• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Duvall dan Miller (1985), pernikahan dapat dilihat sebagai suatu hubungan dyadic

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Duvall dan Miller (1985), pernikahan dapat dilihat sebagai suatu hubungan dyadic"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pernikahan

2.1.1 Pengertian Pernikahan

Pernikahan merupakan salah satu bentuk interaksi antara manusia. Menurut Duvall dan Miller (1985), pernikahan dapat dilihat sebagai suatu hubungan dyadic atau berpasangan antara pria dan wanita, yang juga merupakan bentuk interaksi antara pria dan wanita yang sifatnya paling intim dan cenderung diperhatikan. Menikah juga didefinisikan sebagai hubungan pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang melibatkan hubungan seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak, dan saling mengetahui tugas masing-masing sebagai suami dan istri. juga menyatakan bahwa pernikahan merupakan upacara pengakuan dan pernyataan menerima suatu kewajiban baru dalam tata susunan masyarakat. Menikah adalah memasuki jenjang rumah tangga atas dasar membangun dan membina bersama (Hanum, 1997).

Menurut Dariyo (2003) menambahkan bahwa menikah merupakan hubungan yang bersifat suci/sakral antara pasangan dari seorang pria dan seorang wanita yang telah menginjak atau dianggap telah memiliki umur cukup dewasa dan hubungan tersebut telah diakui secara sah dalam hukum dan secara agama. Menurutnya, kesiapan mental untuk menikah mengandung pengertian kondisi psikologis emosional untuk siap menanggung berbagai risiko yang timbul selama hidup dalam

(2)

pernikahan, misalnya pembiayaan ekonomi keluarga, memelihara dan mendidik anak-anak dan membiayai kesehatan keluarga.

Pernikahan merupakan salah suatu aktivitas individu. Aktivitas individu umumnya akan terkait pada suatu tujuan yang ingin dicapai oleh individu yang bersangkutan, demikian pula dalam hal perkawinan. Karena pernikahan merupakan suatu aktivitas dari satu pasangan, maka sudah selayaknya merekapun juga mempunyai tujuan tertentu. Tetapi karena perkawinan itu terdiri dari dua individu, maka adanya kemungkinan bahwa tujuan mereka itu tidak sama. Bila hal tersebut terjadi, maka tujuan itu harus dibulatkan agar terdapat suatu kesatuan dalam tujuan tersebut (Walgito, 2004).

Berdasarkan beberapa penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh individu yang berusia di bawah 19 tahun dan merupakan suatu hubungan dydic atau berpasangan dan interaksi antar pria dan wanita yang bersifat suci aau sakral yang melibatkan melibatkan hubungan seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak, dan saling mengetahui tugas masing-masing sebagai suami dan istri.

Menurut Munajat (2000) berpendapat bahwa pernikahan muda kehidupan seksual lebih membahagiakan dan bervariasi, tidak sama dengan pernikahan pertengahan (middle marriage), yakni usia 28 - 45 tahun. Ketidakpuasan seksual lebih mudah terjadi pada pernikahan pertengahan. Kehidupan seksual terasa lebih gersang sehingga mudah mencapai kebosanan dan aktivitas seksual terasa monoton karena kurang bervariasi.

(3)

2.1.2 Tujuan Pernikahan

Tujuan perkawinan yang ditegaskan dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa, sehingga suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dalam mencapai kesejahteraan spiritual dan material maka demi terwujudnya tujuan perkawinan.

Menurut Chariroh (2004) perkawinan merupakan perbuatan yang suci dan agung di dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:

a. Untuk memperoleh keturunan yang sah dan tujuan ini merupakan tujuan pokok dari perkawinan. Setiap orang yang melaksanakan perkawinan menginginkan untuk memperoleh anak / keturunan.

b. Untuk memenuhi tuntutan naluriah / hajat tabiat kemanusiaan secara syali. Apabila tidak ada penyaluran yang syah maka manusia banyak melakukan perbuatan-perbuatan yang menimbulkan hal-hal yang tidak baik dalam masyarakat.

c. Untuk membentuk dan mengatur rumah tangga yang merupakan basis pertama dari masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih sayang. Ikatan dalam perkawinan merupakan ikatan lahir dan bathin antara calon suami dan calon istri yang didasari oleh rasa cinta kasih yang mendalam diantara keduanya. Dengan didasarkan pada rasa kasih sayang tersebut maka individu tersebut berusaha untuk membentuk suatu rumah tangga yang kekal dan bahagia.

(4)

d. Untuk menumbuhkan aktifitas dalam usaha mencari rezeki yang halal dan memperbesar rasa tanggung jawab terhadap keluarga. Kewajiban suami untuk mencari nafkah bagi istri dan anak-anaknya maka perasaan tanggung jawab pada diri suami semakin besar. Suami mulai berpikir bagaimana cara mencari nafkah rezeki yang halal untuk memenuhi kehidupan rumah tangganya dan seorang istri harus bisa mengatur kehidupan dalam rumah tangganya.

e. Untuk menjaga manusia dari kejahatan dan kerusakan. Pengaruh hawa nafsu sedemikian besarnya sehingga manusia kadang-kadang sampai lupa untuk menilai mana yang baik dan mana yang buruk. Manusia memiliki sifat yang lemah dalam mengendalikan hawa nafsu sehingga untuk menghindari pemuasan secara tidak syah yang banyak mendatangkan kerusakan dan kejahatan maka dilakukan suatu perkawinan.

2.1.3 Usia yang Ideal dalam Penikahan

Dalam hubungan dengan hukum menurut UU, usia minimal untuk suatu perkawinan adalah 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria (Pasal 7 UU No. 1/1974 tentang perkawinan). Jelas bahwa UU tersebut menganggap orang di atas usia tersebut bukan lagi anak-anak sehigga mereka sudah boleh menikah, batasan usia ini dimaksud untuk mencegah perkawinan terlalu dini. Walaupun begitu selama seseorang belum mencapai usia 21 tahun masih diperlukan izin orang tua untuk menikahkan anaknya.

Setelah berusia di atas 21 tahun boleh menikah tanpa izin orang tua (Pasal 6 ayat 2 UU No. 1/1974). Tampaklah di sini, bahwa walaupun UU tidak menganggap

(5)

mereka yang di atas usia 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria bukan anak-anak lagi, tetapi belum dianggap dewasa penuh. Sehingga masih perlu izin untuk mengawinkan mereka. Ditinjau dari segi kesehatan reproduksi, usia 16 tahun bagi wanita, berarti yang bersangkutan belum berada dalam usia reproduksi yang sehat. Meskipun batas usia kawin telah ditetapkan UU, namun pelanggaran masih banyak terjadi di masyarakat terutama dengan menaikkan usia agar dapat memenuhi batas usia minimal tersebut (Sarwono, 2006).

Tidak terdapat ukuran yang pasti mengenai penentuan usia yang paling baik dalam melangsungkan pernikahan, akan tetapi untuk menentukan umur yang ideal dalam pernikahan, dapat dikemukakan beberapa hal sebagai bahan pertimbangan : a. Kematangan fisiologis dan kejasmanian

Keadaan jasmani yang cukup matang dan sehat diperlukan dalam melakukan tugas dalam pernikahan.

b. Kematangan psikologis.

Terdapat banyak hal yang timbul dalam pernikahan yang membutuhkan pemecahannya dari segi kematangan psikologis. Walgito (1984), mengemukakan bahwa didalam pernikahan dituntut adanya kematangan emosi agar seseorang dapat menjalankan pernikahan dengan baik. Beberapa tanda kematangan emosi tersebut adalah mempunyai tanggung jawab, memiliki toleransi yang baik dan dapat menerima keadaan dirinya maupun keadaan orang lain seperti apa adanya. Kematangan seperti ini pada umumnya dapat dicapai saat seseorang mencapai usia 21 tahun.

(6)

c. Kematangan sosial, khususnya sosial-ekonomi.

Kematangan sosial khususnya sosial-ekonomi diperlukan dalam pernikahan, karena hal ini merupakan penyangga dalam memutar roda ekonomi keluarga karena pernikahan. Usia yang masih muda pada umumnya belum mempunyai pegangan dalam hal sosial-ekonomi, padahal jika seseorang telah menikah, maka keluarga tersebut harus dapat berdiri sendiri untuk kelangsungan keluarga tersebut, tidak bergantung lagi pada pihak lain termasuk orang tua.

d. Tinjauan masa depan atau jangkauan kedepan.

Keluarga pada umumnya menghendaki adanya keturunan yang dapat melanjutkan keturunan keluarga, disamping usia seseorang yang terbatas dimana pada suatu saat akan mengalami kematian. Sejauh mungkin diusahakan bila orang tua telah lanjut usianya, anak-anaknya telah dapat berdiri sendiri dan tidak lagi menjadi beban orangtuanya sehingga pandangan kedepan perlu dipertimbangkan dalam pernikahan.

e. Perbedaan perkembangan antara pria dan wanita.

Perkembangan wanita dan pria tidaklah sama. Seorang wanita yang usianya sama dengan seorang pria tidak berarti bahwa kematangan psikologisnya juga sama. Sesuai dengan perkembangannya, pada umumnya wanita lebih dahulu mencapai kematangan daripada pria.

(7)

2.2 Pernikahan Usia Dini

Pernikahan dan kedudukan sebagai orang tua sebelum orang muda menyelesaikan pendidikan mereka dan secara ekonomis independen membuat mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mempunyai pengalaman yang dipunyai oleh teman-teman yang tidak kawin atau orang-arang yang telah mandiri sebelum kawin, hal ini mengakibatkan sikap iri hati dan halangan bagi penyesuaian perkawinan (Hurlock, 2000).

Pernikahan dalam umur belasan tahun adalah berdasarkan keputusan-keputusan yang sesaat. Kemungkinannya akan sangat buruk buat mereka, biasanya kedua anak laki-laki dan perempuan tidak dewasa secara emosi dan sering dimanjakan. Mereka ingin segera memperoleh apa yang dikehendakinya, tidak peduli apakah itu berakibat bencana (Shappiro, 2000).

Hal-hal yang mempengaruhi perkawinan di usia muda antara lain (Al Ghifari, 2000; Ikhsan, 2004) :

a. Rendahnya tingkat pendidikan terutama bagi masyarakat yang tinggal di pedesaan. b. Minimnya pengetahuan dan pemahaman tentang arti dan makna sebuah

perkawinan.

c. Karena tekanan ekonomi yang semakin sulit berakibat timbulnya rasa frustasi, sehingga pelariannya adalah kawin.

d. Sempitnya lapangan kerja, sementara angkatan kerja semakin membludak e. Hamil semasa sekolah/sebelum nikah.

(8)

g. Mengikuti trend yang sedang berkembang saat ini, ikut-ikutan meramaikan suasana yang menurutnya membahagiakan.

2.2.1 Penyebab Pernikahan Usia Dini

Penyebab pernikahan dini tergantung pada kondisi dan kehidupan sosial masyarakatnya. UNICEF (2005) mengemukakan 2 alasan utama terjadinya pernikahan dini (early marriage):

a. Pernikahan dini sebagai sebuah strategi untuk bertahan secara ekonomi (early

marriage as a strategy for economic survival).

Kemiskinan adalah faktor utama yang menyebabkan timbulnya pernikahan dini. Ketika kemiskinan semakin tinggi, remaja putri yang dianggap menjadi beban ekonomi keluarga akan dinikahkan dengan pria lebih tua darinya dan bahkan sangat jauh jarak usianya, hal ini adalah strategi bertahan sebuah keluarga.

b. Untuk melindungi (protecting girls)

Pernikahan dini adalah salah satu cara untuk memastikan bahwa anak perempuan yang telah menjadi istri benar-benar terlindungi, melahirkan anak yang sah, ikatan perasaan yang kuat dengan pasangan dan sebagainya. Menikahkan anak diusia muda merupakan salah satu cara untuk mencegah anak dari perilaku seks pra-nikah. Kebanyakan masyarakat sangat menghargai nilai keperawanan dan dengan sendirinya hal ini memunculkan sejumlah tindakan untuk melindungi anak perempuan mereka dari perilaku seksual pranikah.

(9)

Mathur, dkk (2003) juga mengungkapkan beberapa penyebab pernikahan dini, yaitu:

a. Peran gender dan kurangnya alternatif (Gender roles and a lack of alternatives). Remaja adalah peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, adalah suatu periode ketika anak laki-laki dan anak perempuan menghadapi sejumlah tekanan yang menuntut mereka untuk menyesuaikan diri, menyelidiki, dan mengalami kehidupan seperti yang telah budaya definisikan. Anak laki-laki pada sebagian besar masyarakat menghadapi tekanan sosial dan budaya selama masa remaja untuk berhasil di sekolah, membuktikan seksualitasnya, ikut serta dalam olahraga dan aktivitas fisik, mengembangkan kelompok sosial dengan teman sebayanya, menunjukkan kemampuan mereka mereka dalam menangani ekonomi keluarga dan tanggung jawab finansial. Remaja putri mengalami hal yang berlawanan, pengalaman masa remaja bagi para remaja putri di banyak negara berkembang lebih difokuskan pada masalah pernikahan, menekankan pada pekerjaan rumah tangga dan kepatuhan, serta sifat yang baik untuk menjadi istri dan ibu.

b. Nilai virginitas dan ketakutan mengenai aktivitas seksual pranikah (value of

virginity and fears about premarital sexual activity) Beberapa budaya di dunia,

wanita tidak memiliki kontrol terhadap seksualitasnya, tetapi merupakan properti bagi ayah, suami, kelurga atau kelompok etnis mereka. Oleh karena itu, keputusan untuk menikah, melakukan aktivitas seksual, biasanya anggota keluarga yang menentukan, karena perawan atau tidaknya Ia sebelum menikah menentukan harga diri keluarga. Ketika anak perempuan mengalami menstruasi, ketakutan

(10)

akan aktivitas seksual sebelum menikah dan kehamilan menjadi perhatian utama keluarga. Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa terkadang pernikahan di usia muda terjadi sebagai solusi untuk kehamilan yang terjadi di luar pernikahan (Bennet, 1997).

c. Pernikahan sebagai usaha untuk menggabungkan dan transaksi (marriage

alliances and transactions). Tekanan menggunakan pernikahan untuk

memperkuat keluarga, kasta, atau persaudaraan yang kemudian membentuk penggabungan politik, ekonomi, dan sosial cenderung menurunkan usia untuk menikah pada beberapa budaya. Transaksi ekonomi juga menjadi bagian integral dalam proses pernikahan.

d. Kemiskinan (the role of poverty). Kemiskinan dan tingkat ekonomi lemah juga merupakan alasan yang penting menyebabkan pernikahan dini pada remaja putri. Remaja putri yang tinggal di keluarga yang sangat miskin, sebisa mungkin secepatnya dinikahkan untuk meringankan beban keluarga.

Menurut Sarwono (2006), pernikahan muda atau pernikahan dini banyak terjadi pada masa pubertas, hal ini terjadi karena remaja sangat rentan terhadap perilaku seksual yang membuat mereka melakukan aktivitas seksual sebelum menikah sehingga menyebabkan kehamilan, yang kemudian solusi yang diambil adalah dengan menikahkan mereka. Sedangkan Sanderowitz dan Paxman (dalam Sarwono, 2006) menyatakan bahwa pernikahan muda juga sering terjadi karena remaja berfikir secara emosional untuk melakukan pernikahan, mereka berfikir telah saling mencintai dan siap untuk menikah. Faktor penyebab lain terjadinya pernikahan

(11)

muda adalah perjodohan orang tua, perjodohan ini sering terjadi akibat putus sekolah dan akibat dari permasalahan ekonomi.

2.2.2 Akibat dari Pernikahan Usia Dini

a. Kematian ibu yang melahirkan Kematian karena melahirkan banyak dialami oleh ibu muda di bawah umur 20 tahun. Penyebab utama karena kondisi fisik ibu yang belum atau kurang mampu untuk melahirkan.

b. Kematian bayi, Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang berusia muda, banyak yang mengalami nasib yang tidak menguntungkan. Ada yang lahir sebelum waktunya (prematur), ada yang berat badanya kurang dan ada pula yang langsung meninggal.

c. Hambatan terhadap kehamilan dan persalinan. Selain kematian ibu dan bayi, ibu yang kawin pada usia muda dapat pula mengalami perdarahan, kurang darah, persalinan yang lama dan sulit, bahkan kemungkinan menderita kanker pada mulut rahim di kemudian hari.

d. Persoalan ekonomi. Pasangan-pasangan yang menikah pada usia muda umumnya belum cukup memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehingga sukar mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang memadai, penghasilan yang rendah dapat meretakkan keutuhan dan keharmonisan keluarga.

e. Persoalan kedewasaan. Kedewasaan seseorang sangat berhubungan erat dengan usianya, usia muda (12-19 tahun) memperlihatkan keadaan jiwa yang selalu berubah (BkkbN, 2004).

(12)

2.3 Alasan Menikah

Terdapat beberapa alasan seseorang untuk menikah seperti mendapatkan jaminan ekonomi, membentuk keluarga, mendapatkan keamanan emosi, harapan orang tua, melepaskan diri dari kesepian, menginginkan kebersamaan, mempunyai daya tarik seksual, untuk mendapatkan perlindungan, memperoleh posisi sosial dan

prestise, dan karena cinta. Ada beberapa alasan seseorang untuk menikah yakni untuk

melepaskan diri dari beban hidup, untuk mengatasi perasaan trauma terhadap pengalaman berhubungan dengan lawan jenis, tekanan dari lingkungan keluarga, karena daya tarik seks, untuk merasakan kesenangan dan untuk status (Dariyo, 2003).

Dariyo (2003) menyatakan bahwa terdapat beberapa motivasi seseorang untuk menikah, yakni :

a. Motif cinta

Cinta dan komitmen merupakan dasar utama pasangan untuk menikah. Banyak pasangan yang melangsungkan pernikahan karena memiliki kecocokan dan kesamaan minat.

b. Motif untuk memperoleh legitimasi terhadap pemenuhan kebutuhan biologis. Dengan menikah mereka dianggap tidak melanggar aturan dan norma masyarakat jika ingin melakukan hubungan seksual.

c. Untuk memperoleh legitimasi status anak.

Anak yang lahir dari hubungan antar laki-laki dan wanita yang terikat dalam lembaga perkawinan akan memperoleh pengakuan yang sah dihadapan ajaran agama maupun hukum negara.

(13)

d. Merasa siap secara mental

Keadaan siap untuk menikah akan membawa pasangan untuk menikah sesegera mungkin.

e. Peran Usia Dalam Pernikahan

Usia adalah salah satu hal yang memiliki peran besar dalam pernikahan, sebagaimana yang disampaikan Walgito (1984) mengenai beberapa kaitan usia pasangan dalam keluarga yang terbentuk sebagai akibat dari pernikahan.

2.4 Wanita Usia Subur

WUS (Wanita Usia Subur) berdasarkan konsep Departemen Kesehatan (2006) adalah wanita dalam usia reproduktif, yaitu usia 15-49 tahun baik yang berstatus kawin, janda maupun yang belum menikah. Pada wanita usia subur ini berlangsung lebih cepat dari pada pria. Puncak kesuburan ada pada rentang usia 20-29 tahun. Pada usia ini wanita memiliki kesempatan 95% untuk hamil. Pada usia 30-an persentasenya menurun hingga 90%. Sedangkan memasuki usia 40, kesempatan hamil berkurang hingga menjadi 40%. Setelah usia 40 wanita hanya punya maksimal 10% kesempatan untuk hamil. Masalah kesuburan alat reproduksi merupakan hal yang sangat penting untuk diketahui. Dimana dalam masa wanita subur ini harus menjaga dan merawat personal hygiene yaitu pemeliharaan keadaan alat kelaminnya dengan rajin membersihkannya.oleh karena itu WUS dianjurkan untuk merawat diri.

(14)

2.5 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Usia Menikah

Dalam penelitian ini sebagian besar unit keluarga dan fitur pemuda perorangan diukur menunjukkan asosiasi cukup dengan waktu pernikahan pertama seksual, interaksi dan kehamilan. Penelitian ini kemudian laporan, keluarga status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan remaja terbukti asosiasi yang sangat kuat dengan semua pencapaian pendidikan remaja terbukti asosiasi yang sangat kuat dengan semua mereka tiga evolusi tindakan. Ini berarti, remaja dari rumah tangga kelas sosial ekonomi atas atau orang-orang yang telah mencapai pada tahap pendidikan menengah sedikit dipraktekkan tindakan evolusi drastis dan tak lama daripada rekan-rekan mereka dari keluarga miskin atau status sosial ekonomi dengan pencapaian pendidikan minor.

Magadi et.al, (2009) juga menyoroti bahwa, faktor sosial ekonomi lainnya yang penting termasuk 'pencapaian pendidikan (terutama ibu' orang tua), perkotaan/ pedesaan tinggal dan daerah tempat tinggal. Ada hubungan antara pendidikan dan pencapaian kehamilan remaja. Oleh karena itu, pentingnya status sosial ekonomi rumah tangga setelah mengendalikan pendidikan dan faktor-faktor penting lainnya mungkin menyarankan kerentanan meningkat karena kemiskinan, juga terlihat di tempat lain dalam studi sebelumnya (Magadi et.al, 2009

2.5.1 Pendidikan

).

Pendidikan merupakan faktor kuat yang berhubungan dengan waktu pernikahan pertama di Indonesia (Williams, 1990). Menurut Grogger & Bronars (1993), tingkat pendidikan seseorang berkaitan dengan usia kawin yang pertama.

(15)

Semakin dini seseorang melakukan perkawinan semakin rendah tingkat pendidikannya. Tingkat pendidikan orangtua erat kaitannya dengan status ekonomi keluarga. Penelitian yang dilakukan oleh Choe dkk. (2007) di Nepal menyebutkan bahwa tingkat pendidikan orang tua yang lebih tinggi lebih berhasil menunda pernikahan di usia dini.

Penelitian yang dilakukan oleh Choe dkk (2007) di Indonesia dan Nepal menyatakan bahwa pendidikan orang tua berpengaruh pada pernikahan dini. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tingkat pendidikan orang tua yang tinggi akan menunda perkawinan anak perempuannya sampai mereka menyelesaikan pendidikan yang lebih tinggi. Orang tua yang lebih berpendidikan lebih dapat menerima nilai-nilai modern dan memberikan kebebasan kepada anak mereka untuk menentukan jodohnya sendiri.

Dengan demikian, Gokce et al (2006) telah menemukan perbedaan statistik penting telah diidentifikasi antara orang dewasa dan wanita muda hamil dengan memperhatikan tingkat pendidikan, tingkat pendidikan suami mereka, status pekerjaan dan kelas sosial ayah mereka. Selain itu, Gokce et al (2006), melaporkan bahwa resiko pernikahan remaja ada dua lebih tinggi antara remaja yang tinggal di keluarga inti dibandingkan mereka yang tinggal dalam keluarga yang luas. Sebuah perbedaan sangat besar statistik jelas antara kasus dan kontrol dalam kondisi perilaku keluarga ke arah pernikahan pada usia dini. Resistensi terhadap kehamilan sebelum waktunya jauh lebih tinggi dalam keluarga remaja hamil daripada keluarga wanita hamil dewasa.

(16)

2.5.2 Sosial Ekonomi

Pernikahan dini erat kaitannya dengan kemiskinan. Kemiskinan ditandai dengan pendapatan yang rendah, kurangnya pendidikan, kurangnya kesehatan, dan kurangnya aset (Oyortey & Pobi, 2003). Menurut Vue (2000) pernikahan dini terjadi pada masyarakat yang memiliki pendapatan di bawah tingkat kemiskinan. Penduduk miskin didefinisikan sebagai penduduk dengan pendapatan perkapita di bawah garis standar pendapatan yang harus dipenuhi, dalam hal senilai dengan 1 US $ atau Rp 10.000,00 per hari atau Rp 300.000,00 selama satu bulan (Listyaningsih, 2004).

Dari hasil penelitian Rahman dkk (2005), pernikahan remaja terjadi karena kemiskinan. Orang tua menganggap anak gadis merupakan beban ekonomi bagi keluarga. Jika anak gadis mereka menikah lebih cepat, mereka beranggapan anak gadis mereka akan dapat membantu biaya keluarganya. Menurut Hanum (1997), faktor ekonomi yang berkenaan dengan lapangan pekerjaan dan kemiskinan penduduk memberikan andil bagi berlangsungnya perkawinan usia dini. Taraf ekonomi penduduk yang rendah, tidak cukup untuk menjamin kelanjutan pendidikan anak. Jika seorang anak perempuan telah menamatkan pendidikan dasar dan tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, ia hanya tinggal di rumah. Selain itu keterbatasan lapangan pekerjaan menyebabkan mereka sulit untuk mendapatkan pekerjaan.

Penelitian yang dilakukan Chariroh (2004) di Kabupaten Pasuruan didapatkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan perkawinan di usia muda adalah ekonomi yang rendah (miskin).

(17)

2.5.3 Budaya

Di Indonesia, bagi perempuan menikah adalah hal yang sarat dengan berbagai nilai yang telah lama ada dikondisikan dengan budaya, agama dan lingkungan sekitar yang membuat perempuan wajib memasuki jenjang dalam lembaga perkawinan. Dalam budaya patriarkis, menikah tidak hanya berfungsi sebagai identitas sosial dan peningkatan status sosial tetapi juga agar perempuan kelihatan menjadi sempurna, yakni menjadi seorang istri dan kemudian ibu (Kartika, 2002).

Pola perkawinan masyarakat Indonesia sangat beragam, sesuai dengan budaya dan norma yang berlaku masyarakat. Faktor budaya erat kaitannya dengan kebiasaan setempat. Di Indonesia, masing-masing daerah memiliki adat kebiasaan, antara lain: pada masyarakat Jawa, mereka lekas-lekas menikahkan anak gadisnya dengan alasan malu kalau anaknya dianggap perawan tua. Menurut Goode (1983), perubahan status seseorang dari belum kawin menjadi kawin, akan membawa perubahan peranannya dalam masyarakat atau secara ritual telah memasuki kedudukan kedewasaan dengan hak-hak baru.

Di Mojokerto, diungkapkan oleh Geerzt (1982), seorang anak perempuan, perkawinan pertama segera dipersiapkan setelah haid pertama karena seorang ayah akan mendapatkan malu kalau seorang gadis yang telah dewasa belum ada jodohnya. Menurut Nurwati (2003), di Jawa Barat khususnya masyarakat yang tinggal di pedesaan bila wanita sudah berusia 16 tahun belum menikah maka keluarganya akan merasa malu. Pernikahan biasanya dilakukan pada saat musim panen (bulan

(18)

2.5.4 Pengetahuan

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour). Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers 1974 dalam Notoatmodjo (2007) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku di dalam diri orang tersebut terjadi proses berurutan yakni:

a. Awareness (kesadaran) yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.

b. Interest, yakni orang mulai tertarik pada stimulus.

c. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

d. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

Penelitian Rogers dalam Notoatmojo (2007) menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap diatas. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama.

Menurut Notoatmojo (2007), pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif dengan 6 tingkatan yaitu:

(19)

a. Tahu (know). Diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

b. Memahami (comprehension). Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

c. Aplikasi (application). Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

d. Analisis (analysis). Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut.

e. Sintesis (synthesis). Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

f. Evaluasi (evaluation). Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek penilaian berdasarkan suatu kriteria yang telah ada.

Ketidak bahagiaan dalam perkawinan sebagian besar pasangan yang memasuki jenjang perkawinan tidak mempunyai persiapan jiwa dalam arti yang

(20)

sesungguhnya. Mereka tidak dibekali dengan cukup, hanya sekedar petuah-tuah dan kalimat-kalimat pendek. Mereka berpikir bahwa dengan hubungan-hubungan cinta dan seks akan dapat memuaskan semua keinginan dan kebutuhan istrinya. Perempuan juga berpikir seperti itu (Nurwati, 2003).

2.5.5 Persepsi Keluarga (Orang Tua)

Keluarga terdiri dari ibu dan bapak dengan anak-anaknya; orang seisi rumah yang menjadi tanggungan; sank saudara; kaum kerabat; satuan kerabat yang sangat mendasar dalam masyarakat (Santoso, 1995). Keluarga dapat dikatakan sebagai suatu badan suatu badan sosial yang berfungsi mengarahkan kehidupan efektif seseorang didalam keluarga seseorang dapat mengalami kekecewaan, mendapatkan kasih sayang bahkan mungkin celaan-celaan.

Lingkungan sosial yang berperan dalam meneruskan dan menanamkan nilai pedoman hidup pada anggota masyarakat adalah keluarga, teman sebaya, guru dan sebagainya. Keluarga mengambil tempat penting dalam sosialisasi anak, karena anggota keluarga; orang tua dan saudara kandung melakukan kontak sosial pertama bahkan mungkin satu-satunya kontak sosial bagi anak pada tahun-tahun pertamanya. Keluarga adalah tempat pertama bagi anak, lingkungan pertama yang memberi penampungan baginya, tempat anak akan memperoleh rasa aman (Gunarsah, 2004).

Suasana keluarga yang tenang dan penuh curahan kasih sayang dari orang-orang dewasa yang ada di sekelilingnya, akan menjadikan remaja dapat berkembang secara wajar dan mencapai kebahagiaan. Sedangkan suasana rumah tangga yang penuh konflik akan berpengaruh negatip terhadap kepribadian dan kebahagiaan

(21)

remaja yang pada ahirnya mereka melampiaskan perasaan jiwa dalam berbagai pergaulan dan perilaku yang menyimpang (Al-Mighwar, 2006).

Kemauan orang tua, dengan kata lain ada unsur dijodohkan untuk menikah dimasa kuliah. Perjodohan semasa anak masih kuliah bukanlah hal yang baru. Orang tua sebelumnya telah membuat komitmen dengan koleganya untuk mengawainkan anaknya, meskipun anak- anaknya masih sama- sama kuliah (Ikhsan, 2004).

Mayoritas laki-laki dan perempuan yang kawin dibawah umur 20 tahun akan menyesali perkawinan mereka. Sayang sekali orang tua sendiri sering mendorong perkawinannya dalam usia sangat muda. Orang tua menganggap bahwa perkawinwn dalam usia muda mempunyai suatu faktor pematangan. Dibalik motivasi orang tua yang ingin sekali untuk segera mengawinkan anak-anaknya ialah demi melepaskan mereka dari tanggung jawab atas perilaku kejahatan dan kenakalan anaknya (Walgito, 2004).

2.5.6 Nilai Virginitas

Nilai virginitas untuk melakukan apa saja, termasuk hubungan intim. Berpacaran sebagai proses perkembangan kepribadian seseorang remaja karena ketertarikan antara lawan jenis. Namun dalam perkembangan budaya justru cenderung tidak mau tahu terhadap gaya pacaran remaja. Akibatnya, para remaja cenderung melakukan hubungan seks pranikah. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pergaulan bebas dikalangan remaja yaitu; faktor agama dan iman, faktor lingkungan seperti orang tua, teman, tetangga dan media, faktor pengetahuan yang

(22)

minim ditambah rasa ingin tahu yang berlebihan, dan juga faktor perubahan jaman (Dina, 2006).

Kebebasan pergaulan antar jenis kelamin pada remaja, dengan mudah bisa disaksikan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di kota-kota besar. Perkawinan pada usia remaja pada akhirnya menimbulkan masalah tidak kalah peliknya. Jadi dalam situasi apapun tingkah laku seksual pada remaja tidak pernah menguntungkan, pada hal masa remaja adalah periode peralihan ke masa dewasa (Sarwono, 2006).

2.6 Landasan Teori

Menurut Hurlock (1999) dalam WHO (2006), penikahan usia dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan yang berusia dibawah 19 tahun. Pernikahan dini terkait dengan kesiapan-kesiapan, terutama pada diri wanita yang menikah dini tersebut. Kesipan tersebut antara lain adalah kesiapan mental, materi, dan kesiapan system reproduksi. Kita ketahui bahwa wanita usia di bawah 19 tahun belum memiliki kematangan dalam reproduksinya. Pada saat ini jika terjadi pernikahan, maka akan berpengaruh terhadap kesehatan wanita tersebut serta anak yang dikandungnya. Tak menutup kemungkinan hal ini merupakan salah satu penyebab penting kematian ibu dan bayi di Indonesia.

Faktor risiko yang memengaruhi kematian maternal dibagi menjadi faktor– faktor determinan dekat, determinan antara dan determinan jauh. Faktor yang terjadi selama kehamilan, merupakan determinan dekat yang meliputi kejadian kehamilan, dimana wanita hamil memiliki risiko untuk mengalami komplikasi pada masa

(23)

kehamilan, persalinan dan nifas, seperti komplikasi perdarahan, preeklamsia/ eklamsia, infeksi, partus lama, dan ruptura uterus akan berpengaruh terhadap terjadinya kematian maternal.

Determinan antara yang meliputi status kesehatan ibu (status gizi, riwayat penyakit, riwayat komplikasi pada kehamilan sebelumnya, riwayat persalinan sebelumnya), status reproduksi (usia, paritas, jarak kehamilan, status perkawinan), akseske pelayanan kesehatan (lokasi pelayanan kesehatan: KB, pelayanan antenatal, pelayanan obstetri emergensi, jangkauan pelayanan yang tersedia, kualitas pelayanan,akses informasi tentang pelayanan kesehatan), perilaku kesehatan (perilaku KB, pemeriksaan antenatal, penolong persalinan, tempat persalinan, pelaksanaan aborsi yangtidak aman, penggunaan fasilitas kesehatan ketika terjadi masalah kesehatan) secaralangsung mempengaruhi kehamilan, dimana wanita hamil memiliki risiko untuk terjadinya komplikasi kehamilan dan persalinan yang akhirnya akan berpengaruhterhadap terjadinya kematian maternal.

Determinan jauh yang meliputi status wanita dalam keluarga dan masyarakat (pendidikan, pekerjaan, pendapatan), status keluarga dalam masyarakat (pendapatan keluarga, tempat tinggal, pendidikan anggota keluarga, pekerjaan anggota keluarga) dan status masyarakat (kesejahteraan, sumber daya di masyarakat) secara langsung memengaruhi determinan antara dan secara tidak langsung mempengaruhi determinan dekat

(24)

Bagian teori faktor risiko yang memengaruhi komplikasi kehamilan terhadap kematian maternal dibagi menjadi faktor–faktor determinan dekat, determinan antara dan determinan jauh.

Determinan jauh Determinan antara Determinan Dekat

Gambar 2.1 Teori Determinan Kematian Maternal

Sumber : McCarthy dan Maine (1992).

Status wanita dalam keluarga dan masyarakat 1. Pendidikan

2. Pekerjaan 3. Pendapatan

Status keluarga dalam masyarakat 1. Pendidikan 2. Pekerjaan 3. Pendapatan Status masyarakat 1. Kesejahteraan 2. Sumber daya masyarakat

Status Kesehatan Ibu

1. Status gizi 2. Penyakit ibu

3. Riwayat komplikasi kehamilan sebelumnya Status Reproduksi 1. Umur 2. Paritas 3. Jarak kehamilan Kehamilan

Akses ke pelayanan kesehatan 1. Lokasi pelayanan kesehatan 4. Jangkauan pelayanan kesehatan 5. Kualitas pelayanan kesehatan

Perilaku kesehatan 1. Penggunaan KB

2. Pemeriksaan antenatal 3. Penolong persalinan 4. Tempat persalinan

5. Pelaksanaan aborsi yang tidak aman 6. Penggunaan fasilitas kesehatan

ketika terjadi masalah kesehatan

Komplikasi 1. Kehamilan 2. Persalinan 3. Nifas Kematian Maternal

Faktor lain yang tidak diketahui

(25)

2.7 Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan Gambar 2.2 di atas, didapat variabel independen dalam penelitian ini adalah pendidikan, sosial ekonomi, budaya, pengetahuan, persepsi anak terhadap sikap orang tua dan nilai virginitas, sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah usia menikah.

Usia Menikah 1. Pendidikan 2. Sosial ekonomi 3. Budaya 4. Pengetahuan

5. Persepsi anak terhadap sikap orangtua

Gambar

Gambar 2.1 Teori Determinan Kematian Maternal  Sumber : McCarthy dan Maine (1992).
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian 20 gram zeolit tanpa Carbon aktif pada pengepakan tertutup ikan Corydoras aenus dengan suhu sekitar 20 o C mampu menekan

Kebijakan mutu Universitas Kadiri adalah : Secara efisien menghasilkan lulusan dengan kompetensi yang relevan dengan kebutuhan stakeholder; Upaya pemenuhan dinamika

Biaya tidak langsung didefinisikan sebagai biaya yang tidak secara langsung terhubung dengan sebuah kegiatan, tetapi masih penting dalam pelaksanaan. Contoh kegiatan dari biaya

Kelebihan kota Larantuka adalah kota ini memiliki keindahan wisata budaya yang tidak dimiliki kota lain di Indonesia dan juga memiliki wisata alam yang sangat indah.

Penelitian ini merupakan penelitian sosiologi sastra, yaitu mendeskripsikan secara sosiologis data yang tersedia dari teks sastra dalam novel Ketika Lampu Berwarna

Fenomena hamil di luar pernikahan yang terjadi pada remaja dan pemuda GKJW Rowotrate bukan hanya fenomena yang dapat dilihat sebagai akibat perilaku seksual yang tidak

Tenaga pelayanan kesehatan yang diperlukan pada saat operasional haji di Arab Saudi terdiri dari tenaga kesehatan haji indonesia (TKHI), panitia penyelenggara ibadah haji

 Bukti ini masih perlu ditambah dgn alat bukti lain  Haki bebas dan tidak terikat dgn alat bukti ini  Bukti ini dapat dilumpuhkan dgn alat bukti lawan.