• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANGGAPAN PETANI TERHADAP SISTEM PERTANIAN NIRLIMBAH BERBASIS KOMODITAS JAGUNG DI SULAWESI SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TANGGAPAN PETANI TERHADAP SISTEM PERTANIAN NIRLIMBAH BERBASIS KOMODITAS JAGUNG DI SULAWESI SELATAN"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

TANGGAPAN PETANI TERHADAP SISTEM PERTANIAN NIRLIMBAH BERBASIS

KOMODITAS JAGUNG DI SULAWESI SELATAN

Response of Farmers to Zero Waste Agriculture System

Based on Corn in South Sulawesi

Sunanto, Fadjry Djufry, dan Jermia Limbongan

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jln. Perintis Kemerdekaan Km. 17,5, Makassar 90243

E-mail: bptp_sulsel@yahoo.com

ABSTRACT

Corn is the second food crop after rice. The commodity has suitability to both dryland and wetland after rice cropping. The major product of corn farm is corn kernel, but there are by-products that are still regarded as agricultural waste. Fermentation process can improve crude protein and crude fat contents and reduce crude fiber content of corn waste, so it is good enough for cattle feed. Meanwhile, through fermentation process cattle waste can be used as organic fertilizer for corn plant. The purpose of this study was to determine: (a) the potential of corn waste and cow manure, (b) management of the farm waste, and (c) farmers’ responses to the farm waste management. This study was conducted in Bantaeng Regency from May to December 2012 using survey, observation, and laboratory test methods. The results showed that in South Sulawesi Province there was 271,557 ha of corn harvested area, producing about 1,119,978 tons of corn waste (straw). Similarly, the potential of cow manure reached 5.3 million tons of dry waste. Fermentation treatment improves nutritional contents of corn waste: 12.88% increase in crude protein, 1.82% increase in crude fat, and 20.26% reduction in crude fiber. Compositing process of cow manure has made it useful as an organic fertilizer for corn plant. Increased knowledge about the utilization of waste corn for animal feed and cow manure as organic fertilizer ranged between 40%–82%, while response of farmers in using corn as feed waste was still conventional, without fermentation process. Cow manure has not been widely used as fertilizer for plant maintenance, especially corn. Farming with non-waste system was able to generate income about Rp6,212,067 and RC 1.59 for 1 ha of corn area with one head of cattle.

Keywords: corn, zero waste, response, system of agriculture

ABSTRAK

Jagung merupakan komoditas tanaman pangan kedua setelah padi. Komoditas tersebut mempunyai kesesuaian lahan pada lahan kering maupun lahan sawah setelah padi. Hasil komoditas jagung diprioritaskan pada bijinya, namun demikian masih ada hasil ikutan yang masih dianggap sebagai limbah pertanian. Limbah jagung tersebut melalui pengolahan fermentasi dapat meningkatkan kandungan protein kasar dan lemak kasar, serta mengurangi kandungan serat kasar sehingga layak dijadikan pakan ternak sapi. Sementara, limbah ternak sapi melalui fermentasi dapat dijadikan pupuk organik pada tanaman jagung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) potensi limbah jagung dan limbah kotoran sapi, (2) pengelolaan limbah pertanian tersebut, dan (3) tanggapan petani terhadap pengelolaan limbah pertanian. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Bantaeng mulai bulan Mei hingga Desember 2012. Pendekatan penelitian ini dengan metode survei, observasi, dan pengujian laboratorium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah Provinsi Sulawesi Selatan memiliki luas panen jagung 271.557 ha dengan produksi sekitar 1.119.978 ton limbah jagung (jerami). Demikian juga potensi limbah kotoran sapi mencapai 5,3 juta ton kotoran kering. Perlakuan fermentasi meningkatkan kandungan nutrisi pada protein kasar 12,88%, lemak kasar 1,82%, dan menurunkan serat kasar menjadi 20,26%. Komposisasi limbah kotoran sapi sebagai kompos yang bermanfaat sebagai pupuk organik guna pemeliharaan tanaman jagung. Peningkatan pengetahuan mengenai pemanfaatan limbah jagung sebagai pakan ternak dan limbah kotoran sapi sebagai pupuk organik berkisar antara 40%-82%, sedangkan respons petani dalam pemanfaatan limbah jagung sebagai pakan masih bersifat konvensional, tanpa perlakuan fermentasi. Limbah kotoran sapi belum banyak digunakan sebagai pupuk untuk pemeliharaan tanaman, khususnya tanaman jagung. Usaha pertanian dengan sistem nirlimbah mampu memberikan pendapatan petani sebesar Rp6.212.067 dan RC 1,59 pada luasan lahan 1 ha dan pemeliharaan 1 ekor sapi

(2)

PENDAHULUAN

Jagung merupakan komoditas tanaman pangan setelah padi. Kandungan gizi biji jagung meliputi kalori 355 kalori, protein 9,2 gr, lemak 3,9 gr, karbohidrat 73,7 gr, kalsium 10 mg, fosfor 256 mg, ferrum 2,4 mg, vit A 510 SI, dan vit B1 0,38 mg (Anonim, 2014), sehingga komoditas tersebut dapat mensubtitusi beras dan juga dapat dimanfaatkan sebagai konsumsi bagi penderita diabetes (diet). Selain sebagai bahan pangan, sebagian besar produksi jagung digunakan untuk bahan pakan ternak.

Komoditas jagung mempunyai kesesuaian lahan pada lahan kering dan lahan sawah setelah padi. Luas lahan pengembangan jagung di Sulawesi Selatan selama lima tahun terakhir mencapai 3.864.692 ha dengan produksi sebesar 17.391.250 ton/tahun. Dengan demikian produktivitasnya sudah mencapai 4,57 ton/ha (BPS Provinsi Sulsel, 2013). Produktivitas ini masih rendah, apabila dibandingkan dengan potensi yang ada yaitu bisa mencapai 8,3–12,1 ton/ha (Azrai et al., 2009; Azrai, 2013), sehingga peluang peningkatan produktivitas dan produksi biji jagung terbuka luas.

Hasil komoditas jagung diprioritaskan pada biji jagung. Selain biji jagung masih ada hasil ikutan yang berupa jerami, kulit, tongkol, dan pikuteng jagung. Masyarakat petani masih menganggap bahwa hasil ikutan tersebut sebagai limbah pertanian. Sehingga limbah tersebut dianggap tidak mempunyai nilai ekonomi. Hanya sebagian petani yang sudah mencoba limbah jagung tersebut untuk dijadikan sebagai pakan, namun tidak dengan penerapan teknologi fermentasi. Pemberiannya kepada ternak sapi, jerami jagung masih dalam kondisi segar.

Limbah jagung dengan pengelolaan teknologi hasil mampu meningkatkan nilai nutrisi pada limbah tersebut. Perubahan pada limbah jagung yang sudah memperoleh pengelolaan fermentasi dengan memanfaatkan mikroba, sehingga kandungan protein kasar dan lemak kasar pada limbah tersebut mengalami peningkatan dan juga mengalami penurunan pada kandungan serat kasar. Peningkatan kandungan gizi tersebut dapat memberikan kelayakan sebagai pakan ternak sapi (Nasrullah dan Sunanto, 2012).

Demikian juga limbah ternak sapi dapat dijadikan pupuk organik dengan penanganan fermentasi. Pemberian pupuk organik hasil pengolahan limbah ternak dapat memberikan dampak pada pengurangan penggunaan pupuk kimia dan sekaligus dapat meningkatkan hasil baik biji maupun limbah jagung.

Petani sebagai pelaku usaha tani jagung dan pengelolaan ternak sapi berpeluang untuk menerapkan teknologi pertanian nirlimbah. Percepatan penerapan teknologi pertanian nirlimbah diperlukan peran aktif petani, penyuluh, dan peneliti dalam mentransfer inovasi. Sehingga respon petani perlu diketahui untuk menentukan model dan cara transfer teknologi pertanian nirlimbah.

Penelitian bertujuan untuk: a) mengetahui potensi limbah jagung dan kotoran sapi, b) pengelolaan limbah pertanian tersebut, dan c) tanggapan petani terhadap pengelolaan limbah pertanian.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Bantaeng. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan bahwa lokasi penelitian mempunyai ciri sebagai sentra produksi jagung dan ternak sapi di Sulawesi Selatan. Penelitian ini dimulai pada bulan Mei hingga Desember 2012.

Pendekatan penelitian ini dengan metode survei, observasi, dan pengujian limbah pertanian di laboratorium. Survei dilakukan pada petani jagung dan ternak sapi. Petani peternak yang disurvei berjumlah 45 orang. Penentuan responden dilakukan secara sengaja. Metode observasi dilakukan dengan memantau pola pemanfaatan lahan kering maupun lahan sawah setelah padi dengan tanaman jagung dan pola pemanfaatan limbah pertanian yang dilakukan oleh petani, sedangkan

(3)

pengujian laboratorium untuk menganalisis kandungan nutrisi pakan dengan menggunakan metode yang dikembangkan oleh Tilman et al. (1991).

HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Limbah Jagung

Luas panen, produksi, dan produktivitas jagung di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan mengalami peningkatan. Pada tahun 2006 luas panen jagung mencapai 207.340 ha dengan produksi 696.085 ton dan produktivitas 3,42 ton/ha. Peningkatan luas panen tiap tahun mencapai 11,58%, sehingga pada tahun 2010 luas panen meningkat menjadi 303.375 ha. Sedangkan produksi jagung juga mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan luas panen. Produksi jagung dari 696.085 ton (tahun 2006) meningkat menjadi 1.343.043 ton (tahun 2010), dengan demikian mengalami peningkatan sebesar 23,24%/tahun (BPS Provinsi Sulsel, 2007; 2011). Adapun peningkatan produktivitas jagung dari 3,57 ton/ha (tahun 2006) menjadi 4,43 ton/ha (tahun 2010). Produktivitas ini mengalami peningkatan mencapai 6,02%. Peranan teknologi produksi komoditas jagung sangat berpengaruh terhadap luas panen, produksi, dan produktivitas.

Hasil panen tanaman jagung juga memberikan hasil sampingan berupa jerami jagung, klobot, dan tongkol jagung, serta pikuten. Potensi limbah jagung di Sulawesi Selatan dapat menyediakan pakan sebesar 1,4 juta ton. Ketersediaan tersebut mampu mencukupi kebutuhan ternak sekitar 760 ribu ekor/tahun. Apabila semua potensi limbah jagung dimanfaatkan, maka di Sulawesi Selatan mengalami surplus hijauan pakan ternak.

Potensi Limbah Ternak Sapi

Perkembangan populasi ternak sapi mengalami peningkatan karena adanya terobosan program Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk mencapai populasi 1,5 juta ekor sapi pada tahun 2014. Populasi ternak sapi dari tahun 2006–2010, masing-masing adalah 638.526 ekor, 670.489 ekor, 705.222 ekor, 770.892 ekor, dan 850.893 ekor (BPS Provinsi Sulsel, 2007–2011). Rataan populasi lima tahun terakhir mencapai 727.205 ekor/tahun.

Antara tahun 2006–2010 terjadi tren peningkatan populasi ternak sapi di Sulawesi Selatan, dengan rataan berjumlah 727.205 ekor (BPS Provinsi Sulsel, 2011). Perbandingan populasi sapi, jumlah sapi perah di Sulawesi Selatan masih sangat sedikit, hanya berkisar 0,37% dari jumlah populasi ternak sapi. Hingga tahun 2008 populasi sapi perah terus meningkat, akan tetapi terjadi penurunan populasi pada tahun 2009 sebanyak 93 ekor.

Identitas Petani

Petani sebagai manajer dalam kegiatan usaha tani dan peternakan mempunyai peranan yang sangat besar terhadap pola pengelolaannya. Keputusan petani dipengaruhi oleh karakteristiknya. Adapun karakteristik petani disajikan pada Tabel 1.

Rataan umur petani tergolong usia produktif (43,5 tahun). Kisaran umur petani dari 27 sampai 65 tahun dan KK 10,90%. Kondisi ini menggambarkan bahwa pada usia produktif kemampuan, kemauan, dan motivasi untuk berusaha tani sangat tinggi karena pada saat usia ini kebutuhan rumah tangga tani sedang puncak-puncaknya meningkat. Oleh karena itu, inovasi teknologi yang diberikan dalam upaya peningkatan pendapatan akan mendapat respon yang baik.

Kisaran pendidikan bagi petani cukup baik sebab paling tidak petani sudah mengenyam pendidikan (dapat baca tulis). Dengan demikian, transfer teknologi dengan media cetak dapat diserap, dimergerti, dan dipahami oleh petani.

Anggota rumah tangga yang menjadi tanggungan keluarga relatif sedikit yaitu sekitar 5 jiwa/kepala keluarga (KK). Sedikitnya anggota keluarga tersebut keberhasilan program Keluarga Berencana (KB). Beban keluarga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga terutama pada;

(4)

kebutuhan pangan, papan, sandang, dan pendidikan dapat terpenuhi dengan kemampuan masing-masing rumah tangga tani. Kegiatan usaha tani dibantu oleh anggota rumah tangga sekitar 3 jiwa/KK. Tabel 1. Karakteristik petani jagung dan ternak sapi di Sulawesi Selatan, 2012

No. Uraian Kisaran Rataan KK (%)

1. 2. 3. 4. 5. 6. Umur (tahun) Pendidikan (tahun)

Jumlah anggota keluarga (jiwa) a. Laki-laki

b. Perempuan

Membantu usaha tani (jiwa) a. Laki-laki

b. Perempuan

Penguasaan lahan (ha) a. Milik penggarap b. Sewa

Jarak (km)

a. Rumah ke kebun b. Rumah ke jalan raya c. Kebun ke toko saprotan d. Rumah ke BPP 27–65 5–12 0–8 0–9 0–3 0–3 0–7 0–0,22 0,3–3 0,01–3 0,35–35 2–12 43,50 7,85 0,75 0,85 1,33 1,03 1,02 0,01 1,18 0,85 4,75 4,53 10,19 2,25 10,11 11,13 0,62 0,73 1,03 0,03 0,66 0,73 9,13 3,31

Petani jagung dan ternak sapi di Sulawesi Selatan memiliki karakteristik yang berbeda-beda, mencakup umur, pendidikan, jumlah anggota keluarga, gender, penguasaan lahan, dan jarak rumah petani ke berbagai tempat strategis.

Keterlibatan perempuan dalam proses usaha tani jagung dan ternak sapi juga tampak dari tabel di atas. Petani perempuan berperan cukup besar dan penting untuk membantu usaha tani jagung dan ternak sapi keluarga. Hal ini berarti bahwa tidak ada permasalahan gender dalam partisipasi perempuan.

Sebagian besar lahan yang dimiliki merupakan lahan milik penggarap dan hanya sedikit lahan sewa. Jarak antara lahan petani dengan tempat-tempat strategis rata-rata berjarak dekat hingga sangat jauh. Seperti jarak antara rumah ke jalan raya hanya berkisar 0,01-3 km. Akan tetapi untuk mengakses ke tempat-tempat lainnya seperti ke toko saprotan, petani harus menempuh hingga jarak 35 km atau ke BPP yang berjarak hingga 12 km, yang membutuhkan kendaraan bermotor dan waktu yang cukup lama untuk sampai.

Kandungan Nutrisi Limbah Jagung

Hasil sampingan tanaman jagung berupa limbah yang berupa jerami, klobot, dan tongkol. Limbah tersebut sudah bisa dijadikan pakan ternak sapi tanpa perlakuan, namun nilai gizinya masih rendah. Guna meningkatkan nilai gizi tersebut perlu dilakukan fermentasi. Adapun kandungan nilai nutrisi limbah jagung sebelum dan sesudah fermentasi disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan nutrisi limbah jagung di Sulawesi Selatan, 2012

No. Perlakuan Kandungan nutrisi (%) Beta

N Protein kasar Lemak kasar Serat kasar Abu Kadar air

1. Sebelum fermentasi 4,71 1,08 34,62 9,69 10,03 39,87 2. Sesudah fermentasi 10,25 1,51 25,68 8,67 5,77 37,78

Rataan 7,48 1,30 30,15 9,18 7,90 38,83

(5)

Tabel 2 menunjukkan bahwa kandungan nutrisi mengalami peningkatan setelah dilakukan fermentasi. Kandungan protein kasar meningkat dari 4,71% menjadi 10,25%. Kenaikan kandungan protein kasar 118%. Demikian juga kandungan lemak kasar meningkat dari 1,08% menjadi 1,51%. Kenaikan kandungan nutrisi lemak kasar sebesar 40%. Kandungan nutrisi protein dan lemak kasar ini berfungsi sebagai pembentukan daging, yang berarti berpengaruh penambahan bobot sapi. Adapun kandungan serat kasar mengalami penurunan dari 34,62% menjadi 25,68%. Penurunannya sebesar 26%. Penurunan kandungan serat kasar dapat meningkatkan kecernaan pakan pada ternak sapi. Respon Petani terhadap Pemanfaatan Limbah Pertanian

Pertanian nirlimbah sebagai teknologi produksi pertanian ramah lingkungan merupakan kebutuhan dalam dekade terakhir ini sehingga perlu adanya respon masyarakat yang positif. Dalam kegiatan ini yang menjadi respon terbagi menjadi kelompok yaitu petani di sekitar lokasi kegiatan dan pengujung pada saat ekspose. Adapun hasil kuesioner ditampilkan pada Tabel 3.

Petani sekitar pelaksanaan pertanian nirlimbah mempunyai umur rataan 44,08 tahun dengan tingkat pendidikan 6,56 tahun atau setara lulus sekolah dasar. Dengan demikian masyarakat petani dapat tahu baca tulis.

Petani sekitar 12% sudah mengetahui tentang sistem pertanian nirlimbah, sedangkan 88% belum tahu. Setelah mengikuti pelaksanaan kegiatan 100% petani tahu tentang teknologi pertanian nirlimbah.

Tabel 3. Respon masyarakat terhadap teknologi pertanian nirlimbah, 2012

No. Uraian

Pemahaman petani sekitar lokasi Masyarakat pengunjung lokasi kegiatan Sebelum Sesudah 1. Umur (th) 44,08 44,08 38,68 2. Pendidikan (th) 6,56 6,56 14,14

3. Sistem pertanian zero waste a. Sudah tahu b. Belum tahu 12,00 88,00 100,00 0,00 95,55 4,55 4. Pemanfaatan limbah kotoran ternak

a. Sudah tahu b. Belum tahu 48,00 52,00 100,00 0,00 77,27 22,73 5. Pemanfaatan limbah jerami

a. Sudah tahu b. Belum tahu 60,00 40,00 100,00 0,00 55,45 44,55 6. Pemanfaatan hijauan a. Sudah tahu b. Belum tahu 28,00 82,00 100,00 0,00 4,55 95,45 7. Informasi diperoleh a. Brosur/leaflet b. Diklat c. Internet d. Siaran radio e. Surat kabar f. Melaksanakan sendiri g. Ekspose 12,00 0,00 0,00 8,00 8,00 4,00 0,00 100,00 0,00 0,00 8,00 8,00 40.00 100,00 72,73 9,09 9,09 4,55 4,55 4,55 100,00

Pemahaman masyarakat bahwa limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan adalah kotoran ternak, jerami, dan hijauan. Masyarakat yang mengetahui bahwa kotoran ternak dapat dimanfaatkan mencapai 48% dan jerami dapat dimanfaatkan 60%, serta hijauan dapat dimanfaatkan mencapai 28%. Setelah mengikuti ekspose 100% memahaminya. Informasi pengetahuan itu diperoleh dari

(6)

brosur, leflet (12%), siaran radio (8%), surat kabar (8%), dan melaksanakan sendiri (4%). Petani yang melaksanakan sendiri adalah petani yang diajak langsung dalam kegiatan ini. Seratus persen petani mengetahui informasi teknologi dari pelaksanaan kegiatan.

Masyarakat pengunjung pada saat pelaksanaan sebagai responden mempunyai umur rataan 38,68 tahun dengan tingkat pendidikan 14,14 tahun atau setara sarjana muda. Masyarakat 95,45% sudah mengetahui tentang sistem pertanian nirlimbah, sedangkan 4,55% belum tahu.

Pemahaman masyarakat bahwa limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan adalah kotoran ternak, jerami, dan hijauan. Masyarakat yang mengetahui bahwa kotoran ternak dapat dimanfaatkan mencapai 77,27% dan jerami dapat dimanfaatkan 55,45%, serta hijauan dapat dimanfaatkan mencapai 4,55%. Informasi pengetahuan itu diperoleh dari brosur, leaflet (72.73%), diklat (9,09%), internet (9,09%), siaran radio (4,55%), surat kabar (4,55%), dan melaksanakan sendiri (4,55%). Semua masyarakat berminat untuk menyarankan/mencoba melakukan pemanfaatan limbah pertanian menjadi pakan ternak, pakan ikan, pupuk organik, dan biogas.

Analisis Usaha Pertanian Nirlimbah Tanaman Jagung–Ternak Sapi

Tujuan dalam usaha pertanian dan peternakan melalui kegiatan pertanian nirlimbah untuk memperoleh tambahan penerimaan dan keuntungan secara bersinergi antara tanaman jagung dan pemeliharaan ternak sapi. Hasil jagung yang diambil dari biji jagung, selain itu diambil juga limbahnya untuk dijadikan pakan ternak sapi dengan sistem fermentasi. Pakan limbah jagung hasil fermentasi diberikan pada ternak sebagai penyediaan dan pemberian pakan ternak sapi, sedangkan pemeliharaan ternak sapi, selain hasil daging yang menjadi produk utama, limbah ternak sapi berupa feses diolah menjadi pupuk organik. Pupuk organik ini untuk dipersiapkan dalam penggunaan pada tanaman jagung. Adapun analisis usaha integrasi jagung–ternak sapi disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Analisis usaha integrasi tanaman jagung – ternak sapi di Provinsi Sulawesi Selatan, 2012

No. Uraian Volume Harha satuan

(Rp/unit) Jumlah (Rp)

1.

2.

Sarana input tanaman jagung a. Benih b. Pupuk Urea c. KCl d. SP18 e. Pupuk NPK f. Herbisida g. Pestisida h. Penyusutan alsintan Sarana input ternak sapi a. Bibit sapi b. Pakan 4 bulan c. Penyusutan kandang 15 kg 337 kg 80 kg 100 kg 100 kg 2 liter 1 liter 1 paket 1 ekor 720 kg 1 paket 40.000 1.800 2.550 2.500 2.400 80.000 45.000 165.000 4.000.000 200 150 600.000 606.600 204.000 250.000 240.000 160.000 45.000 165.000 4.000.000 144.000 150.000 Jumlah A (Rp) 6.464.600 3. Penggunaan tenaga (Rp) 135 OH 30.000 4.050.000 Jumlah A+3 (Rp) 10.514.600 4. Penerimaan (Rp) a. Biji jagung b. Limbah jagung c. Modal bakalan sapi d. Penambahan bobot e. Pupuk organik 5.930 kg 5.400 kg 1 ekor 6,67 kg 600 kg 2.000 100 4.000.000 40.000 100 16.726.667 11.860.000 540.000 4.000.000 266.667 60.000 5. Pendapatan (Rp) 6.212.067 R/C {4/(A+3)} 1,59

(7)

Komponen biaya dalam kegiatan usaha integrasi tanaman jagung–ternak sapi terdiri dari: a) sarana input tanaman jagung, b) sarana input ternak sapi, dan c) penggunaan tenaga kerja sebagai pemeliharaan. Sarana input tanaman jagung yang terbesar adalah pada pengadaan input pupuk Urea mencapai Rp606.600/ha atau 26,72% biaya usaha tani jagung. Pengeluaran kedua diikuti oleh pengadaan benih jagung mencapai Rp600.000/ha atau 26,42%, sedangkan biaya terendah pada pengadaan input pestisida yaitu mencapai Rp45.000/ha atau 1,98%.

Sarana input pemeliharaan ternak sapi antara lain: bibit sapi/bakalan, pakan, dan kandang, serta peralatan. Pemeliharaan ternak sapi selama 4 bulan memerlukan biaya sebesar Rp4.294.000 yang terdiri dari biaya pengadaan bibit sapi sebesar Rp4.000.000/ekor (93,15%), pakan selama 4 bulan Rp144.000 (3,35%), dan penyusutan kandang dan peralatan lainnya selama 4 bulan sebesar Rp150.000 (3,50%).

Tenaga kerja yang disediakan baik dari dalam keluarga maupun luar keluarga selama pemeliharaan tanaman jagung dan ternak sapi mencapai 135 OH. Biaya tenaga kerja diasumsikan Rp30.000/hari/OH. Dengan demikian biaya tenaga kerja mencapai Rp4.050.000, sehingga total biaya usaha integrasi tanaman jagung (1 ha) dan ternak sapi 1 ekor mencapai Rp10.514.600.

Usaha pertanian sistem integrasi memperoleh hasil yang terdiri dari: biji jagung, limbah jagung, kembalian modal bibit sapi, penambahan bobot sapi selama pemeliharaan, dan limbah ternak sapi (feses). Total penerimaan yang diterima oleh petani dengan sistem integrasi mencapai Rp16.772.667. Penerimaan dari usaha tani jagung diperoleh dari biji jagung sebesar Rp11.860.000/ha/musim (70,71%), dengan produksi biji jagung pipil kering 5.930 kg dan diasumsikan harga biji jagung Rp2.000/kg, sedangkan hasil limbah jagung yang dinilaikan sebasar Rp540.000/ha/musim tanam. Adapun pemeliharaan sapi penerimaan diperoleh dari pengembalian modal bibit sapi sebesar Rp4.000.000, dan penambahan bobot badan sebesar Rp266.667, selama pemeliharaan 72 hari seberat 6,67 kg dengan asumsi harga daging sapi Rp40.000/kg, serta limbah ternak sapi dalam bentuk pupuk organik dinilai Rp600.000 dengan asumsi produksi 600 kg pupuk organik dengan harga Rp100/kg.

Pendapatan usaha tani sistem integrasi selama satu musim tanam jagung dan 72 hari pemeliharaan sapi mencapai Rp6.212.067. Hasil ini diperoleh dari selisih antara total penerimaan Rp16.772.667 dan total biaya Rp10.514.600. Dengan demikian, dapat ditentukan juga nilai R/C sebesar 1,59.

KESIMPULAN DAN SARAN

Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan memiliki potensi luas panen jagung 271.557 ha dengan produksi sekitar 1.119.978 ton limbah jagung (jerami). Perlakuan fermentasi pada limbah jagung mampu meningkatkan kandungan nutrisi pada protein kasar 12,88%, lemak kasar 1,82%, dan menurunkan serat kasar menjadi 20,26%. Potensi limbah kotoran sapi mencapai 5,3 juta ton kotoran kering. Di sisi lain, komposisasi limbah kotoran sapi sebagai kompos yang bermanfaat sebagai pupuk organik guna pemeliharaan tanaman jagung. Peningkatan pengetahuan mengenai pemanfaatan limbah jagung sebagai pakan ternak dan limbah kotoran sapi sebagai pupuk organik berkisar antara 40%-82%, sedangkan respon petani dalam pemanfaatan limbah jagung sebagai pakan masih bersifat konvensional, tanpa perlakuan fermentasi. Limbah kotoran sapi belum banyak digunakan sebagai pupuk untuk pemeliharaan tanaman, khususnya tanaman jagung.

Usaha pertanian dengan sistem nirlimbah mampu memberikan pendapatan petani sebesar Rp6.212.067 dan RC 1,59 pada luasan lahan 1 ha dan pemeliharaan 1 ekor sapi. Oleh karena itu, pertanian nirlimbah dengan memanfaatkan mikrobiologi perlu dikembangkan sebagai model pertanian organik yang mempunyai sinergitas antarkomoditas.

(8)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2014. Jagung. Id.wikipedia.org/wiki/jagung#kandungan_gizi. 28 April 2012.

Azrai, M., Djamaluddin, Syuryawati, I.U. Firmansyah, dan R. Effendy. 2009. Pembentukan jagung hibrida umur genjah (+80 hari) toleran lingkungan dan hasil tinggi (> 8 ton/ha). Laporan Akhir Penelitian Sinta. Ditjendikti.

Azrai, M. 2013. Jagung hibrida genjah: Prospek pengembangan menghadapi perubahan iklim. Iptek Tanaman Pangan 8(2):90–96.

Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan. 2007. Sulawesi Selatan dalam Angka 2007. BPS Provinsi Sulsel. Makassar.

Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan. 2011. Sulawesi Selatan dalam Angka 2011. BPS Provinsi Sulsel. Makassar.

Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan. 2013. Sulawesi Selatan dalam Angka 2013. BPS Provinsi Sulsel. Makassar.

Nasrullah dan Sunanto, 2012. Peningkatan nilai nutrisi limbah jagung sebagai pakan ternak sapi di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional “Membangun Center of Excellent untuk Pengembangan Industri Peternakan Menuju Swasembada Daging Nasional”. Kemenristek. 11 Desember 2012

Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, dan S. Lebdosukojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Gambar

Tabel 1. Karakteristik petani jagung dan ternak sapi di Sulawesi Selatan, 2012
Tabel  2  menunjukkan  bahwa  kandungan  nutrisi  mengalami  peningkatan  setelah  dilakukan  fermentasi
Tabel 4. Analisis usaha integrasi tanaman jagung – ternak sapi di Provinsi Sulawesi Selatan, 2012

Referensi

Dokumen terkait

Matlamat utama daripada proses ini ialah membimbing, memandu atau membantu individu terbabit (klien) dalam usaha menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Perlu

Menurut Plato bahwa demokrasi adalah pemerintahan yang dipegang oleh rakyat. Plato juga menyatakan bahwa demokrasi bukan merupakan hasil pemerosotan dalam pelaksanaan sistem

Sementara Cikini Retail dan Plaza Menteng yang terintegrasi dengan hotel budget Formule-1, pada tahun 2010 memberikan kontribusi masing-masing 6% dan 4% dari pendapatan

Identifikasi tipe penggunaan alat dapur digunakan untuk mengetahui jenis alat dapur yang sering digunakan oleh responden yaitu masyarakat rumah hunian kecil dalam mengolah

Hasil Penghitungan Perolehan Suara dari seluruh TPS dilaporkan KPUM kepada PRESMA untuk diberikan Penetapan Perolehan Suara dalam sidang pleno terbuka yang dihadiri oleh

Tugas Mahasiswa: membuat konsep kreatif periklanan untuk suatu produk Metode/cara pengerjaan tugas: mempresentasikan tugas dan memberi analisis Deskripsi luaran tugas: Hasil

Di dalam proses pengolahan makanan TIDAK terdapat tahap yang dapat membunuh mikroorganisme berbahaya atau mencegah / menghilangkan bahaya kimia / fisik.. Makanan yang mengandung bahan

Berdasarkan hasil pengujian pada tabel di atas, diperoleh nilai t hitung > t tabel atau (8,199 > 1,998), dengan demikian hipotesis kedua yang diajukan bahwa terdapat