaO, sehingga memungkinkan untuk menjadi
pengganti sebagian dari lempung pada produksi pembuatan keramik. Sebuah penelitian oleh Andreola menunjukkan bahwa penggunaa abi dasar sebesar 20% pada keramik tidak memengaruhi perilaku termal dan mineral dari keramik tersebut. Walaupun demikian,
27 penggunaan abu terbang sebagai bahan keramik mempunyai masalah karena tingginya klorida dan materi organik.
c. Adsorben
Adsorpsi merupakan teknik yang banyak digunakan untuk menyisihkan zat pencemar dari air, dimana zat yang biasa digunakan sebagai adsorben adalah karbon aktif. Sebagai alternatif untuk menurunkan biaya operasional, banyak penelitian yang mempelajari penggunaan abu dasar sebagai pengganti karbon aktif untuk menyisihkan zat warna dan logam berat dari air limbah industri. Salah satu hal yang penting untuk diperhatikan dalam penggunaan abu dasar sebagai adsorben adalah kemungkinan terlindikannya logam berat dari abu dasar, karena logam berat pada air adalah dapat menyebabkan keracunan. Penggunaan abu terbang sebagai adsorben sangat jarang ditemukan dibandingkan dengan panggunaan abu dasar. Hal ini dikarenakan potensi kerelindian logam berat dari abu tebang lebih tinggi, sedangkan abu dasar sangat jarang ditemukan melindikan logam berat.
Dalam penggunaan adsorben, penting untuk membandingkan kapasitas adsorpsi suatu bahan dengan bahan lainnya. Kapasitas penukaran kation sangat ditentukan oleh ukuran partikel suatu bahan. Kinerja adsorpsi logam berat oleh beberapa jenis abu dasar hasil insinerasi sampah perkotaan menunjukkan bahwa semakin kecil ukuran partikel, semakin tinggi kapasitas penukaran kation dan semakin besar luas permukaan.
Abu dasar juga digunakan untuk menyisihkan zat warna dari air limbah. Sebuah penelitian menghasilkan bahwa penyisihan zat warna oleh abu dasar memiliki efisiensi hingga 98% dengan kapasitas adsorpsi yang sebanding dengan adsorben lain. Ini menunjukkan bahwa abu dasar dapat menjadi substitusi karbon aktif dalam penyisihan zat warna air limbah dengan biaya operasional lebih rendah.
Selain digunakan sebagai adsorben dalam pengolahan air limbah, abu dasar juga dapat digunakan dalam proses pemurnian gas. Abu
28 | Modul 12 – Penanganan Residu Dari WtE
dasar digunakan untuk menyisihkan komponen culfur dari gas landfill. Penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa 1 kg abu dasar dapat menyerap lebih dari 3 g hydrogen sulfida, 44 mg methyl mercapan dan 86 mg dimetil sulfida.
d. Pembuatan beton
Abu insinerator, khususnya abu terbang, memiliki banyak karakteristik yang menyerupai karakteristik semen. Oleh karena itu, abu terbang memiliki potensi untuk digunakan sebagai bahan substitusi parsial semen pada proses pembuatan beton. Dari studi yang pernah dilakukan, abu terbang memiliki karakteristik yang hampir sama dengan bahan pozzolan kelas C yang tertuang pada standar ASTM. Pozzolan adalah bahan yang mengandung senyawa silika dan alumina dimana bahan pozzolan ini dengan adanya air akan bereaksi secara kimiawi dengan kalsium hidroksida (senyawa hasil reaksi antara semen dan air) pada suhu kamar membentuk senyawa kalsium aluminat hidrat yang mempunyai sifat seperti semen. Pada pembuatan beton, ketika campuran semen dengan abu terbang ditambahkan air, akan terjadi reaksi hidrasi yang membentuk produk kristal dengan struktur 3 dimensi yang mengikat keseluruhan senyawa menjadi kesatuan yang kokoh. Reaksi ini menjadi prinsip dasar dari proses stabilisasi/solidifikasi pengolahan limbah B3 yang sudah banyak diaplikasikan di seluruh dunia. Hal yang penting dalam aplikasi penggunaan abu terbang dalam pembuatan beton adalah kualitas produk harus memenuhi beberapa kriteria teknik, seperti kuat tekan, waktu setting, daya tahan terhadap perubahan cuaca (durabilitas), dll.
4. Penimbunan abu insinerator
Kegiatan penimbunan limbah B3, dalam hal ini adalah abu insinerator adalah kegiatan menempatkan abu insinerator pada fasilitas penimbunan dengan maksud tidak membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Jika abu insinerator dikategorikan sebagai limbah B3, sebelum ditimbun di fasilitas penimbunan wajib dilakukan:
29 a) Uji konsentrasi zat pencemar
Dilakukan untuk menentukan kelas fasilitas penimbunan akhir limbah B3.
b) Uji TCLP
Dilakukan untuk memprediksi potensi pelindian B3 dari suatu limbah. Limbah B3 yang akan ditimbun wajib memenuhi baku mutu karakteristik beracun melalui TCLP sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 63 Tahun 2016.
c) Uji tingkat kontaminasi radioaktif d) Uji paint filter
Digunakan untuk menentukan keberadaan cairan bebas. e) Uji karakteristik, kandungan organik, serta wujud limbah B3
Zat organik pada limbah B3 yang akan ditimbun tidak lebih dari 10% dan tidak berwujud cair atau lumpur.
Dalam hal limbah B3 tidak memenuhi hasil uji paint filter, uji TCLP, dan pengujian pada butir e di atas, limbah B3 wajib diolah terlebih dahulu dengan cara stabilisasi/solidifikasi dengan metode yang telah dijelaskan pada sub bab sebelum ini.
Penimbunan akhir dibedakan menjadi 3 kategori yaitu penimbunan kelas I, kelas II, dan kelas III, dimana penentuan kelas ini berdasarkan uji total konsentrasi zat pencemar pada abu insinerator.
Persyaratan fasilitas penimbunan akhir limbah B3 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
30 | Modul 12 – Penanganan Residu Dari WtE
Desain fasilitas mengikuti persyaratan kelas landfill: double liner, single liner, dan clay liner. Perbedaan sistem pelapisan dasar (liner) antara landfill kelas I, II, dan III ditunjukkan pada Gambar 9.
Memiliki sistem pelapis yang dilengkapi dengan saluran untuk pengaturan aliran air permukaan, pengumpulan air lindi dan pengolahannya, sumur pantau, dan lapisan penutup akhir
Memiliki peralatan pendukung penimbunan limbah B3 yang paling sedikit terdiri dari: (i) peralatan dan perlengkapan untuk mengatasi keadaan darurat, (ii) alat angkut untuk penimbunan limbah B3, dan (iii) alat pelindung dan keselamatan diri
Memiliki rencana penimbunan limbah B3, penutupan, dan paska penutupan landfill.
Salah satu contoh fasilitas landfill kelas I yang dibuat oleh penghasil limbah B3 untuk menimbun limbah B3 yang dihasilkan dari kegiatan operasinya ditunjukkan pada Gambar 10.
Gambar 9. Sistem pelapisan penimbunan akhir (Kementerian
31
Gambar 10. Contoh landfill limbah B3 kelas I (Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan, 2015)
Sedangkan kriteria yang digunakan dalam persyaratan lokasi penimbunan limbah B3 adalah sebagai berikut:
Bebas banjir
Permeabilitas tanah
Merupakan daerah yang secara geologis aman, stabil, tidak rawan bencana, dan di luar Kawasan lindung
Tidak merupakan daerah resapan air tanah.
G Aspek Lingkungan
Abu insinerator mengandung senyawa persistent organik pollutants (POPs) yang dapat membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan. POPs pada abu insinerator terbentuk karena pembakaran atau reaksi kimia yang terjadi sampah yang mengandung senyawa klorin. Beberapa contoh senyawa POPs yang terdapat pada abu insinerator diantaranya polychlorinated biphenyls (PCBs), hexachlorobenzene (HCB), polychlorinated dibenzo-p-dioxins (PCDDs), dan dibenzofurans (PCDFs). Dua senyawa terakhir dikenal sebagai dioksin. Jumlah POPs yang terbentuk dari hasil pembakaran antara satu insinerator dengan yang lain berbeda, tergantung dari komposisi sampah yang dibakar dan parameter operasional yang digunakan dalam pengoperasian insinerator.
Diantara semua residu insinerator, dioksin dan POPs terbanyak ditemukan pada residu yang terkumpul dari alat pengendali pencemaran udara, misalnya pada abu terbang. Jumlah senyawa dioksin dan POPs pada abu boiler tidak sebanyak yang terkandung pada residu dari alat pengendali pencemara udara. Namun, abu dasar dan abu boiler mengandung logam berat dalam konsentrasi yang tinggi.
32 | Modul 12 – Penanganan Residu Dari WtE
H Latihan
1. Jelaskan terbentuknya abu terbang dan abu dasar dari proses insinerator 2. Mengapa pengelolaan abu terbang dan abu dasar sebaiknya dipisahkan? 3. Jika abu insinerator termasuk dalam kategori limbah B3, sebutkan beberapa persyaratan penyimpanan abu insinerator sebelum dikirim ke pihak ketiga untuk diolah.
4. Kandungan apa saja yang menjadikan abu insinerator berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan?
5. Salah satu cara pengolahan sekaligus pemanfaatan abu insinerator adalah dengan melakukan stabilisasi/solidifikasi. Jelaskan tujuan stabilisasi/solidifikasi.
I Rangkuman
Abu terbang dan abu dasar merupakan residu dari pembakaran sampah kota menggunakan insinerator, dengan timbulan abu dasar sebanyak 20-25% dari total volume sampah kota yang diumpankan ke ruang bakar insinerator. Abu terbang merupakan partikel debu yang terbawa oleh gas buang hasil pembakaran dan tertangkap filter dalam alat pengendali pencemaran udara. Sedangkan abu dasar merupakan material yang tidak dapat terbakar (non-combustible), karena seringkali sampah kota mengandung banyak material inert yang bersifat tidak dapat terbakar.
Abu dasar dan abu terbang dari fasilitas insinerator untuk sampah kota tidak diatur dalam Lampiran I PP No 101 Tahun 2014, sehingga diperlukan pengujian karakteristik limbah B3 di laboratorium untuk menentukan tata cara pengelolaan yang tepat. Jika abu insinerator dari pemrosesan sampah dikategorikan sebagai limbah B3, maka seluruh kegiatan pengelolaan dimulai dari penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, maupun pemanfaatan harus memiliki Izin Lingkungan dari dinas terkait.
Terdapat beberapa metode pemanfaatan abu insinerator, dimana dengan mencampurkan beberapa bahan lain, abu ini kemudian dapat diubah bentuknya menjadi produk lain yang bernilai seperti beton, keramik ataupun dimanfaatkan sebagai bahan substitusi bahan baku di industri semen.
33
BAB 3
LIMBAH CAIR INSINERATOR
34 | Modul 12 – Penanganan Residu Dari WtE
Limbah Cair Insinerator
A Indikator Keberhasilan
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu memahami dan menjelaskan limbah cair yang berasal dari fasilitas insenerator.
B Tujuan
Mata pelatihan ini bertujuan untuk mengenalkan proses dan teknologi pengendalian residu dari luaran hasil pemrosesan sampah terkait WtE kepada peserta melalui ceramah interaktif, diskusi dan latihan soal
C Air buangan dari insinerator
Komposisi sampah perkotaan di Indonesia memiliki kadar air yang tinggi. Hal ini disebabkan komposisi sampah kota didominasi oleh sampah organik dan kondisi alam Indonesia yang bersifat tropis juga seringkali menyebabkan kadar air sampah bertambah di musim hujan. Saat mencapai fasilitas insinerator, sampah kota akan dikumpulkan dalam suatu pit atau penampungan sampah sementara sebelum diproses di insinerator. Pit penampungan sampah pada fasilitas insinerator ini dikenal dengan istilah bunker (Gambar 11).
Fermentasi sampah organik yang terjadi baik saat pengangkutan dari sumber maupun saat penyimpanan sampah di bunker, menyebabkan lindi sampah mengandung zat organik yang tinggi. Selain itu, lindi sampah juga berpotensi memiliki kandungan logam berat, zat pencemar berbahaya lain, dan volatile fatty
acids (VFA). Oleh karena itu, lindi sampah yang
terbentuk pada bunker insinerator berpotensi untuk mengakibatkan dampak negatif lingkungan sehingga harus dikelola dengan baik.
Air lindi sampah kota memiliki kandungan organik tinggi, logam berat, dan zat pencemar
35
Gambar 11. Bunker insinerator
(jerseyeveningpost.com)
Berbeda dengan kondisi di negara maju, karena karakteristik sampah kota yang berbeda, pada banyak kasus tidak ditemukan lindi pada bunker insinerator. Komposisi sampah organik di negara maju tidak sebanyak yang ditemukan pada negara berkembang, seperti ditunjukkan pada Gambar 12.
(a) (b)
Gambar 12. Perbandingan komposisi sampah perkotaan di (a) negara maju dan
(b) negara berkembang (Hoornweg & Bhada-Tata, 2012)
36 | Modul 12 – Penanganan Residu Dari WtE
D Kuantitas dan Kualitas Air Lindi
Berdasarkan studi pengolahan untuk lindi yang berasal dari bunker insinerator yang dilakukan di Cina, jumlah lindi yang terbentuk sebesar 101-204 kg lindi per ton sampah dengan karakteristik seperti pada Tabel 3. Karakteristik lindi yang dihasilkan dari sampah kota setiap negara akan berbeda, karena dipengaruhi oleh karakteristik dan komposisi sampah, curah hujan dan musim kelembaban dalam timbulan sampah.
Tabel 3. Karakteristik air lindi dari bunker insinerator sampah perkotaan di Cina
(He, et al., 2009) Parameter Satuan (mg/l) pH 4,19-4,86 COD 68.800-76.700 BOD5 29.800-32.500 BOD5/COD 0,39-0,45 TOC 15.300-25.900 VFAs 4.500-5.000 Total Nitrogen 2.450-4.000 NH4+-N 480-560
Total Kjeldahl Nitrogen (TKN) 1.660-1.900
E Pengelolaan lindi
Dalam pengoperasian insinerator untuk memproses sampah kota, dimana menghasilkan timbulan lindi dalam jumlah yang cukup banyak sehingga pengelola fasilitas insinerator memerlukan fasilitas pengolahan lindi sendiri, tata cara pengelolaan lindi diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 59 tahun 2016, yaitu sebagai berikut:
Menjamin seluruh lindi yang dihasilkan di fasilitas insinerator masuk ke instalasi pengolahan lindi. Salah satu caranya adalah dengan mengatur kemiringan dasar bunker agar dapat mengalirkan lindi yang terbentuk ke pengumpulan air lindi. Bunker juga harus didesain menggunakan material yang kedap sehingga tidak terjadi perembesan lindi ke lingkungan
Mengisolasi bunker agar air eksternal seperti air hujan tidak masuk karena akan menambah kadar air dalam sampah. Selain itu, isolasi bunker juga ditujukan untuk mencegah lindi tidak mengalir ke luar
37
Memisahkan saluran pengumpulan lindi dengan saluran air hujan
Melakukan pengolahan lindi, sehingga baku mutu lindi yang dibuang ke badan air tidak melampaui baku mutu lindi
Tidak melakukan pengenceran lindi ke dalam aliran buangan lindi
Lindi yang telah terkumpul dialirkan menuju pengolah air buangan domestik, atau apabila lokasi insinerator jauh dari instalasi pengolahan air buangan, lindi diolah sendiri di lokasi yang sama dengan insinerator. Jika insinerator dibangun terintegrasi dengan TPA, lindi yang terbentuk pada bunker dapat diolah bersama dengan lindi yang terbentuk dari landfill
Menetapkan titik penaatan untuk pengambilan contoh uji lindi dan koordinat titik penaatan
Memasang alat ukur debit atau laju alir lindi di titik penaatan
Melakukan pencatatan sampah yang ditimbun harian
Memeriksakan kadar parameter lindi sesuai dengan parameter yang terdapat pada baku mutu lindi secara berkala paling sedikit satu kali dalam 1 bulan ke laboratorium yang telah terakreditasi
Memiliki prosedur operasional standar pengolahan lindi
Menyampaikan laporan debit dan pH harian lindi, jumlah sampah yang diproses, hasil analisa laboratorium terhadap lindi.
F Pengolahan lindi
Setiap penghasil lindi diwajibkan melakukan pengolahan lindi yang berasal dari tempat pemrosesan sampah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 59 tahun 2016 sebelum lindi dibuang ke badan air. Tabel 4 menyajikan baku mutu lindi yang harus dipenuhi oleh setiap penghasil lindi.
Tabel 4. Baku mutu lindi
Parameter Kadar paling tinggi Satuan
pH 6-9 BOD 150 mg/l COD 300 mg/l TSS 100 mg/l N total 60 mg/l Merkuri 0,005 mg/l Kadmium 0,1 mg/l
38 | Modul 12 – Penanganan Residu Dari WtE
Pada umumnya, teknologi yang digunakan untuk mengolah lindi baik yang ditimbulkan dari TPA maupun fasilitas insinerator adalah sama dengan teknologi pengolahan untuk air limbah domestik, dimana pengolahan utamanya menggunakan proses biologi.
Tabel 5 menyajikan beberapa alternatif teknologi pengolahan lindi berdasarkan
tujuan pengolahannya.
Tabel 5. Jenis-jenis pengolahan air lindi
(Liu, 2013)
Tujuan pengolahan Alternatif teknologi pengolahan Menyisihkan konsentrasi bahan
organik (BOD, COD)
1. Proses aerobik:
- Kolam aerasi (aerated lagoon) - Lumpur aktif (activated sludge) - Sequencing batch reactor (SBR) 2. Proses anaerobik:
- Upflow sludge blanket Menyisihkan nitrogen amonium 1. Nitrifikasi aerobik:
- Lumpur aktif - Kolam aerasi
- Rotating biological contractor (RBC) - Sequencing batch reactor (SBR) - Vegetated ditch (wetland buatan) - Ammonia stripping
Penyisihan nitrat (dentirifikasi) - Proses biologi anoksik
39 Tujuan pengolahan Alternatif teknologi pengolahan
- Vegetated ditch (wetland buatan) Penyisihan zat organik non
biodegradable dan warna
Penambahan koagulan, Lumpur aktif, Reverse osmosis, Chemical oxidation
Penyisihan zat organik berbahaya Karbon aktif, reverse osmosis, chemical oxidation Penyisihan warna dan bau Karbon aktif
Penyisihan besi terlarut dan logam berat
Penambahan koagulan aerasi
Pengolahan akhir/final Wetland buatan
Untuk pengelolaan lindi di Indonesia, terdapat beberapa alternatif sistem pengolahan lindi dari insinerator. Salah satu metode pengolahan yang dirasa cocok dengan kondisi Indonesia adalah sistem kolam karena pertimbangan berikut: (1) sederhana dalam desain, (2) relatif mudah dalam pengoperasian, (3) fleksibel dalam pengaturan aliran dan beban, (3) memanfaatkan keberadaan sinar matahari yang berlimpah, (4) dapat dibangun secara bertahap. Sementara sistem kolam ini juga memiliki beberapa kelemahan seperti membutuhkan luas lahan yang besar. Gambar 13 menyajikan skematik sistem kolam yang bisa diterapkan untuk mengolah lindi dari insinerator. Kriteria desan unit komponen sistem kolam ditunjukkan pada Tabel 6.
Gambar 13. Skema sistem kolam pengolah lindi
Pada umumnya, lindi memiliki BOD dan COD yang tinggi, oleh karena itu, proses biologi secara aerobik saja seringkali tidak cukup untuk menurunkan konsentrasi BOD dan COD ini. Oleh karena itu, pada prakteknya, diperlukan proses anaerobik di awal. Konfigurasi antara proses anaerobik dan aerobik ini berfungsi juga untuk menurunkan kadar nitrogen dalam bentuk ammonium, nitrat dan nitrit.
40 | Modul 12 – Penanganan Residu Dari WtE
Tabel 6. Kriteria desain unit komponen sistem kolam (Damanhuri, 2012)
Kriteria Proses Pengolahan
Anaerobik Aerobik Maturasi Final
Kedalaman (m) 2,5-5 1-2 1-1,5 2
Penyisihan BOD (%) 50-85 70-80 60-89 75
Waktu detensi (hari) 20-50 5-30 7-20 3-5
Laju beban organik (kg/ha hari) 224-560 56-135 <17 <80
pH 6,5-7,2 6,5-8,5 6,5-10,5
Pengolahan final sebagai kesatuan dari sistem kolam pengolah lindi dapat berupa
biofilter, wetland, atau media karbon aktif atau zeolit. Pengolahan final berfungsi
untuk memoles lindi terolah sebelum dibuang ke badan air, misalnya menurunkan sisa-sisa kadar padatan dan organik yang masih terkandung dalam lindi. Berikut penjelasan mengenai aplikasi biofilter atau wetland sebagai pengolahan final
.
Wetland
Konsep wetland mengacu kepada kemampuan tanah dan tanaman dalam menetralisisr komponen-komponen pencemar yang tersisa di lindi. Oleh karena itu, pengolahan ini diposisikan pada pengolahan terakhir. Pengolahan final dengan wetland cocok diterapkan karena relatif mudah, memanfaatkan kondisi alam (tanaman dan media berbutir). Aplikasi wetland juga dapat dikombinsikan dengan tanaman air yang tumbuh mengapung, dengan mengkombinasikan antara fungsi akar tanaman penyerap komponen pencemar (logam berat) dan tumbuhnya bakteri pemakan materi organik dalam lindi yang hidup di sekitar akar dan tanah dan fungsi media berbutir untuk menguranfi pencemar secara fisika. Contoh wetland dengan kombinasi tanaman dan media berbutir disajikan pada Gambar 14.
41
Gambar 14. Wetland kombinasi tanaman dan media berbutir
(Mojiri, et al., 2016)
Biofilter
Konsep ini lebih mementingkan peran media berbutir sebagai pengolah atau penyaring limbah, seperti sebuah filter. Biofilter dalam pengolahan lindi dapat menyisihkan logam berat, warna, dan sedikit organik. Untuk mengaplikasikan biofilter ini, dibutuhkan data kelolosan media yang digunakan agar luas area yang dibutuhkan dapat diketahui. Hal ini penting untuk mencegah beban hidrolis yang berlebihan.
Dalam hal tidak tersedianya lahan yang cukup luas atau lindi yang terbentuk pada bunker insinerator hanya sedikit, sistem pengolahan lindi aerob dengan sistem lumpur aktif atau rotating biological contactor dapat dijadikan sebagai alternatif. Sedangkan untuk proses anaerob bisa menggunakan metode fixed bed atau upflow anaerobic sludge blanket (UASB).
Lumpur aktif (activated sludge)
Lumpur aktif merupakan teknologi yang umum digunakan untuk pengolahan air limbah domestik. Teknologi lumpur aktif melibatkan konsorsium mikroorganisme yang merupakan kombinasi dari bakteri, jamur, protozoa, dll dan membentuk seperti lumpur (sludge). Reaktor dengan lumpur aktif memerlukan aerasi yang kontinu untuk memastikan pengolahan berlangsung dalam kondisi aerobik. Lindi yang terolah di reaktor kemudian akan dipisahkan dengan lumpur aktif pada unit clarifier atau tangki pengendapan, dimana lumpur yang mengendap kemudian diresirkulasi ke dalam reaktor lumpur aktif.
Namun, teknologi lumpur aktif untuk mengolah lindi memiliki keterbatasan, seperti tingginya produksi lumpur yang memerlukan